1
Rehat sejenak. Anak-anak
kelas 3 sedang masa-masanya ujian praktek. Guru-guru tidak optimal mengajar.
Beberapa kelas yang gurunya tidak ada bebas hura-hura mau ke mana saja. Padahal
sebentar lagi mereka juga bakal kena ulangan umum. Yang bisa Aze lakukan sambil
menunggu saat itu tiba adalah menikmati hawa sejuk Bandung yang agak mendung.
Ah... Bandung... Kota para kembang yang tersebar di Saritem, Savoy, Taman Lalu
Lalang...
Sejak pagi ia duduk-duduk
di kantin dengan beberapa teman sekelasnya, ngomongin cowok paling ganteng di
kelas. Atau guru-guru yang punya kualitas untuk masuk MURI. Atau apa saja
tentang dunia yang enak diomongin. Suasana aman nan nyaman itu terburai saat
gerombolan anak tipe aktualisasi memasuki kawasan kantin dan menggelar perkakas
mereka. Argh, silau. Kantin mulai rame. Semakin banyak diisi orang-orang,
termasuk anak-anak dari SMA sebelah padahal mereka sudah punya kantin sendiri.
Oh, maklum saja, sepertinya ini sudah masuk jam istirahat. Aze merasa ia tidak
bisa tahan lebih lama lagi di tempat ini. Aze harus menyepi. Terlalu banyak
orang. Sesak... sesak...
Dengan muka BT, Aze dan
pengikutnya keluar dari areal kantin. Panas terik mulai menerpa. Matahari
bersama orang-orang ceria yang ingin segera tebar pesona. Di kejauhan ia
melihat beberapa anak kelas 3 dengan name
tag besar di dada dan lembaran kertas terlipat di tangan membuat
kelompok-kelompok. Mungkin mereka sedang mempersiapkan diri untuk giliran
praktikum selanjutnya. Tahun depan juga ia akan mengalami hal yang seperti itu.
Aze belum mau memikirkannya. Persiapan buat ulum besok saja nihil. Ah...
sekolah... setiap pemandangan yang tertangakap matanya, di penjuru mana saja,
selalu bikin iritasi. Kenapa, ya? Kenapa? Realita bahwa dirinya agak asosial
tidak begitu memuaskan.
Baru saja sampai di
perbatasan terdengar gemuruh langkah kaki segerombolan anak yang tergabung
dalam komunitas yang membuat Aze tambah teriritasi. Gerombolan anak BKS, dengan
jaket hitam dan lambang sayap merah besar di punggung yang bikin jantung
berdentam serasa dipukul alu. Mereka menyerbu dari belakang. Satu orang yang
terdepan merentangkan tangannya, berputar-putar, menari.
Seseorang berkomentar
dengan suara keras, “Weeeyy.... ngewaaa..[1].”
Disusul seseorang berhelm
berlari lurus dan cepat dengan dua tangan terkepal di depan, seakan-akan sedang
mengendarai motor.
“Ngennngg...” Dilengkapi
dengan suara sejernih Dolby Surround
Stereo.
Cowok yang menari berjalan
oleng ke sana kemari, seakan tidak menyadari bahwa gerakannya itu akan
menghalangi laju lurus cowok berhelm di belakangnya. Dan terjadilah. Cowok
berhelm itu mencoba menghindar dari cowok menari yang bergerak tak keruan yang
menghalanginya. Ia menikung dengan cepat lalu menabrakkan diri di semak-semak
pinggir bagai Aang si Avatar yang menabrak batu dalam opening serial Avatar: The
Last Airbender. Teman-temannya tertawa membahana karena kelakuan konyol
cowok yang sengaja mencelakakan dirinya itu. Orang-orang di sekitar tersenyum-senyum
saja melihat kejadian yang terjadi bagai kilat menghantam bumi tersebut. Meski
Aze pikir itu konyol, tapi ia mengikuti teman-temannya yang memperlambat
jalannya untuk mengetahui apa yang akan terjadi setelahnya.
Cowok berhelm celaka itu
kini sudah berdiri dan membersihkan dirinya. Teman-temannya berteriak gaduh,
“Aaaaahhh... TIIS! TIIS![2]”
Aze langsung melotot
begitu melihat salah satu di antara mereka itu terdapat dia, cowok yang jatuh
ke sawah. Dia tidak ikut berteriak. Ia berada paling belakang, hanya ikut
tertawa, pembalut leher dan tangannya yang putih cemerlang itu memantulkan
cahaya mentari yang membuatnya begitu bersinar dan membuat siapa saja silau
melihatnya.
“Huuh, pake deterjen apa
sih?” dengus Aze yang sejak melihat Elmo merasakan ketidaknyamanan dan
ketidakamanan. Ia meminta teman-temannya untuk mempercepat langkahnya.
Di dalam koridor yang
gelap, jalan menuju kelasnya, di mana semua benda tampak berwarna hijau dan
ungu, Aze mendapatkan ilham yang meresahkan. Jangan-jangan tadi itu merupakan
sebuah adegan yang sudah dirancang sebelumnya. Sebuah skenario penuh maksud
telah dipresentasikan sedemikian rupa untuk secara tidak langsung menempelkan
kartu merah di jidatnya. Ya, adegan itu adalah ilustrasi dari insiden yang
terjadi pada hari itu, hari pertama masuk sekolah setelah libur UN...
Ugh, bodoh. Kenapa baru sadar sekarang? Kalau
tidak melihat Elmo mungkin dia tidak akan sadar kalau itu adalah sindiran telak
buat dirinya.
Aze terpuruk dalam aura
gelap lembah hitam. Kalau dalam komik mungkin dia sudah dikelilingi garis-garis
vertikal.
2
Kini kegiatan
bermalas-malasan yang rutin dilakukan tiga kali seminggu di rumah tidak bisa
dilakoni Aze dengan tenang. Selalu saja ia teringat akan tingkah laku anak-anak
BKS akhir-akhir ini. Padahal Aze bisa dimasukkan ke dalam golongan anak yang
tidak memiliki kepekaan sosial tinggi. Ya, anak-anak BKS itu kalau menyadari
Aze lewat kerap mengucapkan kata ‘tiis’
dalam volume dan intonasi yang bervariasi. Akibatnya Aze jadi sering
menghindari pulang lewat gerbang samping belakang sekolah karena tepat di
depannya anak-anak BKS biasa nongkrong. Aze merasa tidak aman kalau jajan di
kantin. Ia jadi lebih sering di kelas. Makin asosial saja dia.
Pernah juga Aze mendengar
ada yang nyeletuk, “Pinjem tangannya dong, buat ngebuletin LJK.”
Mau tak mau itu membuat
pikiran Aze melayang pada cowok yang menghantui pikirannya, yang menurut
temannya punya nama Elmo. Ah iya, bocah
itu, gimana dia ngisi lembar jawaban ujian praktek yah? Dia bisa nggak ya nulis
pake tangan yang satunya lagi? Trus, entar lagi kan dia UAS juga tuh, gimana
dia ngebuletin LJK-nya ya? Kalau ngiteminya keluar dari lubang kan bisa fatal
tuh. Belum dia ngotretnya gimana ya? Yang pasti pertanyaan-pertanyaan ini
membuat Aze tambah merasa berdosa. Tapi, benarkah dia yang bersalah? Apa kalau
dia tidak ada di TKP Elmo bakal tetep celaka? Aze merasa frustasi menjadi orang
yang dikaruniai pikiran kritis yang banyak bacot dan bertanya.
Untung saja kecelakannya
terjadi ketika UN sudah usai. Tapi, kalau
dia nilai ujian praktek ma UAS-nya jelek karena nggak bisa ngisi LJK, itu bakal
ngaruh ke kelulusannya nggak yah? Tapi masak sih ada anak SMAN Bilatung yang nggak
lulus SMA karena nilai UAS-nya (kalau ujian praktek yang dinilai kan nggak
hanya semata jawaban di LJK)? Itu bakal bikin aib banget buat pihak SMAN
Bilatung. Mungkin nggak yah nilainya dikatrol?
Kalau Elmo nggak lulus SMA, itu pasti bakal sangat mempengaruhi masa
depannya. Kalau Elmo anak pertama, ia bakal menjadi tulang punggung keluarga.
Gimana ya kalau ternyata adiknya banyak banget dan orangtuanya udah tua renta.
Ah, tapi si Elmo itu keliatannya anak orang kaya kok. Apalagi orang kaya
temperamen, bisa-bisa mereka nuntut haknya, minta pertanggungjawaban sama yang
bikin anak mereka celaka. Atau, bisa-bisa mereka lapor sama sekolah. Oh iya,
pembina BKS kan guru senior berkumis baplang yang kabarnya super galak itu!
Gimana kalau dia yang maju untuk minta pertanggungjawaban atas cedera yang
dialami anak asuhnya? Itu kan bisa mengganggu kinerja anggota. Tapi Elmo kan
udah mau lulus masak masih aktif di BKS sih? Paling juga ngurus junior atau
apalah.
Jadi, apa yang harus aku lakukan? Membayar ganti rugi pengobatan cowok
itukah? Emangnya aku punya uang? Emangnya orangtuaku punya uang? Yang paling
penting itu sih sebetulnya minta maaf dulu tapi emangnya aku punya nyali buat
minta maaf? Lagipula, minta maaf? Ke mana? Ke rumahnya langsung? Di sekolahnya
aja, dia masih belum selesai urusannya di sekolah kan? Tapi dia di kelas mana?
Atau langsung ke tempat nongkrongnya? Hah? Di bimbel? Ya,
Aze jarang melihat Elmo nongkrong di tempat seperti itu. Anak BKS kelas 3 kalau
tidak nongkrong di tempat yang tidak jelas ya pasti di bimbel. Bimbel apa?
Jalan apa? Berapa ongkos ke sana? Atau langsung ke markas BKS? Mungkin dia lagi
belajar di situ dengan sesama anak BKS yang lain? Ah, masak iya?
Pikiran seperti ini dan
semacamnya menghantui Aze dari hari ke hari. Terus dan terus membentuk
lingkaran, kembali lagi ke awal, lalu bergerak mencari lagi hingga sampai ke satu
titik di mana dia tidak memikirkan apa-apa lagi alias ketiduran.
3
Markas BKS terletak di
pojok gang yang ada di samping sekolah. Dekat WC cowok yang katanya dihuni
hantu nenek bertongkat ular. Aze mengetahui hal tersebut dari temannya yang
ikut ekskul PATIN alias Pembuka Mata Batin alias ekskul bela diri yang
menggunakan tenaga dalam. Diusahakan rahasia ini tidak tersebar karena kalau
anak-anak BKS tau entah apa yang akan terjadi. Wallahu alam. Aze merasa
prihatin dengan anak-anak BKS yang polos-polos itu.
Untuk ruangan sebuah
organisasi sekolah, markas BKS bisa dibilang cukup luas. Lebih luas dari
ruangan OSIS. Jarang dijamah guru pula. Sebagian dindingnya berdempet sofa
empuk berwarna merah hati. Kalau Aze hendak ke ruangan ekskul PA alias Pecinta
Angklung-nya, Aze mesti lewat situ. Kadang ia melihat sekilas ke dalam. Ruangan
itu kerap terlihat berantakan. Kertas, buku, ransel, puntung rokok, asbak, dan
barang-barang lain berserakan. Kalau Aze pulang kesorean, ia bisa melihat pintu
ruangan itu terbuka lebar. Kalau sekilas melihat ke dalam akan tampak anak-anak
BKS duduk nyaman di sofa, merokok, dan membuat kegaduhan di antara mereka
sendiri.
Dulu sih begitu. Masih
bisa untuk melihat sekilas ke dalam ruangan itu dengan aman tanpa harus
mendatangkan malapetaka. Tapi kini? Aze tengah iseng mau main ke ruang PA
karena tidak ada kerjaan di kelas. Jam segini biasanya markas BKS sepi karena
KBM. Tapi sekarang kan anak kelas 3 lagi pada ujian praktek dan KBM jadi tak
teratur. Karena pintu ujung satunya untuk memasuki gang ini ramai oleh
orang-orang yang tidak paham kenapa nongkrong di ambang pintu bisa bikin jodoh
jadi jauh, Aze harus masuk lewat pintu gang satunya lagi untuk bisa mencapai
ruang tersebut.
Dan bagusnya, karena KBM
tidak teratur, karena tidak semua anak kelas 3 dapet giliran ujian praktek pada
waktu yang sama, karena anak-anak BKS punya rasa solidaritas yang cukup tinggi,
mereka semua kumpul di markas. Pintu terbuka lebar sehingga siapa saja yang
lewat bisa diketahui kalau jalannya tidak cepat-cepat. Bisa diteriaki juga
kalau anak tersebut punya salah sama salah satu anak BKS.
Karena, pas Aze lewat,
riuh suara dari markas BKS meneriakinya. Feeling
Aze yang tumpul akan antisipasi bahaya di masa depan membuat gadis itu jalannya
sedari tadi santai-santai aja. Begitu serangan menerjang mendadak kedua kakinya
tak bisa digerakkan lagi, seakan menyatu dengan lantai.
Aze harus mengeluarkan
usaha yang cukup keras agar kedua kakinya bisa menapak di ambang pintu markas
BKS. Ia merasakan tangannya jadi dingin. Tatapan anggota BKS yang cewek
terlihat lebih garang daripada yang cowok, entah kenapa. Mungkin karena Aze
tahu kalau cewek lebih judes daripada cowok. Ia berusaha pula agar tidak
muntah. Bau rokok semerbak ke mana-mana. Namun ia tahu ia takkan bisa lari.
Risiko terkena kanker, impotensi, gangguan janin dan kehamilan pun mesti
diabaikan.
Hyaa... deg-degan.
Oh, jadi begini rasanya jadi teroris yang kesasar di markas polisi,
hanya aja aku nggak punya banyak alternatif nama..,batin
Aze nelangsa.
Elmo tepat berada di
depannya. Duduk dengan nyaman dan angkuh bak raja diraja di atas sofa empuk
yang tepat menghadap ke pintu masuk. Dua jari pada tangannya yang tak retak
mengapit rokok yang mengepulkan asap beracun. Keamanan terjaga atas dasar
spekulasi guru-guru tidak akan memasuki gang ini kalau tidak perlu-perlu amat.
Di kanan-kirinya duduk sepasang anak BKS bengal berambut kribo yang sekilas
terlihat mirip satu sama lain. Dua-duanya sering terlihat bersama Elmo. Mereka
terlihat seperti dayang Elmo, mengipasinya dengan buku tulis.
Melihat Aze, Elmo
menegakkan punggung yang asalnya selonjoran nikmat.
“Kamu teh, namanya Aze, ya?”
Aze terdiam. Terpikir
untuk menolak tanpa harus memalsukan namanya.
“Bukan, Kang. Nama saya
Kalyana Kirana...” Aze menunjuk nama yang tersulam di badge kemejanya. Memang itu nama aslinya.
“Hah? Mana, liat? Sini,
mendekat!”
E.
Aze maju dengan
terpatah-patah. Aze menyaksikan beberapa anak BKS lain—hampir semua dengan
sepuntung rokok tengah menatapnya dengan mata yang siap mengeksekusi.
“Dari Kalyana Kirana,
gimana ceritanya bisa jadi Aze?” salah seorang anak BKS bertampang filsuf dan
biasanya Aze lihat selalu berjalan dalam keadaan madesu, bertanya.
“Nama aku Kalyana Kirana,”
Aze menegaskan.
Aze merasakan wajah
ganteng Elmo tengah mengamati wajahnya. Aww,
coba aku pake bedak hari ini...
“Bukannya kadal?”
Eugh. Yang waktu itu...
“Hei, madep sini kamu!”
perkataan Elmo menyentaknya.
Aze menurut dengan sigap.
“Kenapa waktu itu kamu
kabur?”
Aih, pertanyaan itu...
lagi.
“Kamu sadar kamu udah
berbuat kesalahan?”
Aze sadar ruangan itu kini
jadi sepi. Semua orang memandangi. Hei, ke mana keriuhan yang tadi mengisi?
“Ng...sebetulnya saya mau
minta maaf...cuman, saya belum siap.”
Aze mengusahakan mimiknya
terlihat seinosen mungkin. Meski itu tidak mungkin. Yang bisa ia lakukan hanya
berlagak seperti orang imbesil.
“Jangan manja kayak gitu
kamu ngomongnya...”seorang cewek BKS menukas judes.
Suasana semacam MOS
kembali kental terasa.
“Kalau Akang mau minta
ganti rugi, saya akan usahakan gantinya,” kata Aze lagi dengan tampang muram.
“Mau ganti rugi dengan apa
kamu? Kamu bawa apa?” Salah seorang anggota BKS nyeletuk dengan nada yang tidak
berperikemanusiaan. Aze berusaha keras membuat wajahnya tidak kelihatan
ketakutan.
“...dengan ... apa ya...?”
jawab Aze bingung. Tidak tahu lagi mau ngomong apa.
“Apa aja?” Elmo
menghembuskan asap tepat ke muka Aze, membuat Aze memalingkan kepalanya dan
terbatuk-batuk.
“Semuanya?” tanya Elmo
lagi, agak terkekeh.
“Semuanya?” ulang Aze
tidak yakin. “Semuanya... apa?”
“Kenapa kamu malah balik
nanya, hah?! Tadi emangnya kamu bilang apa?!” Elmo malah ngamuk, nyaris
menendang Aze, untung masih sempet ngehindar. Aze ngos-ngosan hebat.
Yang lain ikut meramaikan.
“Iya, heeuuu, bisa nggak
sih konsisten?”
“Konsisten! Konsisten!”
“BKS! Kita apain dia...??”
Elmo berteriak lagi.
Anak-anak BKS terdiam
meskipun tampang mereka tidak mengindikasikan adanya kegiatan berpikir ilmiah.
Tiba-tiba muncul sebuah suara.
“Gampar! Gampar!”
“HAH?!”
Pintu di belakang Aze
dibanting hingga tertutup rapat. Dengan tawa yang meledak seperti ini tidak ada
seorangpun yang akan menyadari adanya anak malang yang terjebak di sini!
Tinju-tinju itu
menyerbunya, bagai loncatan elektron yang ditarik atom positif berkekuatan
ekstrim. Lalu mengalir bagai ..bagai... fluida cair. Aze lupa rumusnya. Aduh,
mana kudu belajar aerodinamika lagi.
Aze memandangi pipa
berbentuk aneh yang terlukis di atas papan tulis, yang dikelilingi paduan kata
dan huruf kecil-kecil yang tidak mampu ia pahami meski sudah ratusan kali
melihatnya.
Adegan di mana ia
menegakkan kepala yang sedari tadi terpekur di meja, disambut oleh senyum
mematikan guru Fisikanya.
“Enak, Nak, tidurnya?”
Aze menjawab dengan
tampang pucat tak dibuat-buat.
“Nggak, Bu.” Ia
menggeleng.
Bu guru Fisika itu
menghela nafas. Muncul ekspresi sok penuh kebijakan dan pengertian pada air
mukanya.
“Ibu mengerti kok. Kalian
mesti ngejar banyak materi buat ulum, itu pasti bikin kalian capek ngikutin.
Apalagi Fisika, wuuu... susah ngertinya. Kecapean kamu, Neng, kebanyakan
belajar? Asal kamu udah ngejar materi ini di rumah dan ngerti ya sok atuh nggak
papa, Neng, tidur lagi. Kalau begitu ibu nggak usah khawatir lagi Neng
kelabakan di ulum. Ibu ngerti...”
“Ibu nyindir, ya?” ujar
Aze dalam benaknya.
Aze menggeleng. “Nggak,
Bu. Nggak bakal.”
Aze yakin sampai jam
terakhir ia takkan tertidur lagi. Ia takut mimpinya berlanjut. Ia takut
mengalami trauma psikis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar