Jumat, 25 Januari 2008

Demo Guru

Tempe yang sudah tiga jam sejak digoreng kuambil dengan tangan yang aku tidak yakin bersih. Biarlah. Biar habis pegang debu atau bulu kucing sekalipun aku yakin aku takkan pernah kena diare. Kusendokkan nasi ke dalam piringku ketika ibu memanggil-manggil.

“Liaaat, di TV!” ujarnya antusias. Semangat. Histeris. Atraktif. Aku lihat TV lokal sedang menayangkan liputan aksi demonstrasi yang terjadi sudah dua hari ini di depan gedung DPRD. Itu mereka ribuan guru dari berbagai sekolah di kota ini sedang minta kenaikan anggaran katanya. Biarpun ibu mengaku ada di tempat kejadian—entah sedang apa—dia tidak kecewa kamera TV tidak menangkap bayangannya. Sungguh berbesar hati. Aku sih bukan orang yang bakal begitu.

“Emang kenapa sih kalau anggarannya diturunin?” ujarku pada teman, via telpon sekitar setengah jam setelah aku selesai makan. Sebetulnya aku mau tanya PR, tapi malah berlanjut ke hal-hal lain yang jauh lebih menarik ketimbang mempermasalahkan apakah kopi termasuk koloid apa bukan.

“Kalau anggarannya diturunin, kita nggak akan bisa ngadain pelatihan kepala sekolah, lomba MIPA, dan lain-lain. Tidak ada pelatihan untuk peningkatan kualitas kepsek, tidak ada sarana bagi anak-anak culun bau rumus untuk berlaga. Sebenarnya itu nggak mempengaruhi aku secara langsung tapi entah kenapa aku senang mempersoalkannya,” jawab temanku panjang lebar. “Guru-guru menuntut anggaran pendidikan dinaikkan jadi 13% sebagaimana harapan atau setidaknya sama kayak kemarin, asal jangan diturunin. Cuman aku nggak tau sisa anggaran yang dipotong itu larinya ke mana buat nambal apa. Tapi katanya sih jumlah pendapatan negara tahun kemarin turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya…”

Aku sudah malas mendengarkan omongan temanku yang makin lama makin berbau materi pelajaran Kewarganegaraan. Aku jadi tidak suka dan hendak mengalihkan pembicaraan.  “Ehm, cheat-nya The Sims 2 apa sih? Saya lupa.”

 

***

 

Udara sejuk segar di pagi hari kuhirup dalam-dalam. Aku berjalan ke sekolah dengan langkah riang. Memang di sana aku kan bertemu dengan pelajaran-pelajaran memuakkan yang mau tak mau mesti kuhadapi demi UAN. Ah ya, berapa bulan lagi UAN? Aku coba menepis perasaan tersiksa karena telah mengingat itu. Sekolah banyak positifnya juga kok. Di sana kita bisa menemukan arti cinta dan persahabatan. Sekolah mengantar kita meraih kejayaan di masa muda yang bersinar selayaknya mentari pagi yang memantul pada gerbang sekolah… Hei, hei, ada apa itu teman-temanku kulihat dari kejauhan mereka tampak bingung? Beberapa guru terlihat berseliweran, sama bingungnya. Baru aku tahu kemudian bahwasanya pintu kelas pada digembok, semuanya tanpa kecuali. Lalu anak kuncinya disatukan dan dilempar ke gedung DPRD dan berhasil memecahkan kaca jendela. Hah, ada apa ini? Beberapa indra karunia Allah SWT yang kumiliki mengoptimalkan fungsinya. Hasilnya aku mengetahui bahwa ini semua adalah pelampiasan dari para guru yang marah karena dihalau polisi. Karena pemerintah tidak mendengarkan mereka saat demo dua hari kemarin. Bahkan aku dengar ada guru yang sampai kena pukul juga. Masya Allah.

“Padahal mereka berjuang untuk kebaikan; mendapatkan anggaran untuk peningkatan kualitas manusia bangsa!” seru temanku berapi-api. Dia anak OSIS dan tukang debat. Berteman dengan anak seperti itu kadang bukannya termotivasi tapi malah tambah minder.

“Emangnya anggaran yang dikasih segitu itu tidak bisa dioptimalkan?” Satu orang yang malas ikut rusuh angkat suara.

“Apa kamu bakal diem aja kalo anggaran yang sudah sedikit itu dipotong terus tiap tahunnya? Negara yang SDM-nya berkualitas bakal kasih anggaran yang besar untuk sektor pendidikan!” koar si tukang debat.

“In-do-ne-si-a!” Seorang anak pentolan ekskul teater memeluk dirinya dan berlutut.

Seseorang berkata dengan penuh emosi sambil mencangklong ranselnya. Gerak tubuhnya memberitahu kami yang melihat bahwa dia bersiap-siap mau pulang lagi. “Setidaknya masuklah para guru itu. Mengapa pelampiasannya harus dengan cara serupa ini, menelantarkan anak didiknya sendiri yang tiga bulan lagi—TIGA BULAN LAGI—mau UAN. Kita sudah bayar SPP mahal-mahal… Biar anggaran pendidikan dipotong, gaji para guru itu tetap kan?”

Aku tercenung. Biarpun aku bersekolah di sekolah negeri tapi SPP sekolahku ini tergolong cukup mahal karena konon sekolahku menolak bantuan BOP. Memang sekolahku ini sekolah (yang katanya) berkualitas dan bergengsi dan aku bangga masuk sini meski hampir tiap hari dijejali mafiki.

“Tunggu! Kamu salah mengerti—“ teriak si tukang debat tapi pemuda emosional yang misah-misuh tadi telah pergi.

“Padahal, kita kan bisa gelar tikar di halaman dan belajar di situ…” Aku membayangkan kami akan membeli karton manila putih ukuran ekstra, menyeret papan pengumuman dan menempelkan karton itu di sana sebagai pengganti papan tulis. Aku ingat iklan layanan masyarakat pasca gempa yang punya slogan “Biar Sekolahku Hancur, Belajarku Pantang Mundur.”

“Hahahah… Emangnya korban tsunami?!” ledek beberapa anak. Entahlah mereka ini… Kukira beberapa guru bakal setuju dengan ideku ini tapi kusaksikan anak-anak sudah pada pasang tampang bosan. Kutangkap kalimat-kalimat semacam berikut muncul dari mulut mereka,

“Ke Bababnet yuk, happy hour-nya masi ampe jam sepuluh ntar lo. Cuman dua ribu…”

“Eh, hari ini nomat kan?”

“Bolos ke mal yuk! Mumpung nggak ada pelajaran!”

“Masak bolos pas nggak ada pelajaran?”

“Wahahahhahaha....”

Derai tawa memudar perlahan seiring bubarnya anak-anak. Tadinya aku pingin mengajak teman-temanku main ke rental PS tapi salahku berteman dengan anak-anak rajin. Mereka pada langsung mau pulang untuk belajar di rumah. Akhirnya tidak ada pilihan lain bagiku selain melakukan hal yang sama. Pulang ke rumah maksudnya. Setelah itu aku mau main game komputer.

Betapa terkesiapnya ibuku melihat aku pulang cepat. Aku sempat khawatir akan dipukul ubun-ubunku dengan spatula di tangannya. Balik-balik aku jadi Sangkuriang deh. Tapi ibuku sudah tidak cantik dan muda lagi. Jadi sebaiknya aku lupakan saja pikiran melantur ini.

“Kenapa pulang cepat?”

“Kelasnya digembok, Bu. Trus pada nggak bisa belajar, pada pulang lagi deh.”

Ibuku lantas menuju teras belakang dan terdengar omelannya pada seseorang di sana. Aku baru tahu kalau bapakku juga tidak berangkat kerja. Dia guru SMA juga tapi bukan SMA yang sama denganku. Aku sempat mendengar bapak mengucapkan kata-kata ‘sebenarnya tidak setuju’ dan ‘tapi’ dan ‘solidaritas’. Bapak mengucapkannya dengan keras dan penuh tekanan sehingga aku bisa dengar. Intinya ibuku memberitahu bahwa akibat dari mogoknya bapakku dan teman-temannya dari aktivitas mengajar, pendidikan anak sendiri jadi terlantar. Ia juga mengingatkan bapakku bahwa sebentar lagi UAN dan nilai pra UAN-ku kemarin tidak mencukupi untuk dapat meluluskanku dari SMA. Aku segera masuk kamar untuk menghindari peluru nyasar yang terbuat dari amarah. Begitu aku menyalakan komputer aku dengar ibuku sepertinya sedang menelepon seseorang.

“Mama Kiki…! Itu…”

Kiki adalah temanku yang ibunya adalah teman ibuku. Kami berteman sejak SD karena satu sekolah. Begitupun waktu SMP. Ketika SMA, kami pisah sekolah karena NEM-nya dia tidak mencukupi untuk masuk ke SMA yang sama denganku atas pilihan orangtuaku. Aku menguping pembicaraan ibuku sambil tetap lincah membuat jejariku menari di atas tuts keyboard. Mama Kiki tidak tahu apakah sekolah anaknya juga diliburkan apa tidak karena anaknya belum pulang (paling-paling dia lagi main dengan teman-temannya ke mana begitu) tapi sepertinya dia setuju untuk bergabung dalam aksi unjuk rasa orangtua murid dalam meminta pertanggungjawaban para guru yang mogok mengajar. Wah… wah…

 

dYh

(9.30 AM,

R---------- 15, Bandung,

25 Januari 2008)

 

unsur-unsur yang menyertai & menginspirasi cerpen ini:

1.        artikel di halaman depan harian KOMPAS, 24 Januari 2008

2.        almamaterku

3.        curhat colongan

 

HABIS KATA #1

Cerpen ini asalnya berjudul ‘Akibat Demo Guru’. Lalu saat mau disebarkan di momen Bedah Karya Forum Fiksi Forum Lingkar Pena Yogyakarta suatu Kamis petang tanggal 14 Agustus 2008, saya kira sebaiknya judulnya ‘Demo Guru’ saja. 

Seperti yang telah saya ungkapkan pada tulisan kecil setelah cerpen habis, cerpen ini terbikin begitu saja karena terpikir oleh beberapa hal.

Pun, seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa cerpen ini sudah pernah dibaca dan diberi komentar oleh beberapa anggota Forum Lingkar Pena Yogyakarta, di mana mestilah mereka telah lebih banyak menulis dibanding orang awam lainnya.

Dari beberapa orang yang hadir di situ, ada yang menilai dari segi teknis (EYD, tata bahasa, dan sebagainya) namun itu tidak begitu saya hiraukan karena forum ini mestinya bukanlah kelas Bahasa Indonesia. Ada yang bilang kalau cerpen ini tidak mengandung nilai moral apapun. Ada yang bilang bahwa cerpen ini merupakan representasi dirinya saat dia SMA ini dulu. Ada yang bilang bahwa cerpen ini memiliki gaya bahasa yang segar, karakterisasinya kuat, dan pujian-pujian semacam itu yang melambungkan saya sebelum akhirnya dia menjatuhkan saya bahwa cerpen ini tidak mempunyai ‘ruh’ dan jangan-jangan karakter kuat dalam cerpen ini adalah mungkin karena karakter tersebut adalah dimiliki saya sendiri, penulisnya. Kedua orang yang terakhir ini sempat berdebat. Yang pertama bilang bahwa cerpen ini sudah cukup begini adanya menggambarkan realita dan berpotensi sebagai kritik sosial. Yang kedua, tidak mau menerima karena cerpen ini tidak ada ‘ruh’-nya. Adapun yang dimaksud dengan ‘ruh’ adalah semacam kekuatan yang bisa menggerakkan orang untuk berbuat sesuatu selesainya membaca cerpen tersebut. Pada akhirnya kedua orang ini menantang saya untuk membuat lagi cerpen dengan peristiwa yang sama akan tetapi dari sudut pandang yang berbeda. Tapi saya tidak melaksanakannya sampai sekarang.

Banyak yang bisa dituliskan tentang cerpen ini karena isinya memang sudah pernah dibahas dalam forum sebelumnya. Karena keterbatasan halaman, habislah saja Habis Kata cerpen ini sampai sini. (12/30/2008)

Minggu, 20 Januari 2008

Rasain!

1

Angkot Kalapa Dago. Aze sedang berangkat sekolah. Seperti yang sudah-sudah, di tengah-tengah minggu seperti ini, semangat Aze sedang berada di titik nadir. Jadi baru pukul 06.15 pagi kayak sekarang juga Aze sudah menyandarkan kepalanya di pojok angkot, memejamkan mata.

Tidak juga sih. Selalu saja ada hal yang menggelisahkan pikirannya pagi-pagi begini, yang pasti masih ada hubungan dengan sekolah dan seisinya, sehingga ia tidak bisa benar-benar pulas. Padahal tahun ajaran sudah mau berakhir. Ada untungnya juga ia tidak bisa pulas. Ia nyaris tidak pernah kebablasan naik angkot. Kalau sudah sampai Taman Lalu Lalang dekat sekolah, ia pasti bangun. Kalau tidak, ia akan telat dan baru diperbolehkan masuk lingkungan sekolah pada jam pelajaran kedua.

Dan kali ini, hal yang menggelisahkan pikirannya adalah hal yang cukup gawat. Perihal ia yang kemarin dipanggil guru Kimianya dan diberi tahu bahwa semua remedial dari remedial ulangan hariannya tidak ada yang cukup nilainya. Oh iya, kalau sudah pakai kata ‘peri’ jangan diteruskan kata ‘hal’. Argh.

Aze tidak bisa memejamkan mata lagi karena terlalu gelisah. Seolah tidak cukup akhir-akhir ini pikiran Aze didera oleh bayangan cowok ganteng yang ternyata adalah kakak kelasnya, yang dua hari lalu ia bikin celaka.

Ah, Taman Lalu Lalang. Pas banget.

“Kiri, ki..,”Aze hendak berseru, sebelum ia mangap kaget.

Di trotoar, di sebelah angkot Aze, baru saja turun dari angkot di depannya. Lambat-lambat berjalan dengan tangan kiri digips dan digantung di lehernya yang juga dibalut sesuatu berwarna putih, dia.

Anjir.

 

2         

Turun dari angkot, Elmo bengong sebentar, melihat-lihat suasana sesaat sebelum bel SMAN Bilatung berbunyi pada pukul 06.30 pagi. Oh, jadi kayak gini ya, yang dialami anak-anak yang ke sekolah naik angkot tiap hari. Elmo nyengir-nyengir sombong sendiri. Dia kan ke sekolah tidak pernah naik angkot, dari kelas satu juga.

Bel sekolah mulai melengking, membelah udara yang penuh jeritan klakson kendaraan dan deru mesinnya. Elmo tersentak, ia harus bergegas. Eh iya, dia kan sudah UN. Tinggal ujian praktek dan UAS paling. Sama prom. Oh iya, dia kan mau mengambil jaket angkatan dan buku tahunan juga. Mudah-mudahan ngambilnya nggak usah langsung ke anak-anak mading kelas dua yang kecentilan itu...

Elmo berjalan lambat-lambat, tanpa memedulikan anak-anak kelas satu dan dua yang berlarian di sekelilingnya. Kasihan, sebentar lagi mereka naik kelas. Lebih kasihan lagi yang dari kelas 1 ke 2 IPA 9 —seperti dia dulu—, kelas paling ujung dan letaknya di lantai 3. Tapi enak juga sih. Gurunya jarang datang.

Tiba-tiba seorang cewek dengan ransel pink buluk melesat melewatinya, dengan sembrono menyebrang jalan, dan terus berlari masuk gerbang samping sekolahnya yang khusus dipakai oleh murid setelah sebelumnya dibentak guru piket karena masih pakai jaket. Haha, dasar tolol. Bodoh. Kenapa ya, kata-kata yang maknanya menyatakan kerendahan kapasitas intelektual selalu berhuruf vokal ‘o’? Goblok juga gitu misalnya. Pikiran Elmo mengembara ke ranah-ranah tidak penting sambil mengikuti cewek berkapasitas intelektual rendah itu dengan pandangannya.

Ransel pink buluk. Elmo membeku di tengah langkahnya menyebrangi jalan.

Ya ampun. Cewek laknat itu.

“TTIIIIIIIIIINN!!!!!!!”

Elmo terlonjak kaget.

Sebuah angkot Antapani-Ciroyom mengerem mendadak saat jaraknya tinggal 5 cm dari Elmo. Sopirnya menyumpah-nyumpah dari dalamnya. Menyebutkan satu persatu kata-kata yang tadi terlintas di benak Elmo.

Elmo cepat-cepat meneruskan langkahnya menyeberang jalan.

Karma + nasib jelek.

 

3

Meski jumlah kendaraan bermotornya makin banyak, Bandung tetap terkenal dengan hawanya yang dingin. Lebih dingin dari Jogja, apalagi Surabaya. Apalagi kalau siang-siang duduk di lantai, lama menahan akhirnya tak kan kuat untuk segera mencari ‘kesetimbangan’ pada sebuah tempat yang disebut ‘belakang’.

Pagi ini para murid SMAN Bilatung Bandung mencairkan kedinginan itu dengan saling menyapa orang-orang yang mereka kenal begitu memasuki gerbang. Kedinginan itu dicairkan oleh kehangatan dan keceriaan masa muda, sebelum mereka menjadi orang bertangan dingin kebanggaan presiden nantinya.

Aze merasakan tangan dingin itu menyentuh pundaknya.

Pucat, ia menoleh. Oh, bagus. Itu temannya yang berasal dari daerah dingin di pinggiran Bandung. Menyapanya.

“Hei...”

“Oh. Hai,” balas Aze menyapa masih dengan ekspresi tegang,

Heuh, untung... untung bukan dia.

Dingin itu menusuk. Merasuk. Bagaimana ya rasanya kalau sudah dingin karena cuaca, dingin pula karena sesuatu yang lain? Apakah itu? Bisa keringat dingin. Bulu kuduk merinding. Bisa juga karena hati yang dingin. Wuow.

Itulah yang dirasakan Aze. Ia bukanlah jenis anak yang bisa berkepala dingin dan bertangan dingin sekaligus dalam suatu kondisi yang krusial—karena tidak terlalu bisa diandalkan dalam segala hal. Tapi ia cukup peka dalam merasakan keberadaan hati yang dingin. Atau mungkin... terbakar api kemarahan...? Bukan dingin dong namanya kalau begitu. Intinya keringat dingin mengindikasikan adanya ketegangan. Dalam Fisika, ketegangan itu sebanding dengan peregangan. Aze merasa ini bukan saatnya untuk meregangkan diri dan rileks.

Ngapain dia dateng kemaren? UN kan udah lewat....

“Kenapa, Ze? Kok tegang gitu?” tanya sang teman, jujur dan inosen.

“Ng....” Aze agak menerawang, mencari ilham darimanakah gerangan datangnya perasaan buruk ini. Yayaya, ia tahu sebenarnya perasaan ini datangnya dari mana. Ia hanya mencoba menguji keilmiahannya seperti yang dilakukan anak SMAN Bilatung lainnya apabila sedang menghadapi suatu permasalahan. Pemecahan permasalahan berbasis metode ilmiah. Kesannya gimana gitu. Pak Presiden pasti bangga! “Kita... bareng yuk ke kelas.”

Sang teman menatap Aze heran.

Hingga datangnya sebuah cobaan menghadang yang begitu tiba-tiba. Sebuah tangan kokoh nan sigap menghunjam kuat pundak Aze yang langsung lunglai tak berdaya. Menariknya. Menghentakkannya. Hingga tubuh Aze berbalik sepenuhnya berhadapan dengan sang pencair kedinginan penghujung fajar... Aze refleks berteriak.

Ternyata orang itu bertangan satu!

 Yang satunya lagi tergantung dalam balutan perban putih. Oh, crap!

Seandainya tangannya yang satu sehat wal afiat mungkin akan ia sinergikan kekuatannya dengan tangan yang satu lagi dan Aze tak mau memikirkan akan dibuat-jadi-mental ke mana. Orang tersebut tidak memberi kesempatan Aze untuk menunduk lalu menatap takut-takut. Pundaknya masih dipegang kuat dan ia melihat mata orang itu sudah mengeksekusinya. Titik klimaksnya, orang itu bertanya dan itu benar-benar makin menghentakkan Aze pada sanubarinya yang terdalam. “Heh, kenapa kabur kemarin?”

Meski nadanya terdengar kalem dan tenang, Aze sadar orang itu bisa saja menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Namun ada cara yang lebih kejam dari menembak seseorang dengan sniper yaitu membunuh dengan perlahan. Dikuliti, disetrika, tidak diberi makan, tidak diberi kasih sayang, tekanan mental dan psikis—apa coba yang mendorong seseorang untuk bunuh diri? Dikatakan di alam kubur nanti, penyiksaan fisik itu nonsense karena yang terkubur hanyalah jasad kita. Jiwa kita sudah di alam lain. Jiwa kita itulah yang merasa tersiksa. Tersiksa dengan kenyataan bahwa ia sudah tidak punya kesempatan lagi. Tersiksa dengan pertanyaan-pertanyaan, apakah ia akan masuk surga atau neraka. Tersiksa memikirkan hari penimbangan amal. Tersiksa membayangkan hari pembalasan apabila ia berdosa.

Satu kalimat saja membuat Aze teringat seluruh dosanya.

Aze sadar ia masih di alam dunia, bukan di alam barzah. Meski orang ini terasa seperti Munkar atau Nakir, atau perpaduan keduanya. Aze yakin ia akan mendapat nilai bagus untuk UAS Agama.

Dalam keadaan seperti itu Aze yang terpana tak kuasa menjawab apapun. Membuat orang jangkung bersuara berat bertangan kuat berwajah ganteng namun sangar itu tambah sebal. Bagai singa gurun di padang lamun. Weow. Rrr...

“Bisa jawab gak sih kamu? Jawab. Jawab.” Cowok itu mendorong pundak Aze. Pelan sih, tapi mengiris hati. Aze sadar cowok ini bisa saja melakukan kekerasan fisik pada dirinya. Tapi di pagi yang tenang dan membunuh ini cowok itu ingin berlatih melakukan kekerasan psikis rupanya.

Dalam kesempatan itu Aze melirik temannya yang sedang terpaku pada jaket hitam yang disampirkan di bahu cowok itu. Apa yang istimewa dari sebuah jaket? Paling-paling  jaket kelas. Atau jaket angkatan. Atau ekskul. Atau organisasi.

“Heh, punya mulut gak kamu?”

Fokus, Aze. Fokus.

“E... masalahnya....” Aze menjawab gagap. Tanpa persiapan apa-apa, ia tahu sesudah ini berakhir ia akan menggigit lidahnya sendiri. “Ma...”

“Kamu mau tanya masalahnya apa?” cowok itu sudah menyelanya duluan.

“Kamu tanya masalahnya apa?” ulang cowok itu lagi. Masih sok menjaga

 kewibawaan mematikan.

“Kamu tau kok masalahnya apa.” Cowok itu memicingkan mata ke arah sebelah tangannya yang digips.

Aze menampakkan wajah tak takut dan tak gentar berharap wajah cowok itu membalasnya dengan siratan rasa malu.

“Kamu sadar kan apa yang udah kamu lakuin? Dua setengah bulan lagi SPMB, kamu sadar gak punya tanggung jawab sama masa depan orang? Hah?”

Sialan. Sialan. Aku harus jawab apa...? ini emang kesalahanku... Oh, apa yang harus kuperbuat...? Eh, tunggu. Yang digips kan...

Aze menunjuk tangan kanan cowok itu. “Tangan kanannya kan masih bisa dipake. Nggak usah sok-sok memperbesar masalah gitu deh.”

Cowok itu menjawab murung. “Anjing, gua kidal.”

Aze terdiam. Ekspresinya memancarkan ketersinggungan yang segera berubah menjadi kesokpolosan.

“...berarti, aku kadal? Hahaha.”

Aze dan cowok itu bisa mendengar sang teman terkikik juga tapi jelas bukan karena yang Aze bilang barusan memang lucu, juga suara bel tanda masuk di kejauhan.  

“DIEM!”

Kedua bocah perempuan yang tak tahu diri itu terhenyak dibentak begitu. Teman Aze langsung memasang tampang datar ala Patrick Star.

“Seenggaknya ada orang celaka tuh tolongin kek. Jangan pura-pura nggak terlibat gitu. Anak Bilatung tuh nyadar dong. Nggak pernah pake otak ya, sekolah di sini!?”     

Suara bel perlahan menghilang, bersamaan dengan berlalunya cowok itu yang dengan sengaja menghentakkan tasnya pada Aze. Sampai di belokan yang menuju areal kelas 3, cowok itu terus memandanginya dengan mata yang seolah meneriakkan maksud: “MATI! MATI! MATI!”                   

Yang dipandangi Aze dengan ketegangan ekstra bukanlah mata itu melainkan lambang sayap merah besar di bagian belakang jaket yang sedari tadi disampirkan di bahu terus ke punggung...

“Dia anak BKS, Je,” ujar teman Aze merusak suasana.

BKS alias Badan Keamanan Sekolah.

 

4

Surealis. Trista mengerjap-ngerjapkan matanya. Kedatangan Elmo disambut dengan meriah oleh teman-temannya. Ia melangkah di atas karpet merah menuju kelasnya. Cewek-cewek anggota fans club-nya berdiri di kanan-kiri karpet, menebar-nebar kelopak mawar dan melati di setiap langkah Elmo, berebut mengelus gips yang membungkus lengan kiri Elmo. Beberapa menjepretkan kamera, membuat Elmo melihat bercak-bercak ungu ke manapun ia memandang. Semua orang memakai pin bergambar wajahnya. Elmo pun tampak menikmati sambutan itu. Ia berjalan dengan langkah-langkah dramatis dan tangan kanannya yang bebas melambai-lambai pada massa. Sesekali langkahnya melambat untuk melayani permintaan tandatangan, foto bersama, atau sekedar menyapukan tangannya pada barisan depan kerumunan.

Akhirnya Elmo sampai di kelas. Trista sejak tadi hanya menyender di kusen pintu kelas sambil mengikuti langkah-langkah Elmo dengan gerakan biji matanya yang berwarna coklat indah. Trista lambat-lambat kembali ke bangkunya yang tidak jauh dari pintu. Pemandangan tadi tidak terlalu jelas terlihat. Mungkin semestinya ia lepaskan saja ya, kacamata gaulnya. Tapi Trista harus susah payah menahan keinginannya yang kuat untuk melempari massa yang tidak terlalu jelas terlihat itu dengan kursi. Meja. KBBI. Apapun yang tampak mantap saat mendarat telak di jidat orang dan bisa menimbulkan cacat permanen pada cerebrum.

“Heboh amat sih,” komentar Trista dengan angkara murka di bawah permukaan suaranya yang tenang pada teman sebangkunya yang sama-sama merupakan anggota geng Boots, yang isinya cewek-cewek cantik supertajir sepertinya. Terjemahannya adalah ‘kegatelan amat sih cewek-cewek itu’.

“Huh?” jawab si teman sebangku, yang tampak dingin-dingin saja sambil membalik buletin DKM—Dewan Keluarga Masjid.

Entah kenapa Trista tersentak mendengar suara temannya yang terasa keras itu lalu mendapati bahwa massa heboh yang tadinya merubungi Elmo sudah jauh berkurang. Trista tidak jadi melempar deh. Ia malah sibuk memijit-mijit urat-urat yang sudah mulai bertonjolan di keningnya.

Saat Elmo melewati bangku Trista, ia berhenti sebentar untuk menyapa Trista. Kelihatan sekali bahwa Elmo sudah jatuh dalam pesona Trista. Cukup lama tangan Elmo berhenti di udara untuk melambai pada Trista, sebelum ia berhasil mengucap, ”Hai...”

“Hai!”sahut Trista ceria, sebelum kemudian mendekati cowok tersebut untuk membesarkan hatinya atas musibah yang baru menimpanya kemarin. Teman sebangku Trista mendongak dan ikut berlama-lama menatap wajah Trista dengan ekspresi aneh.

Trista tidak menyadari, telah bertonjolan di pelipisnya, urat-urat darah yang membesar satu setengah kali normal.

Minggu, 06 Januari 2008

Jangan Merasa Berkuasa di Tengah Jalan Sepi

April 2007


1

Siang terik. Seorang anak manusia berwajah tidak rupawan bernama Aze berjalan dengan muka mengerut menuju ke rumahnya. Tangannya menarik-narik tali ransel yang sebetulnya berwarna pink—yang belum dicuci sejak delapan bulan lalu, di mana tanpa sengaja ia ceburkan tasnya ke kubangan lumpur saat sedang lintas alam. Kini tas itu terlihat seperti jambu air raksasa yang terlalu lama direndam kotoran.

Ia sedang berada di tengah jalan beraspal ukuran dua mobil yang terletak di tengah-tengah sawah luas nan hijau yang sering ia lewati untuk memotong jalan. Beberapa puluh meter jauhnya di depan Aze ada sebuah tikungan tajam. Di balik tikungan tersebut terdapat pagar tembok yang bolong bagian bawahnya—seukuran tubuh manusia yang sedang nungging. Beberapa menit lagi Aze akan merangkak melewatinya, menemukan sepetak tanah kosong yang jauhnya hanya 100 meter dari rumahnya.

Ia yang baru pulang dari sekolah merasa harus ikut sekolah akting untuk menghilangkan stresnya. Ya, dia sedang stres. Ia hanya punya waktu dua hari sebelum hari Senin. Hari Senin adalah harinya eksak dimana keempat pelajaran yang Agung akan diulangankan. Matematika, Kimia, Biologi, Fisika. Ah, mending aku jadi TKW sajalah, pikir gadis tersebut. Ulangan Fisikanya kemarin saja, yah, lumayan sih, bukan yang paling kecil di kelas. Nilainya 17,25 untuk skala 100 dan nilai yang paling besar adalah 95. Memalukan! Betapa apesnya hidup ini kalau segala hal ditentukan dengan nilai.

Dia yang sedang kesal menendang benda-benda kecil yang ada di depannya. Ia sekolah di SMA Negeri paling unggul, favorit, berkualitas (katanya) dan blablabla di kotanya. Sebuah kota besar. Bandung namanya. Banyak anak daerah yang ingin bersekolah di sekolah tersebut.

Aih, andai mereka tahu. Gadis itu masih membatin. Anak-anak yang ingin sekolah, andai mereka tahu kalau sekolah favorit itu beginilah keadaannya, mereka pasti akan menyesal setelah masuk ke sana, mau pakai beasiswa juga.

Ia mencoba menghilangkan stres pre ulangan eksakta dengan mengatupkan kedua matanya. Membentangkan tangannya bagai burung yang hendak terbang. Kepalanya menengadah ke atas. Mencoba mengheningkan cipta... Meresapi langit kebiruan luas yang menaunginya. Aku adalah burung. Ia mencoba menanamkan sugesti yang kiranya bisa membuat kejenuhan di hatinya sirna perlahan. Seekor burung yang cantik, warnanya pink—kayak warna kesukaanku—terbang dengan cueknya di belantara alam. Seekor burung tidak pernah memikirkan ulangan eksakta, jadi buat apa aku mikirin itu? Aku adalah burung... Aku adalah burung...Oohh...

Aze menutup mata, membentangkan tangan, menengadahkan kepala, jalannya jadi zigzag tak beraturan di tengah jalan. Saat pagi hari, banyak yang berolahraga di kawasan jalan ini. Sore harinya banyak diisi anak-anak yang bermain layang-layang atau melepas merpati. Saat malam, ramai dipakai ajang balapan motor. Namun saat siang suasananya sungguh sepi. Para petani beristirahat pada jam segini, membuka bekal makan siang berupa nasi dan ikan teri di saung mereka yang asri yang berada di tengah sawah. Aze merasa jalan ini hanya miliknya sendiri karena nyaris tidak ada pemakai jalan lain. Ia mulai menari-nari. Biarin ah, nggak ada kendaraan ini...Nggak ada yang liat...

Masih.

Aku adalah burung... Seekor burung yang jelita tidak pernah memikirkan ulangan dan remedial laknat...

“TEEENN!!!! TEN!!!!!” Matanya membuka seketika, pundaknya naik karena kaget diterpa oleh suara klakson yang membahana dari depan sana.

Honda CBR dengan kecepatan tinggi itu berlari ke arahnya. Hendak menabraknya.

 

2

Aze  jarang menyukai sekolah. Baginya sekolah hanyalah ajang main tempat ia bertemu dengan teman-temannya, bercanda bergembira, tertawa ria sentosa... Momen yang paling asik untuk mengobrol adalah di tengah jam pelajaran. Tidak ada bedanya dengan main bungee jumping atau joget poco-poco di pinggir tebing; sama-sama mengadu adrenalin. Biar saja guru yang di depan itu ngomong sampai berbusa. Mau didengarkan juga pikiran selalu mengawang-awang entah ke mana. Hari itu Aze sudah kepergok dua guru sedang ngobrol di bangku belakang.

Kalau tidak ngobrol maka ia akan menulis. Tulisannya tidak jauh dari curahan hati khas anak sekolahan yang biasa ditemukan di bangku-bangku kayu reot di kelas macam, “BT!”, “School sucks!”, “Sekolah mematikan potensi dan bakat terpendamku”, “Sekolah bayarnya lebih mahal dari bayar rekening telepon sebulan,” “Buat apa ikutan bimbel kalau ada sekolah? Emangnya sekolah aja nggak cukup?”  “Sekolah memakan waktuku yang berharga bagai Nepenthes memakan lalat bulat-bulat...”

Suatu hari Aze kepergok saat sedang menulis yang beginian. Bu guru tersebut menyuruhnya menulis di kertas, jangan merusak bangku kayu yang merupakan properti sekolah. Sebagai hukuman ia harus menulis esai sebanyak 7 halaman diketik komputer, font Times New Roman, 12 pt, 1,5 line spacing. Dikumpulkan besok.

Besok harinya Aze mengumpulkan tugas tersebut. Pulangnya ia dipanggil ke ruang kepala sekolah. Di dalam sudah berjejer guru Kewarganegaraan, guru Bahasa Indonesia, dan lain-lainnya. Mereka semua sepertinya hendak menghakimi Aze atas esai yang dibuatnya.

Apa terlalu radikal ya? Pikir Aze senang, merasa dirinya keren karena selevel dengan antek-antek Indische Partij.

Ya, benar, mereka menguliahi Aze.

Mungkin tulisan aku terlalu jujur kali ya? Yah, mau gimana lagi sih, aku kan cuman manusia biasa berhati tulus. Aku kan cuman nulisin apa yang aku tau tentang pendidikan di Indonesia. Memangnya aku nggak boleh bilang kalau KBK itu bikin siswa kehabisan tinta dan kertas, juga bikin murid kos-kosan repot bayar rental? Memangnya salah kalau aku bilang SPP di sekolah ini terlalu mahal dan guru-gurunya mengabaikan potensi siswa-siswi yang bukan dalam hal eksakta? Memangnya salah kalau aku bilang sekolah itu cuman bikin murid yang rajin jadi tambah banyak kerjaan sementara murid yang malas makin malas? Memangnya... Aze hanya bisa menjulurkan lidah. Sikapnya itu membuat mereka makin ganas menerkamnya. Mereka bilang sebagai murid SMAN Bilatung yang beradab ia tak sepatutnya berpikiran seperti yang tercantum dalam esainya. Selain itu ia juga dituntut untuk tidak bersikap kurang ajar seperti itu dan memerhatikan etika.

Alah, bawel.

“Murid-murid di sini emang cerdas, pintar, itu betul Pak. Namun, masih banyak yang suka kongkalingkong konsolidasi manipulasi...”—sebetulnya Aze tidak mengerti kata-kata ini—“guru-gurunya pada nggak tau. Kalau benar seperti yang dikatakan iklan layanan masyarakat kalau murid-murid yang hobi begitu itu berpotensi jadi koruptor, berarti nggak sedikit siswa yang udah maupun akan lulus dari sini adalah calon koruptor masa depan. Dan kalau benar seorang koruptor itu nggak pernah diberi pendidikan moral, itu artinya pendidikan di SMA ini bisa dikatakan gagal, Pak. Trus ya, Pak, lulusan SMA ini kan banyak yang masuk Institut Top Banget. Apa Bapak Ibu sekalian pernah baca artikel di koran yang bilang kalau lulusan sana tuh ternyata banyak juga penganggurannya? Bapak Ibu tau nggak apa sebabnya?”

Guru bahasa Indonesia konservatif bin feodal itu menyela dan memperingatinya bahwa setelah Aze mengucapkan “Bapak Ibu” pada kalimat kedua dari akhir ucapannya itu semestinya tidak ditambahi “sekalian”. Kalau dia tetap begitu ia tidak akan lulus UAN.

 Ah.

Kalau aku ngomong ini ke Pak Presiden dia pasti bakal ngelus-ngelus kepala aku karena senang ma kecerdasan dan kejujuran aku. Kalau omongan aku kedengeran ma para koruptor pasti mereka bakal nyewa pembunuh bayaran... hay hay hay...

Aze hanya bisa berkhayal untuk menghabiskan menit-menit terakhirnya di sini.

Sebelum menutup pintu ruang kepala sekolah, gadis kelas 2 SMA yang pernah hampir tak naik kelas ini berkata dengan senyum sinis sok idealis. “Ya... orang besar itu pikirannya luas kan ya, Pak...”

 

3

Siang itu Elmo merasa dirinya menjelma menjadi Valentino Rossi. NaIk motor keren pemberian papanya tercinta dan ngebut dengan kecepatan tinggi. Soal keamanan tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena helm yang melindungi kepalanya ini bagus dan mahal. Sayangnya, ini bukan sirkuit, melainkan jalan beraspal mulus nan sepi yang berada di tengah hamparan sawah.

Ia ingin cepat-cepat sampai rumah dan makan masakan echo markotop pembantunya.

Di depan sana ada tikungan tajam. Ah, paling-paling nggak ada orang. Tancap terusss!!!

Ia salah kira, begitu belok ia menemukan seorang gadis berseragam SMA yang sedang menutup mata, membentangkan tangan, menengadahkan kepala dan menari-nari di tengah jalan.

Kepanikan kilat menyerbu otaknya. Bisa-bisanya ada gadis bodoh yang berada dalam pose dan posisi seperti itu di tengah jalan sepi yang ingin ia arungi untuk melepaskan nafsu pembalapnya yang liar. Sepertinya pula gadis itu tidak sadar ada motor keren berkecepatan tinggi akan menghajarnya. Elmo menekan klakson kuat-kuat. Ia tidak ingin kecelakaan itu terjadi. Ia bergidik membayangkan itu. Diingatnya adegan per adegan film-film horor Indonesia yang pernah ditontonnya. Saat gadis itu baru membuka mata dan baru mau sadar akan tragedi yang nyaris menimpanya, Elmo sudah membanting stangnya ke sebelah kiri—masih dengan kecepatan tinggi. Kemudian ia menikung lagi ke sebelah kanan dan berhasil kembali ngebut di tengah jalan. Gadis itu juga berhasil tidak ia tabrak. Meski begitu, ia menengok ke belakang untuk melayangkan pandangan keji penuh dendam dan kemarahan untuk gadis tersebut, yang sedang menengok ke belakang dengan sorot ketakutan. Elmo tidak bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas. Gadis itu sudah memalingkan wajahnya duluan.

Elmo, yang ketika itu sedang menengok ke belakang, tidak sadar ada mobil SUV hitam yang juga sedang melaju dengan kecepatan ultra ke arahnya. Saat SUV tersebut mengklakson, ia baru sadar. Matanya yang bolor itu melotot.

 

4

Elmo adalah seorang pemuda ganteng berkacamata yang banyak digemari murid-murid perempuan di sekolahnya. Meski agak cunihin[1], tapi itu tidak mengurangi kharismanya yang begitu memesona. Ia hanya memilih gadis-gadis berkulit putih dan imut yang—selevel dengan kegantengannya—untuk dijadikan pacarnya. Yang lain, ah, hanya lumut!

Kagantengannya diimbangi dengan nilai-nilai pelajarannya yang selalu stabil, tidak pernah begitu jeblok. Orangtuanya tidak pernah merasa sangat kecewa atas nilai-nilai rapotnya. Apalagi kurikulum sekarang kan ada remedialnya. Ia tak pernah menyia-nyiakan kesempatan. Itu prinsipnya yang paling mendasar.

Keberhasilannya dalam nilai akademis tidak lepas dari bimbingan belajar privat top nomor satu paling murah yang ada di Bandung. Letaknya cukup strategis, meski agak jauh dari rumah. Nama bimbelnya adalah Brilliant Club.

Siang itu Elmo datang ke depan Mas Fahri, sang pengajar utama, dengan senyum penuh keramahtamahan. Ia melepas jaket dan tas dan menaruhnya di kursi sebelah yang masih kosong. Mas Fahri menatapnya penuh selidik.

“Kenapa kamu berseri-seri gitu, pasti ada yang nggak beres nih... Eh, iya, kok jam segini udah pulang?”

“Aaah... Persiapan UAS gitu deh, Mas. Jadi pulangnya cepet.”

Elmo mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Secarik kertas yang terlipat. Ia membuka lipatan kertas tersebut dan membentangkannya di depan mata Mas Fahri dengan penuh kebahagiaan.

Hujan rintik-rintik mulai menyusup ke dalam pori-pori bumi. Sejenak Mas Fahri mengkhawatirkan jemurannya.

“Liat ampe bolor nih Mas, hasil Try Out Elmo kemarin!” Elmo nyaris berteriak. Ia sangat semangat dan antusias .”Dan yang kemarin, yang kemarinnya lagi yang kemarinnya lagi..” Elmo mengeluarkan kertas-kertas lagi dari tasnya. Ia sudah janji pada Mas Fahri untuk membawa semua hasil Try Out-nya hari ini. Bagus-bagus banget kan nilainya?! Ahh... Institut Top Banget di depan mata... “Makasih, Mas atas jasa Mas selama ini! Elmo yakin pasti bisa lulus SPMB, bisa masuk STEI—Sekolah Teknik Elektronika dan Informasi— kayak  impian Elmo selama ini...”

Mas Fahri melihat bintang-bintang berpendar di mata Elmo.

“Ini pasti keajaiban alam...,” bisiknya takjub melihat bintang-bintang tersebut. Hanya sekilat karena ia kemudian sadar untuk segera menanggapi Elmo atau anak ini akan mengoceh terus.  “Yah, kamu bisa, Elmo!”

“Ya kan, Mas?! Jadi sekarang Elmo mau traktir Mas bakso!!”

“MANTAP!”

Mas Fahri mengacungkan kedua jempolnya sambil nyengir lebar memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih.

 

5

Motor Elmo meluncur dengan kecepatan tinggi ke arah pohon. Menabrak dengan suara yang mengenaskan. Si pengendara jatuh terpelanting dari motor. Tubuhnya membentur badan jalan. Lalu terdengar bunyi ‘krakk’ menyedihkan. Bagian tubuhnya dari pinggang sampai kaki berada di bahu jalan, sisanya berada hanya 5 cm dari ujung helai daun padi.

Kepalanya juga berada di bawah kakinya.

Elmo membuka matanya. Terdiam sesaat. Shock. Mengira dirinya hanya bermimpi. Saat merasakan sakit menjalar ke sekujur tubuhnya, ia meringis, “Ohow, Mamah...”

 

6

Setelah menangkap pandangan keji penuh dendam dan kemarahan dari si pengendara motor dengan sorot mata ketakutan dan penuh rasa bersalah, Aze cepat-cepat memalingkan mukanya. Berharap si pengemudi motor tak sempat menghapal mukanya.

Saat ia berbalik itulah, suara yang membuat jantungnya bagai terkena bom atom terdengar.

Ia menggigit bibirnya dan membuang pandangan ke bawah samping. Kakinya serasa terpaku di tempat.

Gadis itu menengok, jantungnya masih berbunyi dag dig dug. Wah, sepertinya bakal seru nih! Pikirnya.

Saat ia melihat ke jalan di belakangnya, ada sebuah motor dalam posisi tidur yang hancur karena menabrak pohon. Sementara itu si pengemudinya berada dalam posisi yang mengindikasikan kondisi sakaratul maut.

Itu kan motor yang tadi ngebut, ya salahnya sendiri sih, ngapain juga ngebut-ngebut. Gadis itu tertawa dalam hati. Ya ampun... tabrakan yang tadi nilai  elastisitasnya berapa ya?? Karena ia merasa kejadian itu sangat seru ia ingin sekali mendekati tempat kejadian perkara.

Setelah agak dekat ia menyesal karena belum men-charge hp kameranya.

Pengemudi motor celaka itu ternyata masih hidup. Ia bangkit dari posisinya yang memprihatinkan dengan sudah payah dan melepaskan helm standarnya dengan tangan kirinya, dan menampakkan wajahnya pada dunia.

Aze ternganga. Masya Allah. Cowok Ganteng!!

Nyesel! Nyesel!

Petani-petani bangkit dari istirahatnya dan bergegas menuju ke arah korban kecelakaan. Sebagian besar lebih memilih untuk menolong si pengendara SUV dulu, selain karena bodinya lebih bagus dan mewah, mobil ini juga mahal harganya dan boros BBM. Pemiliknya pasti orang kaya. Setelah selesai menolong pasti akan diberi tip.

Sebagian kecil, menuju ke arah si pengemudi motor. Seorang memberdirikan motor, yang lainnya membantu si pengendara tersebut berdiri, sambil menepuk-nepuk debu dari celana seragam SMA-nya. Setelah ia dapat berdiri ia membungkuk dan memegang lengan kirinya. Ia mengernyit.

“Euh, sial,” umpatnya pelan dan tak terdengar siapapun. “Oh, anjir...”

Ia terdengar menghayati. Aze yang mendengar menggumam, “Ih, ganteng ganteng ngomongnya kasar yak...”

Tapi perasaan Aze pernah melihat Si Ganteng ini di manaa.. gitu. Di mana yah?

Beberapa orang membantu orang ganteng tersebut ke pinggir jalan agar tak menghalangi jalan kendaraan lain, begitupun dengan motornya. Meskipun orang-orang telah membantu memapahnya, orang tersebut masih tampak susah berjalan dan ekspresi wajahnya yang ganteng memancarkan kesakitan. Wajahnya tegang, matanya celingukan. Mereka mendudukkannya di bangku kayu.

Pandangan Aze lalu berpindah, dari si orang ganteng lalu ke mobil SUV hitam. Sesekali terdengar bunyi rrrr-rrr. Mobil yang terjebak dalam lumpur itu tampaknya berusaha keluar.

Oh... ternyata ada mobil terbalik juga toh. Ajaib, ajaib.

Aze kembali kepada motor yang sekarang sudah tidak begitu mirip motor lagi. Dan cowok ganteng yang sudah tidak begitu utuh lagi. Untung mukanya tidak kenapa-napa.

Mangkanya, tong ngebut-ngebut teuing, Jang,[2]” seseorang berkata.

“Ah enggak. Saya nggak ngebut kok. Kan bentar lagi SPMB,” sangkal si pengendara motor tidak nyambung sambil mendelik aneh. Aze berjalan mendekat, menyeruak kerumunan yang menghalangi pandangannya pada Si Ganteng Celaka.

“Tadi ada mobil dari situ ngebut banget,” jelas Si Ganteng, “Terus kan saya ngehindar.”

Mata si Ganteng celingukan seperti mencari-cari sesuatu, tapi lehernya diam, kaku. Aneh juga. “Kayaknya mobil yang ngebut tadi itu kecelakaan juga deh...”

Mata si Ganteng berhenti bergerak saat menangkap tubuh Aze, yang ikut memerhatikannya meskipun tidak dari jarak sedekat orang-orang yang menolongnya.

Aze terkesiap.

Si Ganteng geram.

“Oh ya,” kata si Ganteng lagi pelan-pelan, menahan amarah yang seketika muncul menggelegak dalam dirinya, “Sebelum saya ngehindar dari mobil itu, ada cewek aneh lagi joget-joget ngalangin di tengah jalan...”

Si Ganteng menatap Aze penuh dendam. Jelas cewek brengsek inilah yang tadi menari-nari tak jelas di tengah jalan tadi. Lalu mata Si Ganteng berpindah menatap lencana di kerah Aze, dan sabuk Aze. Lalu kaus kaki putihnya yang bertuliskan huruf-huruf balok hitam. Yang dengan lantang berbunyai SMAN Bilatung Bandung. Kaus kaki yang sama dengan yang dipakai Si Ganteng.

Tetes-tetes keringat di dahi dan punggung Aze menjadi terasa sangat dingin. Pantesan pernah lihat. Ternyata orang ini kakak kelas Aze. Yang dulu pas MOS jadi tatib sehingga kerap dilihatnya orang ini mondar mandir dengan muka garang siap menerkam.

Aduh.

Dan para penolong itu kini mulai menoleh ke arahnya.

 Aze memilih untuk jadi oknum yang tidak bertanggung jawab seperti biasanya dan cepat-cepat kabur dari situ.

Ia nyengir selebar mungkin ke arah mereka, berjalan mundur lalu berbalik dan berlari sekencang-kencangnya.

Sayup-sayup terdengar si Ganteng galak berteriak, “Hoy, tangan gue patah neh!! Auw! Anjrit, gua gak bisa nengok juga! Aduh, Pak, ngapunten, mbok ya ojo mentang-mentang patah lantas dipegang-pegang yaa...”

Aze berhenti sejenak dan hati nuraninya berbisik agar ia mengakui perbuatannya dan bertanggung jawab dan membawa orang tersebut ke dukun patah tulang untuk digips dan ia yang harus membiayainya.

Muncul suara yang menyatakan setuju tapi mengingat kondisi ekonomi dan budaya keluarganya sedang mengalami dekadensi maka ia memutuskan kembali ke rencana awal; pergi dari situ, pulang ke rumah dan memotong kuku.

Aze terhibur dengan sisi lain hatinya yang mengatakan bahwa itu sudah takdir Tuhan buat Si Ganteng Celaka yang datang melalui dirinya dan pohon sial tersebut dan... sudahlah, itu urusan Tuhan.



[1] Genit

[2] Makanya, jangan terlalu ngebut, nak

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain