Di
antara sepuluh jari, dan bidang di mana mereka berpijak, kini hanya sepasang
yang bekerja paling giat. Bertalu-talu kepala jempol diadu dengan tuts-tuts.
Kedelapan lain pasrah tidak lagi bertukar panas alami, melainkan menopang
kotak kecil yang diklaim mampu merangkum kehidupan bahkan menjembatani
kehangatan.
Pasangan
yang pernah diklaim paling hangat di SMANSON, lalu sempat WIKA[1] mereka rusak, kini agaknya telah terbiasa dengan
yang adem. Masih terlihat mereka beriringan, berhadapan, tanpa sentuhan-sentuhan
yang dulu membuat mereka khas dibandingkan pasangan-pasangan lain di SMANSON.
Para
peramai-penggembira yang notabene cowok pun menyimpulkan bahwa pacaran tidak
mengganggu stabilitas hati, selama adu fisik tidak jorjoran. Bagaimanapun
mereka sangat terpengaruh oleh adegan berupa aksi, baik yang bikin senang
maupun sebaliknya. Enggak aksi, enggak cowok.
Cowok
yang cepat belajar akan menghindarkan diri dari mengulangi kesalahan. Rieka
tahu Dean berusaha menghindari fisiknya, walau tidak kentara bak upaya
cowok-cowok DKM. Dean tidak menarik tangannya yang tersentuh, bergeming saja,
dan tidak menuntut lebih. Ia tampak alamiah, walau matanya bukan lagi mata
yang biasa. Binarnya samar-samar.
Rieka
yang veteran OSIS, dan tanggungan formalnya hanya akademis, memasak hampir
tiap pagi, padahal dulu hanya hanya beberapa hari sekali. Menelusuri lagi di
internet, bahan-bahan sarat lemak dan kalori. Tidak lagi saling menyuapi, Dean
bisa makan sendiri. Ia makan dengan lahap, sampai tandas, kecuali potongan
cabai, bawang, dan semacam. Rieka harus bersabar sampai pipi itu isi lagi, sekaligus
memikirkan bagaimana mata itu isi juga.
Sesekali Rieka putus harap. Ia ajak Dean makan junk food saja sepulang sekolah… sementara ia sendiri pesan
salad.
Sekadar
ke McD atau KFC terdekat. Rieka tinggalkan mobilnya, si March. Membonceng Dean
naik Hattori, yang mana jok belakang lebih menjulang. Dean tersentak begitu
Rieka peluk erat dari belakang. Rileks selanjutnya. Mau ke mana, Sayang?
Sekadar supaya ada percakapan toh sudah pasti tujuan. Rieka pun sekadar ingin
merasakan. Dean yang begitu kurusan. Tidak lama kemudian lengan Rieka
lepaskan.
“…kemarin
malam, chatting sama Deraz. Pas lagi
di Istanbul katanya liat darwis, yang nari muter-muter itu loh…” Dean
memeragakan dengan telunjuk, sedang tangan yang satu menggenggam burger
ukuran raja, sebelah pipi gembung oleh campuran roti, salad, keju, daging,
bombay, macam-macam. “Tadinya pingin nyoba, tapi katanya sepatunya yang nari
itu dikasih paku. Enggak jadi deh…” Mulut Dean melahap lagi. Sesungguhnya Dean
mampu makan sangat banyak. Rieka sengaja beli burger ukuran ratu untuk dirinya
sendiri, yang hanya ia icip sedikit, selanjutnya biar suruh Dean yang
habiskan. “Terus dia habis ketemu saudaranya Opa di Freiburg… warisan gitu…
tapi enggak sempat ngurus.” Rieka tahu. Rieka juga baca blog Deraz, yang cowok itu buat semenjak ia resmi jadi pelajar
yang ditukar. Blog trilingual, Rieka
cuman baca posting berbahasa
Indonesia.
Rieka
memasang sebelah earphone ke lubang
telinga Dean, sebelah lagi untuk telinga sendiri. Rieka menyetel “In The Sun” dari She and Him, just another Zooey’s song, Ipong
silahkan meledek. Repeat track,
sampai Dean menyadari. Ekspresi tercenung sesaat, mata ke lain arah, lalu burger
milik Rieka mulai dijamah, dicuili.
Rieka
mendapat tatapan Dean lagi. Sorot yang lembut sekaligus Rieka belum pernah
lihat.
“Ri…
Ri-eka.”
“Iya…”
“Kamu
mau nungguin aku?”
Tentu
saja Rieka akan menungguimu menghabiskan makanan, Dean. Masih ada sekotak
lagi kentang goreng, yang jatah Rieka, juga untuk Dean.
“Nunggu
aku sampai jadi sesuatu?” lanjut Dean.
Jeda.
“Sesuatu
yang bisa ngebanggain kamu?”
Rieka
terus diam.
Rieka
selalu mengira ia dan Dean akan menempuh jalur yang berbeda selepas SMA—
jurusan yang beda, fakultas yang beda, bahkan perguruan tinggi yang beda—dan
kini pikirannya melanjutkan, akan ada orang-orang baru yang berbeda pula untuk
satu sama lain… lingkaran mereka akan semakin banyak, semakin melebar, dan
belum tentu beririsan… orang baru yang lebih baik dan lebih tepat, mungkin,
untuk satu sama lain. Rieka segera kembali ke hari ini. Ia masih bersama
Dean, dan mungkin akan terus bersama sampai habis sisa masa SMA, lalu menempuh
jalur yang berbeda… sebelum lingkaran pikiran itu melarutkannya lagi, Rieka segera
kembali ke hari ini.
“Kamu
udah yakin mau ke… Kedokteran Gigi sama Hukum?” Ganti topik. Ganti raut. Rieka
merasa sedikit lebih lega. Tanyakan hal yang sama pada Dean, hal ke mana ia
hendak melanjutkan. Cowok itu menggeleng. Senyumnya tipis.
Dean
terlalu kenyang untuk bangkit, tapi Rieka tidak bisa mengemudikan Hattori…
Tawa yang geli. Mari tunggu sebentar, sampai Dean cukup ringan untuk
mengantarkan Rieka kembali pada March.
Persoalan
dimulai. Dean di atas Hattori selalu di belakang, tidak berusaha menyusul
atau menyamping, Rieka dalam March yang tidak kena angin, debu, dan razia.[2] Tidak usah sampai rumah, Dean, Rieka sudah berpesan.
Cowok itu pun membelok di suatu pangkalan ojek.
.
Uak
dan istrinya bertolak dari San Fransisco, karena panggilan anak mereka yang
berdiam di rumah Papa Rieka. Kak Mita akan menikah, yang asumsi Rieka
disebabkan oleh pacar cewek tersebut lupa kenakan pengaman. Bagaimanapun Rieka
acap melihat benda-benda di kamar Kak Mita, yang sebenarnya Rieka tidak mau
ketahui fungsinya sampai ia sendiri menikah kelak. Namun Rieka telah tahu,
Rieka telah menduga, walau barangkali tidak seorangpun mengira hal yang sama.
Malam
setelah unduh mantu majalah-majalah bridal
bertumpuk di sofa tengah rumah Rieka. Istri Uak dan Mama Rieka menghabiskan
waktu lama untuk memperbincangkan setiap halaman dalam majalah. Padahal
konsep pernikahan telah diputuskan dengan besan.
“Enggak
apa-apa… besok buat Eka yang kayak gitu aja…” kata Istri Uak.
Rieka
yang mengamati dari jarak cukup jauh terperangah diam-diam.
“Emang
si Eka mau dinikahin kapan gitu, Ma? Mau sekalian besok juga?” tegur Papa Rieka
yang baru nimbrung.
Rieka
menggeleng walau tidak satupun melihat.
“Ya
tergantung anaknya aja gimana… sama siapa…” kata Mama Rieka.
“…sama
siapa ya, Ma?”
“Pacarnya
yang sekarang kayak gimana?” tanya Istri Uak.
Palu
di balik dada Rieka berdentum.
“Hahaha….
Dean!” Papa Rieka tergelak. Ia yang pernah mencita-citakan Dean sebagai biker yang santun berbahasa Sunda.
Wajah
Rieka mengerut.
“Ya
gimana entar aja lah, Ceu… Masih jauh…” kata Mama Rieka.
“Ah
paling berapa tahun lagi sih. Sekarang aja Mita baru dua-dua… Nikah muda kan
sekarang lagi ngetren…!” suara Istri Uak.
Rieka
meninggalkan arena.
.
“Cowok
elo enggak cemburu?”
“Enggak
apa-apa. Dia juga suka kok jalan sama temen-temen ceweknya.”
“…’temen-temen’
kan.”
Cemburu
sama Ipong, Dean pun tahu itu gagasan yang aneh. Dalam hal tertentu Dean
memiliki pandangan yang sama dengan Rieka soal Ipong. Ipong, yang saat ikut
ekskul teater di SMP selalu ditunjuk untuk memerankan cewek berkat suara dan
tinggi badan yang ia miliki. Jika saja Ipong memiliki suara yang berat,
badan yang menjulang, tiap orang bakal memandangnya sebagai cowok garang.
“Temen-temen
elo setipe semua sih, yang annoying
gitu.”
“Makanya.
Gue lebih seneng curhat sama elo,” senyum Rieka, yang menurutnya bercerita pada
Ipong sama seperti bercerita pada cewek dengan tipe lain, yaitu tipe yang
lebih senang bergaul dengan cowok ketimbang dengan “sesama” cewek.
Makanan,
minuman, sofa, dan suasana, semua telah kondusif bagi Rieka untuk mengungkapkan
kegundahan. Ruang semacam itu bertebaran di banyak titik di Kota Bandung.
“Gue
rasa… gue takut sama Dean.”
Ipong
yang heran, Rieka tidak heran.
“Takut
kenapa?”
“Gue
pikir… Dean serius banget sama gue…” …teringat Dean telah memintanya untuk “menunggu”…
“…dia pernah ngomongin soal anak…” saat jalan-jalan melintasi suatu perumahan
Dean bertanya rumah seperti apa yang Rieka inginkan, dan tentu saja Rieka
menyembunyikan insiden di ruang tamu, “…gue kan enggak sampai kepikiran dia sebagai
future husband…”
“Bukannya
kalian udah married gitu ya?”
“Itu
kan di Facebook.”
Ipong
seolah kaget.
“Pacaran
ya pacaran aja, nikah urusan lain lagi…”
“Ya
udah enggak usah dipikirin.” Ipong mengoyak lapisan berbentuk hati di atas cappuccino pesanannya.
“Enggak
usah dipikirin terus anak gue sama dia udah lima aja…” sungut Rieka.
“Oh
dia pingin anak lima?”
“Genap
sih. Dia pinginnya jumlah yang cewek sama yang cowok sama.”
Ipong
terkekeh. “Terus elo enggak pingin dia jadi suami elo gitu?”
“Enggak
tahu!” sergah Rieka. “Gue belum siap aja, Pong, kalau kudu mikirin soal itu mah. Gue kan masih pingin kuliah, kerja,
dapet gaji dulu sepuluh juta… per bulan! …masih so long banget enggak sih gue nikah tuh? Sementara Dean tuh mikirnya
kayak itu tuh udah di depan mata banget… tapi gue herannya malah dia enggak
kepikiran soal kuliah, kerja, atau apa. Dia masih enggak tahu coba, mau ngisi
apa buat SNMPTN, mau kuliah di mana…”
“Ya
udah elo aja yang mikirin itu, dia mikirin sisanya, soal anak dan sebagainya
itu, saling ngelengkapin kan,” tukas Ipong.
“Iiih
Ipong!” seru Rieka dengan gemas.
“Ya
elo juga kan yang awalnya pingin sama dia.”
“Iiyaa…”
“…sampai
elo bela-belain dia bisa dapat jatah gig lah,
apalah.”
“Iya.
Gue sampai bikin proker khusus gitu tahu enggak sih, buat dia, biar dia tuh
rada… istilahnya apa ya… ya lebih beres aja lah, lebih enak diliat…”
…lebih punya karisma… “…ya ampun, Pong, gue tuh.. sayang… sama dia. Tapi gimana
ya,” Rieka menyibak rambutnya yang panjang, “perasaan gue ke dia tuh sebenernya
lebih kayak ke ingin ngerawat gitu, pingin supaya dia bisa lebih baik,
terlepas dari kita bisa everlasting
apa enggak. Toh pasti entar ada waktunya kita nemuin jalan masing-masing… Ya
intinya gue seneng aja ngurus dia. Gue seneng bisa marah-marahin orang tanpa
orang itu nyerang gue balik… enggak kayak kalau sama elo gitu, Pong!”
Ipong
tergelak.
“Aneh
enggak sih perasaan kayak gitu?”
“Yang
marah-marah?”
“Enggak…
Yang gue pingin ngurus dia…”
“Enggak
tahu sih ya,” Ipong menyeruput isi cangkir di tangan, “mungkin karena elo
enggak punya adik kali ya.”
“Elo
gitu sama adik-adik elo?”
Ipong
mengedikkan badan. “Enggak. Udah ada orangtua gue ini.”
“Ah
Ipong…”
Diam
sejenak. “Gimana ya Ka… gini kali ya, ibarat elo ini petani yang nanam padi.
Elo rawat padi elo sampai bagus, kasih pupuk, ini itu, hamanya elo cabutin,
sampai padi elo hijau, bagus…”
“…ya,
gue sempet punya analogi gitu juga, tapi enggak persis sih, at least gue enggak mikir sampai padi…”
karena Rieka jarang melihat sawah di Kota Bandung, kalau bukan sudah tidak ada
sama sekali.
“…tapi
ya padi bukan rumput, Ka. Dia kan masih harus kuning dulu baru bisa diambilin
padinya. Dan dia enggak bisa sampai ke situ kalau ujug-ujug elo ninggalin dia. Elo yang nanem dia, dia bergantung
saa elo buat ngerawat dia, kalau enggak jadinya ya ilalang semua…”
“Kok
kesannya kayak gue yang bertanggung jawab sama dia gitu sih?” sela Rieka.
“Ya
emang elo tanggung jawab! Elo udah numbuhin perasaan gitu ke dia, ngebiarin
dia deket sama elo. Menurut gue sih sebenernya si Dean tuh rada obsesif sama
elo, cuman ya dia enggak berani ngekang elo. Elonya aja yang coba pengertian.
Sekarang udah deh. Gue tanya sama elo, elo mau lanjut sama dia apa enggak…”
Rieka
diam.
“Dia
udah sampai taraf ngeganggu enggak buat elo?” kejar Ipong.
“Enggak,
Pong,” Rieka menggeleng. “Gue takutnya cuman pas dia nyinggung-nyinggung soal
masa depan sama gue aja. Kalau enggak ya gue fine-fine aja sama dia.”
“Ya
udah, enggak usah elo pikirin. Kalau dia nyinggung lagi ya enggak usah terlalu
ditanggepin lah. Emang sering ya dia nyinggung?”
“Enggak
juga sih.”
“Elo
masih enjoy sama dia?”
“…masih…”
“Ya
udah, enggak ada masalah kan kalau gitu…” Ipong mengangkat lagi cangkir yang
semula sudah diletakkan di meja. “…terus pas gue ketemu elo lagi tahu-tahu
anak elo sama dia udah lima aja…” Ipong terbahak.
“Ah
Ipong…” Bahu Rieka turun. Ia belum juga menyentuh pesanannya, yang sudah
sedari tadi datang.
“Kalau
menurut gue sih, elo malah mestinya nyontoh si Dean tuh,” lanjut Ipong. “Dia
tuh jujur. Apa adanya. Kalau dia pingin sesuatu, ya dia tunjukin sama elo…”
mengingatkan Rieka akan insiden di ruang tamu itu lagi—hih!
“Elo
kok malah jadi belain dia gitu sih, Pong?”
“Setelah
segala yang elo lakuin sama gue, gimana gue enggak jadi simpatik sama dia?”
Ipong melahap potongan pancake.
“Apalagi sekarang ini kan dia yang pastinya sering banget ngabisin waktu sama
elo.”
“Ya
Ipong. Gue kan udah minta maaf…” sahut Rieka segera. Duhai Ipong. Sentimennya
kumat!
“Baru
kali ini, Ka, gue liat elo bener-bener sayang sama cowok elo. Sama cowok-cowok
sebelumnya kan elo enggak pernah. Gue merhatiin!—sedari kita SMP!”
Rieka
benar-benar harus segera mencarikan cewek untuk Ipong.
“Gue
bener-bener maafin elo kalau elo mau ngaku ke Deraz.”
“Ya
ampun Ipong…” Rieka tercengang. “Masih aja elo ungkit-ungkit… Deraznya aja
udah enggak ada…”
“Deraz
tuh masih ada. Dia cuman pelesir bentar ke Jerman.”
Rieka
tidak berkata-kata. Padahal sudah lama ini ia berhasil tidak memikirkan Deraz
lagi, dibayang-bayangi cowok itu. Rieka tidak tahu bagaimana ia bisa
bilang pada Ipong. Ipong pasti menyanggah. Mending Rieka mengalah.
“Sana
tuh, elo… kayak lagu favorit elo itu… naik sepeda ke bukit…”
“…ngapain?”
“…nyariin
Deraz terus elo ungkapin semua ke dia. Perasaan elo yang sebenernya. Kalau elo
suka, bilang suka! Kasih tahu dia yang sejujurnya. Kalaupun elo ditolak, elo
enggak bakal nyeselin itu!” Ipong akhirnya ingat judul lagu yang ia maksud,
“AITAKATTA[3]! Kalau perlu elo nyanyiin lagu itu dulu sampai
sepuluh kali!”
Rieka
termangu.
“Ya
biar enggak ngeganjel aja gitu. Nge-clear-in…”
“…terus
apa gue mesti bilang yang sejujurnya juga sama Dean…?”
Ipong
menggeleng. “Jangan, ke dia mah. Kasihan.”
Punggung
Rieka terhempas ke sandaran sofa.
Dari
kafe Ipong mengajak Rieka berkaraoke. Alf menyusul dengan motor. Alf diminta
Ipong untuk mengajarkan tarian ala JKT 48 pada Rieka, walau Ipong sendiri
piawai menginjak-injak dance stage di
mesin Dance Dance Revolution. Bagaimanapun Alf adalah kawan yang fasih
dalam menyanyikan baik lagu-lagu J-Pop maupun K-Pop. Sepulang dari
berkaraoke Ipong menyumpah-nyumpah tidak bakal menyentuh genre itu lagi.
.
Rieka
mencoba untuk menuruti titah Ipong, saat di Facebook ia menemukan Deraz sedang
online. Ia membuka kotak obrolan
dengan cowok itu, namun tidak segera mengetikkan sesuatu. Ia bayangkan
mengatakannya pada Deraz.
Deraz.
Deraz.
Saya…
Saya…
Saya
suka…
Saya
suka sama kamu.
Saya
suka sama kamu.
Saya
pernah suka sama kamu.
Deraz
offline. Rieka menunggu. Deraz tidak
kunjung online sampai Rieka
memutuskan untuk tidur malam itu.
Segera,
ketika Rieka mendapat kesempatan kondusif dengan Ipong untuk melaporkan.
“Aku
enggak bisa… bilang gitu sama Deraz…”
Ipong
menanti Rieka melanjutkan.
“Itu
kayak elo ngatain sesuatu yang padahal elo enggak gitu… itu kan… eu… apa ya
istilahnya… muna, gitu…”
Ipong
melongo saja.
Sekalian
Ipong pun ingin mengatakan.
“Tahu
enggak kenapa Deraz enggak bisa suka sama elo?”
Misteri
terbesar dalam kehidupan Rieka.
“Kenapa?”
“Ya
makanya, elo sekalian bilang sama dia, sekalian nanya…”
“Ipong!”
Cowok
itu terkekeh.
“Elo
tahu, sering si Deraz tuh disinggung soal cewek…” Perhatian Rieka langsung
terpusat. “Biasanya kan diem aja… enggak komen… disinggung terus…
ditanya-tanya lah, tipenya kayak gimana… Enggak tahu. Masak dia bilang enggak
tahu? Ditanya we, kalau tipe cowok
gimana…” Rieka menyimak dengan dada berdebar, “…dia ketawa aja… Terus gue
nanya we ke dia, kalau tipenya kayak
si Rieka gimana… Raz. Si Rieka kan cantik, pinter, bla bla bla…” Ah Ipong.
Rieka tersipu. “Terus Deraz bilang… Rika itu… gimana ya…” nada Ipong menjelma
nada yang biasa Deraz gunakan, “…dia terlalu mirip sama ibu saya. Oh, kamu
enggak suka tipe yang kayak ibu kamu, Raz? Ceuk
gue teh. Deraz geleng-geleng.
Kok Dean suka? Gue nanya lagi.” Rieka sadar dari terbius. “Enggak sempet
kejawab, soalnya waktu itu teh lagi
pas ngapain lah, gue lupa.” Rieka kembali terbius dalam kemenungan. “Ya gue jadi
mikir aja kalau si Dean tuh mother
complex.”
Tidak
terpikir oleh Rieka sebelumnya. Ia menyerupai sosok yang ia kagumi.
.
Perpustakaan,
baik di sekolah maupun di kafe, menjadi pilihan Rieka untuk tempat ia dan Dean
belajar bareng. Dikitari berderet-deret buku bikin Dean malas berpaling ke
mana-mana. Fokusnya hanya Rieka atau bentangan buku-buku di bawah dagu, atau
Bumblebee.
“Kamu
kayaknya cocok di Komunikasi deh, Yan.” Rieka alihkan perhatian Dean dari Bumblebee.
Rieka dengan buku kumpulan soal IPC, sedang Dean dengan buku kumpulan soal
IPS, saling berbagi soal—tentu saja Rieka tidak akan serahkan soal IPA pada
Dean. “Kamu kan biasanya ceriwis banget,” walau belakangan tidak. Setahu Rieka
Komunikasi dan Akuntansi adalah jurusan yang paling diidamkan di kelas IPS.
Dean lemah di Akuntansi, coret Akuntansi.
“Komunikasi,
terus satunya apa?” tanggap Dean dengan nada malas. Kepalanya terkulai di atas
kumpulan soal.
“Sastra?”
Rieka asal.
Dean
menggeleng dengan kepala tetap menempel. “…enggak suka baca yang berat-berat…”
“Sosiologi…
apa kek.” Rieka tutupi kejengkelan dengan menekuni barisan soal lagi. Sekiranya banyak jurusan di ranah IPS yang
bisa jadi tepat untuk Dean, mengingat kepribadian Dean yang senang
bersosialisasi—anggap saja terkait. Yang diherankan adalah Dean tidak
menunjukkan minat pada satupun. Jurusan apapun sepertinya bakal sama saja
bagi Dean.
Dean
mengangkat kepala. Kini tubuhnya sempurna menghadap Rieka, dengan kedua lengan
memagari tepian kumpulan soal. “Bunda ngasih gue dua pilihan.” Gumaman Rieka
tanda menyimak. “Pertama, sekolah yang bener, terus terserah mau nerusin ke
mana.” Dean bicara seperti zombi. “Terserahnya tuh terserah mau di UNPAD, atau
di UNPAR… atau SBM ITB… yang disebut Bunda baru itu aja sih.” Dean menggaruk
kening dengan ujung jari. “Yang kedua… Bunda ngizinin kalau gue fokus di
piano… asal di Berklee.”
“Ber…?”
“Ya…
kayak sekolah musik gitu deh. Tapi jauh. Jauh banget. Enggak kebayang lah
jauhnya kayak gimana. Pokoknya antah berantah…” Dean mengacak rambut bagian
belakang. Raut yang malas.
“Berklee?”
Serasa sering dengar, di tabloid, di majalah, sekolahnya orang-orang
terkenal.
“Ceuk si Ayah mah… ngapain sih jauh-jauh…
kan di Bandung juga ada… STSI, Jakarta IKJ, paling banter ISI… nu di Jawa keneh.”
“Terus?”
“Kata
si Pak Al gue enggak ada masa depan di klasik, mending gue belajar kontemporer
aja di Berklee. Itu orang bisanya nyusahin aja, bener deh…” gerutu Dean.
“…dulu juga pas awal-awal gue les sama dia kan, sebenernya dia emang udah pingin
ngarahin gue, cuman kan waktu itu gue masih kecil, Bunda enggak pingin
mempersempit masa depan gue.” Dean menggaruk kening lagi. “Pas yang sekarang
juga, pas Bunda pingin ngelesin gue lagi, kayak enggak ada pilihan aja, ke si
Babah lagi. Gue mah di tempat les musik biasa juga enggak apa-apa, yang ngajar
mbak-mbak muda, cantik…” Badan Dean condong pada Rieka. “…percaya, Neng, yang
paling cantik di hati aku cuman kamu…”
Namun
bukan itu yang penting bagi Rieka. Rieka meraup tangan Dean bagai menggapai
bintang. “Kayaknya emang lebih baik kamu ngikutin passion kamu, Yan.”
“Passion?” ulang Dean seperti baru mendengar
kata tersebut untuk pertama kali.
“Iya...
Lagu-lagu yang suka kamu kasih ke aku itu, lagu buatan kamu sendiri…?
Lagu-lagunya Bumblebee?” yang sampai sekarang masih Dean suka mainkan dengan
Baby, atau kibor di studio sewaan milik kakeknya Zahra (Rieka sudah tahu yang
mana Zahra walau hanya ditunjukkan dari jauh bukan oleh Dean malah),
sekaligus merekamnya, lalu memperdengarkan hasilnya pada Rieka.
“Emang
apa gitu passion aku?” tanya Dean lagi
seolah tidak kunjung mengerti.
“…piano?”
Dean
menatap Rieka dalam diam, lalu ucapnya dengan pelan, “Piano itu cuman alat,”
Ganti Rieka yang tidak mengerti. “Passion
aku,” lanjutnya, “kamu.”
.
Jauh sebelum kartu undangan prom datang, Rieka dan Dean sudah
survei ke mana-mana. Mereka susuri clothing-clothing di sepanjang Jalan Trunojoyo, berdesak-desakan dengan
ibu-ibu di Pasar Baru, berlagak sosialita di Trans
Studio Mall sampai Cihampelas Walk, hingga
bertualang ke rimba Cimol Gedebage.
Menebak-nebak dresscode prom jadi keasyikan tersendiri.
“Kalau aku pakai cocktail dress ini, Yayan mau pakai
apa?” tanya Rieka kenes.
“Yayan mau pakai tuksedo deh.
Lengkap sama topengnya. Jadi tuksedo bertopeng deh, ha-ha-ha…” Dean terbahak.
Itu kalau dresscode-nya formal.
“Kalau Yayan milih vest yang ini, Neng gimana?”
“Samaan aja… Tapi aku mau pakai
baby shirt yang ini…”
“Kalau gitu kita cari adult shirt yang kompakan sama baby shirt kamu itu ya, Neng.”
Itu kalau dresscode-nya kasual.
“Neng, aku jadi pingin pakai
tuksedo beneran.”
“Kalau gitu, kita cari baju
Sailormoon di mana ya, Yan?”
Itu kalau dresscode-nya superhero.
“Yan, tuniknya lucu ya Yan…”
“Kayaknya aku punya baju koko
yang cocok sama itu deh Neng, di rumah.”
Itu kalau dresscode-nya pesantren kilat.
Entah bakal ada nominasi
pasangan terkompak atau tidak di prom
nanti. Dresscode masih abstrak,
undangan belum dicetak. Tapi mereka sudah menenteng kantong belanjaan dari
tiap clothing yang mereka sambangi.
Dean bahkan “menyelundupkan” model-model terbaik yang ia lihat ke dalam
kepala.
“Kayaknya blus yang di 5àsec kemarin itu…”
Rieka
ketuk kepala Dean dengan pulpen. “Fo… kus.” Besok Dean ujian Akuntansi sedang Rieka Fisika,
tidak ada main-main.
“…cocok sama bawahan yang di Kings itu loh, unyu banget…”
Rieka menatap Dean dengan tajam. Cowok
itu menunduk.
“Si Bumblebee lagi cerewet banget…” kilahnya sembari memutar
telunjuk yang mengarah ke kepala.
Rieka tidak peduli.
“…demi kamu, Rieka… demi kamu…” suara Dean. Buku pelajarannya bertumpuk-tumpuk di meja, semua terbuka, tapi tak ada satupun yang melekat lama di mata. Dean
mencoba
lagi. Ia pasang juga headphone di kepala.
“Kamu baca apa dengerin?”
“Dua-duanya.”
“Konsentrasi kamu bisa dibagi gitu ya?”
Dean mengangkat bahu. “Kali aja?”
Setidaknya Dean bisa jadi penyegar di tengah kepenatan
Rieka
mengutak-atik soal.
Rieka masih tidak meluangkan waktu
untuk jalan-jalan ketika ujian praktik.
Dean pun ikut-ikutan. Sepulang ujian biasanya mereka bertukar cerita mengenai kelancaran masing-masing
lewat telepon.
“Tadi pas ujian agama, gurunya heran. Aku juz amma hapal, tapi pas disuruh baca Quran
enggak bisa…” lantas Dean tertawa.
“Kamu hapal juz amma?”
Rieka takjub. Ia kira orang
yang malas salat paling hapal beberapa surat pendek saja.
“…eh… iya… aku kan dengerin, Sayang… Tahu-tahu aja nempel di kepala, hehe…” cengengesan.
Kartu undangan prom akhirnya datang, berbentuk tanda
tanya. Setelah memindai waktu dan lokasi prom,
mata Rieka sampai pada dresscode yang
harus dikenakan.
Dean menggeleng ketika Rieka
menyarankan cowok itu datang ke prom
sebagai pianis.
“Kalau Neng jadinya mau pakai
apa ke prom?”
“Palingan blazer yang ungu itu aja Yan, sama
blus ruffle, rok midi, terus
sepatunya yang kita lihat di Edward Forrer itu loh, yang haknya tiga senti…”
…sesuai pilihan kedua Rieka yaitu Hukum. Pilihan pertama Rieka sebetulnya
Kedokteran Gigi, tapi Rieka malas mencari jas dokter. Lagipula ia pikir kedua
pilihan itu sama baik, cuman soal passing
grade saja.
“Oh. Gampanglah, nyocokkinnya…”
“Jangan cuman sekadar nyocokkin
sama aku dong Yan. Yang penting kamu mau datang sebagai apa pas prom. Itu kan dresscode-nya,” kata Rieka lembut.
Dean menggeleng, tersenyum,
yang malah bikin Rieka jadi gemas. Melihat tatapan kosong Dean, Rieka
menyadari kalau kosong jugalah yang mengisi benak Dean akan masa depan.
“Ke mana ajalah, asal
universitasnya sama kayak Neng,” begitu kata Dean lagi saat Rieka mendesak
soal jurusan yang hendak Dean tuju selepas SMA.
“Ya mau universitasnya sama kan
tetep harus pilih jurusan juga Yan,” sambut Rieka. Ia tahu Dean tidak minat
dengan Hukum, apalagi Kedokteran Gigi.
“Aku tuh enggak mau ke
mana-mana,” ucap Dean akhirnya, setelah suntuk dikejar tanya yang sama oleh
Rieka dari hari ke hari. “Aku cuman pingin di sini, sama kamu, sama Ayah, sama
Bunda, sama…” Dean terus menyebut nama saudara-saudaranya, teman-temannya…
setiap orang yang mereka kenal dan memiliki kesan masing-masing bagi Dean.
“Iya… Tapi prom tuh tinggal berapa lama lagi Yan, kamu belum tahu mau pakai
apa ke sana, kamu enggak tahu kamu mau datang sebagai apa.” Lama-lama
kesabaran Rieka surut.
“Apa aja boleh deh, cocokkin
sama kamu aja. Enggak usah macem-macem lah…”
Rieka merengut. Ia tak bisa
membiarkan Dean dalam kegalauan terus. Ah, bukan, bukan Dean yang galau,
justru Rieka!
Padahal semua tergantung pada
Dean sendiri.
“Duh! Aku tuh enggak mau kamu bergantung
terus sama aku!” pungkas Rieka.
Rieka memutuskan untuk tidak
terlalu serius memikirkan Dean. Toh banyak pula teman mereka yang masih
gamang, formulir SNMPTN pun belum terisi, lantas asal saja memilih pakaian
untuk prom. Asal ada kemeja, dasi,
jas, dan celana bahan, yang cowok sudah bisa berlagak jadi eksekutif di perusahaan
ternama. Yang cewek sama saja, asal ada blazer dan blus pokoknya, sudah
berasa dosen. Bahkan ada yang berencana pakai jaket, celana jeans, dan kaos saja, lalu mengalungi
SLR dan mengaku wartawan. Beruntung yang orangtuanya punya profesi dengan
pakaian khusus, macam PNS, dokter, atau montir, sehingga penampilan mereka
rada beda.
Sebetulnya Dean bisa saja
pinjam jas ibundanya yang bergelar dokter itu, atau sekadar pakai training dan mengalungi stopwatch bak ayahnya yang pelatih
atlet. Tapi Dean kukuh ingin tampil serasi dengan Rieka.
.
Pengumuman
kelulusan.
Rieka gembira dengan nilai-nilainya.
Dean bersyukur nilai-nilainya cukup untuk meluluskannya secara jujur.
SMANSON
tidak
memiliki tradisi corat-coret seragam, namun Rieka dan Dean berencana untuk mengadakan acara “hias” seragam ala mereka. Mereka kumpulkan
berbagai macam pewarna, lalu saling menghiasi seragam satu sama
lain. Seragam itu tidak mereka kenakan, melainkan dihamparkan di lantai lantas dihias-hias, seperti anak TK lagi
lomba menggambar.
“Kita ke prom
pakai baju ini aja yuk, Neng.”
“Ih Yayan ngaco aja deh.”
Prom semakin dekat. Rieka masih belum tahu Dean bakal mengenakan apa. Rieka bahkan sudah mematut-matut diri di depan Dean, saat Dean main ke rumah Rieka di akhir minggu. Dean bilang ia sudah punya pakaian yang senada dengan blazer Rieka. Dean ganti mengajak Rieka main ke rumahnya.
Rieka sudah beberapa kali
bertandang ke rumah Dean, tapi ia masih merasa malu. Dean selalu mengondisikan
seluruh anggota keluarganya—walau tidak selalu lengkap—agar menyambut Rieka dengan
sebaik-baiknya. Padahal Dean diperlakukan biasa saja di rumah Rieka, seolah
Dean adalah penghuni rumah itu juga yang tidak harus dianggap begitu
istimewa.
“Takut enggak ketemu lagi sama
Rika, katanya,” imbuh Ayah Dean begitu Rieka keluar dari dapur. Sedari tadi
Rieka membantu Bunda dan Zara menyiapkan makanan. Rieka menatap pria ramah
itu dengan heran.
Dean, yang masih sok sibuk di
dapur, rupanya mendengar itu lalu berkilah, “Ah Ayah, Dean kan entar masih
mau balik lagi!”
“Sekalian aja sih Yan…” Bunda
keluar dengan membawa pinggan yang mengepulkan asap. Wanita itu tersenyum
begitu melihat Rieka. “Enggak apa-apa kan ya, Rika?”
Rieka menggeleng dengan sopan.
Ia belum sejam di rumah itu, tapi dari percakapan antar para penghuni rumah
itu ia tahu kalau masa depan Dean sudah ditentukan. Cowok itu akan berangkat
ke Boston sehari setelah prom.
“Aku cuman mau registrasi sama
audisi aja, Neng, paling enggak nyampe dua minggu juga udah balik,” ucap Dean.
Mereka menyepi di taman belakang rumah, begitu makan malam bersama usai. Ia
ulangi, “Aku pasti balik dulu. Kan enggak tahu juga bakal keterima apa enggak.”
Cowok itu telah didaftarkan sang bunda untuk mengikuti summer program di Berklee College of Music. Secara mengejutkan
aplikasi Dean diterima. Rieka menjadi jelas kenapa setahun lalu Bunda
mengirim Dean “liburan” ke Boston, cowok itu telah dipersiapkan sejak lama.
“Ayah kamu bilang kamu takut
enggak ketemu lagi sama aku,” kata Rieka. “Jangan-jangan emang kamu bakal
enggak balik-balik lagi…”
“…ya kan belum tentu…! Bunda
sih… Kalaupun enggak keterima summer
program-nya, Bunda pinginnya aku tetep di Boston aja, belajar piano sama
temennya Pak Al di sana, sampai aku keterima di Berklee…” Suara Dean melemah.
“Maaf aku baru ngasih tahu kamu sekarang. Aku takutnya kalau aku ngasih tahu
kamu dari lama, bisa-bisa aku enggak jadi berangkat. Kamu pasti bakal
nyegah-nyegah aku…”
“Ih apa sih!” Rieka memukul
lengan Dean pelan, sedang cowok itu mesem saja. “Akhirnya kamu fokus sama
bakat kamu, Yan…” Rieka tidak mengerti kenapa suaranya melirih, dibarengi
isak. “Aku seneng kok, Yan.” Kedua belah bibir Rieka saling menekan. Rieka
menubrukkan pundaknya ke lengan Dean, lalu tangan cowok itu merengkuh sisi pundak
Rieka yang lain. “…aku yakin kamu bisa jadi pianis hebat.”
“…entar susah kalau kita pingin
ketemuan…” nada Dean yang muram.
“…ya…” Rieka tidak ingin
membuat suasana kian suram. Apanya yang suram. Justru sepertinya masa depan
yang cerah akan menyambut Dean. “Kita kan masih bisa ketemu, Sayang,” suara
yang agak parau membuat Rieka malu. “Di Skype, Twitter, apa kek…”
“…setiap hari…”
“Iya, setiap hari…”
Rieka lepaskan rangkulan Dean.
“Yang penting kamu udah jelas
kamu jadi apa… Toh bakat kamu emang di situ kan?” Rieka menggenggam tangan
Dean untuk menguatkan cowok itu. “Semangat ya Yan, yang yakin cita-cita kamu
bakal kesampaian. Kata Pak Al juga, bakat kamu itu harus terus diasah, otherwise it’s nothing.”
Dean tersenyum. “Jadi mau liat
enggak, aku pakai apa besok?”
“Kamu bakal dateng sebagai
pianis?”
Dean mengerutkan kening seraya
menggeleng. “Enggak. Aku kan udah nyocokkin sama kamu.”
Rieka berdecak. Dean masih saja
keras kepala. Rieka pun menggeleng. Malam terus berjalan. Rieka lebih ingin
lekas pulang, dan menyimpan hal yang tidak akan mengejutkan lagi baginya besok
malam, tapi tetap menggembirakan sekaligus melegakan baginya.
.
Di pembuka malam itu Dean bersama
Hattori datang ke rumah Rieka. Rieka perhatikan setelan Dean memang serasi
dengan padu padan yang ia kenakan. Rieka kira seorang pianis bakal berpakaian
lebih formal, sebelum menyadari bahwa seorang musisi bisa saja berpakaian
sesuka hati. Ah terserah Dean lah.
Rieka biarkan Dean mengemudikan
March, walau agak ketar-ketir. Dean meyakinkan Rieka bahwa ia sudah lancar,
antara lain berkat kursus privat lagi cuma-cuma dari Pak Sam (soal biaya ditanggung
majikan resmi saja lah). Tapi Dean belum memiliki SIM A. Ditilang polisi bakal
menjadikan malam ini semakin indah, kata Dean. Melihat sikap Dean yang sangat
percaya diri Rieka menjadi lumayan tenang.
Gemerlap SMANSON dalam gelap
tampak dari kejauhan. Rangkaian lampu kecil-kecil dipasang mulai dari
pepohonan di area parkir guru, stadion, hingga lapangan. Area yang terbuka
seperti lapangan dinaungi kuncup-kuncup putih, sekiranya bakal hujan. Setiap
peserta prom harus mengambil name tag dulu di muka stadion, baru diperkenankan
masuk lebih dalam ke area sekolah.
“Lagunya kok kayak lagu tepang sono bapak-bapak berumur gini, Son?”
tegur Dean pada beberapa adik kelas yang menjaga
meja registrasi.
“Kan konsepnya kayak reunian gitu, Kang. Jadi ceritanya
akang-akang sama teteh-teteh ini udah pada sukses, terus balik lagi ke
sekolah…” terang salah satu adik kelas yang cewek. Ia mengenakan kebaya
dan sanggul, sementara ada temannya yang hanya mengenakan kaos dan
celana jeans. Tampak panitia sendiri tidak memiliki konsep jelas mengenai dresscode
mereka. Dalam hati Rieka membanding-bandingkan
prom tahun ini dengan prom tahun lalu yang mana ia menjadi panitia.
Akhirnya
Rieka bisa maju dalam antrian. “Teh, ini…” seseorang menyodorkan name tag pada Rieka. Sementara Rieka memilih spidol mana yang akan ia gunakan untuk menggurat keterangan di name tag, Dean masih mengobrol dengan para adik kelas. “Baru aja lulus udah reunian lagi,” begitu komentar Dean yang Rieka dengar. Selanjutnya cowok itu tertawa-tawa dengan mereka.
Seketika lagu yang tenang lagi mendayu-dayu digantikan oleh lagu kontemporer
yang mengajak jingkrak-jingkrak.
“Yan, ini, Yan…”
Dean mengambil name tag yang Rieka serahkan, tanpa
beranjak dari obrolan dengan para adik kelas. Rieka temukan spidol yang cocok.
Dean melongok selagi Rieka tuliskan nama berikut gelar yang ia dambakan, serta
profesi idaman di masa depan, pada name
tag sesuai petunjuk dari panitia. “ADVOKAT”, demikian sepenggal tulisan
Rieka meski ia tahu jurusan Hukum bisa saja mengarahkannya pada profesi
lain yang sebidang. Dean baru selesai menulis ketika Rieka sudah menyematkan name tag di dada.
“Sini aku pasangin.” Rieka
mengambil name tag Dean. Sekilas ia
membaca kata di bawah nama Dean—cowok itu tidak melengkapinya dengan gelar apapun.
Rieka tertegun. Kertas berbalut plastik tebal itu bergeming dalam genggaman.
Tidak ada “PIANIS”, “PEMAIN PIANO”, apalagi “PENYIAR RADIO”.
Rieka tengadah. Senyum Dean
begitu hangat padanya. Kini Rieka mengerti kenapa Dean kukuh kalau pakaian
mereka harus serasi, tidak peduli apapun profesinya kelak. Itulah
cita-citanya.
“Aku pingin datang sebagai
suami kamu, Rieka.”
Lengan kanan cowok itu menekuk,
menanti lengan Rieka mengait di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar