Rabu, 06 Oktober 2021

19. VISUALISASI

Ini terjadi sewaktu Edo masih memberi les privat kepada Risky. Tapi ketika itu ia sedang menghilang--rekor terlama ia menghilang. Risky yang tidak tahu--dan entah kenapa tidak begitu berharap juga--kapan lagi Edo bakal datang, leyeh-leyeh saja di ruang tengah sambil melihat-lihat isi majalah Matra.

Ia sampai pada halaman yang mengangkat tentang seorang pria dengan hobi paralayang. Tidak hanya itu, pria tersebut juga bekas pilot pesawat ultralight, pesawat swayasa, penerjun payung, dan pembalap gokar. Sejak kecil, pria tersebut memang ingin menjadi penerbang dan suka memereteli mesin. Risky semakin terpesona saat disebutkan bahwa pria itu sarjana teknik mesin lulusan ITB.[1] Ia merasa dapat mengaitkan diri. Dahulu ia juga ingin bisa terbang dalam robot Gundam. Tapi, untuk menghindari kemungkinan tewas dalam perang antargalaksi, ia berkompromi dan memutuskan untuk bekerja di balik layar saja, entahkah sebagai perancang atau montir--yang karangannya tentang itu entah bagaimana pernah dibaca Papa itu. Memereteli mesin memang belum pernah, tapi ia suka merakit mainan jadi sepertinya itu agak-agak mirip lah. Dan, salah satu jurusan pilihannya di UMPTN nanti adalah Teknik Mesin ITB. Jadi, seandainya nanti ia berhasil masuk dan lulus kuliah dari situ, masa depannya kemungkinan akan seperti bapak ini: jangankan untuk menafkahi satu istri dan dua anak, untuk menjalankan hobi-hobi yang pastinya mahal itu saja ia mampu. Luar biasa. Ia akan menjadi manusia yang luar biasa kelak.

Andai a a a a aku jadi orang kaya ....

Andai a a a a anggak usah pakai kuliah di ITB ...[2]

Seketika itu, ia teringat pada biografi presiden pertama Indonesia yang ia terlupa pernah membacanya di mana. Soekarno yang lahir pada 1901 itu mulai berkuliah di ITB--walau namanya waktu itu belum ITB--pada 1921, yang berarti pada usia 20 tahun, persis dengan usia Risky nanti ketika mulai berkuliah di ITB, kalau lolos dari UMPTN berikutnya.

Mendapati kemiripan-kemiripan itu, Risky merasa jalan kebesaran mulai terbentang untuk dia ....

Bel berbunyi. Risky merutuk dalam hati, tidak berharap Edo kembali secepat ini. Adek lagi di TPQ, tidak ada yang bisa disuruh-suruh untuk membukakan pintu. Mama di kamar mandi. Risky pun terseok-seok ke pintu depan, dan ....

Risky belum pernah sedekat ini dengan gadis itu. Matanya begitu bundar dan meruapkan kehangatan, aromanya seharum pisang. O rupanya ia membawa seloyang bolu pisang yang baru matang.

"Oh, Shelly ..." tahu-tahu saja Mama muncul menyenggol Risky ke tepi.

"Dari Mama," ah, suara gadis itu tak kalah renyah daripada pinggiran bolu yang nanti dilahap Risky hingga hanya menyisakan separuhnya saja untuk dibagi tiga antara Adek, Mama, dan Papa.

"Duh, makasih, yaaa. Jadi ngerepotin ...." Mama berbasa-basi dengan gadis itu, sementara Risky terpaku di tempatnya terhalang oleh jendela.

Shelly ....

Malamnya, Risky menuliskan nama itu di kertas.

S E L I

Risky mengernyit.

Seli ... na Dion?

Seli ... guk guk guk ayo lari-lari?

S H E L L Y, Risky menulis lagi. Kelihatannya lebih cantik. Ia merasa yakin, dan memang begitu cara menuliskan nama tersebut yang sesuai dengan akta kelahiran pemiliknya.

Kembang di hati Risky tidak segera menguncup lagi, sebab Mama keburu menyiraminya dengan bolu balasan. Tadinya Mama mau membuat sendiri bolu itu menggunakan oven yang cicilannya baru sebagian dibayarkan menggunakan pinjaman dari uang saku Risky. Rupanya Mama Risky dan Mama Shelly membeli oven itu sama-sama, ketika ada orang sales yang menyusup ke arisan. Mama Shelly sudah mengetes oven itu terlebih dahulu dan mengirimkan hasilnya yang berupa bolu pisang itu kepada Mama Risky, yang kalau tidak begitu mungkin sudah lupa telah membeli oven. Setelah beberapa kali percobaan yang bantat atau gosong, Mama pergi ke toko kue untuk memesan secara khusus pada waktu yang ditentukan. Petang itu, segera setelah Papa pulang, Mama meminjam mobilnya untuk mengambil pesanan yang baru keluar dari panggangan itu. Risky disuruh menyetir sebab Mama belum berani dengan mobil; dengan motor pun, paling jauh hanya ke pasar terdekat. Mama telah menyiapkan plastik hitam besar untuk membungkus dus berisi kue tersebut. Hari sudah gelap ketika mobil masuk lagi ke garasi. Sebelum keluar dari mobil, Mama memastikan benar-benar tak ada seorang pun di jalan, tak ada juga yang sedang menyibak gorden di rumah-rumah sekitar. Walau memerhatikan kelakuan Mama dengan malu, setelah bolu itu dipindahkan ke wadah suguhan yang cantik, Risky menawarkan diri untuk mengantarkannya. Sekarang ia tahu pasti letak rumah Shelly. Sambutan Mama Shelly begitu hangat, menunjukkan keakraban di antara kedua wanita itu, tapi sayang, dari ambang pintu depan rumahnya yang terbuka demikian lebar, tidak tampak gadis itu walau cuma batang hidungnya.

Meski begitu, sepanjang jalan pulang sampai terduduk di kursi belajarnya, Risky tidak sadarkan diri sebab terhanyut dalam khayalan.

Suatu saat Mama akan berkata, "Risky, sudah waktunya kamu menikah. Mama sudah pilihkan gadis perawan yang baik-baik, anak sahabat Mama!"

Risky serta-merta akan menyergah, "Ma, biar aku menentukan jodohku sendiri! Ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya!"

Tapi, seperti biasanya, Mama memaksakan kehendaknya. "Sudah, jangan melawan! Jadilah anak berbakti! Cepat siap-siap! Kita mau makan malam sama mereka!"

Terpaksa Risky menuruti perintah Mama. Malam itu, mereka sekeluarga datang ke sebuah restoran mewah, untuk bertemu dengan keluarga lainnya yang ternyata sudah familier--tetangga mereka sendiri yang rumahnya di ujung jalan! Shelly yang berdandan untuk acara khusus itu lebih cantik daripada biasanya ....

Hari-hari bersama Edo menjadi tertahankan sejak itu. Bila sedang lowong, Risky sering-sering menongkrong di balkon hasil rancangannya yang terletak menjorok ke dalam terhalang oleh kamarnya sehingga tak tampak dari jalan itu. Ia memandang ke jalan kalau-kalau Shelly melintas. Walau, setelah beberapa kali dilakukan pengamatan, sepertinya gadis itu biasa lewat jalan yang lain.

Setiap kata-kata celaan dari Edo ditangkisnya walau cuma dalam hati.

Liat aja. Gue bakal buktikan bahwa kesempatan berikutnya benar-benar milik gue.

Ketika Pak Habibie sedang muncul di televisi dan kebetulan di dekat situ pun ada Risky, Mama berceletuk, "Lihat, tuh, Ki! Coba kamu kayak Pak Habibie."

Risky membatin, Jangankan pesawat, nanti aku bikin robot tempur!

Oitsuki, oikose! Kejarlah, dan lebihilah! Ijazah ITB di genggaman, Shelly dalam pelukan, robot swayasa dalam jangkauan, Hahahahaha!

Dan, saat ia melihat adiknya bermain bersama anak-anak tetangga, satu tahun dari sekarang anak itu akan mengoceh kepada mereka, "Kakak aku kuliah di ITB lo!"

Dan, kepercayaan dirinya untuk kembali membeli rokok di warung terdekat akan pulih. Sudah bisa ditebak apa yang bakal diomongkan para ibu perumpi itu saat mereka melihatnya lagi, hanya saja kali ini bukan fitnah: "Gitu-gitu dia pintar juga!"

Kabar pun akan tersiar sampai ke ujung jalan, di mana rumah Shelly berada. Gadis itu mulai melihat dia sebagai calon pasangan idaman. Mungkin Shelly akan sering-sering mengantarkan bolu ke rumah Risky. Kalau mamanya tidak sempat bikin, Shelly akan membuatnya sendiri demi kemungkinan berjumpa Risky. Risky pun akan lebih sering menongkrong di depan televisi ruang tengah, karena letaknya yang lebih dekat dengan pintu depan ketimbang kamarnya sendiri, demi menanti kedatangan Shelly.

Dalam penantian yang entahkah bakal terwujud itu, Risky berkunjung ke toko buku. Niatnya membeli satu pak kertas kuarto untuk coret-coret soal dan gambar, sekalian melihat-melihat komik terbitan baru, dan pulangnya mampir ke toko mainan untuk menambah koleksi model kit seperti biasanya. Namun kali itu, saat melewati bagian kertas surat, Risky berhenti. Ia mengambil satu kemasan kertas surat bergambar seraut wajah perempuan yang entah bagaimana dalam pandangannya sekonyong-konyong menyerupai Shelly. Barang itu masuk dalam belanjaannya.

Padahal Risky bukan penggemar korespondensi. Tapi, pada kesempatan itu, setelah menghirup wanginya secarik kertas surat itu, ia mengangkat bolpoin.

Shelly ... tulisnya.

Lalu ia terdiam.

Hampir saja ia merenyukkan kertas itu dan menimpukkannya ke kepala Adek, seperti biasanya bila tidak puas dengan hasil gambarnya. Tapi, sayang juga, karena kertas jenis yang satu ini lumayan juga harganya. Ia menepikan kertas tersebut, mengambil selembar kertas yang biasa-biasa saja, dan mulai mengonsep.

Shelly ....

Ia terdiam.

Perkenalkan, namaku Risky.

Mungkin kamu tidak kenal aku.

Aku juga belum begitu mengenalmu.

Kenalan, yuk ....

Risky merengut, lalu menggumalkan kertas itu. Namun, sayangnya, sedang tidak ada kepala Adek untuk dijadikan sasaran timpuk. Ia menyimpan bola kertas itu di pinggir meja untuk nanti ketika Adek masuk kamar.

Shelly ....

Risky menulis lagi.

Perkenalkan aku anaknya Ibu Slamet (Ibu Lela).

Ah, ini sih sama saja kayak tadi!

Shelly ....

Risky mengulang.

Apa kabarmu?

Kabarku baik-baik saja.

Ia mencoretnya berkali-kali, merenyukkannya lagi.

Shelly ....

Kali ini ia hendak melanjutkannya dengan sebuah puisi, berisikan kata-kata yang dapat memerikan keindahan gadis itu baik menurut mata kepalanya maupun mata batinnya--walau untuk jenis mata yang kedua, ia mengandalkan imajinasi saja. Memang Risky suka membaca, tapi ia lebih mahir menyusun bangun ruang jadi sebentuk robot ketimbang merangkai kata-kata jadi seuntai puisi. Seandainya Shelly bocah laki-laki seusia Adek mungkin akan kegirangan bila diberikan hasil gambarnya saja, tapi rupanya ia bukan!

Risky menulis lagi.

Shelly ....

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan frustrasi.

Masuk ITB susah.

Sekadar mencari kata untuk memikat cewek saja susah.

Kenapa di dunia ini tidak ada yang mudah?!?! Ia mengacak-acak rambut.

Ia masih ingat sebagian kata-kata manis yang diajarkan Shigeo kepadanya, saat menulis surat cintanya yang pertama sekaligus yang terakhir--sampai saat ini, kalau ia tidak kunjung membuat yang diperuntukkan bagi Shelly. Ia bisa menuliskan kata-kata itu saja, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tentunya. Tapi, bagaimanapun juga, itu kata-kata karangan Shigeo, sedang yang murni dari lubuk hatinya sendiri pada akhirnya begini:

Bintangku Leo, karena aku lahir beberapa hari sebelum hari peringatan kemerdekaan Indonesia. Pada tahun-tahun ini, itu juga jadi peringatan bahwa aku sedang menuju kemerdekaanku. Aku telah merdeka dari SMA, dan aku menantikan kemerdekaan dari hal-hal lain. Merdeka dari kelemahan diri. Merdeka dari rasa kecut. Merdeka dari orang tuaku. Merdeka dari rumah ini. Merdeka dari orang-orang yang meremehkanku. Kemerdekaan itu akan kuraih melalui UMPTN nanti dan ITB. Mungkin kau akan bertanya, Mengapa harus ITB? Coba pula kau tanyakan kepada pendaki gunung, mengapa mereka mendaki gunung? Jawaban kami sama, "Because it's there." Barangkali itu juga jawabannya mengapa hatiku berdegup kencang saat melihatmu. "Because it's you."

NB. Bintangmu apa?

TTD

Risky Perdana Ashary

Risky melipat kertas itu rapi-rapi, memasukkannya ke amplop, menuliskan: "TO: SHELLY" pada sisi belakang amplop, lalu menguburnya di bawah berbagai barang dalam laci, sepojok-pojoknya, sedalam-dalamnya.



[1] Selengkapnya lihat halaman 46-48 Matra, Januari 1995

[2] Pelesetan dari lagu Oppie, "Cuma Khayalan" (1993)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain