Jumat, 28 Desember 2012

X. Masa depan

Di antara sepuluh jari, dan bidang di mana me­reka berpijak, kini hanya sepasang yang bekerja pa­ling giat. Bertalu-talu kepala jempol diadu de­ngan tuts-tuts. Kedelapan lain pasrah tidak lagi ber­tu­kar panas alami, melainkan menopang kotak ke­cil yang diklaim mampu merangkum kehidupan bah­kan menjembatani kehangatan.

Pasangan yang pernah diklaim paling hangat di SMANSON, lalu sempat WIKA[1] mereka rusak, ki­ni agaknya telah terbiasa dengan yang adem. Ma­sih terlihat mereka beriringan, berhadapan, tanpa sen­tuhan-sentuhan yang dulu membuat mereka khas dibandingkan pasangan-pasangan lain di SMAN­SON.

Para peramai-penggembira yang notabene co­wok pun menyimpulkan bahwa pacaran tidak meng­ganggu stabilitas hati, selama adu fisik tidak jor­joran. Bagaimanapun mereka sangat ter­pe­nga­ruh oleh adegan berupa aksi, baik yang bikin se­nang maupun sebaliknya. Enggak aksi, enggak co­wok.

Cowok yang cepat belajar akan meng­hin­dar­kan diri dari mengulangi kesalahan. Rieka tahu De­an berusaha menghindari fisiknya, walau tidak ken­ta­ra bak upaya cowok-cowok DKM. Dean tidak me­na­rik tangannya yang tersentuh, bergeming saja, dan tidak menuntut lebih. Ia tampak alamiah, wa­lau matanya bukan lagi mata yang biasa. Binarnya sa­mar-samar.

Rieka yang veteran OSIS, dan tanggungan for­malnya hanya akademis, memasak hampir tiap pa­gi, padahal dulu hanya hanya beberapa hari se­ka­li. Menelusuri lagi di internet, bahan-bahan sarat le­mak dan kalori. Tidak lagi saling menyuapi, Dean bi­sa makan sendiri. Ia makan dengan lahap, sampai tan­das, kecuali potongan cabai, bawang, dan se­ma­cam. Rieka harus bersabar sampai pipi itu isi lagi, se­kaligus memikirkan bagaimana mata itu isi juga.  Se­sekali Rieka putus harap. Ia ajak Dean makan junk food saja sepulang sekolah… sementara ia sen­di­ri pesan salad.

Sekadar ke McD atau KFC terdekat. Rieka ting­galkan mobilnya, si March. Membonceng Dean na­ik Hattori, yang mana jok belakang lebih men­ju­lang. Dean tersentak begitu Rieka peluk erat dari be­lakang. Rileks selanjutnya. Mau ke mana, Sa­yang? Sekadar supaya ada percakapan toh sudah pas­ti tujuan. Rieka pun sekadar ingin merasakan. De­an yang begitu kurusan. Tidak lama kemudian le­ngan Rieka lepaskan.

“…kemarin malam, chatting sama Deraz. Pas la­gi di Istanbul katanya liat darwis, yang nari mu­ter-muter itu loh…” Dean memeragakan dengan te­lun­juk, sedang tangan yang satu menggenggam bur­ger ukuran raja, sebelah pipi gembung oleh cam­puran roti, salad, keju, daging, bombay, ma­cam-macam. “Tadinya pingin nyoba, tapi katanya se­patunya yang nari itu dikasih paku. Enggak jadi deh…” Mulut Dean melahap lagi. Sesungguhnya Dean mampu makan sangat banyak. Rieka sengaja be­li burger ukuran ratu untuk dirinya sendiri, yang ha­nya ia icip sedikit, selanjutnya biar suruh Dean yang habiskan. “Terus dia habis ketemu saudaranya Opa di Freiburg… warisan gitu… tapi enggak sem­pat ngurus.” Rieka tahu. Rieka juga baca blog De­raz, yang cowok itu buat semenjak ia resmi jadi pe­la­jar yang ditukar. Blog trilingual, Rieka cuman ba­ca posting berbahasa Indonesia.

Rieka memasang sebelah earphone ke lubang telinga Dean, sebelah lagi untuk telinga sen­di­ri. Rieka menyetel “In The Sun” dari She and Him, just another Zooey’s song, Ipong silahkan me­le­dek. Repeat track, sampai Dean menyadari. Eks­pre­si tercenung sesaat, mata ke lain arah, lalu bur­ger milik Rieka mulai dijamah, dicuili.

Rieka mendapat tatapan Dean lagi. Sorot yang lembut sekaligus Rieka belum pernah lihat.

“Ri… Ri-eka.”

“Iya…”

“Kamu mau nungguin aku?”

Tentu saja Rieka akan menungguimu meng­ha­biskan makanan, Dean. Masih ada sekotak lagi ken­tang goreng, yang jatah Rieka, juga untuk Dean.

“Nunggu aku sampai jadi sesuatu?” lanjut De­an.

Jeda.

“Sesuatu yang bisa ngebanggain kamu?”

Rieka terus diam.

Rieka selalu mengira ia dan Dean akan me­nem­puh jalur yang berbeda selepas SMA— jurusan yang beda, fakultas yang beda, bahkan perguruan ting­gi yang beda—dan kini pikirannya melanjutkan, akan ada orang-orang baru yang berbeda pula un­tuk satu sama lain… lingkaran mereka akan se­ma­kin banyak, semakin melebar, dan belum tentu ber­iris­an… orang baru yang lebih baik dan lebih tepat, mung­kin, untuk satu sama lain. Rieka segera kem­ba­li ke hari ini. Ia masih bersama Dean, dan mung­kin akan terus bersama sampai habis sisa masa SMA, lalu menempuh jalur yang berbeda… sebelum ling­karan pikiran itu melarutkannya lagi, Rieka se­ge­ra kembali ke hari ini.

“Kamu udah yakin mau ke… Kedokteran Gigi sa­ma Hukum?” Ganti topik. Ganti raut. Rieka me­ra­sa sedikit lebih lega. Tanyakan hal yang sama pa­da Dean, hal ke mana ia hendak melanjutkan. Co­wok itu menggeleng. Senyumnya tipis.

Dean terlalu kenyang untuk bangkit, tapi Ri­eka tidak bisa mengemudikan Hattori… Tawa yang ge­li. Mari tunggu sebentar, sampai Dean cukup ri­ngan untuk mengantarkan Rieka kembali pada March.

Persoalan dimulai. Dean di atas Hattori se­la­lu di belakang, tidak berusaha menyusul atau me­nyam­ping, Rieka dalam March yang tidak kena angin, debu, dan razia.[2] Tidak usah sampai rumah, De­an, Rieka sudah berpesan. Cowok itu pun mem­be­lok di suatu pangkalan ojek.

.

Uak dan istrinya bertolak dari San Fransisco, ka­rena panggilan anak mereka yang berdiam di ru­mah Papa Rieka. Kak Mita akan menikah, yang asum­si Rieka disebabkan oleh pacar cewek tersebut lu­pa kenakan pengaman. Bagaimanapun Rieka acap melihat benda-benda di kamar Kak Mita, yang sebenarnya Rieka tidak mau ketahui fungsinya sam­pai ia sendiri menikah kelak. Namun Rieka te­lah tahu, Rieka telah menduga, walau barangkali ti­dak seorangpun mengira hal yang sama.

Malam setelah unduh mantu majalah-ma­ja­lah bridal bertumpuk di sofa tengah rumah Rieka. Is­tri Uak dan Mama Rieka menghabiskan waktu la­ma untuk memperbincangkan setiap halaman da­lam majalah. Padahal konsep pernikahan telah di­pu­tuskan dengan besan.

“Enggak apa-apa… besok buat Eka yang ka­yak gitu aja…” kata Istri Uak.

Rieka yang mengamati dari jarak cukup jauh ter­perangah diam-diam.

“Emang si Eka mau dinikahin kapan gitu, Ma? Mau sekalian besok juga?” tegur Papa Rieka yang baru nimbrung.

Rieka menggeleng walau tidak satupun me­li­hat.

“Ya tergantung anaknya aja gimana… sama si­apa…” kata Mama Rieka.

“…sama siapa ya, Ma?”

“Pacarnya yang sekarang kayak gimana?” ta­nya Istri Uak.

Palu di balik dada Rieka berdentum.

“Hahaha…. Dean!” Papa Rieka tergelak. Ia yang pernah mencita-citakan Dean sebagai biker yang santun berbahasa Sunda.

Wajah Rieka mengerut.

“Ya gimana entar aja lah, Ceu… Masih ja­uh…” kata Mama Rieka.

“Ah paling berapa tahun lagi sih. Sekarang aja Mita baru dua-dua… Nikah muda kan sekarang la­gi ngetren…!” suara Istri Uak.

Rieka meninggalkan arena.

.

“Cowok elo enggak cemburu?”

“Enggak apa-apa. Dia juga suka kok jalan sa­ma temen-temen ceweknya.”

“…’temen-temen’ kan.”

Cemburu sama Ipong, Dean pun tahu itu ga­gas­an yang aneh. Dalam hal tertentu Dean memiliki pan­dangan yang sama dengan Rieka soal Ipong. Ipong, yang saat ikut ekskul teater di SMP selalu di­tun­juk untuk memerankan cewek berkat suara dan tin­ggi badan yang ia miliki. Jika saja Ipong me­mi­liki suara yang berat, badan yang menjulang, tiap orang bakal memandangnya sebagai cowok garang.

“Temen-temen elo setipe semua sih, yang annoying gitu.”

“Makanya. Gue lebih seneng curhat sama elo,” senyum Rieka, yang menurutnya bercerita pa­da Ipong sama seperti bercerita pada cewek dengan ti­pe lain, yaitu tipe yang lebih senang bergaul de­ngan cowok ketimbang dengan “sesama” cewek.

Makanan, minuman, sofa, dan suasana, se­mua telah kondusif bagi Rieka untuk meng­ung­kap­kan kegundahan. Ruang semacam itu bertebaran di ba­nyak titik di Kota Bandung.

“Gue rasa… gue takut sama Dean.”

Ipong yang heran, Rieka tidak heran.

“Takut kenapa?”

“Gue pikir… Dean serius banget sama gue…” …ter­ingat Dean telah memintanya untuk “me­nung­gu”… “…dia pernah ngomongin soal anak…” saat ja­lan-jalan melintasi suatu perumahan Dean ber­ta­nya rumah seperti apa yang Rieka inginkan, dan ten­tu saja Rieka menyembunyikan insiden di ruang ta­mu, “…gue kan enggak sampai kepikiran dia se­ba­gai future husband…”

“Bukannya kalian udah married gitu ya?”

“Itu kan di Facebook.”

Ipong seolah kaget.

“Pacaran ya pacaran aja, nikah urusan lain la­gi…”

“Ya udah enggak usah dipikirin.” Ipong me­ngo­yak lapisan berbentuk hati di atas cappuccino pe­sanannya.

“Enggak usah dipikirin terus anak gue sama dia udah lima aja…” sungut Rieka.

“Oh dia pingin anak lima?”

“Genap sih. Dia pinginnya jumlah yang ce­wek sama yang cowok sama.”

Ipong terkekeh. “Terus elo enggak pingin dia ja­di suami elo gitu?”

“Enggak tahu!” sergah Rieka. “Gue belum si­ap aja, Pong, kalau kudu mikirin soal itu mah. Gue kan masih pingin kuliah, kerja, dapet gaji dulu sepuluh juta… per bulan! …masih so long banget eng­gak sih gue nikah tuh? Sementara Dean tuh mi­kir­nya kayak itu tuh udah di depan mata banget… ta­pi gue herannya malah dia enggak kepikiran soal ku­liah, kerja, atau apa. Dia masih enggak tahu coba, mau ngisi apa buat SNMPTN, mau kuliah di ma­na…”

“Ya udah elo aja yang mikirin itu, dia mikirin si­sanya, soal anak dan sebagainya itu, saling nge­leng­kapin kan,” tukas Ipong.

“Iiih Ipong!” seru Rieka dengan gemas.

“Ya elo juga kan yang awalnya pingin sama dia.”

“Iiyaa…”

“…sampai elo bela-belain dia bisa dapat jatah gig lah, apalah.”

“Iya. Gue sampai bikin proker khusus gitu ta­hu enggak sih, buat dia, biar dia tuh rada… is­ti­lah­nya apa ya… ya lebih beres aja lah, lebih enak di­li­at…” …lebih punya karisma… “…ya ampun, Pong, gue tuh.. sayang… sama dia. Tapi gimana ya,” Rieka me­nyibak rambutnya yang panjang, “perasaan gue ke dia tuh sebenernya lebih kayak ke ingin nge­ra­wat gitu, pingin supaya dia bisa lebih baik, terlepas da­ri kita bisa everlasting apa enggak. Toh pasti en­tar ada waktunya kita nemuin jalan masing-ma­sing… Ya intinya gue seneng aja ngurus dia. Gue se­neng bisa marah-marahin orang tanpa orang itu nye­rang gue balik… enggak kayak kalau sama elo gi­tu, Pong!”

Ipong tergelak.

“Aneh enggak sih perasaan kayak gitu?”

“Yang marah-marah?”

“Enggak… Yang gue pingin ngurus dia…”

“Enggak tahu sih ya,” Ipong menyeruput isi cang­kir di tangan, “mungkin karena elo enggak pu­nya adik kali ya.”

“Elo gitu sama adik-adik elo?”

Ipong mengedikkan badan. “Enggak. Udah ada orangtua gue ini.”

“Ah Ipong…”

Diam sejenak. “Gimana ya Ka… gini kali ya, iba­rat elo ini petani yang nanam padi. Elo rawat pa­di elo sampai bagus, kasih pupuk, ini itu, hamanya elo cabutin, sampai padi elo hijau, bagus…”

“…ya, gue sempet punya analogi gitu juga, ta­pi enggak persis sih, at least gue enggak mikir sam­pai padi…” karena Rieka jarang melihat sawah di Kota Bandung, kalau bukan sudah tidak ada sa­ma sekali.

“…tapi ya padi bukan rumput, Ka. Dia kan ma­sih harus kuning dulu baru bisa diambilin pa­di­nya. Dan dia enggak bisa sampai ke situ kalau ujug-ujug elo ninggalin dia. Elo yang nanem dia, dia ber­gan­tung saa elo buat ngerawat dia, kalau enggak ja­di­nya ya ilalang semua…”

“Kok kesannya kayak gue yang bertanggung ja­wab sama dia gitu sih?” sela Rieka.

“Ya emang elo tanggung jawab! Elo udah num­buhin perasaan gitu ke dia, ngebiarin dia deket sa­ma elo. Menurut gue sih sebenernya si Dean tuh ra­da obsesif sama elo, cuman ya dia enggak berani nge­kang elo. Elonya aja yang coba pengertian. Se­ka­rang udah deh. Gue tanya sama elo, elo mau lan­jut sama dia apa enggak…”

Rieka diam.

“Dia udah sampai taraf ngeganggu enggak bu­at elo?” kejar Ipong.

“Enggak, Pong,” Rieka menggeleng. “Gue ta­kut­nya cuman pas dia nyinggung-nyinggung soal ma­sa depan sama gue aja. Kalau enggak ya gue fine-fine aja sama dia.”

“Ya udah, enggak usah elo pikirin. Kalau dia nying­gung lagi ya enggak usah terlalu ditanggepin lah. Emang sering ya dia nyinggung?”

“Enggak juga sih.”

“Elo masih enjoy sama dia?”

“…masih…”

“Ya udah, enggak ada masalah kan kalau gi­tu…” Ipong mengangkat lagi cangkir yang semula su­dah diletakkan di meja. “…terus pas gue ketemu elo lagi tahu-tahu anak elo sama dia udah lima aja…” Ipong terbahak.

“Ah Ipong…” Bahu Rieka turun. Ia belum ju­ga menyentuh pesanannya, yang sudah sedari tadi da­tang.

“Kalau menurut gue sih, elo malah mestinya nyon­toh si Dean tuh,” lanjut Ipong. “Dia tuh jujur. Apa adanya. Kalau dia pingin sesuatu, ya dia tun­juk­in sama elo…” mengingatkan Rieka akan insiden di ruang tamu itu lagi—hih!

“Elo kok malah jadi belain dia gitu sih, Pong?”

“Setelah segala yang elo lakuin sama gue, gi­ma­na gue enggak jadi simpatik sama dia?” Ipong me­lahap potongan pancake. “Apalagi se­karang ini kan dia yang pastinya sering banget ngabisin waktu sa­ma elo.”

“Ya Ipong. Gue kan udah minta maaf…” sa­hut Rieka segera. Duhai Ipong. Sentimennya ku­mat!

“Baru kali ini, Ka, gue liat elo bener-bener sa­yang sama cowok elo. Sama cowok-cowok se­be­lum­nya kan elo enggak pernah. Gue merhatiin!—se­da­ri kita SMP!”

Rieka benar-benar harus segera mencarikan ce­wek untuk Ipong.

“Gue bener-bener maafin elo kalau elo mau nga­ku ke Deraz.”

“Ya ampun Ipong…” Rieka tercengang. “Ma­sih aja elo ungkit-ungkit… Deraznya aja udah eng­gak ada…”

“Deraz tuh masih ada. Dia cuman pelesir ben­tar ke Jerman.”

Rieka tidak berkata-kata. Padahal sudah la­ma ini ia berhasil tidak memikirkan Deraz lagi, di­ba­yang-bayangi cowok itu. Rieka tidak tahu ba­gai­ma­na ia bisa bilang pada Ipong. Ipong pasti me­nyang­gah. Mending Rieka mengalah.

“Sana tuh, elo… kayak lagu favorit elo itu… na­ik sepeda ke bukit…”

“…ngapain?”

“…nyariin Deraz terus elo ungkapin semua ke dia. Perasaan elo yang sebenernya. Kalau elo su­ka, bilang suka! Kasih tahu dia yang sejujurnya. Ka­lau­pun elo ditolak, elo enggak bakal nyeselin itu!” Ipong akhirnya ingat judul lagu yang ia maksud, “AITAKATTA[3]! Kalau perlu elo nyanyiin lagu itu du­lu sampai sepuluh kali!”

Rieka termangu.

“Ya biar enggak ngeganjel aja gitu. Nge-clear-in…”

“…terus apa gue mesti bilang yang se­ju­jur­nya juga sama Dean…?”

Ipong menggeleng. “Jangan, ke dia mah. Ka­sih­an.”

Punggung Rieka terhempas ke sandaran so­fa.

Dari kafe Ipong mengajak Rieka berkaraoke. Alf menyusul dengan motor. Alf diminta Ipong un­tuk mengajarkan tarian ala JKT 48 pada Rieka, wa­lau Ipong sendiri piawai menginjak-injak dance stage di mesin Dance Dance Revolution. Ba­gai­ma­na­pun Alf adalah kawan yang fasih dalam me­nya­nyi­kan baik lagu-lagu J-Pop maupun K-Pop. Se­pu­lang dari berkaraoke Ipong menyumpah-nyumpah ti­dak bakal menyentuh genre itu lagi.

.

Rieka mencoba untuk menuruti titah Ipong, sa­at di Facebook ia menemukan Deraz sedang on­line. Ia membuka kotak obrolan dengan cowok itu, na­mun tidak segera mengetikkan sesuatu. Ia ba­yang­kan mengatakannya pada Deraz.

Deraz.

Deraz.

Saya…

Saya…

Saya suka…

Saya suka sama kamu.

Saya suka sama kamu.

Saya pernah suka sama kamu.

Deraz offline. Rieka menunggu. Deraz tidak kun­jung online sampai Rieka memutuskan untuk ti­dur malam itu.

Segera, ketika Rieka mendapat kesempatan kon­dusif dengan Ipong untuk melaporkan.

“Aku enggak bisa… bilang gitu sama Deraz…”

Ipong menanti Rieka melanjutkan.

“Itu kayak elo ngatain sesuatu yang padahal elo enggak gitu… itu kan… eu… apa ya istilahnya… mu­na, gitu…”

Ipong melongo saja.

Sekalian Ipong pun ingin mengatakan.

“Tahu enggak kenapa Deraz enggak bisa su­ka sama elo?”

Misteri terbesar dalam kehidupan Rieka.

“Kenapa?”

“Ya makanya, elo sekalian bilang sama dia, se­kalian nanya…”

“Ipong!”

Cowok itu terkekeh.

“Elo tahu, sering si Deraz tuh disinggung so­al cewek…” Perhatian Rieka langsung terpusat. “Bi­a­sanya kan diem aja… enggak komen… disinggung te­rus… ditanya-tanya lah, tipenya kayak gimana… Eng­gak tahu. Masak dia bilang enggak tahu? Di­ta­nya we, kalau tipe cowok gimana…” Rieka me­nyi­mak dengan dada berdebar, “…dia ketawa aja… Te­rus gue nanya we ke dia, kalau tipenya kayak si Ri­eka gimana… Raz. Si Rieka kan cantik, pinter, bla bla bla…” Ah Ipong. Rieka tersipu. “Terus Deraz bi­lang… Rika itu… gimana ya…” nada Ipong men­jel­ma nada yang biasa Deraz gunakan, “…dia terlalu mi­rip sama ibu saya. Oh, kamu enggak suka tipe yang kayak ibu kamu, Raz? Ceuk gue teh. Deraz ge­leng-geleng. Kok Dean suka? Gue nanya lagi.” Rieka sa­dar dari terbius. “Enggak sempet kejawab, so­al­nya waktu itu teh lagi pas ngapain lah, gue lupa.” Ri­eka kembali terbius dalam kemenungan. “Ya gue ja­di mikir aja kalau si Dean tuh mother complex.”

Tidak terpikir oleh Rieka sebelumnya. Ia me­nye­rupai sosok yang ia kagumi.

.

Perpustakaan, baik di sekolah maupun di ka­fe, menjadi pilihan Rieka untuk tempat ia dan Dean be­lajar bareng. Dikitari berderet-deret buku bikin De­an malas berpaling ke mana-mana. Fokusnya ha­nya Rieka atau bentangan buku-buku di bawah da­gu, atau Bumblebee.

“Kamu kayaknya cocok di Komunikasi deh, Yan.” Rieka alihkan perhatian Dean dari Bum­ble­bee. Rieka dengan buku kumpulan soal IPC, sedang De­an dengan buku kumpulan soal IPS, saling ber­bagi soal—tentu saja Rieka tidak akan serahkan soal IPA pada Dean. “Kamu kan biasanya ceriwis ba­nget,” walau belakangan tidak. Setahu Rieka Ko­mu­ni­kasi dan Akuntansi adalah jurusan yang paling di­idamkan di kelas IPS. Dean lemah di Akuntansi, co­ret Akuntansi.

“Komunikasi, terus satunya apa?” tanggap De­an dengan nada malas. Kepalanya terkulai di atas kumpulan soal.

“Sastra?” Rieka asal.

Dean menggeleng dengan kepala tetap me­nem­pel. “…enggak suka baca yang be­rat-berat…”

“Sosiologi… apa kek.” Rieka tutupi ke­jeng­kel­an dengan menekuni barisan soal lagi.  Se­ki­ra­nya banyak jurusan di ranah IPS yang bisa jadi te­pat untuk Dean, mengingat kepribadian Dean yang se­nang bersosialisasi—anggap saja terkait. Yang di­he­rankan adalah Dean tidak menunjukkan minat pa­da satupun. Jurusan apapun sepertinya bakal sa­ma saja bagi Dean.

Dean mengangkat kepala. Kini tubuhnya sem­purna menghadap Rieka, dengan kedua lengan me­magari tepian kumpulan soal. “Bunda ngasih gue dua pilihan.” Gumaman Rieka tanda me­nyi­mak. “Pertama, sekolah yang bener, terus terserah mau nerusin ke mana.” Dean bicara seperti zombi. “Ter­serahnya tuh terserah mau di UNPAD, atau di UN­PAR… atau SBM ITB… yang disebut Bunda baru itu aja sih.” Dean menggaruk kening dengan ujung ja­ri. “Yang kedua… Bunda ngizinin kalau gue fokus di piano… asal di Berklee.”

“Ber…?”

“Ya… kayak sekolah musik gitu deh. Tapi ja­uh. Jauh banget. Enggak kebayang lah jauhnya ka­yak gimana. Pokoknya antah berantah…” Dean meng­acak rambut bagian belakang. Raut yang ma­las.

“Berklee?” Serasa sering dengar, di tabloid, di majalah, sekolahnya orang-orang terkenal. 

Ceuk si Ayah mah… ngapain sih jauh-jauh… kan di Bandung juga ada… STSI, Jakarta IKJ, pa­ling banter ISI… nu di Jawa keneh.”

“Terus?”

“Kata si Pak Al gue enggak ada masa depan di klasik, mending gue belajar kontemporer aja di Ber­klee. Itu orang bisanya nyusahin aja, bener deh…” gerutu Dean. “…dulu juga pas awal-awal gue les sama dia kan, sebenernya dia emang udah pi­ngin ngarahin gue, cuman kan waktu itu gue masih ke­cil, Bunda enggak pingin mempersempit masa de­pan gue.” Dean menggaruk kening lagi. “Pas yang se­karang juga, pas Bunda pingin ngelesin gue lagi, kayak enggak ada pilihan aja, ke si Babah lagi. Gue mah di tempat les musik biasa juga enggak apa-apa, yang ngajar mbak-mbak muda, cantik…” Badan De­an condong pada Rieka. “…percaya, Neng, yang pa­ling cantik di hati aku cuman kamu…”

Namun bukan itu yang penting bagi Rieka. Ri­eka meraup tangan Dean bagai menggapai bin­tang. “Kayaknya emang lebih baik kamu ngikutin passion kamu, Yan.”

Passion?” ulang Dean seperti baru men­de­ngar kata tersebut untuk pertama kali.

“Iya... Lagu-lagu yang suka kamu kasih ke aku itu, lagu buatan kamu sendiri…? Lagu-lagunya Bumble­bee?” yang sampai sekarang masih Dean su­ka mainkan dengan Baby, atau kibor di studio se­wa­an milik kakeknya Zahra (Rieka sudah tahu yang ma­na Zahra walau hanya ditunjukkan dari jauh bu­kan oleh Dean malah), sekaligus merekamnya, lalu mem­perdengarkan hasilnya pada Rieka.

“Emang apa gitu passion aku?” tanya Dean la­gi seolah tidak kunjung mengerti.

“…piano?”

Dean menatap Rieka dalam diam, lalu ucap­nya dengan pelan, “Piano itu cuman alat,” Ganti Ri­eka yang tidak mengerti. “Passion aku,” lanjutnya, “ka­mu.”

.

Jauh sebelum kartu undangan prom datang, Ri­eka dan Dean sudah survei ke mana-mana. Me­re­ka susuri clothing-clothing di sepanjang Jalan Tru­no­joyo, berdesak-desakan dengan ibu-ibu di Pasar Ba­ru, berlagak sosialita di Trans Studio Mall sam­pai Cihampelas Walk, hingga bertualang ke rimba Ci­mol Gedebage. Menebak-nebak dresscode prom ja­di keasyikan tersendiri.

“Kalau aku pakai cocktail dress ini, Yayan mau pakai apa?” tanya Rieka kenes.

“Yayan mau pakai tuksedo deh. Lengkap sa­ma topengnya. Jadi tuksedo bertopeng deh, ha-ha-ha…” Dean terbahak.

Itu kalau dresscode-nya formal.

“Kalau Yayan milih vest yang ini, Neng gi­ma­na?”

“Samaan aja… Tapi aku mau pakai baby shirt yang ini…”

“Kalau gitu kita cari adult shirt yang kom­pak­an sama baby shirt kamu itu ya, Neng.”

Itu kalau dresscode-nya kasual.

“Neng, aku jadi pingin pakai tuksedo be­ner­an.”

“Kalau gitu, kita cari baju Sailormoon di ma­na ya, Yan?”

Itu kalau dresscode-nya superhero.

“Yan, tuniknya lucu ya Yan…”

“Kayaknya aku punya baju koko yang cocok sa­ma itu deh Neng, di rumah.”

Itu kalau dresscode-nya pesantren kilat.

Entah bakal ada nominasi pasangan ter­kom­pak atau tidak di prom nanti. Dresscode masih abs­trak, undangan belum dicetak. Tapi mereka sudah me­nenteng kantong belanjaan da­ri tiap clothing yang mereka sambangi. Dean bahkan “me­nye­lun­dup­kan” model-model terbaik yang ia lihat ke da­lam kepala.

“Kayaknya blus yang di 5àsec kemarin itu…”

Rieka ketuk kepala Dean dengan pulpen. “Fo… kus.” Besok Dean ujian Akuntansi sedang Ri­eka Fisika, tidak ada main-main.

“…cocok sama bawahan yang di Kings itu loh, unyu banget…”

Rieka menatap Dean dengan tajam. Cowok itu menunduk. “Si Bumblebee lagi cerewet ba­nget…” kilahnya sembari memutar telunjuk yang meng­arah ke kepala.

Rieka tidak peduli.

“…demi kamu, Rieka… demi kamu…” suara De­an. Buku pelajarannya bertumpuk-tumpuk di me­ja, semua terbuka, tapi tak ada satupun yang me­lekat lama di mata. Dean mencoba lagi. Ia pa­sang juga headphone di kepala.

“Kamu baca apa dengerin?”

“Dua-duanya.”

“Konsentrasi kamu bisa dibagi gitu ya?”

Dean mengangkat bahu. “Kali aja?”

Setidaknya Dean bisa jadi penyegar di te­ngah kepenatan Rieka mengutak-atik soal.

Rieka masih tidak meluangkan waktu untuk ja­lan-jalan ketika ujian praktik. Dean pun ikut-ikut­an. Sepulang ujian biasanya mereka bertukar cerita me­ngenai kelancaran masing-masing lewat telepon.

“Tadi pas ujian agama, gurunya heran. Aku juz amma hapal, tapi pas disuruh baca Quran eng­gak bisa…” lantas Dean tertawa.

“Kamu hapal juz amma?” Rieka takjub. Ia ki­ra orang yang malas salat paling hapal beberapa su­rat pendek saja.

“…eh… iya… aku kan dengerin, Sayang… Ta­hu-tahu aja nempel di kepala, hehe…” cengengesan.

Kartu undangan prom akhirnya datang, ber­ben­tuk tanda tanya. Setelah memindai wak­tu dan lo­kasi prom, mata Rieka sampai pada dresscode yang harus dikenakan.

Dean menggeleng ke­tika Rieka menyarankan co­wok itu datang ke prom sebagai pianis.

“Kalau Neng jadinya mau pakai apa ke prom?”

 “Palingan blazer yang ungu itu aja Yan, sa­ma blus ruffle, rok midi, terus sepatunya yang kita li­hat di Edward Forrer itu loh, yang haknya tiga sen­ti…” …sesuai pilihan kedua Rieka ya­itu Hukum. Pi­lihan pertama Rieka sebetulnya Kedokteran Gigi, ta­pi Rieka malas mencari jas dokter. Lagipula ia pi­kir kedua pilihan itu sama baik, cuman soal passing grade saja.

“Oh. Gampanglah, nyocokkinnya…”

“Jangan cuman sekadar nyocokkin sama aku dong Yan. Yang penting kamu mau datang se­bagai apa pas prom. Itu kan dresscode-nya,” kata Rieka lem­but.

Dean menggeleng, tersenyum, yang malah bi­kin Rieka jadi gemas. Melihat tatapan ko­song De­an, Rieka menyadari kalau kosong jugalah yang meng­isi benak Dean akan masa depan.

“Ke mana ajalah, asal universitasnya sama ka­yak Neng,” begitu kata Dean lagi saat Rieka men­de­sak soal jurusan yang hendak Dean tuju selepas SMA.

“Ya mau universitasnya sama kan tetep ha­rus pilih jurusan juga Yan,” sambut Rieka. Ia tahu De­an tidak minat dengan Hukum, apalagi Ke­dok­ter­an Gigi.

“Aku tuh enggak mau ke mana-mana,” ucap De­an akhirnya, setelah suntuk dikejar tanya yang sa­ma oleh Rieka dari hari ke hari. “Aku cuman pi­ngin di sini, sama kamu, sama Ayah, sa­ma Bunda, sa­ma…” Dean terus menyebut nama saudara-sau­da­ranya, teman-temannya… setiap o­rang yang me­re­ka kenal dan memiliki kesan masing-masing bagi De­an.

“Iya… Tapi prom tuh tinggal berapa lama la­gi Yan, kamu belum tahu mau pakai apa ke sa­na, ka­mu enggak tahu kamu mau datang sebagai apa.” La­ma-lama kesabaran Rieka surut.

“Apa aja boleh deh, cocokkin sama kamu aja. Eng­gak usah macem-macem lah…”

Rieka merengut. Ia tak bisa membiarkan De­an dalam kegalauan terus. Ah, bukan, bu­kan Dean yang galau, justru Rieka!  

Padahal semua tergantung pada Dean sen­di­ri.

 “Duh! Aku tuh enggak mau kamu ber­gan­tung terus sama aku!” pungkas Rieka.

Rieka memutuskan untuk tidak terlalu serius me­mikirkan Dean. Toh banyak pula teman me­reka yang masih gamang, formulir SNMPTN pun belum ter­isi, lantas asal saja memilih pa­kai­an untuk prom. Asal ada kemeja, dasi, jas, dan celana bahan, yang co­wok sudah bisa berlagak ja­di eksekutif di per­u­sa­ha­an ternama. Yang cewek sama saja, asal ada bla­zer dan blus pokoknya, su­dah berasa dosen. Bahkan ada yang berencana pakai jaket, celana jeans, dan ka­os saja, lalu menga­lungi SLR dan mengaku war­ta­wan. Beruntung yang orangtuanya punya profesi de­ngan pakaian khu­sus, macam PNS, dokter, atau mon­tir, sehingga penampilan mereka rada beda.

Sebetulnya Dean bisa saja pinjam jas ibun­da­nya yang bergelar dokter itu, atau sekadar pa­kai training dan mengalungi stopwatch bak ayahnya yang pelatih atlet. Tapi Dean kukuh ingin tampil se­ra­si dengan Rieka.

.

Pengumuman kelulusan.

Rieka gembira dengan nilai-nilainya.

Dean bersyukur nilai-nilainya cukup untuk me­luluskannya secara jujur.

SMANSON tidak memiliki tradisi corat-coret se­­ragam, namun Rieka dan Dean berencana untuk meng­­adakan acara “hias” seragam ala mereka. Me­re­ka kumpulkan berbagai macam pewarna, lalu sa­ling menghiasi seragam satu sama lain. Seragam itu ti­dak mereka kenakan, melainkan dihamparkan di lan­tai lantas dihias-hias, seperti anak TK lagi lomba meng­gambar.

“Kita ke prom pakai baju ini aja yuk, Neng.”

“Ih Yayan ngaco aja deh.”

Prom semakin dekat. Rieka masih belum ta­hu Dean bakal mengenakan apa. Rieka bahkan su­dah mematut-matut diri di depan Dean, saat Dean ma­in ke rumah Rieka di akhir minggu. Dean bilang ia sudah punya pakaian yang senada dengan blazer Ri­eka. Dean ganti mengajak Rieka main ke ru­mah­nya.

Rieka sudah beberapa kali bertandang ke ru­mah Dean, tapi ia masih merasa malu. Dean selalu mengon­disikan seluruh anggota keluarganya—wa­lau tidak selalu lengkap—agar menyambut Rieka de­ngan sebaik-baiknya. Padahal Dean diperlakukan bi­asa saja di rumah Rieka, seolah Dean adalah peng­huni rumah itu juga yang tidak harus dianggap be­gitu istimewa.

“Takut enggak ketemu lagi sama Rika, ka­ta­nya,” imbuh Ayah Dean begitu Rieka keluar da­ri da­pur. Sedari tadi Rieka membantu Bunda dan Za­ra menyiapkan makanan. Rieka menatap pria ra­mah itu dengan heran.

Dean, yang masih sok sibuk di dapur, ru­pa­nya mendengar itu lalu berkilah, “Ah Ayah, De­an kan entar masih mau balik lagi!”

“Sekalian aja sih Yan…” Bunda keluar de­ngan membawa pinggan yang mengepulkan asap. Wa­nita itu tersenyum begitu melihat Rieka. “Eng­gak apa-apa kan ya, Rika?”

Rieka menggeleng dengan sopan. Ia belum se­jam di rumah itu, tapi dari percakapan an­ta­r para peng­huni rumah itu ia tahu kalau masa depan Dean su­dah ditentukan. Cowok itu akan be­rangkat ke Bos­ton sehari setelah prom.

“Aku cuman mau registrasi sama audisi aja, Neng, paling enggak nyampe dua minggu juga udah ba­lik,” ucap Dean. Mereka menyepi di taman be­la­kang rumah, begitu makan malam ber­sama usai. Ia ulangi, “Aku pasti balik dulu. Kan enggak tahu juga ba­kal keterima apa eng­gak.” Cowok itu telah di­daf­tar­kan sang bunda untuk mengikuti summer pro­gram di Berklee College of Music. Secara me­nge­jut­kan aplikasi Dean diterima. Rieka menjadi jelas ke­na­pa setahun lalu Bunda mengirim Dean “liburan” ke Bos­ton, cowok itu telah dipersiapkan sejak lama.

“Ayah kamu bilang kamu takut enggak ke­te­mu lagi sama aku,” kata Rieka. “Jangan-ja­ngan emang kamu bakal enggak balik-balik lagi…”

“…ya kan belum tentu…! Bunda sih… Ka­lau­pun enggak keterima summer program-nya, Bun­da pi­nginnya aku tetep di Boston aja, belajar piano sa­ma temennya Pak Al di sana, sampai aku keterima di Berklee…” Suara Dean melemah. “Maaf aku baru nga­sih tahu kamu se­ka­rang. Aku takutnya kalau aku ngasih tahu kamu dari la­ma, bisa-bisa aku eng­gak jadi berangkat. Kamu pasti bakal nyegah-nye­gah aku…”

“Ih apa sih!” Rieka memukul lengan Dean pe­lan, sedang cowok itu mesem saja. “Akhirnya ka­mu fokus sama bakat kamu, Yan…” Rieka tidak me­nger­ti kenapa suaranya melirih, dibarengi isak. “Aku seneng kok, Yan.” Kedua belah bibir Rieka sa­ling menekan. Rieka menubrukkan pundaknya ke le­ngan Dean, lalu tangan cowok itu merengkuh sisi pun­dak Rieka yang lain. “…aku yakin kamu bisa ja­di pianis hebat.”

“…entar susah kalau kita pingin ketemuan…” na­da Dean yang muram.

“…ya…” Rieka tidak ingin membuat suasana ki­an suram. Apanya yang suram. Justru sepertinya ma­sa depan yang cerah akan menyambut Dean. “Ki­ta kan masih bisa ketemu, Sayang,” suara yang agak parau membuat Rieka malu. “Di Skype, Twitter, apa kek…”

“…setiap hari…”

“Iya, setiap hari…”

Rieka lepaskan rangkulan Dean.

“Yang penting kamu udah jelas kamu jadi apa… Toh bakat kamu emang di situ kan?” Rieka meng­genggam tangan Dean untuk menguatkan co­wok itu. “Semangat ya Yan, yang yakin cita-cita ka­mu bakal kesampaian. Kata Pak Al juga, ba­kat ka­mu itu harus terus diasah, otherwise it’s nothing.”

Dean tersenyum. “Jadi mau liat enggak, aku pa­kai apa besok?”

“Kamu bakal dateng sebagai pianis?”

Dean mengerutkan kening seraya meng­geleng. “Enggak. Aku kan udah nyocokkin sama ka­mu.”

Rieka berdecak. Dean masih saja keras ke­pa­la. Rieka pun menggeleng. Malam terus berjalan. Ri­eka lebih ingin lekas pulang, dan menyimpan hal yang tidak akan mengejutkan lagi baginya besok ma­lam, tapi tetap menggembirakan sekaligus me­le­ga­kan baginya.

.

Di pembuka malam itu Dean bersama Hat­to­ri datang ke rumah Rieka. Rieka perhatikan setelan De­an memang serasi dengan padu padan yang ia ke­nakan. Rieka kira seorang pianis bakal ber­pa­kai­an lebih formal, sebelum menyadari bahwa seorang mu­sisi bisa saja berpakaian sesuka hati. Ah terserah De­an lah.

Rieka biarkan Dean mengemudikan March, wa­lau agak ketar-ketir. Dean meyakinkan Rieka bah­wa ia sudah lancar, antara lain berkat kursus pri­vat lagi cuma-cuma dari Pak Sam (soal biaya di­tang­gung majikan resmi saja lah). Tapi Dean belum me­miliki SIM A. Ditilang polisi bakal menjadikan ma­lam ini semakin indah, kata Dean. Melihat sikap De­an yang sangat percaya diri Rieka menjadi lu­ma­yan tenang.

Gemerlap SMANSON dalam gelap tampak da­ri kejauhan. Rangkaian lampu kecil-kecil di­pa­sang mulai dari pepohonan di area parkir guru, sta­di­on, hingga lapangan. Area yang terbuka seperti la­pangan dinaungi kuncup-kuncup putih, sekiranya ba­kal hujan. Setiap peserta prom harus mengambil name tag dulu di muka stadion, baru di­per­ke­nan­kan masuk lebih dalam ke area sekolah.

“Lagunya kok kayak lagu tepang sono ba­pak-bapak berumur gini, Son?” tegur Dean pada be­berapa adik kelas yang menjaga meja registrasi.

“Kan konsepnya kayak reunian gitu, Kang. Ja­di ceritanya akang-akang sama teteh-teteh ini udah pada sukses, terus balik lagi ke sekolah…” te­rang salah satu adik kelas yang cewek. Ia me­nge­na­kan kebaya dan sanggul, sementara ada temannya yang hanya mengenakan kaos dan celana jeans. Tam­pak panitia sendiri tidak memiliki konsep jelas me­ngenai dresscode mereka. Dalam hati Rieka mem­banding-bandingkan prom tahun ini de­ngan prom tahun lalu yang mana ia menjadi pa­ni­tia.

Akhirnya Rieka bisa maju dalam antrian. “Teh, ini…” seseorang menyodorkan name tag pada Ri­eka. Sementara Rieka memilih spidol mana yang akan ia gunakan untuk menggurat keterangan di name tag, Dean masih mengobrol dengan para adik ke­las. “Baru aja lulus udah reunian lagi,” begitu ko­men­tar Dean yang Rieka dengar. Selanjutnya co­wok itu tertawa-tawa dengan mereka. Seketika lagu yang tenang lagi mendayu-dayu digantikan oleh la­gu kontemporer yang mengajak jingkrak-jingkrak.

“Yan, ini, Yan…”

Dean mengambil name tag yang Rieka se­rah­kan, tanpa beranjak dari obrolan dengan para adik kelas. Rieka temukan spidol yang cocok. Dean me­longok selagi Rieka tuliskan nama berikut gelar yang ia dambakan, serta pro­fesi idaman di masa de­pan, pada name tag sesuai petunjuk dari panitia. “AD­VOKAT”, demikian sepenggal tulisan Rieka mes­ki ia tahu jurusan Hu­kum bisa saja meng­a­rah­kan­nya pada profesi lain yang sebidang. Dean baru se­lesai menulis ke­tika Rieka sudah menyematkan name tag di dada.

“Sini aku pasangin.” Rieka mengambil name tag Dean. Sekilas ia membaca kata di bawah nama De­an—cowok itu tidak melengkapinya dengan gelar apa­pun. Rieka tertegun. Kertas berbalut plastik te­bal itu bergeming dalam genggaman. Tidak ada “PIANIS”, “PEMAIN PIANO”, apalagi “PENYIAR RA­DIO”.

Rieka tengadah. Senyum Dean begitu hangat pa­danya. Kini Rieka mengerti kenapa Dean kukuh ka­lau pakaian mereka harus se­rasi, tidak peduli apa­pun profesinya kelak. Itulah cita-citanya.

“Aku pingin datang sebagai suami kamu, Ri­eka.”

Lengan kanan cowok itu menekuk, menanti le­ngan Rieka mengait di sana.



[1] Water heater

[2] The Panas Dalam - Persoalan

[3] Performed by JKT 48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain