GAJAH mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Napster tutup? Penyedia layanan pertukaran dokumen musik ini meninggalkan sekitar 20 juta pengguna. Selama tiga tahun beroperasi, situs yang didirikan Shawn Fawning itu bagaikan surga bagi para penggemar musik. Di situ mereka dengan gampang bisa saling tukar dokumen musik dengan pengakses lainnya. Punya satu bisa mendapat seribu.
Terang, pesta itu membuat para bos industri rekaman di Amerika Serikat berang. Tergabung dalam Recording Industry Association of America (RIAA), mereka lalu menghantamnya dengan tuduhan mematikan: penyebar wabah pelanggaran hak cipta.
Tukar-menukar dokumen musik identik dengan penggandaan. Ini menabrak pasal dalam undang-undang hak atas kekayaan intelektual. Setelah melewati proses hukum yang panjang, pengadilan federal akhirnya melarang Napster beroperasi lagi. Dan sejak akhir Juli lalu, situs kondang itu benar-benar tutup layar.
Selesai? Belum. Tak lama kemudian, bermunculan situs sejenis dengan layanan berbeda-beda. Malah tiga situs paling populer saat ini, Kazaa, Grokster, dan Morpheus, diminati lebih banyak orang. Totalnya sekitar 70 juga pengguna aktif. Ketiga situs itu hampir sama dengan Napster, hanya teknologinya lebih canggih, sehingga secara hukum sulit dijegal. Mereka tak hanya menyediakan layanan tukar-menukar dokumen musik, tapi juga videogame, foto, program aplikasi, dan film layar lebar yang sedang diputar di bioskop. Semua kenikmatan tersebut bisa didapat secara gratis.
Pengurus RIAA, yang mewakili delapan raksasa industri rekaman, pun gerah lagi. Demikian pula asosiasi perfilman Amerika (MPA), yang mewakili 19 studio. Munculnya situs pengganti Napster membuat angka penjualan cakram padat (CD) produk mereka di seluruh dunia anjlok lima persen. Sebaliknya, angka penjualan CD kosong meningkat pesat, bahkan untuk pertama kalinya melampaui CD rekaman.
Mereka lalu menggugat pemilik ketiga situs tersebut. Tuduhannya sama: pelanggaran hak cipta. "Kami tak punya pilihan," kata Cary Sherman, penasihat hukum RIAA, "Kalau kami tidak menggugat, ribuan situs seperti mereka akan terus muncul dan mengganggu bisnis kami."
Hanya, pengelola ketiga situs itu punya argumen kuat. Mereka mengaku tak punya kontrol apa pun pada pemakaian layanan yang mereka sediakan. Pengelola juga tak mengetahui siapa saja yang menggandakan dan menukar dokumen, entah itu lagu milik Eminem, entah resep masakan kalkun panggang ala Seattle, lewat jaringan mereka. Pemilik situs Kazaa, Grokster, dan Morpheus memang agak sulit disalahkan. Soalnya, cara kerja mereka berbeda dengan Napster. Ketiganya mendesentralisasi sistem server-nya. Mereka hanya menyediakan programnya, sedangkan server-nya berupa komputer milik pengakses yang jumlahnya puluhan juta itu. Dulu Napster gampang disalahkan karena menggunakan server sentral yang bisa melacak dan mengontrol transfer dokumen di antara sesama penggunanya.
Gugatan RIAA pun kedodoran. Dalam memo rahasia yang bocor ke mana-mana, tim pengacara lembaga ini terus terang mengakui bahwa gugatan mereka sebetulnya tak sekuat ketika menghadapi Napster. Karena itu, mereka tak yakin bakal memenangkan gugatan.
Secara teknis, sulit juga menghentikan pertukaran dokumen musik atau film lewat program yang disediakan ketiga situs itu. Kata Niklas Zennstrom, pendiri Kazaa, satu-satunya jalan menghentikan pemakaian layanan situsnya adalah memerintahkan agar semua pengakses mematikan program di komputernya. Ini sesuatu yang mustahil.
Kalaupun semua situs ini ditutup karena perintah pengadilan atau alasan lainnya, belasan situs serupa telah siap menggantikannya. Soalnya, "Situs-situs itu sekadar alar," kata seorang penggemar Kazaa kepada majalah Fortune, "Kalau industri rekaman menutup mereka, saya bisa mencari gantinya di tempat lain." Begitu juga para penggemar lainnya.
Wicaksono
Sumber: Tempo Nomor 24/XXXI/12-18 Agustus 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar