1
Elmo sudah menggeser satu anggapan mengenai dirinya
sendiri. Ia termasuk orang yang tidak tahan perubahan ternyata. Ia tidak mau
ada hal lain yang berubah dalam hidupnya, kecuali mungkin status
penganggurannya. Hari ini selesai shift
di PS dan selesai Aze bersekolah, Elmo akan berusaha menarik hati Aze lagi
dengan mengantarnya ke BC. Rutinitas yang biasa, berkat saran Trista yang kali
ini oke banget. Duhai, sudah lama sekali sejak ia terakhir kali melakukannya,
cowok macam apa kamu Elmo?
Kalau rencana yang ini berhasil, Elmo ingin mengajak Aze
ikut kumpul-kumpul bareng teman-teman SMA-nya. Kalau rencana ini tidak
berhasilpun Elmo akan mengajak Aze ke sana.
Elmo menghentikan mobilnya di gerbang samping SMA
Bilatung. Ayo Aze cepatlah keluar. Harapannya, Aze keluar tanpa mesti dihubungi
dulu, terus oke-oke saja ketika Elmo menyuruhnya masuk ke mobilnya.
Itu dia. Biar dia lihat sendirilah, Elmo malas memanggilnya
dengan cara apapun.
Aze berjalan perlahan di belakang rombongan temannya.
Jeritan klakson mobil-mobil di belakang Elmo makin keras dan sering saja. Elmo
menulikan telinganya. Ayo Aze, cepatlah jalannya! Aze sampai di gerbang,
matanya membesar melihat cowoknya yang mendesis menyuruhnya cepat masuk.
Tanpa berpikir, Aze langsung masuk saja ke mobil. Elmo
menaikkan langsung menginjak pedal gas dan cabut.
Untuk sesaat, mereka sama-sama diam. Membiasakan diri
dengan kehadiran yang lain. Lalu Aze bersuara.
”Mau ke mana?”
”Ke BC. Udah lama kan kita nggak ke BC? Nggak kangen
emangnya?”Elmo nyengir kepada roda kemudinya.
”Aku sering kok ke BC. Kamu aja yang nggak pernah ke situ
kalo aku lagi ada.”
”Eh iya, hihi.”
Diam, diam, diam. Aze merindukan keterusterangannya yang
mungkin akan menjernihkan suasana antara dia dan Elmo. Mungkin konfrontasi
langsung lebih baik daripada suasana begini, mereka sama-sama tahu ada yang
tidak beres, tapi tidak ada yang punya nyali untuk mengangkatnya. Juga tidak
ada yang cukup cuek untuk benar-benar bersikap biasa.
Mereka mengobrol sedikit tentang apa-apa saja yang
terjadi sejak mereka tidak saling kontak lagi, melewatkan bagian ketika Elmo
datang ke tempat Aze lalu Aze kelepasan menangis. Lalu di tengah percakapan
garing yang berlangsung, sampailah mereka di belokan BC. Sebuah dorongan
impulsif mampir ke benak Elmo.
”Ze, bolos BC yu!”
”Hah?”
”Kita nyewa film dari Zy-E terus nonton? Atau mau ke PS?
Udah lama banget Aze nggak ke situ!”
Ampun. Aze benar-benar tidak sedang dalam mood untuk beginian, apalagi bareng
Elmo. Yang bener aja Elmo, UN hari Selasa! Bagaimana menolaknya tanpa membuka
peluang konflik? Aze meringis minta maaf.
”Heu, Elmo, aku sedang nggak mood ni,” kata Aze perlahan.
Elmo menatap Aze yang kuyu dan sedang ’nggak mood’. Yah, mau gimana lagi?
”Yah, ya udah deh. Tapi janji ya ikut Elmo ketemuan sama
temen.”
”Ketemuan sama temen Elmo? Siapa? Kapan?”
”Waktunya sih belum direncanain. Tanggal-tanggal habis
UN. Janji ya Ze?”
Aze yang sudah terbiasa dengan tampang Elmo tiba-tiba
tersadar akan kegantengan cowoknya yang berkacamata.
“Iya.”
Suara itu dari mana datangnya? Oh, itu pasti dari
mulutnya sendiri. Aze, apa yang kamu lakukan?
2
Di BC. Elmo dengan tangan kidalnya mencorat-coret
kotretan dengan beringas sementara Aze yang duduk di sebelahnya sedang
mendengar penjelasan Mas Fahri dengan mata menerawang. Aze yang dulu bakal
bilang emang Elmo punya temen? Aze
yang dulu tidak akan meringis minta maaf saat menolak ajakannya. Aze yang dulu
akan langsung menolak tanpa basa-basi kalau ia tidak mau, walaupun Elmo juga
tahu bahwa Aze yang dulu bakal langsung mengiyakan untuk bolos BC, apalagi
untuk bersenang-senang bareng Elmo, bagaimanapun ‘nggak mood’-nya dia..
Ya ampun. Betapa Elmo benci pada perubahan. Betapa Elmo
benci pada wajah meringis minta maaf.
Tahu-tahu sesi kelas BC sudah selesai. Biasanya Elmo dan
Aze tetap nongkrong di BC sepulangnya nurid-murid lain. Tapi kayaknya hari ini nggak dulu deh. Elmo yakin Aze juga berpikir
sama dengannya. Dia kan lagi ’nggak mood’.
Hih.
Elmo menyelempangkan tasnya, menarik-narik lengan seragam
Aze, lalu berjalan keluar. Ia mengangguk sedikit saat bertemu istri Mas Fahri,
menunggu tidak sabar saat Aze mengajak Wili bermain, lalu akhirnya mereka
berdua sampai ke mobil dan duduk dalam hening.
Tidak ada yang menyalakan radio. Elmo sampat mengira
mungkin mereka tidak akan pernah sampai ke rumah Aze. Mereka sampai, lalu
setelah ’dadah Elmo’ yang suram dari Aze, Elmo ngebut pulang. Perjalanan ke
rumah Aze terasa sangat menyedihkan walaupun ada kawan yang duduk di samping Elmo. Coba bertanya pada rumput yang
bergoyang. Elmo cuma ingin sampai ke rumahnya, minum kopi racikannya sendiri
sambil menonton Fight Club. Ia ’nggak
mood’ nonton Spongebob.
Mei 2008
3
Elmo bangun pagi ini tanpa semangat atau optimisme. Ia
merasa jadi orang gagal lagi, hal yang baru pernah dirasakannya setelah bulan
Agustus 2007 datang. Ia jadi kembali
ingat perasaan itu, yang membuatnya ingin meringkuk saja di tempat tidur
atau melakukan hal tidak berguna lainnya. Kalau di film Shaun of the Dead, dia akan menjadi salah satu dari
pecundang-pecundang yang menghabiskan hidupnya dengan minum bir dan makan
kacang di pub Winchester.
Oh, tapi kini tidak, bukankah Elmo mestinya sudah
melewati tahap pecundang, tahap labil, dan tahap menghindari teman? Bukankah
hari ini ia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan muncul di acara
kumpul-kumpul alumni BKS 2007 untuk pertama kalinya? Elmo agak penasaran juga
apa yang teman-temannya bicarakan di kumpul alumni sebelumnya.
Dan tentu saja, hari ini rencananya ia muncul dengan Aze,
ceweknya, orang yang membantunya melewati tahap pecundang dalam hidupnya yang
masih belia itu. Krisis paruh remaja akhir, bisa dibilang begitu.
Tapi bagaimanapun, ia masih butuh Aze untuk bisa rileks
di hadapan teman-teman yang sudah tidak ditemuinya selama delapan bulan.
4
Elmo tiba di Dago Plaza. Setelah ia memarkir mobilnya, ia
berjalan cepat-cepat ke dalam. Panas terik hari ini. Ia berhenti di pintu
depan, mencoba menghubungi Aze yang mestinya sudah berada di sini. Mana sih itu
anak?
Di tengah kegelisahannya, sosok salah satu temannya yang
kribo, Achdiat alias Yayat, muncul. Senyumnya otomatis mengembang lebar di
wajahnya dan wajah temannya itu.
“Edan, si ganteng! Kamana
wae bal[1]!!”seru
Yayat penuh semangat sambil menghantam punggung Elmo keras-keras dengan buku
tebal yang dibawanya sampai-sampai kacamata Elmo terpental. Elmo meringis
sambil membetulkan kacamatanya. Ia tidak menjawab, Yayat sendiri tidak
mengharapkan jawabannya. Ia sudah senang bisa melihat Elmo.
Yayat menggiring Elmo masuk walau sebenarnya Elmo tidak
ingin muncul tanpa Aze. Mereka sampai di depan pintu studio karaoke keluarga
tempat beberapa alumni BKS lain sudah nongkrong. Dua orang dari mereka, entah
siapa, mengajak ceweknya. Wah, ada Yadi yang nggak lulus SPMB juga! Roim
yang juga aktivis DKM. Fredi si preman
karbitan. Baduy yang masih bertampang filsuf madesu. Karinta yang suka
bagi-bagi makanan. Nia. Lala. Lima-enam orang lainnya, semua nyengir menatap Elmo.
Elmo balas menatap mereka satu per satu. Betapa senang hatinya berjumpa lagi
dengan mereka. Kenapa ia dulu bisa-bisanya memutuskan hubungan dengan
teman-teman yang sudah bersama dengannya digampar senior BKS?
Elmo duduk di sebelah Yadi sambil nyengir lebar. Kapan
terakhir kali ia duduk di sebelah Yadi? Teman-temannya yang tadi duduk bangkit
berdiri untuk menyalami, menggebuk, merangkul, dan menanyakan kabar Elmo. Perasaan
nostalgia membuat hati Elmo menghangat dan bahunya menyantai.
“Adeuh, Elmo.
Baru keliatan lagi maneh. Mana cewek lo Mo? Bawa pan?”
“Elmo! Muncul juga lo,”
Elmo nyengir lagi di tengah rentetan pertanyaan, ”Iya,
muncul juga gue, haha..”
“Kerja lo sekarang?”
“Buka usaha Mo? Jadi entrepreneur?”
“Si Trista apa kabar Mo?”
“Cewek lo mana Mo?”
“Hehe.. Tau tu..”
“Cewek lo sekarang siapa Mo? Trista bukan?”
Elmo menggeleng sambil nyengir membayangkan kalau mereka
sampai tahu ceweknya sekarang siapa.
“Yah Elmo, udah nunggu-nunggu gue ampe lo jadian ama
Trista. Cewek lo siapa emang Mo?”
“Itu, Aze, anak Bilatung 2008,”jawab Elmo sekenanya,
disambut ketidak-ngeh-an teman-temannya.
“Hah?”
“Saha?[2]”
“Aze, yang dulu jatuh dari tangga?”sembur Roim heboh.
Wajar Roim menjadi yang pertama kali ngeh. Roim itu mantan anak PA juga selain
aktif di DKM.
Teman-temannya tampak geli sekaligus kagum, entah kenapa.
“Euleuh Elmo, awewe nu kitu diembat oge?![3]
Dahsyatlah.”seru Karinta di tengah tawanya.
“Edan Elmo. Dari kecelakaan tumbuh cinta gitu?”bahkan
Baduy melepas rokoknya dan tampak takjub.
“Nu mana sih
Aze-Aze teh Mo?[4]”Yayat
bertanya.
“Eta anu geubis ti
tangga aula[5].
Anak PA,”jawab Elmo malu-malu.
“Anjrit. Itu bukannya yang bikin elo kecelakaan Mo? Baleg we.. [6]“tukas
Fredi geli.
Elmo, yang mulai merasa canggung dengan segala obrolan
tentang dirinya, mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Kesalahan, ternyata,
seperti yang terbukti kemudian.
“Eh Yat, kok lo bawa buku sih? Bukannya sekarang udah
libur?”Elmo memulai topik barunya.
“Oh, ini, iya, gue ngambil SP nih. Sialan.”
Elmo berusaha menebak-nebak apa itu SP. Oh iya, semester
pendek. Kayaknya.
“Kok sialan? Eh, bukannya tingkat satu belum bisa ngambil
SP?”tanya Fredi yang satu kampus dengan
Yayat. Sebenarnya, hampir semua dari mereka satu kampus. Yang beda hanya Nia
dan Bamba yang kuliah di Salemba, serta kaum marjinal, Elmo dan Yadi.
“Ngulang gue. Taun depan ini jadi mata kuliah tingkat
satu. Jadi mesti lulus taun ini, anjing.”jawab Yayat suram.
“Oh iya, kan kurikulumnya ganti ya, lupa gue,”
“Seenggaknya lo udah dijurusin kan. Gue ni, entah gimana
nasib ntar. IP perbatasan. Tai.”
“Emang rese ya. Gua juga kejeblos edan, cuma kurang nol
koma nol tiga, kejeblos lah gue.”
“Tapi kemana juga yang penting IP-nya bagus. Di atas tiga
lah seenggaknya.”
“Iya ni. IP gue dua koma aja dua semester berturut-turut.
Edan. Ntar gimana nyari kerja?”keluh Roim menyesali hidup yang sulit.
Elmo menanti-nanti sampai ia bisa masuk lagi ke
pembicaraan. Tapi kesempatan yang ia tunggu tidak kunjung muncul. Ngomong apa
gerangan orang-orang ini?
“Jadi aktivis aja lo,”kata Yadi sotoy pada Roim yang
memang aktivis.
“Iya, tu bener. Di himpunanlah. BEM-lah. Unitlah.”
“Sama banyak-banyakin sertifikat,”
“Probabilitas lo udah nol, soalnya, buat jadi
asisten,”celetuk Nia, disambut tawa membahana rombongan mereka. Padahal tidak
lucu-lucu amat. Yadi cuek saja ikut ketawa. Mungkin dia ngerti, mungkin juga
tidak.
Elmo bengong.
“Udahlah, asal ada cap gajah di ijazah, mau ke mana juga
bisa,”
“Ah, nggak lagi sekarang. Nama universitas udah nggak
diliat. Mau Institut Top Bwanget juga kalo IP di bawah tiga mah...”
“Iya, tu.”
Bamba datang dengan ceweknya. Bamba, yang dulu
membantunya menolong Aze. Ah, Aze. Elmo kembali mencoba menghubungi Aze. Ia
tahu betul bahwa hari ini ujian praktek sudah selesai. Aze tidak punya alasan akademis
apapun untuk mengingkari janjinya.
”Yee, Elmo mah.
Udah, nggak boleh nelepon-nelepon lagi! Nelepon siapa sih?”
”Nggak.”
Lalu ia kembali terdiam sementara obrolan anak kuliahan
mengalir mengelilinginya. Perasaan nostalgia sudah menghilang. Ia cuma ingin
’kumpul-kumpul’ ini cepat selesai dan ia cabut dari sini. Yah, setidaknya nanti
kalau mereka mulai berkaraoke, mereka sudah tidak bisa ngobrol lagi.
5
Inilah saat-saat yang ditunggu Elmo. Akhirnya datang
juga! Sudah lama ia tidak ke tempat seperti ini. Lampu remang-remang
dinyalakan. Teman-teman Elmo ribut mengelilingi bagian tengah meja, hendak
memilih-milih lagu apa saja yang akan mereka nyanyikan. Elmo mengalah saja.
Hanya tertawa-tawa. Mau lagu macam apapun terserah. Acara karaokean begini kalau
lagunya nggak norak, mana seru?
Oh ya?
Elmo tertegun membaca teks yang berjalan di layar.
Telah habis kata terangkat... untuk
membuatmu kembali mengingat... semua apapun janjimu...
Elmo heran kenapa teks yang tertera di sana bisa sama
persis dengan apa yang tergores pada dinding hatinya saat ini. Layar itu
seperti menelanjangi batinnya.
“Elmo! keur naon
cicing wae di ditu?[7]”
Teman-temannya dengan semangat menarik-narik Elmo untuk ikut maju ke depan
layar dan bernyanyi bersama-sama. Beberapa sudah menampilkan koreografi
terbaiknya. Mic itu
disorong-sorongkan ke depan mulutnya, memaksa Elmo ikut mengeluarkan nada mellow. Jika saja hati dapat bersuara
tanpa harus dengan bantuan mulut, mungkin sudah dari tadi Elmolah yang jadi maestro.
Aku mohon dengan sangat kepadamu....
“Ayo atuh, Mo! Hihihi...” Ampun, bahkan cewek-ceweknya
juga...
Kembalilah.... wahai sayangku... hanya itu yang membuat
aku.... tenang....
Kembalilah.... kembali padaku... aku takkan pernah
bisa... hidup.... tanpamu...[8]
5
Aze menatap ponselnya yang tanpa lelah bergetar sejak
setengah jam yang lalu. Sungguh pengecut dia. Tidak ada cewek yang lebih payah
daripada dirinya.
Ia dan tujuh orang temannya sedang dalam perjalanan angkot
menuju rumah Aze, tempat kawanan Aze akan mengadakan pesta rujak. Dua kali
sudah mereka mengadakan beginian. Kali ini, di rumah Aze, dan dulu ketika
kenaikan kelas. Dulu, ketika ia baru mengenal Elmo, cowok yang membuat perut
Aze serasa kram, padahal biasa saja, saat berada di dekatnya.
Elmo yang dulu dengan wajah memelas berkata bahwa dia
sangat membutuhkan Aze. Sekarang, setelah kehidupannya perlahan-lahan kembali, memangnya
Elmo masih butuh Aze?
Menggunakan jeda yang singkat di antara panggilan telepon
dari Elmo, ia cepat-cepat mengetik sms, mengira Elmo masih bisa dibodohi,
Mo,sry bgt aq g
bs dtg.ad ujyn prktk ntr sore.
”Kenapa Ze?”
”Nggak.”
“Kiri mang!”
Rombongan turun dari
angkot, lalu berjalan menuju komplek perumahan lokasi perjamuan sambil
berceloteh riang ala cewek SMA. Aze merasa begitu nyaman dan hangat, bukan
karena sinar matahari yang begitu terik. Perasaan hangat ini datang dari dalam
hati manakala ia berada di tengah orang-orang yang membuatnya nyaman, entah
bagaimana. Aze tidak bisa menjelaskan.
Ia hanya mendengarkan
celoteh ribut teman-temannya, merasa terisi kembali setelah satu setengah bulan
terakhir ini merasa terkuras.
UN salah satu
penyebab. Ujian praktek. Elmo, pastinya..
Huh. Cowoknya, yang
mestinya jadi sumber penghiburan bagi dirinya. Aze tidak tahu sih dengan orang
lain yang sepertinya menikmati konflik dengan pacar, dia sih tidak butuh. Tenaganya terbatas, tidak ada jatah
untuk dihabiskan dalam drama percintaan.
Sebuah mobil terdengar
mengklakson dengan keras dan melaju ngebut dari arah datang mereka. Karena
jalan sempit, Aze dan kawan-kawan berhenti sejenak, sambil menengok dengan
kesal pada pengemudi yang egois.
Aze melanjutkan
berjalan di tengah rombongan temannya. Ia tidak bilang apa-apa tentang Yaris
biru yang baru saja melewati mereka.
6
Aze si raja tega. Tega
berbohong padanya. Aze mengingkari janjinya untuk ada saat Elmo butuh.
Apa salah Elmo? Kenapa kamu nggak bilang
aja? Elmo janji nggak akan mengulanginya.
Sunshine,
blue sky, please go away... My girl found another, and gone away...
Ia sudah berada di
garasi rumahnya tanpa sadar. Ia belum pernah merindukan kamarnya seperti ini.
Menabrak pembantunya.
Masuk kamar. Pasang MP3 player.
Selimut.
Cry
so badly, I wouldn’t go outside... but everyone knows that a man ain’t supposed
to cry...[9]
Elmo bergelung di tempat
tidur. Ia tidak mau keluar rumah lagi.