Rabu, 31 Desember 2008

Ketika Rumpus dalam Moi

Kusadari sudah hingga berjam-jam aku duduk beberapa meter jauhnya dari pintu rumah kami. Rumah mungil yang menjadi bagian dari komplek gedung rumah susun ini.

Aku dan abangku adalah anak tanpa orangtua. Kami lari dan hidup berdua. Bertiga, karena sejak menemukan kebebsannya, abangku membawa si jalang itu.

Aku tak mau masuk rumah kalau ada dia. Dia di dalam, entah sedang mengapakan abangku, aku tak mau tahu. Mungkin dia adalah korban seperti kami. Tapi aku tak mau dia menjadi bagian dari kami. Membuatku malu saja. Dengan pahit harus kuakui bahwa hanya dia yang mampu membuat abangku kalem di saat masa labilnya datang.

Masa labil itu selalu datang.

Aku tak tahu ke mana harus pulang selain ke tempat ini. Namun bahkan tempat ini pun tak terasa seperti rumah. Tak ada orangtua yang menyambutmu setelah kamu melewati pintu depan, dan bertanya, “Habis dari mana saja?”

Pun tak ada yang namanya berlari-larian mengelilingi rumah bersama saudara kandungmu. Memang, aku dan abangku sudah besar. Tak mungkin melakukan itu lagi. Namun seharusnya kami bisa melakukan sesuatu yang sama hangatnya dengan itu.

Kini tak pernah. Sejak kelabilan itu menguasainya. Sejak si jalang itu datang. Aku terlalu muak untuk menceritakan asal mulanya.

Aku menghela nafas. Sampai kapankah aku harus terus di sini...? Memeluk kedua lutut dan tak tahu harus melakukan apa...

 

Abangku kalau marah buruk sekali. Buruk. Tak perlu banyak kalimat untuk menggambarkan betapa buruknya itu ketika terjadi: Seluruh barang di rumah porak poranda.

 

Tuh dengar. Abangku mulai lagi. Aku menempelkan sebelah telingaku ke pintu. Terdengar suara teriakan. Barang-barang dilempar. Ada yang pecah. Si jalang itu memekik. Mungkin dia bingung harus melakukan apa. Mungkin dia sedang tersengguk-sengguk di pojok ruangan.

Sama sepertiku, tak tahu apa yang harus dilakukan.

Aku menyandarkan punggungku di pintu dan menerawang ke langit-langit.

Ah, Abang... Abang... Bikin malu tetangga saja kau... Tak tahukah kau bahwa kita hidup bersama kumpulan manusia lainnya di rusun kumuh nan sempit ini.

10 menit... 20... setengah jam... 45 menit...

Aku tak tahan.

Memang kadang-kadang tak terdengar suara lagi di balik pintu ini. Hening. Namun mesti tak lama kemudian akan muncul suara-suara terbenturnya benda keras lagi.

Hal ini terjadi minimal dua kali dalam seminggu.

Ada sesuatu yang ingin kulakukan. Tapi aku tak mau masuk kalau masih ada si jalang itu di dalam sana.

Masuk... Tidak... Masuk... Tidak...

Secepat mungkin aku menarik gagang pintu, masuk ke dalam. Dari belakang aku menarik kedua lengan abang. Ampun, tenaganya kuat sekali. Aku nyaris melayang-layang dibuatnya. Kuperkuat peganganku. Dia memberontak. Aku menoleh pada si jalang yang tengah menangis ketakutan, memberi isyarat agar dia membantuku melaksanakan rencanaku.

Dengan ragu-ragu dia mendekat...

Dalam waktu beberapa menit kami telah bahu membahu menyeret lelaki muda ini ke tempat yang telah kurencanakan.

Kamar mandi.

Kepayahan kami dengan pemberontakan yang dilakukan abang. Dia bau sekali. Bau badan. Bau alkohol. Matanya kuning. Brewokan. Menyeramkan. Aku akan membuat kami tak usah melihat keseraman itu. Beberapa bagian tubuhku telah sakit karena terantuk-antuk sikut abang dengan kekuatan besar di dalamnya. Mungkin si jalang pun merasakan hal yang sama.

Hingga akhirnya kami berhasil menyentuh ubin dingin kamar mandi.

“Balikkan dia!” seruku pada si jalang. Si jalang mengeluarkan suara payah yang keheranan. Namun tetap dilakukannya juga apa yang ku mau. Kami berhasil memasukkan kepala abang ke dalam bak kamar mandi. Bening dan dingin. Aku menekan kepala abang agar usahanya untuk keluar dari sergapan air tak berhasil. Tangannya menggapai-gapai berusaha untuk mencengkeram dan menghajar lawannya. Hanya tanganku saja yang condong ke depan, menahan kepala abang. Tubuhku kutarik ke belakang. Begitupun si jalang yang sudah terlebih dulu melakukannya. Dia berdiri ketakutan di ambang pintu kamar mandi.

Setelah abangku sudah hampir kehabisan tenaga, aku buru-buru melepaskan tanganku dari kepalanya dan meloncat ke luar kamar mandi. Tergopoh-gopoh si jalang mengikutiku. Pintu kamar mandi kubanting dan kukunci dari luar. Kuncinya lalu kumasukkan lagi ke dalam kamar mandi lewat lubang ventilasi di atas pintu.

Aku dan si jalang terduduk di luar pintu. Sebagian pantat kami menimpa keset, tak peduli betapa itu adalah benda kotor menjijikkan.

“Apa yang kita lakukan tadi...?” si jalang mendesah lemas dan gemetaran.

“Amarah terbuat dari api. Air yang mampu memadamkannya,” ucapku kalem.

Setelah agak tenang dan sengalku berkurang, aku menuju ruang tengah. Kuraih telepon. Kutekan nomor kantor polisi. Aku hendak melapor bahwa telah terjadi usaha bunuh diri di rumahku. Abangku harus segera diselamatkan. Tapi ia mengunci dirinya di dalam kamar mandi. Aku tak tahu bagaimana caranya masuk ke sana...

 

Kucium kening abang yang tengah tertidur pulas di atas ranjang rumah sakit. Perawat telah membersihkan tubuhnya. Pakaian baunya telah diganti oleh pakaian pasien rumah sakit yang bersih. Dia tampak damai sekali. Tak ada yang menyangka bahwa wajah ini bisa menghasilkan seringai beringas dan mulut yang terkatup itu kerap menyemburkan kata-kata kotor.

Tak lama lagi ia sudah dapat keluar dari rumah sakit. Sebetulnya aku tak mau hal itu cepat-cepat terjadi. Aku ingin mereka menemukan bahwa ada yang salah dengan abangku. Entah itu dalam fisiknya, kejiwaan atau apa. Biar mereka saja yang mengurus abangku. Aku tak mau.

Ketika aku keluar kamar, kulihat si jalang berdiri di hadapanku. Penampilannya rapi dan kuakui dia tampak cantik. Dibawakannya seikat bunga.

Kuajak dia pergi dari situ untuk menuju tempat yang sepi. Dia bertanya-tanya mau dibawa ke mana dirinya. Aku diam saja. Toh dia akhirnya mengikutiku juga.

“Kamu boleh merawat abangku selama dia di sini,” kataku ketika kami sudah berdiri saling berhadapan di pinggir taman yang jarang dilalui orang ini. “Tapi aku nggak mau kamu kembali ke rumah kami lagi.”

Aku memicingkan mataku, tepat menuju ke matanya. “Kembalilah kalau kalian sudah punya surat nikah yang sah.”

Dia menatapku lekat-lekat lalu menunduk sambil tersenyum.

“Semoga abangmu cepat sembuh,” katanya sebelum aku pergi dari situ. Aku menoleh untuk tersenyum sekilas padanya sebelum aku meninggalkan tempat itu dan tak menoleh ke belakang lagi.

 

311208


HABIS KATA #8 

Saya baru membuat cerpen ini di hari deadline-nya Rombongan Cerpen 2008 ini.

Cerpen ini selesai dalam waktu yang singkat. Ide cerpen ini sebenarnya memang muncul sejak Agustus 2008 lalu dan yang mendasarinya adalah masih  suasana kemarahan yang sedang saya rasakan. Biasalah, kita manusia punya saat-saat senang, sedih, melankolis, dan sebagainya. Begitupun saat-saat marah. Segala hal bersalah dan dapat memicu kemarahan kita. Pada akhirnya ya tersimpan saja dalam dada. Jadi tema utama dari cerita ini adalah ‘amarah’. Bagaimana kita dapat memanusiakan amarah. Saya ngunduh banyak artikel tentang amarah dari google. Hasilnya memang tidak begitu banyak memberikan inspirasi sih. Namun alurnya saat itu sudah ada. Ada adegan apa saja. Tinggal bagaimana saya menuangkannya dalam tulisan. Saya telah membuat berbagai versi dari ide ini (tidak banyak sih, cuman 1–2) dan kesemuanya saya hapus karena saya tidak begitu menyukainya.

Pada bulan Agustus 2008 itu sebetulnya kegiatan belajar mengajar di kampus belumlah efektif. Seharusnya saya bisa menggarap cerita ini di bulan itu juga. Namun entah apa yang saya lakukan hingga suasana marah dalam perasaan saya pun keburu berlalu. Ketika saya ingin membuat/meneruskan cerita ini lagi, feel itu sudah tidak ada. Beberapa kali saya mencoba hingga akhirnya saya memutuskan untuk melupakan saja ide ini. Feel sudah tidak ada, cerita ini pun terasa tidak penting lagi artinya untuk digarap. Berbulan-bulan kemudian, mendekati tenggat waktu di mana Rombongan Cerpen 2008 harus segera dituntaskan, cerpen Agustus masihlah kosong. Cerpen Agustus ini haruslah yang idenya muncul di bulan Agustus 2008. Maka saya buka buku ide saya dan membaca-baca apa yang saya tulis selama bulan Agustus 2008 itu. Sebenarnya saya sudah tahu kalau saya harus kembali pada cerita ini lagi. Tidak ada catatan mengenai alur lengkap cerita ini, padahal sepertinya dulu ada dan selalu saya ulang-ulang dalam kepala. Mungkin ada, tapi saya tidak mencarinya lebih jauh. Sehingga karena kelupaan itu akhirnya begini sajalah yang saya buat. Saya langsung pada apa yang saya ingat dan paling ingin saya tampilkan. Seharusnya cerpen ini memang tidaklah sesingkat ini.

Sebenarnya pula saya masih bingung dengan tokoh-tokohnya, terutama latar belakang mereka. Banyak tokoh suram dalam khayalan saya namun belum saya inventarisasi. Untuk efisiensinya sih ya memang jangan terlalu banyak. Seperlunya saja, tapi karakternya kuat dan konflik yang dialaminya memang ‘dalem’. (12/31/2008)

Selasa, 30 Desember 2008

T O I L E T

Aku pikir aku akan segera mati begitu sampai sini. Odong-odong reyot yang kunaiki terantuk-antuk melalui jalan berbatu menuju sebuah kota terpencil—yang saking udiknya sampai kapan pun aku tidak akan bisa menyebut namanya. Jadi sebut saja kota ini sebagai Kota T. T untuk Tinja. Nah, itu mobil penyedot-tinja milik ayahku datang. Lengkap dengan tulisan ‘Anda Sembelit, Kami Merugi’ di bemper depannya.

Ayahku masih tetap ayahku. Masih tetap supir truk tinja sampai kapan pun. Aku tidak usah repot mengingat nomor telepon rumah jika ada temanku yang bertanya. Aku tinggal mencari tiang listrik dengan papan kecil bertulisan ‘SEDOT TINJA, Hub. XXXXXXX’. Tinggal katakan saja apa keperluanmu, hendak menyedot tinja di rumahmu atau bicara denganku.

Namun untungnya hal itu tidak pernah terjadi. Ayah dan ibuku bercerai ketika umurku masih beberapa bulan. Saat itu kami semua masih tinggal di kota ini. Ayah dan ibuku lahir di sini. Ibuku minggat karena ayah hanya seorang supir truk tinja. Lalu mengapa ibuku mau menikah dengan ayahku? Waktu itu ayahku bukanlah supir truk tinja, melainkan supir pribadi walikota. Walikota tersebut kemudian dipecat karena terlibat skandal. Ayahku yang mestinya tak bersalah ikut mendapat getah.

Ibuku sendiri sejak pindah ke kota besar, dengan membawaku serta, mengalami kenaikan strata yang menakjubkan. Dalam beberapa tahun Ibu sudah mendapat posisi mapan di suatu perusahaan. Tapi sudahlah cukup cerita tentangnya. Ibu sudah tiada. Terpeleset di toilet. Kata mereka Ibu terkena stroke. Ibu berwasiat, sepeninggalnya, aku harus berada dalam pengasuhan ayahku sampai aku berumur 18 tahun, atau setidak-tidaknya sampai aku lulus SMA.

Truk tinja itu berhenti di depanku. Ayahku yang kumal turun. Aku bertanya padanya apa ia hendak menjemputku atau menunaikan tugasnya. Ia memandangku heran. Aku mendongak pada tulisan ‘TOILET’ yang berada di atasku. Sejak tadi aku menunggunya sambil menyender pada dinding situ.

Karena kukira aku masihlah asing bagi kota ini, semestinya aku tidak usah malu saat harus menebeng truk tinja Ayah. Toh sekali ini saja, karena aku tidak tahu bagaimana cara menuju rumah yang akan kutempati nanti dari terminal.

***

Aku berusaha membuat diriku nyaman di kamarku yang baru, dengan satu-satunya toilet di rumah mungil ini berada di sampingnya. Aku sudah lupa bagaimana keadaannya dulu ketika aku meninggalkannya pada umur beberapa bulan.

“Ina!” terdengar suara Ayah memanggil. Aku mencari sumber suara yang rupanya berasal dari sumber bau. Ayah berada di garasi, terhalang truk tinjanya. Lama-lama aku bisa kebal juga dengan bau tinja. Sepertinya Ayah harus memperbaiki tangki truknya.

“Kemarin kamu minta kendaraan, Nak.”

Tentu saja aku ingat. Aku tidak ingin pergi sekolah diantar truk tinja. Namun aku tidak bisa berharap banyak aku bakal dikasih kendaraan apa dengan profesi Ayah yang berpenghasilan pas-pasan. Aku tidak akan keberatan kalaupun aku dikasih becak bekas seharga cuma-cumahasil belas kasih teman Ayah yang mungkin saja seorang pengusaha becak. Aku bisa sambil mencari penghasilan tambahan dengan sekalian mengangkut teman-temanku ke sekolah. Pulang dari sekolah aku bisa mangkal di terminal.

“Ayah nggak tau kamu bakal suka apa nggak.” Ayah menggiringku ke balik truk tinja dan aku mendapati sebuah sepeda ontel. Tua tapi antik. Agak kusam tapi klasik.

“Makasih, Yah! Ini lebih dari yang aku bayangin!” ucapku sumringah. Aku tulus kok. Di kota asalku sekarang sedang ramai gerakan bersepeda dalam rangka meminimalisir polusi. Kamu akan lebih dianggap keren kalau sepedamu adalah sepeda antik atau bermerk terkenal. Sepeda antik memiliki nilai tambah karena pemiliknya dianggap seolah dia telah melestarikan benda warisan sejarah.

“Ini punya kakekmu. Ayah dapat ini sewaktu pembagian harta setelah kakek meninggal dulu itu.”

Awesome!

***

Orang-orang memandangku ketika aku memberhentikan sepeda ontel yang kukendarai ini di dekat mereka yang sedang berkerumun di halaman sekolah baruku, SMAN T. Oh, hai. Aku orang baru. Aku berkata begitu lewat senyumku. Aku malas buang-buang waktu dengan mereka. Aku segera mencari di mana kelasku. Bel tanda masuk kelas berbunyi. Kususuri lorong suram ini. Kumasuki sebuah kelas yang kukira itu kelasku. Aku berteriak ketika kipas angin yang berdiri di samping pintu kelas mengacak-ngacak rambut panjangku. Aku benar-benar kaget. Kipas angin!? Di dalam kelas!? Di sekolahku dulu pake AC.

Aku merapikan rambut dengan jari-jari dan duduk di bangku yang masih kosong. Di mana calon teman sebangkuku sedang menungguku duduk di sebelahnya.

Tampannya...

Kulirik dia menutup hidung dan menahan mual ketika aku duduk di sampingnya. Dia seperti mau muntah.

“Kamu baik-baik aja?”

Dari gelagatnya dia memintaku untuk tidak mengkhawatirkannya. Tapi dia memang mengkhawatirkan sih.

“Kamu masuk angin? Aku bawa minyak kayu putih.”

Cowok itu buru-buru menggoyangkan tangannya. Ekspresi kemualannya makin ekstrim saja. Seperti hendak muntah.

Ya sudahlah.

Sepanjang pelajaran itu aku merasa tidak nyaman sekali. Tadi sebelum berangkat sekolah aku menyemprotkan parfum banyak-banyak ke pakaianku karena aku takut bau tinja di penjuru rumah dapat meresap ke dalam pori-pori pakaianku. Aku tidak menyangka bau parfumnya akan begitu menyengat jadinya. Bahkan aku sendiri pun merasa tidak nyaman, bagaimana dengan orang-orang di sekitarku? Lihat saja ‘teman’ sebangkuku ini. Ia seperti memandangiku terus-terusan. Ketidaknyamanan kuadrat.

Aku benci hidupku sebagai anak supir truk tinja yang membawa pekerjaannya pulang ke rumah. Ya, rumah kami kan terletak tepat di samping perusahaan pengolahan tinja, sehingga bau tinja kadang-kadang sampai ke rumah kami. Tinja ternyata dapat dimanfaatkan menjadi biogas, sebagai pengganti gas elpiji untuk memasak. Aku tidak mau bilang pada siapapun bahwa kami sekeluarga (ya, hanya aku dan ayahku) adalah salah satu konsumennya. Fasilitas perusahaan sih, gratis.

Selain melayani jasa sedot tinja, perusahaan tersebut juga menjual beberapa bentuk jasa lainnya seperti membersihkan toilet. Mereka punya produk pembersih toilet yang bagus-bagus, dijamin toiletmu akan kinclong dalam waktu sekejap. Aku bahkan ditawari kerja sebagai pegawai divisi Pembersihan Toilet tersebut. “Waktunya fleksibel kok, Dik. Tergantung permintaan.” kata orang yang menawariku itu. Sori ya, aku masih punya harga diri.

Pantas saja aku menjuluki kota ini sebagai kota Tinja. Yang bisa diunggulkan dari kota ini mungkin hanya perusahaan pengolahan tinjanya, yang jadi rujukan bagi perusahaan semacam di kota-kota lainnya. Bahkan mungkin kota asalku. Sebuah kota besar dengan sinar matahari yang tidak malu-malu. Pusat gaul anak muda negri ini. Aku cinta kota itu. Aku benci harus di sini. Sebut saja kota asalku dengan kota M. M untuk Matahari atau untuk Milikku.

Tepat satu detik sebelum bel tanda istirahat berbunyi, cowok tampan di sebelahku meninggalkan bangkunya dan menuju ke luar kelas.

Aku ingin minta maaf padanya karena nasibnya tidak begitu baik hari ini.


Perjalanan pulang dari sekolah ke rumah melewati sebuah jalan, di mana di samping jalan tersebut ada lembah melandai ke bawah, di mana di bagian bawah tersebut rupanya merupakan tempat nongkrong anak-anak sekolahanku. Aku kenal muka beberapa di antara mereka. Mereka yang tampaknya sedang bersenang-senang. Beberapa mobil mengkilap keluaran terbaru berjejer di dekat mereka. Aku sempat mendengar isu di sekolah ini memang ada gap antara penduduk pribumi yang udik-udik dengan pendatang dari kota-kota besar yang datang untuk mengisi kursi pemerintahan di kota kecil ini. Sebut saja pejabat. Aku juga berasal dari kota besar, tapi sayangnya aku belum cukup umur untuk jadi pejabat dan punya rumahku sendiri sehingga tidak harus tinggal di rumah supir truk tinja yang sering bau tinja.

Aku mengamati terus para anak pejabat kota T ini hingga tak memperhatikan jalanan di depanku. Entah apa sebabnya, yang jelas kecelakaan ini terjadi cepat sekali. Aku tak bisa mengendalikan sepeda ontelku. Aku berteriak-teriak panik. Aku terjatuh dari sepedaku dan berguling dari atas hingga dasar lembah sementara sepedaku... Oh... Oh... Sepedaku... Ia melayang....

Ketika akhirnya berhenti juga aku berguling, aku sadar aku telah mendarat di tempat yang tidak seharusnya. Kami saling berhadap-hadapan... Aku dan dia... Cowok tampan itu... Yang tadi sebangku denganku...

Aku cepat-cepat bangkit. Tanpa sempat membersihkan pakaianku dari tanah dan rumput aku terhenyak mendapati sepeda ontelku mendarat di tempat yang tidak seharusnya juga. Ia telah meretakkan kaca depan salah satu dari jejeran mobil mahal itu.

Sepeda ontelku masihlah antik dan klasik, namun ini bukan saat yang tepat untuk membatidakannya.


Seseorang memanggil namaku. Aku sudah hapal suaranya. Toto. Ya, itu dia namanya. Cowok tampan yang kini sering sebangku denganku. Yang jadi landasan empukku ketika aku terbang akibat kecelakaan kemarin itu. Sejak itu entah kenapa sepertinya dia jadi suka mendekati aku. Bukannya aku GR. Tapi aku belum berminat untuk meladeni dia. Aku sedang super bingung bagaimana aku bisa mendapatkan uang untuk mengganti kaca depan yang retak itu. Pemiliknya memang tidak sampai mencak-mencak memarahi aku, bahkan kaca retaknya pun sudah diganti dengan yang baru. Tapi itu bukan berarti aku bebas dari tanggung jawab mengganti biaya penggantian kaca. Selain itu kap mobil itu juga tergores. Goresan yang panjang dan akibatnya kapnya juga harus diganti. Jadi berapa total biaya penggantian kaca dan kap itu???

Aku benar-benar tidak tahu harus mendapatkan uang dari mana...

Cowok itu akhirnya berhasil memegang pundakku. Masih dengan nafas tersengal ia berkata sumringah, “Ina, pulang bareng aku yuk.”

“Aku udah punya kendaraanku sendiri,” kataku dingin.

“Tidak masalah,” ujarnya sambil tersenyum.

Setengah jam kemudian mobil sport-nya (oh ya, dia salah satu dari anak-anak elit yang terjebak dalam kota udik ini) melaju dengan membawa aku di dalamnya dan sepeda ontelku diikat di atap mobil.

Rumahku tak begitu jauh sebetulnya dari sekolah. Tidak sampai seperempat jam kami telah sampai di belokan dekat rumahku. Aku buru-buru menyuruhnya berhenti.

“Aku turun di sini aja,” kataku sambil menurunkan sepeda ontelku. Dia ikut membantu.

“Kenapa tidak sampai depan rumahmu aja?” Aku tidak heran kalau dia heran.

“Ayahku galak,” sahutku pendek.

Dia mengangkat pundak. “Tapi nanti malam bisa kan?”

“Apa?”

“Ke Telaga Asih? Kita barusan ngomongin kan?”

“Oh ya?” Aku tidak bisa menyembunyikan tampang sok tahuku. “Maaf, tadi aku tidak gitu konsentrasi...”

“Tidak papa...”

Aku masih memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang pengganti kecelakaan itu.

“Jam berapa?”

“Jam 7?”

Aku tersenyum basa-basi, “Oke, jemput aku di belokan ini aja.”

Dia masuk ke dalam mobilnya setelah mengucapkan dadah. Setelah mobilnya hilang dari pandangan, aku mengayuh sepeda ontelku cepat-cepat supaya segera sampai, bukan ke rumahku, melainkan gedung di sampingnya, milik Perusahaan Sari Tinja.

Aku bilang pada resepsionisnya bahwa aku mau melamar pekerjaan di divisi Pembersihan Toilet.


Aku hampir mati kebosanan mendengar Toto memuji-mujiku terus sejak awal aku masuk ke dalam mobilnya. Iya, aku tahu aku cantik. Kamu tampan. Kita sama-sama memiliki fisik yang indah dan itulah sebabnya kenapa aku dan kamu tampak serasi. Dan anak-anak lain banyak yang ngomongin kita, betapa akan cocoknya kalau kita jadian, berjalan beriringan sambil bergandengan tangan.

Oh, Toto, taukah kamu kalau aku bukan cewek dangkal yang bisa dengan begitu mudahnya jatuh cinta pada seseorang hanya karena dia begitu tampannya? Seperti kamu misalnya? Pepatah orang tua ‘darimana-datangnya-lintah-dari-sawah-turun-ke-kali-darimana-datangnya-cinta-dari-mata-turun-ke-hati’, tidak berlaku untukku.

Dalam malam yang temaram ini, karena suasana di tepi telaga ini memang diset demikian, dengan lampion-lampion dan pendar lilin, dan dimanfaatkan untuk bisnis menjual pangan, Toto menggenggam tangaku dan berkata, “Maukah kamu jadi pacarku?”

Dia bahkan belum tahu apa pekerjaan orangtuaku.

“Aku tidak mau terburu-buru. Cinta itu tumbuh seiring dengan waktu,” ucapku diplomatis.

Sepanjang malam itu sampai waktunya aku harus pulang, kami hanya saling memandang. Memandang wajah satu sama lain. Memandang telaga. Memandang karyawan tempat makan ini. Memandang pengunjung lainnya. Memandang penampakkan. Aku harap dia bosan melihat wajahku.

Tapi sepertinya itu pun membutuhkan waktu. Setelah malam itu, dia masih saja suka mengantar-jemputku (tentu saja kusuruh dia berhenti sebelum belokan dan dia nurut saja), membawaku jalan-jalan ke beberapa tempat di kota ini yang belum banyak terjamah tangan manusia, bahkan ia mengajakku untuk ikut acara keluarganya. Ngapain coba? Mereka rupanya punya lapangan golf pribadi. Bisa saja mereka memanfaatkan lahan kosong yang masih banyak tersebar di kota ini.

Keluarganya baik-baik padaku. Orangtunya kelihatan masih muda. Kakak-kakaknya pada punya pasangan. Hanya dia saja yang belum.

Aku tidak ikutan main bersama mereka. Tidak semua orang di kota besar bisa main golf, jelasku pada mereka.

Ya ampun, dengan segala perlakuan baiknya itu padaku, lama-lama aku bisa jatuh cinta beneran sama dia!!


Ini kali kedua Toto mengajakku ‘olahraga’ bersama keluarganya. Dengan sangat menyesal aku mengatakan aku tidak bisa ikut. Ada urusan. Tentu saja aku tidak mengatakan padanya bahwa urusanku adalah bahwa aku harus memenuhi panggilan tugasku yang pertama.

Tugasku adalah mendatangi rumah di alamat ini untuk membersikan toiletnya. Ya ampun, orang kaya di kota kecil aja sok-sokan amat sih, pake malas bersiin toilet sendiri segala. Seorang rekanku mengingatkanku untuk tidak mengeluh, selama bertahun-tahun, membersihkan toilet rumah ini sudah jadi agenda perusahaan. Mereka pelanggan setia.

Bersama rekanku itu—karena aku masih baru, jadi peranku lebih kepada menjadi asistennya—kami melaju dengan mobil perusahaan (dengan tulisan besar ‘Perusahaan Sari Tinja’, alamat, dan nomor telepon tertera di samping badannya) menuju ke sebuah komplek perumahan elit satu-satunya di kota ini. Katanya hanya pejabat dan konglomerat yang bisa tinggal di situ.

Perusahaan Sari Tinja sungguh profesional. Untuk pekerjaan membersihkan toilet saja, ada outfit khusus untuk itu. Aku berharap di kotak peralatanku tersedia masker juga.

Mobil berhenti di suatu rumah yang rupanya sudah tidak asing lagi bagiku. Aku sering dibawa ke sini oleh seseorang... Rekanku mengetuk pintu depan rumah. Tidak lama kemudian seseorang membukakan pintu itu. Yeah, wajahnya pun sudah tidak asing lagi bagiku. Aku yakin aku cukup mengenali wajah seluruh penghuni rumah ini.

Bukannya mereka seharusnya sedang berolahraga? Masak hanya gara-gara aku tidak bisa mereka pun urung jadinya?

“Selamat siang, kami dari perusahaan Sari Tinja...,” ramah aku dan rekanku menyapa.


Cek warisan dari mendiang ibuku akhirnya cair juga. Aku bisa membayar biaya penggantian kaca depan dan kap mobil itu dengan penghasilanku sendiri ditambah sebagian uang warisan ibu. Sisanya kutabung. Aku bercita-cita selepas SMA akan pergi dari kota ini, kuliah di PTN favorit di kota besar dan tentu saja hidup mandiri.

Sudah beberapa bulan berlalu sejak panggilan tugas pertamaku sebagai seorang pembersih toilet. Kini aku adalah siswi SMA yang juga pembersih toilet profesional. Gajinya lumayan loh. Ada desas desus bahwa aku sedang dipromosikan untuk jabatan yang lebih tinggi. Menunggui meja operator misalnya. Aku tidak begitu mengharapkan jabatan itu. Aku ingin kembali ke kotaku yang dulu.

Aku masih suka memakai sepeda ontelku. Lebih sehat dan ramah lingkungan dari mobil sport.

Dalam perjalanan pulang dari minimarket membeli bahan-bahan untuk masak makan malam, kulihat mobil sport yang dulu biasa mengantar-jemputku ke mana-mana terparkir di depan sebuah kafe yang baru beberapa minggu ini berdiri.

Pembangunan di kota kecil ini mulai terlihat. Jalanan berbatu diaspal. Lahan-lahan kosong disiangi karena akan dibangun bangunan industri. Beberapa kafe mulai bermunculan. Mal katanya akan segera didirikan.

Melihat nomor platnya, kukenali mobil itu tak lain dan tak bukan adalah milik Toto. Toto yang seminggu setelah panggilan tugas pertamaku bilang padaku bahwa keluarganya tak bisa menerimaku lagi sebagaimana dulu. Terlebih setelah mereka tahu kalau aku hanya seorang anak supir truk tinja. Cantik-cantik ternyata cuman anak supir truk tinja, huh. Aku tidak pernah mau datang ke rumah itu lagi, membersihkan toiletnya lagi, meski rekanku bilang kalau pekerjaanku selalu memuaskan pelanggan.

Setelah sebelumnya kurasakan bahwa di sekolah, dia sendiri pun lama-lama menjauhiku. Mengucapkan beribu alasan kenapa dia tidak bisa mengantar-jemputku lagi padahal aku tidak bertanya. Lebih sakit saat pernah suatu ketika aku lewat di depannya dan teman-temannya dan mereka meledekku dengan menutup hidung mereka. Padahal aku tidak pernah menyemprotkan parfum banyak-banyak lagi. Untungnya seiring dengan berjalannya waktu, teman-temanku bertambah banyak. Mereka tidak masalah dengan statusku sebagai anak supir truk tinja toh mereka juga anak dari orang-orang tertindas seperti buruh tani, buruh cuci, dan sebagainya. Meski ada juga beberapa temanku yang dari golongan menengah dan menengah ke atas.

Kini Toto sudah punya pacar baru. Pindahan dari luar kota juga. Cantik juga. Tentu saja kali ini dia tidak mengulangi kekhilafannya dulu. Dia tahu pasti kalau pacarnya sekarang anak kapten polisi. Kini ia setia menaikkan pacarnya ke dalam mobilnya supaya pacarnya itu tidak usah diantar sekolah pakai mobil polisi.

 

301208


HABIS KATA #12 

Untuk cerpen Desember sebenarnya saya memikirkannya sudah sejak lama dan ada beberapa ide yang hendak dijadikan cerpen. Saya masih bingung memilih-milihnya dan belum sempat mencari bahan. Hingga datang lagi seorang Mbak Desi. Pada suatu Kamis petang di bulan Desember, setelah sekian lama, dia mendatangi kembali Forum Fiksi FLP Jogja. Dia menyuruh saya mendekat dan ternyata dia meminta saya untuk membuat cerpen parodi lagi, tapi parodikan satu film saja, jangan banyak-banyak. Panjangnya cukup 7-8 halaman. Boleh lebih dari dua.

Kalau sudah diminta seperti itu susah bagi saya untuk tidak tidak mengerjakannya. Yang langsung terpikirkan oleh saya adalah memparodikan film Twilight. Film itu sedang ngetren saat itu dan saya pun pernah memiliki kepenasaranan yang tinggi terhadapnya, terutama pada pemeran tokoh Edward Cullen yang diperankan oleh Robert Pattinson. Via google, saya membaca-baca artikel mengenai Robert Pattinson. Saya kira film Twilight itu sedemikian hebatnya sampai banyak orang yang membicarakannya. Tapi setelah membaca beberapa artikel, perkiraan itu terkikis sedikit demi sedikit. Leila S. Chudori membahas film ini dalam Tempo. Dia bilang, tidak heran film ini sangat digandrungi remaja putri karena, ya ampun, lihat saja ada cowok sesempurna Edward Cullen di dalamnya. Film ini memenuhi semua impian yang dimiliki remaja putri normal. Dalam buku hariannya, teman saya menulis, tidak ada alasan yang kuat bagi si tokoh utama untuk jatuh cinta pada si vampir selain karena vampir itu ganteng. Ada juga yang membagi komentarnya tentang film ini dalam suatu blog. Jadi orang itu seorang cowok yang telah menemani ceweknya nonton ‘Toilet’. Dia cuman bisa menghela nafas ketika ceweknya mendesah-desah kegirangan setiap sosok Edward ‘Culun’ muncul. Karena membaca ini, ketika diminta bikin cerpen parodi itu saya langsung kepikiran untuk memparodikan Twilight dan memplesetkan judulnya menjadi ‘Toilet’. Jadi cerpen ini harus berisi plot film Twilight dan harus dikaitkan dengan toilet. Saya pun memasukkan kata ‘toilet’ dalam mesin pencari google. Saya juga memasukkan frase ‘sedot tinja’. Saya sempat tidak berniat untuk melanjutkan cerpen ini. Saya tidak tahu bagaimana harus menyimpangkan alur film ini dan mengkaitkannya dengan toilet. Namun deadline mengejar dan Mbak Desi pun memberikan syarat cerpen ini harus selesai karena saya telah meminta dia memberi pendapat mengenai salah satu masalah dalam novel kolaborasi saya. Sebelumnya, saya telah mengetik 2 halaman tapi lalu malas melanjutkan. Karena 2 halaman awal itu saya rasa sudah cukup oke, jadi ya saya lanjutkan saja. Saya memikirkan alur cerpen ini untuk melanjutkan 2 halaman itu sambil menyapu dan nyuci piring. Ini namanya efisiensi waktu. Alhamdulillah cerpen ini dapat diselesaikan. Namun saya merasa cerpen ini dangkal dan tidak layak untuk diterbitkan (Mbak Desi meminta cerpen ini karena memang dia diminta oleh suatu penerbit untuk menyusun antologi cerita parodi). Cerpen ini bahkan tidak ada unsur komedinya. Saya berharap cerpen ini tidak diterbitkan saja. (12/31/2008)

Senin, 24 November 2008

Makan Langit-langitmu

Bagaimana ia dapat melukiskannya ya. Lukisan yang berisi apa yang dirasakannya saat ini. Ia hanya mematung dengan dagu menggantung di meja belajar. Alat tulis, kertas folio, buku praktikum, textbook-textbook kuliah... Benda-benda lain semacam itu yang terletak di sana dan sini kamar adalah seperti apa yang ada dalam dirinya.

Ia menghela nafas. Dinyalamatikannya lampu temaram. Kegelapan meliputinya selama beberapa detik lalu segera digantikan lagi oleh remang-remang selama beberapa detik. Dibiarkannya kepalanya jatuh hingga menindih kuping sehingga ia bisa melihat buku praktikum berwarna pink itu. Pink itu lembut. Tapi pink yang ini merisaukan. Ia mengganti arah sehingga yang ditatapnya adalah jam weker. Pukul sembilan kurang di mana kesunyian mulai melanda. Sekitar dua belas jam dari sekarang ia harus berlari menyusuri koridor, masuk ke dalam laboratorium, dan meletakkan buku itu pada tempatnya sehingga saat hari praktikum acara selanjutnya tiba ia bisa mendapatkan buku itu kembali ke tangannya dengan angka puluhan tertera di sudut kanan suatu halaman. Tidak bisa dipungkirinya bahwa berapa besar pastinya angka puluhan itu kerap terpikirkan juga.

Dibalikkannya kepalanya ke arah sebelumnya. Dengan jari-jari ia buka-buka halaman per halaman buku praktikum itu. Lalu ditutupnya. Kepalanya dipalingkan ke arah lain.

Bangkit lagi kepalanya. Ia ambil buku ilustrasi itu. Ia buka halaman per halaman. Buku ilustrasi itu isinya ratusan halaman tanpa garis. Sebagian besar darinya telah terukir oleh pensil; variasi garis yang membentuk rangkaian imaji.

Ia menggambar kepala orang dengan ekspresi wajah muram. Ketika sudah selesai menggambar setengah badan, ia berhenti. Ia menggambar lagi orang yang sama tapi dengan ekspresi yang berbeda. Orang itu digambarnya memegang korek. Beberapa jauh dekat kaki orang itu (ia tersenyum ketika bisa menggambar kaki dengan garis yang sempurna sehingga sepasang kaki itu bisa tampak proporsional) digambarnya sebuah buku yang sedang terbakar api unggun. Ia meraih buku praktikum pink itu. Dicermati sebentar cover-nya. Diletakkannya kembali sementara ia mulai menyalin apa yang barusan dicermatinya pada buku yang sedang terbakar api unggun itu. Sekali-kali diraihnya kembali buku praktikum pink itu untuk memastikan bahwa apa yang telah digambarnya telah mirip. Orang pada gambar ia berikan ekspresi sadis. Kedua alis terangkat ke atas. Mulut menyeringai lebar. Ia gambar balon suara besar-besar di atas kepala orang itu dengan bingkai garis naik turun. Tulisannya: “MMUUHAHAHHAHAHHAA...!”

Tanpa sadar ia mengikuti ekspresi orang yang digambarnya itu. Lalu ingatannya melayang dan melayang...

 

Ibu sudah lewat beberapa kali kamarnya.

“Kamu sudah makan belum?”

Setiap kali ibu mengintip ke dalam kamar melalui pintu yang terbuka sedikit, ia cepat-cepat menutup buku ilustrasinya.

“Istrirahat dulu gambarnya. Makan dulu.”      

Melihat ibu pergi lagi, pelan-pelan ia membuka lagi buku ilustrasinya.

“Kalau di dalam kamar gelap, di luar saja gambar-gambarnya. Di luar terang gini kena matahari kok malah gelap-gelapan. Nanti matanya rusak!”

Sehabis ibu pergi, ia benar keluar kamar tanpa membawa buku ilustrasinya. Tak pernah ia akan melakukan itu. Buku ilustrasinya... buku-buku ilustrasinya yang gembung karena lembaran-lembarannya penuh terisi dan semua itu ada di atas lemarinya.

Orang bijak bilang, gantungkan cita-citamu setinggi langit-langit, karena jika kamu menggantungnya di langit, kamu tidak akan pernah bisa mencapainya. Kecuali kalau kamu punya kesempatan untuk menaiki roket. Jadi buku-buku ilustrasinya itu ia taruh di atas lemari. Akan tiba saatnya tumpukan itu meninggi sampai menyentuh langit-langit. Tapi mungkin juga tidak. Bagaimana kalau itu ternyata bukan cita-citanya?

Sambil mengunyah, ia pandangi lemari di seberangnya. Pada lemari itu terdapat selembar piagam penghargaan dalam bingkai berdebu; didapatkan karena partisipasinya dalam lomba melukis antar SD dalam lingkup nasional. Ia ingat bahwa ia sudah merasa puas dengan juara harapan III. Bukan itu cita-citaku. Aku ingin yang tertumpuk di atas lemariku hingga berhimpit dengan langit-langit, bersanding dengan buku-buku ilustrasiku yang tinggal membutuhkan beberapa buku lagi untuk mencapai langiit-langit, adalah diktat-diktat kuliahku di Kedokteran. Lemariku pun bukanlah lemari dari kayu ringan murahan yang selalu menghasilkan banyak serbuk di lantai yang membuat kamarku kotor, tapi lemari dari kayu jati! Kalau bukan cendana atau eboni... Matanya kini sedang menekuri halaman koran yang menampilkan iklan mebel dari kayu.  

 

Tampangnya sekusut rambutnya.

“Kamu tuh mau masuk Kedokteran ngapain?”

Jika ia hendak menggambarkan adegan ini dalam buku ilustrasinya nanti, tentu ia akan menambahkan banyak warna merah untuk api yang menjalar di sekeliling tubuh manusia kurus gondrong berkumis lebat ini. Mungkin ia bisa menggambarkan sesajen berupa bunga-bungaan dan kepala kerbau untuk menambah kesan lain.

“Ya jadi dokterlah!”

“Untuk apalah kamu jadi dokter itu? Kamu takkan tahan. Ayah tau dalam darahmu itu mengalir jiwa yang sama dengan Ayah!”

Ia memalingkan muka; pasang tampang malas.

“Ayah, kalau aku selama 12 tahun ini belajar keras hanya untuk menjadi seperti Ayah, apa gunanya? Aku nggak mau kayak Ayah, hidup pas-pasan cuma mengandalkan lukisan-lukisan yang belum tentu laku!”

“Apa?!” Mata Ayah melotot. Cuping hidungnya mengembang. Warna merah sudah tak tepat lagi untuk menggambarkan adegan yang akan dicatat dalam buku ilustrasinya ini nanti, melainkan warna ungu!

“Mana formulir SPMB-mu itu?! Masuk jurusan Seni sajalah kamu! Kamu kira kamu bisa mengingkari takdir keluarga kita?!”

Pada halaman selanjutnya ia akan menggambar imajinasi akan ayah dari ayahnya, ayah dari kakeknya, ayah dari ayah dari kakeknya, ayah dari ayah dari ayah kakeknya, dan seterusnya, dan seterusnya, sampai halaman itu penuh... dan semuanya akan menjadi orang dengan tipe yang sama; dandanan nyentrik seniman gila! Ia tidak mungkin menggambarkan dirinya dengan penampilan tak terurus sebagaimana mereka-mereka yang telah menduluinya. Ia akan memakai kalung stetoskop di lehernya dengan uang terus mengalir ke dalam jas putihnya.

“Aku nggak mau kayak Ayah! Aku mau masa depanku lebih terjamin!” Ia melirik ibunya yang mengawasi pertikaian ini dengan wajah prihatin dari sisi ruangan yang gelap. Hampir semua temanku memilih Kedokteran. Mereka mengharapkan masa depan yang cemerlang. Dengan menjadi dokter kehidupan yang mapan adalah lebih pasti ketimbang memilih jalan hdup menjadi seorang seniman!

“Memangnya kenapa kalau kamu ikut jejak Ayah? Bukankah kamu tau kamu mampu?”

“Yah, masyarakat nggak membutuhkan lebih banyak seniman yang hidup jauh dari kota, nggak mengurusi masyarakat secara langsung! Mereka butuh lebih banyak dokter. Ayah baca koran nggak sih? Bencana di mana-mana! Kesehatan penduduk siapa yang mau menjaganya? Dengan menjadi dokter, kita bisa menjaga kelangsungan hidup manusia...”

Ia sadar sebenarnya pengetahuannya akan hal ini minim. Jadi ia meninggalkan arena perdebatan di mana lawan sudah akan melontarkan serangan lagi; masuk ke dalam kamarnya yang hanya mampu disinari lampu temaram. Ia membuka-buka buku ilustrasinya yang sedari tadi tergeletak di meja; merekam segala yang terjadi tanpa mampu menyajikan bukti dan komentar. Kecuali oleh tangan kanan yang lihai mengisinya beberapa kali dalam sehari. Ketika halaman demi halaman buku itu terbuka, sebagian besarnya adalah api merah yang menusuk mata dengan tanggal pembuatan yang berbeda-beda. Beberapa jauh dalam dada pembuat gambar-gambar itu seakan tertusuk benda tumpul saat melihat gambar-gambar itu.

 

Ayah menepuk-nepuk kepalanya.

“Baik-baiklah kamu di kota ini,” katanya.

“Kembali kalau sudah jadi dokter ya.” Ibu tidak bisa menyembunyikan kesedihan bercampur haru.

Ia hanya mengangguk-angguk, mengiyakan segala macam nasihat ini itu dari kedua orangtuanya. Dipandanginya adik-adiknya yang menatapnya dengan polos. Ayah dan ibu kini tak usah merisaukannya lagi. Risaukan saja mereka yang masih kecil-kecil itu. Mereka pun masuk ke dalam mobil mungil reyot itu, yang akan kembali melakukan perjalanan lintas pulau. Betapa jauh dari mata kampung halaman. Namun inilah kampus Kedoteran terbaik di negri ini, yang telah begitu bermurah hari mengizinkan keberuntungannya mengetuk pintu. Dipasangnya muka tegar. Dikumpulkannya kembali segenap idealisme dan harapannya untuk membunuh romansa yang mulai bergolak.

Setelah melambaikan tangan sampai mobil mungil reyot itu tak terlihat lagi, ia masuk dan membuka buku ilustrasinya yang baru. Digambarnya dirinya sedang melonjak-lonjak. Kedua tangan diangkat ke atas. Mata berbinar. Tawa yang lebar. Ekspresi kesenangan. Jauh dari rumah! Kebebasan! Menjadi mahasiswa Kedokteran! Kemapanan! Digambarnya kalung stetoskop pada bagian leher. Beberapa jauh di depan orang gambarannya, selembar uang raksasa bersiap memeluk orang tersebut jika telah sampai padanya dan menghambur. Di belakang uang raksasa itu ia gambar lembar-lembar uang lainnya terpisah-pisah dengan ekspresi minta dipeluk juga.


Ia telah kembali ke masa kini. Telah digambarnya sebuah rumah. Terbuat dari bambu. Atapnya dari ijuk. Ada macam-macam ornamen menghiasi baik di dinding rumah maupun di halaman, membuat rumah itu terlihat unik dan ramai. Pada aslinya, rumah itu memang ada. Ayah, dengan segala daya kreativitasnya, yang membuatnya. Di bagian paling depan, ia gambar keluarganya saling bergandeng tangan. Ayahnya bergandeng dengan ibunya bergandeng dengan adiknya dengan adiknya dengan... Dirinya tidak di situ. Karena dirinya berada di kota ini.

Digambarnya tali berduri tengah menjerat tubuh seseorang...

Bagian muka orang itu dibekap buku tebal. Di kakinya dijerat buku tebal. Di lehernya terikat kalung anjing. Tali kalung itu dipegang oleh buku tebal. Dan ia dengan enggan sekali-kali melirik textbook-textbook kuliahnya yang bertebaran di kasur. Semua buku tebal pada gambar memiliki cover yang serupa dengan textbook-textbook itu.

Selesai dengan itu, ia menyenderkan badan sejenak pada punggung kursi sambil menutup mata. Tak lama kemudian ia buka halaman-halaman yang telah terisi sebelumnya pada buku ilustrasi tersebut. Gambar-gambar dengan tema serupa dengan apa yang ia gambar malam ini yang mendominasi. Ia berhenti pada suatu gambar tertanggal dua hari yang lalu. Gambar itu menunjukkan dirinya yang sedang menggambar. Di belakangnya ada lemari kayu reyot dengan buku ilustrasi-buku ilustrasi yang telah menghimpit langit-langit. Gundukan serbuk kayu teronggok di salah satu kaki lemari tersebut. Di samping lemari tersebut ada pigura berisi gambarnya sedang bersalaman dengan Benny dan Mice di sampingnya. Pada dua orang yang bersalaman itu, tangan yang satunya lagi memegang sebuah piagam. Bagian bawah piagam itu diisi titik-titik teratur yang maksudnya adalah tulisan yang saking kecilnya sampai tak terbaca. Namun di atas titik-titik itu terdapat rangkaian huruf yang masih dapat terbaca: “Juara Harapan III”

Tangannya bergerak lagi pada sisa halaman yang masih kosong cukup banyak. Jas dokter dan stetoskop itu terbang. Sesosoknya dari tampak belakang berlari ke arah sesosok ayahnya. Sesosoknya memegang kuas. Ayahnya memegang kanvas.

Dicoretnya gambar itu dengan sekali tarikan garis yang membelah kepala ayah. Diraihnya buku praktikum pink untuk ia sandingkan di sebelah buku ilustrasinya yang terbuka. Ia diam, mungkin berpikir mungkin tidak, sampai matanya menutup perlahan. Kepalanya lunglai dan terjatuh di antara dua buku.

 

                                                bermula dari...

istilahna mah,

krisis cita-cita euy..

23-241108.22:12


HABIS KATA #11

Ya, cerpen ini berasal dari krisis cita-cita yang saya alami. Saya memilih sendiri jurusan saya di kampus. Saya tidak berminta masuk ke jurusan tenar meski orangtua mana yang tidak menginginkan anaknya masuk ke jrurusan tenar? Setelah setahun lebih saya kuliah, saya mengalami suatu kebingungan yang amat merisaukan yaitu, selulusnya saya kuliah, saya mau kerja jadi apa? Dimana? Dan sebagainya. Saya memikirkan lagi, jika dulu saya mengikuti keinginan orangtua saya masuk jurusan tenar, apakah yang akan saya rasakan?

Berangkat dari situ, cerpen ini juga bermaksud menceritakan tentang krisis cita-cita dalam kasus yang lain. Yaitu dimana orangtua si tokoh utama sudah tahu potensi anaknya, akan tetapi anaknya itu tidak menganggap itu penting. Dia merupakan korban dari paradigma masuklah-jurusan-tenar-setelah-lulus-SMA. Di kemudian hari, setelah mengalami apa yang dia penasarani dan harapkan dulu ternyata tidaklah selalu enak, dia memikirkan kembali keputusannya dulu itu sembari menyadari akan potensinya yang sebenarnya. Namun tidak banyak yang bisa dia lakukan karena sudah terlanjur basah.

Urusan potensi dan cita-cita itu tidaklah boleh sembarangan karena itu menyangkut pada ketentraman batin. Kita tidak bisa menikmati hidup kalau batin kita tersiksa, ya kan?

Sama seperti cerpen September, cerpen ini pun terjadi begitu saja. Saya mengalami kegelisahan dalam suatu hal selama berhari-hari, dan pada suatu malam di antara hari-hari itu saya luapkan. Mestilah memang sebelumnya harus ada bayangan akan bagaimana jadinya alur cerita.

Pada cerpen ini saya sadari saya banyak menggambarkan apa yang dilakukan tokoh utama, yang memang kerjaannya sukanya menggambar, dan gambarannya itu mewakili apa yang sedang dia rasakan. Saya kira cukuplah itu yang berbicara. Penjelasan-penjelasan selain itu diberikan kalau diperlukan. Cerpen ini selesai dalam sekali duduk. Setelah itu ya masih dbaca ulang dan diperbaiki dikit-dikit tapi tidak sesering cerpen-cerpen kemarin.

Oh ya, lagi-lagi saya memasukkan tokoh utama yang tidak jelas jenis kelaminnya apa. Pada cerpen-cerpen sebelumnya juga begitu. Saya malas sih menentukan si tokoh ini cewek atau cowok. Menurut saya, dalam konteks cerpen-cerpen saya ini, hal itu baru penting kalau memang dibutuhkan. Tergantung konteks cerita yang saya mau bikin tentang apaan, apakah itu membutuhkan pembedaan jenis kelamin yang jelas atau tidak. Kalau bikin novel sih mungkin sudah jelas ya. (12/31/2008)

Senin, 06 Oktober 2008

Hari Pengumuman SNMPTN 2008

Agustus 2008


Hari yang mestinya penuh kejayaan ini terasa sendu bagi Elmo bukan hanya karena cuaca mendung, tetapi juga karena tidak ada orang untuk diajak berbagi. Elmo menandatangani semacam absensi sebelum meninggalkan loket pengambilan formulir daftar ulang di gedung rektorat perguruan tinggi impiannya. Gerakannya sarat pikiran. Toh ia tidak mesti cepat-cepat. Semua loket nyaris kosong. Peserta SNMPTN yang lulus kebanyakan menunggu setidaknya hingga esok hari untuk mulai mengurusi tetek bengek macam ini. Hari ini adalah untuk merayakan.

Tetapi apa yang mesti Elmo kerjakan selama sisa hari ini? Ia hanya berbagi kejayaan dengan orang tuanya. Lalu ia mengirim sms pada lima orang saja. Mas Fahri, Mas Luki, Yadi, Yayat, Trista. Ia ragu-ragu ketika terpikir untuk mengirim sms pada satu orang lagi, lalu menunda pengambilan keputusan untuk mengsms orang itu atau tidak. Orang itu. Ngertilah, si Aze. Dia lulus nggak ya?

Oh ya, Elmo tahu Aze ikut SNMPTN. Di malam sebelum SNMPTN ia mendapat sms minta didoakan dari Aze. Sebelumnya ia juga mengirim sms seperti itu padanya.

Itu saja. Elmo tidak bertukar kabar lain. Ia bahkan tidak tahu Aze mendaftar ke mana. Bingung juga, itu urusannya atau bukan sih?

Aze dengan kartu peserta SNMPTN-nya.

Elmo berkedip-kedip, membetulkan letak kacamatnya, sambil menatap sosok yang sudah tidak ditemuinya selama tiga bulan itu. Aze yang tadinya sedang mencari loket tujuannya menangkap sosok Elmo dan tertegun.

Not quite a year since she went away, Rosanna, yeah/Now she’s gone, and I have to say/Meet you all the way..[1]

Mereka berdua sama-sama senyum salting. Idih, Elmo merasa makin rikuh.

”Eh, Aze. Keterima di sini juga?”

“Iya. Ng, kamu juga?”

Elmo mengangguk.

“Wah, selamat ya, Elmo,”

Elmo merasa sulit untuk menjawab,

“Iya,

“.. makasih.

“...Kamu juga,”

Elmo teringat janji yang mereka buat pada suatu senja di atap BSM, beberapa menit setelah mereka jadian. Kapan sih itu? November tahun lalu? Rasanya sudah lama sekali. Siapa sangka ternyata janji yang itu malah mereka tepati?

Padahal kampus mereka sempit. Bagaimana sikap mereka kalau bertemu lagi? Yah, kira-kira seperti inilah.

Hening.

“Mau ngambil formulir,” kata Aze akhirnya sambil menunjuk loket.

“Oh, iya. Duluan, Aze!”seru Elmo. Mereka saling melambaikan tangan.

Elmo melangkah keluar dari atap yang menaungi teras loket sambil menaikkan tudung jaketnya. Map plastik berisi formulir ia selipkan ke dalam jaket untuk menghindari tetesan gerimis. Ia melangkah cepat-cepat ke mobilnya tanpa menengok lagi ke belakang.



[1] Toto - Rosanna

Kamis, 02 Oktober 2008

Balada Curhat Lebaran

Lebaran hari kedua. Males. Pagi-pagi banget gua keluar dari rumah. Masih gelap. Ambil harmonika siapa entah yang tergeletak di sofa. Trus gua jalan kaki ke arah kota. Tujuan gua: Taman Balai Kota. Di sana pasti gak bakalan ada seorang pun saudara gua yang nongol. Bukan berarti gua bakalan nemu mereka di luar taman entu, tapi di situ kan tempatnya adem juga. Teduh aja. Kalau ntar tiba-tiba hari panas. Makanya tu tempat emang paling enak buat dipake maksiat. Tapi gua ke sana bukan untuk entu. Gak ada temen yang bisa diajakin gituan juga sih, haha. Ni gua bawa harmonika buat nemenin gua sebetulnya tapi mana bisa diajak macem-macem.

Gua sebetulnya nggak bisa maen harmonika. Sebenenya ada sih gitar di rumah, yang gua agak-agak bisa maeninnya. Tapi berat ah. Gua inget aja gitu film-film yang ada orang maen harmonikanya. Bermain sambil membelah ilalang. Wuih. Asa keren aja gitu. Penampilan gua ini udah mendukung. Masalahnya cuman gua gak bisa maeninnya dan gua gatau ada padang ilalang pa nggak di kota ini. Jadi gua maenin tu harmonika asal-asalan aja sambil membelah jalanan kota yang sepi. Cuman satu dua mobil yang lewat. Yah, maklumlah. Masih pada mudik kali. Masih pagi juga. Orang-orang mungkin masih pada ngulet di kasur atau yang ibu-ibu pada ngumpul di dapur. Bikin apa gitu bareng-bareng da udah lama gak ketemu tea. Biasalah, orang gi silaturahmi ala lebaran.

Tau-tau gua udah nyampe aja di Jalan Merdeka. Tuh udah keliatan jembatan penyebrangan. Di sebelah kirinya ada SD negeri elit tea. Di depan sana gereja. Taman Balai Kota di sebelah kanan. Wah, nyampe. Sepi. Asik gila. Gua menelusuri keadaan taman itu dengan kedua bola mata indah gua. Nyari spot mana yang paling enak buat gua ngendon di sana ampe gua bosen. Gua sengaja ga bawa hape biar gua gatau kalau gua direcokin ma orang rumah gitu. Masih berani pulang gua pokoknya entar. Gua paling bilang aja kalau gua lagi suntuk abis itu gua mau langsung ngunci pintu kamar.

Nah, di situ ada gundukan. Gua mau ke sana aja. Gua berjalan ke sana sambil tetap memainkan nada-nada sumbang dari harmonika. Ni harmonika keknya punya si Om Jon sih, yang datengnya kemarin lusa ama keluarganya. Biar ja ni harmonika basah kena acai gua, orangnya tajir pan, bisa beli beberapa lagi harmonika serupa gini. Yang ini buat gua aja. Gua jadi suka mainin ini meski gatau nada. Mungkin kalau Gramedia entar udah buka, pulang dari sini gua sekalian mau jalan ke sana, cari buku petunjuk belajar harmonika.

Sampai di gundukan itu gua langsung tiduran aja dan mengingat-ingat lagu apa yang ada harmonikanya dan gimana melodinya. Gua ingat lagu-lagunya The Panas Dalam. Gua coba-coba tiru meski tau hasilnya pasti bakal jauh melenceng. Gua memejamkan mata. Terbayang di atas gua tajuk pohon yang hijau rindang, mencoba menghalangi langit putih yang agak kelam. Kicau burung berusaha menyaingi bunyi kendaraan yang melintas. Edun, damai pisan idup gua kalau bisa gini terus. Gak deng. Lama-lama gua bisa sampai titik kejenuhan juga. Tapi sekarang belum.

Sayup-sayup gua kek ngedenger ada suara gitar digenjreng gitu. Gak jelas mainin lagu apa. Kek orang baru belajar gitar aja. Buset, siapa nih yang coba-coba nyaingin gua main musik gak pararuguh? Kenapa dia gak di rumahnya aja kumpul sama sanak keluarganya? Apa dia gak ngerayain lebaran?

Gua bangkit dan mencari sumber suara. Gua turun dari gundukan, berjalan berputar-putar, tengok kanan tengok kiri. Di balik pohon besar itu, ada sosok bersandar lagi ngegenjreng-genjreng gitar. Keknya dia anak seumuran gua. Gua meniup harmonika dan membuat dia menoleh. Sebentar doang, abis itu dia trusin main lagi. Anjir, tiis pisan. Gua amatin dia yang gi membolak balik majalah gitar cebanan. Dia buka tepat di halaman tengah di mana ada petunjuk chord. Trus dia nempatin jari-jarinya di tab dan genjreng beberapa kali. Trus dia ganti susunan jarinya dan genjreng-genjreng lagi. Trus kek gitu. Dia keknya baru belajar kunci-kunci gitu. Ngapalin sekalian kali.

Cuek aja gua duduk di sebelahnya trus gua maenin harmonika. Jadilah sebuah paduan suara yang amat tidak harmonis. Dia berhenti maen gitar dan menatap gua dengan pandangan sebal. Dia mau ngomong keknya tapi yang keluar malah kek lengkingan gitu. Geli aja gua. Keknya tu anak gi sakit tenggorokan deh makanya nggak bisa ngomong. Pokoknya dia nyuruh gua supaya nggak ganggu dia. Gara-gara gua ikut maen hamonika dia jadi gak bisa dengerin suara gitarnya.

“Ayolah, man, gua cuman pingin maen ma lu,” ujar gua membela diri. Sehabis menatap gua bicara dia segera ngegunain kesempatan gua gak bersuara itu buat maenin gitarnya lagi. Asem. Gua makin ganas aja deh maenin tu harmonika, haha, biar nyaho.

Tu anak batuk-batuk keras. Taunya dia bisa ngomong. Suaranya aneh banget, besar, serak, dan seperti agak tercekik. Kek suara cowok baru puber aja. Ya ampun, ternyata dia cuman mo bilang, “Mending kalau maennya bagus.”

“Iya nih, gua emang nggak bisa maeninnya,” kata gua santai. “Ama kek lu kan?”

Dia terkekeh. Lalu tersedak. Ma dahaknya sendiri keknya.

Gua ngerebut gitar dari tangannya dan dia menyerahkan dengan sukarela. “Gini nih, maen gitar ntuh... Masak cowok nggak bisa main gitar sih?

“Jreng...”

Gua maenin Kolam Susu-nya Koes Plus. Gua nyanyi keras-keras. Mo ni taman gi banyak orang juga sebetulnya gua mah nggak peduli. Anak itu ngelongo aja liatin gua. Eh, gak taunya dia ngambil harmonika gua. Trus dia usap-usapin bagian buat nempel mulut ke jaketnya, sialan. Jijian amat ma acai gua. Jaketnya gede bener kek ngelahap tubuhnya. Mo mainin tu benda apa dia? Dia menarik nafas dan dengan sok hikmat—sambil menutup mata—dia mulai meniup... memainkan nada-nada yang utuh, bukannya nada-nada sember kek gua tadi. Gantian gua yang ngelongo. Tapi ngapain juga gua malu ya? Dia juga kan nggak bisa maen gitar. Masak cowok nggak bisa maen gitar, ih? Tapi salut juga gua, jarang-jarang aja gua liat ada orang bisa maen harmonika. Dengan demikian kami impas. Trus kami mainin tu Kolam Susu bareng-bareng. Gua jadi pemain utama. Dia mengiringi sekali-kali.

Abis udahan maen Kolam Susu gua tarik majalah gitarnya dan ngebuka-buka kalau-kalau ada lagu laen yang enak buat dimaenin di pagi yang sendu ini. Kacang. Lagu-lagunya kacang semua. Kangen Band. Ungu. Nidji. Mulan Jameela. Peterpan. Aduh, mendinglah kalau ada Koes Plus nongol satu. Gua ga bisa ngarep tiba-tiba muncul chord-nya The White Stripes, The Last Shadow Puppets, atau Kaiser Chiefs di sini. Tapi ini juga namanya kan seru-seruan. Kadang lagu yang gak umum malah nggak asik kalau dimaenin bareng-bareng.

“Lu suka lagu-lagu ini?” tanya gua sambil nunjuk satu per satu halaman yang ada lagu-lagu band kacangnya entu. Dia ngegeleng. Dia nrusin maen harmonika. Asik sendiri aja dia. Ya udah, gua juga deh. Gua mainin semua lagu yang chord-nya gua hapal. Ampe nggak terasa kalau sinar terik matahari mulai coba-coba menusuki kami seiring dengan bingungnya gua mo main lagu apa lagi. Sementara si anak yang ternyata bisa maen harmonika entu... dia udah ketiduran dari tadi. Ngebelakangin gua sambil ngegenggam harmonika. Emang kalo dengerin harmonika tuh bawaannya jadi males. Tapi itu mungkin karena dia lagi agak sakit juga, sakit tenggorokan. Gua mau pergi cari makan tapi nggak enak bangunin dia buat ngambil lagi tu harmonika.

Argh.

Ya udah ah, terpaksa gua mainin lagu gua sendiri. Konsepnya sih kek E-bow The Letter-nya R.E.M. Judulnya, belum gua bikin. Soalnya tu lagu baru gua bikin saat itu juga. Gua mulai dari kunci B. Kenapa kunci B? Karena kunci B adalah kunci gantung pertama yang gua pelajari.

“Oh, anjing.

Anjing, hidup gua sepi, anjing.

Bukannya gua nggak butuh orang, anjing.

Gua cuma butuh kalau gua butuh.

Gua males ketemu orang, anjing.

Gua males ketemu sodara-sodara gua.

Kalau lebaran datang gua maunya mereka gak datang.

Atau gua aja yang ngilang, anjing.

Gua benci orang.

Gua nggak suka siapa siapa.

Gua nggak peduli. Orang-orang cuman nuntut gua untuk berperilaku.

Males gua, anjing. Gua nggak tau cara berperilaku. Trus mereka jadi nggak suka gua. Trus kenapa? Anjing. Mereka semua anjing.

Temen-temen sekelas gua, mereka cuman segelintir aja yang gua kenal.

Lainya tai. Males gua. “

Tiba-tiba terdengar suara harmonika masuk. Udah bangun dia rupanya. Selama beberapa detik suara harmonika dan gitar berpadu.

“Semua saudaraku ada di Bandung. Aku ketemu mereka setiap hari. Jadi gi lebaran apa nggak, nggak ngaruh. Tapi lebaran enakya ada solat Id dan makanan enak dan enaaak...” Dia ikut menyumbang dengan suara rendahnya. Meski suaranya nggak bagus tapi lumayan harmonislah kalau disatuin ma suara gua. Trus dia ‘dapet’ juga nada yang tadi gua keluarin. Cuman liriknya aja emang ultra nggak nyambung.

“Oohh... gua anak anti sosial!’ jerit gua. Reff ceritanya. “Kata psikolog gua abnormal!”

“YEAH!” Dia menimpali dengan keras juga. Wuits, bisa nge-rock juga dia. Tapi abis itu dia batuk-batuk. Sial, harmonika om gua jadi vektor virus penyebab sakit tenggorokan entar.

“TAPI GUA GAK PINGIN JADI PSIKOPAT!”

“Oo... psikopat... oo...” Dia menimpali lagi. Kali ini dengan suara yang dia buat supaya gak bikin dia batuk lagi.

“Gua cuman ingin sendiri. Ngelakuin apa yang gua suka, sendiri... Uuu...” lanjut gua lirih. Dia memainkan harmonika hikmat. Gua memberi dia kesempatan untuk bermain jadi tokoh utama dan gitar ini jadi pengiringnya. Setelah dia berhenti, gua mulai lagi  berkata-kata.

“Gua selalu pingin lari, anjing, kalau banyak orang.

Apalagi pas lebaran gini, banyak sodara di rumah gua.

Gua malas ketemu mereka, anjing. Harus jaga tata krama.”

Dia menimpali dengan menirukan suara anjing bersahut-sahutan. Keknya dia nggak dengerin lirik lagu gua dengan baik. Keknya dia cuman denger ada ‘anjing’ dalam lirik gua dan dia kira gua lagi nyanyiin balada fabel. Terserahlah. Yang penting maen harmonikanya dia oke, gua suka.

“Peduli amat apa mereka mo kata. Terima gua ja apa adanya.

Gak ada yang gua percaya. Gua gak punya temen curhat. Mo di rumah. Mo di sekolah.”

“Yeye...,” timpalnya lagi.       

“Anjing. Anjing. Anjing. Gua emang gak bisa berhubungan sosial, trus kenapa? Anjing. “

Gua kacau udah maen gitarnya. Nada acak-acakkan. Nada harmonikanya menyesuaikan.

“Argh...” Gua brenti. Terdenger satu nada harmonika ditiup sumbang agak lama lalu berhenti juga.

Gua menerawang pada langit yang mengelabu sambil menggaruk-garuk bagian dalam lubang idung gua. Gua memandang anak itu sekilas.

Pandangan matanya bertanya ama gua, “Kenapa?”

“Gak ada ide,” kata gua seraya ngangkat bahu. Gua mendadak ngerasain kekosongan dan gua gak ingin ngegali-gali lagi karena itu cuman memperperih luka, tsaah... Gian tu balada juga gak penting-penting amat. Tapi seenggaknya lega juga sih udah ngeluarin semacam curhat gitu ke orang yang gak dikenal kek gini. Lain kali mungkin gua bisa nyoba lagi. Pas gua gi gondok, gua ke luar rumah aja trus nyari-nyari orang yang mau dengerin curhat gua trus udah selesai gitu langsung gua tinggalin aja. Beres. Kalaupun tu orang mo nyebarin aib gua, dia kan gak kenal gua. Hahahaha.. Kebayang aja gua ada orang cerita ke temennya, “Eh, tau gak, ada orang ansos banget ih, amit-amit.” Trus temennya itu nanya dengan semangat da sama-sama bigos tea, “Siapa? Siapa?” Trus dengan wajah bego si orang pertama bilang, “Ga tau... Gua juga gak kenal da orangnya… Tau-tau aja negdeketin terus ngajakin curhat…” Wakakkaak... Gak mutu...

“Ngamen yuk.” Tiba-tiba tu ide terlintas aja. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi lagi-lagi suaranya tercekat.

“Apa?” tanya gua.

“Terserah!” kata dia susah payah.

Gua pegang gitarnya. Dia masukin majalah gitar cebanan itu ke dalam tas gitarnya. Dia resleting rapat. Abis itu tasnya dia pake. Dia genggam harmonika si Om.

Kami ke luar dari Taman Balai Kota, ke Jalan Merdeka. Sambil nyusurin jalan, kami maenin lagu kami masing-masing. Gua kira kami gak perlu ngomongin mau maenin lagu apa entar. Toh dia keknya bisa ngiringin lagu apa aja kok. Nyantai ajalah. Pokoknya tiap lampu merah dan banyak kendaraan brenti, kami nongkrong bentar di situ. Gua yang nyanyi soalnya tu anak suaranya gak jelas. Suka kadang-kadang soak. Kalau dahaknya lagi gak bandel aja dia bantuin jadi backing vocal. Dia banyakan niup harmonika. Gua sih seringnya nyanyiin lagu Koes Plus. Kadang-kadang The Panas Dalam juga. Kepikiran nyanyiin lagunya Rolling Stone, tapi dipikir-pikir gua cuman tau Angie doang, itu juga gua cuman hapal bagian depannya, yang “Angie... Angie...” abis itu gua gatau lagi gimana. Tu aja gua gak yakin Angie lagunya Rolling Stone pa bukan. Gak penting.

Dari Jalan Merdeka kami trus naek ke atas, ke Dago. Tapi cuman di area yang ramai aja. Hari kan udah mulai siang jadi lalu lintas udah cukup padet gitu deh. Ya iyalah. Kok bisa-bisanya orang-orang di waktunya silaturahmi gini masih nyempetin belanja. Silaturahmi ama food and fashion. Trus dari Dago kita jalan trus dan trus... Ampe tau-tau kita malah ke Asia Afrika, trus sempet mampir di Masjid Agung segala. Udah masuk waktu zuhur sih tapi kami sama-sama males solat. Tau-tau udah di  Jalan Naripan aja... Lalu langit yang sedari gelap itu mulai numpahin rintik hujan. Deras banget... Dia langsung make kapuchon-nya yang lebar banget itu buat nutupin kepalanya. Gitar yang ada di tangan gua langsung dia ambil dan dia masukin ke dalam tas. Dia tukar dengan harmonika si Om.

“Nih. Makasih ya.”

“Yoi, sama-sama.”

Dia berbalik, berlari-lari kecil menyebrangi jalan untuk kemudian menaiki angkot ijo muda.

Sementara gua pulang sambil ujan-ujanan. Gua nggak takut bakal sakit. Dulu gua sering banget ujan-ujanan kek gini. Orangtua gua ya udah cuek aja gua kek gini. Gua suka berandai-andai hujan ini bisa ngeluruhin segala perasaan gondok gua meski itu sebetulnya nggak ngaruh banget. Gak ngefek. Percaya aja kata para melankolis itu. Sambil jalan gua mainin juga tu harmonika. Asal-asalanlah. Sambil sesekali menyesap air hujan yang masuk ke dalam lobang-lobangnya.

 


Anjing. Masuk sekolah lagi, anjing. Gua gak suka, anjing. Males. Males. Males ketemu orang-orang. Males ngadepin pelajaran. Guru-guru tanpa perikesiswaaan. Argh.

Pagi pertama sih ini. Lom ada kejadian apa-apa. Gua belum nyampe skul aja pikiran buruk gua udah nyampe sana. Baru nyampe gerbangnya aja, kaki gua udah meronta-ronta pingin balik lagi. Baru nyampe pintu kelas aja, gua udah ngerasa jiwa gua menyusut ampe gak kerasa lagi, apakah gua punya jiwa? Bete. Bisa-bisanya mereka, orang-orang itu, terlihat bahagia ketemu satu sama lain.

“Eh, mohon maaf lahir batin ya,”

“Yo, sama-sama,” bales gua tanpa ngeliat siapa orang yang ngomong gitu. Trus aja taun depan lu ngomong gitu lagi. Kita selalu berbuat kesalahan kok. Minta maafnya kok cuman setaun sekali? Anjing. Gua pingin banget kembali ke Taman Balai Kota dan ketemu si pemain harmonika yang bawa gitar itu lagi. Trus ngamen lagi. Dapet duit lagi. Kalau duitnya udah cukup mau gua pake buat minggat dari rumah menuju kehidupan soliter. Yah mungkin kira-kira 50 tahun lagi.

“Waa... Dani... Dani... Kamu potong rambut ya? Ih, jadi pangling deh!”

“Potong rambut di mana? Kirain cowok tadi...”

Ya ampun, cewek-cewek itu, temennya potong rambut aja heboh banget.

“Ga.”

Anjrit. Nganga mulut gua.

Gua melihatnya. Pake rok SMA. Tersenyum datar pada gua. Ngelewatin gua gitu aja.

“Selamat datang kembali di kubangan tai anjing, Raka Pamungkas.” Dia menyeringai. Udah sembuh dari sakit tenggorokan dia ternyata.

Anjrit. Anjrit. Anjrit. Seribu kali anjrit. Sebegitu ansosnyakah gua ampe gak ngenalin temen sekelas gua sendiri mentang-mentang dia abis potong rambut? Dan ternyata dia tau nama gua?! Emang udah berapa lama sih kami sekelas? 2 tahun? 10 bulan? 2 BULAN! 2 bulan gak cukup buat gua untuk ngenalin seluruh temen sekelas gua?! Emang siapa sih yang minat? Anjrit. Parahnya lagi, gua gak hapal apa isi balada curhat gua kemarin, yang jelas tu aib gua banget. Mau kemarin dia ternyata beneran dengerin gua apa nggak, bangsat..! Gua pingin pindah sekolah aja! Argh!

 

13.54

021008

Ramadhantisosialcrew


HABIS KATA #10

Sebagaimana setting waktu yang dipakai, cerpen ini memang dibuat di hari kedua Lebaran. Waktu itu rumah saya sepi, hanya jaga rumah berdua dengan ibu saya karena anggota keluarga saya yang lain pada pergi mudik. Dalam kehampaan di dalam dan di luar diri saya, muncul keinginan untuk melakukan hal yang dilakukan si tokoh utama pada awal cerpen ini. Hari Lebaran begini jalanan mesti sepi. Di luar terlihat mendung pula, semakin mendukung keinginan saya itu. Saya ingin pergi jalan-jalan ke Taman Balai Kota dan menghabiskan waktu dengan bermusik di sana. Sekali saya diajak ke Taman Balai Kota oleh teman saya (dia menyebutnya Taman Dewi Sartika karena ada patung pahlawan nasional tersebut. Tapi di sana juga ternyata ada patung badak, tepat di tengah taman pula) saya menjadi ingin ke sana terus. Suasana hijaunya yang teduh dan asri bikin betah. Saya menyarankan kalau mau nongkrong sama teman-teman di sana saja. Sehingga pemerintah melihat bahwa kebutuhan masyarakat akan taman kota itu tinggi sehingga taman kota harus diperbanyak. Ini merupakan salah satu usaha penghijaun.

Terlepas dari peranan positif taman kota, saya ingin merasakan kebebasan pokoknya. Namun karena hal itu tidak mungkin, selain karena alat musik di rumah saya pada tidak layak pakai semua, maka saya hanya bisa melakukan hal itu di dalam dunia khayalan. Supaya khayalan itu menjadi berguna maka terpikirlah ide untuk menuliskannya sebagai cerita. Semangat muncul dalam pembuatannya karena secara tidak langsung ini merupakan luapan keinginan.

Tokoh Dani sebetulnya terinspirasi dari diri saya sendiri. Setiap saya potong rambut selalu muncul pikiran untuk membuat alter ego yang baru. Kebetulan pada  waktu itu potongan rambut saya masih pendek, agak-agak seperti cowok, tapi rada gondrongan. Pada pengembangannya, karakter Dani tidaklah persis dengan saya.

Saya lupa mengapa alat musik yang dipilih untuk dimainkan Dani adalah harmonika. Karena kehadiran harmonika dalam cerpen saya itulah maka saya penasaran pada alat musik tersebut. Mestinya harganya tidak mahal-mahal amat karena banyak pengamen yang punya. Maka saya minta ibu saya membelikan dan sampai sekarang masih saya mainkan harmonika itu. Menyenangkan. Karena saya suka dengan suasana dan gaya bercerita dalam cerpen ini, maka cerpen ini pun saya bikin lanjutannya. Entah jadinya akan seperti apa karena alurnya tidak jelas dan halamannya terlalu banyak untuk disebut cerpen. Pelajaran memainkan harmonika pun menginspirasi saya untuk membuat cerita tentang harmonika dengan duet tokoh dalam cerpen ini di dalamnya. Namun rencana ini terpaksa saya skip karena kesempatan saya untuk mempelajari harmonika terbatas dan ada proyek lain yang menunggu untuk lebih dulu dikerjakan.

Kata-kata dalam cerpen ini bercampur aduk antara bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Inggris, logat Betawi, dan entah apalagi sehingga karena itu maka saya biarkan tidak ada kata serapan yang dimiringkan sebagaimana yang pelajaran tata bahasa Indonesia haruskan. (12/31/2008)

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain