Masa kuliah saya punya sendiri buku 1984 itu. Berbeda dengan yang saya temukan di perpustakaan SMA, yang kovernya berlatar kemerahan, kali ini berlatar abu-abu dengan gambar close up kepala merah yang bagian lehernya ber-barcode, sepertinya terbitan Bentang. Mungkin maksudnya mau melanjutkan pembacaan waktu SMA, tapi tidak kunjung terlaksana. Waktu itu pun tampaknya buku tersebut terbilang langka, belum ada yang mencetak ulang. Sebab, mengetahui saya punya buku itu, seorang kenalan sangat menginginkannya sampai menawarkan barter segala. Merasa sesungguhnya buku itu berharga, awalnya, saya tidak berkenan melepaskannya. Namun, pada akhir masa kuliah, saya mengalami periode ingin-bermurah-hati, sehingga melepaskan buku itu begitu saja kepada si kenalan, walau sepertinya masih agak kurang rela juga (bagaimana sih???).
Bertahun-tahun kemudian, buku itu kembali hadir di lemari rumah. Kali ini yang kovernya kehijauan, sepertinya adik yang membelinya.
Seakan-akan, takdir berkali-kali menyorongkan novel ini ke muka saya agar membacanya, tapi sampai waktu menulis ini, saya masih, "Entar dulu ah!"
Ada satu lagi karya Orwell yang telah hadir di rumah, yaitu Animal Farm yang kovernya pink bermuka babi itu. Karena ceritanya menyerupai fabel dan bukunya lebih tipis pula, yang ini tampak lebih ringan daripada yang satunya. Saya sudah membacanya sampai tamat, kira-kira pada 2015 atau 2016, tapi ketika itu saya sedang tidak hendak menulis catatan. Yang bisa saya ingat hanya kesan saya pada buku itu positif: bagus, menggugah, semacam itu.
Gambar dari situs web Kakatua. |
Why I Write
Books v. Cigarettes
Good Bad Books
Confessions of a Book Reviewer
Bookshop Memories
Literature and Totalitarianism
Politics and the English Language
Notes on Nationalism
My Country Right or Left
Shooting an Elephant
How the Poor Die
A Hanging
A Nice Cup o Tea
Esai-esai bagian awal berkenaan dengan kepengarangan Orwell ("Why I Write") beserta ihwal perbukuan yang digulatinya ("Books v. Cigarettes", "Good Bad Books"). Selain menjadi pengarang, Orwell pernah bekerja sebagai peresensi buku ("Confessions of a Book Reviewer") dan pegawai toko buku ("Bookshop Memories"). Karena saya juga pernah suka mengarang fiksi, me-review buku, dan sempat sesekali menjaga toko buku, selain itu lebih banyak berekreasi lewat buku daripada secara fisik yang kemungkinan bakal menghabiskan lebih banyak uang, termasuk pembaca karangan yang kiranya tergolong ke dalam "good bad books", serta meminjamkan buku-buku kepada orang-orang yang entah apakah akan dikembalikan, saya merasa dapat mengaitkan diri dengan yang diungkapkan Orwell dalam esai-esai ini, walaupun tentunya pengalaman saya tak sampai setaraf beliau.
Esai-esai bagian tengah, yaitu "Literature and Totalitarianism", "Politics and the English Language", "Notes on Nationalism", "My Country Right of Left", merambah ke ranah politik, yang tidak begitu saya minati. (Mungkin ini sebabnya saya tidak segera tergerak untuk membaca 1984 :v)
Esai-esai berikutnya, "Shooting an Elephant", "How the Poor Die", serta "A Hanging", menceritakan pengalaman Orwell semasa menjadi polisi imperial di Burma. Hal ini mengingatkan pada Multatuli, pengarang Max Havelaar. Keduanya memiliki beberapa kesamaan: pria kulit putih Eropa, pernah bekerja sebagai pegawai kolonial di kawasan Asia Tenggara dan tidak betah, kemudian pulang ke kampung halaman dan menuliskan pengalamannya itu. Semuanya esai yang menyentuh, kiranya dapat dikatakan sebagai contoh karya creative nonfiction, yang menghidupkan kembali suatu peristiwa nyata dengan detail, dialog, dan sebagainya, hingga memberikan efek kepada pembaca seolah-olah turut menyaksikan atau mengalami.
Soal yang dikemukakan dalam "How the Poor Die" menimbulkan paling banyak reaksi dalam perbincangan di klub. Sewaktu-waktu kita mesti berurusan dengan rumah sakit, entahkah sebagai pendamping atau pasien itu sendiri. Namun, dalam keadaan yang boleh dikata sedang kurang menguntungkan itu, kita tidak selalu mendapatkan pelayanan yang baik. Tidak semua tenaga kesehatan bekerja dengan hati. Atau, memang sifat dari pekerjaan itu memerlukan atau menjadikan orang keras hati.
Esai penutup, "A Nice Cup of Tea", memberikan petunjuk menyeduh teh yang sedap. Ternyata ada serangkaian langkah untuk mendapatkan efek dan kenikmatan maksimal dari secangkir teh, agar menjadi lebih bijaksana, berani, dan optimistis setelah meminumnya. Yang perlu diperhatikan mulai dari sumber teh, bahan teko, cara memperlakukan teko, kondisi air, sampai perkara mencampurkan susu yang sudah kayak pertentangan bubur ayam diaduk vs kagak kalau di kita mah. Sementara itu yang saya tahu sebagai keturunan Jawa di tanah Sunda hanyalah teh nasgitel vs teh tawar encer.
Mengenai esai jenis instruksional, selain "A Nice Cup of Tea", "Politics and the English Language" juga mengandung beberapa poin petunjuk praktis menulis. Walaupun klise, petunjuk-petunjuk ini banyak diabaikan sehingga menggusarkan pemerhati bahasa.
Di samping kumpulan esai terpilih ini, aplikasi Baca Kakatua menyediakan buku-buku Orwell lainnya. Buku-buku Orwell juga bisa dibaca di aplikasi Gramedia Digital dan Ipusnas. Di Ipusnas yang gratis itu ada buku-buku Orwell terbitan Diva Press dan Gramedia, tapi terakhir kali saya cek, semuanya lagi dalam antrean dong. Apa Orwell lagi populer?
Beberapa kutipan yang kena:
"It is his job, no doubt, to discipline his temperament and avoid getting stuck at some immature stage, or in some perverse mood: but if he escapes from his early influence altogether, he will have killed his impulse to write." ("Why I Write", 1946)
"After the age of about thirty they abandon individual ambition--in many cases, indeed, they almost abandon the sense of being individuals at all--and live chiefly for others, or are simply smothered under drudgery." ("Why I Write", 1946)
".... 'I don't want short stories', or 'I do not desire little stories' .... they sometimes explain that it is too much fag to get used to a new set of characters with every story, they like to 'get into' a novel which demands no further thought after the first chapter." ("Bookshop Memories", 1936)
"People talk about the horrors of war, but what weapon has a man invented that even approaches in cruelty some of the commoner diseases? 'Natural' death, almost by definition, means something slow, smelly and painful." ("How the Poor Die", 1946)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar