Rabu, 20 Februari 2008

Adik dan Kakak (Kelas)

1

Insiden yang terjadi beberapa hari yang lalu mengondisikan Elmo untuk mulai menjajaki proses pengenalan dan pengakraban dengan suatu mesin penghasil emisi bernama Angkot. Kenapa harus Angkot? Ya iyalah. Dengan sebelah tangan digips tak mungkin ia mengendalikan motor atau mobil. Ia terlalu tengsin untuk minta diantar jemput. Elmo harus belajar merakyat, mandiri, dan merasakan pahit getirnya kehidupan dengan menumpang angkot. Suatu proses menuju kedewasaan dan mengasah kecakapan hidup.

Tai kebo.

Untuk menuju ke tempat bimbel semi-pivatnya Elmo harus naik dua kali angkot yang menghabiskan ongkos yang kalau Elmo hitung-hitung bisa untuk membeli 3 batang pensil 2B di koperasi sekolah. Pensil 2B untuk persiapan SPMB. SPMB dihitung-hitung tinggal lebih kurang 2 ½ bulan lagi. Masih ada beberapa materi yang butuh penguatan. Materi apa yah? Sambil berkontemplasi Elmo menaiki angkot merah manyala yang sedari tadi ngetem sejak dia jalan dari belokan di ujung belakang.

“Anjis...,” gumamnya begitu melihat dengan siapa dia berhadapan di dalam angkot.

Anjis merupakan plesetan dari kata “anjing” yang biasa digunakan sebagai umpatan. Anjing masuk ke dalam filum chordata; mamalia; menyusui seperti kucing; lucu, setia, sahabat manusia, tapi gudangnya penyakit. Ilmu untuk mempelajari hewan namanya Zoologi. Zoologi merupakan salah satu cabang dari ilmu Biologi. Uh, yeah.

Elmo sempat menangkap ekspresi ketakutan di wajah makhluk tak rupawan, bertubuh pendek, berpotongan rambut tanpa selera, dan bikin celaka itu sebelum memalingkan muka ke arah jalanan. Ia bersumpah demi langit dan bumi tidak akan menoleh ke hadapannya hingga cewek itu turun. Males banget. Meskipun oleh sahabatnya, Trista sang novelis, di sekolah tadi ia disuruh memahami hakikat Aze sebagai tersangka utama.

“Dia kan nggak tau bakal ada motor kamu lewat situ. Mungkin dia kira jalan itu nggak ada yang melalui selain dia seorang.” Trista mencoba menyelami kasus itu secara objektif.

“Tapi buktinya begitu ngeliat gue celaka, dia langsung kabur. Anak seperti itu apa namanya? Kita kan sama-sama satu sekolah, mana rasa tolong menolong antara kakak dan adik kelas?”

“Ohh... jadi kamu pinginnya ditolong sama dia...?”

“Nggak juga sih. Nggak ada untungnya ditolong ma dia. Pokoknya gue sebel ma dia. Liat mukanya aja udah sebel.”

Elmo berusaha menahan ombak amarah yang menghantam karang kesabaran. Amarahnya muncul karena ia ingat kepayahannya dalam mengisi lembar jawab ujian praktek dan bagaimana pula nanti UAS? SPMB? Gimana ia bisa menjawab soal kalau tangan yang biasa dipakai tidak berfungsi begini?

Dari sudut matanya Elmo mengetahui cewek itu tengah melihat ke arah lain juga. Argh, udahlah! Ayo, angkot, cepat jalannya...

Setelah mengisi setengah penuh kapasitas penumpang dan tangki kemarahan Elmo, angkot itu berjalan juga akhirnya.

Brmmm... Brmmm...

Tak lama berjalan angkot itu berhenti untuk memasukkan beberapa orang pemuda dengan warna muka yang variatif antara masing-masing individu.

Elmo larut dalam usaha menemukan pembuktian kenapa sin x = 6n

 

2

Aze memerhatikan bagaimana keenam pemuda yang datang dalam waktu bersamaan itu memilih tempat duduk yang tidak saling berdempetan antara satu sama lain alias mencar. Ada yang bawa ransel kosong di pangkuan. Beberapa duduk dekat jendela. Hm. Aze yang sudah cukup banyak makan asam garam dunia kepenumpangangkotan dan memiliki insting yang sudah terasah, merasakan adanya gelagat tidak baik dari para penumpang baru itu. Terutama yang duduk di sebelah kakak kelasnya; anak kelas 3 ganteng bernasib malang. Biarpun naik angkot, cowok itu tidak memancarkan aura bersahaja. Meski tasnya dipangku tapi sama sekali tidak tersirat adanya perlindungan akan tas itu. Aze merasa kalau ia dan cowok itu tidak berada dalam hubungan yang dibumbui konflik, Aze bisa melatihnya menjadi penumpang angkot yang kebal pencopet.    

Konflik batin pun terjadi. Meski Aze bukan tipe cewek yang gemar menyebrangkan nenek di jalan, pertemuan dengan komplotan pencopet yang sudah-sudah di angkot menyadarkan bahwa suatu peristiwa-naas-yang-akan-berlangsung-kalau-tidak-ditindak ini harus segera dicegah. Aze tidak mengetahui dari mana datangnya kesadaran untuk menjadi warga negara yang baik ini karena nilai PPKn-nya waktu SD biasa-biasa saja. Masalahnya, cowok itu kan sudah berbuat jahat sama dia. Setidaknya cowok itulah yang telah memberikan tekanan psikis tak terduga sekaligus tak menyenangkan padanya akhir-akhir ini padahal sedang tidak MOS. Tapi kalau Aze tidak membuatnya celaka mungkin dia juga tidak akan begitu. Ah, nggak ah. Ini bukan salah aku. Coba kalau cowok itu nggak ngebut.  

Objektivitas dan subjektivitas bertarung. Mana yang akan menang? Pertarungan itu makin menjadi-jadi karena keyakinan bahwa orang-orang yang baru masuk tadi mencurigakan semua makin kuat. Apalagi ketika Aze secara tak sengaja menangkap dari bahasa tubuhnya bahwa salah satu pencopet akan segera mengeksekusi objek penderita. Objek penderita yang ada di depannya. Haruskah ia mengelakkan panggilan untuk memberantas kriminalitas hanya karena sang korban adalah orang yang tidak ia sukai (meskipun ganteng)?

 

3

“Kang...”

Elmo mengetahui bahwa ada seseorang yang tidak mengetahui namanya mencoba memanggil namanya dengan embel-embel ‘kang’.

Dan mencoba menggapai salah satu anggota tubuhnya.

“AAARRGGGHHH!!!”

Sayang, kurang perhitungan akan besar energi yang dikeluarkan. Para penumpang yang sedang nikmat-nikmatnya meresapi eksotisnya perjalanan-ke-suatu-tempat-dengan-menggunakan-angkot terkaget bin terkejut dengan teriakan seorang pemuda.

“...tulangku...aduh... kamu... kamu...”

Elmo sempat menangkap ekspresi bersalah dari cewek yang ada di hadapannya.

“Mau apa si lo?” sentak Elmo kasar.

Dengan tabah cewek itu menjawab. “Main sambung kata yuk.”

 

4

Pencopet di sebelah Elmo cepat-cepat mengamankan tangannya yang tadi gerayangan. Aze senang dengan kenyataan itu. Tapi ia tetap tidak boleh lengah. Pertolongan Pertama pada Korban Pencopetan tetap harus dituntaskan. Karena dalam sekejap para penumpang yang lain mulai kembali dalam keadaan adem ayem, kesempatan yang bisa dimanfaatkan oleh para pencopet.

.

Kali ini cewek itu berani menoel lututnya. Bikin senewen banget. Tidak boleh. Elmo sudah berjanji demi langit dan bumi. Udah jelek, kegenitan lagi. Elmo menyusun rencana untuk melakukan hal yang lebih kejam lagi pada cewek ini. Tentu saja eksekusi tidak akan dilaksanakan dalam angkot.

“Kang, maen sambung kata, yuk. Itu kan bagus buat mengasah intelektualitas kita...” Cewek itu menebarkan aura saya-anak-SMAN-Bilatung-Bandung-yang-intelek-lho ke seluruh penjuru angkot. (Kemungkinan) lupa akan sumpahnya yang tadi, Elmo menatap Aze garang dan tajam. Dengan perasaan benci yang mendalam. Dalam kebisuan yang mematikan. Tatapan mata ala anak Badan Kemanan Sekolah ini akan sempurna apabila didudukung dengan kedua lengan terlipat atau satu tangan di pinggang. Sayangnya lengan Elmo yang satu lagi tak bisa digerakkan. Mau berkacak pinggang juga tak memungkinkan karena di dalam angkot sempit. 

“Ogah.” Elmo memalingkan kepalanya lagi.

“Iiihh... nggak mau berarti nggak bisa, yaa..”

“Apa sih!?.”

“Kata pertamanya dari aku, ya!”

Elmo mengeluarkan nada dan ekspresi sungguh-sungguh meminta pada cewek itu agar tidak mengusiknya lagi. Lalu kembali memalingkan kepala.

“Sih.... sih... Sihlakan...,” kata cewek itu. Melihat Elmo masih dengan muka BT, cewek itu menoel lutut Elmo lagi.

“Kang, bales dong. Ayo, bales!”

Kalo lo minta gue bales nyelakain lo pake motor lagi sih gue oke, batin Elmo.

“Kang...!”

Elmo berusaha tidak memedulikan tatapan aku-tuh-lagi-berusaha-nyelamatin-harta-kamu-tau yang gencar diberikan cewek itu. Elmo tidak peduli resleting tasnya mulai sedikit demi sedikit  terbuka akibat usaha dari orang yang duduk di sebelahnya.

“Pengecut, dasar,” gerutu cewek itu pelan. Tapi masih dapat ditangkap gendang telinga Elmo dan menyentuh impulsnya, menggerakan saraf motorik yang menghasilkan ekspresi tertegun lalu terhina yang khas.

“Kantor!”

Mata Elmo menembakkan kata, “Puas? Puas?” yang disertai usaha sebesar mungkin agar tidak mirip Tukul.

.

Yes. Elmo akhirnya mau juga diajak berkonspirasi. Huhuhu. Sekarang Aze berusaha agar ia bisa mengeluarkan kata dengan suku terakhir ‘co’, dengan harapan Elmo membalasnya dengan kata ‘copet’. Tidak terlintas dalam benak Aze cara yang lebih mudah untuk menyelamatkan kakak kelasnya dari pencopet.

“Torco!”

“Apaan tuh?” tanya cowok itu bingung.

“Torco...,” ujar Aze tak sabaran. “Udah, cepet, bales aja...”

“Adanya juga torsi. Di Fisika...”

“Aaah... nggak mau! Pokoknya torco!”

Cowok itu berpikir bentar. “Combro.”

YAH! Aze panik. Ia harus dengan tepat memperhitungkan waktu yang dipakai buat main ini dengan waktu yang digunakan si pencopet untuk dapat memasuki dan menjelajahi bagian depan tas Elmo.

“Aduh, jangan combro dong! Kata yang lainnya kek!”

“Contoh? Cokelat? Cobaan?” orang di sebelah Aze mencoba membantu.

“BUKAN.”

Cowok itu memasang muka sebal. “Banyak maunya ih! Udah diladenin juga. Main ma yang lain aja sana.”

“Ah! Ya udah deh! Brosur!”

“Surya.”

Aze mendapat ilham. Kalau cowok itu menjawab dengan kata ‘suryakanta’, ia bisa membalasnya dengan kata ‘tauco’, dan muncul peluang satu banding sekian cowok itu untuk melanjutkannya dengan kata ‘copet’.

“Gimana kalau ‘suryakanta’ aja, Kang?”

Cowok itu menjawab dengan nada tidak senang. “Nggak ah. Elmo maunya ‘surya’ aja.”

Ternyata benar namanya Elmo, catat Aze dalam ketergesaan. Sempat Aze mencuri pandang ke name tag di dada kanan seragam Elmo, tertulis Erlangga Mochammad. Nggak nyambung sama Elmo. Eh, tapi bisa juga sih. Lebih nggak nyambung namanya sendiri, ia bahkan jadi bertanya-tanya, dulu gimana ceritanya ia bisa sampai dipanggil Aze?

“Aduh... yaaa... yakin!”

“Kintamani.”

“NISTA.”

“Mmm... Tauco?”

“COPET!” Aze menjawab dengan lantang dan sepenuh hati sambil menunjuk pemuda yang ada di sebelah Elmo. Lalu terhenyak sendiri. Aze buru-buru mengarahkan telunjuknya pada Elmo yang menanggapinya dengan ekspresi itu-nggak-sopan-tau, tapi ia tidak melepaskannya sampai Elmo kembali menjawab. “Eh, salah! Copet, Akang, ayo, PET!”

Elmo terdiam karena berpikir. “Petruk...”

Seseorang berteriak “KIRI! KIRI!” dengan keras. Beberapa orang turun seketika, termasuk orang yang tadi mencoba membantu permainan yang dibuat Aze. Termasuk orang di sebelah Elmo, yang sebelum keluar dari angkot menyempatkan diri untuk dengan amat sangat sengaja menyenggol lengan kiri Elmo dengan tanpa perasaan, membuat Elmo tak mampu menatap dunia untuk beberapa waktu.

Aze memandang kepergian para pencopet itu dengan senyum penuh kemenangan dan kepuasan. Muncul keinginan masuk Akademi Kepolisian selulus SMA di benaknya agar bisa menjadi penegak kebenaran dan keadilan yang lebih kompeten.

Setelah gerombolan pencopet itu menjauh, seorang ibu mendekat dan berkata, “Tadi itu pencopet ya?”

“Oh, ya?” tanggap Aze dengan tampang tak percaya yang memuakkan Elmo yang tak sengaja melihatnya. Elmo menghentikan angkot meski tempat turunnya masih beberapa meter lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain