Aku pikir aku akan segera mati begitu sampai sini.
Odong-odong reyot yang
kunaiki terantuk-antuk melalui jalan
berbatu menuju sebuah kota terpencil—yang saking udiknya sampai kapan pun aku tidak akan bisa menyebut namanya. Jadi sebut saja kota
ini sebagai Kota T. T untuk Tinja. Nah, itu mobil penyedot-tinja milik ayahku
datang. Lengkap dengan tulisan ‘Anda Sembelit, Kami Merugi’ di bemper depannya.
Ayahku masih tetap ayahku. Masih tetap
supir truk tinja sampai kapan pun. Aku tidak usah repot mengingat nomor telepon rumah jika ada temanku yang
bertanya. Aku tinggal mencari tiang listrik dengan papan kecil bertulisan
‘SEDOT TINJA, Hub. XXXXXXX’. Tinggal katakan saja apa keperluanmu, hendak
menyedot tinja di rumahmu atau
bicara denganku.
Namun untungnya hal itu tidak pernah terjadi. Ayah dan ibuku bercerai
ketika umurku masih beberapa bulan. Saat itu kami semua masih tinggal di kota
ini. Ayah dan ibuku lahir di sini. Ibuku minggat karena ayah hanya seorang
supir truk tinja. Lalu mengapa ibuku mau menikah dengan ayahku? Waktu itu ayahku bukanlah supir truk tinja, melainkan supir pribadi
walikota. Walikota tersebut kemudian
dipecat karena terlibat skandal.
Ayahku yang mestinya tak bersalah ikut mendapat getah.
Ibuku sendiri sejak pindah ke kota
besar, dengan membawaku serta, mengalami kenaikan strata yang menakjubkan. Dalam
beberapa tahun Ibu sudah
mendapat posisi mapan di suatu perusahaan. Tapi sudahlah cukup cerita tentangnya. Ibu sudah tiada. Terpeleset di toilet. Kata mereka Ibu terkena stroke. Ibu berwasiat,
sepeninggalnya, aku harus berada dalam pengasuhan ayahku sampai aku berumur 18
tahun, atau setidak-tidaknya sampai aku lulus SMA.
Truk tinja itu berhenti di depanku. Ayahku
yang kumal turun. Aku bertanya padanya apa ia hendak menjemputku atau
menunaikan tugasnya. Ia memandangku heran. Aku mendongak pada tulisan ‘TOILET’
yang berada di atasku. Sejak tadi aku menunggunya sambil menyender pada dinding
situ.
Karena
kukira aku masihlah asing bagi kota ini, semestinya aku tidak usah malu saat harus menebeng truk tinja Ayah. Toh
sekali ini saja, karena aku tidak tahu bagaimana cara menuju rumah yang akan kutempati nanti
dari terminal.
***
Aku
berusaha membuat diriku nyaman di kamarku yang baru, dengan satu-satunya toilet di rumah mungil ini berada
di sampingnya. Aku sudah lupa bagaimana keadaannya dulu ketika aku
meninggalkannya pada umur beberapa bulan.
“Ina!”
terdengar suara Ayah memanggil.
Aku mencari sumber suara yang
rupanya berasal dari sumber bau. Ayah berada di garasi, terhalang truk tinjanya.
Lama-lama aku bisa kebal juga dengan bau tinja. Sepertinya Ayah harus memperbaiki tangki truknya.
“Kemarin
kamu minta kendaraan, Nak.”
Tentu
saja aku ingat. Aku tidak ingin pergi sekolah diantar truk tinja. Namun aku tidak
bisa berharap banyak aku bakal dikasih kendaraan apa dengan profesi Ayah yang berpenghasilan pas-pasan. Aku tidak
akan keberatan kalaupun aku dikasih becak bekas seharga cuma-cuma—hasil belas kasih
teman Ayah yang mungkin saja seorang
pengusaha becak. Aku bisa sambil mencari penghasilan tambahan dengan sekalian
mengangkut teman-temanku ke sekolah. Pulang dari sekolah aku bisa mangkal di
terminal.
“Ayah
nggak tau kamu bakal suka apa
nggak.” Ayah menggiringku ke
balik truk tinja dan aku mendapati sebuah sepeda ontel. Tua tapi antik. Agak
kusam tapi klasik.
“Makasih,
Yah! Ini lebih dari yang aku bayangin!” ucapku sumringah. Aku tulus kok. Di
kota asalku sekarang sedang ramai gerakan bersepeda dalam rangka meminimalisir
polusi. Kamu akan lebih dianggap keren kalau sepedamu adalah sepeda antik atau
bermerk terkenal. Sepeda antik memiliki nilai tambah karena pemiliknya dianggap
seolah dia telah melestarikan benda warisan sejarah.
“Ini
punya kakekmu. Ayah dapat ini sewaktu pembagian harta setelah kakek meninggal
dulu itu.”
Awesome!
***
Orang-orang
memandangku ketika aku memberhentikan sepeda ontel yang kukendarai ini di dekat
mereka yang sedang berkerumun di halaman sekolah baruku, SMAN T. Oh, hai. Aku
orang baru. Aku berkata begitu lewat senyumku. Aku malas buang-buang waktu dengan
mereka. Aku segera mencari di mana kelasku. Bel tanda masuk kelas berbunyi.
Kususuri lorong suram ini. Kumasuki sebuah kelas yang kukira itu kelasku. Aku
berteriak ketika kipas angin yang berdiri di samping pintu kelas
mengacak-ngacak rambut panjangku. Aku benar-benar kaget. Kipas angin!? Di dalam
kelas!? Di sekolahku dulu pake AC.
Aku
merapikan rambut dengan jari-jari dan duduk di bangku yang masih kosong. Di
mana calon teman sebangkuku sedang menungguku duduk di sebelahnya.
Tampannya...
Kulirik
dia menutup hidung dan menahan mual ketika aku duduk di sampingnya. Dia seperti
mau muntah.
“Kamu
baik-baik aja?”
Dari
gelagatnya dia memintaku untuk tidak mengkhawatirkannya. Tapi dia memang
mengkhawatirkan sih.
“Kamu
masuk angin? Aku bawa minyak kayu putih.”
Cowok
itu buru-buru menggoyangkan tangannya. Ekspresi kemualannya makin ekstrim saja.
Seperti hendak muntah.
Ya
sudahlah.
Sepanjang
pelajaran itu aku merasa tidak nyaman sekali. Tadi sebelum berangkat sekolah
aku menyemprotkan parfum banyak-banyak ke pakaianku karena aku takut bau tinja
di penjuru rumah dapat meresap ke dalam pori-pori pakaianku. Aku tidak
menyangka bau parfumnya akan begitu menyengat jadinya. Bahkan aku sendiri pun
merasa tidak nyaman, bagaimana dengan orang-orang di sekitarku? Lihat saja
‘teman’ sebangkuku ini. Ia
seperti memandangiku terus-terusan. Ketidaknyamanan kuadrat.
Aku
benci hidupku sebagai anak supir truk tinja yang membawa pekerjaannya pulang ke
rumah. Ya, rumah kami kan terletak tepat di samping perusahaan pengolahan tinja,
sehingga bau tinja kadang-kadang sampai ke rumah kami. Tinja ternyata dapat
dimanfaatkan menjadi biogas, sebagai pengganti gas elpiji untuk memasak. Aku tidak
mau bilang pada siapapun bahwa kami sekeluarga (ya, hanya aku dan ayahku)
adalah salah satu konsumennya. Fasilitas perusahaan sih, gratis.
Selain
melayani jasa sedot tinja, perusahaan tersebut juga menjual beberapa bentuk jasa
lainnya seperti membersihkan toilet. Mereka punya produk pembersih toilet yang
bagus-bagus, dijamin toiletmu akan kinclong dalam waktu sekejap. Aku bahkan
ditawari kerja sebagai pegawai divisi Pembersihan Toilet tersebut. “Waktunya
fleksibel kok, Dik. Tergantung permintaan.” kata orang yang menawariku itu.
Sori ya, aku masih punya harga diri.
Pantas saja aku menjuluki kota ini sebagai
kota Tinja. Yang bisa diunggulkan dari kota ini mungkin hanya perusahaan
pengolahan tinjanya, yang jadi rujukan bagi perusahaan semacam di kota-kota
lainnya. Bahkan mungkin kota asalku. Sebuah kota besar dengan sinar matahari
yang tidak malu-malu. Pusat gaul anak muda negri ini. Aku cinta kota itu. Aku
benci harus di sini. Sebut saja kota asalku dengan kota M. M untuk Matahari
atau untuk Milikku.
Tepat satu detik sebelum bel tanda
istirahat berbunyi, cowok tampan di sebelahku meninggalkan bangkunya dan menuju
ke luar kelas.
Aku ingin minta maaf padanya karena
nasibnya tidak begitu baik hari ini.
Perjalanan pulang dari sekolah ke rumah
melewati sebuah jalan, di mana di samping jalan tersebut ada lembah melandai ke
bawah, di mana di bagian bawah tersebut rupanya merupakan tempat nongkrong
anak-anak sekolahanku. Aku kenal muka beberapa di antara mereka. Mereka yang
tampaknya sedang bersenang-senang. Beberapa mobil mengkilap keluaran terbaru
berjejer di dekat mereka. Aku sempat mendengar isu di sekolah ini memang ada
gap antara penduduk pribumi yang udik-udik dengan pendatang dari kota-kota
besar yang datang untuk mengisi kursi pemerintahan di kota kecil ini. Sebut
saja pejabat. Aku juga berasal dari kota besar, tapi sayangnya aku belum cukup
umur untuk jadi pejabat dan punya rumahku sendiri sehingga tidak harus tinggal
di rumah supir truk tinja yang sering bau tinja.
Aku mengamati terus para anak pejabat kota
T ini hingga tak memperhatikan jalanan di depanku. Entah apa sebabnya, yang
jelas kecelakaan ini terjadi cepat sekali. Aku tak bisa mengendalikan sepeda
ontelku. Aku berteriak-teriak panik. Aku terjatuh dari sepedaku dan berguling
dari atas hingga dasar lembah sementara sepedaku... Oh... Oh... Sepedaku... Ia
melayang....
Ketika akhirnya berhenti juga aku
berguling, aku sadar aku telah mendarat di tempat yang tidak seharusnya. Kami
saling berhadap-hadapan... Aku dan dia... Cowok tampan itu... Yang tadi
sebangku denganku...
Aku cepat-cepat bangkit. Tanpa sempat
membersihkan pakaianku dari tanah dan rumput aku terhenyak mendapati sepeda
ontelku mendarat di tempat yang tidak seharusnya juga. Ia telah meretakkan kaca
depan salah satu dari jejeran mobil mahal itu.
Sepeda ontelku masihlah antik dan klasik,
namun ini bukan saat yang tepat untuk membatidakannya.
Seseorang memanggil namaku. Aku sudah
hapal suaranya. Toto. Ya, itu dia namanya. Cowok tampan yang kini sering sebangku
denganku. Yang jadi landasan empukku ketika aku terbang akibat kecelakaan
kemarin itu. Sejak itu entah kenapa sepertinya dia jadi suka mendekati aku.
Bukannya aku GR. Tapi aku belum berminat untuk meladeni dia. Aku sedang super
bingung bagaimana aku bisa mendapatkan uang untuk mengganti kaca depan yang
retak itu. Pemiliknya memang tidak sampai mencak-mencak memarahi aku, bahkan
kaca retaknya pun sudah diganti dengan yang baru. Tapi itu bukan berarti aku
bebas dari tanggung jawab mengganti biaya penggantian kaca. Selain itu kap
mobil itu juga tergores. Goresan yang panjang dan akibatnya kapnya juga harus
diganti. Jadi berapa total biaya penggantian kaca dan kap itu???
Aku benar-benar tidak tahu harus
mendapatkan uang dari mana...
Cowok itu akhirnya berhasil memegang
pundakku. Masih dengan nafas tersengal ia berkata sumringah, “Ina, pulang
bareng aku yuk.”
“Aku udah punya kendaraanku sendiri,”
kataku dingin.
“Tidak masalah,” ujarnya sambil tersenyum.
Setengah jam kemudian mobil sport-nya (oh ya, dia salah satu dari
anak-anak elit yang terjebak dalam kota udik ini) melaju dengan membawa aku di
dalamnya dan sepeda ontelku diikat di atap mobil.
Rumahku tak begitu jauh sebetulnya dari
sekolah. Tidak sampai seperempat jam kami telah sampai di belokan dekat
rumahku. Aku buru-buru menyuruhnya berhenti.
“Aku turun di sini aja,” kataku sambil
menurunkan sepeda ontelku. Dia ikut membantu.
“Kenapa tidak sampai depan rumahmu aja?”
Aku tidak heran kalau dia heran.
“Ayahku galak,” sahutku pendek.
Dia mengangkat pundak. “Tapi nanti malam
bisa kan?”
“Apa?”
“Ke Telaga Asih? Kita barusan ngomongin
kan?”
“Oh ya?” Aku tidak bisa menyembunyikan tampang
sok tahuku. “Maaf, tadi aku tidak gitu konsentrasi...”
“Tidak papa...”
Aku masih memikirkan bagaimana cara
mendapatkan uang pengganti kecelakaan itu.
“Jam berapa?”
“Jam 7?”
Aku tersenyum basa-basi, “Oke, jemput aku
di belokan ini aja.”
Dia masuk ke dalam mobilnya setelah
mengucapkan dadah. Setelah mobilnya hilang dari pandangan, aku mengayuh sepeda
ontelku cepat-cepat supaya segera sampai, bukan ke rumahku, melainkan gedung di
sampingnya, milik Perusahaan Sari Tinja.
Aku bilang pada resepsionisnya bahwa aku
mau melamar pekerjaan di divisi Pembersihan Toilet.
Aku hampir mati kebosanan mendengar Toto
memuji-mujiku terus sejak awal aku masuk ke dalam mobilnya. Iya, aku tahu aku
cantik. Kamu tampan. Kita sama-sama memiliki fisik yang indah dan itulah sebabnya
kenapa aku dan kamu tampak serasi. Dan anak-anak lain banyak yang ngomongin
kita, betapa akan cocoknya kalau kita jadian, berjalan beriringan sambil
bergandengan tangan.
Oh, Toto, taukah kamu kalau aku bukan
cewek dangkal yang bisa dengan begitu mudahnya jatuh cinta pada seseorang hanya
karena dia begitu tampannya? Seperti kamu misalnya? Pepatah orang tua
‘darimana-datangnya-lintah-dari-sawah-turun-ke-kali-darimana-datangnya-cinta-dari-mata-turun-ke-hati’,
tidak berlaku untukku.
Dalam malam yang temaram ini, karena
suasana di tepi telaga ini memang diset demikian, dengan lampion-lampion dan
pendar lilin, dan dimanfaatkan untuk bisnis menjual pangan, Toto menggenggam
tangaku dan berkata, “Maukah kamu jadi pacarku?”
Dia bahkan belum tahu apa pekerjaan
orangtuaku.
“Aku tidak mau terburu-buru. Cinta itu
tumbuh seiring dengan waktu,” ucapku diplomatis.
Sepanjang malam itu sampai waktunya aku
harus pulang, kami hanya saling memandang. Memandang wajah satu sama lain.
Memandang telaga. Memandang karyawan tempat makan ini. Memandang pengunjung
lainnya. Memandang penampakkan. Aku harap dia bosan melihat wajahku.
Tapi sepertinya itu pun membutuhkan waktu.
Setelah malam itu, dia masih saja suka mengantar-jemputku (tentu saja kusuruh
dia berhenti sebelum belokan dan dia nurut saja), membawaku jalan-jalan ke
beberapa tempat di kota ini yang belum banyak terjamah tangan manusia, bahkan
ia mengajakku untuk ikut acara keluarganya. Ngapain coba? Mereka rupanya punya
lapangan golf pribadi. Bisa saja mereka memanfaatkan lahan kosong yang masih
banyak tersebar di kota ini.
Keluarganya baik-baik padaku. Orangtunya
kelihatan masih muda. Kakak-kakaknya pada punya pasangan. Hanya dia saja yang
belum.
Aku tidak ikutan main bersama mereka. Tidak
semua orang di kota besar bisa main golf, jelasku pada mereka.
Ya ampun, dengan segala perlakuan baiknya
itu padaku, lama-lama aku bisa jatuh cinta beneran sama dia!!
Ini kali kedua Toto mengajakku ‘olahraga’
bersama keluarganya. Dengan sangat menyesal aku mengatakan aku tidak bisa ikut.
Ada urusan. Tentu saja aku tidak mengatakan padanya bahwa urusanku adalah bahwa
aku harus memenuhi panggilan tugasku yang pertama.
Tugasku adalah mendatangi rumah di alamat
ini untuk membersikan toiletnya. Ya ampun, orang kaya di kota kecil aja sok-sokan
amat sih, pake malas bersiin toilet sendiri segala. Seorang rekanku
mengingatkanku untuk tidak mengeluh, selama bertahun-tahun, membersihkan toilet
rumah ini sudah jadi agenda perusahaan. Mereka pelanggan setia.
Bersama rekanku itu—karena aku masih baru,
jadi peranku lebih kepada menjadi asistennya—kami melaju dengan mobil
perusahaan (dengan tulisan besar ‘Perusahaan Sari Tinja’, alamat, dan nomor
telepon tertera di samping badannya) menuju ke sebuah komplek perumahan elit satu-satunya
di kota ini. Katanya hanya pejabat dan konglomerat yang bisa tinggal di situ.
Perusahaan Sari Tinja sungguh profesional.
Untuk pekerjaan membersihkan toilet saja, ada outfit khusus untuk itu. Aku berharap di kotak peralatanku tersedia
masker juga.
Mobil berhenti di suatu rumah yang rupanya
sudah tidak asing lagi bagiku. Aku sering dibawa ke sini oleh seseorang...
Rekanku mengetuk pintu depan rumah. Tidak lama kemudian seseorang membukakan
pintu itu. Yeah, wajahnya pun sudah tidak asing lagi bagiku. Aku yakin aku
cukup mengenali wajah seluruh penghuni rumah ini.
Bukannya mereka seharusnya sedang
berolahraga? Masak hanya gara-gara aku tidak bisa mereka pun urung jadinya?
“Selamat siang, kami dari perusahaan Sari
Tinja...,” ramah aku dan rekanku menyapa.
Cek warisan dari mendiang ibuku akhirnya
cair juga. Aku bisa membayar biaya penggantian kaca depan dan kap mobil itu
dengan penghasilanku sendiri ditambah sebagian uang warisan ibu. Sisanya
kutabung. Aku bercita-cita selepas SMA akan pergi dari kota ini, kuliah di PTN
favorit di kota besar dan tentu saja hidup mandiri.
Sudah beberapa bulan berlalu sejak
panggilan tugas pertamaku sebagai seorang pembersih toilet. Kini aku adalah
siswi SMA yang juga pembersih toilet profesional. Gajinya lumayan loh. Ada
desas desus bahwa aku sedang dipromosikan untuk jabatan yang lebih tinggi.
Menunggui meja operator misalnya. Aku tidak begitu mengharapkan jabatan itu.
Aku ingin kembali ke kotaku yang dulu.
Aku masih suka memakai sepeda ontelku.
Lebih sehat dan ramah lingkungan dari mobil sport.
Dalam perjalanan pulang dari minimarket
membeli bahan-bahan untuk masak makan malam, kulihat mobil sport yang dulu biasa mengantar-jemputku ke mana-mana terparkir di
depan sebuah kafe yang baru beberapa minggu ini berdiri.
Pembangunan di kota kecil ini mulai
terlihat. Jalanan berbatu diaspal. Lahan-lahan kosong disiangi karena akan
dibangun bangunan industri. Beberapa kafe mulai bermunculan. Mal katanya akan
segera didirikan.
Melihat nomor platnya, kukenali mobil itu
tak lain dan tak bukan adalah milik Toto. Toto yang seminggu setelah panggilan
tugas pertamaku bilang padaku bahwa keluarganya tak bisa menerimaku lagi
sebagaimana dulu. Terlebih setelah mereka tahu kalau aku hanya seorang anak
supir truk tinja. Cantik-cantik ternyata cuman anak supir truk tinja, huh. Aku tidak
pernah mau datang ke rumah itu lagi, membersihkan toiletnya lagi, meski rekanku
bilang kalau pekerjaanku selalu memuaskan pelanggan.
Setelah sebelumnya kurasakan bahwa di sekolah,
dia sendiri pun lama-lama menjauhiku. Mengucapkan beribu alasan kenapa dia tidak
bisa mengantar-jemputku lagi padahal aku tidak bertanya. Lebih sakit saat
pernah suatu ketika aku lewat di depannya dan teman-temannya dan mereka
meledekku dengan menutup hidung mereka. Padahal aku tidak pernah menyemprotkan
parfum banyak-banyak lagi. Untungnya seiring dengan berjalannya waktu,
teman-temanku bertambah banyak. Mereka tidak masalah dengan statusku sebagai
anak supir truk tinja toh mereka juga anak dari orang-orang tertindas seperti
buruh tani, buruh cuci, dan sebagainya. Meski ada juga beberapa temanku yang
dari golongan menengah dan menengah ke atas.
Kini Toto sudah punya pacar baru. Pindahan
dari luar kota juga. Cantik juga. Tentu saja kali ini dia tidak mengulangi
kekhilafannya dulu. Dia tahu pasti kalau pacarnya sekarang anak kapten polisi.
Kini ia setia menaikkan pacarnya ke dalam mobilnya supaya pacarnya itu tidak
usah diantar sekolah pakai mobil polisi.
301208
HABIS KATA #12
Untuk cerpen Desember sebenarnya saya memikirkannya sudah sejak lama dan
ada beberapa ide yang hendak dijadikan cerpen. Saya masih bingung
memilih-milihnya dan belum sempat mencari bahan. Hingga datang lagi seorang
Mbak Desi. Pada suatu Kamis petang di bulan Desember, setelah sekian lama, dia
mendatangi kembali Forum Fiksi FLP Jogja. Dia menyuruh saya mendekat dan
ternyata dia meminta saya untuk membuat cerpen parodi lagi, tapi parodikan satu
film saja, jangan banyak-banyak. Panjangnya cukup 7-8 halaman. Boleh lebih dari
dua.
Kalau sudah diminta seperti itu susah bagi saya untuk tidak tidak
mengerjakannya. Yang langsung terpikirkan oleh saya adalah memparodikan film
Twilight. Film itu sedang ngetren saat itu dan saya pun pernah memiliki kepenasaranan
yang tinggi terhadapnya, terutama pada pemeran tokoh Edward Cullen yang
diperankan oleh Robert Pattinson. Via google,
saya membaca-baca artikel mengenai Robert Pattinson. Saya kira film Twilight
itu sedemikian hebatnya sampai banyak orang yang membicarakannya. Tapi setelah
membaca beberapa artikel, perkiraan itu terkikis sedikit demi sedikit. Leila S.
Chudori membahas film ini dalam Tempo. Dia bilang, tidak heran film ini sangat
digandrungi remaja putri karena, ya ampun, lihat saja ada cowok sesempurna
Edward Cullen di dalamnya. Film ini memenuhi semua impian yang dimiliki remaja
putri normal. Dalam buku hariannya, teman saya menulis, tidak ada alasan yang
kuat bagi si tokoh utama untuk jatuh cinta pada si vampir selain karena vampir
itu ganteng. Ada juga yang membagi komentarnya tentang film ini dalam suatu
blog. Jadi orang itu seorang cowok yang telah menemani ceweknya nonton
‘Toilet’. Dia cuman bisa menghela nafas ketika ceweknya mendesah-desah
kegirangan setiap sosok Edward ‘Culun’ muncul. Karena membaca ini, ketika
diminta bikin cerpen parodi itu saya langsung kepikiran untuk memparodikan
Twilight dan memplesetkan judulnya menjadi ‘Toilet’. Jadi cerpen ini harus
berisi plot film Twilight dan harus dikaitkan dengan toilet. Saya pun
memasukkan kata ‘toilet’ dalam mesin pencari google. Saya juga memasukkan frase ‘sedot tinja’. Saya sempat tidak
berniat untuk melanjutkan cerpen ini. Saya tidak tahu bagaimana harus
menyimpangkan alur film ini dan mengkaitkannya dengan toilet. Namun deadline mengejar dan Mbak Desi pun
memberikan syarat cerpen ini harus selesai karena saya telah meminta dia
memberi pendapat mengenai salah satu masalah dalam novel kolaborasi saya.
Sebelumnya, saya telah mengetik 2 halaman tapi lalu malas melanjutkan. Karena 2
halaman awal itu saya rasa sudah cukup oke, jadi ya saya lanjutkan saja. Saya
memikirkan alur cerpen ini untuk melanjutkan 2 halaman itu sambil menyapu dan
nyuci piring. Ini namanya efisiensi waktu. Alhamdulillah cerpen ini dapat
diselesaikan. Namun saya merasa cerpen ini dangkal dan tidak layak untuk
diterbitkan (Mbak Desi meminta cerpen ini karena memang dia diminta oleh suatu
penerbit untuk menyusun antologi cerita parodi). Cerpen ini bahkan tidak ada
unsur komedinya. Saya berharap cerpen ini tidak diterbitkan saja. (12/31/2008)