Selasa, 04 Desember 2012

II. Deraz

Pintu ruangan itu terbuka sedikit. Dari po­si­si­­nya duduk Rieka bisa melihat Deraz melalui ce­lah. Sepertinya cowok itu sedang duduk di kasur, ter­tawa-tawa entah dengan siapa, tapi memang be­ri­sik sekali cowok-cowok dalam ruangan itu. Deraz cu­man mengenakan singlet, ampuun!, sehingga mem­perlihatkan lengannya yang jenjang meski be­lang, dengan bongkah-bongkah di pangkalnya. Ri­eka berharap Deraz melucuti singlet itu, tapi yang le­pas malah sosoknya. Rieka terkesiap bertepatan de­ngan pintu ruangan yang terbuka. Lanskap suara men­dadak tak semeriah semula. Sempat terlihat De­raz sudah menutupi tubuh kekarnya dengan ka­os gombroh. Satu per satu cowok dalam ruangan itu ke­luar. Dimulai dari Ipong. Tatapan cowok ber­jam­bul itu langsung mengenai tatapan Rieka. Ia me­nye­ringai.

Ipong juga, yang di suatu Minggu siang nan te­rik dan tidak sampai tiga tahun lalu, mendapati Ri­eka mengamati seberang Jalan Banceuy (“Jalan Bra­ga dong, biar estetis!” kata Ipong) dengan gu­la­na. Sebagai seksi logistik Bazaar SMP saat itu, me­re­ka harus berburu beberapa komponen listrik. Teng­gat kian dekat tapi langkah Rieka malah me­lam­bat. Tatapan Ipong pun turut menyeberangi ja­lan. Sosok yang baru sekitar dua tahun kemudian ia ak­rabi sebagai Deraz tengah bersama cewek—ce­wek-cewek—ke arah yang berlainan. Lebih tampak se­perti sekelompok siswa yang sedang mencari ba­han untuk tugas, ketimbang date dengan banyak ce­wek sekaligus. Ipong ingin bilang begitu untuk me­lipur bahasa mata Rieka, tapi yang keluar malah, “Tam­pang lo mupeng banget sih Ri.”

Begitu pula kini.

Rieka pertama kali mengenal Deraz sebagai mu­rid pindahan dari kota kecil bernama Freiburg—ti­dak ada di titik manapun di peta Republik In­do­ne­sia. Hanya bisa berbahasa Inggris dan bahasa Jer­man. Ich bin Arderaz Haykal. Jangan pakai ba­ha­sa yang itu, Yaz, saya enggak ngerti. My name is Arderaz Haykal. Ini Deraz. Dean yang me­nge­nal­kan saudara kembarnya itu di depan kelas. hingga men­jadi interpreter saat yang lain ingin berkenalan lang­sung. Dean bilang selama ini Deraz diasuh oleh oma-opa buyut mereka di Freiburg, sedangkan De­an tetap dengan kedua orang mereka. Lalu oma lalu opa meninggal.

Secara otomatis upaya Deraz dalam ber­ba­ha­sa Indonesia menjadi bahan untuk berhaha-hihi, ta­pi kepiawaiannya dalam olahraga tanpa cela. Ti­dak sampai seminggu Deraz sudah dikenal jago da­lam sepak bola. Ia kemudian mengangkat harkat ke­las 5 di atas kelas 6, karena menyumbang banyak gol saat pertandingan persahabatan. Ternyata ia mam­pu menguasai bahasa Indonesia dalam waktu sing­kat, seiring prestasi akademisnya yang me­ning­kat. Ia juga murah senyum. Cewek-cewek mulai me­ngikik bahkan memekik setelah berpapasan de­ngan­nya. Tahun berikutnya selama beberapa hari ia di Jakarta untuk mengikuti konferensi anak, se­ma­kin menjadi kebanggaan sekolah. Popularitasnya me­ngalahkan anak manapun yang sebelumnya di­ang­gap populer, terutama di kalangan cowok. Co­wok populer sepantasnya berpasangan dengan ce­wek populer. Tidak ada cewek yang melebihi po­pu­la­ritas Rieka di SD negeri tersebut, kombinasi nyata ke­cantikan dan kepintaran. Sah dong kalau Deraz di­klaim laik untuk Rieka. Sayang masa SD tidak la­ma lagi.

Mereka juga tidak satu SMP. Rieka cuman bi­sa dengar kalau prestasi Deraz makin menjadi-ja­di di SMP. Berkali-kali digelari best speaker di ber­ba­gai turnamen debat, hingga mewakili sekolahnya un­tuk beberapa konferensi. Kirim Deraz untuk ber­kom­petisi, ia akan pulang dengan membawa se­su­a­tu yang patut dipajang dalam lemari. Mengetuai OSIS pun masih sempat. Belum kegantengannya yang membuat sekian banyak cewek terjerat.

“Liat apaan elo tadi?” tegur Ipong.

“Liat apa?” balas Rieka sok polos. Ia alihkan per­hatiannya ke mana-mana. Anak-anak sudah me­nu­ju ke tempat acara berikut akan diselenggarakan. Ia malah menumpangkan satu kaki di atas kaki yang lain. Begitupun kedua tangan di atas lututnya.

“Alah. Dari dalem gue ngeliat elo ngeliat ke si­­tu,” kepala Ipong menuding ke ruangan ia berasal.

“Ipong.” Mata Rieka menyorotkan rajukan.

“Susah ya. Keluar dari OSIS aja elo, atau pin­dah sekolah sekalian.”

“Ipoong…” Rieka merajuk betulan, seraya me­narik-narik lengan cowok berperawakan relatif ke­cil itu.

Ipong malah terkekeh. “Sabar Ri. Elo doain aja Deraz lolos AFS, betah di sana, dan enggak balik la­gi ke Indonesia,” suara Ipong serendah mungkin, wa­laupun tinggal mereka berdua di dalam ba­ngun­an vila tersebut. Lainnya sudah membentuk ling­kar­an di halaman berumput.

“Yah. Semoga…” Rieka berkata lesu.

“Ayo, Ri-eka, masak sekum telat?”

Rieka mengekor Ipong menuju halaman.

.

Ipong adalah satu dari sangat sedikit orang yang sadar untuk memanggil Rieka dengan “Ri-eka”, bukan “Rika”, itupun karena Rieka mem­be­ri­ta­hunya, jadi Ipong bukan pangeran yang tidak se­nga­ja menemukan sepatu kaca.

Di awal keterlibatan mereka di OSIS, dalam eu­foria Rieka, karena bakal berkesempatan banyak un­tuk berinteraksi dengan Deraz, bagaimanapun fre­kuensi dan intensitasnya, Rieka mengungkapkan se­buah harapan pada Ipong. “Dia bakal nyadar eng­gak ya, ada huruf ‘e’ di nama gue?”   

Tapi Deraz memanggil Rieka sebagaimana umum­nya, “Ri-ka”, itupun amat jarang. Mereka ti­dak satu divisi dalam kepengurusan, juga tidak per­nah dalam kepanitiaan apapun. Rieka pun paham ke­napa ada yang bilang takdir memang kejam.

“Deraz bukannya enggak tahu kalau nama elo ada ‘e’-nya,” hibur Ipong kala Rieka mengeluh. Ti­dak ada orang di SMA ini yang boleh tahu me­nge­nai Rieka pada Deraz selain Ipong, itupun karena Ipong sudah menjadi tempat sampah Rieka sejak SMP. Dan Rieka tidak mau tahu kalaupun ternyata ada yang lain yang tahu. Cukup Ipong. “Cuman kan elo tahu, dia pernah lama di Jerman gitu. Jadi dia nge­baca nama elo kayak cara orang Jerman gitu. Di Jer­man kan ‘ie’ dibacanya ‘i’ panjang.”

“O ya?”

“Iya. Jadi dia manggil elo tuh ‘Rii-ka’.”

“Iya gitu?”

“Iya. Elo tahu enggak gimana si Deraz mang­gil si Euis?”

“Euis yang mana ya?”

“Di Jerman tuh ‘eu’ dibaca ‘oi’, jadinya si De­raz manggilnya ‘Ois’.”

“Ah Ipong!”

“Beneran. Elo tahu enggak gimana si Deraz nye­but peuyeum?”

“Ah udah ah!”

Watir[1] jadi vatir. Geuleuh[2] jadi…”

Lembar analisis SWOT milik Deraz akhirnya sam­pai pada Rieka. Adalah inisiatif Dirgantara Jaya ali­as Kang Ega, eks mitratama, untuk lebih me­nge­nal satu sama lain dalam kesempatan ini. Apalagi ba­gi pengurus OSIS yang baru, penting tuh. Se­ka­li­gus Kang Ega secara halus ingin bilang, inilah ben­tuk pertanggungjawabannya agar sertijab ke­peng­u­rus­an OSIS “bernuansa kekeluargaan” ini bukan se­ka­dar malam hura-hura, toh sertijab resmi sudah di­helat minggu sebelumnya. Hembusan angin Lem­bang membuat anak-anak kian merapatkan jaket. Di­putuskan untuk pindah ke ruang tengah ba­ngun­an vila saja. Kertas itupun berada di tangan Rieka le­bih lama, menyerap kehangatannya, melalui jarak yang lebih jauh bersamanya, sebelum dioper-oper lagi dalam waktu yang kembali singkat hingga sam­pai ke tangan Deraz—semua ini entah bagaimana te­rasa sangat berarti bagi Rieka. Kasmaran adalah suatu hal yang teramat pelik.

Strength. Opportunity. Threat.

Kata-kata itu mengajak Rieka memikirkan De­raz kembali. Coba tanyakan pada Rieka SD, atau Ri­eka SMP, bukan pada Rieka SMA, di mana pe­no­lak­an yang ia alami sudah begitu banyak. Rieka ti­dak sanggup memikirkan Deraz kembali. Uh. OSIS ter­kutuk. Sejenak Rieka menyesal kenapa ia me­mu­tus­kan untuk memasuki SMA yang sama dengan De­raz, begitu melihat nama tersebut tercantum di la­man PSB lengkap dengan SMA tujuannya. Pa­da­hal ia, Deraz juga sebetulnya, bisa memasuki SMA de­ngan passing grade yang lebih tinggi. Untung De­raz bukan mitratama, maupun mitramuda, ka­re­na memang tidak mengajukan diri. Dengan posisi se­bagai sekum Rieka tidak bisa membayangkan apa­bila Deraz adalah mitratama. Sekum rektum. De­ngar-dengar Deraz sudah tidak begitu berminat de­ngan OSIS, tapi malah ditarik menjadi kabid I. Ka­bid I, heu, tentu saja. Deraz kan tidak pacaran. Pe­ngurus yang kompatibel untuk para anak alim.

Saya enggak pacaran.

Padahal pertanyaan itu yang paling ingin Ri­eka ajukan saat mewawancarai Deraz untuk ma­ja­lah semesteran LEMPERs—Lembaga Pers SMAN­SON—hampir setahun lalu. Rieka sekadar ingin ta­hu bagaimana tipe cewek yang Deraz sukai, ber­da­sar siapa saja yang pernah atau sedang ia pa­cari—in­formasi semacam itu tidak pernah sampai pa­da Ri­eka—barangkali Rieka bisa “menyesuaikan di­ri”? Ta­pi malah jawaban itu yang Rieka dapatkan. Ri­wa­yat pacaran Deraz: KOSONG—atau sama mis­te­ri­us­nya dengan segitiga Bermuda.

Weakness.

Pacaran dong, Raz. Sudah ada yang mengisi se­perti itu di kolom Weakness Deraz. Rieka me­nger­nyit.

Rieka termenung. Ia belum menoreh sepatah ka­tapun di lembar analisis SWOT Deraz. Too good to be true to be with me. Rieka membayangkan ka­ta-kata itu menempel di kertas, di kolom Weakness De­raz. Belum ada yang menulis seperti itu. Rieka mem­bayangkan bagaimana ekspresi Deraz ketika men­dapati kata-kata itu. Tipe seperti Deraz sih, ba­kal tanya orang-orang terdekatnya, “Siapa ya yang nu­lis ini?”, walaupun lembar tersebut seharusnya ha­nya untuk pribadi, lalu orang-orang bermulut em­ber itu bakal cari-cari, sebisa mungkin dapat!, hing­ga tersiar ke luar lingkup OSIS. Tahulah seperti apa kegigihan anak OSIS, apalagi menjelang dead­line Bazaar.

Weakness.

Pemarah. Jika Deraz pernah memarahi Ri­eka, sekali sih, apakah itu sudah cukup untuk me­nye­butnya sebagai pemarah? Rieka tidak bisa lupa. Di suatu jeda di kelas 6 di tengah sesama cewek ek­sis yang menjadi kliknya. Wajah gusar itu men­de­kat, tanpa kepikiran untuk mencari momen yang pri­vat. Sosok itu cuman menyampaikan dua ka­li­mat—yang mengingat logat Jermannya masih lekat, agak­nya ia siapkan benar-benar hingga bisa me­la­fal­kannya secara tepat. “Jangan. Ganggu. Dean,” ada­­lah kalimat pertama. “Saya. Enggak. Suka. Ka­mu,” adalah kalimat kedua.

Saya enggak suka kamu.

Sejak itu Rieka meragukan makna ‘sahabat’, ka­rena peristiwa Deraz menggertaknya tersiar de­ngan cepat. Seolah Rieka tidak sadar kalau kliknya se­lama itu memang penyebar gosip paling gahar, dan ia hanya salah satunya. Tapi kan situasi baik-ba­ik saja, selama untuk isu bernuansa negatif bu­kan ia yang dibicarakan. Teman-temannya memang ti­dak menjauh, tapi cewek-cewek yang sebelumnya ter­intimidasi oleh kliknya itu mulai berani bereaksi se­cara terang-terangan. Perseteruan antar klik ma­kin sengit. Ada yang tidak kalah kejam dari takdir, ya­itu anak SD. Pelaku bully terganas sepanjang ma­sa, dampaknya pada korban susah lekang hingga de­wasa.

Weakness.

Lembar analisis SWOT milik Deraz sudah pin­dah ke lain tangan. Sama sekali tidak ada tulisan Ri­eka di sana.

Tidak peka. Padahal Rieka ingin menulis itu. Sa­ngat tidak peka. Rieka kira di SMA Deraz telah lu­pa dengan perkara di SD. Agaknya demikian. En­tah juga Deraz masih ingat Rieka sebagai seseorang yang pernah satu SD dengannya atau malah tidak, itu yang Rieka takutkan. Tapi itu menjadi tidak be­gi­tu penting. Mereka satu gugus saat MOS, se­lan­jut­nya sayang sekali tidak sekelas, tapi setidaknya sa­ma-sama menjadi bagian dari OSIS. Ada saja ke­sem­patan untuk bertemu, berdekatan, bahkan me­nya­pa, walaupun belum tentu membuahkan ke­ja­di­an yang cukup berarti. Sekali Deraz menegurnya du­luan, Rieka menjadi yakin bahwa perkara di SD su­dah terlupa. Beberapa kali Rieka yang ber­ini­si­a­tif, sekadar beroleh senyum pun sudah me­mu­as­kan, tapi respons Deraz memang jarang yang lebih da­ri itu. Kesempatan untuk mengobrol pun tidak per­­nah lama, tidak cukup banyak. Tapi Deraz tidak ter­kesan menjaga jarak dari Rieka kok, Ipong me­ya­kinkan, seperti itulah Deraz pada setiap cewek.

Terakhir. Ingatan itu melayap dalam kepala Ri­eka saat cowok-cowok membuat api unggun di ha­laman. Gelap telah membayang. Deraz genjrang-gen­jreng di teras vila, mengiringi nyanyian Ipong yang nadanya sulit dicerna. Saat itu juga hampir se­per­ti saat ini. Pesta ulang tahun Rieka yang ke-16, ah, sudah berkubang jelantah di benak. Ipong mem­beritahu Rieka bahwa Deraz akan me­nya­nyi­kan sebuah lagu, padahal setahu Rieka Deraz tidak bi­sa suka menyanyi. Apalagi judul lagu tersebut ada­lah “You’re I’m Thinking of[3]. Apa nyana. Judul yang Deraz bawakan ternyata “Winning Days[4] dan “Misread[5], yang dalam pendengaran Rieka bagai le­dekan atas pengharapannya selama ini.

Apapun, apapun Deraz pada Rieka, Rieka ti­dak bisa tidak menganggapnya sebagai penolakan, ken­dati menurut Ipong apapun itu wajar. “Dia eng­gak ada maksud apa-apa sama elo Ri. Emang elo eng­gak ada di dunianya dia. Di dunianya dia emang eng­gak ada ceweknya,” kata Ipong setelah hampir se­tahun sekelas dengan Deraz. “Kalau Dean cewek, dan bukan saudara kandung, nah, tipe kayak gitu yang bakal dia jadiin pacar.” Hiburan Ipong sama se­kali tidak lucu.

.

Satu dari sedikit nilai positif pada diri se­o­rang Haqi adalah sifatnya yang pantang menyerah. Jam istirahat ini akan jadi kali ke sekiannya men­de­kati Rieka, cewek yang secara sepihak mengaku-aku eksnya itu. Tidak susah menemukan cewek itu di Kabita.

 “Entar malam kamu kosong enggak, Ri?” te­gur Haqi, ikut mengantri sup buah di belakang Ri­eka. “Ke blitz yuk?” Intonasinya selembut mungkin. “Ada film Thailand baru ceunah, katanya kocak ba­nget.”

Rieka memandangnya sekilas plus ketus.

“Ri…?”

“Dari awal juga kita tuh sama sekali enggak ada chemistry, nyadar enggak sih?”

Chemistry, hah, gue pernah belajar sih yang gi­tuan. Tapi sekarang kan gue anak IPS.”

Bibir Rieka makin melengkung ke atas.

“Jauh-jauh dari gue!” Rieka mengacungkan te­lunjuk pada Haqi, sementara tangan yang lain me­nadah sup buah.

Mulut Haqi terbuka. Kedua tangannya naik se­batas dada. Tampangnya bertanya.

Rieka menghampiri Titew di titik favoritnya, ujung kantin.

“Kali ini ngapain si Haqi?” tanya Titew sem-ba­ri mengulum lolipop.

“Ngajakin ke blitz. Huh kayak enggak tahu gue besok ada ulangan aja.”

“Elo enggak ngasih tahu dia kalau besok elo ada ulangan?”

“Enggak penting lah!”

Rieka mengeluarkan ponsel dari saku atasan. Chasing ponselnya berwarna putih, Rieka hias de­ngan tempelan-tempelan berbentuk hati—mungil na­mun beraneka ukuran dan warna—yang menurut Ju­wita malah membuatnya terlihat bak motif kolor co­wok. Setidaknya penampakan ponsel Rieka jadi me­narik. Kini tonjolan-tonjolan tersebut dalam geng­gamannya terasa bagai bintil-bintil di muka, Ri­eka ingin mencabuti semua, kalau perlu ganti pon­sel sekalian, tapi bagaimanapun Rieka harus mem­balas dulu sms dari Mama.

Dua cewek mengisi tempat di seberang meja. Ke­duanya bertubuh tripleks, dengan rambut ber­po­tong­an bob, dan memancarkan aura eksis tanpa per­lu upaya keras. Rieka bisa mengenali mereka wa­laupun belum pernah berinteraksi sebelumnya. Yang lebih tinggi, dengan kuncir kecil mengikal di be­lakang kepala, berhidung rada pesek, berkulit ra­da cokelat, nyaris tanpa alis, dan cadel—Ola. Yang sa­tu lagi bergestur gemulai dan mata besarnya di­na­ungi helai-helai lentik—Anne. Padahal Anne satu SMP dengan Rieka, tapi ia dilingkupi lingkaran ter­ten­tu yang tidak pernah beririsan dengan lingkaran Ri­eka. “Sini, dahling,” panggil si gemulai dengan lem­but pada seorang lagi dalam rombongan me­re­ka. Cowok itu bergeming pada jarak kurang lebih sa­tu meter, sesaat, sebelum menurut pada para ratu un­tuk duduk tepat di depan Rieka. Rieka ingin meng­ucapkan hal serupa pada cowok itu, dengan tam­bahan, “Aku enggak bakal nyakar kok, baru po­tong kuku lagian.” Rieka bukan tipe cewek yang ba­kal waspada pada seseorang yang ia tidak harapkan un­tuk menyukainya. Rieka tumbuh dengan ke­per­ca­yaan bahwa semua cowok memang menyukainya. Ma­ka Rieka menyervis cowok itu dengan senyum yang mengalirkan listrik.

“Hai,” balas cowok itu, sembari me­nge­lu­ar­kan gel pembersih tangan dari saku atasan, lalu meng­usap-usap kedua belah telapak tangannya de­ngan itu sebelum menyantap sebungkus cakue mi­ni. Pemandangan yang terasa familier meski Rieka ti­dak pernah perhatikan benar sebelum ini. Agak­nya sejak SD selera cowok itu tidak berubah. “Mang, cakuena hiji, Mang. Sambelna saeutik we nya, Mang. Nu anyar keneh lah, Mang. Bonusan hi­ji deui lah, Mang. Ieu atuh gope deui, Mang[6].” Su­a­ra cowok itu kala masih bocah menyusup dalam pen­dengaran Rieka.

Rieka mengangkat kepala lagi. Barangkali co­wok itu curi kesempatan untuk mengamat-amati­nya. Cowok itu melumat sebatang cakue sambil me­nun­duk, sesekali menoleh pada kedua temannya yang tengah mengoceh. Kiranya kehadiran mereka na­tural tanpa pretensi. Rieka tidak serta merta me­le­paskan tatapannya, yang malah melekat pada pipi co­wok itu yang timbul tenggelam. Andai pipi Dean ti­dak setirus itu… Tatapan Rieka merayap ke pun­cak kepala Dean. Rieka membayangkan apabila ram­but tersebut dipangkas cepak, baru ngeh, se­per­ti­nya tekstur dan warna rambut si kembar rada ber­be­da, andai sama… Tatapan Rieka meluncur sedikit ke bawah. Rieka membayangkan sekiranya tubuh itu lebih tegap, berisi, dan acap disirami sinar ma­ta­hari. Sementara benak Rieka dipenuhi visualisasi, in­dra pendengaran mengambil alih. Sesekali logat Sun­da terdeteksi dalam perkataan yang cowok itu lon­tarkan pada teman-temannya, jauh lebih ber­ira­ma dibandingkan gaya kembarannya dalam ber­ba­ha­sa yang cenderung formal. Bahkan ada yang bi­lang kalau bahasa Indonesia Deraz terlalu baik dan be­nar. Tawa Ola dan Anne meledak. Agaknya Titew ju­ga tergelak. “Tuh kata Titew juga iya!” seru Dean. “Huahahaha…” jawab Titew. Andai pembawaan co­wok itu dibikin serius, lengkap dengan nada su­a­ra­nya…

Lagu wajib nasional dalam nada-nada mo­no­ton berkumandang. Anak-anak sontak mengangkat pan­tat dari bangku. Lepas dari area Kabita Rieka me­nyadari kalau ia sedang jalan beriringan dengan De­an. Rieka mendongak. Jangkung sekali cowok ini! Dean pun baru menoleh. Mereka bertukar se­nyum sebelum menempuh arah yang berbeda. Ri­eka sudah pernah bersanding dengan Deraz se­be­lum­nya, dalam waktu yang teramat singkat, yang tentu saja ti­dak selama itu. Ia bayangkan apakah kesan seperti ini yang bakal dihasilkan apabila ia bisa jalan ber­iring­an dengan Deraz selama itu.

Ini tahun kesembilan Rieka mempelajari IPA di sekolah. Rieka paham benar apa itu chemistry.



[1] Sunda: kasihan

[2] Sunda: jijik

[3] Performed by Relish

[4] Performed by The Vines

[5] Performed by  Kings of Convenience

[6] Sunda: Mang, cakuenya satu, Mang. Sambelnya sedikit aja ya, Mang. Yang masih baru lah, Mang. Bonusin satu lagi lah, Mang. Ini atuh gope lagi, Mang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain