Rabu, 06 Februari 2008

Mati Aja Deh!

1

Rehat sejenak. Anak-anak kelas 3 sedang masa-masanya ujian praktek. Guru-guru tidak optimal mengajar. Beberapa kelas yang gurunya tidak ada bebas hura-hura mau ke mana saja. Padahal sebentar lagi mereka juga bakal kena ulangan umum. Yang bisa Aze lakukan sambil menunggu saat itu tiba adalah menikmati hawa sejuk Bandung yang agak mendung. Ah... Bandung... Kota para kembang yang tersebar di Saritem, Savoy, Taman Lalu Lalang...

Sejak pagi ia duduk-duduk di kantin dengan beberapa teman sekelasnya, ngomongin cowok paling ganteng di kelas. Atau guru-guru yang punya kualitas untuk masuk MURI. Atau apa saja tentang dunia yang enak diomongin. Suasana aman nan nyaman itu terburai saat gerombolan anak tipe aktualisasi memasuki kawasan kantin dan menggelar perkakas mereka. Argh, silau. Kantin mulai rame. Semakin banyak diisi orang-orang, termasuk anak-anak dari SMA sebelah padahal mereka sudah punya kantin sendiri. Oh, maklum saja, sepertinya ini sudah masuk jam istirahat. Aze merasa ia tidak bisa tahan lebih lama lagi di tempat ini. Aze harus menyepi. Terlalu banyak orang. Sesak... sesak...

Dengan muka BT, Aze dan pengikutnya keluar dari areal kantin. Panas terik mulai menerpa. Matahari bersama orang-orang ceria yang ingin segera tebar pesona. Di kejauhan ia melihat beberapa anak kelas 3 dengan name tag besar di dada dan lembaran kertas terlipat di tangan membuat kelompok-kelompok. Mungkin mereka sedang mempersiapkan diri untuk giliran praktikum selanjutnya. Tahun depan juga ia akan mengalami hal yang seperti itu. Aze belum mau memikirkannya. Persiapan buat ulum besok saja nihil. Ah... sekolah... setiap pemandangan yang tertangakap matanya, di penjuru mana saja, selalu bikin iritasi. Kenapa, ya? Kenapa? Realita bahwa dirinya agak asosial tidak begitu memuaskan.

Baru saja sampai di perbatasan terdengar gemuruh langkah kaki segerombolan anak yang tergabung dalam komunitas yang membuat Aze tambah teriritasi. Gerombolan anak BKS, dengan jaket hitam dan lambang sayap merah besar di punggung yang bikin jantung berdentam serasa dipukul alu. Mereka menyerbu dari belakang. Satu orang yang terdepan merentangkan tangannya, berputar-putar, menari.

Seseorang berkomentar dengan suara keras, “Weeeyy.... ngewaaa..[1].”

Disusul seseorang berhelm berlari lurus dan cepat dengan dua tangan terkepal di depan, seakan-akan sedang mengendarai motor.

“Ngennngg...” Dilengkapi dengan suara sejernih Dolby Surround Stereo.

Cowok yang menari berjalan oleng ke sana kemari, seakan tidak menyadari bahwa gerakannya itu akan menghalangi laju lurus cowok berhelm di belakangnya. Dan terjadilah. Cowok berhelm itu mencoba menghindar dari cowok menari yang bergerak tak keruan yang menghalanginya. Ia menikung dengan cepat lalu menabrakkan diri di semak-semak pinggir bagai Aang si Avatar yang menabrak batu dalam opening serial Avatar: The Last Airbender. Teman-temannya tertawa membahana karena kelakuan konyol cowok yang sengaja mencelakakan dirinya itu. Orang-orang di sekitar tersenyum-senyum saja melihat kejadian yang terjadi bagai kilat menghantam bumi tersebut. Meski Aze pikir itu konyol, tapi ia mengikuti teman-temannya yang memperlambat jalannya untuk mengetahui apa yang akan terjadi setelahnya.

Cowok berhelm celaka itu kini sudah berdiri dan membersihkan dirinya. Teman-temannya berteriak gaduh, “Aaaaahhh... TIIS! TIIS![2]

Aze langsung melotot begitu melihat salah satu di antara mereka itu terdapat dia, cowok yang jatuh ke sawah. Dia tidak ikut berteriak. Ia berada paling belakang, hanya ikut tertawa, pembalut leher dan tangannya yang putih cemerlang itu memantulkan cahaya mentari yang membuatnya begitu bersinar dan membuat siapa saja silau melihatnya.

“Huuh, pake deterjen apa sih?” dengus Aze yang sejak melihat Elmo merasakan ketidaknyamanan dan ketidakamanan. Ia meminta teman-temannya untuk mempercepat langkahnya.

Di dalam koridor yang gelap, jalan menuju kelasnya, di mana semua benda tampak berwarna hijau dan ungu, Aze mendapatkan ilham yang meresahkan. Jangan-jangan tadi itu merupakan sebuah adegan yang sudah dirancang sebelumnya. Sebuah skenario penuh maksud telah dipresentasikan sedemikian rupa untuk secara tidak langsung menempelkan kartu merah di jidatnya. Ya, adegan itu adalah ilustrasi dari insiden yang terjadi pada hari itu, hari pertama masuk sekolah setelah libur UN...

Ugh, bodoh. Kenapa baru sadar sekarang? Kalau tidak melihat Elmo mungkin dia tidak akan sadar kalau itu adalah sindiran telak buat dirinya.

Aze terpuruk dalam aura gelap lembah hitam. Kalau dalam komik mungkin dia sudah dikelilingi garis-garis vertikal.

 

2

Kini kegiatan bermalas-malasan yang rutin dilakukan tiga kali seminggu di rumah tidak bisa dilakoni Aze dengan tenang. Selalu saja ia teringat akan tingkah laku anak-anak BKS akhir-akhir ini. Padahal Aze bisa dimasukkan ke dalam golongan anak yang tidak memiliki kepekaan sosial tinggi. Ya, anak-anak BKS itu kalau menyadari Aze lewat kerap mengucapkan kata ‘tiis’ dalam volume dan intonasi yang bervariasi. Akibatnya Aze jadi sering menghindari pulang lewat gerbang samping belakang sekolah karena tepat di depannya anak-anak BKS biasa nongkrong. Aze merasa tidak aman kalau jajan di kantin. Ia jadi lebih sering di kelas. Makin asosial saja dia.

Pernah juga Aze mendengar ada yang nyeletuk, “Pinjem tangannya dong, buat ngebuletin LJK.”

Mau tak mau itu membuat pikiran Aze melayang pada cowok yang menghantui pikirannya, yang menurut temannya punya nama Elmo. Ah iya, bocah itu, gimana dia ngisi lembar jawaban ujian praktek yah? Dia bisa nggak ya nulis pake tangan yang satunya lagi? Trus, entar lagi kan dia UAS juga tuh, gimana dia ngebuletin LJK-nya ya? Kalau ngiteminya keluar dari lubang kan bisa fatal tuh. Belum dia ngotretnya gimana ya? Yang pasti pertanyaan-pertanyaan ini membuat Aze tambah merasa berdosa. Tapi, benarkah dia yang bersalah? Apa kalau dia tidak ada di TKP Elmo bakal tetep celaka? Aze merasa frustasi menjadi orang yang dikaruniai pikiran kritis yang banyak bacot dan bertanya.

Untung saja kecelakannya terjadi ketika UN sudah usai. Tapi, kalau dia nilai ujian praktek ma UAS-nya jelek karena nggak bisa ngisi LJK, itu bakal ngaruh ke kelulusannya nggak yah? Tapi masak sih ada anak SMAN Bilatung yang nggak lulus SMA karena nilai UAS-nya (kalau ujian praktek yang dinilai kan nggak hanya semata jawaban di LJK)? Itu bakal bikin aib banget buat pihak SMAN Bilatung. Mungkin nggak yah nilainya dikatrol?

Kalau Elmo nggak lulus SMA, itu pasti bakal sangat mempengaruhi masa depannya. Kalau Elmo anak pertama, ia bakal menjadi tulang punggung keluarga. Gimana ya kalau ternyata adiknya banyak banget dan orangtuanya udah tua renta. Ah, tapi si Elmo itu keliatannya anak orang kaya kok. Apalagi orang kaya temperamen, bisa-bisa mereka nuntut haknya, minta pertanggungjawaban sama yang bikin anak mereka celaka. Atau, bisa-bisa mereka lapor sama sekolah. Oh iya, pembina BKS kan guru senior berkumis baplang yang kabarnya super galak itu! Gimana kalau dia yang maju untuk minta pertanggungjawaban atas cedera yang dialami anak asuhnya? Itu kan bisa mengganggu kinerja anggota. Tapi Elmo kan udah mau lulus masak masih aktif di BKS sih? Paling juga ngurus junior atau apalah.

Jadi, apa yang harus aku lakukan? Membayar ganti rugi pengobatan cowok itukah? Emangnya aku punya uang? Emangnya orangtuaku punya uang? Yang paling penting itu sih sebetulnya minta maaf dulu tapi emangnya aku punya nyali buat minta maaf? Lagipula, minta maaf? Ke mana? Ke rumahnya langsung? Di sekolahnya aja, dia masih belum selesai urusannya di sekolah kan? Tapi dia di kelas mana? Atau langsung ke tempat nongkrongnya? Hah? Di bimbel? Ya, Aze jarang melihat Elmo nongkrong di tempat seperti itu. Anak BKS kelas 3 kalau tidak nongkrong di tempat yang tidak jelas ya pasti di bimbel. Bimbel apa? Jalan apa? Berapa ongkos ke sana? Atau langsung ke markas BKS? Mungkin dia lagi belajar di situ dengan sesama anak BKS yang lain? Ah, masak iya?

Pikiran seperti ini dan semacamnya menghantui Aze dari hari ke hari. Terus dan terus membentuk lingkaran, kembali lagi ke awal, lalu bergerak mencari lagi hingga sampai ke satu titik di mana dia tidak memikirkan apa-apa lagi alias ketiduran.

 

3

Markas BKS terletak di pojok gang yang ada di samping sekolah. Dekat WC cowok yang katanya dihuni hantu nenek bertongkat ular. Aze mengetahui hal tersebut dari temannya yang ikut ekskul PATIN alias Pembuka Mata Batin alias ekskul bela diri yang menggunakan tenaga dalam. Diusahakan rahasia ini tidak tersebar karena kalau anak-anak BKS tau entah apa yang akan terjadi. Wallahu alam. Aze merasa prihatin dengan anak-anak BKS yang polos-polos itu.

Untuk ruangan sebuah organisasi sekolah, markas BKS bisa dibilang cukup luas. Lebih luas dari ruangan OSIS. Jarang dijamah guru pula. Sebagian dindingnya berdempet sofa empuk berwarna merah hati. Kalau Aze hendak ke ruangan ekskul PA alias Pecinta Angklung-nya, Aze mesti lewat situ. Kadang ia melihat sekilas ke dalam. Ruangan itu kerap terlihat berantakan. Kertas, buku, ransel, puntung rokok, asbak, dan barang-barang lain berserakan. Kalau Aze pulang kesorean, ia bisa melihat pintu ruangan itu terbuka lebar. Kalau sekilas melihat ke dalam akan tampak anak-anak BKS duduk nyaman di sofa, merokok, dan membuat kegaduhan di antara mereka sendiri.

Dulu sih begitu. Masih bisa untuk melihat sekilas ke dalam ruangan itu dengan aman tanpa harus mendatangkan malapetaka. Tapi kini? Aze tengah iseng mau main ke ruang PA karena tidak ada kerjaan di kelas. Jam segini biasanya markas BKS sepi karena KBM. Tapi sekarang kan anak kelas 3 lagi pada ujian praktek dan KBM jadi tak teratur. Karena pintu ujung satunya untuk memasuki gang ini ramai oleh orang-orang yang tidak paham kenapa nongkrong di ambang pintu bisa bikin jodoh jadi jauh, Aze harus masuk lewat pintu gang satunya lagi untuk bisa mencapai ruang tersebut.

Dan bagusnya, karena KBM tidak teratur, karena tidak semua anak kelas 3 dapet giliran ujian praktek pada waktu yang sama, karena anak-anak BKS punya rasa solidaritas yang cukup tinggi, mereka semua kumpul di markas. Pintu terbuka lebar sehingga siapa saja yang lewat bisa diketahui kalau jalannya tidak cepat-cepat. Bisa diteriaki juga kalau anak tersebut punya salah sama salah satu anak BKS.

Karena, pas Aze lewat, riuh suara dari markas BKS meneriakinya. Feeling Aze yang tumpul akan antisipasi bahaya di masa depan membuat gadis itu jalannya sedari tadi santai-santai aja. Begitu serangan menerjang mendadak kedua kakinya tak bisa digerakkan lagi, seakan menyatu dengan lantai.

Aze harus mengeluarkan usaha yang cukup keras agar kedua kakinya bisa menapak di ambang pintu markas BKS. Ia merasakan tangannya jadi dingin. Tatapan anggota BKS yang cewek terlihat lebih garang daripada yang cowok, entah kenapa. Mungkin karena Aze tahu kalau cewek lebih judes daripada cowok. Ia berusaha pula agar tidak muntah. Bau rokok semerbak ke mana-mana. Namun ia tahu ia takkan bisa lari. Risiko terkena kanker, impotensi, gangguan janin dan kehamilan pun mesti diabaikan.

Hyaa... deg-degan.

Oh, jadi begini rasanya jadi teroris yang kesasar di markas polisi, hanya aja aku nggak punya banyak alternatif nama..,batin Aze nelangsa.

Elmo tepat berada di depannya. Duduk dengan nyaman dan angkuh bak raja diraja di atas sofa empuk yang tepat menghadap ke pintu masuk. Dua jari pada tangannya yang tak retak mengapit rokok yang mengepulkan asap beracun. Keamanan terjaga atas dasar spekulasi guru-guru tidak akan memasuki gang ini kalau tidak perlu-perlu amat. Di kanan-kirinya duduk sepasang anak BKS bengal berambut kribo yang sekilas terlihat mirip satu sama lain. Dua-duanya sering terlihat bersama Elmo. Mereka terlihat seperti dayang Elmo, mengipasinya dengan buku tulis.

Melihat Aze, Elmo menegakkan punggung yang asalnya selonjoran nikmat.

“Kamu teh, namanya Aze, ya?”

Aze terdiam. Terpikir untuk menolak tanpa harus memalsukan namanya.

“Bukan, Kang. Nama saya Kalyana Kirana...” Aze menunjuk nama yang tersulam di badge ­kemejanya. Memang itu nama aslinya.

“Hah? Mana, liat? Sini, mendekat!”

E.

Aze maju dengan terpatah-patah. Aze menyaksikan beberapa anak BKS lain—hampir semua dengan sepuntung rokok tengah menatapnya dengan mata yang siap mengeksekusi.

“Dari Kalyana Kirana, gimana ceritanya bisa jadi Aze?” salah seorang anak BKS bertampang filsuf dan biasanya Aze lihat selalu berjalan dalam keadaan madesu, bertanya.

“Nama aku Kalyana Kirana,” Aze menegaskan.

Aze merasakan wajah ganteng Elmo tengah mengamati wajahnya. Aww, coba aku pake bedak hari ini...

“Bukannya kadal?”

Eugh. Yang waktu itu...

“Hei, madep sini kamu!” perkataan Elmo menyentaknya.

Aze menurut dengan sigap.

“Kenapa waktu itu kamu kabur?”

Aih, pertanyaan itu... lagi.

“Kamu sadar kamu udah berbuat kesalahan?”

Aze sadar ruangan itu kini jadi sepi. Semua orang memandangi. Hei, ke mana keriuhan yang tadi mengisi?           

“Ng...sebetulnya saya mau minta maaf...cuman, saya belum siap.”

Aze mengusahakan mimiknya terlihat seinosen mungkin. Meski itu tidak mungkin. Yang bisa ia lakukan hanya berlagak seperti orang imbesil.

“Jangan manja kayak gitu kamu ngomongnya...”seorang cewek BKS menukas judes.

Suasana semacam MOS kembali kental terasa.

“Kalau Akang mau minta ganti rugi, saya akan usahakan gantinya,” kata Aze lagi dengan tampang muram.

“Mau ganti rugi dengan apa kamu? Kamu bawa apa?” Salah seorang anggota BKS nyeletuk dengan nada yang tidak berperikemanusiaan. Aze berusaha keras membuat wajahnya tidak kelihatan ketakutan.

“...dengan ... apa ya...?” jawab Aze bingung. Tidak tahu lagi mau ngomong apa.

“Apa aja?” Elmo menghembuskan asap tepat ke muka Aze, membuat Aze memalingkan kepalanya dan terbatuk-batuk.

“Semuanya?” tanya Elmo lagi, agak terkekeh.

“Semuanya?” ulang Aze tidak  yakin. “Semuanya... apa?”

“Kenapa kamu malah balik nanya, hah?! Tadi emangnya kamu bilang apa?!” Elmo malah ngamuk, nyaris menendang Aze, untung masih sempet ngehindar. Aze ngos-ngosan hebat.

Yang lain ikut meramaikan.

“Iya, heeuuu, bisa nggak sih konsisten?”

“Konsisten! Konsisten!”

“BKS! Kita apain dia...??” Elmo berteriak lagi.

Anak-anak BKS terdiam meskipun tampang mereka tidak mengindikasikan adanya kegiatan berpikir ilmiah. Tiba-tiba muncul sebuah suara.

“Gampar! Gampar!”

“HAH?!”

Pintu di belakang Aze dibanting hingga tertutup rapat. Dengan tawa yang meledak seperti ini tidak ada seorangpun yang akan menyadari adanya anak malang yang terjebak di sini!

Tinju-tinju itu menyerbunya, bagai loncatan elektron yang ditarik atom positif berkekuatan ekstrim. Lalu mengalir bagai ..bagai... fluida cair. Aze lupa rumusnya. Aduh, mana kudu belajar aerodinamika lagi.

Aze memandangi pipa berbentuk aneh yang terlukis di atas papan tulis, yang dikelilingi paduan kata dan huruf kecil-kecil yang tidak mampu ia pahami meski sudah ratusan kali melihatnya.

Adegan di mana ia menegakkan kepala yang sedari tadi terpekur di meja, disambut oleh senyum mematikan guru Fisikanya.

“Enak, Nak, tidurnya?”

Aze menjawab dengan tampang pucat tak dibuat-buat.

“Nggak, Bu.” Ia menggeleng.

Bu guru Fisika itu menghela nafas. Muncul ekspresi sok penuh kebijakan dan pengertian pada air mukanya.

“Ibu mengerti kok. Kalian mesti ngejar banyak materi buat ulum, itu pasti bikin kalian capek ngikutin. Apalagi Fisika, wuuu... susah ngertinya. Kecapean kamu, Neng, kebanyakan belajar? Asal kamu udah ngejar materi ini di rumah dan ngerti ya sok atuh nggak papa, Neng, tidur lagi. Kalau begitu ibu nggak usah khawatir lagi Neng kelabakan di ulum. Ibu ngerti...”

“Ibu nyindir, ya?” ujar Aze dalam benaknya.

Aze menggeleng. “Nggak, Bu. Nggak bakal.”

Aze yakin sampai jam terakhir ia takkan tertidur lagi. Ia takut mimpinya berlanjut. Ia takut mengalami trauma psikis.



[1] Pernyataan perasaan tidak suka. Arti harfiah : Benci

[2] Dingin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain