Senin, 31 Desember 2012

XI. Epilog (versi 1)

Rieka yang mahasiswi Fakultas Hukum se­bu­­ah perguruan tinggi negeri di Bandung. Me­nye­le­sai­kan studi dalam tempo 3,5 tahun dan menjadi ak­­tivis BEM tercatat di organizer miliknya, pun tang­­gal dan jam di mana ia akan menyalakan Skype un­tuk bersua yang tersayang. Di organizer pula ter­te­ra daftar mengenai apa saja yang harus Rieka ingat­kan pada Dean tiap kali terhubung. Jangan lu­pa makan, yang banyak, yang teratur! Jangan lupa sa­lat. Jangan lupa kunci pintu apartemen. Jangan lu­pa pakai jaket. Jangan lupa buang sampah. Ja­ngan lupa cuci piring. Jangan lu­pakan aku.

Mereka dipisahkan rentang 12 jam. Ketika Ri­­eka usai kuliah, Dean sedang meneguk kopi di se­be­­rang dengan mata terancam mengatup sewaktu-wak­tu. Rieka menawarkan diri agar ia yang be­ga­dang sekali-kali, tapi Dean tidak mau.

Siang Rieka sibuk. Dean menawarkan sore, di mana pagi bagi Rieka pun sibuk. Dean yang pagi, Ri­eka sedang sore, tapi Dean belum bangun. Ba­ngun atuh, salat subuh enggak sih? Dean ce­nge­nges­an. Rieka tidak bisa mengingatkan Dean lewat te­lepon sebagaimana dulu. Dean mengajukan sore sa­ja untuk Rieka, biar Dean yang pagi termotivasi un­tuk bangun. Tapi kadang Rieka punya acara saat so­re. Ya sudah kalau begitu mah kayak begini lagi aja…

Rieka minggat sebentar, lalu kembali dan men­dapati Dean ketiduran bertelekan meja atau ber­sandar di kursi. Namun Rieka bergeming. Me­non­ton cowok itu tertidur, sampai waktu bagi Rieka un­tuk mengerjakan aktivitas lain. Boston sejuk saat mu­sim panas dan bersalju saat musim dingin, Dean kem­bali jadi jumper mania. Potongan rambut ce­pak saja. Wajah menirus. Tidak tampak lagi kesan metroseksual dari dirinya.

Tahun pertama di Boston Dean memutuskan un­tuk memperpanjang masa orientasinya. Ia ber­la­tih piano secara intensif dengan bimbingan teman Pak Al yang notabene mengajar di Berklee, serta be­kerja paruh waktu. Biaya hidup di sini mahal, Neng, kata Dean, seolah sang ibunda tidak mem­be­ri subsidi yang cukup. Tentu Dean pun melihat pe­lu­ang berupa program beasiswa unggulan dari Ke­men­dikbud RI, tapi mendapat beasiswa atau tidak me­nurut Bunda Dean harus segera melanjutkan pen­didikan.

Tahun kedua di Boston Dean mengambil ju­rus­an Performance dan entah apa lagi… Yang lebih pen­ting bagi Rieka adalah bagaimana Dean me­nik­mati hidupnya yang baru. Banyak istilah baru da­lam dunia musik yang harus Dean kuasai, begitu je­li­met, bikin ruwet. Dean mulai risau akan GPA. Pi­a­no dan akademis bukan kombinasi bagus, menurut De­an, ia masih melihat dua hal tersebut bagaikan mi­nyak dan air. Belum masalah lain. Pandai ber­te­man tidak menjamin segalanya selalu berjalan lan­car. Lagipula di Boston tidak ada emang-emang yang bisa Dean ajak mengobrol sewaktu-waktu. De­an paham culture shock yang ia alami, lagipula ia per­nah tinggal di Boston sebelumnya sejak bayi hing­ga balita, namun mendengarnya mengeluh membuat Rieka gulana.

Pernah Dean bilang, ia membentuk grup mu­sik bersama beberapa teman yang asyik, dan na­ma grup tersebut adalah Riekaholic.

Pernah Dean bilang, ia ingin kembali ke In­do­nesia saja, lalu menjadi mahasiswa di fakultas sam­ping fakultas Rieka.

Pernah Dean bilang, ia menjadi sukarelawan di pusat kegiatan remaja setempat, dan mengajari a­nak-anak bermain musik itu ternyata me­nye­nang­kan.

Rieka harap Dean tidak bosan dengan ber­ba­gai upaya Rieka agar cowok itu selalu optimis. Ri­e­ka bilang pada Dean bahwa ia bayangkan Dean mam­pu menjadi setaraf Richard Clayderman, Bubi Chen, dan berbagai nama lain yang sengaja Rieka te­lusuri sebelumnya di internet.

“Kalau suatu saat kamu konser di Indonesia, a­ku janji bakal nonton kamu di paling depan,” en­tah kalimat ini sudah Rieka ucapkan berapa kali. 

Tahun ketiga di Boston mereka memasuki fa­­se baru dalam hubungan mereka. Dean, kamu ja­ngan ngerokok lagi. Rieka, si Juwi bilang kamu ja­lan sama Ryan ya, siapa tuh Ryan. Dean, kenapa sih enggak di sini enggak di sa­na teman-teman ka­mu tipenya kayak begitu terus. Rieka, aku nungguin ka­mu dua jam, besok a­ku ada tes, dan enak banget ka­mu bilang kalau kamu mendadak ada acara, kenapa sih kamu enggak ngomong dari sebelumnya. Dean, kamu tuh enggak per­nah dengerin ka­ta-kata aku. Rieka, aku enggak bi­sa terus-terusan ber­u­sa­ha jadi Deraz, aku nye­rah.

Dean meninggalkan layar begitu saja. Ting­gal sandaran kursi yang berhadapan dengan Rieka.

Siapa, Dean, siapa…

…siapa yang menyuruh kamu untuk jadi Deraz…

Rieka menutup muka. Tersengguk.

 

*akhirnanowrimo2012*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain