Jumat, 30 Mei 2008

DI BALIK PEMENTASAN PERTAMA TEATER FLP JOGJA: DARI PERSPEKTIF D--- S-------- A---------

Kamis sore itu Mbak Desi mengedarkan sebuah angket. Angket yang menjadi salah satu yang mengawali dimulainya forum teater FLP Jogja.

Teater? Kayaknya asik juga. Aku mau coba ah. Hari kapan yang paling tepat untuk menyelenggarakan forum ini? Senin sudah dipakai untuk forum diskusi. Selasa forum non fiksi. Kamis forum fiksi. Mmm... Rabu paling.     

Saat makan malam di rumah, Mbak Novi—alias Mbak Putri, sepupu jauhku yang sesama anggota FLP Jogja angkatan 9—bertanya, “Tadi kamu pilih hari apa, Ta, forum teater?”

“Rabu,” jawabku.

Tidak tahu akankah ada kelanjutannya forum teater itu.

 

Ada pemberitahuan. Pada suatu Sabtu 12 April 2008 akan diadakan launching forum teaternya FLP Jogja di Balairung selatan pukul 16.00 WIB. Ada pembicara. Pembicaranya dari Teater Garasi. Menarik juga. Aku lupa topiknya. Sebenarnya aku ingin datang ke sana. Ingin tahu. Menambah wawasan. Mengisi waktu. Ternyata ada hal lain yang lebih penting dikerjakan untuk mengisi waktuku.

Pada hari itu aku praktikum Silvika di Wanagama. Silvika adalah ilmu menanam pohon. Wanagama adalah hutannya UGM. Pagi sampai siang itu hidupku dikejutkan oleh kehororan-kehororan dalam hutan. Keong. Ulat. Banyak teriak karena mereka. Banyak mendongak karena aku kebagian menghitung lebar tajuk pohon. Mata kesilauan. Tidak bawa kacamata hitam. Tidak punya.

Aku kira aku bakal masih sempat mendatangi acara FLP tersebut. Ternyata sampai di kampus hari sudah sore. Selepas solat ashar di masjid Al-Ihsan kampus Kehutanan aku tahu jam menunjukkan pukul setengah lima. Kalau aku datang ke sana, aku bakal telat setengah jam. Malu ah. Jadi aku melangkah pulang saja. Melewati Balairung. Jadi pemandu jalan dadakan bagi para calon mahasiswa baru yang besoknya akan mengikuti UM UGM. Teman-temanku dari SMAN - Bandung juga sedang di Jogja dan akan mengikuti tes tersebut. Mereka ada di Fakultas Teknik sekarang. Jauh. Nanti aku gak kebagian bis. Jadi aku hanya mengucapkan kata-kata semoga sukses via sms kepada salah satu temanku. Tak lupa aku juga sms Mbak Desi, minta maaf karena gak bisa datang. Trus aku tanya gimana acaranya. Sukses gak. Yang datang 10 orang.

 

Jumat besoknya. Perdana kedua setelah launching yang Sabtu itu. Aku sengaja gak ikut Reading Club-nya IFSA LC GMU. Paling debat lagi debat lagi. Gak suka debat. Gak penting. Aku lebih penasaran sama forum teaternya FLP Jogja. Bisa tambah ilmu sepertinya. Keknya asik. Hal yang baru. Dan gak ngajak debat tentunya.

Aku datang. Dan cuman Retno angkatan 9 FLP Jogja yang datang selain aku. Ternyata cuman dia juga angkatan 9 yang datang pada Sabtu itu. Tapi gak papa. Ada Isti juga. Ada Mbak Lilo yang selalu setia. Dan lain-lain. Lalu aku jadi kenal Mbak Leli juga. Dia dan Mbak Desi yang mengarang naskah itu. Naskah yang bakal dipentaskan di Diskusi Cakrawala. Whoa, hebat. Cepat juga geraknya forum ini. Kami mencoba Reading dan analisis tokoh. Lalu cari pemain juga. Siapa yang kira-kira cocok memerankan tokoh tersebut di antara kami... Pada mulanya aku nggak begitu niat terpilih sih. Aku cuman ikut-ikutan aja. Kalau dapat peran ya syukur...

Aku jadi polisi hutan.

Polisi hutan kok cewek??

Ada kok...

Polisi hutannya ada dua. Yang satu lagi belum tahu siapa yang memerankan. Mestilah cowok lah. Mbak Desi juga ngebayanginnya yang main jadi polisi hutan itu dua-duanya cowok kok. Sedih banget. Kurang pemain. Akhirnya akulah yang dipake.

Reading. Untuk sementara lawan mainku Mas Iim. Gak tau kenapa. Minder aku. Aku jadi gak yakin. Polisi hutan itu gimana sih nada bicaranya. Apakah harus tegas? Ataukah sok-sok ngejawa gitu? Kaku? Aku dengar Mbak Desi menyebut nama Rif’an.

Keesokan Sabtunya rencana untuk latihan lagi. Siapa tahu aja pemeran untuk polisi hutan satunya lagi sudah ada. Yaya. Aku Insya Allah datang. Aku selalu bisa datang.

 

Pada Sabtu itu ada acara menarik juga di Fakultas Ilmu Budaya UGM. Gi Korean Festival. Ada seminar tentang Film Korea pada jam 09.00. Ada film ‘Secret Sunshine’ jam 13.00 dan ‘My Tutor Friend 2’ jam 15.00. Aku nggak akan bisa nonton film yang kedua karena ada latihan teater. Padahal itu film katanya kocak sekali. Yah, nonton film gituan kan bisa ngerental kapan-kapan. Sementara latihan teater... Siapa tahu aja hari ini aku udah dapat lawan main dan bisa bener-bener latihan.

Aku datang. Satu per satu personil lain datang. Dan ternyata Mas Rif’an gak bisa. Jadi hari ini aku gak ‘main’ lagi dong? Padahal... padahal aku bisa nonton film kedua di FIB. Aku hitung-hitung jumlah dialogku di naskah. Cuman 7 kalimat pendek. Sampai jam lima sore aku masih bertahan dalam kehampaan. Menjaga agar perasaanku tetap sedatar LCD notebook. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.

Hari mulai gelap. Aku pamit pulang. Dalam naungan pepohonan Manilkara kauki aku mengsms teman dekatku di Bandung. Bertukar kemalangan. Dia cerita motornya mogok di Pasopati dan sedang menunggu bantuan. Aku cerita aku melewatkan film Korea terlucu demi latihan teater dimana lawan mainku gak ada dan dialogku sendiri cuman 7 kalimat pendek. Dia menyayangkan nasibku yang selalu malang. Huh, kek dia nggak aja.

Sesampai di rumah, hujan. Aku menunggu kepulangan Mbak Novi dan adiknya, Dila, yang menonton film tersebut. Mereka pulang dengan wajah puas sumringah. Ketika ku tanya bagaimana komen mereka terhadap film tersebut, Mbak Novi berkata, “Lucu selucu-lucunya!!”

Akh.

Malam itu aku—dibantu Dila—membujuk Mbak Novi agar mau pergi lagi keluar rumah. Mengantar pergi ke Wahana untuk pinjem ‘My Tutor Friend 2’ dan film apalagilah yang lain mereka pingin tonton. Mumpung bulik sekeluarga lagi pergi. Setelah beberapa lama akhirnya Mbak Novi mau juga. Bersamaku pergi ke Wahana, kami pinjam ‘Lovely Complex Live Action’ dan tentu saja ‘My Tutor Friend 2’. Pulanglah kami dan aku masuk angin.

Pertama kami nonton ‘Lovely Complex Live Action’ dulu. Malam sudah larut ketika filmnya selesai. Lalu saatlah film yang ditunggu-tunggu...

Ternyata tidak bisa diputar.

Bisa sih, tapi agak lama.

Karena tak sabaran jadi kumati-nyalakan CPU komputer yang baru beberapa hari diservis itu. Tetap tidak bisa. Ah. Menyerah. Gimana besok dah.

Keesokan harinya komputernya nggak bisa nyala sama sekali. Rupanya komputernya harus diservis lagi. Ya. Komputer baru diservis sensitif katanya. Jangan dulu dipake mainan. Jadi aku harus pergi ke rumah bude di RT sebelah untuk pinjam laptop. Aku harus ngerjain laporan kan. Kupinjam lagi disk ‘My Tutor Friend 2’ yang lain. Aku bilang pada penjaga rentalnya disk yang kemarin aku pinjam itu gak bisa diputar. Dengan disk yang baru aku coba tonton di laptop sepupuku. Ternyata laptop sepupuku nggak dipasang program yang bisa putar DVD. Jadi...

Ah, sudahlah. Jangan diingat-ingat lagi.

 

Sebagai koordinator publikasi aku berambisi untuk menyebarkan publikasi sampai habis. Sampai pada H-1 tidak tersisa lagi satu lembar publikasi pun di tanganku. Dalam waktu kurang dari dua minggu 750 lembar publikasi ini harus habis!! Banyak sekali ya. Pada mulanya kami hanya cetak lima puluh. Lalu seratus lagi. Eh, ternyata cepat juga ya habisnya. Lalu atas inisiatifku dan Mbak Novi, kami cetak lagi seratus. Tanpa lapor dulu ke ketua panitia, Mas Adi. Pas aku bilang sama dia, ternyata dia juga udah cetak lima ratus. Glek. Bener-bener glek. Besoknya aku datang ke forum non fiksi untuk ambil yang dia cetak. Mas Adi datang dengan pembawaannya yang menunjukkan dia sedang agak shock. Tempat yang kemarin telah ditetapkan sebagai lokasi Diskusi Cakrawala ternyata akan dipakai oleh acara lain. Mereka lebih dulu daripada kita. Jadi tempatnya ganti. Dan 750 lembar yang telah dicetak dan sebagian kecil disebar ini belum direvisi karena pemberitahuannya mendadak banget... gya... Udah mah publikasinya kebanyakan, salah tempat pula. Tapi tanggung jawabku untuk menyebarkan apa yang sudah terlanjur basah ini sampai habis. Aku optimis bisa. Caranya adalah dengan memberdayakan semua anggota FLP—juga kawan-kawan di luar itu—sebagai staf publikasi. Hahahaha...

Jadi pada keesokan harinya, yaitu Rabu, hari yang ditetapkan pada Sabtu kemarin sebagai hari melanjutkan latihan untuk persiapan pementasan Diskusi Cakrawala itu, aku sangat berniat datang, dengan niat sangat kuat adalah memberdayakan para pemain menjadi staf publikasi. Semuanya akan kukasih masing-masing dua puluh lembar. Huhu.

    

Rabu sore itu aku datang dan mendapati Mas Budi sudah ada di sana. Mas Budi itu termasuk orang FLP Jogja kedua yang aku kenal. Yang pertama itu Mbak Lilo. Mas Budi juga orang pertama yang aku temui di Jogja yang langsung nyambung begitu aku nyebut minimagz Openmind. Aku lupa bagaimana awalnya kami bisa ampe nyambung ke situ. Sama-sama tahu.

Ini adalah kesempatan. Aku mau kasih publikasi banyak banget ah ke dia. Tapi ini masih banyak yang belum diberi double tape. Lalu dia ngebantuin aku nempel-nempelin. Kata dia lebih cepat nempelin dengan menggunting double tape-nya lebih dulu. Menurutku itu gak praktis. Langsung sobek aja. Oke, kalau gitu mari kita buktikan mana yang lebih cepat.. Adu cepat itu tidak jadi berlangsung karena ada orang lain yang datang—aku lupa siapa—yang ngajak ngobrol Mas Budi.

Setelah beberapa lama datang juga orang-orang yang lain. Yang paling susah adalah mencari orang untuk memerankan polisi hutan dan penebang kayu. Namun pada hari ini para pemeran akhirnya telah ditetapkan. Syukurlah. Akhirnya aku punya lawan main juga. Hix. Dan orangnya Mas Budi. Heu.

Kami coba membaca dialog. Aku masih mencoba-coba gaya bicara yang pas. Apakah tegas. Apakah berlogat daerah mana gitu. Tapi yang paling bikin aku terusik adalah gaya bicaranya Mas Budi. Dia sama sekali gak memancarkan aura polisi melainkan anak muda sengak nan belagu. Aku merasa ini bukanlah interaksi antara dua polisi hutan melainkan anak Pramuka dan Bu Polwan. Apakah gaya bicaranya bisa agak tegas sedikit..?

Selain melatih dialog kami juga merancang masuk ke panggungnya dari mana. Gayanya mau kek gimana. Karena dialog kami berdua sama-sama pendek jadi ya lama latihannya pun pendek. Sebenarnya kami ada dialog dengan para penebang hutan cuman keknya mereka masih sibuk latihan sendiri. Jadinya kami pun urung. Pada sore itu aku bagikan publikasi banyak-banyak ke semua orang yang ada. Yang anggota FLP. Mbak Lilo yang paling banyak. Mas Budi juga banyak deng. Ayolah, ini kan pementasan pertama kita... kalian juga pingin banyak yang nonton kan?? Yang lain pada mau aja kukasih banyak-banyak (aku gak peduli mau mereka tempel di mana...) cuman Mas Johan aja yang ambil seperlunya. Kurang dari lima lembar pula. Dan dia juga titip publikasi lainnya ke aku dan Mbak Novi (yang sengaja ku minta datang untuk nambahin stok publikasi untuk dibagi-bagikan...). Ngah... Yah, pokoknya bebanku sudah berkurang. Sisa yang sedikit ini besok mau kubagikan ke anak-anak forum fiksi.

    

Forum puisi. Aku gak terlalu suka puisi sebetulnya. Kata anak-anak yang bawain Mbak Leli, jadi enak. Tapi aku nggak ngerasain. Aku kan mau latihan teater dan bagiin publikasi. Aku lupa waktu itu latihan apa. Yang jelas... besoknya GLADI RESIK!!

 

Tempat diskusinya jadinya di Ruang Rajawali Wisma Kagama. Pada Jumat itu anak-anak forum teater katanya mau gladi resik di sana. Tapi aku mau menghadiri rapat terakhir dulu di Masjid Kampus. Mas Budi juga ternyata ada di sana. Setelah rapat berlangsung beberapa lama, ia memberiku isyarat untuk pergi ke sana. Ya sudah, duluan saja. Aku menyusul setelah agak lama. Aku nggak begitu suka sebetulnya kalau menghadiri sesuatu itu setengah-setengah. Aku pergi ke Wisma Kagama dengan berjalan kaki santai. Karena sepeda tak ada naik motor pun tak bisa. 

Sampai di sana—jalannya bertele-tele juga—ternyata pas banget mau adeganku... Ya ampun, sudah pada menunggu ya?? Trus latihan deh. Mas Budi ternyata bisa bersuara keras juga. “TANGKAP DIA!!!” Aku mengejar-ngejar penebang kayu serasa mengejar anak ayam. Sangat antusias. Terutama yang namanya Mas Haris itu. Waha.

Dari semua tokoh menurutku yang paling greget Bondo ama Rimbi ya. Si Isti bisa aja main ekspresinya. Kalau aku yang jadi Rimbi kira-kira aku bisa gitu gak ya? Ntar imejnya Rimbi jadi jatuh, jadi Rimbidiot lagi. Jadi polisi hutan juga agak aneh e... Yah, aku cuman membantu saja.

 

Pada hari H... aku sudah membawa sepatu Eiger, ransel hitam, topi rimba hitam, kaos hitam, celana lapangan hitam. Semua serba hitam. Lalu Isti juga meminjamiku sarung tangan hitam. Tidak. Tidak. Semua itu tidak kugunakan begitu aku datang ke tempat kejadian. Pertama aku berlagak jadi penerima tamu dulu. Menerima tamu dengan senyum. Tak seorangpun mesti tahu, penerima tamu ini bakalan jadi polisi hutan di akhir acara. Uh, ya, maling lebih tepatnya. Karena outfit-ku dari atas sampai bawah serba hitam. Isti juga minjemin aku topi rimba abu-abunya soalnya kalau aku pake yang warna hitam juga mati entar... Mati apanya... Jadi kupinjamkan sama Mas Budi yang pake kaos putih dan celana coklat muda itu. Alas kakinya sepatu kets aja. Uh. Kok cuman aku yang niat ya? Niat jadi maling. Topi rimbanya nggak jadi dia pake. Kekecilan. Di daftar hadir panitia, aku menulis, ‘nervous uy...’. Aku ingat Mas Adi sempat menghampiriku bentar dan tanya, “D---, masih nervous?” Hihiw... Kagak ah. Aku mencoba enjoy aja.

Menunggu-nunggu... Sebentar lagi akan tiba... Menunggu di balik pintu... Memegang popor kayu... Aku paling ingat ekspresinya Mas Adi dan Mas Ade saat mereka keluar ruangan dan menyadari di balik pintu ada sesosok makhluk hitam. Topi rimba menutupi setengah kepalanya. Paling sialan tuh responnya Mas Ade. Ah, ya, sudahlah mau digimanain lagi. Aku sendiri dalam sanubariku merasa geli. Aku sengaja nggak pake kacamata kala itu. Biar nggak bisa liat penonton.

Trus aku masuk terakhir, setelah para penebang kayu. Begitu masuk, aku memilih berdiri tidak jauh dari tempat aku duduk lagi. Menyilangkan tangan. Berdiri tegak. Sok sok mengawasi keadaan. Gatau ah gimana kata orang pas tiba-tiba ngeliat aku sok cool gitu, waha. Aku cuman bisa liat Flower dan Nisa yang duduk di depan sana, melihatku lalu segera berbalik. Ntah geli ntah ngeri.

Jadi aku juga ikut menonton sebagian pementasan itu sampai tiba giliranku. Dan bodoh juga. Kemarin kan pas latihan seharusnya dialog pertama para polisi hutan itu, aku dan Mas Budi duduk di atas kursi biar kelihatan ama penonton. Eh, dia malah ngajak duduk di atas lantai. Aku sudah tahu kalau dia nggak mestinya duduk di situ. Udah ada kursi, itu mbok ya diisi. Tapi otomatis aku manut aja dan terjadilah percakapan pendek kami. Aku bisa ngebayangin jadi penonton paling belakang, terhalang kepala orang, dan menyaksikan tidak ada siapa-siapa di depan sana yang bisa dilihat dengan mata namun terdengar suara anak Pramuka belagu dan Bu Polwan.

Selesailah percakapan pendek itu. Kami kembali ke deretan bangku. Aku ngikutin Mas Budi aja. Termasuk ketika dia duduk di deretan bangku cowok-cowok. Trus ikut dia ke sisi satunya. Siap-siap nangkep penebang hutan neh...

Dia teriak.

Teriak juga.

Kejar-kejaran.

Menepi.

Menunggu Bondo dan Rimbi.

Lalu masuk ‘panggung’ lagi. Di mana aku mengawasi para penebang hutan sementara ‘partner’-ku mengurusi Bondo. Aku membentak-bentak mereka, para penebang hutan (pohon sih mestinya... ah, kadung ah), yang memelas-melas padaku. Aku bisa mendengar penonton menyebut-nyebut, “Ih, OSPEK ya, OSPEK ya...” Memangnya aku ngerti ibu Polwan asli gelagatnya gimana?

Adegan di mana aku menolak duit suap mesti jadi adegan yang paling ditunggu-tunggu Mas Budi, di mana dengan nikmatnya dia akan (dan pasti) mengatai aku, “bego”. Uh. Yaa, nikmat banget dia mengorek hatiku. Aku sudah cukup menyadari aku bego tanpa perlu dikatai sebenarnya. Tapi ini kan adegan... akting... akting...

Singkat cerita akhirnya selesailah juga pementasan itu. Para pemain berdiri di depan, saling bergandeng tangan, dan membungkukkan badan.

Horee... Alhamdulillah. Sampai di luar ruangan aku lepas topi rimbaku.

Hai, terima kasih sudah datang ke acara diskusi ini, sekarang lihatlah wajahku yang sebenarnya...

 

Extended: Pementasan kedua yang gak jadi

Woa, tampil lagi??

Aaa... di Maskamp ya. Minggu. Festival nasyid. Dalam bayanganku kami bermain teater di dalam masjid.

Kendalanya adalah, salah satu penebang hutan tidak bisa bermain saat itu. Jadi penebang hutannya tinggal satu deh. Dan dia jadinya bermonolog. Nah, kalau penebang hutannya yang satu itu gak bisa main juga?? Comot salah satu polisi hutan, jadikan dia penebang hutan. Jadi polisi hutannya tinggal satu. Keduanya—penebang dan polisi—akan bermonolog.

Setelah tahu Mas Johan dan Mas Haris gak akan tampil sehingga Mas Budi dijadikan penebang hutan dan itu artinya aku harus bermonolog sebagai polisi hutan... memikirkan itu bikin aku—kata orang Sunda mah—lieur. Isin aku. Tapi ini adalah hal baru. Patut dicoba tuh. Mungkin bisa nambah kepercayaan diri.

Tidak banyak waktu untuk latihan. Sekali latihan, sekaligus gladi resik. Sabtu sore. Minggu paginya pentas.

Namun pada Sabtu itu aku nggak pergi ke mana-mana sehingga aku agak urung untuk keluar rumah. Eman-eman ongkos masalahnya. Aku pergi ke luar dan menghabiskan duit empat ribu (lima ribu kalau aku pulangnya gak kebagian bis dan harus naik trans Jogja) cuman untuk menghabiskan waktu kurang dari 2 jam di luar rumah. Tadinya aku nggak mau datang. Namun Mbak Desi mengharapkanku datang karena Mas Budi dia tarik jadi penebang sehingga aku harus jadi polisi sendirian dan monolog dan... ntar dia bantuin. Oalah, bingung aku. Kata bulikku sih terserah aku aja mau pergi apa nggak. Bulik tahulah aku suka pergi ke luar menghadiri acara karena aku nggak enak kalau nggak datang. Aku minta Dila untuk mengantarku dengan motor. Untungnya dia mau. Jadilah pada sore itu kami menembus angin menuju Balairung UGM. Begitu sampai di sana ternyata udah pada mau moving ke Maskamp. Balik lagi deh.

Di Maskamp kami melihat-lihat tempat akan diadakannya acara dan merancang-rancang di mana posisi yang tepat saat akan berdiri nanti. Kami juga mencoba membaca dialog sambil menggerak-gerakkan tangan. Lebih ekspresiflah.

Latihan yang lumayanlah. Meski bertambah satu orang lagi yang suka ngatain aku ‘bego’. Uh. Oke deh. Insya Allah besok aku bisa tampil seperti itu. Aku menunggu esok. Belajar bermonolog. Butet Kertaradjasa, ah, aku jadi ingat dia.

 

Keesokkan paginya aku terbangun karena ketukan di pintu kamar. Itu omku. Om bertanya apakah aku akan pergi karena kalau nggak dia mau mengajari aku nyetir mobil. Karena masih terusik habis bangun tidur tanpa basa basi aku bilang aku nggak bisa karena habis ini mau pergi... Yaa, om hanya bisa tersenyum... Senyum apa itu, membuat hatiku mencelos. Aku sering ngerasa gak enak kalau diajak teman pergi-pergi yang bikin aku gak di rumah meski akhir minggu—harinya keluarga—tapi aku dengan begitu enaknya aku menolak ajakan orang yang selama ini kurepotkan. Ajakan untuk mengasah skill-ku dalam menyetir mobil. Abis gimana juga, ya, aku sudah punya agenda lebih dulu..

Aku pergi dari rumah dengan sudah mengenakan seragam malingku. Uh, ganti ah, jangan maling. Tim SWAT gitu. Jadi ada personil tim SWAT naik D6 Minggu pagi, berhenti di kawasan Bulaksumur. Awaha.

Aku turun dari bis dan berjalan menembus kerumunan orang-orang yang merasa harus menghabiskan duit mereka untuk sesuatu yang belum tentu akan berguna. Sampai di sana... di mana kalian? Itu Isti, Retno, Mbak Leli bawa popor. Mbak Desi lagi sama keluarganya katanya. Ooo... turun ke bawah...

Masalah.

Masalah itu bukan menjangkitiku. Aku tidak masalah berlagak di depan ikhwan terutama. Lagian dengan outfit macam ini nggak jelas aku ini cewek pa gimana. Namun ada beberapa orang yang kurang nyaman dengan situasi demikian. Di mana semua mata—terutama mata ikhwan akan mengarah padanya... Uh. Ya. Terserah sih. Gak tau ah. Gak mau mikirin. Kalau jadi ya oke. Kalau gak jadi ya gapapa. Aku netral-netral aja kok. Kalau gak jadi aku mau segera ke Klebengan, nyiram dan ngukur semai, pulang, dan menggarap laporan.

Pementasan nggak jadi. Diganti puisi. Mas Budi, Mas Anjar, dan Mas siapa-entah-aku-lupa-euy-namanya. Mas Budi teriak menggelegar, menarik orang-orang di jalan melihat. Ah, ini orang emang... Pingin juga tuh aku teriak teriak di panggung kek gitu.

Setelah ditraktir bakwan dan gulas, aku diantar Isti ke Klebengan. Ternyata gerbangnya dikunci jadi aku gak bisa nyiram dan ngukur sekarang. Aku lewat jalan samping. Gak ada jalan. Aku kembali dengan dada berdebar karena bertemu bekicot dan ulat. Terbersit rencana untuk memanjat. Tapi pakaianku udah hitam-hitam begini... Orang-orang di pinggir jalan gak mungkin menyangka aku personil tim SWAT yang hendak meredam bom yang tersembunyi dalam kebon kan? Yang kepikiran pasti maling. Dasar orang Indonesia suka suudzon. Trus aku jalan menantang panas ke Net2u, warnet langganan depan kampusku. Selama sekitar dua jam aku menghamburkan duitku. Aku balik ke Klebengan dan ternyata masih dikunci. Mau gimana lagi aku... Gak mungkin panas-panas begini tetap di situ dan akan menunggu di mana pula...? Jadi aku jalan ke selatan, hendak mencegat D6, melintasi UNY, sambil memikirkan juga apa yang hendak kutulis dalam cerpen pementasan pertama forum teater FLP Jogja ini...


HABIS KATA #5

Sekali lagi benar. Senyatanya ini bukanlah cerpen melainkan sebuah kisah nyata yang terjadi pada saya. Bisa dikatakan ini adalah comotan dari catatan harian saya. Catatan harian khusus sehingga saya izinkan orang lain membacanya.

Karena catatan harian ini dibuat meamng karena ada orang yang memintanya.

Mbak Desi...

Dia berencana membukukan kisah di balik pementasan teater pada Diskusi Cakrawala FLP Jogja April 2008 kemarin, yang ditulis oleh para pemeran tokoh yang ada dalam teater tersebut. Salah satunya saya. Butuh beberapa waktu dan beberapa kali menulis hingga jadilah tulisan saya yang dapat terbaca ini. Saya biasa menulis buku harian jadi tidak ada masalah berarti dalam menulis ini. Seperti menulisi buku harian seperti biasa saja, hanya kali ini medianya saja yang ganti.

Pada waktu menulis ini sejak awal saya sudah memakai font Lucida Console dan saya biarkan saja tetap begitu hingga ke wujud hardcopy-nya. Yah, ganti suasana jugalah, masak Times New Roman terus.

Entah saking keringnya ide di kepala saya pada Mei 2008 itu atau memang sedang rese-resenya itu si kehidupan akademis memanggil saya, sehingga pada bulan Mei itu tidak ada cerpen yang saya hasilkan. Jadi demi memenuhi tuntutan program kerja yang saya buat sendiri, saya jadikanlah tulisan ini sebagai cerpen Mei. Kalau tidak salah, kebetulan memang deadline tulisan ini adalah Mei jadi ya cocok. Bisa-bisanya ya saya, haha...

Tidak banyak yang bisa dibahas lagi mengenai cerpen ini selain bahwa apa yang tertulis memang benar adanya. Saya mungkin bukan seorang yang piawai menggarap pengalaman sehari-hari menjadi sesuatu yang sangat menghibur dan menarik dibaca. Dengan demikian saya biarkan pembaca mengetahui sepenggal dari catatan harian saya. Semoga bisa diambil hikmahnya dan janganlah sampai merasakan kemalangan yang sama.

Oh ya, ternyata film ‘My Tutor Friend 2’ itu, setelah saya menontonnya sebagian, tidak sebegitu ‘lucu selucu-lucunya’. Kalau mau ngakak saya sarankan untuk menonton ‘Naked Gun 2 ½’ dan ‘Shaun of The Dead’. Tapi maaf saja kalau selera humor kita berbeda. (12/30/2008)

Selasa, 20 Mei 2008

Setengah Isi

September 2008


1

Terbangun pada minggu pagi hari itu, Elmo berdiri di balik jendela. Mengintip mentari dari celah gorden. Ia merasakan pancaran hangat sinarnya yang dapat mengaktifkan provitamin D menyapa tubuhnya. Spirit of positivity, yeah, I feel it...

            And the morning is for you...

            And the sunshine is free...[1]

Setelah semalam suntuk tidak tidur menamatkan The Secret, Elmo merasakan semangat hidup yang baru. Isi buku yang dibeli mama untuk menemaninya kala terserang insomnia akut yang akhir-akhir ini menderanya begitu menggugah.

SPMB adalah masa lalu. Ia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama; mengisi semua pilihan dengan STEI Institut Top Banget dan tidak menyiapkan cadangan. Trampolin itu harus ia singkirkan agar perasaan sesumbar dan percaya dirinya tidak melambung jauh lalu naas terhempas jatuh. Begitulah hasil evaluasi kegagalannya dengan Aze dan Mas Fahri kemarin.

Perasaan ringan itu mengawang di dada. Menggerakkan ujung bibir Elmo membentuk lengkung positif. Ayo tatap masa depan! Keluarkanlah energi positif agar segala kebaikan berebut untuk jadi milikmu!

“Semangat Elmo!!” Elmo mengacungkan kepalan tangan. Ia memasukkan kepalanya dalam lubang kaos. Mengusir hawa dingin.

Tak tersirat olehnya pikiran untuk terus mandi, menggosok gigi, dan membersihkan tempat tidur. Yang mendominasi adalah harapan untuk ikut SPMB lagi tahun depan. Pasti ada SPMB lagi di tahun berikutnya. Kalau nggak, yah nabung buat USM deh. Harapan ada bila kau tahu mana jalan yang benar, Elmo ingat sepenggal lagu yang dinyanyikan oleh anak-anak AFI Junior angkatan pertama. Jalan yang benar untuk mencapai tujuannya adalah dengan mengerjakan soal sebanyak-banyaknya, yang sulit, yang sukar, yang susah. Tangan Elmo bergerak menggapai pintu rak. Mengeluarkan soal-soal yang dulu sering diuliknya. Membuka-buka buku pelajaran SMA yang dulu sering dijamahinya. Elmo tidak benar-benar langsung mengerjakannya. Untuk hari ini ia hanya berniat me-refresh otaknya. Mengingatkan kembali akan kenangan aktivitas belajar yang dulu dilakoninya.

Hingga tahu-tahu malam datang. Energi Elmo seperti tiada habisnya. Segala panggilan dari luar tak diindahkannya. Makanan pun diantar ke dalam kamar.

Ah, iya. Kalau tidak salah ia juga punya bank soal di komputernya. Meski soal-soalnya masih tergolong mudah akan tetapi karena ada game-nya Elmo jadi tertarik. Setelah seharian ini mencoba berkawan lagi dengan soal-soal ia merasa otaknya mulai agak jenuh. Ia nyalakan komputernya. Menunggu sebentar. Lho, kok nggak ada shortcut-nya di desktop?! Window Explorer... Mmmm... ah, Elmo ingat, selepas SPMB dia ingin meng-install game baru, tapi hal itu malah membuat kinerja komputernya menurun bagai hewan sipemalas yang sedang sekarat. Jadi karena ia merasa tidak akan membutuhkan soal-soal SMA lagi, bank soalnya itu ia uninstall.

Ia mengangkat rak CD ke atas meja dan mencari-cari CD interaktif bank soal untuk di-install-nya lagi. Menemukan itu, matanya menangkap satu CD-RW yang tidak ada judulnya. CD itu terlihat mencolok karena cover polosnya itu di antara CD-CD Elmo yang didominasi oleh CD game. Apa ya?

Dimasukkannya CD-RW itu. Menunggu sebentar. Nama CD itu “2004-2007ErLanggaMOchammad”.

Isinya ber-folder-folder.

Foto-foto yang jadi bukti masa-masa kejayaannya.

Dibukanya satu folder. Filmstrip. Elmo si ganteng. Elmo sama teman-temannya. Teman-teman sekelas. Dari kelas satu sampai kelas tiga. Teman-teman cewek. Teman-teman cowok. Di tangga. Di kantin. Di dalam kelas. Di depan kelas. Di koridor. Di lorong. Di perpus. Tempat mana sih di sekolah yang tidak pernah Elmo hinggapi? Ternyata ia juga tak lupa memasukkan foto hari-hari terakhir ia bergips dengan gipsnya itu penuh coretan warna-warni dari teman-temannya.  

Folder lain. Elmo dengan anak-anak BKS bermuka sangar. Berlinangan air mata di muka bonyoknya saat dilantik. Sama angkatan atas pas pelantikan anggota baru. Sama bapak pembina yang berkumis baplang. Sama anaknya bapak pembina berkumis baplang yang cantik jelita. Persiapan diklatsar.

Masa-masa itu, pernah dialami, bagai roll film yang berputar. Menampar mata. Elmo berusaha membangun dinding dalam jiwanya agar tidak terlalu larut dalam romansa.

Folder lain. Foto ama temen-temen ceweknya lagi.  Folder lain. Foto sama guru-gurunya. Guru BP. Guru Biologi. Guru Kimia. Guru Agama. Guru Kn. Guru Matematika. Sama anaknya guru juga, kalau sekiranya cantik. Elmo anak kesayangan guru. Pinter, supel, ganteng, dan gaul.

Folder lain. Foto waktu tur budaya di Bali. Foto-foto dengan teman-temannya. Kebersamaan. Foto-foto narsis bertelanjang dada. Dalam kamar hotel. Ruang makan. Lobby. Kolam renang. Halaman hotel. Dalam bis. Di pantai. Di ayunan. Di bawah nyiur. Dengan background sunset, mereka loncat. Hasilnya adalah sebuah siluet yang indah. Semua gaya ada. Tinggal pilih yang mana.

Elmo menyadari sesuatu yang hangat sedang melintasi pipinya. Ia mengusapnya. Meski foto-foto ini membuka kembali jendela kenangan yang telah ia tutup rapat-rapat, namun ia tidak ingin segera meng-close-nya. Dia menikmati momen ini. Sebagai seorang  pria melankolis, meski luarnya gahar, akan tetapi dalam hatinya, ia lembut bagaikan salju...

Masih ada CD foto SMP loh... Yang selain itu juga ada... goda suara hati Elmo yang lain, seperti hendak menguak luka hati Elmo lebih dalam. Ah, teman-teman masa lalunya... Ia akan sangat malu sekali apabila bertemu dengan mereka... Mereka juga tentu akan bertanya-tanya, teman sealmamater mereka yang pintar ini—Elmo—pada akhirnya berlabuh pada jurusan apa di perguruan tinggi mana...

Tangan Elmo lama tidak mengklik mouse saat sampai pada satu potret. Matahari yang begitu jingga mencair, lebur bersama air. Menjadi bagian dari samudra luas di mana ada pisang terapung di atasnya. Bukit-bukit begitu hitam. Siluet seseorang tampak kecil sedang berjalan sambil menunduk menyusuri pantai. Nyiur doyong seperti hendak merengkuhnya. Jauh di depan semua yang tampak kecil itu, gadis cantik berambut ikal dan berhati lembut itu berada dalam rangkulan Elmo. Trista. Elmo. Dua sahabat yang tak terpisahkan kala SMA itu. Elmo merasa dinding pertahanannya rubuh. Debar-debar rasa yang dulu indah tersembunyi kini terasa begitu menyiksa.

Sahabat yang sebenarnya selalu dicintainya! Wanita lembut yang selalu dapat menyejukkan hatinya! Tapi dia selalu punya cewek imut-imut lain, tidak mesti cinta kan?

Titik kulminasi. Nostalgia yang menguras jiwa dan airmata.

            Menatap lembayung di langit Bali,

dan kusadari betapa berharga kenanganmu.

            Di kala jiwaku tak terbatas,

bebas berandai mengulang waktu.

            Hingga masih bisa kuraih dirimu,

sosok yang mengisi kehampaan kalbuku.

Bilakah diriku berucap maaf,

 masa yang telah kuingkari dan meninggalkanmu, oh, cinta...

Teman yang terhanyut arus waktu mekar mendewasa,

masih kusimpan suara tawa kita.

Bantal biru wangi mawar itu kini basah. Setelah mematikan komputer dan lampu kamar, Elmo mendekam di balik selimut. Ia terlalu pengecut untuk memiliki kenangan itu kembali.

Dulu, di masa-masa depresinya yang jarang itu, Elmo selalu punya tempat melabuhkan kesedihannya. Teman-temannya banyak. Mau cewek, mau cowok, mau guru, tinggal pilih tergantung jenis permasalahannya. Trista... Elmo berusaha mengenyahkan nama itu. Ia bahkan malu kalau harus bercerita pada mama. Apa kata dunia? Anak tunggalnya yang sudah akil balig itu masih bisa meneteskan air mata?!

Dulu Elmo senang punya teman-teman cewek, karena mereka begitu lucu, perasa, penyayang.... Kalau Elmo mau curhat mestilah mereka lebih mengerti. Dulu Elmo punya banyak teman cewek. Kini Elmo memutus semua kontak. Kini teman cewek Elmo cuman Aze.

Di tengah suara kasar air hidung yang diisap masuk kembali, Elmo mendapatkan nomor Aze di phone book-nya.

Dia kan cewek. Mungkinkah dia juga bisa menjadi tempat berbagi akan rasa gundah di hati?

Aze tidak minat untuk memiliki nada sambung. Tut... tut... tut...

Terdengar suara Aze. Agak sedikit berbeda memang kedengarannya dari suara yang biasa ia dengar kalau ketemu langsung. Aze seperti berada di suatu tempat yang agak ramai..

“Aze...”

“.. iya, halo? Ini siapa?”

Elmo baru ingat nomor barunya ini belum sempat ia beritahukan pada siapa-siapa selain kepada Mas Fahri.

“Ini Elmo, nomor baru.”

“Oh... Kang Elmo... kenapa Kang?”

“Elmo kangen sama temen-temen SMA...,” suara parau yang mencuat dari perihnya hati.

“Hah? Apa sih?” Terdengar suara decapan. Itu Aze pasti sedang menerima telponnya sambil makan.

Elmo terhenyak. Bisa-bisanya dia menanggapi curhatanku seperti itu!? batinnya.

Mendadak Elmo kehilangan hasrat untuk curhat.

“Ada perlu apa, Kang?” Suara mendecap lagi. Kedengarannya anak tak berperasaan itu sedang makan sesuatu yang amat berminyak. “Udah makan malam belum? Tahu goreng enak loh, digoreng di minyak bekas goreng ayam jadi ada sensasi ayamnya gitu deh...”

“Ah, Aze mah nggak dengerin Elmo...”

“...oh, Elmo gi curhat? Biasanya cowok ngecurhatin apa sih?”

“Ngecurhatin... argh, udah lah, lupain aja, Elmo udah gak hasrat lagi...”

Suara agak rame itu berkurang intensitasnya menjadi suara tidak rame. Sepertinya Aze telah menyepi.

“Ih, sori atuh, tadi teh suara Akang nggak kedengeran...”

Memang Elmo harus menelan semua perasaan itu bulat-bulat kalau sedang berhadapan dengan orang yang tidak tepat.

“Iya, gapapa kok, emang Elmo udah nggak pingin curhat lagi.”

“Mmm, gitu yah? Kok ganti nomor sih Kang?”

“Banyak yang gangguin.” Elmo tidak ingin menjelaskan siapa-siapa saja yang mengganggunya itu.

Secret admirer yah?” tanya Aze lugu.

Bukan... orang-orang rese dari masa lalu yang gue terlalu malu untuk berinteraksi dengan mereka lagi... “Hahaha, anggep aja gitu.”

“Eh iya, Akang, tadi malam aku ngerjain soal ada yang nggak ngerti.”

“Soal apa?”

Mendengar kata ‘soal’, perlahan spirit of positivity Elmo bangkit merangkak. Jadilah semalam itu mereka membahas soal. Soal yang tidak begitu sulit, menurut Elmo. Di tengah ketelatenannya menjelaskan tanpa tatap muka dan tatap soal, sesekali ia tertawa mendengar celotehan Aze yang kadang agak tidak umum.

Dari kejauhan terdengar seseorang memanggil-manggil Aze...

“Iya... bentar....,” Aze berkata dengan agak ketus menjawab panggilan itu. Lalu berkatalah ia lagi pada Elmo, “Kang, maaf ya, aku disuruh ikut pengajian ama bapak aku. Ih, masak yah malam-malam ikut pengajian?”

“Boong kali, bukan pengajian itu mah, Aze mau di-ruqyah kali... Udah, nggak usah ikutan, biar Elmo aja yang nge-ruqyah...”

“Sialan kamu. Beneran nih. Aduh, rese banget sih...itu... Maaf ya Kang, kalau sekali lagi dipanggil aku nggak dateng entar aku digampar...”

“Yah, Aze... Masak beneran digampar sih? Harus sekarang banget?”

“IYA.”

“...ya udah deh... makasih ya Aze.”

“Aku yang harusnya makasih tau. Udah ya.”

Belum Elmo bicara lagi, telepon telah ditutup.

Elmo berguling, dari yang telungkup jadi terlentang. Selimut masih menutupi sebagian tubuhnya. Ia pandangi kegelapan. Tak terasa lagi beban di hatinya. Terus ia tatap langit-langit hingga lama kelamaan ia mengantuk dan setelah sekian minggu kekurangan waktu tidur efektif, malam itu Elmo terlelap tanpa terusik.

Sempat ia bermimpi. Mimpi indah. Mimpi di Taman Lalu Lalang, Di tengah hamparan rumput. Di sela-sela sarana bermain anak. Elmo dan Aze berlari-lari. Saling berkejaran. Capek. Berbaring di atas permadani hijau, menatap lingkaran kuning di tengah layar biru dengan domba-domba putih. Hingga pulih tenaga mereka untuk saling berkejaran lagi. Dengan sebelah tangannya Aze memutari tiang dan melemparkan selendangnya. Adegan klimaksnya, Elmo melempar piring berisi tahu jumbo goreng panas dengan sekuat tenaga. Aze mengejarnya. Setelah dekat dengan kepalanya, gadis itu meloncat dan menangkap benda terbang itu dengan mulutnya.

Have you ever seen such a beautiful dream?[2]

 

2

Adik Aze terbangun sebentar di tengah malam. Oh, posisi tidur yang amat tidak nyaman sekali. Ia menjulurkan lengannya yang kebas. Merasakan akhirnya darah segar bisa melewati jalurnya lagi. Sebentar kemudian ia sudah mulai agak terlelap dan segera terusik lagi dengan suara tidak lazim dari kamar sebelah,

“Guk! Guk!”

Kamar si Kak Yana.

 

3

Melantun lagu favorit dari hape Aze. Oh. Elmo.

“Halo?”

“Ze, Elmo nemu soal unik nih. Bahas bareng yuk!”

“Oh, iya, iya. Ih, akang, aku juga lagi ngerjain soal loh.”

.

“Ze, entar kalau ada soal yang nggak ngerti tanya Elmo aja gapapa. Jangan sampe ada yang nggak ngerti, ntar SPMB soalnya suka nggak terduga gitu.”

“Iya, akang. Makasih. Kok baik sih?”

“Ya eyalah, Elmo gituh. Miskol aja ntar kalau ada apa-apa.”

“Miskol?”

“Ntar Elmo telpon deh, beres kan?”

“Eu. Yah. Makasih.”

“Kok nadanya gitu sih, Ze?”

“Ng, aku cuman ngrasa nggak enak aja.”

“Gak usah dipikirin, lagi!“

.          

Melantun nada dering dari hape Elmo. Aze, pasti mo nanya-nanya soal lagi deh...

Tanpa melihat LCD Elmo sudah tahu itu siapa karena nada tersebut memang ia set khusus untuk panggilan dari Aze. Panggilan kerja...

.

“Ze, kalau Elmo nelponnya pas tengah malem aja gimana? Sekarang kan provider kita lagi murah.”

“Boleh. Boleh. Lagian kan aku suka insomnia gitu...”

“Haha, Aze kena insomnia juga?”

“Iya... Aku ampe kepikiran bikin Insomniaholic Tutorial Club.”

.

“Aze... kemarin nggak miskol...”

“Iya... sori ya, Kang. Kemarin aku ngantuk banget abis dari rumah saudara. Sekarang mau bahas soal apa, Kang?”

.

Mandi malam yang menyegarkan. Makan malam yang menyenangkan. Aze merasa sedang dalam kondisi amat prima untuk mengerjakan soal. Ia merasa sanggup mengerjakan soal sampai burung hantu berdendang.

Kerjain. Kerjain. Kerjain.

Wah, ada yang nggak ngerti!

Untung ada ini...!

Aze meraih hape buluknya. Jarinya baru 2 cm dari tuts ketika LCD-nya menyala. Panggilan dari Elmo. Setelah lama ternyata nggak mati-mati. Bukan miskol. Lagian ngapain juga Elmo miskal miskol, mana cukup pulsa Aze untuk balas menelpon?

“Halo?”

“Ze, mo bahas soal gak? Ntar malam ya?”

Panggilan diputus. Aze menatap LCD hapenya yang mulai menggelap lagi. Tanpa sadar senyumnya melebar dan dadanya berdebar.



[1] Suede - Positivity

[2] Miracle Fortress – Have You Seen in Your Dream?

Kamis, 08 Mei 2008

Anak SMA Punya Cita-cita

Citra

Kutatap formulir pendaftaran SPMB-ku. Memastikan semuanya telah terisi dengan baik dan benar. Nama lengkap. Alamat. Nama orangtua. Hobi. Wakak. Nggaklah. Pilihan... aku mencocokkan letak lingkaran-lingkaran yang sudah kuhitamkan dengan kode yang tertera di buku petunjuk. Pas. Kedokteran UNPAD. Bismillahirrahmanirrahim... Kupejamkan mata. Kepala kudongakkan ke atas. Berdoa semoga dituntun ke jalan yang terbaik untukku.

Kedokteran UNPAD sebenarnya bukan pilihanku. Itu pilihan kakekku yang juga pilihan bapakku yang diamini oleh ibu, adik-adik, bibi, paman, dan saudara-saudaraku yang lain. Aku dibesarkan dalam keluarga besar. Punya keturunan dokter adalah obsesi kakekku. Anak-anak maupun menantunya tiada yang bisa mewujudkannya. Lantas didoktrinlah diriku yang sejak kecil memang tidak punya orientasi hidup. Kalau ditanya apa citaku saat ’udah gede’ nanti selalu kujawab tak tahu. Lalu mereka bilang, ” Jadi dokter aja.” Dokter adalah profesi bergengsi, banyak duit, keren, mapan, apalah. Kuturuti saja apa mau mereka daripada aku tidak tahu mau isi apa dalam formulir bergaris-garis biru ini. Mereka sepertinya menampik kenyataan bahwa nilai raporku selalu pas-pasan (dan masuk ke SMAN Bilatung I Bandung—SMA terfavorit dan bergengsi se-Bandung Raya ini—hanya suatu keberuntungan), otakku pas-pasan, tampangku pas-pasan (karakter wajahku yang ece-ece ini lebih cocok menjadi pasien berketerbelakangan mentalnya dokter jiwa... ketimbang jadi dokternya... tapi sejak kapan dokter jiwa melayani pasien keterbelakangan mental ya?), kantong pas-pasan (duit darimana itu si bapak hendak menyekolahkanku di KU...), semua serba pas-pasan deh. Yang lebih hanya tulisanku. Tulisanku rapi karena aku selalu bersikeras catatanku harus dibuat sebagus mungkin supaya aku enak bacanya (enak tidak berarti mudah dicerna). Dan berkat itu aku jadi makin pesimis aku bakal jadi dokter yang profesional. Seandainya aku keterima dan ternyata prestasiku di sana pas-pasan atau bahkan lebih buruk dari itu, mereka tidak berhak menyalahkan aku. Masuk ke KU kan bukan pilihanku! Yang memilih yang bertanggungjawab dong... (ya, aku tahu... akulah yang ’memilih’ untuk mengikuti pilihan mereka...).

Ini nih masalah. Pilihan keduaku masih putih meski tidak mulus lagi karena bekas dihapus beberapa kali. Setelah pilihan pertamaku dihitamkan pada kode KU, mereka semua yang tadinya merongrongku lepas tangan begitu saja pada pilihan yang selanjutnya. Menyerahkan padaku yang tidak bisa mengambil keputusan ini, meski beberapa memberi saran tapi tidak bernada paksaan. Saran bapakku sih ke ITB. Ada juga yang menyarankan isi dengan Kedokteran Hewan atau Kedokteran Gigi saja. Biarpun nanti titelnya ’dokter hewan’ atau ’dokter gigi’, bukannya ’dokter’ saja, tapi kan yang penting embel-embel ’dokter’nya itu... Kayaknya aku mau ambil jurusan Ilmu Perpustakaan pun mereka tak kan peduli. Mereka baru bakal kelabakan kalau tahu-tahu aku lolosnya ke sana. Tapi aku kan tidak ambil IPC jadi aku tidak mungkin ambil jurusan itu. Aku malas belajar ilmu sosial lagi. Eksakta saja sudah cukup mencekikku.  

Tidak bisa kutunda-tunda lagi mengambil keputusan ini. Hari ini adalah hari terakhir pengembalian formulir SPMB. Aku menoleh pada teman sebangkuku selama hampir setahun ini, si Sabrina, yang sedang tekun mengerjakan Fisika. Kertas soalnya lengket dengan lengannya yang berkeringat. Entah apakah ini efek dari global warming ataukah memang Bandung semakin panas sehingga keringatnya makin banyak saja? Atau mungkin mengerjakan soal-soal Fisika memang perjuangan mati-matian hingga menelorkan keringat?

”Eh, besaran mana sih gajinya dokter gigi ma dokter hewan?” tanyaku meminta pertimbangannya yang kadang tak terkira sungguh bijaksananya.

Dia berkata dengan serius. ”Manusia tanpa gigi masih bisa hidup tapi tanpa hewan dia akan binasa.”

Ohmaigad, aku terkesima dengan jawabannya. ”Manusia tanpa gigi gakkan bisa ngunyah makanan, gimana dia bisa makan?”

”Kan udah ada teknologi implan gigi...Atau masak aja bubur...”

Aih, betapa tersiksanya kehidupan manusia kalau begitu. ”Tapi kalau kita makan gak dikunyah kita bisa keselek dan meninggal dunia dan binasa. Lagian kalau manusia purba gak punya gigi gakkan ada kehidupan masa kini karena mereka semua mati keselek begitupun keturunan mereka karena pada jaman dulu belum ada teknologi membuat bubur.”

”Tapi mestinya mereka udah mengenal teknologi cobek. Mereka bisa mengulek daging sampai halus. Ku kira kamu ngomonginnya konteks masa sekarang...”

”Okelah, konteksnya masa sekarang. Mulai saat ini bayi yang lahir ke dunia akan hidup tanpa gigi selamanya dan mereka bisa hidup sampai tua karena makan bubur sepanjang hidupnya. Lagian kalau kita sudah tua pun kita akan kembali makan bubur dan pake pampers. Trus kenapa tanpa hewan kita akan binasa? Kita kan bisa jadi vegetarian? Lagian gakda hewan kan gakda flu burung, osteoporosis, pes...”

”Leptospirosis kali maksud kamu, ya? Kamu tahu gak di pelajaran Biologi kita kan pernah dikasitau kalau perkembangbiakkan tumbuhan ada yang dibantu hewan juga. Misalnya penyebaran biji dari kotorannya primata yang makan buah-buahan, penyerbukan dengan bantuan burung kolibri, kelelawar, bekicot... hm, apa ya itu namanya. Kalau gak ada mereka beberapa tumbuhan mungkin gakkan punya keturunan lagi dan jadi langka, padahal siapa tau itu tumbuhan yang sangat berguna bagi kita. Hm... contohnya apa ya?”

Sabrina  membuatku makin pesimis saja aku bakal diterima di KU. Ia membuatku menyadari pengetahuan Biologiku masih ngadat padahal itulah modal utama masuk KU! Padahal kukira aku lumayan di Biologi dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya...

”Ya udah deh, aku pilih Kedokteran Hewan...” sami’na wa ato’na. Aku membuka-buka halaman buku petunjuk, mencari-cari kode Kedokteran Hewan... Hm... yang di Pulau Jawa adanya IPB ma UGM. Pilih IPB saja deh, biar dekat rumah. Hweks... Oh iya, IPB kan hanya ada satu kode karena setahun pertama masih pembelajaran bersama (dan pastinya masih pelajaran SMA yang sudah sangat memuakkanku itu) dan itu artinya masih ada penjurusan lagi... Ih, aku bisa tidak ya penjurusannya nanti ke KH... Aduh, kalau malah nyasar ke hutan-hutanan gimana... Ah, bagaimana nantilah! Aku sudah malas mikir! Aku menghitamkan lingkaran-lingkaran di formulirku sesuai kode IPB.

Setelah selesai aku dan Sabrina sama-sama bangkit dan berjalan menuju TU di lantai bawah mumpung jam istirahat belum berakhir. Berdua kami tinggalkan kelas yang riuh resah. Riuh karena memang itulah pembawaan anak SMA. Resah karena sebentar lagi ujian demi ujian kan menimpa...

”Kamu udah mantap sama pilihan kamu?” tanyaku sambil berjalan.

Dia mengangguk pelan. Memang agak pendiam temanku ini.

”Jadinya kamu pilih apa?”

”FTSL ma SITH ITB...”

Lalu kami bercakap-cakap mengenai ITB sampai kami memasuki ruangan TU. Kami berpapasan dengan Ike yang hendak keluar ruangan. Tampaknya ia juga baru menyerahkan formulirnya.

”Hai, Ike.”

”Hai, Citra... Sabrina...”

Ramah dia menyapa membuat siapapun akan berpendapat baik tentangnya. Cara berjalannya membuat kita tahu dia orang yang sigap bagai ibu-ibu pejabat (dia mantan ketua OSIS dan di bawah tanggung jawabnya bazar tersukses SMAN Bilatung I Bandung pernah terlaksana...). Kacamata gaulnya yang tebal membuatnya terlihat intelek. Ya tebal framenya. Ya tebal lensanya. Semua orang tahu dia berasal dari keluarga dokter. Ya kakeknya. Ya neneknya. Ya ayahnya. Ya ibunya. Ya kakak-kakaknya. Ya mungkin adiknya juga. Tidak heran dia pasti pilih Kedokteran juga. Ukh, bakal jadi saingan berat nih. Untuk bisa jadi dokter dia kan sudah ada bakat sementara aku mesti usaha sampai sekarat. Semoga saja dia pilih Kedokteran yang di UI, UGM, atau UNAIR. Manapun, asal jangan ke UNPAD. Manapun, asal lebih baik dari UNPAD. Karena pilihanku adalah ke KU UNPAD.

”Habis nyerahin formulir SPMB juga?”

Ya iyalah, masak abis makan orang?

”Iya. Kalian juga ya? Pada pilih jurusan apa?”

”Kedokteran UNPAD,” jawabku seraya tersenyum tanpa ekspresi.

”FTSL dan SITH ITB...” demikian pun Sabrina.

Dari jawaban kami kentara bahwa kami sangat tipikal anak SMAN Bilatung I sekaliii...

”Ike pilih apa?” tanya Sabrina sebelum Ike sempat berkata-kata lagi.

”Aku IPC.”

”Jurusan... jurusan?” tanyaku seperti kenek yang tak sabar menunggui calon penumpang agar cepat-cepat masuk ke dalam angkotnya.

”Pilihan pertamaku sih Kedokteran UGM...”

Pasti keterima!

’Pilihan keduaku Ilmu Perpustakaan. Pilihan ketiganya aku gak ngisi.”

”Wah, Kedokteran UGM, bagus tuh! Ada kelas internasionalnya juga kan? Kamu pasti keterima!”

Dia menggelengkan kepala, masih tersenyum, ”Nggak. Biarpun aku ngisi Kedokteran UGM, aku sih pinginnya masuk Ilmu Perpustakaannya... Jadi aku belajarnya buat pilihan keduaku deh.”

”Ooo...”

”Habis aku cinta buku sih! Yuk ah, ntar lagi masuk loh...”

Terperangah, tertegun, lalu bengong, aku dan Sabrina membalas lambaian tangan Ike yang makin menjauh.

Ya. Dengar-dengar Ike adalah relawan 1001 buku. Dia juga katanya punya taman bacaan sendiri buat anak-anak kampung pinggir komplek perumahannya. Mungkin suatu saat aku bertemu dengannya lagi dia sudah jadi pustakawati di perpustakaan Fakultas Kedokteran...

”Gyaa!” Teriakanku pecah. Seseorang menggelitik pinggangku! Siapa itu yang begitu tega membuatku menciptakan polusi suara di tengah ruang TU yang gelap dan pengap ini?!

Haaaa.... Tandia...

Aku ingat Tandia. Dia teman sekelas adikku waktu TK. Adikku sering pulang menangis karena diganggunya. Si kulit cerah berambut lurus ini dulu tambun badannya, gembil pipinya dan menggemaskan. Sekarang ia kurus dan tampan. Adikku sampai kewalahan menolak gelombang cinta yang menderunya. ”Biarpun cakep tapi dia nakal. Biarpun pinter tapi dia usil. Biarpun tajir tapi dia belagu. Biarpun dia bilang aku teman sepermainan TK paling menyenangkan (untuk digangguin) tapi dia udah punya orang lain di hatinya...” begitu ratap adikku suatu malam. Lalu mengapa anak yang dulu sekelas dengan adikku waktu TK kini bisa bersama-samaku menyerahkan formulir SPMB? Yak... apalagi kalau bukan karena dia ikutan kelas akselerasi? Dia ikut program percepatan tersebut waktu SMP. Kini objek kejahilannya berpindah padaku begitu tahu aku kakak dari teman sepermainannya waktu TK yang paling menyenangkan (untuk digangguin). Kini adikku sekolah di SMA yang meskipun tidak sefavorit Bilatung I namun masih 5 besar se-Bandung Raya. NEM-nya hanya selisih sedikit sekali sehingga dia terlempar dari daftar calon siswa Bilatung I waktu itu...

“Ngapain sih berdiri di tengah-tengah? Ngalangin orang lewat tahu! Bener kan Pak Sam?”

Yang ditegur hanya bisa mengernyit karena namanya bukan Pak Sam. Hampir tiga tahun lamanya aku di sini pun belum pernah dengar ada pegawai TU namanya Pak Sam. Ah memang ini anak suka mengada-ada.

”Ngumpulin formulir SPMB juga?” tanyaku dengan nada sok dewasa untuk mengimbangi sikap kekanak-kanakkannya.

”Iya!”

”Pasti pilih Kedokteran ya?” ucapku cepat supaya dia tidak sempat mengeluarkan kata macam-macam untuk meledekku atau apa.

”Alah... tipikal! Anak Bilatung I tuh kalau gak Kedokteran pasti ITB milihnya!”

Beberapa orang yang ada di situ mendelik ke arahnya. Hahaha, kadang aku suka sama kepolosan dan keberaniannya...!

”Loh, karena itu kan SMA sini jadi SMA bergengsi dan favorit. Output-nya bagus soalnya...” Seperti biasa Sabrina menanggapi dengan kalem.

”Ya itu kan karena input-nya juga bagus...” Oh aku tahu, dalam jeda sekian detik itu dia pasti sebetulnya ingin ngomong, ”kek gue gitu loh, aksel...” Dia melanjutkan lagi, ”Emang lo milihnya apa gitu?”

”Panggil aku Teteh dong...”

”Ngapain... kita kan seangkatan... Lagian di sekolah ini kan gak ada senioritas!”

”Kalau gitu aku gakkan jawab!”

”Kalau elo milihnya apa?” Tunjuk Tandia pada Sabrina.

”FTSL dan SITH ITB...”

”Pasti pilih Kedokteran ya?” Tandia menunjukku.

”Ngapain aku jawab?”

”Idih, marah...”

”Emang kamu pilih apa gitu?”

”Pertanian. IPB, ” jawabnya semangat.

”Yang kedua?”

”Pertanian. IPB.”

”Eh, IPB kan setahun pertama masih belajar pelajaran SMA. Penjurusannya baru setahun kemudian, jadi kan belum tentu kita masuknya ke jurusan yang kita pingin...”

”Emangnya lo? Gue sih, bisalah...”

Ya ampun masih berapa bulan lagi ya Ramadhan? Bisakah dipercepat supaya makhluk nista di depanku ini bisa segera dibelenggu?

“Oh ya udah deh. Semoga aja aku lulus pilihan pertama jadi aku gak usah ketemu kamu di IPB! Amin! Dadah, Pak Tani!” Aku buru-buru melayangkan map merahku ke atas tumpukkan map lainnya di salah satu meja TU. Setelah Sabrina kusuruh melakukan hal yang sama aku menarik tangannya dan cepat-cepat ke luar ruangan. Adakah bocah tengil itu melepas kepergianku? Ternyata dia malah sudah langsung asik ngobrol lagi dengan salah satu pegawai TU...

Huh, aku tidak habis pikir anak belagu kayak dia bisa-bisanya berminat jadi petani?! Dua kali dia SESUMBAR pingin masuk Pertanian IPB?!

“Halo, Teh Citra.... Teh Sabrina...”

Aku hampir saja tak mengacuhkan cewek mungil yang baru akan memasuki ruang TU itu. Anisa namanya. Tiga kali loncat kelas hingga akhirnya dia bisa seangkatan dengan kami. Edan-edanlah anak-anak SMAN Bilatung I Bandung mah. Kayak aku... edan-edanan pas-pasannya...

”Mau ngumpulin formulir SPMB?”

”Iya...”

Kata orang Anisa lebih bisa bergaul dengan orang-orang yang lebih tua darinya ketimbang dengan anak seumurannya.

”Udah mantep kan?” tanyaku basa-basi.

”Insya Allah... Pada milih apa Teh?”

”Ah, biasalah tipikal anak SMAN Bilatung I Bandung pada umumnya....” Puas kau, Tandia! ”Anisa juga pasti pilih Kedokteran kan? Pasti keterimalah!”

”Ah... nggak kok Teh. Aku ambil Psikologi sama Pedagogi...”

...ang...?

”Mmm... Yang kedua itu.... apa... ilmu tentang anjing ya?”

”Masya Allah, Cit! Itu ilmu tentang pendidikan anak-anak!” Ekspresi tersurat Sabrina menyatakan kemirisan. Ekspresi tersiratnya membilang yakin-kamu-mau-masuk-Kedokteran?

“Abis tadi aku denger ada dogi-dogi-nya gitu sih!”

Anisa tertawa. Aku senang melihat tawanya. Seperti tawa anak kecil. Memang dia masih kecil. Rasa-rasanya dia seumuran dengan adikku yang satu lagi. Mengetahui seangkatan dengan anak yang usianya seumuran dengan adikmu rasanya seperti seangkatan dengan adikmu betulan. Dan itu bisa membuatmu merasa seperti orang yang benar-benar mengidap ’keterbelakangan’.

”Jadi Teh Citra mau masuk Kedokteran ya? Wah, moga-moga keterima, ya Teh...”

Eit, jangan meledekku, Anisa...

”Kalau Teh Sabrina ngambil apa?”

”Haruskah aku mengucapkannya untuk keempat kalinya tanpa kuinginkan di hari yang sama?” Sabrina berbisik di kupingku.

 

 

Ike

Selamat datang di perpustakaan pusat universitas termashyur di seluruh negeri! Perpustakaan ini menyimpan jutaan buku dan arsip. Apa yang kamu butuhkan untuk paper-mu, tugasmu, laporanmu, skripsi, tesis, disertasi... carilah di sini! Kamu akan menemukannya. Jika kamu kesulitan dekatilah kami dan tanyakan buku apa yang kamu cari. Atau jika kami melihat wajahmu sebegitu kebingungannya kamilah yang akan mendekatimu dan bertanya, ”Ada yang bisa dibantu?”

Mencari bukunya Hoolstvoogd katamu. Kamu sudah mencarinya di komputer pencari. Kamu sudah mendapatkan kodenya. Kamu sedang mencari-cari raknya. Tapi kamu tak menemukannya juga.

”Saya nggak nemu rak yang kodenya begitu...” keluhmu.

Saya senang karena kali ini saya yang memiliki kesempatan berharga untuk membantumu, salah satu pengunjung setia perpustakaan ini karena saya sering melihatmu beredar di sini. Saya tersenyum. Iseng saya tanyakan kode buku yang telah kamu cari. Mestilah kami tahu karena kami yang menatanya. Menyusunnya menurut abjad. Merapikannya agar kamu mudah mencarinya. Buku dengan kode yang kamu sebutkan tersimpan di koleksi lama. Mestilah buku yang kamu cari adalah textbook yang amat sangat berguna bagi para ahli yang menekuni disiplin ilmu yang sama denganmu.

”Sebelah sini, Mas...” kata saya.

Saya mengajakmu berjalan ke arah sayap timur gedung ini. Gedung perpustakaan ini adalah gedung yang umurnya sudah puluhan tahun, kamu tahu, dibangun pada saat agresi militer II Belanda. Oleh karena itu kamu akan menemukan cukup banyak buku tua lainnya di rak-rak koleksi lama. Tidak butuh waktu lama. Saya tahu persis tempatnya karena saya yang melakukan inventarisasi di bagian ini beberapa minggu lalu. Nah, ini sudah sampai. Kamu lihat rak-rak buku dari besi berjajar dengan rapi dari ujung satu ke ujung lain ruangan yang besar ini. Buku-buku berlabel disusun berdasarkan kodenya. Kamu lihat, memang ini koleksi lama. Semua buku sudah menguning kertasnya. Sudah lapuk dan rapuh dimakan kutu dan waktu. Hati-hati saja kalau membukanya. Banyak pula yang sudah lepas dari jilidannya. Oleh karena itu kami para pegawai di sini harus rutin melakukan perawatan karena setiap buku yang mengandung ilmu di dalamnya adalah berharga adanya. Ia merupakan dokumentasi dari perjalanan waktu. Mengandung ilmu yang tak lekang oleh zaman. Meskipun sudah ditemukan teori baru tapi  teori yang sebelumnya pun bisa dijadikan pertimbangan.

”Tapi Mas, buku-buku koleksi lama hanya boleh dibaca di tempat,” saya mengingatkan. Sebab kalau dibawa pulang tidak ada yang bisa menjamin buku itu akan kembali dengan utuh. Mungkin halamannya ada yang hilang karena jilidannya sudah rusak. Yah, memang buku lama. Buku lama yang berharga. Kami harus mengantisipasi jangan sampai terjadi kerusakan lagi, apalagi oleh tangan manusia, selain karena faktor waktu.

Kamu tercenung sebentar. Sepertinya kamu tadi berniat membawanya pulang. Mungkinkah buku itu akan sangat penting artinya buat kamu?

”Oh gitu ya, Mbak.. Ya udah saya salin di sini aja...” katamu.         

”Masnya jurusan apa?” tanya saya.

Komunikasi dengan pengunjung amatlah penting untuk dilakukan. Kalau selama ini kamu mengira tipikal pustakawan adaah seorang ibu-ibu tua bersanggul tinggi, berkacamata tebal, bersikap jutek, yang selalu membawa-bawa kemoceng berselimutkan debu dan kerap menyuruhmu diam agar suasana perpustakaan tetap hening, itu salah besar! Datanglah ke perpustakaan ini dan temukan para pustakawan/tinya adalah orang-orang yang siap melayanimu dengan senyum dan sebaik-baiknya pelayanan.

”Hm... Kedokteran Hewan,” katamu.           

Setelah saya menyerahkan buku itu kamu mengucapkan terima kasih. Agak kikuk gayamu.

”Kalau begitu saya kembali ya, Mas,” ucap saya.

”Eh iya, Mbak, sebentar,” tahanmu, ”kalau bukunya Taufiq Ismail di mana ya?”

Wah wah, anak ini. Sudah mahasiswa Kedokteran Hewan, minatnya pada Taufiq Ismail pula. Mungkin suatu saat kelak dia akan menjadi Taufiq Ismail kedua.

”Mari saya antarkan...”

Saya membawamu ke rak yang menyimpan koleksi karya budayawan besar Indonesia itu. Kamu tidak mengambili buku Taufiq Ismail satu-satu dan melihat-lihat isinya. Matamu jelalatan mencari judul buku yang kamu inginkan. Mungkin semua buku Taufiq Ismail yang ada di koleksi ini sudah kamu baca?

”Tirani nggak ada ya, Mbak?”

”Maaf, koleksi sastra di perpustakaan ini memang kurang lengkap. Masnya penggemar Taufiq Ismail?”

Kamu menggaruk-garuk lehermu. Agak malu-malu kamu menjawab, ”ya... begitulah... Semua buku tentang Pak Taufiq di sini saya sudah baca. Yang belum ya Tirani itu. Tapi memang dari dulu nggak pernah ketemu di sini...”

”Kalau Masnya bener-bener suka dan pingin baca, saya punya kok di rumah. Bisa saya pinjamkan.”

Tersirat aura girang di wajahmu. ”Bener, Mbak?”

”Iya, nanti kita tukeran CP aja. Mungkin besok bukunya bisa saya bawa. Buku-buku saya di rumah sudah sangat banyak. Daripada dibaca sendiri kan lebih baik kalau dipinjamkan, bisa memberi manfaat untuk orang lain. Asal nanti bukunya dikembalikan lagi, ya?”

”Wah... pasti Mbak!” katamu sumringah, membuat saya semakin menyenangi profesi ini. Yang membuka akses bagi setiap orang untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi apa saja, entah memang itu yang diinginkannya atau hanya sekedar mengisi waktu saja. Ini cita-cita saya sejak kecil, sejak saya menyadari bahwa saya amat mencintai buku. Saking banyaknya buku saya sehingga telah menjadi suatu koleksi. Namun masih kalah jumlah koleksi saya pribadi ketimbang koleksi dari perpustakaan keluarga. Keluarga saya memang memiliki budaya baca yang sangat kental. Saya dan saudara-saudara saya sudah terbiasa dengan buku sejak kami masih kecil.

Pustakawan memang sebuah profesi yang belum setenar dokter, advokat, insinyur atau bahkan direktur. Namun bukan berarti pustakawan adalah profesi yang bisa disepelekan. Pustakawan juga profesi penting karena memberimu akses dan kemudahan dalam memasuki gerbang ilmu pengetahuan yang tiketnya bisa kamu dapatkan dengan membaca buku. Katakan saja apa minat dan buku yang kamu senangi. Kami akan berusaha menyediakannya untuk kamu. Agar kamu terberdaya. Agar kamu tak lagi merasa hampa. Agar kamu juga memiliki kesenangan itu; kesenangan membaca buku, suatu kesenangan yang berguna.

 

 

Tandia

Halo...? Dim, ni elu, kan? Ah, becande aje lo. Iya ni malming gini, sepi rumah gue. Lo main ke sini gak? Ah, payah lo... Ya, gapapa deh, asal temenin gue ngomong, mumpung gi murah nih… Untung provider kita samaan... Hehhehe...iya... Eh, nggak, sialan lo ngatain gue hombreng. Kagak, Dim... gue udah punya dong... Ntar...ntar gue cerita... Sabarlah, Dim.... Ae, udahlah ngomongin yang lain aja dulu....

Dim, tau gak Dim, sekarang si Cihuy ma si Kehed udah punya anak loh. Iya, cewek ma cowok gitu sepasang. Yang cowoknya sih anak mereka beneran, ganteng gitu dah kek gue. Aiyah, ngaku lo—Yang ceweknya si gue dapet ngadopsi. Mukanya rada-rada aneh gitu tapi baelah... Ahiya, brengsek ni si Sobur. Masak yah, dia pernah ngatain gue gini, “Ih, si Tandia mah anak rumahan tapi mainnya game rumah-rumahan....” Ah, brengsek juga lo ngatain gitu. The Sims tuh mainan paling manusiawi nyaho? Itung-itung latian membentuk keluarga gitu deh... Ya kan gue mah sekolah cepet, lulus cepet, kawin cepet, hehehe....

Iya nih, Dim, sekarang mah gue udah mantep ma pilihan gue: IPB. Ah biar aja orang kate gue mau jadi petani. Biar aja orang tua gue agak-agak gak ikhlas gitu.. iya, Dim, kemarin tu gue ma bokap hampir gontok-gontokan gitu. Ya tapi akhirnya dia yang ngalah sih. Emang gue pingin bisa kerja di sawah kok! Lo inget kan, Dim, waktu pertama kali gue main ke rumah lo, waktu pas kelas 4 SD tea.... Lo ngajak gue ke sawah trus gua antusias banget gitu. Ya elo tahu kan rumah gue terpencil di tengah kota gini, jarang-jarang gue liat sawah. Paling gua bisa liat kalau main ke rumah kakek gue doang. Iya, iya, trus kita lari-larian gitu kan, trus elo jatuh jadi item gitu semua baju lo gara-gara lumpur. Trus kaki lo kesengat lintah trus lo nangis padahal sebelumnya lo sok-sok anak sawah gitu.... hahahahha.... ada mah juga lagu Anak Pantai kale.... Iya ya, kok gak ada gitu lagu judulnya Anak Sawah? Anak Gembala sih ada ya, si Tasya... Iya paling kalo ntar abis setahun pertama di IPB gue tahunya masuk ke Peternakan ya gue jadi anak gembala. Tapi ogah ah, gue mah mau jadi anak sawah aja.

Eh... hehehe... ah, elo nih, mancing-mancing gue aja. Ntar lagi cacing lo gua embat juga tuh. Ini dia nih sebetulnya yang dari tadi gue mau cerita. Menyedihkan pisan heuueh malam minggu ngobrolin kecengan bareng sesama jenis kelamin kayak cewek aja. Apa sih itu namanya? Jojoba? Jomblo Jomblo Bahagia? Norak! Ikatan Jomblo Lucu dan Imut? Wakakakkaka....

Jadi gini, Dim... Dulu waktu umur gue baru sekitar 5 tahunan gitu, gue kan punya.... yah, katakanlah—bahasanya Raditya Dika neh—asisten ibuku.... ya, pembokatlah, kasarnya mah. Dia tuh cucunya si Bibik yang ngasuh gue dari bayi. Cuman waktu itu teh si Bibiknya lagi sakit atau kenapa gitu jadi cucunya disuruh gantiin dia... yah, lupa deh gue pokoknya. Waktu itu teh umurnya si Teteh—dulu gitu gue manggilnya—baru sekitar 13 tahunan. Sekarang aja gue baru nyadar kalau itu termasuk mempekerjakan anak di bawah umur. Tapi dia udah lulus SD sih... Yah maklumlah, kebanyakan penduduk di desa kakek gue emang masih rada-rada marjinal gitu.... Em, majinal tu apa?.... Ya lo cari aja di KBBI, adalah! Dasar kemalesan aja lo mah.... Iya, jadi si Teteh gue itu teh... cantik edan. Siplah sip. Si Santi kalah deh, apalagi si Citra, hakhak.... Si Candra.... Huahahahahha.... Ampun, kalo inget dua bersaudara itu teh— Hahahaha oya, iya...

Dim, dulu sih gue ngerasanya biasa aja gitu ama dia. Ehiya, Asih namanya. Gak inget gue kepanjangannya. Eh, gak inget apa gak tahu, ya? Pokoknya gitu. Ngeliat wajahnya juga biasa aja. Yah, pokoknya semua serba biasa aja deh. Orangnya telatenlah. Lo tahu kan dulu gue rada-rada bawel gitu.... Ehehehe, sekarang mah nggaklah.  Trus apa ya? Yah, kalau diinget-inget sih sebetulnya dia kek neneknya aja gitu dalam hal ngerawat gue. Tapi bedalah yang terasa antara dirawat nenek-nenek dengan perawan... Hahahahha.... Ya sekarang sih... Terakhir gue main ke rumahnya dia gi nimang cucunya yang keduapuluh. Iya ih, orang-orang dulu anaknya ma cucu-cucunya banyak-banyak gituh da kawinnya pas masih muda banget. Ya pokoknya kisah kasih dengan si Asih teh entah kenapa meninggalkan kenangan manis buat gue. Nah iya, manisnya tuh jadi manis gara-gara.... mmmm, kira-kira 2 tahun lalu lah gue main lagi ke desa kakek gue itu. Hah? Heuue... Iya, gue langsung girang gemirang gitu gulang guling di sawah.... ya nggaklah, kuya! Ya tapi gue seneng sih. Boleh deh dilihat foto-foto narsis gue. Sempet ngrasain nyangkul juga, Dim. Capek.... tapi mantep dah, gue ngerasa jadi pria sesungguhnya, haha... Kalau konteksnya rokok kan, belum jantan kalau belum ngerokok... Konteksnya gue mah belum jantan kalau belum nyangkul... Hooh, kapan sih ultah lo? Gue kadoin pacul, mau?

Trus kan gue diajakin main ke rumah si Bibik. Eh, ada si Asih.... Lo tahu kan gue gi dalam masa puber-pubernya.... Hahahha.... Pas gue ngeliat dia lagi, gue baru nyadar kalo dia tuh geulis mampus! Uuuh... Mending lo liat sendiri deh! Kembang desa, Dim! Jantung gue langsung ngadegdeg tea. Gue dikenalin lagi kan, “Ini loh, masih inget gak sama Asih? Dulu dia kan pernah di rumah kita beberapa bulan?” gitu kata nyokap gue. Oh, jadi kenangan manis itu usianya hanya beberapa bulan aja ya? Gue baru nyadar tea. Umurnya 20-an gitu sih kalau dihitung-hitung, dan dia belum nikah! Iya, biasanya kan orang desa kawinnya cepet gitu kan? Gak, bukan karena mereka pada ikutan aksel. Sekolah aja boro-boro, Dim. Jadi dulu teh katanya dia udah mau kawin gitu kan... ama TKI Malaysia... Eh, cuman tewas di jalan, Dim... Tragis. Gatau sih sekarang dia mau kawin lagi apa nggak. Gue mah takutnya mendadak dia dijodohin ma aki-aki gitu.... Gila Dim, semenjak itu gue jadi naksir abis ma dia, Dim...

Gue kan sempet ngobrol-ngobrol gitu ma dia kan. Dia kerja di koperasi gitu. Ah, pokoknya itu masa-masa ngobrol paling hangat yang pernah gue rasakan. Ih, ngapain juga pas ngobrol ma lo gue ngrasain anget-angetan gitu, hiiii.... Ya trus dia tuh banyak cerita soal masalah-masalah pertanian gitu ke gue. Dari soal tengkulaklah, tanah, tikus, hasil panen, macem-macem.... Saat itulah gue mulai merasakan dia sedang bercocok tanam benih cinta di hati gue.... gyahahaha.... Aduh, gatau nih, Dim, abis itu teh gue kebayang dia terus.... Biar cuman orang desa tapi dia cantik dan concern ama masalah di sekitarnya gitu.... dewasa pula, pinter ngurusin urusan rumah. Calon istri idamanlah! Coba kalo dia bisa nerusin sekolah, nggak kebayang pinternya kayak apa. Iya tahu, dia masih memperlakukan gue seakan gue masih anak majikannya, tapi what-so-ever-lah. Nah, sejak itulah gue jadi terinspirasi buat menuntut ilmu pertanian secanggih-canggihnya dan bangun desa kakek gue jadi agropolis panutan! Biar input kakek gue nambah juga, hehehe...Trus ya syukur-syukur aja entar ketemu Asih lagi dan dia lum nikah... Hehe... Moga-moga aja dia belum kesambet Datuk Maringgih... Gue ngerasa jadi Syamsul Bahri nih!

Dim, ah lo nih, gatau aja gue selalu punya perhitungan. Libur semester kemarin tuh gue ke rumah kakek gue lagi. Trus ya.... gue cari-cari kesempatan gitu, heheh, siapa tahu aja bisa ngobrol ma Asih lagi... Cari-cari infolah dia juga ada rasa ma gue pa gak, hehe... Hah? Iya sih... Tapi siapa tahu aja.... Gue gak keberatan calon istri gue lebih tua berapa tahun gitu.... Segitu mah gak ketuaan lagi. Lagian gue kan carinya emang yang dewasa gitulah, ya lo tahu lah, gue juga sadar gue masih kadang childish gini. Ya... trus dia.... ah... Susah jelasinnya Dim... Gue gak tahu sih dia tuh sebetulnya gimana... Tapi ya trus gua sadar kalo buat sementara ini mah kayaknya lum saatnya juga sih ngomongin yang gituan. Yang pasti mah gue udah terlanjur doyan ama sawah!

Eh, jangan sembarangan, Dim! Sarjana Pertanian itu ada masternya loh! Gue rencana mau nerusin ke Jepang malah. Emang tadi gue belum sempet cerita ya visi gue 5 tahun ke depan? Ya. Pokoknya gue rencana lulus tahun keempat trus abis itu terbang deh. Ya pokoknya entar gelar gue, M. Agr gitu deh.... Pokoknya gue mau nemuin formula, ngelakuin penelitian gimana caranya Indonesia bisa keluar dari krisis pangan. Ya untuk lingkup kecilnya desa kakek gue dulu deh. Pasti itu juga yang Asih harepin...

Dim.... Dim... halo, halo, Dim.... lo masih di situ....?

Ah, sial nih, kutu kucing! Mati hape gue!

 

 

Anisa 

Ditariknya gagang pintu. Dibukanya perlahan. Pintu terbuka tanpa suara. Hawa dingin menyergap.

“Assalamualaikum...”

Ia tahu tidak akan ada yang menjawab. Ia tahu barokah yang didoakannya takkan pernah sampai pada siapapun.

Ayah ntah ada apa tidak. Perusahannya pasang surut membuat wajah keriput itu dari hari ke hari makin kecut. Anisa tidak mau mendongak apabila bertemu. Jangan sampai bertemu. Ia hanya akan menunduk.

Perusahaan ibu lebih maju. Ibu punya banyak anak buah. Ibu bisa meninggalkannya kapan pun dia mau dengan menyerahkan sebentar kemudinya pada yang dia percaya. Ibu akan menjemput Rido dari playgroup dan akan dibawanya bersenang-senang. Ibu akan memanjakan Rido. Ibu ingat harus membawa Rido pulang ke rumah. Mereka pulang dan bertemu ayah. Dan ada piring terbang. Dan ada suara ramai gelas pecah. Rido meringkuk di kamar. Anisa juga. Mereka berdua masing terasing. Anisa jarang menyentuh Rido. Rido selalu bersama ibu. Anisa takut pada ibu.

Si mungil Rido. Kadang dibelai kadang digampar. Kadang dimanja kadang dihajar. Tergantung pada suasana hati ibu. Anisa hanya bisa berharap suasana hati ibu selalu baik. Anisa tidak pernah lihat lebam-lebam itu. Anisa tidak pernah mau. Ia sudah cukup puas melihat lebam itu ada pada dirinya bertahun tahun lalu sebelum Rido ada.

Ibu memang menyewa pembantu. Ia datang dari jam 9 pagi sampai 2 siang untuk memasak, mencuci, dan membersihkan rumah saja. Ia datang dan pergi tanpa arti bagi Anisa. Anisa tak pernah jumpa. Anisa tak pernah mengenal. Anisa tak pernah menyapa karena orang itu datang dan pergi begitu saja.

Anisa lagi-lagi sendiri. Agak ditakuti hingga dijauhi. Anisa sangat cerdas. Luar biasa cerdas. Hingga lompat kelas. Pada awalnya sang guru memanggil psikolog. Psikolog itu tahu. Orangtua Anisa dipanggil. Psikolog dengan bangga mengatakan. Orangtua Anisa hanya terperangah. Mereka ngeri, katanya. Ya, saya tahu anak saya memang aneh. Sedari dulu dia memang aneh.

Jadilah Anisa begini. Ia diberi seperti apa yang harus diberi oleh kata psikolog itu. Orangtuanya menuruti tapi dia tetap ditakuti. Anisa semakin cerdas. Lagi-lagi loncat kelas. Prestasinya tertinggi. Namun Anisa tak pernah diajak komunikasi. Anisa si anak sepi. Anisa tak tahu bagaimana harus mencari kawan. Ia mendapat teman bicara kalau orang itu sama-sama tahu apa yang dia tahu. Teman-temannya pun tak peduli. Oh itu Anisa si pintar. Tapi dia aneh. Dia nggak asik. Dia nggak bisa gembira. Kenapa Anisa selalu murung? Ditanya bu guru. Anisa tak tahu harus jawab apa. Anisa merasa tak murung.

Anisa pulang. Di rumahnya sudah banyak buku-buku berwarna. Sudah dibelikan atas permintaan orang yang peduli padanya dan diletakkan begitu saja di kasur. Buku penuh tulisan dan angka. Anisa membaca dan Anisa senang. Ia merasa volume otaknya membesar dan makin membesar hingga sebesar balon udara. Kepalanya membawanya terbang melanglang buana. Menelusupi dimensi-dimensi baru. Membawanya menjelajah ke tempat-tempat baru. Melihat hal-hal unik dan menarik. Anisa suka. Ini menyenangkan. Anisa lebur. Anisa terlarut dalam sungai itu. Sungai yang membawa banyak suplemen. Anisa makan dan otaknya makin besar dan membawanya ke tempat yang lebih tinggi. Anisa bertemu orang-orang tua. Anisa berkenalan dengan mereka. Orang-orang tua itu mengajak Anisa ke tempat yang lebih jauh lagi. Lebih jauh dari tempat ke mana otak besarnya membawa. Salah satu dari mereka berkata padanya, “Marilah aku kenalkan ke padamu macam-macam ilmu....”

Semuanya. Semuanya yang berakhiran logi. Nomi. Tika. Dan lain-lain.

Anisa puas. Anisa senang. Anisa pingin bertemu orang-orang tua lagi.

“Lain kali ajaklah seseorang ke sini,” kata orang-orang tua.

“Siapa? Siapa yang bisa kuajak?” tanya Anisa.

“Siapapun. Temanmu. Adikmu. Kakakmu. Ibumu. Ayahmu.”

Senyum Anisa pudar. Ia jatuh dalam bayangan gelap sampai semuanya tak terlihat. Orang-orang tua melambai dan berseru, “Datang lagi, ya... Lain kali bawalah keluargamu...”

Anisa akan ajak Bu Lastri saja. Psikolognya sejak dulu. Ia senang pada wanita itu.

“Psikolog itu apa sih?” Begitu tanyanya suatu kali.

Bu Lastri tersenyum dan menjawab.

Anisa ingin seperti Bu Lastri.

Anisa juga ingin jadi ibu. Supaya bisa menyayangi keluarga dengan sepenuh hati.

Anisa kembali dari lamunannya. Ia melangkah di atas ubin porselen yang dingin. Dinginnya rumah itu selalu menusuknya. Kadang hanya di permukaan kulit. Kadang sampai ke dalam hati. Anisa membuka pintu kamarnya lalu pintu lemarinya. Anisa mengeluarkan ransel besar dari dalamnya. Ransel dengan banyak kantong. Anisa menarik resleting salah satu kantong. Dikeluarkannya amplop dari dalam situ. Anisa mengecek isinya. Semoga saja cukup. Sampai dia mendapat pundi uangnya yang baru. Anisa memasukkan kembali amplop itu ke dalam. Amplop yang berisi uang simpanannya selama bertahun-tahun. Uang yang diberikan ibu kalau wanita itu ingat. Hampir tiap hari ia tidak jajan dan jalan pergi dan pulang agar amplop itu tebal isinya.

Anisa mengeluarkan baju yang telah disiapkannya lalu mengganti seragamnya. Ia tak akan menunda-nunda lagi. Tidak ada seorang pun di rumah. Ini adalah saatnya Anisa minggat. Tak usah buat surat. Takkan dibaca.

 

 

Kusnandar

Suara jangkrik ramai. Mereka bersembunyi di pepohonan yang masih rimbun melingkupi daerah ini, pelosok Kiaracondong. Siapapun pasti takkan menyangka... Atap jerami melindungiku dan Kusnandar dari paparan terik sinar matahari sementara aku dan dia bermain halma. Dagu Kusnandar bertopang pada lututnya. Kedua telapak tangannya menapak lantai bilah bambu yang adem. Plastik bekas menampung es teh terkulai di sampingnya. Dia mengangkat bidak halma dan meloncati bidak punyaku.

Aku siswa mutasi dari SMAN Buahbatu dan baru masuk ke SMAN Bilatung I Bandung saat kelas 2 SMA atas keinginan orangtuaku. Orangtua mana yang tidak bangga anaknya menjadi siswa di sana? Menjelang kelulusan SMP memang aku pun berkeinginan ke sana meski tidak sekuat orangtuaku. Sayang, NEM-ku tidak mencukupi sehingga aku terlempar ke kluster 2. Kusnandar teman pertamaku di SMAN terfavorit di Bandung itu. Terang saja karena dia memang tetanggaku sejak kecil dan kami biasa bermain bersama. Waktu SMP padahal dia biasa saja. Tidak sepertiku, dia jarang mendapat ranking 10 besar. Tapi saat kelulusan anehnya dia mendapatkan NEM yang lebih besar dariku sehingga dia bisa langsung tembus ke SMAN Bilatung I. Ah, hidup ini memang aneh. Tapi karena aku mutasi ke sana jadi kami bisa bertemu kembali. Tidak di rumah, tidak di sekolah. Memang tidak ada bosannya aku berteman dengan dia.

Kus-kus, begitu biasa aku dan orang-orang di sekitar kami dulu memanggil Kusnandar. Tapi setelah satu SMA dengannya, aku dengar teman-temannya dan guru-guru akrab memanggilnya Ngkus. Jadi aku pun kini memanggilnya demikian.

“Ngkus, geus ngisi formulir SPMB tacan?”

Ngkus mendongak sambilmenggaruk lehernya.

“Ah, isukan welah, bareng hayuk?”

Lincah bidak halma dia mainkan.

“Yah itulah masalahnya Ngkus, saya bingung mau isi apa, masih kosong.”

“Kunaon atuh bingung-bingung? Ceunah maneh rek asup ka ITB ceuk kolot?”

“Ah, susah atuh, Ngkus. Ai Ngkus jadinya ke mana?”

“Pendidikan Olahraga, UPI.”

“Ah, baleg atuh. Masak anak Bilatung ke UPI?”

“Nya bae, suka-suka urang. Pan jarang-jarang budak Bilatung ka ditu?”

Ngkus ini memang sedari dulu suka mengagetkan saja. Dia suka bertindak semau dan seenaknya. Tapi aku kagum akan keyakinannya saat mengatakan itu. Sebenanya dulu Ngkus sudah pernah mengatakan hal itu padaku. Dia mau masuk UPI. Mau jadi guru. Jadi pegawai negeri. Gaji terjamin sampai pensiun nanti. Selalu dikelilingi anak muda sehingga tidak penah merasa tua. Ngkus membayangkan saat pensiun dia sudah punya rumah dengan halaman yang luas. Sore hari ia membaca koran sambil minum kopi di atas kursi di halaman rumahnya itu. Pakaian sehari-harinya di rumah hanya oblong dan sarung saja. Murid-muridnya selalu ingat Ngkus dan akan mendatangi rumahnya sore hari selepas sekolah atau bekerja. Jadi di halaman itulah ia menunggu mereka. Yang muncul dari balik gerbang sambil membawa oleh-oleh dan berteiak-teriak, “Pak guru... Pak guru... Pak guru Ngkus...” Sehingga rumahnya tak pernah sepi dari canda tawa dan gurauan.

“Kenapa kamu gak pilih ITB atau UNPAD aja, Ngkus?”

“Da teu hoyong. Urang mah ngke hayang jadi guru Olahraga SMA. Tapi yang cewek ama cowoknya dicampur, gak kayak di SMA kita. Jadi urang bisa puber selalu....”

Mimik Ngkus jadi mesum. Memang Ngkus ini selalu ada-ada saja. Kami tertawa.

“Ah, baleg, Ngkus....” ucapku. Masak karena itu saja sih? “Nanti kan kamu punya istri dan anak juga.”

“Euleuh euleuh si Urip teh geus mikir eta...” Ngkus terbahak. “Bagi urang mah teu masalah. Jadi guru SD atau SMA atau TK. Sama-sama ngegemesin.”

Apanya yang ngegemesin, Ngkus? Hahhaha...

“Lagian da mun milih ITB jeung UNPAD ge, pan urang geus nyaho kitu kemampuan urang sakitu. Da kumaha atuh masak 3 tahun teh meni euweuh nilai 8 selain olahraga?!”

Aku tertawa. Iya, Ngkus, masih untung juga kamu masih bisa naik kelas dan lulus SMA meski nilaimu pas-pasan.

“Trus kamu cuman pilih Pendidikan Olahraga UPI aja gitu? Pilihan satunya apa? Daftar ke swasta juga gak?”           

Tak tok tak, bidakku telah sampai ke seberang dengan selamat. Tinggal satu bidak lagi.

“Pilihan kadua urang... Basa Sunda! Mun di sekolah kita aya pelajaran Basa Sunda urang yakin nilai 8 di rapot urang gak cuman olahraga aja. Ah, tapi da urang mah yakin da masuk pilihan pertama. Gak perlu swasta-swastaan... teu minat jeung teu boga duit!”

Engkus merenggangkan badannnya.

“Ngkus, kalau ntar anak kamu pingin jadi guru juga gimana, Ngkus?”

“Nya, teu nanaon, emang kunaon kitu?”

Karena orangtuaku tidak akan setuju sekiranya aku ingin juga jadi guru seperti Ngkus. Orangtuaku tak cukup demokratis seperti orangtua Ngkus. Mereka memasukkanku ke SMAN Bilatung I Bandung supaya kelak aku bisa meneruskan ke ITB atau ke Kedokteran sebagaimana lulusan SMA tersebut pada umumnya.

Orangtuaku kerja di Jakarta. Ayahku kebetulan punya posisi bagus di salah satu BUMN yang sedang untung-untungnya di era teknologi dan informasi seperti ini sementara ibuku dan temannya punya usaha perhiasan yang cukup maju. Terang saja mereka menginginkan agar aku kelak berprofesi mapan juga. Dan masuk ITB atau Kedokteran seolah menjadi jaminan.

“Ngkus, emang kata orangtua kamu gimana pas tahu kamu milih Pendidikan UPI?”

“Biasa wae da. Jadi guru ge keneh tiasa hirup pan?”

Ayahnya Ngkus hanya pegawai negeri rendahan. Untuk menambah pendapatan, ibunya membuka warung kecil-kecilan. Untung juga kakak-kakak Ngkus sudah bekeja semua. Mereka kini tinggal tepencar di luar kota. Meskipun cita-cita Ngkus tidak se-‘wah’ teman-teman lain tapi ia dan keluarganya tampaknya masih bisa hidup meskipun sederhana.

Sebetulnya aku juga ingin punya kebebasan dan cita-cita mulia sepertinya. Ngkus tidak menjadikan guru sebagai pilihan terakhir, dia menempatkannya sebagai yang utama.

“Ngkus, kenapa kamu nggak jadi dosen aja? Kan lebih sejahtera?”

Tiba-tiba terlintas pikiran itu di benakku. Meskipun aku pernah dengar juga ada saja dosen yang gajinya pas-pasan. Tapi sepertinya masih lebih baik dibandingkan guru sekolahan. Belum pernah aku dengar berita ada dosen-dosen pada demo untuk kenaikan gaji. Tapi kalau demo guru? Siapa belum pernah dengar?

“Ah, teuing atuh. Emang apa salahnya sih, Rip, kalau emang pingin jadi guru? Ngasih pendidikan yang baik sejak dini?”

 

 

Urip

“Ai maneh sorangan rek asup ka mana?”

“Ah, bingung euy.”

“Beuu...”

“Takut salah pilih. Ngkus, Ngkus, emang kalau orang gak punya cita-cita tinggi kayak masuk ITB atau UNPAD gitu salah nggak sih?”

“Beuu, ngan sakitu cita-cita tinggi teh? Cita-cita tinggi itu, kuliah di luar negri, di perguruan tinggi paling bagus sebumi sekalian! Jadi profesor! Menguasai dunia! Ya mungkin menurut kalangan kita mah sakitu teh nu tinggi.”

“Kenapa Ngkus gak pingin kayak gitu?”

“Da gak pingin. Urang mah hoyong kieu wae. Jadi guru olahraga, menyehatkan anak-anak biar gak gampang sakit dan selalu masuk sekolah. Biar stamina belajar nambah.

“Semua profesi itu ada perannya masing-masing, Rip... Yang penting itu totalitasnya. Dan ada manfaatnya buat masyarakat! Lagian juga nih, Rip, nu paling penting, liat dulu kemampuan sendiri! Da urang mah merasa mampunya menjadi guru. Urang mah miluan kata hati wae.

“Ai Urip, isuk pan terakhir ngumpulkeun? Masak can disii-isi acan atuh? Lieur...”

“Yah, paling ntar malem telpon orangtua dulu. Ya, paling yang pertama Kedokteran UNPAD, yang kedua ITB.”

“Oh... Bagus atuh. Emang maneh geus niat ka ditu?”

“Gak...”

“Yeee, kumaha atuh, Rip? Maneh aya minat naon kitu... teu? Tong ngageleng atuh, Rip!”

“Ya... itu palingan.”

 

 

08 Mei 2008

ngebut euy

-DYH

09 April 2010



HABIS KATA #4

Ya benar. Judul cerpen ini mengacu pada judul film Indonesia yang berjudul ‘Perempuan Punya Cerita’. Karena cerpen ini pun terdiri dari berbagai cerita tentang orang-orang yang akan melepas status ‘anak SMA’-nya dan menentukan hendak ke makah langkah selanjutnya. Sebenarnya terciptanya cerpen ini karena pada suatu Kamis petang, waktunya Forum Fiksi Forum Lingkar Pena (FLP) Yogyakarta—waktu itu saya masih anggota baru—Mas Hasan, koordinator forum tersebut, meminta para anggota baru untuk membuat cerpen dengan tema cita-cita dan lalu dikumpulkan pada dia. Saya terdorong untuk melakukannya. Meski akhirnya cerpen ini tidak saya serahkan pada dia karena cerpen ini diselesaikan dalam jangka waktu yang lama dimana Mas Hasa sudah tidak pernah mengungkit-ungkit tentang cerpen-dengan-tema-cita-cita itu lagi. Tema ‘cita-cita’ kemudian berkembang menjadi pikiran mengenai ada nggak ya orang pintar yang memilih cita-cita yang sederhana? Kita tahu, umumnya anak-anak pintar di SMA itu pada akhirnya mereka mesti akan memilih jurusan tenar. Ya Kedokteranlah, Tekniklah, dan sebagainya, seakan tidak ada jurusan lain saja. Saya kira, kalau semua anak pintar memilih jurusan tenar saja, bagaimana sektor-sektor lain akan berkembang? Sektor-sektor yang terpinggirkan dan tidak populer di mata masyarakat umum pun membutuhkan sentuhan orang pintar. Katanya pembangunan itu harus merata di segala bidang. Seperti itulah kira-kira fenomena yang saya tangkap. Jadi dalam cerpen ini saya memunculkan karakter-karakter yang berasal dari sekolah terfavorit, terelit, lalala-dan-semacamnya di kota. Secara spontan saya menjadikan almamater saya sebagai acuan tapi tentu saja tidak secara terang-terangan saya sebutkan, melainkan diplesetkan. Karakter-karakter ini sebagian memilih jurusan yang umum dan sebagian sisanya memilih jurusan yang tidak umum, seperti yang dapat dibaca... dan mereka memiliki kadar kepintarannya masing-masing. Konsep teknisnya adalah menampilkan setiap karakter dengan format yang berbeda-beda. Cerpen ini diselesaikan dalam jangka waktu yang cukup lama dan waktunya berloncat-loncat. Meluber di awal dan seadanya di akhir. Yang penting macam-macam format telah diaplikasikan dan tidak ada format yang sama untuk setiap pemunculan karakter. Dalam pengeditan tata bahasa pun saya agak bingung karena banyak menyelipkan bahasa daerah. Oke, katakanlah cerpen ini memang kurang matang. Namun saya berharap ada ‘sesuatu’ yang bisa diambil dari dalamnya. (12/30/2008)

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain