Tempe yang sudah tiga jam sejak digoreng kuambil dengan tangan yang aku tidak yakin bersih. Biarlah. Biar habis pegang debu atau bulu kucing sekalipun aku yakin aku takkan pernah kena diare. Kusendokkan nasi ke dalam piringku ketika ibu memanggil-manggil.
“Liaaat,
di TV!” ujarnya antusias. Semangat. Histeris. Atraktif. Aku lihat TV lokal
sedang menayangkan liputan aksi demonstrasi yang terjadi sudah dua hari ini di
depan gedung DPRD. Itu mereka ribuan guru dari berbagai sekolah di kota ini sedang
minta kenaikan anggaran katanya. Biarpun ibu mengaku ada di tempat
kejadian—entah sedang apa—dia
tidak kecewa kamera TV tidak menangkap bayangannya. Sungguh berbesar hati. Aku
sih bukan orang yang bakal begitu.
“Emang
kenapa sih kalau anggarannya diturunin?” ujarku pada teman, via telpon sekitar
setengah jam setelah aku selesai makan. Sebetulnya aku mau tanya PR, tapi malah
berlanjut ke hal-hal lain yang jauh lebih menarik ketimbang mempermasalahkan
apakah kopi termasuk koloid apa bukan.
“Kalau
anggarannya diturunin, kita nggak akan bisa ngadain
pelatihan kepala sekolah, lomba MIPA, dan lain-lain. Tidak ada pelatihan untuk
peningkatan kualitas kepsek, tidak ada sarana bagi anak-anak culun bau rumus
untuk berlaga. Sebenarnya itu nggak mempengaruhi aku secara langsung tapi entah kenapa aku senang
mempersoalkannya,” jawab temanku panjang lebar. “Guru-guru menuntut anggaran
pendidikan dinaikkan jadi 13% sebagaimana harapan atau setidaknya sama kayak kemarin, asal jangan diturunin. Cuman
aku nggak tau sisa anggaran
yang dipotong itu larinya ke mana buat nambal apa. Tapi katanya sih jumlah
pendapatan negara tahun kemarin turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya…”
Aku
sudah malas mendengarkan omongan temanku yang makin lama makin berbau materi
pelajaran Kewarganegaraan. Aku jadi tidak suka dan hendak mengalihkan
pembicaraan. “Ehm, cheat-nya The Sims 2 apa
sih? Saya lupa.”
***
Udara
sejuk segar di pagi hari kuhirup dalam-dalam. Aku berjalan ke sekolah dengan
langkah riang. Memang di sana aku kan bertemu dengan pelajaran-pelajaran
memuakkan yang mau tak mau mesti kuhadapi demi UAN. Ah ya, berapa bulan lagi
UAN? Aku coba menepis perasaan tersiksa karena telah mengingat itu. Sekolah
banyak positifnya juga kok. Di sana kita bisa menemukan arti cinta dan
persahabatan. Sekolah mengantar kita meraih kejayaan di masa muda yang bersinar
selayaknya mentari pagi yang memantul pada gerbang sekolah… Hei, hei, ada apa itu
teman-temanku kulihat dari kejauhan mereka tampak bingung? Beberapa guru terlihat berseliweran, sama bingungnya.
Baru aku tahu kemudian bahwasanya pintu kelas pada digembok, semuanya tanpa
kecuali. Lalu anak kuncinya disatukan dan dilempar ke gedung DPRD dan berhasil
memecahkan kaca jendela. Hah, ada apa ini? Beberapa indra karunia Allah SWT
yang kumiliki mengoptimalkan fungsinya. Hasilnya aku mengetahui bahwa ini semua
adalah pelampiasan dari para guru yang marah karena dihalau polisi. Karena
pemerintah tidak mendengarkan mereka saat demo dua hari kemarin. Bahkan aku
dengar ada guru yang sampai kena pukul juga. Masya Allah.
“Padahal
mereka berjuang untuk kebaikan; mendapatkan anggaran untuk peningkatan kualitas
manusia bangsa!” seru temanku berapi-api. Dia anak OSIS dan tukang debat.
Berteman dengan anak seperti itu kadang bukannya termotivasi tapi malah tambah
minder.
“Emangnya
anggaran yang dikasih segitu itu tidak bisa dioptimalkan?” Satu orang yang
malas ikut rusuh angkat suara.
“Apa
kamu bakal diem aja kalo anggaran yang sudah sedikit itu dipotong terus tiap
tahunnya? Negara yang SDM-nya berkualitas bakal kasih anggaran yang besar untuk sektor pendidikan!”
koar si tukang debat.
“In-do-ne-si-a!”
Seorang anak pentolan ekskul
teater memeluk dirinya dan berlutut.
Seseorang
berkata dengan penuh emosi sambil mencangklong ranselnya. Gerak tubuhnya memberitahu
kami yang melihat bahwa dia bersiap-siap mau pulang lagi. “Setidaknya masuklah
para guru itu. Mengapa pelampiasannya harus dengan cara serupa ini,
menelantarkan anak didiknya sendiri yang tiga bulan lagi—TIGA BULAN LAGI—mau
UAN. Kita sudah bayar SPP mahal-mahal… Biar anggaran pendidikan dipotong, gaji para guru itu tetap kan?”
Aku
tercenung. Biarpun aku bersekolah di sekolah negeri tapi SPP sekolahku ini
tergolong cukup mahal karena konon sekolahku menolak bantuan BOP. Memang
sekolahku ini sekolah (yang katanya) berkualitas dan bergengsi dan aku bangga
masuk sini meski hampir tiap hari dijejali mafiki.
“Tunggu!
Kamu salah mengerti—“ teriak si tukang debat tapi pemuda emosional yang misah-misuh
tadi telah pergi.
“Padahal,
kita kan bisa gelar tikar di halaman dan belajar di situ…” Aku membayangkan
kami akan membeli karton manila putih ukuran ekstra, menyeret papan pengumuman
dan menempelkan karton itu di sana sebagai pengganti papan tulis. Aku ingat
iklan layanan masyarakat pasca gempa yang punya slogan “Biar Sekolahku Hancur,
Belajarku Pantang Mundur.”
“Hahahah…
Emangnya korban tsunami?!”
ledek beberapa anak. Entahlah mereka ini… Kukira beberapa guru bakal setuju dengan ideku ini
tapi kusaksikan anak-anak sudah pada pasang tampang bosan. Kutangkap kalimat-kalimat
semacam berikut muncul dari mulut mereka,
“Ke Bababnet yuk, happy hour-nya masi ampe jam sepuluh ntar lo. Cuman dua ribu…”
“Eh, hari ini nomat kan?”
“Masak
bolos pas nggak ada
pelajaran?”
“Wahahahhahaha....”
Derai tawa memudar perlahan seiring bubarnya anak-anak. Tadinya aku pingin mengajak teman-temanku main ke rental PS tapi salahku berteman dengan anak-anak rajin. Mereka pada langsung mau pulang untuk belajar di rumah. Akhirnya tidak ada pilihan lain bagiku selain melakukan hal yang sama. Pulang ke rumah maksudnya. Setelah itu aku mau main game komputer.
Betapa terkesiapnya ibuku melihat aku pulang cepat. Aku sempat khawatir akan dipukul ubun-ubunku dengan spatula di tangannya. Balik-balik aku jadi Sangkuriang deh. Tapi ibuku sudah tidak cantik dan muda lagi. Jadi sebaiknya aku lupakan saja pikiran melantur ini.
“Kenapa pulang cepat?”
“Kelasnya digembok, Bu. Trus pada nggak bisa belajar, pada pulang lagi deh.”
Ibuku lantas menuju teras belakang dan terdengar omelannya pada seseorang di sana. Aku baru tahu kalau bapakku juga tidak berangkat kerja. Dia guru SMA juga tapi bukan SMA yang sama denganku. Aku sempat mendengar bapak mengucapkan kata-kata ‘sebenarnya tidak setuju’ dan ‘tapi’ dan ‘solidaritas’. Bapak mengucapkannya dengan keras dan penuh tekanan sehingga aku bisa dengar. Intinya ibuku memberitahu bahwa akibat dari mogoknya bapakku dan teman-temannya dari aktivitas mengajar, pendidikan anak sendiri jadi terlantar. Ia juga mengingatkan bapakku bahwa sebentar lagi UAN dan nilai pra UAN-ku kemarin tidak mencukupi untuk dapat meluluskanku dari SMA. Aku segera masuk kamar untuk menghindari peluru nyasar yang terbuat dari amarah. Begitu aku menyalakan komputer aku dengar ibuku sepertinya sedang menelepon seseorang.
“Mama Kiki…! Itu…”
Kiki adalah temanku yang ibunya adalah teman ibuku. Kami berteman sejak SD karena satu sekolah. Begitupun waktu SMP. Ketika SMA, kami pisah sekolah karena NEM-nya dia tidak mencukupi untuk masuk ke SMA yang sama denganku atas pilihan orangtuaku. Aku menguping pembicaraan ibuku sambil tetap lincah membuat jejariku menari di atas tuts keyboard. Mama Kiki tidak tahu apakah sekolah anaknya juga diliburkan apa tidak karena anaknya belum pulang (paling-paling dia lagi main dengan teman-temannya ke mana begitu) tapi sepertinya dia setuju untuk bergabung dalam aksi unjuk rasa orangtua murid dalam meminta pertanggungjawaban para guru yang mogok mengajar. Wah… wah…
dYh
(9.30 AM,
R---------- 15, Bandung,
25 Januari 2008)
unsur-unsur yang menyertai &
menginspirasi cerpen ini:
1.
artikel di
halaman depan harian KOMPAS, 24 Januari 2008
2.
almamaterku
3.
curhat colongan
Cerpen ini asalnya berjudul ‘Akibat Demo Guru’. Lalu saat mau disebarkan di momen Bedah Karya Forum Fiksi Forum Lingkar Pena Yogyakarta suatu Kamis petang tanggal 14 Agustus 2008, saya kira sebaiknya judulnya ‘Demo Guru’ saja.
Seperti yang telah saya ungkapkan pada tulisan kecil setelah cerpen habis, cerpen ini terbikin begitu saja karena terpikir oleh beberapa hal.
Pun, seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa cerpen ini sudah
pernah dibaca dan diberi komentar oleh beberapa anggota Forum Lingkar Pena
Yogyakarta, di mana mestilah mereka telah lebih banyak menulis dibanding orang
awam lainnya.
Dari beberapa orang yang hadir di situ, ada yang menilai dari segi teknis
(EYD, tata bahasa, dan sebagainya) namun itu tidak begitu saya hiraukan karena
forum ini mestinya bukanlah kelas Bahasa Indonesia. Ada yang bilang kalau
cerpen ini tidak mengandung nilai moral apapun. Ada yang bilang bahwa cerpen
ini merupakan representasi dirinya saat dia SMA ini dulu. Ada yang bilang bahwa
cerpen ini memiliki gaya bahasa yang segar, karakterisasinya kuat, dan
pujian-pujian semacam itu yang melambungkan saya sebelum akhirnya dia
menjatuhkan saya bahwa cerpen ini tidak mempunyai ‘ruh’ dan jangan-jangan
karakter kuat dalam cerpen ini adalah mungkin karena karakter tersebut adalah
dimiliki saya sendiri, penulisnya. Kedua orang yang terakhir ini sempat
berdebat. Yang pertama bilang bahwa cerpen ini sudah cukup begini adanya
menggambarkan realita dan berpotensi sebagai kritik sosial. Yang kedua, tidak
mau menerima karena cerpen ini tidak ada ‘ruh’-nya. Adapun yang dimaksud dengan
‘ruh’ adalah semacam kekuatan yang bisa menggerakkan orang untuk berbuat sesuatu
selesainya membaca cerpen tersebut. Pada akhirnya kedua orang ini menantang
saya untuk membuat lagi cerpen dengan peristiwa yang sama akan tetapi dari
sudut pandang yang berbeda. Tapi saya tidak melaksanakannya sampai sekarang.
Banyak yang bisa dituliskan tentang cerpen ini karena isinya memang sudah
pernah dibahas dalam forum sebelumnya. Karena keterbatasan halaman, habislah
saja Habis Kata cerpen ini sampai sini. (12/30/2008)