Pintu
ruangan itu terbuka sedikit. Dari posisinya duduk Rieka bisa melihat Deraz
melalui celah. Sepertinya cowok itu sedang duduk di kasur, tertawa-tawa entah
dengan siapa, tapi memang berisik sekali cowok-cowok dalam ruangan itu. Deraz
cuman mengenakan singlet, ampuun!, sehingga memperlihatkan lengannya yang
jenjang meski belang, dengan bongkah-bongkah di pangkalnya. Rieka berharap
Deraz melucuti singlet itu, tapi yang lepas malah sosoknya. Rieka terkesiap
bertepatan dengan pintu ruangan yang terbuka. Lanskap suara mendadak tak
semeriah semula. Sempat terlihat Deraz sudah menutupi tubuh kekarnya dengan kaos
gombroh. Satu per satu cowok dalam ruangan itu keluar. Dimulai dari Ipong.
Tatapan cowok berjambul itu langsung mengenai tatapan Rieka. Ia menyeringai.
Ipong
juga, yang di suatu Minggu siang nan terik dan tidak sampai tiga tahun lalu,
mendapati Rieka mengamati seberang Jalan Banceuy (“Jalan Braga dong, biar
estetis!” kata Ipong) dengan gulana. Sebagai seksi logistik Bazaar SMP saat
itu, mereka harus berburu beberapa komponen listrik. Tenggat kian dekat tapi
langkah Rieka malah melambat. Tatapan Ipong pun turut menyeberangi jalan.
Sosok yang baru sekitar dua tahun kemudian ia akrabi sebagai Deraz tengah
bersama cewek—cewek-cewek—ke arah yang berlainan. Lebih tampak seperti
sekelompok siswa yang sedang mencari bahan untuk tugas, ketimbang date dengan banyak cewek sekaligus.
Ipong ingin bilang begitu untuk melipur bahasa mata Rieka, tapi yang keluar
malah, “Tampang lo mupeng banget sih Ri.”
Begitu
pula kini.
Rieka
pertama kali mengenal Deraz sebagai murid pindahan dari kota kecil bernama
Freiburg—tidak ada di titik manapun di peta Republik Indonesia. Hanya bisa
berbahasa Inggris dan bahasa Jerman. Ich bin Arderaz Haykal. Jangan pakai bahasa yang itu, Yaz, saya
enggak ngerti. My name is Arderaz Haykal. Ini Deraz. Dean yang mengenalkan saudara kembarnya itu di depan
kelas. hingga menjadi interpreter saat yang lain ingin berkenalan langsung.
Dean bilang selama ini Deraz diasuh oleh oma-opa buyut mereka di Freiburg,
sedangkan Dean tetap dengan kedua orang mereka. Lalu oma lalu opa meninggal.
Secara
otomatis upaya Deraz dalam berbahasa Indonesia menjadi bahan untuk
berhaha-hihi, tapi kepiawaiannya dalam olahraga tanpa cela. Tidak sampai
seminggu Deraz sudah dikenal jago dalam sepak bola. Ia kemudian mengangkat
harkat kelas 5 di atas kelas 6, karena menyumbang banyak gol saat pertandingan
persahabatan. Ternyata ia mampu menguasai bahasa Indonesia dalam waktu singkat,
seiring prestasi akademisnya yang meningkat. Ia juga murah senyum.
Cewek-cewek mulai mengikik bahkan memekik setelah berpapasan dengannya.
Tahun berikutnya selama beberapa hari ia di Jakarta untuk mengikuti konferensi
anak, semakin menjadi kebanggaan sekolah. Popularitasnya mengalahkan anak
manapun yang sebelumnya dianggap populer, terutama di kalangan cowok. Cowok
populer sepantasnya berpasangan dengan cewek populer. Tidak ada cewek yang
melebihi popularitas Rieka di SD negeri tersebut, kombinasi nyata kecantikan
dan kepintaran. Sah dong kalau Deraz diklaim laik untuk Rieka. Sayang masa SD
tidak lama lagi.
Mereka
juga tidak satu SMP. Rieka cuman bisa dengar kalau prestasi Deraz makin
menjadi-jadi di SMP. Berkali-kali digelari best
speaker di berbagai turnamen debat, hingga mewakili sekolahnya untuk
beberapa konferensi. Kirim Deraz untuk berkompetisi, ia akan pulang dengan
membawa sesuatu yang patut dipajang dalam lemari. Mengetuai OSIS pun masih
sempat. Belum kegantengannya yang membuat sekian banyak cewek terjerat.
“Liat
apaan elo tadi?” tegur Ipong.
“Liat
apa?” balas Rieka sok polos. Ia alihkan perhatiannya ke mana-mana. Anak-anak
sudah menuju ke tempat acara berikut akan diselenggarakan. Ia malah
menumpangkan satu kaki di atas kaki yang lain. Begitupun kedua tangan di atas
lututnya.
“Alah.
Dari dalem gue ngeliat elo ngeliat ke situ,” kepala Ipong menuding ke ruangan
ia berasal.
“Ipong.”
Mata Rieka menyorotkan rajukan.
“Susah
ya. Keluar dari OSIS aja elo, atau pindah sekolah sekalian.”
“Ipoong…”
Rieka merajuk betulan, seraya menarik-narik lengan cowok berperawakan relatif
kecil itu.
Ipong
malah terkekeh. “Sabar Ri. Elo doain aja Deraz lolos AFS, betah di sana, dan
enggak balik lagi ke Indonesia,” suara Ipong serendah mungkin, walaupun
tinggal mereka berdua di dalam bangunan vila tersebut. Lainnya sudah
membentuk lingkaran di halaman berumput.
“Yah.
Semoga…” Rieka berkata lesu.
“Ayo,
Ri-eka, masak sekum telat?”
Rieka
mengekor Ipong menuju halaman.
.
Ipong
adalah satu dari sangat sedikit orang yang sadar untuk memanggil Rieka dengan
“Ri-eka”, bukan “Rika”, itupun karena Rieka memberitahunya, jadi Ipong
bukan pangeran yang tidak sengaja menemukan sepatu kaca.
Di
awal keterlibatan mereka di OSIS, dalam euforia Rieka, karena bakal
berkesempatan banyak untuk berinteraksi dengan Deraz, bagaimanapun frekuensi
dan intensitasnya, Rieka mengungkapkan sebuah harapan pada Ipong. “Dia bakal
nyadar enggak ya, ada huruf ‘e’ di nama gue?”
Tapi
Deraz memanggil Rieka sebagaimana umumnya, “Ri-ka”, itupun amat jarang. Mereka
tidak satu divisi dalam kepengurusan, juga tidak pernah dalam kepanitiaan
apapun. Rieka pun paham kenapa ada yang bilang takdir memang kejam.
“Deraz
bukannya enggak tahu kalau nama elo ada ‘e’-nya,” hibur Ipong kala Rieka
mengeluh. Tidak ada orang di SMA ini yang boleh tahu mengenai Rieka pada
Deraz selain Ipong, itupun karena Ipong sudah menjadi tempat sampah Rieka sejak
SMP. Dan Rieka tidak mau tahu kalaupun ternyata ada yang lain yang tahu. Cukup Ipong.
“Cuman kan elo tahu, dia pernah lama di Jerman gitu. Jadi dia ngebaca nama elo
kayak cara orang Jerman gitu. Di Jerman kan ‘ie’ dibacanya ‘i’ panjang.”
“O
ya?”
“Iya.
Jadi dia manggil elo tuh ‘Rii-ka’.”
“Iya
gitu?”
“Iya.
Elo tahu enggak gimana si Deraz manggil si Euis?”
“Euis
yang mana ya?”
“Di
Jerman tuh ‘eu’ dibaca ‘oi’, jadinya si Deraz manggilnya ‘Ois’.”
“Ah
Ipong!”
“Beneran.
Elo tahu enggak gimana si Deraz nyebut peuyeum?”
“Ah
udah ah!”
“Watir[1] jadi vatir. Geuleuh[2] jadi…”
Lembar
analisis SWOT milik Deraz akhirnya sampai pada Rieka. Adalah inisiatif
Dirgantara Jaya alias Kang Ega, eks mitratama, untuk lebih mengenal satu
sama lain dalam kesempatan ini. Apalagi bagi pengurus OSIS yang baru, penting
tuh. Sekaligus Kang Ega secara halus ingin bilang, inilah bentuk
pertanggungjawabannya agar sertijab kepengurusan OSIS “bernuansa
kekeluargaan” ini bukan sekadar malam hura-hura, toh sertijab resmi sudah dihelat
minggu sebelumnya. Hembusan angin Lembang membuat anak-anak kian merapatkan
jaket. Diputuskan untuk pindah ke ruang tengah bangunan vila saja. Kertas
itupun berada di tangan Rieka lebih lama, menyerap kehangatannya, melalui
jarak yang lebih jauh bersamanya, sebelum dioper-oper lagi dalam waktu yang
kembali singkat hingga sampai ke tangan Deraz—semua ini entah bagaimana terasa
sangat berarti bagi Rieka. Kasmaran adalah suatu hal yang teramat pelik.
Strength. Opportunity. Threat.
Kata-kata
itu mengajak Rieka memikirkan Deraz kembali. Coba tanyakan pada Rieka SD, atau
Rieka SMP, bukan pada Rieka SMA, di mana penolakan yang ia alami sudah
begitu banyak. Rieka tidak sanggup memikirkan Deraz kembali. Uh. OSIS terkutuk.
Sejenak Rieka menyesal kenapa ia memutuskan untuk memasuki SMA yang sama
dengan Deraz, begitu melihat nama tersebut tercantum di laman PSB lengkap
dengan SMA tujuannya. Padahal ia, Deraz juga sebetulnya, bisa memasuki SMA dengan
passing grade yang lebih tinggi.
Untung Deraz bukan mitratama, maupun mitramuda, karena memang tidak mengajukan
diri. Dengan posisi sebagai sekum Rieka tidak bisa membayangkan apabila Deraz
adalah mitratama. Sekum rektum. Dengar-dengar Deraz sudah tidak begitu
berminat dengan OSIS, tapi malah ditarik menjadi kabid I. Kabid I, heu, tentu
saja. Deraz kan tidak pacaran. Pengurus yang kompatibel untuk para anak alim.
Saya
enggak pacaran.
Padahal
pertanyaan itu yang paling ingin Rieka ajukan saat mewawancarai Deraz untuk majalah
semesteran LEMPERs—Lembaga Pers SMANSON—hampir setahun lalu. Rieka sekadar ingin
tahu bagaimana tipe cewek yang Deraz sukai, berdasar siapa saja yang pernah
atau sedang ia pacari—informasi semacam itu tidak pernah sampai pada Rieka—barangkali
Rieka bisa “menyesuaikan diri”? Tapi malah jawaban itu yang Rieka dapatkan.
Riwayat pacaran Deraz: KOSONG—atau sama misteriusnya dengan segitiga
Bermuda.
Weakness.
Pacaran
dong, Raz. Sudah ada yang mengisi seperti itu di kolom Weakness Deraz. Rieka mengernyit.
Rieka
termenung. Ia belum menoreh sepatah katapun di lembar analisis SWOT Deraz. Too good to be true to be with me. Rieka
membayangkan kata-kata itu menempel di kertas, di kolom Weakness Deraz. Belum ada yang menulis seperti itu. Rieka membayangkan
bagaimana ekspresi Deraz ketika mendapati kata-kata itu. Tipe seperti Deraz
sih, bakal tanya orang-orang terdekatnya, “Siapa ya yang nulis ini?”,
walaupun lembar tersebut seharusnya hanya untuk pribadi, lalu orang-orang
bermulut ember itu bakal cari-cari, sebisa mungkin dapat!, hingga tersiar ke
luar lingkup OSIS. Tahulah seperti apa kegigihan anak OSIS, apalagi menjelang deadline Bazaar.
Weakness.
Pemarah.
Jika Deraz pernah memarahi Rieka, sekali sih, apakah itu sudah cukup untuk menyebutnya
sebagai pemarah? Rieka tidak bisa lupa. Di suatu jeda di kelas 6 di tengah
sesama cewek eksis yang menjadi kliknya. Wajah gusar itu mendekat, tanpa
kepikiran untuk mencari momen yang privat. Sosok itu cuman menyampaikan dua kalimat—yang
mengingat logat Jermannya masih lekat, agaknya ia siapkan benar-benar hingga
bisa melafalkannya secara tepat. “Jangan. Ganggu. Dean,” adalah kalimat
pertama. “Saya. Enggak. Suka. Kamu,” adalah kalimat kedua.
Saya
enggak suka kamu.
Sejak
itu Rieka meragukan makna ‘sahabat’, karena peristiwa Deraz menggertaknya
tersiar dengan cepat. Seolah Rieka tidak sadar kalau kliknya selama itu
memang penyebar gosip paling gahar, dan ia hanya salah satunya. Tapi kan
situasi baik-baik saja, selama untuk isu bernuansa negatif bukan ia yang
dibicarakan. Teman-temannya memang tidak menjauh, tapi cewek-cewek yang
sebelumnya terintimidasi oleh kliknya itu mulai berani bereaksi secara
terang-terangan. Perseteruan antar klik makin sengit. Ada yang tidak kalah
kejam dari takdir, yaitu anak SD. Pelaku bully
terganas sepanjang masa, dampaknya pada korban susah lekang hingga dewasa.
Weakness.
Lembar
analisis SWOT milik Deraz sudah pindah ke lain tangan. Sama sekali tidak ada
tulisan Rieka di sana.
Tidak
peka. Padahal Rieka ingin menulis itu. Sangat tidak peka. Rieka kira di SMA
Deraz telah lupa dengan perkara di SD. Agaknya demikian. Entah juga Deraz
masih ingat Rieka sebagai seseorang yang pernah satu SD dengannya atau malah
tidak, itu yang Rieka takutkan. Tapi itu menjadi tidak begitu penting. Mereka
satu gugus saat MOS, selanjutnya sayang sekali tidak sekelas, tapi
setidaknya sama-sama menjadi bagian dari OSIS. Ada saja kesempatan untuk
bertemu, berdekatan, bahkan menyapa, walaupun belum tentu membuahkan kejadian
yang cukup berarti. Sekali Deraz menegurnya duluan, Rieka menjadi yakin bahwa
perkara di SD sudah terlupa. Beberapa kali Rieka yang berinisiatif,
sekadar beroleh senyum pun sudah memuaskan, tapi respons Deraz memang jarang
yang lebih dari itu. Kesempatan untuk mengobrol pun tidak pernah lama, tidak
cukup banyak. Tapi Deraz tidak terkesan menjaga jarak dari Rieka kok, Ipong meyakinkan,
seperti itulah Deraz pada setiap cewek.
Terakhir.
Ingatan itu melayap dalam kepala Rieka saat cowok-cowok membuat api unggun di
halaman. Gelap telah membayang. Deraz genjrang-genjreng di teras vila,
mengiringi nyanyian Ipong yang nadanya sulit dicerna. Saat itu juga hampir seperti
saat ini. Pesta ulang tahun Rieka yang ke-16, ah, sudah berkubang jelantah di
benak. Ipong memberitahu Rieka bahwa Deraz akan menyanyikan sebuah lagu,
padahal setahu Rieka Deraz tidak bisa suka menyanyi. Apalagi judul lagu
tersebut adalah “You’re I’m Thinking of”[3]. Apa nyana. Judul yang Deraz bawakan ternyata “Winning Days”[4] dan “Misread”[5], yang dalam pendengaran Rieka bagai ledekan atas
pengharapannya selama ini.
Apapun,
apapun Deraz pada Rieka, Rieka tidak bisa tidak menganggapnya sebagai
penolakan, kendati menurut Ipong apapun itu wajar. “Dia enggak ada maksud
apa-apa sama elo Ri. Emang elo enggak ada di dunianya dia. Di dunianya dia
emang enggak ada ceweknya,” kata Ipong setelah hampir setahun sekelas dengan
Deraz. “Kalau Dean cewek, dan bukan saudara kandung, nah, tipe kayak gitu yang
bakal dia jadiin pacar.” Hiburan Ipong sama sekali tidak lucu.
.
Satu
dari sedikit nilai positif pada diri seorang Haqi adalah sifatnya yang
pantang menyerah. Jam istirahat ini akan jadi kali ke sekiannya mendekati
Rieka, cewek yang secara sepihak mengaku-aku eksnya itu. Tidak susah menemukan
cewek itu di Kabita.
“Entar malam kamu kosong enggak, Ri?” tegur
Haqi, ikut mengantri sup buah di belakang Rieka. “Ke blitz yuk?” Intonasinya
selembut mungkin. “Ada film Thailand baru ceunah,
katanya kocak banget.”
Rieka
memandangnya sekilas plus ketus.
“Ri…?”
“Dari
awal juga kita tuh sama sekali enggak ada chemistry,
nyadar enggak sih?”
“Chemistry, hah, gue pernah belajar sih
yang gituan. Tapi sekarang kan gue anak IPS.”
Bibir
Rieka makin melengkung ke atas.
“Jauh-jauh
dari gue!” Rieka mengacungkan telunjuk pada Haqi, sementara tangan yang lain
menadah sup buah.
Mulut
Haqi terbuka. Kedua tangannya naik sebatas dada. Tampangnya bertanya.
Rieka
menghampiri Titew di titik favoritnya, ujung kantin.
“Kali
ini ngapain si Haqi?” tanya Titew sem-bari mengulum lolipop.
“Ngajakin
ke blitz. Huh kayak enggak tahu gue besok ada ulangan aja.”
“Elo
enggak ngasih tahu dia kalau besok elo ada ulangan?”
“Enggak
penting lah!”
Rieka
mengeluarkan ponsel dari saku atasan. Chasing
ponselnya berwarna putih, Rieka hias dengan tempelan-tempelan berbentuk
hati—mungil namun beraneka ukuran dan warna—yang menurut Juwita malah
membuatnya terlihat bak motif kolor cowok. Setidaknya penampakan ponsel Rieka
jadi menarik. Kini tonjolan-tonjolan tersebut dalam genggamannya terasa bagai
bintil-bintil di muka, Rieka ingin mencabuti semua, kalau perlu ganti ponsel
sekalian, tapi bagaimanapun Rieka harus membalas dulu sms dari Mama.
Dua
cewek mengisi tempat di seberang meja. Keduanya bertubuh tripleks, dengan
rambut berpotongan bob, dan
memancarkan aura eksis tanpa perlu upaya keras. Rieka bisa mengenali mereka walaupun
belum pernah berinteraksi sebelumnya. Yang lebih tinggi, dengan kuncir kecil
mengikal di belakang kepala, berhidung rada pesek, berkulit rada cokelat,
nyaris tanpa alis, dan cadel—Ola. Yang satu lagi bergestur gemulai dan mata
besarnya dinaungi helai-helai lentik—Anne. Padahal Anne satu SMP dengan
Rieka, tapi ia dilingkupi lingkaran tertentu yang tidak pernah beririsan
dengan lingkaran Rieka. “Sini, dahling,”
panggil si gemulai dengan lembut pada seorang lagi dalam rombongan mereka.
Cowok itu bergeming pada jarak kurang lebih satu meter, sesaat, sebelum
menurut pada para ratu untuk duduk tepat di depan Rieka. Rieka ingin mengucapkan
hal serupa pada cowok itu, dengan tambahan, “Aku enggak bakal nyakar kok, baru
potong kuku lagian.” Rieka bukan tipe cewek yang bakal waspada pada seseorang
yang ia tidak harapkan untuk menyukainya. Rieka tumbuh dengan kepercayaan
bahwa semua cowok memang menyukainya. Maka Rieka menyervis cowok itu dengan
senyum yang mengalirkan listrik.
“Hai,”
balas cowok itu, sembari mengeluarkan gel pembersih tangan dari saku
atasan, lalu mengusap-usap kedua belah telapak tangannya dengan itu sebelum
menyantap sebungkus cakue mini. Pemandangan yang terasa familier meski Rieka
tidak pernah perhatikan benar sebelum ini. Agaknya sejak SD selera cowok itu
tidak berubah. “Mang, cakuena hiji, Mang.
Sambelna saeutik we nya, Mang. Nu anyar keneh lah, Mang. Bonusan hiji deui lah, Mang. Ieu atuh gope deui, Mang[6].” Suara cowok itu kala masih bocah menyusup dalam
pendengaran Rieka.
Rieka
mengangkat kepala lagi. Barangkali cowok itu curi kesempatan untuk
mengamat-amatinya. Cowok itu melumat sebatang cakue sambil menunduk,
sesekali menoleh pada kedua temannya yang tengah mengoceh. Kiranya kehadiran
mereka natural tanpa pretensi. Rieka tidak serta merta melepaskan
tatapannya, yang malah melekat pada pipi cowok itu yang timbul tenggelam.
Andai pipi Dean tidak setirus itu… Tatapan Rieka merayap ke puncak kepala
Dean. Rieka membayangkan apabila rambut tersebut dipangkas cepak, baru ngeh,
sepertinya tekstur dan warna rambut si kembar rada berbeda, andai sama…
Tatapan Rieka meluncur sedikit ke bawah. Rieka membayangkan sekiranya tubuh itu
lebih tegap, berisi, dan acap disirami sinar matahari. Sementara benak Rieka
dipenuhi visualisasi, indra pendengaran mengambil alih. Sesekali logat Sunda
terdeteksi dalam perkataan yang cowok itu lontarkan pada teman-temannya, jauh
lebih berirama dibandingkan gaya kembarannya dalam berbahasa yang
cenderung formal. Bahkan ada yang bilang kalau bahasa Indonesia Deraz terlalu
baik dan benar. Tawa Ola dan Anne meledak. Agaknya Titew juga tergelak. “Tuh
kata Titew juga iya!” seru Dean. “Huahahaha…” jawab Titew. Andai pembawaan cowok
itu dibikin serius, lengkap dengan nada suaranya…
Lagu
wajib nasional dalam nada-nada monoton berkumandang. Anak-anak sontak
mengangkat pantat dari bangku. Lepas dari area Kabita Rieka menyadari kalau
ia sedang jalan beriringan dengan Dean. Rieka mendongak. Jangkung sekali cowok
ini! Dean pun baru menoleh. Mereka bertukar senyum sebelum menempuh arah yang
berbeda. Rieka sudah pernah bersanding dengan Deraz sebelumnya, dalam waktu
yang teramat singkat, yang tentu saja tidak selama itu. Ia bayangkan apakah
kesan seperti ini yang bakal dihasilkan apabila ia bisa jalan beriringan
dengan Deraz selama itu.
Ini
tahun kesembilan Rieka mempelajari IPA di sekolah. Rieka paham benar apa itu chemistry.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar