Kamis, 16 Mei 2024

Diskusi Buku DUNIA REVOLUSI: Perspektif dan Dinamika Lokal pada Masa Perang Kemerdekaan Indonesia, 1945 - 1949

Buku Dunia Revolusi adalah bunga rampai hasil dari proyek kerja sama Indonesia - Belanda dalam penelitian sejarah mengenai suatu periode setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, yaitu dari 1945 sampai 1949. Dieditori oleh dosen-dosen dari Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada, kontributor buku ini adalah peneliti sejarah dari kedua negara. Untuk peneliti dari Indonesia, instansinya bermacam-macam tidak hanya dari UGM. Proyek ini dikerjakan selama 2017 - 2022, sempat tersendat oleh pandemi COVID-19. Terdapat berbagai tantangan lain di antaranya tradisi historiografi yang berbeda antara peneliti Indonesia dan peneliti Belanda, serta tanggapan yang kurang mendukung dari masyarakat sejarah sendiri. 

Dalam pelajaran Sejarah semasa sekolah, periode ini dikenal sebagai masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selama itu terjadi konferensi-konferensi (di antaranya Linggarjati, Renville, dan Meja Bundar) diselingi dua kali Agresi Militer Belanda. Selama pemerintahan masih diproses di meja-meja konferensi itu, rupanya terjadi banyak konflik lokal bahkan kekerasan. Sebagaimana yang diungkapkan dalam buku ini, sebagian dari kekerasan itu menyasar kalangan minoritas seperti Tionghoa dan India khususnya di separuh atas Sumatera. 

Pelajaran Sejarah di sekolah pun, seingat saya, tidak menyebutkan tentang "Periode Bersiap" berkenaan dengan masa itu. Informasi tentang "Periode Bersiap" saya dapatkan sendiri secara tidak sengaja, ketika pada 2018 silam hendak mencari tahu mengenai sesuai hal dan bertemulah dengan artikel yang menerangkan tentang hal ini. Yang saya ketahui sebatas pada masa ini rakyat lokal seperti melakukan balas dendam atas penjajahan berabad-abad dengan membunuhi warga sipil Belanda, dan mungkin pula bangsa Eropa lainnya asal menyerupai Belanda.

Saya duga sisi kelam dari bangsa sendiri inilah yang membuat proyek ini kurang mendapat tanggapan positif. Sikap sungkan tampak dari tim editor selama acara bedah buku ini. Seakan-akan mereka dihadapkan pada suatu reaksi: sudahlah, yang lalu apalagi kalau buruk tidak usah dikorek-korek; janganlah membuka aib sendiri. Apalagi kalau ada uang yang terlibat, dibiayai pemerintah bekas negara penjajah untuk menggiring opini masyarakat, misalnya, bahwa orang-orang yang selama ini kita elu-elukan sebagai pahlawan pejuang tidaklah seheroik itu, ada pula kejahatan yang dibuatnya. 

Karena pada dasarnya kurang mendalami sejarah dan tidak pula mengikuti keramaian di media perkara proyek ini, saya dan teman mewakili masyarakat awam selaku peserta acara ini pun agak kebingungan memahaminya. Kami sekadar menunjukkan bahwa informasi mengenai periode yang berkabut ini kurang tersebar luas di masyarakat.

Kalau boleh saya refleksikan secara pribadi, agaknya bagian dari pendewasaan adalah mau berkaca dan mengakui kesalahan sendiri, menerima bahwa diri ini tidak selalu berada di pihak yang harus dibela, dianggap baik tanpa pernah berdosa. Setelah keburukan itu diakui, maka dipikirkan cara untuk memperbaikinya yang tentu saja perlu disusul dengan tindakan nyata yang berkelanjutan. Walaupun, menurut Pak Bambang Purwanto selaku kepala editor buku ini, dalam sejarah tidak segala hal mesti berkelanjutan; ada pula yang hilang, takkan berulang. Inginnya yang buruk itu yang takkan berulang.

Versi bahasa Inggris buku ini berjudul Revolutionary Worlds, bisa dicari di internet dan diunduh secara cuma-cuma. Namun versi ini diedit secara lebih ketat, sehingga tidak seautentik atau seutuh versi bahasa Indonesia yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia, 2023.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain