1
Insiden yang terjadi beberapa
hari yang lalu mengondisikan Elmo untuk mulai menjajaki proses pengenalan dan
pengakraban dengan suatu mesin penghasil emisi bernama Angkot. Kenapa harus
Angkot? Ya iyalah. Dengan sebelah tangan digips tak mungkin ia mengendalikan
motor atau mobil. Ia terlalu tengsin untuk minta diantar jemput. Elmo harus
belajar merakyat, mandiri, dan merasakan pahit getirnya kehidupan dengan
menumpang angkot. Suatu proses menuju kedewasaan dan mengasah kecakapan hidup.
Tai kebo.
Untuk menuju ke tempat bimbel
semi-pivatnya Elmo harus naik dua kali angkot yang menghabiskan ongkos yang
kalau Elmo hitung-hitung bisa untuk membeli 3 batang pensil 2B di koperasi
sekolah. Pensil 2B untuk persiapan SPMB. SPMB dihitung-hitung tinggal lebih
kurang 2 ½ bulan lagi. Masih ada beberapa materi yang butuh penguatan. Materi apa yah? Sambil berkontemplasi Elmo
menaiki angkot merah manyala yang sedari tadi ngetem sejak dia jalan dari
belokan di ujung belakang.
“Anjis...,” gumamnya begitu
melihat dengan siapa dia berhadapan di dalam angkot.
Anjis merupakan plesetan dari
kata “anjing” yang biasa digunakan sebagai umpatan. Anjing masuk ke dalam filum
chordata; mamalia; menyusui seperti kucing; lucu, setia, sahabat manusia, tapi
gudangnya penyakit. Ilmu untuk mempelajari hewan namanya Zoologi. Zoologi
merupakan salah satu cabang dari ilmu Biologi. Uh, yeah.
Elmo sempat menangkap ekspresi
ketakutan di wajah makhluk tak rupawan, bertubuh pendek, berpotongan rambut
tanpa selera, dan bikin celaka itu sebelum memalingkan muka ke arah jalanan. Ia
bersumpah demi langit dan bumi tidak akan menoleh ke hadapannya hingga cewek
itu turun. Males banget. Meskipun oleh sahabatnya, Trista sang novelis, di
sekolah tadi ia disuruh memahami hakikat Aze sebagai tersangka utama.
“Dia kan nggak tau bakal ada motor kamu lewat
situ. Mungkin dia kira jalan itu nggak ada yang melalui selain dia seorang.”
Trista mencoba menyelami kasus itu secara objektif.
“Tapi buktinya begitu ngeliat gue celaka, dia
langsung kabur. Anak seperti itu apa namanya? Kita kan sama-sama satu sekolah,
mana rasa tolong menolong antara kakak dan adik kelas?”
“Ohh... jadi kamu pinginnya ditolong sama
dia...?”
“Nggak juga sih. Nggak ada untungnya ditolong ma
dia. Pokoknya gue sebel ma dia. Liat mukanya aja udah sebel.”
Elmo berusaha menahan ombak
amarah yang menghantam karang kesabaran. Amarahnya muncul karena ia ingat
kepayahannya dalam mengisi lembar jawab ujian praktek dan bagaimana pula nanti
UAS? SPMB? Gimana ia bisa menjawab soal kalau tangan yang biasa dipakai tidak
berfungsi begini?
Dari sudut matanya Elmo
mengetahui cewek itu tengah melihat ke arah lain juga. Argh, udahlah! Ayo, angkot, cepat jalannya...
Setelah mengisi setengah penuh
kapasitas penumpang dan tangki kemarahan Elmo, angkot itu berjalan juga
akhirnya.
Brmmm... Brmmm...
Tak lama berjalan angkot itu
berhenti untuk memasukkan beberapa orang pemuda dengan warna muka yang variatif
antara masing-masing individu.
Elmo larut dalam usaha
menemukan pembuktian kenapa sin x = 6n
2
Aze memerhatikan bagaimana
keenam pemuda yang datang dalam waktu bersamaan itu memilih tempat duduk yang
tidak saling berdempetan antara satu sama lain alias mencar. Ada yang bawa
ransel kosong di pangkuan. Beberapa duduk dekat jendela. Hm. Aze yang sudah
cukup banyak makan asam garam dunia kepenumpangangkotan dan memiliki insting
yang sudah terasah, merasakan adanya gelagat tidak baik dari para penumpang
baru itu. Terutama yang duduk di sebelah kakak kelasnya; anak kelas 3 ganteng
bernasib malang. Biarpun naik angkot, cowok itu tidak memancarkan aura
bersahaja. Meski tasnya dipangku tapi sama sekali tidak tersirat adanya perlindungan
akan tas itu. Aze merasa kalau ia dan cowok itu tidak berada dalam hubungan
yang dibumbui konflik, Aze bisa melatihnya menjadi penumpang angkot yang kebal
pencopet.
Konflik batin pun terjadi.
Meski Aze bukan tipe cewek yang gemar menyebrangkan nenek di jalan, pertemuan
dengan komplotan pencopet yang sudah-sudah di angkot menyadarkan bahwa suatu
peristiwa-naas-yang-akan-berlangsung-kalau-tidak-ditindak ini harus segera
dicegah. Aze tidak mengetahui dari mana datangnya kesadaran untuk menjadi warga
negara yang baik ini karena nilai PPKn-nya waktu SD biasa-biasa saja.
Masalahnya, cowok itu kan sudah berbuat jahat sama dia. Setidaknya cowok itulah
yang telah memberikan tekanan psikis tak terduga sekaligus tak menyenangkan padanya
akhir-akhir ini padahal sedang tidak MOS. Tapi kalau Aze tidak membuatnya
celaka mungkin dia juga tidak akan begitu. Ah,
nggak ah. Ini bukan salah aku. Coba kalau cowok itu nggak ngebut.
Objektivitas dan subjektivitas
bertarung. Mana yang akan menang? Pertarungan itu makin menjadi-jadi karena
keyakinan bahwa orang-orang yang baru masuk tadi mencurigakan semua makin kuat.
Apalagi ketika Aze secara tak sengaja menangkap dari bahasa tubuhnya bahwa
salah satu pencopet akan segera mengeksekusi objek penderita. Objek penderita
yang ada di depannya. Haruskah ia mengelakkan panggilan untuk memberantas
kriminalitas hanya karena sang korban adalah orang yang tidak ia sukai
(meskipun ganteng)?
3
“Kang...”
Elmo mengetahui bahwa ada
seseorang yang tidak mengetahui namanya mencoba memanggil namanya dengan
embel-embel ‘kang’.
Dan mencoba menggapai salah
satu anggota tubuhnya.
“AAARRGGGHHH!!!”
Sayang, kurang perhitungan akan
besar energi yang dikeluarkan. Para penumpang yang sedang nikmat-nikmatnya
meresapi eksotisnya perjalanan-ke-suatu-tempat-dengan-menggunakan-angkot
terkaget bin terkejut dengan teriakan seorang pemuda.
“...tulangku...aduh... kamu...
kamu...”
Elmo sempat menangkap ekspresi
bersalah dari cewek yang ada di hadapannya.
“Mau apa si lo?” sentak Elmo
kasar.
Dengan tabah cewek itu
menjawab. “Main sambung kata yuk.”
4
Pencopet di sebelah Elmo
cepat-cepat mengamankan tangannya yang tadi gerayangan. Aze senang dengan
kenyataan itu. Tapi ia tetap tidak boleh lengah. Pertolongan Pertama pada
Korban Pencopetan tetap harus dituntaskan. Karena dalam sekejap para penumpang
yang lain mulai kembali dalam keadaan adem ayem, kesempatan yang bisa dimanfaatkan
oleh para pencopet.
.
Kali ini cewek itu berani
menoel lututnya. Bikin senewen banget. Tidak boleh. Elmo sudah berjanji demi
langit dan bumi. Udah jelek, kegenitan
lagi. Elmo menyusun rencana untuk melakukan hal yang lebih kejam lagi pada
cewek ini. Tentu saja eksekusi tidak akan dilaksanakan dalam angkot.
“Kang, maen sambung kata, yuk.
Itu kan bagus buat mengasah intelektualitas kita...” Cewek itu menebarkan aura saya-anak-SMAN-Bilatung-Bandung-yang-intelek-lho
ke seluruh penjuru angkot. (Kemungkinan) lupa akan sumpahnya yang tadi, Elmo
menatap Aze garang dan tajam. Dengan perasaan benci yang mendalam. Dalam
kebisuan yang mematikan. Tatapan mata ala anak Badan Kemanan Sekolah ini akan
sempurna apabila didudukung dengan kedua lengan terlipat atau satu tangan di
pinggang. Sayangnya lengan Elmo yang satu lagi tak bisa digerakkan. Mau
berkacak pinggang juga tak memungkinkan karena di dalam angkot sempit.
“Ogah.” Elmo memalingkan
kepalanya lagi.
“Iiihh... nggak mau berarti
nggak bisa, yaa..”
“Apa sih!?.”
“Kata pertamanya dari aku, ya!”
Elmo mengeluarkan nada dan
ekspresi sungguh-sungguh meminta pada cewek itu agar tidak mengusiknya lagi.
Lalu kembali memalingkan kepala.
“Sih.... sih... Sihlakan...,”
kata cewek itu. Melihat Elmo masih dengan muka BT, cewek itu menoel lutut Elmo
lagi.
“Kang, bales dong. Ayo, bales!”
Kalo lo minta gue bales nyelakain lo pake motor
lagi sih gue oke, batin Elmo.
“Kang...!”
Elmo berusaha tidak memedulikan
tatapan aku-tuh-lagi-berusaha-nyelamatin-harta-kamu-tau yang gencar diberikan
cewek itu. Elmo tidak peduli resleting tasnya mulai sedikit demi sedikit terbuka akibat usaha dari orang yang duduk di
sebelahnya.
“Pengecut, dasar,” gerutu cewek
itu pelan. Tapi masih dapat ditangkap gendang telinga Elmo dan menyentuh
impulsnya, menggerakan saraf motorik yang menghasilkan ekspresi tertegun lalu
terhina yang khas.
“Kantor!”
Mata Elmo menembakkan kata,
“Puas? Puas?” yang disertai usaha sebesar mungkin agar tidak mirip Tukul.
.
Yes. Elmo akhirnya mau juga diajak berkonspirasi.
Huhuhu. Sekarang Aze berusaha agar ia
bisa mengeluarkan kata dengan suku terakhir ‘co’, dengan harapan Elmo
membalasnya dengan kata ‘copet’. Tidak terlintas dalam benak Aze cara yang
lebih mudah untuk menyelamatkan kakak kelasnya dari pencopet.
“Torco!”
“Apaan tuh?” tanya cowok itu
bingung.
“Torco...,” ujar Aze tak
sabaran. “Udah, cepet, bales aja...”
“Adanya juga torsi. Di Fisika...”
“Aaah... nggak mau! Pokoknya
torco!”
Cowok itu berpikir bentar.
“Combro.”
YAH! Aze panik. Ia harus dengan
tepat memperhitungkan waktu yang dipakai buat main ini dengan waktu yang
digunakan si pencopet untuk dapat memasuki dan menjelajahi bagian depan tas
Elmo.
“Aduh, jangan combro dong! Kata
yang lainnya kek!”
“Contoh? Cokelat? Cobaan?”
orang di sebelah Aze mencoba membantu.
“BUKAN.”
Cowok itu memasang muka sebal.
“Banyak maunya ih! Udah diladenin juga. Main ma yang lain aja sana.”
“Ah! Ya udah deh! Brosur!”
“Surya.”
Aze mendapat ilham. Kalau cowok
itu menjawab dengan kata ‘suryakanta’, ia bisa membalasnya dengan kata ‘tauco’,
dan muncul peluang satu banding sekian cowok itu untuk melanjutkannya dengan
kata ‘copet’.
“Gimana kalau ‘suryakanta’ aja,
Kang?”
Cowok itu menjawab dengan nada
tidak senang. “Nggak ah. Elmo maunya ‘surya’ aja.”
Ternyata benar namanya Elmo,
catat Aze dalam ketergesaan. Sempat Aze mencuri pandang ke name tag di dada kanan seragam Elmo, tertulis Erlangga Mochammad. Nggak
nyambung sama Elmo. Eh, tapi bisa juga sih. Lebih nggak nyambung namanya
sendiri, ia bahkan jadi bertanya-tanya, dulu gimana ceritanya ia bisa sampai
dipanggil Aze?
“Aduh... yaaa... yakin!”
“Kintamani.”
“NISTA.”
“Mmm... Tauco?”
“COPET!” Aze menjawab dengan
lantang dan sepenuh hati sambil menunjuk pemuda yang ada di sebelah Elmo. Lalu
terhenyak sendiri. Aze buru-buru mengarahkan telunjuknya pada Elmo yang
menanggapinya dengan ekspresi itu-nggak-sopan-tau, tapi ia tidak melepaskannya
sampai Elmo kembali menjawab. “Eh, salah! Copet, Akang, ayo, PET!”
Elmo terdiam karena berpikir.
“Petruk...”
Seseorang berteriak “KIRI!
KIRI!” dengan keras. Beberapa orang turun seketika, termasuk orang yang tadi
mencoba membantu permainan yang dibuat Aze. Termasuk orang di sebelah Elmo,
yang sebelum keluar dari angkot menyempatkan diri untuk dengan amat sangat
sengaja menyenggol lengan kiri Elmo dengan tanpa perasaan, membuat Elmo tak
mampu menatap dunia untuk beberapa waktu.
Aze memandang kepergian para
pencopet itu dengan senyum penuh kemenangan dan kepuasan. Muncul keinginan
masuk Akademi Kepolisian selulus SMA di benaknya agar bisa menjadi penegak
kebenaran dan keadilan yang lebih kompeten.
Setelah gerombolan pencopet itu
menjauh, seorang ibu mendekat dan berkata, “Tadi itu pencopet ya?”
“Oh, ya?” tanggap Aze dengan
tampang tak percaya yang memuakkan Elmo yang tak sengaja melihatnya. Elmo
menghentikan angkot meski tempat turunnya masih beberapa meter lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar