Rabu, 20 Agustus 2025

Kenakalan Orang Tua Penyebab Kenakalan Remaja

Gambar dari Perpustakaan
Universitas BSI
.
Penulis : Drs. EB Surbakti, M. A.
Penerbit : PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2008
ISBN : 978-979-27-3564-2/ eISBN: 978-602-04-1984-8 

Yang dimaksud dengan orang tua pada judul buku ini tidak mesti orang tua kandung, tetapi orang dewasa pada umumnya yang dapat memengaruhi remaja. Kenakalan orang dewasa lebih merusak daripada kenakalan remaja, karena orang dewasa lebih punya otoritas dan fasilitas, dan bisa jadi remaja nakal karena mencontoh orang dewasa, apalagi orang tua sendiri. Contohnya sangat banyak, mulai dari fenomena sugar daddy/mommy, pencabulan oleh guru, pornografi anak, sampai membiayai keluarga dengan uang hasil korupsi. Bisa pula seorang dewasa baik kepada anak-anaknya sendiri, tapi di luar melecehkan atau menzalimi anak orang lain. Orang dewasa dengan pengalamannya yang lebih banyak tidak serta-merta menjadikannya arif dan mewariskan kebajikan, melainkan terus memutarkan lingkaran setan sampai akhir zaman. Dengan kelebihan yang dimilikinya generasi tua dapat mengatakan generasi di bawahnya lembek, manja, tidak sopan, padahal bagian dari generasi tua juga yang mencontohkannya, atau kurang mengajarkan yang sebaiknya..

Khususnya mengenai tema love, sex, and dating, buku ini lebih sejalan dengan Boys Lie yang ditujukan bagi remaja Amerika Serikat, daripada Cyberporn yang untuk pembaca Indonesia. Sementara Cyberporn menganggap self-service sebagai sebentuk penyimpangan, buku ini justru mewajarkannya sebagai cara sehat menyalurkan energi seksual, walau mengungkapkan juga risikonya (di antaranya: kecanduan pornografi, mengganggu hubungan suami-istri). Buku ini juga menganjurkan pacaran sebagai kegiatan positf, asalkan menaati rambu-rambu, bertanggung jawab, menghindari seks pranikah, dan menjalankan pengendalian seksual. Solusi yang diberikan untuk mengalihkan energi seksual adalah dengan berkecimpung dalam kegiatan-kegiatan positif seperti kesenian, olahraga, dan organisasi. Buku ini memang tidak memijak pada ajaran agama mana pun, tetapi yang umum saja. Jadi menarik membandingkan dengan aturan yang ketat dalam Islam, bahwa aktivitas bersama begitu tetap rentan membuka jalan sehingga perlu dihindari sama sekali. Kalau seorang lelaki yang sudah cukup umur dan cukup modal tertarik kepada seorang perempuan, alih-alih memacari perempuan itu, dekatilah ayahnya. 

Walau rada longgar mengenai love, sex, and dating serta mendukung emansipasi wanita, buku ini cenderung menjunjung pola keluarga tradisional yang mana ayah harus berwibawa, menegakkan hierarki, aturan, dan pola interaksi yang jelas, mengeluarkan perintah, keputusan, kebijakan, otoritas, dan berkuasa, sedangkan ibu lembut, hangat, pengasih dan penyayang. Memang tidak dinafikan kekurangan-kekurangan dari pola ini, misal ibu dipandang laksana parasit yang sangat bergantung kepada suami (halaman 145). Relatif sulit juga menerapkannya, sebab nyatanya ada juga ayah-ayah yang lembek dan ibu-ibu yang kasar; mengubah kepribadian agar setiap ayah dan setiap ibu seragam memenuhi pembagian peran tersebut tidak akan semudah membalikkan telapak tangan.  

Buku ini juga mengkritisi materialisme dan individualisme. Contohnya adalah dengan memberi anak kamar yang berfasilitas lengkap sehingga tidak perlu sering keluar. Menurut buku ini, semestinya kamar tidur hanya untuk tidur, sedangkan untuk belajar, hiburan, dan sebagainya di ruang keluarga, sehingga dengan begitu akan kerap bertemu dengan anggota keluarga lainnya, memungkinkan interaksi yang menumbuhkan ikatan. Wah, apa kata penulis mengenai fenomena smartphone yang baru hadir bertahun-tahun setelah buku ini diterbitkan? Seorang anak bisa seharian di kamar saja rebahan, scrolling, nge-game, menonton tanpa henti, tidak bersosialisasi sama sekali, bahkan terganggu oleh kehadiran orang lain.

Dalam sebuah video di YouTube, pembicaranya kurang lebih mengatakan bahwa orang tua perlu berusaha menjadi sosok yang layak diteladani oleh anak--be the person that your children will aspire to be. Kalau sudah berusaha menjadi sosok teladan, memenuhi hak anak serta tanggung jawab dan kewajiban sebagai orang tua, tapi anak tetap bandel, ingat Nabi Nuh saja tidak kuasa membujuk anaknya masuk bahtera. Sebagai anak, pahami tidak ada manusia yang sempurna, setiap orang mungkin berbuat kesalahan, punya kekurangan dan kelemahan, termasuk orang tua. Sebagai orang dewasa yang tidak punya anak, tetap perlu mewawas diri sebab siapa tahu berbuat hal yang berdampak pada anak orang lain atau dijadikan contoh olehnya.

Selasa, 19 Agustus 2025

Konservasi Biodiversitas: Teori dan Praktik di Indonesia

Gambar dari Gramedia.
Penulis : Jatna Supriatna
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
Cetakan: 1, Edisi 1, Juli 2018
Tebal : 542 halaman
ISBN : 978-602-433-633-2 (ebook)

Saya mulai membaca buku ini pada Februari 2022 dan baru menamatkannya 3,5 tahun kemudian (^_^); Membacanya sedikit-sedikit, sambil membuat catatan di buku tulis untuk membantu mencerna, kadang mengulang yang baru dibaca sampai merasa agak paham. Bagaimanapun, ini buku tebal yang memperkenalkan banyak istilah baru, materinya tidak begitu ringan. Meski buku ini rada overwhelming, saya kira orang awam sekalipun sebaiknya berusaha memahaminya, atau paling tidak, terbuka akan topik ini, yang menerangkan cara kerja alam yang bukankah manusia termasuk bagian daripadanya, tetapi alih-alih mengembangkan cara hidup yang tidak selaras sehingga mengancam kelangsungan hidupnya sendiri.

Sepertinya saya memang penggemar cocoklogi, suka mencocok-cocokkan antara itu dan ini (mungkin ada kaitannya dengan minat terhadap karya fiksi, terbiasa mencari-cari makna dari setiap detail). Siapa tahu sebenarnya memang ada hubungan, sedangkan untuk membuktikannya secara ilmiah akan makan waktu terlalu lama, daya upaya terlalu besar. Maka pencocok-cocokkan itu hanya suatu hipotesis, spekulasi. Paling tidak, ini suatu cara sementara--yang entahkah benar atau salah--untuk mencoba memahami uraian dalam buku ini, yaitu dengan membuatnya relatable dengan kehidupan manusia yang saya jalani.

Sebagai contoh, mengenai interaksi antara spesies invasif dan spesies pribumi seperti konflik antara pendatang di suatu wilayah yang kemudian menjadi lebih makmur dan dominan dan penduduk setempat termarginalkan. Buku ini menerangkan bahwa persebaran spesies seperti halnya kepunahan adalah proses alami dalam sejarah evolusi. Semua spesies memang harus menyebar dan mengkolonisasi daerah lainnya. Namun, tindakan manusia yang mengintroduksi spesies telah mengacaukan keseimbangan yang ada. Memang hanya sebagian kecil spesies introduksi berhasil hidup di tempat baru, tapi dampak ekologisnya besar. Daerah yang sukses diinvasi pun jadi punya keseragaman tinggi. 

Kemudian ada yang dinamakan habitat-sumber dan habitat-penurunan. Berikut penjelasannya di halaman 272: "Habitat yang mendukung disebut sebagai sumber dan didefinisikan sebagai area di mana kesuksesan reproduksi lokal lebih besar daripada mortalitas lokal. Populasi di habitat sumber menghasilkan kelebihan individu yang harus menyebar keluar dari bercak kelahirannya untuk menemukan tempat menetap dan berkembang biak. Habitat yang tidak mendukung, sebaliknya, adalah area di mana produktivitas lokal lebih kecil daripada mortalitas lokal. Area ini disebut habitat penurunan karena tanpa imigrasi dari area lain populasi di habitat ini akan turun hingga punah." Kalau berupa negara, habitat-sumber ini persis Indonesia yang individunya sudah terlalu banyak sehingga harus menyebar keluar--merantau--untuk penghidupan, sedangkan habitat-penurunan contohnya adalah Jepang karena angka kelahirannya terus menurun sehingga penduduk lokal kebanyakan lansia dan mesti mendatangkan pekerja dari negara-negara lain. Besarnya populasi di habitat-sumber semacam Indonesia ini agaknya disebabkan oleh kondisi lembap daerah tropis, artinya penggunaan energi yang lebih kecil untuk menjaga kondisi tubuh sehingga makin banyak energi yang bisa dialokasikan untuk proses reproduksi (subbab "Kekayaan Hayati dan Energi").

Dalam pembahasan tentang konsep spesies biologis, diberikan contoh mengenai kerang Unio yang morfologinya bervariasi tinggi tetapi dapat saling kawin sedangkan burung meadowlark fenotipenya serupa, distribusi populasi tumpang tindih, tetapi antara western dan eastern pola bunyi kicauannya beda, sehingga tidak saling kawin. Dalam dunia manusia, barangkali ini menunjukkan bahwa jodoh tidak mesti yang penampakannya mirip, yang lebih penting adalah waktu ngobrol bisa klik :v

Jadi rupanya dalam menentukan spesies baru itu ada beberapa konsep. Tampaknya penamaan spesies hanyalah usaha manusia untuk mengidentifikasi keanekaragaman hayati. Salah satu konsep, yakni konsep spesies filogenetik, lebih menghargai keunikan sehingga bisa jadi akan muncul spesies-spesies baru, dengan upaya konservasi yang berlain-lainan pula. Apakah ini juga suatu bentuk "individualisme" yang diterapkan manusia pada biodiversitas? Sebagaimana dalam dunia kesehatan mental, jadi bertambah-tambah jenis gangguan mental "baru", yang pada masa sebelumnya mungkin tidak begitu dianggap.

Di dunia kesehatan mental juga banyak orang merasa tidak bahagia dengan hidupnya, karena tidak dapat mengoptimalkan potensi mereka sepenuhnya. Ini pun suratan alam, sebagaimana dinyatakan dalam halaman 313, "Karena lingkungan tidak dapat mendukung pertumbuhan populasi tak terbatas, tidak semua individu bisa menghasilkan potensi mereka sepenuhnya." Berapa banyak biji yang tersebar di muka bumi, hanya untuk gagal tumbuh, atau layu sebelum berkembang, tidak mendapat cukup cahaya matahari akibat ternaungi oleh pohon-pohon besar dan tinggi yang lebih dulu mencengkeramkan akarnya sampai ke mana-mana? Bagaimanapun, individu yang berhasil tumbuh sampai dewasa, bila keadaan memungkinkan untuk kawin akan kawin dan menghasilkan keturunan sebisa-bisanya, dan tidak semua dari keturunan itu yang mampu bertahan sampai menghasilkan keturunan baru, dan seterusnya.

Dalam kaidah evolusi, perubahan pasti akan terjadi di alam liar. Sudah sepatutnya orang yang bekerja di bidang konservasi berpikir secara konservasionis ketimbang secara preservasionis. Konservasionis memberikan fasilitas agar evolusi tetap berlangsung, dengan cara memperhatikan variasi genetik sebagai bahan dasarnya. Praktik konservasi tidak hanya mengawetkan spesies dengan asumsi populasi tidak akan berubah. Kalau boleh diterjemahkan ke bahasa pengembangan diri, perlu tersedia fasilitas agar perubahan/pertumbuhan tetap berlangsung, dengan cara memperhatikan keragaman potensi atau sumber daya yang ada sebagai modalnya, alih-alih sekadar menjalankan rutin dengan asumsi keadaan tidak akan berubah. Dalam agama, ada istilah istiqamah, yang menurut buku Buat Apa Kita Shalat? sesungguhnya mengandung proses perubahan yang terjadi secara terus-menerus/berkesinambungan menuju kebangkitan, kemajuan.

Dari suatu video di YouTube yang menghadirkan pembicara dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saya mendengar bahwa mereka hanya tukang cuci piring dalam pesta pembangunan, membereskan keporakporandaan yang dibuat kementerian-kementerian lain. Semestinya aspek lingkungan hidup disertakan sedari awal, bukan ketika saatnya bersih-bersih doang. Timbul kesan bahwa pekerja konservasi hanya kepanjangan tangan dari para pembangun yang punya kepentingan. Ada program yang dikembangkan agar masyarakat setempat tidak lagi sepenuhnya bergantung pada hasil hutan. Di sisi lain, ada suatu mindset bahwa alam harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia, dalam arti pengusaha besar global, alih-alih masyarakat setempat yang dampak aktivitasnya tidak seberapa, dengan menyisakan secukupnya untuk dikonservasi. Dengan demikian masyarakat setempat tidak lagi sepenuhnya bergantung pada hasil hutan, sebab dijadikan bergantung pada uang untuk membeli produk hasil usaha-usaha yang mengeksploitasi hutan secara lebih masif itu. Melawan kekuatan tersebut, sekalangan orang berhasrat untuk menghidupkan kembali kebergantungan langsung pada hutan, menjadikannya suatu supermarket gratis. Kalau di daerah subtropis ekosistemnya memang secara alami berupa padang rumput, sabana, belukar, yang terkelola oleh api, salju, dan grazing, sehingga tidak sampai jadi hutan dan cocok untuk jadi lahan pertanian dan peternakan (pantas bila orang sana suka makan keju, roti, dan mentega), tapi bila cara hidup ini mesti diterapkan di daerah tropis, yang hutannya tumbuh lebat alami, semata-mata karena ke Barat lah kita harus berkiblat ...? Maksudnya, apa orang di daerah tropis tidak boleh punya cara hidup sendiri yang lebih sesuai dengan ekosistem alaminya? 

Dalam video YouTube lainnya, Jon Jandai mengherankan kenapa orang harus belajar susah-susah hanya untuk merusak alam (dalam hal ini ilmu teknik), lalu bersusah-susah lagi belajar untuk memperbaikinya (ilmu konservasi). Padahal alam bisa memperbaiki diri sendiri, asal tidak terus-terusan diusik manusia yang selalu memerlukan sesuatu daripadanya. Proses pemulihan alami dirasakan terlalu lama oleh manusia yang masa hidupnya lebih singkat. 


Sisi positifnya adalah dengan mempelajari ilmu-ilmu, betapapun susahnya, kita menjadi pandai dan mengetahui banyak hal. Pemikiran berkembang. Ini suatu kesenangan tersendiri. Adalah kepentingan bagi manusia untuk menyenangkan dirinya sendiri. Dengan merusak sesuatu hal, kita menjadi tahu bagian-bagiannya sampai ke yang kecil-kecilnya. Misal, dengan membongkar alat elektronik, kita tahu bagian-bagian apa saja yang ada di dalamnya. Dengan memporak-porandakan alam, kita belajar cara kerjanya. Dengan mengotori jiwa, kita belajar cara membersihkannya. Kata seorang ustaz, dosa adalah katalis agar kita menjadi manusia yang lebih baik. Lagi, demi kepentingan kita sendiri--manusia. Namun, buku ini mengingatkan, restorasi atau pemulihan akan sia-sia jika terus-menerus mengalami gangguan (subbab "Teknik-teknik Restorasi"). Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi sumber gangguan? 


Sudah sepantasnya wacana degrowth diinisiasi negara-negara maju, sebab negara-negara kurang-maju cenderung mengekor saja. Kita belum lagi merasakan martabat sebagai bangsa maju sudah disuruh mundur saja, tak sempat beranjak dari kuli dan babu. Memang menyederhanakan hidup tidak mudah karena harus menundukkan ego dan hawa nafsu. Bagaimana manusia akan jadi khalifah bagi seluruh alam jika mengelola jiwanya sendiri saja tidak bisa?

Sabtu, 16 Agustus 2025

Buat Apa Kita Shalat?

Gambar dari UMS Store.
Penulis : Dr. Ahmad Khairi al-Umari
Penerjemah : Aya Yahya, Masyhari, Tatam Wijaya
Cetakan : I, Desember 2014
Penerbit : Almahira, Jakarta
Tebal : xxii + 490 halaman
ISBN : 978-602-8074-77-3

Buku ini bukanlah segala sesuatu tentang shalat. Buku ini hanya sebuah upaya untuk menjelaskan bahwa apa yang bisa menjadi tiang agama bisa juga menjadi tiang untuk individu, masyarakat, dan peradaban. Buku ini bukan tentang cara praktis khusyuk dalam shalat. Pada kenyataannya, tidak ada cara praktis mencapai kekhusyukan semudah membalikkan telapak tangan. Demikian pernyataan penulis di bab awal. Buku ini hanya sebuah upaya untuk menggali makna dari shalat. 

Akan tetapi, pemikiran tidak selalu mengubah perilaku. Mengubah perilaku lebih sulit daripada mengubah pemikiran. Pasalnya, mengubah perilaku tidak cukup dengan meyakini kebenaran sebuah pemikiran baru saja, tetapi juga harus menghilangkan pikiran negatif yang ada sebelumnya (halaman 7). Tidak mudah karena pemikiran negatif sudah lebih dulu mengakar dan mengendap di alam bawah sadar, sementara pemikiran yang baru masih di alam sadar, belum mengakar jadi pemahaman dan perilaku.  Mengubah perilaku tidak cukup dengan memiliki pengetahuan, ilmu, atau kesadaran. Namun, dibutuhkan keberanian untuk mengambil langkah itu sendiri.

Sebagian faktor penyebab mengakarnya hal negatif bersumber pada konsep-konsep yang tidak berkaitan dengan agama, tetapi dinisbahkan pada agama secara serampangan, atau dinisbahkan pada teks-teks agama, tetapi keluar dari konteksnya, atau dinisbahkan pada tindakan para ulama yang sebenarnya hanya respons atas kejadian sesuai konteks zaman, seiring waktu membaur dengan budaya lokal yang diwariskan turun temurun lalu jadi sakral (halaman 8).

Ada lima alasan populer di masyarakat untuk mengerjakan shalat:
1. Shalat sebagai penebus dosa,
2. Shalat menggugurkan kewajiban,
3. Shalat sebagai penenang jiwa,
4. Shalat sebagai "sarana komunikasi" kepada Allah,
5. Shalat adalah kewajiban, itu sudah cukup!

Alasan 1 seperti dimanfaatkan orang untuk terus melanggengkan dosa, karena akan terhapus oleh shalat, padahal itu tergantung pada jenis dosa dan niat melakukannya (misal sengaja atau tidak, tahu atau tidak). Alasan 2 justru menjauhkan orang-orang yang tidak shalat dari shalat itu sendiri (halaman 25)--apa mungkin karena sekadar menggugurkan kewajiban, maka shalat tidak memberikan efek positif dalam kehidupan seorang muslim, sehingga orang tidak shalat/nonmuslim yang melihatnya makin berpikiran buat apa shalat kalau tidak menampakkan efek positif? Alasan 3, shalat memang menenangkan jiwa atau menjadi tenang hanya karena telah memenuhi kewajiban yang apabila ditinggalkan akan terasa mengganggu? 

Shalat bukan sekadar penggugur kewajiban, bacaan dan gerakan, meskipun sudah naluriah manusia untuk selalu membutuhkan ritual. Hewan-hewan pun mempunyai gerakan khas yang teratur dan terulang-ulang, tapi manusia mempunyai nilai lebih. Dengan mengenyahkan agama, dalam kehidupan sekuler-modern sekalipun, manusia tidak terlepas dari syiar dan ritual. Salah satu contohnya adalah perayaan ulang tahun yang individualistis dan konsumtif. Hanya saja syiar dan ritual dalam kehidupan sekuler-modern itu terbatas dalam dimensi materi dan kekinian. Shalat adalah ritual keagamaan yang dapat membawa manusia melampaui dimensi tersebut, sehingga terhubung dengan yang gaib/nonmateri, jika saja ia menguasai kemampuan abstraksi yang dimilikinya. Secara terminologi, berpikir abstrak adalah kemampuan dasar untuk menemukan inti atau sifat utama dari sebuah perkara dengan menyingkirkan banyak hal yang tidak penting meskipun itu tidak memiliki wujud materi secara langsung (halaman 42). Kemampuan berpikir abstrak hanya dimiliki manusia. 

Menafakuri hadis tentang orang badui yang hanya mau mengerjakan kewajiban (shalat, puasa, zakat) tanpa mengurangi atau menambah, buku ini menyerukan agar jangan menjadikan itu sebagai patokan. Perlu dipahami latar kehidupan badui Arab yang pada masa itu merupakan musuh utama dakwah Islam: mempertahankan keyakinan lama, tidak mau terikat aturan sosial dan kekerabatan, antiperadaban, cara hidupnya dengan merampok orang di jalan. Kalau menyamakan diri dengan mereka, alias mematok standar rendah/minimal/sebatas kemampuan (dalam hal shalat maka sekadar gerakan dan bacaan untuk menggugurkan kewajiban), maka tidak akan berkembang. Daripada memosisikan diri sebagai orang badui yang hanya mau mengerjakan the bare minimum, lebih baik meneladani sosok lain dalam dunia Islam yang berhasil mengangkat diri dan mengubah dunia, salah satunya adalah Umar bin Khattab.

Selanjutnya buku ini mengajak untuk memaknai setiap unsur dari shalat, mulai dari adzan, wudhu, kiblat, niat, sampai pengertian keluarga dalam shalawat kepada Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim dalam bacaan tasyahud akhir. Penulis kerap menggunakan perumpamaan. Contoh: Niat seperti bungkus, yang mungkin bagus, tapi yang tidak kalah penting adalah isinya. Doa istiftah (iftitah?) laksana afirmasi diri sebelum melakukan pertandingan atau menghadapi ujian. Hamdalah ibarat obat penenang (untuk sementara atau menyembuhkan sampai ke akar) dan cara pandang (yang positif). Hidayah umpama cahaya yang tidak mesti besar lagi muncul sekali saja, tetapi bisa pula kecil-kecil yang hanya menerangi beberapa langkah lalu padam, sehingga perlu diminta terus-menerus melalui surah Al-Fatihah yang dibaca berkali-kali dalam sehari saat shalat.

Uraian dalam buku benar-benar menuntut kemampuan berpikir abstrak (^_^); Membacanya perlu sambil mengerahkan imajinasi, bahkan diulang sewaktu-waktu, untuk menghayati secara penuh serta mengingatkan lagi dan lagi akan efek yang semestinya didapatkan dari shalat. Kalau membacanya asal menyapu kata saja, penjelasannya terasa mengawang. 

Buku ini menginsafkan saya bahwa tampaknya perjalanan menuju tauhid masih jauh dan terjal; selama ini berislam karena budaya, lingkungan, pendidikan sekolah, dan kebiasaan saja. Mungkin saya masih terganggu oleh pemahaman-pemahaman yang berselisih dengan satu sama lain, dan pemahaman terhadap Islam hanya satu di antaranya. Mungkin saya masih cenderung melihat kepada manusia-manusia lain yang juga campur aduk pemahamannya, daripada berpegang pada pemahaman Islam saja. Malah, makin bertambah pengetahuan tentang Islam, makin saya merasa memahami perkataan bahwa Islam muncul sebagai sesuatu yang asing dan akan kembali asing pada akhir zaman (kurang lebih begitulah). Nyatanya memang ada konsep-konsep dalam Islam yang sungguh asing untuk diterapkan dalam situasi sekarang, dan ini menjadi ganjalan untuk berislam sepenuhnya bagi yang dibesarkan dalam mentalitas zaman ini.

Sepertinya akan memerlukan seumur hidup untuk mencapai pemahaman Islam yang sepenuh-penuhnya, sedalam-dalamnya; kalaupun tidak sampai-sampai, paling tidak, istiqamah mencicil usaha ke sana. Tapi, bukan berarti dengan menutup diri sama sekali dari pemahaman-pemahaman lain itu. Mengenal sebanyak-banyaknya pemahaman saya kira bagian dari pengamalan perintah untuk membaca, berpikir, dan berjalan-jalan di atas muka bumi untuk melihat kerusakan yang dibuat orang-orang yang menyangka telah melakukan kebaikan. Hanya pengenalan itu perlu disertai dengan kebijaksanaan, kemampuan membedakan mana yang tauhid dan menyangkal yang selainnya. Wallahualam.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain