Kamis sore itu Mbak Desi mengedarkan sebuah
angket. Angket yang menjadi salah satu yang mengawali dimulainya forum teater
FLP Jogja.
Teater? Kayaknya asik juga. Aku mau coba ah. Hari kapan yang paling tepat untuk menyelenggarakan forum ini? Senin sudah dipakai untuk forum diskusi. Selasa forum non fiksi. Kamis forum fiksi. Mmm... Rabu paling.
Saat makan malam di rumah, Mbak Novi—alias Mbak Putri, sepupu jauhku yang sesama anggota FLP Jogja angkatan 9—bertanya, “Tadi kamu pilih hari apa, Ta, forum teater?”
“Rabu,” jawabku.
Tidak tahu akankah ada kelanjutannya forum
teater itu.
Ada pemberitahuan. Pada suatu Sabtu 12
April 2008 akan diadakan launching
forum teaternya FLP Jogja di Balairung selatan pukul 16.00 WIB. Ada pembicara.
Pembicaranya dari Teater Garasi. Menarik juga. Aku lupa topiknya. Sebenarnya
aku ingin datang ke sana. Ingin tahu. Menambah wawasan. Mengisi waktu. Ternyata
ada hal lain yang lebih penting dikerjakan untuk mengisi waktuku.
Pada hari itu aku praktikum Silvika di
Wanagama. Silvika adalah ilmu menanam pohon. Wanagama adalah hutannya UGM. Pagi
sampai siang itu hidupku dikejutkan oleh kehororan-kehororan dalam hutan.
Keong. Ulat. Banyak teriak karena mereka. Banyak mendongak karena aku kebagian
menghitung lebar tajuk pohon. Mata kesilauan. Tidak bawa kacamata hitam. Tidak
punya.
Aku kira aku bakal masih sempat mendatangi
acara FLP tersebut. Ternyata sampai di kampus hari sudah sore. Selepas solat
ashar di masjid Al-Ihsan kampus Kehutanan aku tahu jam menunjukkan pukul
setengah lima. Kalau aku datang ke sana, aku bakal telat setengah jam. Malu ah.
Jadi aku melangkah pulang saja. Melewati Balairung. Jadi pemandu jalan dadakan
bagi para calon mahasiswa baru yang besoknya akan mengikuti UM UGM.
Teman-temanku dari SMAN - Bandung juga sedang di Jogja dan akan mengikuti tes
tersebut. Mereka ada di Fakultas Teknik sekarang. Jauh. Nanti aku gak kebagian
bis. Jadi aku hanya mengucapkan kata-kata semoga sukses via sms kepada salah
satu temanku. Tak lupa aku juga sms Mbak Desi, minta maaf karena gak bisa
datang. Trus aku tanya gimana acaranya. Sukses gak. Yang datang 10 orang.
Jumat besoknya. Perdana kedua setelah launching yang Sabtu itu. Aku sengaja
gak ikut Reading Club-nya IFSA LC
GMU. Paling debat lagi debat lagi. Gak suka debat. Gak penting. Aku lebih
penasaran sama forum teaternya FLP Jogja. Bisa tambah ilmu sepertinya. Keknya
asik. Hal yang baru. Dan gak ngajak debat tentunya.
Aku datang. Dan cuman Retno angkatan 9 FLP
Jogja yang datang selain aku. Ternyata cuman dia juga angkatan 9 yang datang
pada Sabtu itu. Tapi gak papa. Ada Isti juga. Ada Mbak Lilo yang selalu setia.
Dan lain-lain. Lalu aku jadi kenal Mbak Leli juga. Dia dan Mbak Desi yang mengarang
naskah itu. Naskah yang bakal dipentaskan di Diskusi Cakrawala. Whoa, hebat.
Cepat juga geraknya forum ini. Kami mencoba Reading
dan analisis tokoh. Lalu cari pemain juga. Siapa yang kira-kira cocok
memerankan tokoh tersebut di antara kami... Pada mulanya aku nggak begitu niat
terpilih sih. Aku cuman ikut-ikutan aja. Kalau dapat peran ya syukur...
Aku jadi polisi hutan.
Polisi hutan kok cewek??
Ada kok...
Polisi hutannya ada dua. Yang satu lagi
belum tahu siapa yang memerankan. Mestilah cowok lah. Mbak Desi juga
ngebayanginnya yang main jadi polisi hutan itu dua-duanya cowok kok. Sedih
banget. Kurang pemain. Akhirnya akulah yang dipake.
Reading.
Untuk sementara lawan mainku Mas Iim. Gak tau kenapa. Minder aku. Aku jadi gak
yakin. Polisi hutan itu gimana sih nada bicaranya. Apakah harus tegas? Ataukah
sok-sok ngejawa gitu? Kaku? Aku dengar Mbak Desi menyebut nama Rif’an.
Keesokan Sabtunya rencana untuk latihan
lagi. Siapa tahu aja pemeran untuk polisi hutan satunya lagi sudah ada. Yaya.
Aku Insya Allah datang. Aku selalu bisa datang.
Pada Sabtu itu ada acara menarik juga di
Fakultas Ilmu Budaya UGM. Gi Korean Festival. Ada seminar tentang Film Korea
pada jam 09.00. Ada film ‘Secret Sunshine’ jam 13.00 dan ‘My Tutor Friend 2’
jam 15.00. Aku nggak akan bisa nonton film yang kedua karena ada latihan
teater. Padahal itu film katanya kocak sekali. Yah, nonton film gituan kan bisa
ngerental kapan-kapan. Sementara latihan teater... Siapa tahu aja hari ini aku
udah dapat lawan main dan bisa bener-bener latihan.
Aku datang. Satu per satu personil lain
datang. Dan ternyata Mas Rif’an gak bisa. Jadi hari ini aku gak ‘main’ lagi
dong? Padahal... padahal aku bisa nonton film kedua di FIB. Aku hitung-hitung
jumlah dialogku di naskah. Cuman 7 kalimat pendek. Sampai jam lima sore aku
masih bertahan dalam kehampaan. Menjaga agar perasaanku tetap sedatar LCD notebook. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.
Hari mulai gelap. Aku pamit pulang. Dalam
naungan pepohonan Manilkara kauki aku
mengsms teman dekatku di Bandung. Bertukar kemalangan. Dia cerita motornya
mogok di Pasopati dan sedang menunggu bantuan. Aku cerita aku melewatkan film
Korea terlucu demi latihan teater dimana lawan mainku gak ada dan dialogku
sendiri cuman 7 kalimat pendek. Dia menyayangkan nasibku yang selalu malang.
Huh, kek dia nggak aja.
Sesampai di rumah, hujan. Aku menunggu
kepulangan Mbak Novi dan adiknya, Dila, yang menonton film tersebut. Mereka
pulang dengan wajah puas sumringah. Ketika ku tanya bagaimana komen mereka
terhadap film tersebut, Mbak Novi berkata, “Lucu selucu-lucunya!!”
Akh.
Malam itu aku—dibantu Dila—membujuk Mbak
Novi agar mau pergi lagi keluar rumah. Mengantar pergi ke Wahana untuk pinjem
‘My Tutor Friend 2’ dan film apalagilah yang lain mereka pingin tonton. Mumpung
bulik sekeluarga lagi pergi. Setelah beberapa lama akhirnya Mbak Novi mau juga.
Bersamaku pergi ke Wahana, kami pinjam ‘Lovely Complex Live Action’ dan tentu
saja ‘My Tutor Friend 2’. Pulanglah kami dan aku masuk angin.
Pertama kami nonton ‘Lovely Complex Live Action’
dulu. Malam sudah larut ketika filmnya selesai. Lalu saatlah film yang
ditunggu-tunggu...
Ternyata tidak bisa diputar.
Bisa sih, tapi agak lama.
Karena tak sabaran jadi kumati-nyalakan CPU
komputer yang baru beberapa hari diservis itu. Tetap tidak bisa. Ah. Menyerah.
Gimana besok dah.
Keesokan harinya komputernya nggak bisa
nyala sama sekali. Rupanya komputernya harus diservis lagi. Ya. Komputer baru
diservis sensitif katanya. Jangan dulu dipake mainan. Jadi aku harus pergi ke
rumah bude di RT sebelah untuk pinjam laptop. Aku harus ngerjain laporan kan.
Kupinjam lagi disk ‘My Tutor Friend 2’ yang lain. Aku bilang pada penjaga
rentalnya disk yang kemarin aku pinjam itu gak bisa diputar. Dengan disk yang
baru aku coba tonton di laptop sepupuku. Ternyata laptop sepupuku nggak
dipasang program yang bisa putar DVD. Jadi...
Ah, sudahlah. Jangan diingat-ingat lagi.
Sebagai koordinator publikasi aku berambisi
untuk menyebarkan publikasi sampai habis. Sampai pada H-1 tidak tersisa lagi
satu lembar publikasi pun di tanganku. Dalam waktu kurang dari dua minggu 750
lembar publikasi ini harus habis!! Banyak sekali ya. Pada mulanya kami hanya
cetak lima puluh. Lalu seratus lagi. Eh, ternyata cepat juga ya habisnya. Lalu
atas inisiatifku dan Mbak Novi, kami cetak lagi seratus. Tanpa lapor dulu ke
ketua panitia, Mas Adi. Pas aku bilang sama dia, ternyata dia juga udah cetak
lima ratus. Glek. Bener-bener glek. Besoknya aku datang ke forum non fiksi
untuk ambil yang dia cetak. Mas Adi datang dengan pembawaannya yang menunjukkan
dia sedang agak shock. Tempat yang
kemarin telah ditetapkan sebagai lokasi Diskusi Cakrawala ternyata akan dipakai
oleh acara lain. Mereka lebih dulu daripada kita. Jadi tempatnya ganti. Dan 750
lembar yang telah dicetak dan sebagian kecil disebar ini belum direvisi karena
pemberitahuannya mendadak banget... gya... Udah mah publikasinya kebanyakan, salah tempat pula. Tapi tanggung
jawabku untuk menyebarkan apa yang sudah terlanjur basah ini sampai habis. Aku
optimis bisa. Caranya adalah dengan memberdayakan semua anggota FLP—juga
kawan-kawan di luar itu—sebagai staf publikasi. Hahahaha...
Jadi pada keesokan harinya, yaitu Rabu,
hari yang ditetapkan pada Sabtu kemarin sebagai hari melanjutkan latihan untuk
persiapan pementasan Diskusi Cakrawala itu, aku sangat berniat datang, dengan
niat sangat kuat adalah memberdayakan para pemain menjadi staf publikasi.
Semuanya akan kukasih masing-masing dua puluh lembar. Huhu.
Rabu sore itu aku datang dan mendapati Mas
Budi sudah ada di sana. Mas Budi itu termasuk orang FLP Jogja kedua yang aku
kenal. Yang pertama itu Mbak Lilo. Mas Budi juga orang pertama yang aku temui
di Jogja yang langsung nyambung begitu aku nyebut minimagz Openmind. Aku lupa bagaimana awalnya kami bisa ampe
nyambung ke situ. Sama-sama tahu.
Ini adalah kesempatan. Aku mau kasih
publikasi banyak banget ah ke dia. Tapi ini masih banyak yang belum diberi double tape. Lalu dia ngebantuin aku
nempel-nempelin. Kata dia lebih cepat nempelin dengan menggunting double tape-nya lebih dulu. Menurutku
itu gak praktis. Langsung sobek aja. Oke, kalau gitu mari kita buktikan mana
yang lebih cepat.. Adu cepat itu tidak jadi berlangsung karena ada orang lain
yang datang—aku lupa siapa—yang ngajak ngobrol Mas Budi.
Setelah beberapa lama datang juga orang-orang
yang lain. Yang paling susah adalah mencari orang untuk memerankan polisi hutan
dan penebang kayu. Namun pada hari ini para pemeran akhirnya telah ditetapkan.
Syukurlah. Akhirnya aku punya lawan main juga. Hix. Dan orangnya Mas Budi. Heu.
Kami coba membaca dialog. Aku masih
mencoba-coba gaya bicara yang pas. Apakah tegas. Apakah berlogat daerah mana
gitu. Tapi yang paling bikin aku terusik adalah gaya bicaranya Mas Budi. Dia
sama sekali gak memancarkan aura polisi melainkan anak muda sengak nan belagu.
Aku merasa ini bukanlah interaksi antara dua polisi hutan melainkan anak
Pramuka dan Bu Polwan. Apakah gaya bicaranya bisa agak tegas sedikit..?
Selain melatih dialog kami juga merancang
masuk ke panggungnya dari mana. Gayanya mau kek gimana. Karena dialog kami berdua
sama-sama pendek jadi ya lama latihannya pun pendek. Sebenarnya kami ada dialog
dengan para penebang hutan cuman keknya mereka masih sibuk latihan sendiri.
Jadinya kami pun urung. Pada sore itu aku bagikan publikasi banyak-banyak ke semua
orang yang ada. Yang anggota FLP. Mbak Lilo yang paling banyak. Mas Budi juga
banyak deng. Ayolah, ini kan pementasan pertama kita... kalian juga pingin
banyak yang nonton kan?? Yang lain pada mau aja kukasih banyak-banyak (aku gak
peduli mau mereka tempel di mana...) cuman Mas Johan aja yang ambil seperlunya.
Kurang dari lima lembar pula. Dan dia juga titip publikasi lainnya ke aku dan
Mbak Novi (yang sengaja ku minta datang untuk nambahin stok publikasi untuk
dibagi-bagikan...). Ngah... Yah, pokoknya bebanku sudah berkurang. Sisa yang
sedikit ini besok mau kubagikan ke anak-anak forum fiksi.
Forum puisi. Aku gak terlalu suka puisi
sebetulnya. Kata anak-anak yang bawain Mbak Leli, jadi enak. Tapi aku nggak
ngerasain. Aku kan mau latihan teater dan bagiin publikasi. Aku lupa waktu itu
latihan apa. Yang jelas... besoknya GLADI RESIK!!
Tempat diskusinya jadinya di Ruang Rajawali
Wisma Kagama. Pada Jumat itu anak-anak forum teater katanya mau gladi resik di
sana. Tapi aku mau menghadiri rapat terakhir dulu di Masjid Kampus. Mas Budi
juga ternyata ada di sana. Setelah rapat berlangsung beberapa lama, ia
memberiku isyarat untuk pergi ke sana. Ya sudah, duluan saja. Aku menyusul
setelah agak lama. Aku nggak begitu suka sebetulnya kalau menghadiri sesuatu itu
setengah-setengah. Aku pergi ke Wisma Kagama dengan berjalan kaki santai.
Karena sepeda tak ada naik motor pun tak bisa.
Sampai di sana—jalannya bertele-tele
juga—ternyata pas banget mau adeganku... Ya ampun, sudah pada menunggu ya?? Trus
latihan deh. Mas Budi ternyata bisa bersuara keras juga. “TANGKAP DIA!!!” Aku
mengejar-ngejar penebang kayu serasa mengejar anak ayam. Sangat antusias.
Terutama yang namanya Mas Haris itu. Waha.
Dari semua tokoh menurutku yang paling
greget Bondo ama Rimbi ya. Si Isti bisa aja main ekspresinya. Kalau aku yang
jadi Rimbi kira-kira aku bisa gitu gak ya? Ntar imejnya Rimbi jadi jatuh, jadi
Rimbidiot lagi. Jadi polisi hutan juga agak aneh e... Yah, aku cuman membantu
saja.
Pada hari H... aku sudah membawa sepatu
Eiger, ransel hitam, topi rimba hitam, kaos hitam, celana lapangan hitam. Semua
serba hitam. Lalu Isti juga meminjamiku sarung tangan hitam. Tidak. Tidak.
Semua itu tidak kugunakan begitu aku datang ke tempat kejadian. Pertama aku
berlagak jadi penerima tamu dulu. Menerima tamu dengan senyum. Tak seorangpun
mesti tahu, penerima tamu ini bakalan jadi polisi hutan di akhir acara. Uh, ya,
maling lebih tepatnya. Karena outfit-ku
dari atas sampai bawah serba hitam. Isti juga minjemin aku topi rimba
abu-abunya soalnya kalau aku pake yang warna hitam juga mati entar... Mati
apanya... Jadi kupinjamkan sama Mas Budi yang pake kaos putih dan celana coklat
muda itu. Alas kakinya sepatu kets aja. Uh. Kok cuman aku yang niat ya? Niat
jadi maling. Topi rimbanya nggak jadi dia pake. Kekecilan. Di daftar hadir
panitia, aku menulis, ‘nervous
uy...’. Aku ingat Mas Adi sempat menghampiriku bentar dan tanya, “D---, masih nervous?” Hihiw... Kagak ah. Aku mencoba
enjoy aja.
Menunggu-nunggu... Sebentar lagi akan
tiba... Menunggu di balik pintu... Memegang popor kayu... Aku paling ingat
ekspresinya Mas Adi dan Mas Ade saat mereka keluar ruangan dan menyadari di
balik pintu ada sesosok makhluk hitam. Topi rimba menutupi setengah kepalanya.
Paling sialan tuh responnya Mas Ade. Ah, ya, sudahlah mau digimanain lagi. Aku
sendiri dalam sanubariku merasa geli. Aku sengaja nggak pake kacamata kala itu.
Biar nggak bisa liat penonton.
Trus aku masuk terakhir, setelah para
penebang kayu. Begitu masuk, aku memilih berdiri tidak jauh dari tempat aku
duduk lagi. Menyilangkan tangan. Berdiri tegak. Sok sok mengawasi keadaan.
Gatau ah gimana kata orang pas tiba-tiba ngeliat aku sok cool gitu, waha. Aku cuman bisa liat Flower dan Nisa yang duduk di
depan sana, melihatku lalu segera berbalik. Ntah geli ntah ngeri.
Jadi aku juga ikut menonton sebagian
pementasan itu sampai tiba giliranku. Dan bodoh juga. Kemarin kan pas latihan
seharusnya dialog pertama para polisi hutan itu, aku dan Mas Budi duduk di atas
kursi biar kelihatan ama penonton. Eh, dia malah ngajak duduk di atas lantai.
Aku sudah tahu kalau dia nggak mestinya duduk di situ. Udah ada kursi, itu mbok ya diisi. Tapi otomatis aku manut aja dan terjadilah percakapan
pendek kami. Aku bisa ngebayangin jadi penonton paling belakang, terhalang
kepala orang, dan menyaksikan tidak ada siapa-siapa di depan sana yang bisa
dilihat dengan mata namun terdengar suara anak Pramuka belagu dan Bu Polwan.
Selesailah percakapan pendek itu. Kami
kembali ke deretan bangku. Aku ngikutin Mas Budi aja. Termasuk ketika dia duduk
di deretan bangku cowok-cowok. Trus ikut dia ke sisi satunya. Siap-siap nangkep
penebang hutan neh...
Dia teriak.
Teriak juga.
Kejar-kejaran.
Menepi.
Menunggu Bondo dan Rimbi.
Lalu masuk ‘panggung’ lagi. Di mana aku
mengawasi para penebang hutan sementara ‘partner’-ku
mengurusi Bondo. Aku membentak-bentak mereka, para penebang hutan (pohon sih
mestinya... ah, kadung ah), yang memelas-melas padaku. Aku bisa mendengar
penonton menyebut-nyebut, “Ih, OSPEK ya, OSPEK ya...” Memangnya aku ngerti ibu
Polwan asli gelagatnya gimana?
Adegan di mana aku menolak duit suap mesti
jadi adegan yang paling ditunggu-tunggu Mas Budi, di mana dengan nikmatnya dia
akan (dan pasti) mengatai aku, “bego”. Uh. Yaa, nikmat banget dia mengorek
hatiku. Aku sudah cukup menyadari aku bego tanpa perlu dikatai sebenarnya. Tapi
ini kan adegan... akting... akting...
Singkat cerita akhirnya selesailah juga
pementasan itu. Para pemain berdiri di depan, saling bergandeng tangan, dan
membungkukkan badan.
Horee... Alhamdulillah. Sampai di luar ruangan aku lepas topi rimbaku.
Hai, terima kasih sudah datang ke acara diskusi ini, sekarang lihatlah wajahku yang sebenarnya...
Extended: Pementasan kedua yang gak jadi
Woa, tampil lagi??
Aaa... di Maskamp ya. Minggu. Festival
nasyid. Dalam bayanganku kami bermain teater di dalam masjid.
Kendalanya adalah, salah satu penebang
hutan tidak bisa bermain saat itu. Jadi penebang hutannya tinggal satu deh. Dan
dia jadinya bermonolog. Nah, kalau penebang hutannya yang satu itu gak bisa main
juga?? Comot salah satu polisi hutan, jadikan dia penebang hutan. Jadi polisi
hutannya tinggal satu. Keduanya—penebang dan polisi—akan bermonolog.
Setelah tahu Mas Johan dan Mas Haris gak
akan tampil sehingga Mas Budi dijadikan penebang hutan dan itu artinya aku harus
bermonolog sebagai polisi hutan... memikirkan itu bikin aku—kata orang Sunda mah—lieur. Isin aku. Tapi ini adalah hal baru. Patut dicoba tuh. Mungkin bisa
nambah kepercayaan diri.
Tidak banyak waktu untuk latihan. Sekali
latihan, sekaligus gladi resik. Sabtu sore. Minggu paginya pentas.
Namun pada Sabtu itu aku nggak pergi ke
mana-mana sehingga aku agak urung untuk keluar rumah. Eman-eman ongkos masalahnya. Aku pergi ke luar dan menghabiskan
duit empat ribu (lima ribu kalau aku pulangnya gak kebagian bis dan harus naik
trans Jogja) cuman untuk menghabiskan waktu kurang dari 2 jam di luar rumah.
Tadinya aku nggak mau datang. Namun Mbak Desi mengharapkanku datang karena Mas
Budi dia tarik jadi penebang sehingga aku harus jadi polisi sendirian dan
monolog dan... ntar dia bantuin. Oalah, bingung aku. Kata bulikku sih terserah
aku aja mau pergi apa nggak. Bulik tahulah aku suka pergi ke luar menghadiri
acara karena aku nggak enak kalau nggak datang. Aku minta Dila untuk
mengantarku dengan motor. Untungnya dia mau. Jadilah pada sore itu kami
menembus angin menuju Balairung UGM. Begitu sampai di sana ternyata udah pada
mau moving ke Maskamp. Balik lagi
deh.
Di Maskamp kami melihat-lihat tempat akan
diadakannya acara dan merancang-rancang di mana posisi yang tepat saat akan
berdiri nanti. Kami juga mencoba membaca dialog sambil menggerak-gerakkan
tangan. Lebih ekspresiflah.
Latihan yang lumayanlah. Meski bertambah
satu orang lagi yang suka ngatain aku ‘bego’. Uh. Oke deh. Insya Allah besok aku bisa tampil seperti itu. Aku menunggu esok.
Belajar bermonolog. Butet Kertaradjasa, ah, aku jadi ingat dia.
Keesokkan paginya aku terbangun karena
ketukan di pintu kamar. Itu omku. Om bertanya apakah aku akan pergi karena
kalau nggak dia mau mengajari aku nyetir mobil. Karena masih terusik habis
bangun tidur tanpa basa basi aku bilang aku nggak bisa karena habis ini mau
pergi... Yaa, om hanya bisa tersenyum... Senyum apa itu, membuat hatiku
mencelos. Aku sering ngerasa gak enak kalau diajak teman pergi-pergi yang bikin
aku gak di rumah meski akhir minggu—harinya keluarga—tapi aku dengan begitu
enaknya aku menolak ajakan orang yang selama ini kurepotkan. Ajakan untuk
mengasah skill-ku dalam menyetir
mobil. Abis gimana juga, ya, aku sudah punya agenda lebih dulu..
Aku pergi dari rumah dengan sudah
mengenakan seragam malingku. Uh, ganti ah, jangan maling. Tim SWAT gitu. Jadi
ada personil tim SWAT naik D6 Minggu pagi, berhenti di kawasan Bulaksumur.
Awaha.
Aku turun dari bis dan berjalan menembus
kerumunan orang-orang yang merasa harus menghabiskan duit mereka untuk sesuatu
yang belum tentu akan berguna. Sampai di sana... di mana kalian? Itu Isti,
Retno, Mbak Leli bawa popor. Mbak Desi lagi sama keluarganya katanya. Ooo...
turun ke bawah...
Masalah.
Masalah itu bukan menjangkitiku. Aku tidak
masalah berlagak di depan ikhwan
terutama. Lagian dengan outfit macam
ini nggak jelas aku ini cewek pa gimana. Namun ada beberapa orang yang kurang
nyaman dengan situasi demikian. Di mana semua mata—terutama mata ikhwan akan mengarah padanya... Uh. Ya.
Terserah sih. Gak tau ah. Gak mau mikirin. Kalau jadi ya oke. Kalau gak jadi ya
gapapa. Aku netral-netral aja kok. Kalau gak jadi aku mau segera ke Klebengan,
nyiram dan ngukur semai, pulang, dan menggarap laporan.
Pementasan nggak jadi. Diganti puisi. Mas
Budi, Mas Anjar, dan Mas siapa-entah-aku-lupa-euy-namanya. Mas Budi teriak menggelegar, menarik orang-orang di
jalan melihat. Ah, ini orang emang... Pingin juga tuh aku teriak teriak di
panggung kek gitu.
Setelah ditraktir bakwan dan gulas, aku
diantar Isti ke Klebengan. Ternyata gerbangnya dikunci jadi aku gak bisa nyiram
dan ngukur sekarang. Aku lewat jalan samping. Gak ada jalan. Aku kembali dengan
dada berdebar karena bertemu bekicot dan ulat. Terbersit rencana untuk memanjat.
Tapi pakaianku udah hitam-hitam begini... Orang-orang di pinggir jalan gak
mungkin menyangka aku personil tim SWAT yang hendak meredam bom yang
tersembunyi dalam kebon kan? Yang kepikiran pasti maling. Dasar orang Indonesia
suka suudzon. Trus aku jalan
menantang panas ke Net2u, warnet langganan depan kampusku. Selama sekitar dua
jam aku menghamburkan duitku. Aku balik ke Klebengan dan ternyata masih
dikunci. Mau gimana lagi aku... Gak mungkin panas-panas begini tetap di situ
dan akan menunggu di mana pula...? Jadi aku jalan ke selatan, hendak mencegat
D6, melintasi UNY, sambil memikirkan juga apa yang hendak kutulis dalam cerpen
pementasan pertama forum teater FLP Jogja ini...
HABIS KATA #5
Sekali lagi benar. Senyatanya ini bukanlah cerpen melainkan sebuah kisah
nyata yang terjadi pada saya. Bisa dikatakan ini adalah comotan dari catatan
harian saya. Catatan harian khusus sehingga saya izinkan orang lain membacanya.
Karena catatan harian ini dibuat meamng karena ada orang yang memintanya.
Mbak Desi...
Dia berencana membukukan kisah di balik pementasan teater pada Diskusi
Cakrawala FLP Jogja April 2008 kemarin, yang ditulis oleh para pemeran tokoh
yang ada dalam teater tersebut. Salah satunya saya. Butuh beberapa waktu dan
beberapa kali menulis hingga jadilah tulisan saya yang dapat terbaca ini. Saya
biasa menulis buku harian jadi tidak ada masalah berarti dalam menulis ini.
Seperti menulisi buku harian seperti biasa saja, hanya kali ini medianya saja
yang ganti.
Pada waktu menulis ini sejak awal saya sudah memakai font Lucida Console dan saya biarkan saja tetap begitu hingga ke
wujud hardcopy-nya. Yah, ganti
suasana jugalah, masak Times New Roman
terus.
Entah saking keringnya ide di kepala saya pada Mei 2008 itu atau memang
sedang rese-resenya itu si kehidupan akademis memanggil saya, sehingga pada
bulan Mei itu tidak ada cerpen yang saya hasilkan. Jadi demi memenuhi tuntutan
program kerja yang saya buat sendiri, saya jadikanlah tulisan ini sebagai
cerpen Mei. Kalau tidak salah, kebetulan memang deadline tulisan ini adalah Mei jadi ya cocok. Bisa-bisanya ya
saya, haha...
Tidak banyak yang bisa dibahas lagi mengenai cerpen ini selain bahwa apa
yang tertulis memang benar adanya. Saya mungkin bukan seorang yang piawai
menggarap pengalaman sehari-hari menjadi sesuatu yang sangat menghibur dan
menarik dibaca. Dengan demikian saya biarkan pembaca mengetahui sepenggal dari
catatan harian saya. Semoga bisa diambil hikmahnya dan janganlah sampai
merasakan kemalangan yang sama.
Oh ya, ternyata film ‘My Tutor Friend 2’ itu, setelah saya menontonnya
sebagian, tidak sebegitu ‘lucu selucu-lucunya’. Kalau mau ngakak saya sarankan
untuk menonton ‘Naked Gun 2 ½’ dan ‘Shaun of The Dead’. Tapi maaf saja kalau
selera humor kita berbeda. (12/30/2008)