Rabu, 20 Oktober 2021

20. MENABRAK DINDING

Mama punya lagu favorit baru, yang sebenarnya lagu lama, cuma baru-baru ini mendengarnya di radio, dan suka, dan menyanyikannya terus. "Inikah tanda-tandanya, bunga asmara ... ingin bersemi sekali lagi ...."[1]

Mama suka pamer bahwa dahulu ia pernah menjuarai kontes vokal. Terlepas dari bagaimana merdunya suara Mama, Risky kerap terganggu mendengarnya bernyanyi. Tapi kini setelah ia menguasai lantai dua yang terpencil, sepertinya bakat itu turun kepadanya. Ketika tidak ada siapa-siapa di sekitarnya, dengan sendirinya, tahu-tahu saja ia bernyanyi. Kemudian ia tersadar, tapi meneruskan saja sembari menikmati suaranya sendiri. Ia tidak tahu bagaimana kualitas vokalnya, menginsafi dirinya awam akan teknik-tenik bernyanyi. Tapi dalam pendengarannya, begini saja pun suaranya boleh juga lah. Ia mungkin hanya perlu sering-sering berlatih menyanyikan sebuah lagu secara utuh. Lalu nanti kalau tidak lulus UMPTN lagi, ia akan mencoba peruntungannya di Asia Bagus.

Ide menjajal Asia Bagus itu timbul berkali-kali dalam pikirannya, tiap kali ia sadar sedang bernyanyi begitu saja saat ada potongan lagu yang melintas, menggeser rencana kuliah di kampus swasta sembari bekerja.

Lama-lama ia memikirkannya, Inikah tanda-tandanya ...?

Tanda lainnya timbul ketika ia sedang menyimak sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Mulanya ia sekadar menikmati paras Sarah dan kemudian ada Zaenab, walau, setelah mengetahui tanggal lahir pemeran keduanya, Bolehlah sedikit lebih tua. Tapi lalu ia terjerat oleh jalan ceritanya dan semakin menantikan setiap episode. Ia mendapati kemiripan-kemiripan antara dirinya dan si Doel. Pertama, kumisnya mulai tumbuh agak lebat seperti si Doel. Kedua, ibu mereka sama-sama bernama Lela. Ketiga, mereka satu selera soal wanita. Keempat, sekaligus yang terutama, si Doel kuliah jurusan Teknik Mesin hingga meraih gelar insinyur, dan belum juga mendapat pekerjaan .... Memang Risky belum lagi diterima di ITB, sehingga tidak begitu saja sama dengan si Doel dalam kuliah jurusan teknik dan meraih gelar insinyur dan ... sulit mendapat pekerjaan ...? Tapi kan nanti dia lulusan ITB, sedang si Doel lulusan kampus mana? Si Edo yang kuliahnya sampai hampir tujuh tahun saja bisa langsung mendapat pekerjaan.

Itu juga kalau Risky dapat bertahan sampai semaksimal-maksimalnya tujuh tahun, kalau tidak ...?

Kalau dia pada akhirnya mesti kuliah di kampus swasta, dan tetap memilih jurusan teknik ....

Tanda lainnya yaitu ketika ia membereskan koleksi kasetnya yang diacak-acak Adek. Alasan Adek, mau dengar drama Kesatria Baja Hitam, tapi malah membukai sampul setiap kaset dan melihat-lihat gambarnya. Selagi beres-beres itu, Risky menemukan kaset-kaset yang sudah jarang didengarnya sejak ia keranjingan hiphop. Di antaranya ada Iwan Fals dan Kantata Takwa.

Risky membeli kedua kaset tersebut tidak lama setelah pulang dari Jepang. Anak-anak di kelasnya pada menggemari Iwan Fals. Karena penasaran, ia pergi ke toko kaset mencarinya dan kebetulan pada waktu itu Kantata Takwa baru merilis album. Saat ia ditegur penjaga toko dan menjawab "Iwan Fals", kaset Kantata Takwa sekalian dikeluarkan. Penjaga toko itu menjelaskan bahwa Iwan Fals dan tokoh-tokoh lain membentuk grup tersebut. Risky pun membeli kaset itu sekalian kaset Iwan Fals yang pertama dirilis, yang ada "Umar Bakri"-nya--lagu yang paling ia kenal--dan albumnya itu sendiri berjudul Sarjana Muda. Ketika Risky menyetelnya di rumah, ia selalu meloncati lagu pertama yang sekaligus merupakan judul album tersebut. Soalnya, lagunya sendu-sendu suram begitu, tidak sesuai dengan selera Risky. Barulah sekarang ini judul tersebut menarik perhatiannya. Ia mengambil pensil dan memutar pita kaset itu sampai pol, lalu memasukkannya ke tape. Ia menyimak, sekalian membaca lirik yang tertera di balik sampul. Seketika itu juga, ia menjelma sebagai pria muda yang sedang berjalan dengan jaket lusuh di pundaknya. Bibirnya yang kering mengapit sebatang rumput liar, mungkin sudah kehabisan uang untuk membeli rokok.

Engkau sarjana muda

Resah mencari kerja

Mengandalkan ijazahmu

Ini lulusan kampus mana sih? Pasti bukan ITB.

Risky mengeluarkan kaset dari tape, menyelipkannya ke lipatan sampul, dan memasukkan ke kotaknya, lalu ke dalam rak khusus koleksi kaset, sepojok-pojoknya, sedalam-dalamnya.

Selanjutnya, ia meraih sampul album Kantata Takwa dan memindai judul lagu-lagunya.

"Orang-orang Kalah"

"Balada Pengangguran"

"Gelisah"

"Air Mata"

Risky mengernyit. Ia mencari-cari kaset album tersebut, memutarnya di tape, yang lantas memperdengarkan kepadanya tepat pada bagian,

Misteri!

Ijazah tidak ada gunanya

Ketekunan tidak ada artinya

Pembangunan, oh!

Pengangguran, ya!

Ya ha ha ha

Oh, ya!

Penerangan, oh!

Kegelapan, ya!

Putus asa

Oh, ya!

Oh, ya o!

Akan merampok takut penjara

Menyanyi tidak bisa

Bunuh diri 'ku takut neraka

Menangis tidak bisa

Kok lagunya seram begini?!!?

Risky mematikan tape.

Tanda lainnya yaitu ketika Mama menegur Risky setelah Edo berhenti datang. "Kamu enggak belajar sama Adin aja lagi?"

"Enggak."

"Tahun ini kan dia UMPTN juga."

Apa?

Betapa cepatnya waktu berlalu. Saladin yang baru masuk SMP ketika Risky akan lulus SMP, dan baru masuk SMA ketika Risky akan lulus SMA, sebentar lagi akan mulai kuliah bareng-bareng Risky.

Itu juga kalau Risky lulus UMPTN kali ini.

Bagaimana kalau Saladin lulus sedang Risky sekali lagi tidak?

Risky harus lulus tahun ini. Tidak bisa tidak.

Bagaimana kalau tidak?

Risky tidak bisa memastikan peluangnya untuk lolos ke ITB apakah lebih besar daripada kalau tidak lolos, lagi. Ia sudah gagal dua kali, kenapa tidak untuk yang ketiga kali?

Risky mencamkan bahwa ia harus optimistis, dan mengoptimalkan bulan-bulan yang tersisa ini. Masih ada waktu.

Masih ada banyak peran

Yang bisa kita mainkan

Andy Liany memberi tahu dia dalam lagu "Masih Ada". Tapi Risky tidak mau peran lain. Bila hidup ini bagaimanapun juga mesti dijalankan, hanya satu peran itu yang ia inginkan.

Kali ini tidak boleh gagal!

Tapi, semakin ia berusaha memupus kemungkinan untuk gagal, sepertinya semakin berkabut juga otaknya sehingga ia mulai mengharapkan keberadaan Doraemon--SEKARANG JUGA--untuk dimintai roti hafalan, mungkin juga mesin waktu, untuk memastikan, sebab kalau tidak, kalau tidak, buat apa ia berusah-susah begini ....

Risky mengenyahkan pikiran-pikiran buruk itu dengan bermain Tetris, yang kalau dipikirkan sesungguhnya sekadar menyusun balok-balok beragam bentuk yang apabila cocok lantas hilang begitu saja.

Hilang begitu saja. Pergi, seperti kekasih imajiner Risky yang tiba-tiba saja terdengar kabarnya tewas dalam kecelakaan mobil. Ia seusia Risky, begitu belia dan lagi tenar-tenarnya. Belum lama ini, Risky baru saja membeli albumnya yang terbaru.

"Kasihan, ya, masih muda ..." desah Mama saat berita itu muncul di televisi.

Risky terlongo-longo menyimaknya, dan tentu saja terlintas dalam benaknya pertanyaan, Kenapa? Kenapa penyanyi kesayangannya harus pergi secepat ini? Yang, saking cintanya ia kepada gadis itu, sampai-sampai terpikir: Kenapa bukan ia saja yang menggantikan posisi gadis itu? Seandainya ia tahu ini akan terjadi. Seandainya saja ia dapat bernegosiasi dengan malaikat maut sehingga, alih-alih mencegat Nike di Jalan Riau pagi itu, malah jalan terus sampai ke rumahnya, dan mengambil nyawanya saja. Dengan begitu, ia tidak harus berpusing-pusing lagi memahami semua materi pelajaran SMA--yang diperumit oleh Edo dengan menambahkan materi TPB ITB--yang entah yang mana yang bakal keluar di UMPTN besok; ia tidak perlu lagi terus menanggungkan kehinaan. Meski, tentu saja tidak seperti Nike yang beruntung karena pergi pada saat orang-orang sedang meninggikannya, mencintainya, dan akan terus mendoakannya sampai puluhan tahun kemudian, penguburannya mungkin akan diiringi sedikit orang saja. Mungkin Mama akan meratap, "Kamu belum sempat banggain Mama ...!", tapi, persetan, itu tidak penting lagi, itu urusan Mama anaknya mau jadi apa, sedang yang bersangkutan sudah tidak ada lagi urusan di dunia. Sesudah itu, bertahun-tahun kemudian, adiknya akan menempati kamarnya. Teman-teman Adek yang sudah besar itu berkunjung dan melihat potret yang terpampang di meja, atau pada dinding. Sosok dalam potret itu mirip Adek, yah, kata orang-orang sih begitu, tapi entah bagaimana rupa Adek belasan tahun dari sekarang. Kembali ke potret, "Itu siapa?" tanya teman-teman Adek. Lalu anak itu mengambil potret tersebut, memandanginya takzim, dan berkata, "Dulu aku punya kakak. Tapi dia sudah tiada, dari sejak aku TK nol kecil."

Tapi, memang Risky meninggal karena apa? Kenapa ia malah memikirkan kematian alih-alih soal yang berjejer di hadapannya ini? Edo sialan! Kalau dikiranya materi TPB ITB dapat membuat soal-soal UMPTN terlihat lebih mudah, dia salah! Atau, Risky saja yang bebal, ya, sepertinya itu yang benar. Betapa lemahnya menghadapi persoalan begini saja gentar, bahkan Shigeo pun membenarkannya. Petang itu, Shigeo menjambak Risky dan berteriak dekat-dekat ke mukanya hingga terhirup bau alkohol. "Anak lemah kayak kamu enggak pantas tinggal di negara ini! Pulang aja sana!" Setelah itu, kepalanya dicampakkan dan ia memandang kepergian Shigeo yang terus mencak-mencak. "Dasar enggak tahu berterima kasih!"

Eh ....

Kenapa Shigeo begitu, ya?

Risky mengingat-ingat.

Oh!

Sebelumnya, Risky lah yang meledak. Memang ia yang terlebih dahulu mengatakan, "Aku benci Jepang! Aku mau pulang!" sambil air matanya dan air hidungnya bercucuran, kemudian meratap memanggili Simbok nun jauh di sana.

Sebelumnya, ia dan Shigeo berlari-lari, atau, lebih tepatnya, ia diseret Shigeo sepanjang jalan--dan kadang-kadang Shigeo berganti posisi ke belakangnya untuk mendorong dia agar berlari lebih cepat--sementara di balik punggung mereka berkejaran satu geng berandal SMA. Anak-anak itu yang kerap mencegat Risky sepulang sekolah, mempermainkannya dengan meminta uang sakunya, mengawur-awurkan isi tasnya, menghajarnya. Namun pada sore itu Shigeo penasaran membuktikan kebenaran perkataan Risky tentang mereka. Sebelum memutuskan untuk berangkat, ia memikirkan apakah yang mesti dilakukannya jika Risky berdusta dan jika Risky jujur. Jika Risky berdusta, tentu Shigeo tak mau mengawaninya lagi. Malah kalau perlu, ia hajar betulan anak itu. Jika Risky jujur .... Shigeo menenggak satu kaleng bir dan lalu membawa serta pemukul bisbol untuk berjaga-jaga.

Mendekati viaduk, Shigeo mendapati perisakan benar terjadi sedangkan Risky tak berkutik. Sebagai atlet bisbol sekolah, Shigeo terlatih berlari cepat; para berandal itu tak menyadari tahu-tahu saja ia telah berada di antara mereka, melancarkan tendangan telak pada salah seorang yang barusan pula menendangi Risky. Kontan, semua teralihkan padanya. Shigeo mengayun-ayunkan stiknya, entah menantang atau mengancam. Risky memanfaatkan kesempatan untuk mengumpulkan isi tasnya yang berserakan di rumput, sementara para perundungnya menyerang Shigeo. Setelah semua isi tasnya telah masuk kembali, Risky terjebak antara lari menyelamatkan diri atau membantu Shigeo yang membabi buta melawan empat orang sekaligus--malah lima, setelah yang tadi ditendangnya berhasil bangkit lagi.

Awalnya saja Shigeo pandai berkelit. Namun setelah beberapa lama ia tertangkap juga dan hampir saja dikeroyok, kalau Risky tidak keburu menarik salah seorang di antara penyergapnya. Kali ini Risky tidak pasrah saja saat bogem menghantamnya. Ia mengerahkan tinju dan tendangan, menggeliat sekuat tenaga, menyikut, menyundul, menggigit sana sini. Namun pertarungan memang tidak seimbang, biarpun sudah dibantu pentungan bisbol Shigeo. Baik dari ukuran tubuh maupun jumlah tenaga, mereka kalah. Shigeo merenggut kerah baju Risky, dan menyeretnya lari dari pertarungan.

Bahkan Shigeo pun tahu kapan harus menyerah.

.

Begitu pula si Kepiting. Pagi itu salah satu sudut halaman sekolah dikitari garis polisi. Karena ramai anak-anak yang penasaran di sekitar situ, Risky malas mendekat. Ia langsung saja naik ke kelasnya, duduk di bangkunya. Lalu ia mendapati ada surat di kolong bangkunya. Seketika ia mengira itu balasan dari cewek yang disukainya. Akhirnya cewek itu insaf, pikir Risky girang. Ia menantikan kalimat seperti, Sebenarnya aku juga suka kamu, tapi karena teman-temanku ....

Alih-alih, surat itu bunyinya begini:

Risuki-kun,

Aku telah memutuskan untuk pergi menyusul ibuku.

Sekarang kamu yang sendirian.

Baik-baik, ya.

Kemudian, wali kelas mereka masuk dan mengumumkan kematian si Kepiting.

Risky merenyukkan kertas surat itu dan nantinya membuangnya ke tong sampah. Petangnya, setelah bergelut dan berkejaran dengan para berandal SMA, ia tak dapat menahankannya lagi. Sialan Si Kepiting. Risky tidak pernah tahu bagaimanakah kehidupan Si Kepiting yang sebenarnya. Anak itu tak pernah membuka diri; bukannya Risky sendiri kerap melakukannya kepada anak itu. Lalu tahu-tahu dia pergi begitu saja dengan cara yang sebrutal itu! Segala perkataan Si Kepiting, dari awal Risky mulai bercakap dengan dia sampai yang belakangan terngiang-ngiang dalam benaknya.

Jangan suka sama dia.

Kamu ini tolol, ya.

Dibilangin juga apa.

Kamu beruntung masih bisa ngutil dari orang tua.

Kamu beruntung ...

... masih ...

... orang tua.

Aku memang selalu sendirian.

Aku memang selalu sendirian.

Cah lanang ojo gembeng tho!, suara Simbok dan cubitan pamungkasnya.

Simbok .... Simbok ...!

Shigeo meninggalkannya, dan Risky tak sanggup berkata, "Temanku baru mati." Ia juga tak sanggup menyampaikannya kepada Mama sepulangnya ke apato.

Mama sedang menisik baju seragam Risky yang robek. Tangannya yang tidak terampil malah menusukkan jarum ke jarinya sendiri hingga menitikkan darah. Mama mengaduh, mengulum jarinya, dan mendapati Risky menatapnya, dalam pakaian seragam yang ... lagi-lagi dekil dan sobek! Mama memelototinya namun anak itu cepat-cepat masuk ke kamar sambil menempelkan lengannya ke mata. Mengherankan!



[1] Mus Mudjiono - "Tanda-tanda"

Rabu, 06 Oktober 2021

19. VISUALISASI

Ini terjadi sewaktu Edo masih memberi les privat kepada Risky. Tapi ketika itu ia sedang menghilang--rekor terlama ia menghilang. Risky yang tidak tahu--dan entah kenapa tidak begitu berharap juga--kapan lagi Edo bakal datang, leyeh-leyeh saja di ruang tengah sambil melihat-lihat isi majalah Matra.

Ia sampai pada halaman yang mengangkat tentang seorang pria dengan hobi paralayang. Tidak hanya itu, pria tersebut juga bekas pilot pesawat ultralight, pesawat swayasa, penerjun payung, dan pembalap gokar. Sejak kecil, pria tersebut memang ingin menjadi penerbang dan suka memereteli mesin. Risky semakin terpesona saat disebutkan bahwa pria itu sarjana teknik mesin lulusan ITB.[1] Ia merasa dapat mengaitkan diri. Dahulu ia juga ingin bisa terbang dalam robot Gundam. Tapi, untuk menghindari kemungkinan tewas dalam perang antargalaksi, ia berkompromi dan memutuskan untuk bekerja di balik layar saja, entahkah sebagai perancang atau montir--yang karangannya tentang itu entah bagaimana pernah dibaca Papa itu. Memereteli mesin memang belum pernah, tapi ia suka merakit mainan jadi sepertinya itu agak-agak mirip lah. Dan, salah satu jurusan pilihannya di UMPTN nanti adalah Teknik Mesin ITB. Jadi, seandainya nanti ia berhasil masuk dan lulus kuliah dari situ, masa depannya kemungkinan akan seperti bapak ini: jangankan untuk menafkahi satu istri dan dua anak, untuk menjalankan hobi-hobi yang pastinya mahal itu saja ia mampu. Luar biasa. Ia akan menjadi manusia yang luar biasa kelak.

Andai a a a a aku jadi orang kaya ....

Andai a a a a anggak usah pakai kuliah di ITB ...[2]

Seketika itu, ia teringat pada biografi presiden pertama Indonesia yang ia terlupa pernah membacanya di mana. Soekarno yang lahir pada 1901 itu mulai berkuliah di ITB--walau namanya waktu itu belum ITB--pada 1921, yang berarti pada usia 20 tahun, persis dengan usia Risky nanti ketika mulai berkuliah di ITB, kalau lolos dari UMPTN berikutnya.

Mendapati kemiripan-kemiripan itu, Risky merasa jalan kebesaran mulai terbentang untuk dia ....

Bel berbunyi. Risky merutuk dalam hati, tidak berharap Edo kembali secepat ini. Adek lagi di TPQ, tidak ada yang bisa disuruh-suruh untuk membukakan pintu. Mama di kamar mandi. Risky pun terseok-seok ke pintu depan, dan ....

Risky belum pernah sedekat ini dengan gadis itu. Matanya begitu bundar dan meruapkan kehangatan, aromanya seharum pisang. O rupanya ia membawa seloyang bolu pisang yang baru matang.

"Oh, Shelly ..." tahu-tahu saja Mama muncul menyenggol Risky ke tepi.

"Dari Mama," ah, suara gadis itu tak kalah renyah daripada pinggiran bolu yang nanti dilahap Risky hingga hanya menyisakan separuhnya saja untuk dibagi tiga antara Adek, Mama, dan Papa.

"Duh, makasih, yaaa. Jadi ngerepotin ...." Mama berbasa-basi dengan gadis itu, sementara Risky terpaku di tempatnya terhalang oleh jendela.

Shelly ....

Malamnya, Risky menuliskan nama itu di kertas.

S E L I

Risky mengernyit.

Seli ... na Dion?

Seli ... guk guk guk ayo lari-lari?

S H E L L Y, Risky menulis lagi. Kelihatannya lebih cantik. Ia merasa yakin, dan memang begitu cara menuliskan nama tersebut yang sesuai dengan akta kelahiran pemiliknya.

Kembang di hati Risky tidak segera menguncup lagi, sebab Mama keburu menyiraminya dengan bolu balasan. Tadinya Mama mau membuat sendiri bolu itu menggunakan oven yang cicilannya baru sebagian dibayarkan menggunakan pinjaman dari uang saku Risky. Rupanya Mama Risky dan Mama Shelly membeli oven itu sama-sama, ketika ada orang sales yang menyusup ke arisan. Mama Shelly sudah mengetes oven itu terlebih dahulu dan mengirimkan hasilnya yang berupa bolu pisang itu kepada Mama Risky, yang kalau tidak begitu mungkin sudah lupa telah membeli oven. Setelah beberapa kali percobaan yang bantat atau gosong, Mama pergi ke toko kue untuk memesan secara khusus pada waktu yang ditentukan. Petang itu, segera setelah Papa pulang, Mama meminjam mobilnya untuk mengambil pesanan yang baru keluar dari panggangan itu. Risky disuruh menyetir sebab Mama belum berani dengan mobil; dengan motor pun, paling jauh hanya ke pasar terdekat. Mama telah menyiapkan plastik hitam besar untuk membungkus dus berisi kue tersebut. Hari sudah gelap ketika mobil masuk lagi ke garasi. Sebelum keluar dari mobil, Mama memastikan benar-benar tak ada seorang pun di jalan, tak ada juga yang sedang menyibak gorden di rumah-rumah sekitar. Walau memerhatikan kelakuan Mama dengan malu, setelah bolu itu dipindahkan ke wadah suguhan yang cantik, Risky menawarkan diri untuk mengantarkannya. Sekarang ia tahu pasti letak rumah Shelly. Sambutan Mama Shelly begitu hangat, menunjukkan keakraban di antara kedua wanita itu, tapi sayang, dari ambang pintu depan rumahnya yang terbuka demikian lebar, tidak tampak gadis itu walau cuma batang hidungnya.

Meski begitu, sepanjang jalan pulang sampai terduduk di kursi belajarnya, Risky tidak sadarkan diri sebab terhanyut dalam khayalan.

Suatu saat Mama akan berkata, "Risky, sudah waktunya kamu menikah. Mama sudah pilihkan gadis perawan yang baik-baik, anak sahabat Mama!"

Risky serta-merta akan menyergah, "Ma, biar aku menentukan jodohku sendiri! Ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya!"

Tapi, seperti biasanya, Mama memaksakan kehendaknya. "Sudah, jangan melawan! Jadilah anak berbakti! Cepat siap-siap! Kita mau makan malam sama mereka!"

Terpaksa Risky menuruti perintah Mama. Malam itu, mereka sekeluarga datang ke sebuah restoran mewah, untuk bertemu dengan keluarga lainnya yang ternyata sudah familier--tetangga mereka sendiri yang rumahnya di ujung jalan! Shelly yang berdandan untuk acara khusus itu lebih cantik daripada biasanya ....

Hari-hari bersama Edo menjadi tertahankan sejak itu. Bila sedang lowong, Risky sering-sering menongkrong di balkon hasil rancangannya yang terletak menjorok ke dalam terhalang oleh kamarnya sehingga tak tampak dari jalan itu. Ia memandang ke jalan kalau-kalau Shelly melintas. Walau, setelah beberapa kali dilakukan pengamatan, sepertinya gadis itu biasa lewat jalan yang lain.

Setiap kata-kata celaan dari Edo ditangkisnya walau cuma dalam hati.

Liat aja. Gue bakal buktikan bahwa kesempatan berikutnya benar-benar milik gue.

Ketika Pak Habibie sedang muncul di televisi dan kebetulan di dekat situ pun ada Risky, Mama berceletuk, "Lihat, tuh, Ki! Coba kamu kayak Pak Habibie."

Risky membatin, Jangankan pesawat, nanti aku bikin robot tempur!

Oitsuki, oikose! Kejarlah, dan lebihilah! Ijazah ITB di genggaman, Shelly dalam pelukan, robot swayasa dalam jangkauan, Hahahahaha!

Dan, saat ia melihat adiknya bermain bersama anak-anak tetangga, satu tahun dari sekarang anak itu akan mengoceh kepada mereka, "Kakak aku kuliah di ITB lo!"

Dan, kepercayaan dirinya untuk kembali membeli rokok di warung terdekat akan pulih. Sudah bisa ditebak apa yang bakal diomongkan para ibu perumpi itu saat mereka melihatnya lagi, hanya saja kali ini bukan fitnah: "Gitu-gitu dia pintar juga!"

Kabar pun akan tersiar sampai ke ujung jalan, di mana rumah Shelly berada. Gadis itu mulai melihat dia sebagai calon pasangan idaman. Mungkin Shelly akan sering-sering mengantarkan bolu ke rumah Risky. Kalau mamanya tidak sempat bikin, Shelly akan membuatnya sendiri demi kemungkinan berjumpa Risky. Risky pun akan lebih sering menongkrong di depan televisi ruang tengah, karena letaknya yang lebih dekat dengan pintu depan ketimbang kamarnya sendiri, demi menanti kedatangan Shelly.

Dalam penantian yang entahkah bakal terwujud itu, Risky berkunjung ke toko buku. Niatnya membeli satu pak kertas kuarto untuk coret-coret soal dan gambar, sekalian melihat-melihat komik terbitan baru, dan pulangnya mampir ke toko mainan untuk menambah koleksi model kit seperti biasanya. Namun kali itu, saat melewati bagian kertas surat, Risky berhenti. Ia mengambil satu kemasan kertas surat bergambar seraut wajah perempuan yang entah bagaimana dalam pandangannya sekonyong-konyong menyerupai Shelly. Barang itu masuk dalam belanjaannya.

Padahal Risky bukan penggemar korespondensi. Tapi, pada kesempatan itu, setelah menghirup wanginya secarik kertas surat itu, ia mengangkat bolpoin.

Shelly ... tulisnya.

Lalu ia terdiam.

Hampir saja ia merenyukkan kertas itu dan menimpukkannya ke kepala Adek, seperti biasanya bila tidak puas dengan hasil gambarnya. Tapi, sayang juga, karena kertas jenis yang satu ini lumayan juga harganya. Ia menepikan kertas tersebut, mengambil selembar kertas yang biasa-biasa saja, dan mulai mengonsep.

Shelly ....

Ia terdiam.

Perkenalkan, namaku Risky.

Mungkin kamu tidak kenal aku.

Aku juga belum begitu mengenalmu.

Kenalan, yuk ....

Risky merengut, lalu menggumalkan kertas itu. Namun, sayangnya, sedang tidak ada kepala Adek untuk dijadikan sasaran timpuk. Ia menyimpan bola kertas itu di pinggir meja untuk nanti ketika Adek masuk kamar.

Shelly ....

Risky menulis lagi.

Perkenalkan aku anaknya Ibu Slamet (Ibu Lela).

Ah, ini sih sama saja kayak tadi!

Shelly ....

Risky mengulang.

Apa kabarmu?

Kabarku baik-baik saja.

Ia mencoretnya berkali-kali, merenyukkannya lagi.

Shelly ....

Kali ini ia hendak melanjutkannya dengan sebuah puisi, berisikan kata-kata yang dapat memerikan keindahan gadis itu baik menurut mata kepalanya maupun mata batinnya--walau untuk jenis mata yang kedua, ia mengandalkan imajinasi saja. Memang Risky suka membaca, tapi ia lebih mahir menyusun bangun ruang jadi sebentuk robot ketimbang merangkai kata-kata jadi seuntai puisi. Seandainya Shelly bocah laki-laki seusia Adek mungkin akan kegirangan bila diberikan hasil gambarnya saja, tapi rupanya ia bukan!

Risky menulis lagi.

Shelly ....

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan frustrasi.

Masuk ITB susah.

Sekadar mencari kata untuk memikat cewek saja susah.

Kenapa di dunia ini tidak ada yang mudah?!?! Ia mengacak-acak rambut.

Ia masih ingat sebagian kata-kata manis yang diajarkan Shigeo kepadanya, saat menulis surat cintanya yang pertama sekaligus yang terakhir--sampai saat ini, kalau ia tidak kunjung membuat yang diperuntukkan bagi Shelly. Ia bisa menuliskan kata-kata itu saja, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tentunya. Tapi, bagaimanapun juga, itu kata-kata karangan Shigeo, sedang yang murni dari lubuk hatinya sendiri pada akhirnya begini:

Bintangku Leo, karena aku lahir beberapa hari sebelum hari peringatan kemerdekaan Indonesia. Pada tahun-tahun ini, itu juga jadi peringatan bahwa aku sedang menuju kemerdekaanku. Aku telah merdeka dari SMA, dan aku menantikan kemerdekaan dari hal-hal lain. Merdeka dari kelemahan diri. Merdeka dari rasa kecut. Merdeka dari orang tuaku. Merdeka dari rumah ini. Merdeka dari orang-orang yang meremehkanku. Kemerdekaan itu akan kuraih melalui UMPTN nanti dan ITB. Mungkin kau akan bertanya, Mengapa harus ITB? Coba pula kau tanyakan kepada pendaki gunung, mengapa mereka mendaki gunung? Jawaban kami sama, "Because it's there." Barangkali itu juga jawabannya mengapa hatiku berdegup kencang saat melihatmu. "Because it's you."

NB. Bintangmu apa?

TTD

Risky Perdana Ashary

Risky melipat kertas itu rapi-rapi, memasukkannya ke amplop, menuliskan: "TO: SHELLY" pada sisi belakang amplop, lalu menguburnya di bawah berbagai barang dalam laci, sepojok-pojoknya, sedalam-dalamnya.



[1] Selengkapnya lihat halaman 46-48 Matra, Januari 1995

[2] Pelesetan dari lagu Oppie, "Cuma Khayalan" (1993)

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain