Sabtu, 20 September 2008

And How I Wish That It Would Rain..

1

Elmo sudah menggeser satu anggapan mengenai dirinya sendiri. Ia termasuk orang yang tidak tahan perubahan ternyata. Ia tidak mau ada hal lain yang berubah dalam hidupnya, kecuali mungkin status penganggurannya. Hari ini selesai shift di PS dan selesai Aze bersekolah, Elmo akan berusaha menarik hati Aze lagi dengan mengantarnya ke BC. Rutinitas yang biasa, berkat saran Trista yang kali ini oke banget. Duhai, sudah lama sekali sejak ia terakhir kali melakukannya, cowok macam apa kamu Elmo?

Kalau rencana yang ini berhasil, Elmo ingin mengajak Aze ikut kumpul-kumpul bareng teman-teman SMA-nya. Kalau rencana ini tidak berhasilpun Elmo akan mengajak Aze ke sana.

Elmo menghentikan mobilnya di gerbang samping SMA Bilatung. Ayo Aze cepatlah keluar. Harapannya, Aze keluar tanpa mesti dihubungi dulu, terus oke-oke saja ketika Elmo menyuruhnya masuk ke mobilnya.

Itu dia. Biar dia lihat sendirilah, Elmo malas memanggilnya dengan cara apapun.

Aze berjalan perlahan di belakang rombongan temannya. Jeritan klakson mobil-mobil di belakang Elmo makin keras dan sering saja. Elmo menulikan telinganya. Ayo Aze, cepatlah jalannya! Aze sampai di gerbang, matanya membesar melihat cowoknya yang mendesis menyuruhnya cepat masuk.

Tanpa berpikir, Aze langsung masuk saja ke mobil. Elmo menaikkan langsung menginjak pedal gas dan cabut.

Untuk sesaat, mereka sama-sama diam. Membiasakan diri dengan kehadiran yang lain. Lalu Aze bersuara.

”Mau ke mana?”

”Ke BC. Udah lama kan kita nggak ke BC? Nggak kangen emangnya?”Elmo nyengir kepada roda kemudinya.

”Aku sering kok ke BC. Kamu aja yang nggak pernah ke situ kalo aku lagi ada.”

”Eh iya, hihi.”

Diam, diam, diam. Aze merindukan keterusterangannya yang mungkin akan menjernihkan suasana antara dia dan Elmo. Mungkin konfrontasi langsung lebih baik daripada suasana begini, mereka sama-sama tahu ada yang tidak beres, tapi tidak ada yang punya nyali untuk mengangkatnya. Juga tidak ada yang cukup cuek untuk benar-benar bersikap biasa.

Mereka mengobrol sedikit tentang apa-apa saja yang terjadi sejak mereka tidak saling kontak lagi, melewatkan bagian ketika Elmo datang ke tempat Aze lalu Aze kelepasan menangis. Lalu di tengah percakapan garing yang berlangsung, sampailah mereka di belokan BC. Sebuah dorongan impulsif mampir ke benak Elmo.

”Ze, bolos BC yu!”

”Hah?”

”Kita nyewa film dari Zy-E terus nonton? Atau mau ke PS? Udah lama banget Aze nggak ke situ!”

Ampun. Aze benar-benar tidak sedang dalam mood untuk beginian, apalagi bareng Elmo. Yang bener aja Elmo, UN hari Selasa! Bagaimana menolaknya tanpa membuka peluang konflik? Aze meringis minta maaf.

”Heu, Elmo, aku sedang nggak mood ni,” kata Aze perlahan.

Elmo menatap Aze yang kuyu dan sedang ’nggak mood’. Yah, mau gimana lagi?

”Yah, ya udah deh. Tapi janji ya ikut Elmo ketemuan sama temen.”

”Ketemuan sama temen Elmo? Siapa? Kapan?”

”Waktunya sih belum direncanain. Tanggal-tanggal habis UN. Janji ya Ze?”

Aze yang sudah terbiasa dengan tampang Elmo tiba-tiba tersadar akan kegantengan cowoknya yang berkacamata.

“Iya.”

Suara itu dari mana datangnya? Oh, itu pasti dari mulutnya sendiri. Aze, apa yang kamu lakukan?

 

2

Di BC. Elmo dengan tangan kidalnya mencorat-coret kotretan dengan beringas sementara Aze yang duduk di sebelahnya sedang mendengar penjelasan Mas Fahri dengan mata menerawang. Aze yang dulu bakal bilang emang Elmo punya temen? Aze yang dulu tidak akan meringis minta maaf saat menolak ajakannya. Aze yang dulu akan langsung menolak tanpa basa-basi kalau ia tidak mau, walaupun Elmo juga tahu bahwa Aze yang dulu bakal langsung mengiyakan untuk bolos BC, apalagi untuk bersenang-senang bareng Elmo, bagaimanapun ‘nggak mood’-nya dia..

Ya ampun. Betapa Elmo benci pada perubahan. Betapa Elmo benci pada wajah meringis minta maaf.

Tahu-tahu sesi kelas BC sudah selesai. Biasanya Elmo dan Aze tetap nongkrong di BC sepulangnya nurid-murid lain. Tapi kayaknya hari ini nggak dulu deh. Elmo yakin Aze juga berpikir sama dengannya. Dia kan lagi ’nggak mood’. Hih.

Elmo menyelempangkan tasnya, menarik-narik lengan seragam Aze, lalu berjalan keluar. Ia mengangguk sedikit saat bertemu istri Mas Fahri, menunggu tidak sabar saat Aze mengajak Wili bermain, lalu akhirnya mereka berdua sampai ke mobil dan duduk dalam hening.

Tidak ada yang menyalakan radio. Elmo sampat mengira mungkin mereka tidak akan pernah sampai ke rumah Aze. Mereka sampai, lalu setelah ’dadah Elmo’ yang suram dari Aze, Elmo ngebut pulang. Perjalanan ke rumah Aze terasa sangat menyedihkan walaupun ada kawan yang duduk di samping Elmo. Coba bertanya pada rumput yang bergoyang. Elmo cuma ingin sampai ke rumahnya, minum kopi racikannya sendiri sambil menonton Fight Club. Ia ’nggak mood nonton Spongebob.

 

Mei 2008

3

Elmo bangun pagi ini tanpa semangat atau optimisme. Ia merasa jadi orang gagal lagi, hal yang baru pernah dirasakannya setelah bulan Agustus 2007 datang. Ia jadi kembali  ingat perasaan itu, yang membuatnya ingin meringkuk saja di tempat tidur atau melakukan hal tidak berguna lainnya. Kalau di film Shaun of the Dead, dia akan menjadi salah satu dari pecundang-pecundang yang menghabiskan hidupnya dengan minum bir dan makan kacang di pub Winchester.

Oh, tapi kini tidak, bukankah Elmo mestinya sudah melewati tahap pecundang, tahap labil, dan tahap menghindari teman? Bukankah hari ini ia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan muncul di acara kumpul-kumpul alumni BKS 2007 untuk pertama kalinya? Elmo agak penasaran juga apa yang teman-temannya bicarakan di kumpul alumni sebelumnya.

Dan tentu saja, hari ini rencananya ia muncul dengan Aze, ceweknya, orang yang membantunya melewati tahap pecundang dalam hidupnya yang masih belia itu. Krisis paruh remaja akhir, bisa dibilang begitu.

Tapi bagaimanapun, ia masih butuh Aze untuk bisa rileks di hadapan teman-teman yang sudah tidak ditemuinya selama delapan bulan.

           

4         

Elmo tiba di Dago Plaza. Setelah ia memarkir mobilnya, ia berjalan cepat-cepat ke dalam. Panas terik hari ini. Ia berhenti di pintu depan, mencoba menghubungi Aze yang mestinya sudah berada di sini. Mana sih itu anak?

Di tengah kegelisahannya, sosok salah satu temannya yang kribo, Achdiat alias Yayat, muncul. Senyumnya otomatis mengembang lebar di wajahnya dan wajah temannya itu.

“Edan, si ganteng! Kamana wae bal[1]!!”seru Yayat penuh semangat sambil menghantam punggung Elmo keras-keras dengan buku tebal yang dibawanya sampai-sampai kacamata Elmo terpental. Elmo meringis sambil membetulkan kacamatanya. Ia tidak menjawab, Yayat sendiri tidak mengharapkan jawabannya. Ia sudah senang bisa melihat Elmo.

Yayat menggiring Elmo masuk walau sebenarnya Elmo tidak ingin muncul tanpa Aze. Mereka sampai di depan pintu studio karaoke keluarga tempat beberapa alumni BKS lain sudah nongkrong. Dua orang dari mereka, entah siapa, mengajak ceweknya. Wah, ada Yadi yang nggak lulus SPMB juga! Roim yang  juga aktivis DKM. Fredi si preman karbitan. Baduy yang masih bertampang filsuf madesu. Karinta yang suka bagi-bagi makanan. Nia. Lala. Lima-enam orang lainnya, semua nyengir menatap Elmo. Elmo balas menatap mereka satu per satu. Betapa senang hatinya berjumpa lagi dengan mereka. Kenapa ia dulu bisa-bisanya memutuskan hubungan dengan teman-teman yang sudah bersama dengannya digampar senior BKS?

Elmo duduk di sebelah Yadi sambil nyengir lebar. Kapan terakhir kali ia duduk di sebelah Yadi? Teman-temannya yang tadi duduk bangkit berdiri untuk menyalami, menggebuk, merangkul, dan menanyakan kabar Elmo. Perasaan nostalgia membuat hati Elmo menghangat dan bahunya menyantai.

Adeuh, Elmo. Baru keliatan lagi maneh. Mana cewek lo Mo? Bawa pan?”

“Elmo! Muncul juga lo,”

Elmo nyengir lagi di tengah rentetan pertanyaan, ”Iya, muncul juga gue, haha..”

“Kerja lo sekarang?”

“Buka usaha Mo? Jadi entrepreneur?”

“Si Trista apa kabar Mo?”

“Cewek lo mana Mo?”

“Hehe.. Tau tu..”

“Cewek lo sekarang siapa Mo? Trista bukan?”

Elmo menggeleng sambil nyengir membayangkan kalau mereka sampai tahu ceweknya sekarang siapa.

“Yah Elmo, udah nunggu-nunggu gue ampe lo jadian ama Trista. Cewek lo siapa emang Mo?”

“Itu, Aze, anak Bilatung 2008,”jawab Elmo sekenanya, disambut ketidak-ngeh-an teman-temannya.

“Hah?”

Saha?[2]

“Aze, yang dulu jatuh dari tangga?”sembur Roim heboh. Wajar Roim menjadi yang pertama kali ngeh. Roim itu mantan anak PA juga selain aktif di DKM.

Teman-temannya tampak geli sekaligus kagum, entah kenapa.

Euleuh Elmo, awewe nu kitu diembat oge?![3] Dahsyatlah.”seru Karinta di tengah tawanya.

“Edan Elmo. Dari kecelakaan tumbuh cinta gitu?”bahkan Baduy melepas rokoknya dan tampak takjub.

Nu mana sih Aze-Aze teh Mo?[4]”Yayat bertanya.

Eta anu geubis ti tangga aula[5]. Anak PA,”jawab Elmo malu-malu.

“Anjrit. Itu bukannya yang bikin elo kecelakaan Mo? Baleg we.. [6]“tukas Fredi geli.

Elmo, yang mulai merasa canggung dengan segala obrolan tentang dirinya, mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Kesalahan, ternyata, seperti yang terbukti kemudian.

“Eh Yat, kok lo bawa buku sih? Bukannya sekarang udah libur?”Elmo memulai topik barunya.

“Oh, ini, iya, gue ngambil SP nih. Sialan.”

Elmo berusaha menebak-nebak apa itu SP. Oh iya, semester pendek. Kayaknya.

“Kok sialan? Eh, bukannya tingkat satu belum bisa ngambil SP?”tanya  Fredi yang satu kampus dengan Yayat. Sebenarnya, hampir semua dari mereka satu kampus. Yang beda hanya Nia dan Bamba yang kuliah di Salemba, serta kaum marjinal, Elmo dan Yadi.

“Ngulang gue. Taun depan ini jadi mata kuliah tingkat satu. Jadi mesti lulus taun ini, anjing.”jawab Yayat suram.

“Oh iya, kan kurikulumnya ganti ya, lupa gue,”

“Seenggaknya lo udah dijurusin kan. Gue ni, entah gimana nasib ntar. IP perbatasan. Tai.”

“Emang rese ya. Gua juga kejeblos edan, cuma kurang nol koma nol tiga, kejeblos lah gue.”

“Tapi kemana juga yang penting IP-nya bagus. Di atas tiga lah seenggaknya.”

“Iya ni. IP gue dua koma aja dua semester berturut-turut. Edan. Ntar gimana nyari kerja?”keluh Roim menyesali hidup yang sulit.

Elmo menanti-nanti sampai ia bisa masuk lagi ke pembicaraan. Tapi kesempatan yang ia tunggu tidak kunjung muncul. Ngomong apa gerangan orang-orang ini?

“Jadi aktivis aja lo,”kata Yadi sotoy pada Roim yang memang aktivis.

“Iya, tu bener. Di himpunanlah. BEM-lah. Unitlah.”

“Sama banyak-banyakin sertifikat,”

“Probabilitas lo udah nol, soalnya, buat jadi asisten,”celetuk Nia, disambut tawa membahana rombongan mereka. Padahal tidak lucu-lucu amat. Yadi cuek saja ikut ketawa. Mungkin dia ngerti, mungkin juga tidak.

Elmo bengong.

“Udahlah, asal ada cap gajah di ijazah, mau ke mana juga bisa,”

“Ah, nggak lagi sekarang. Nama universitas udah nggak diliat. Mau Institut Top Bwanget juga kalo IP di bawah tiga mah...”

“Iya, tu.”

Bamba datang dengan ceweknya. Bamba, yang dulu membantunya menolong Aze. Ah, Aze. Elmo kembali mencoba menghubungi Aze. Ia tahu betul bahwa hari ini ujian praktek sudah selesai. Aze tidak punya alasan akademis apapun untuk mengingkari janjinya.

”Yee, Elmo mah. Udah, nggak boleh nelepon-nelepon lagi! Nelepon siapa sih?”

”Nggak.”

Lalu ia kembali terdiam sementara obrolan anak kuliahan mengalir mengelilinginya. Perasaan nostalgia sudah menghilang. Ia cuma ingin ’kumpul-kumpul’ ini cepat selesai dan ia cabut dari sini. Yah, setidaknya nanti kalau mereka mulai berkaraoke, mereka sudah tidak bisa ngobrol lagi.

 

5

Inilah saat-saat yang ditunggu Elmo. Akhirnya datang juga! Sudah lama ia tidak ke tempat seperti ini. Lampu remang-remang dinyalakan. Teman-teman Elmo ribut mengelilingi bagian tengah meja, hendak memilih-milih lagu apa saja yang akan mereka nyanyikan. Elmo mengalah saja. Hanya tertawa-tawa. Mau lagu macam apapun terserah. Acara karaokean begini kalau lagunya nggak norak, mana seru?

Oh ya?

Elmo tertegun membaca teks yang berjalan di layar.

            Telah habis kata terangkat... untuk membuatmu kembali mengingat... semua apapun janjimu...

Elmo heran kenapa teks yang tertera di sana bisa sama persis dengan apa yang tergores pada dinding hatinya saat ini. Layar itu seperti menelanjangi batinnya.

“Elmo! keur naon cicing wae di ditu?[7]” Teman-temannya dengan semangat menarik-narik Elmo untuk ikut maju ke depan layar dan bernyanyi bersama-sama. Beberapa sudah menampilkan koreografi terbaiknya. Mic itu disorong-sorongkan ke depan mulutnya, memaksa Elmo ikut mengeluarkan nada mellow. Jika saja hati dapat bersuara tanpa harus dengan bantuan mulut, mungkin sudah dari tadi Elmolah yang  jadi maestro.

Aku mohon dengan sangat kepadamu....

“Ayo atuh, Mo! Hihihi...” Ampun, bahkan cewek-ceweknya juga...

Kembalilah.... wahai sayangku... hanya itu yang membuat aku.... tenang....

Kembalilah.... kembali padaku... aku takkan pernah bisa... hidup.... tanpamu...[8]

 

5

Aze menatap ponselnya yang tanpa lelah bergetar sejak setengah jam yang lalu. Sungguh pengecut dia. Tidak ada cewek yang lebih payah daripada dirinya.

Ia dan tujuh orang temannya sedang dalam perjalanan angkot menuju rumah Aze, tempat kawanan Aze akan mengadakan pesta rujak. Dua kali sudah mereka mengadakan beginian. Kali ini, di rumah Aze, dan dulu ketika kenaikan kelas. Dulu, ketika ia baru mengenal Elmo, cowok yang membuat perut Aze serasa kram, padahal biasa saja, saat berada di dekatnya.

Elmo yang dulu dengan wajah memelas berkata bahwa dia sangat membutuhkan Aze. Sekarang, setelah kehidupannya perlahan-lahan kembali, memangnya Elmo masih butuh Aze?

Menggunakan jeda yang singkat di antara panggilan telepon dari Elmo, ia cepat-cepat mengetik sms, mengira Elmo masih bisa dibodohi,

           

            Mo,sry bgt aq g bs dtg.ad ujyn prktk ntr sore.

 

”Kenapa Ze?”

”Nggak.”

“Kiri mang!”

Rombongan turun dari angkot, lalu berjalan menuju komplek perumahan lokasi perjamuan sambil berceloteh riang ala cewek SMA. Aze merasa begitu nyaman dan hangat, bukan karena sinar matahari yang begitu terik. Perasaan hangat ini datang dari dalam hati manakala ia berada di tengah orang-orang yang membuatnya nyaman, entah bagaimana. Aze tidak bisa menjelaskan.

Ia hanya mendengarkan celoteh ribut teman-temannya, merasa terisi kembali setelah satu setengah bulan terakhir ini merasa terkuras.

UN salah satu penyebab. Ujian praktek. Elmo, pastinya..

Huh. Cowoknya, yang mestinya jadi sumber penghiburan bagi dirinya. Aze tidak tahu sih dengan orang lain yang sepertinya menikmati konflik dengan pacar, dia sih tidak butuh. Tenaganya terbatas, tidak ada jatah untuk dihabiskan dalam drama percintaan.

Sebuah mobil terdengar mengklakson dengan keras dan melaju ngebut dari arah datang mereka. Karena jalan sempit, Aze dan kawan-kawan berhenti sejenak, sambil menengok dengan kesal pada pengemudi yang egois.

Aze melanjutkan berjalan di tengah rombongan temannya. Ia tidak bilang apa-apa tentang Yaris biru yang baru saja melewati mereka.

 

6

Aze si raja tega. Tega berbohong padanya. Aze mengingkari janjinya untuk ada saat Elmo butuh.

Apa salah Elmo? Kenapa kamu nggak bilang aja? Elmo janji nggak akan mengulanginya.

            Sunshine, blue sky, please go away... My girl found another, and gone away...

Ia sudah berada di garasi rumahnya tanpa sadar. Ia belum pernah merindukan kamarnya seperti ini.

Menabrak pembantunya. Masuk kamar. Pasang MP3 player. Selimut.

            Cry so badly, I wouldn’t go outside... but everyone knows that a man ain’t supposed to cry...[9]

Elmo bergelung di tempat tidur. Ia tidak mau keluar rumah lagi.



[1] Kemana aja!

[2] Siapa?

[3] Ya ampun Elmo, cewek kek gitu diembat juga?

[4] Yang mana sih Aze-aze itu?

[5] Itu, yang jatuh dari tangga aula.

[6] Yang bener aja.

[7] Elmo, ngapain diem aja di situ?

[8] D’Massiv – Tak Bisa Hidup Tanpamu

[9] The Temptations – I Wish It Would Rain

Kamis, 11 September 2008

Senyum Kakak Imut

Waktu itu Tia lagi lesu. Berjalan gontai memasuki kawasan kampus. Jalan lebar beraspal dengan lelampu merah berdiri. Pohon di kanan kiri. Ia berharap hari ini akan baik-baik saja. Tidak ada masalah yang harus ia bawa dalam kepalanya saat duduk di tempat tidur pada malamnya. Karena beban yang dipikulnya ini adalah masalah-masalah kemarin yang tidak selesai. Jadi masih ada paginya dan dibawanya serta karena itu tidak bisa lepas darinya. Dan besok paginya. Dan besok paginya. Dan besok paginya. Dan besok paginya.

Ada beberapa orang lalu lalang dengan pakaian olahraga mereka. Olahraga pagi. Hm, benarkah itu akan bisa mencerahkan hati meskipun sedikit saja? Bagaimana Tia bisa mencoba, ada kuliah pagi. Saat sore hari pun ia sudah terlalu capek untuk melakukannya. Bukan capek karena  fisik melainkan karena jiwa yang gusar.

Kapankah ia bisa betah di kampus ini? Dan memulai hari-hari dengan riang... Tak menjadikan segala sesuatu di depan sebagai beban...

Sampai kemudian ada suara yang sepertinya ditujukan padanya. Ada seseorang sedang tersenyum memandangnya tak jauh di depan. Aduh, imutnya senyum itu. Orang itu berkata padanya, “Pagi-pagi kok udah cemberut? Senyum dong...”

Tia tertegun. Sambil melewati orang itu pelan ia menarik kedua ujung bibir. Sakit. Begitu posisinya sejajar dengan orang itu ia membungkuk sedikit sambil terus jalan.

“Nah, gitu dong...” Orang itu tertawa renyah.

Setelah melewatinya Tia menjilat bibir. Asin. Berapa gelas airkah yang diminumnya beberapa hari ini? Ia menoleh ke belakang. Kakak itu sedang lari-lari. Olahraga pagi.

 

Tia menyebutnya si Kakak karena ternyata orang itu kakak angkatannya. Ia baru menyadarinya. Ia seperti pernah lihat wajah itu. Lalu ia tanya temannya yang hanya tahu kalau orang itu sepertinya satu angkatan di atas mereka tapi tidak tahu namanya. Kenapa ia baru menyadarinya? Apakah karena selama ini ia selalu jalan menunduk?

Tia tidak selalu menemui si Kakak pada pagi hari di kawasan tempat ia biasa lewat. Kawasan yang menjadi pilihan beberapa orang untuk berolahraga pagi. Dalam seminggu belum tentu ada pagi ia melihatnya. Apalagi menyadari ada dirinya dan lalu tersenyum. Tapi ujung bibirnya kini mulai bisa sedikit-sedikit membentuk lengkung ke atas. Karena ia jadi sering menemui keberadaan si Kakak di kampus.

Saat bertemu, biasanya si Kakak akan tersenyum sambil mengangguk. Sungguh senyum yang imut. Maka Tia lalu menyebutnya dengan Kakak Imut. Jika dibegitukan maka ia balas melakukan hal yang serupa. Ia juga melakukan hal yang serupa pada orang-orang lainnya yang ia kenal. Kalaupun ia tidak pernah berinteraksi langsung, setidaknya ia kenal muka. Entah kenapa senyum sambil mengangguk menjadi kebiasaannya kalau bertemu dengan orang-orang. Makin lama makin banyak orang yang menjadi sasarannya. Tak terkecuali si Kakak Imut.

Sering pula datang saat di mana mereka berdekatan namun si Kakak Imut tidak menyadari keberadaannya. Kalau begitu maka ia akan curi-curi pandang. Berharap pandang mereka lalu bertemu. Si Kakak Imut menyadarinya lalu tersenyum padanya. Ia balas tersenyum.

 

“Kamu jadi banyak senyum, ya. Seneng deh liatnya...,” kata temannya suatu kali.

“Aku emang suka senyum dari dulu kali...,” balas Tia atas perkataan temannya itu. Karena perkataannya itu tidak sesuai dengan realita maka dapat disebut dengan becanda.

“Nggak ah. Dulu tuh kamu cemberut... terus. Kayak selalu ditimpa masalah.”

“Masalah itu selalu ada, tergantung gimana kondisi kita saat sedang menghadapinya. Kalau kondisi kita lagi bagus, ya kita hadapi masalah itu dengan senyum ini.” Tia mengutip kata-kata yang pernah dibacanya dari suatu tulisan sambil tersenyum selebar mungkin. Kini tidak begitu terasa sakit karena ia sudah membiasakan diri untuk banyak minum.

“Ih, kalau kamu senyum sama aku berarti aku masalah dong?”

“Hahaha... iya!”

Temannya itu memukulinya. Lalu mereka berkejar-kejaran. Ia lihat si Kakak Imut. Disempatkannya tersenyum. Si Kakak Imut tak menyadarinya. Tapi tak apa. Kalau sadar dia pasti akan membalasnya.

           

Tia terbayang si Kakak Imut setiap saat. Setiap malam di balik meja belajar. Setiap sebelum lelap tertidur ia bayangkan senyum imut itu, berharap muncul menghias mimpinya. Membuatnya tidur tersenyum. Setiap pagi saat berkumpul sarapan dengan keluarganya, agak heran juga mereka melihat ia tanpa sadar tersenyum. Ya, ia bahkan tidak menyadarinya! Ia rasakan akibat itu sikap mereka pun mulai melunak padanya. Setiap ia memasuki kawasan kampus. Saat masih waktu olahraga pagi. Kadang-kadang ia bertemu si Kakak Imut. Ia tidak menanti teguran seperti saat pertama ia ngeh akan keberadaan orang itu. Ia hanya ingin melihat seulas senyum. Untuk men-charge jiwanya agar lebih ringan melangkah.

Wahai, Kakak Imut... aku bahkan tidak tahu namamu! Ia terlalu malu menanyakannya pada selain teman dekatnya yang juga sama-sama tidak tahu siapa nama Kakak Imut sebenarnya dan Tia pun tidak mendesaknya untuk mencari tahu. Setelah berbulan-bulan ini mereka bertukar senyum. Setelah hidupnya membaik perlahan-lahan. Ya, pagi-pagi yang dimulai dengan kelesuan itu sudah agak jarang ia alami. Berkat Kakak Imutkah... Apa Tia bisa membalasnya dengan lebih dari sekedar senyum dan anggukan? Mungkinkah suatu saat mereka tidak hanya bertukar itu melainkan juga bertukar suara? Mengenal satu sama lain lebih dekat? Agar jiwanya makin hangat. Ia akui ia menyukai Kakak Imut. Meski orang itu akan lulus lebih dulu, akan diingatnya senyum itu selalu. Dan tahun-tahun yang tersisa di depan ini, ia ingin agar senantiasa diisi oleh senyum itu. Karena tidak ada yang menjamin pagi kelesuan itu akankah kembali lagi atau tidak.

           

Tia bertemu Kakak Imut setidaknya beberapa kali seminggu. Tapi sudah seminggu ini Kakak Imut tidak kelihatan. Ke manakah dia? Mungkinkah dia sedang sibuk? Tia tidak tahu dia ambil berapa sks, organisasi apa saja yang diikutinya, senang nongkrong di mana dia. Tia tidak mengenalnya selain senyum dan anggukan itu. Dan angkatannya. Dan jurusannya. Andai mereka punya kesempatan bertukar suara ia ingin bisa tahu hal-hal tersebut.

Minggu yang baru telah datang. Pagi itu kelesuan mencoba menyergapnya lagi. Tia berusaha tidak mengabaikan, meski jalannya kembali menunduk. Ingin  ia sembunyikan wajah yang mulai kehilangan daya senyumnya lagi. Ia sudah lama tidak ketemu Kakak Imut. Tak ia acuhkan beberapa orang yang sedang berjalan santai sambil menyesap hawa pagi. Seperti biasa, pada jam-jam segini tidak terlalu banyak orang yang berolahraga. Apalagi langit kelam begini. Tidak ada seorangpun yang dapat mencegah hujan turun di pagi hari. Mungkin Kakak Imut pun takkan ada. Mungkin... mungkinkah orang yang duduk di bawah pohon beringin itu adalah Kakak Imut? Ke mana saja dia selama ini? Dia melihat pada Tia. Senyum imut ada pada wajah itu. Tia perlihatkan juga senyum yang cukup lebar sehingga terlihat geligi. Sebagaimana si Kakak Imut.

Tia berjalan mendekat karena memang untuk menuju kampus ia harus melewati orang itu. Namun jalannya sambil menunduk. Ia tidak tahu harus pasang tampang apa kalau berjalan sambil terus menatap wajah si Kakak Imut yang seperti anak kecil itu. Ia memutuskan ketika sudah cukup dekat dengan si Kakak Imut, ia akan mengangkat wajahnya lagi untuk tersenyum. Ketika itu terjadi, ia tak menduga Kakak Imut akan berkata-kata, “Eh, selama ini kita sering ketemu. Tapi aku belum tau nama kamu. Namamu siapa sih?”

Tia tersenyum malu-malu. Merasa geli saja. Sudah hampir setahun mereka bertukar senyum tapi tidak mengenali satu sama lain. Tidak ada usaha untuk itu. Ia sudah cukup senang hanya dengan mendapatkan senyum itu. Entah bagaimana dengan pemiliknya. Tia merasa ia bukanlah orang yang cukup menarik untuk dicari tahu identitasnya.

Melihat Tia yang masih terdiam malu, si Kakak Imut berkata lagi sambil menjulurkan tangannya untuk dijabat, “Namaku Noval. Kamu?”

Oh, jadi namanya Noval ya?

Memandang tangan yang menunggu dijabat Tia jadi ingat Tuhan. Selama ini Tia lupa berterimakasih pada-Nya karena Dia telah menciptakan si Kakak Imut yang membuat anugrah kehidupan ini terasa sedikit seperti anugrah. Ya Tuhan, terima kasih atas segala nikmat-Mu yang mungkin hanya segelintir yang baru benar-benar kusadari ini. Salah satunya adalah si Kakak Imut... Andai semua masalah bisa diselesaikan hanya dengan tersenyum... Memang tidak, tapi sepertinya senyum bisa mengikis nol koma sekian persen masalah. Memang kecil sekali tapi setidak-tidaknya berkurang kan? Atau Tia salah mengukurnya?

Tia tak menyambut uluran tangan itu. Sebelum berlalu sambil tersenyum untuk menimbulkan efek misterius dan berharap si Kakak Imut akan sedikit penasaran dengannya (haha, ya ampun, memangnya aku ini apa... tapi aku berharap ini bisa jadi awal dari sebuah hubungan.. emm.. pertemanan?), lalu ujarnya, “Namaku Tia.”

 

Sudah duduk di atas kursi, masih Tia rasakan debar itu di dada. Hangat. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah kelak mereka akan bisa bertukar lebih banyak kata? Ia merasa mukanya agak memanas.

Masih sekitar satu menit sebelum waktunya dosen masuk dan memulai kuliah. Kelas sudah penuh dengan para mahasiswa dan mahasiswi yang sibuk becanda selayaknya masih duduk di bangku SMA. Terdengar suara mic dinyalakan. Ketua angkatan ternyata sudah berdiri di depan kelas.

“Teman-teman, mohon perhatiannya sebentar.”

Dalam beberapa hitungan mereka duduk di bangku masing-masing dan senyap suara. Terdengar beberapa percakapan pelan yang tidak begitu mengganggu.

“Kemarin sore, kakak angkatan kita, Noval Oktavian, telah meninggal dunia. Mari kita sama-sama berdoa agar arwah almarhum diterima di sisi-Nya. Berdoa dimulai.”

Kelas hening seketika. Semua menunduk. Tia juga. Ternyata ada lebih dari satu Noval di kampus ini, pikirnya. Mungkin ia harus mengenal lebih banyak kakak angkatan.

“Berdoa selesai.”

Semua mengangkat kepalanya lagi dan orang-orang kembali memulai keributan akan tetapi dengan suasana yang berbeda. Tia bertanya pada salah seorang anak di depan yang ia kira cukup akrab dengan para kakak angkatan. Tia menunggu sampai orang itu selesai mengusap air mata.

“Ng... eh, dia meninggalnya kenapa sih?” pelan-pelan Tia bertanya agar tidak terlalu mengganggu orang itu.

“Aku kurang begitu ngerti. Katanya sih komplikasi gitu deh... Terus sama orangtuanya kan dijemput pulang—dia bukan orang asli sini. Setelah dibawa ke rumah sakit, sempet koma beberapa hari. Terus nafasnya berhenti...,” terdengar suaranya tercekat. Tia jadi tidak enak untuk bertanya lebih lanjut. “Aku pingin nengok juga cuman gak diijinin orangtuaku...”  

Usai kuliah Tia hendak pergi ke toilet sebentar. Padahal ia sudah bertukar senyum dengan Kakak Imut tadi pagi, tapi kenapa kelesuannya kumat ya? Mungkinkah karena ada kabar duka tersebut? Tentang meninggalnya seseorang yang tak dikenalnya? Dalam kumatnya kelesuan itu, ia biasanya bersembunyi di sana agar kecemberutannya tidak mengusik orang-orang yang ditemuinya. Aah... ia ingin bertemu Kakak Imut lagi... Hari ini dia ke kampus gak ya...

Dalam perjalanan ke toilet ia selalu menyempatkan diri melihat papan pengumuman yang terpampang, kalau-kalau ada informasi penting terbaru. Beberapa kertas seukuran A5 telah ditempel, menyatakan turut berduka cita atas meninggalnya kakak angkatan yang bernama Noval Oktavian tersebut. Salah satu lembaga mahasiswa kampus ada yang melampirkan foto almarhum yang ternyata wajahnya mirip dengan Noval yang ia temui tadi pagi.

Hah...

Dengan Noval yang memiliki senyum yang selama ini telah meringankan kelesuannya.

Jadi...

Senyum dalam foto itu tertuju padanya. Meraba-raba hatinya. Senyum imut yang mau tak mau membuatnya harus menarik dua ujung bibir ke atas .

Tidak mungkin orang itu punya saudara kembar kan... Apa kalau saudaramu ada yang meninggal kamu masih bisa duduk tenang sambil memandangi orang-orang yang berolahraga pagi..?

Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan? Salah satu nikmat itu kini telah diambil-Nya kembali.

Tia mematung lama sampai seseorang menggoyang-goyangkan pundaknya dengan keras karena Tia tak segera memberi respon. Pundak itu dirasanya dingin dan terus menjalar sampai ke seluruh tubuhnya.

 

Kakak Imut, sedang apakah kamu sekarang?

Aku berharap, jikalaupun kamu terus hidup maka kamu sedang dalam proses menuju ke jalan yang lurus.

Aku tidak akan pernah melihatmu lagi. Kamu telah pergi selama-selamanya. Tidak tahu apakah akan ada pertemuan lagi di antara kita, sekedar untuk bertukar senyum dan anggukan.

Aku tidak akan pernah tersenyum lalu mengangguk padamu lagi karena mengharapkan darimu juga akan ada reaksi yang serupa. Biarlah interaksi kita hanya sebatas itu saja. Aku sudah cukup senang.

Meskipun kita saling kenal hanya sebatas itu; hanya bertukar senyum, percakapan hanya sesekali, tapi aku juga merasa kehilangan. Mungkin tidak sebesar rasa kehilangan yang dipunya teman-teman baikmu. Orangtuamu. Keluargamu. Orang-orang yang pernah berinteraksi lebih dari yang aku pernah denganmu.

Mungkin aku akan selalu ingat senyummu. Mungkin aku akan mengenangmu.

Kakak Imut, semoga kamu baik-baik saja di sana. Amin. Selamat jalan.

 

Tia

 

Ditutupnya buku tulis itu. Pandangnya beralih ke luar jendela, di mana ia bisa lihat di bawah para warga kampus wira-wiri ke sana ke mari dengan urusannya masing-masing.

Aku tidak terlalu mengenal orang itu.

Ia membayangkan Kakak Imut kembali ada dalam jangkauan matanya, seperti dulu-dulu.

Jadi kenapa harus ada perasaan kehilangan  ini?

Ia tidak mengharapkan senyum atau sepatah dua patah kata dari orang itu ditujukan padanya.

Kenapa Kakak Imut harus pergi selamanya?

Ia hanya mengharapkan senyum itu ada lagi.

Kenapa aku harus kenal orang itu?

 Meski bukan untuknya. Setidaknya ia bisa melihat untuk menikmatinya.

Kenapa aku harus cukup sering mendapatkan senyumnya?


Beberapa bulan setelah penyambutan mahasiswa baru telah berlalu. Urusan Kartu Rencana Studi telah dituntaskan dan Tia punya waktu pada beberapa pagi dalam seminggu untuk berolahraga di kawasan sekitar kampus yang memang kondusif untuk orang yang senang olahraga. Ia ingin membuktikan istilah mensana in corpore sano. Beberapa teman sekelas ternyata ada yang ingin ikut berolahraga bersamanya. Bersama-sama lebih asyik, kata mereka. Ia jadi lumayan dekat dengan mereka. Setelah berolahraga perasaan menjadi lebih segar dan itu bisa memantik percakapan yang renyah di antara mereka. Itu membuatnya mau tak mau harus tersenyum. Tersenyum dan tertawa.

Lihat, Kakak, kini aku bisa tersenyum tanpa harus bertemu denganmu dulu.

Kendati lesu, perasaan sendu lebih sering menyergapnya. Jika melihat jalan ini. Jika melihat area-area di kampus yang ia pernah lihat si Kakak Imut pernah menapak di atasnya. Ia menyadari orang itu telah tiada. Ia takkan pernah melihatnya lagi. Senyum imut itu lagi. Ia hanya bisa membuka ingatan akan senyum itu. Lalu menjadi stimulus buatnya sebelum ia harus menghadapi orang-orang.

Kadang-kadang Tia berolahraga tidak bersama dengan teman-temannya itu. Beberapa malas bangun pagi. Beberapa ada yang kuliah. Seleksi alam. Biarpun sendiri, ia berusaha menikmatinya. Ia bertukar senyum dengan orang-orang yang sering ditemuinya saat sedang berolahraga di sini. Mereka sudah saling kenal muka. Setahun lalu, mungkin beginilah yang dirasakan si Kakak Imut saat sedang berolahraga, lari-lari kecil, tanpa harus ditemani teman-temannya.

Tia berjongkok untuk mengikat tali sepatunya yang lepas. Sambil sesekali melihat ke depan kalau-kalau ia telah menghalangi orang. Dari kejauhan ia lihat anak itu telah datang. Mahasiswa baru tahun ini. Adik angkatannya. Namanya Deon. Tia telah mencari-cari informasi tentang anak itu dan yang ia dapatkan baru nama saja. Kala berolahraga pagi di sini, Tia kerap melihatnya sedang berjalan ke arah kampus. Dengan jalan yang agak menunduk dan muka yang muram. Ia tidak tahu kenapa anak itu selalu pasang tampang begitu. Mungkin isi dunia hanya jadi masalah buatnya. Tidak di rumah, tidak di kampus, tidak di mana-mana. Atau dia sedang tidak dalam kondisi yang baik saja untuk menghadapi masalah-masalahnya itu. Kakak Imut, beginikah dulu kamu juga melihatku? Kini Tia rasa sudah tiba saat untuk menegur anak itu. Setelah anak itu mendekat, “Hei, pagi-pagi kok udah cemberut? Senyum dong...” 

 

in memoriam

AY.

yang pergi kemarin sore beserta senyumnya.

22.53

100908

Akhir 0.08

Lagi 21.27

110908


HABIS KATA #9

Tidak ada rencana sebelumnya dan pikiran apapun yang berenang-renang dalam kepala selama beberapa waktu dalam pembuatan cerpen ini. Cerpen ini terjadi begitu saja. Sebagai luapan perasaan kehilangan atas meninggalnya seorang kakak angkatan saya sejurusan karena demam berdarah. Saya tidak begitu mengenalnya. Namun di awal-awal kehidupan saya di kampus dia suka memberi saya senyum. Orang yang ramah. Padahal frekuensi interaksi kami bisa dihitung dengan jari. Setelah lama waktu berlalu, kalau kami bertemu, kami pun jadi cuek-cuek saja. Hanya sekali-kali melempar senyum.

Sejak kehilangannya entah mengapa senyum imut yang dimilikinya terngiang-ngiang dalam kepala. Kehampaan itu terasa nyata. Mungkin apa yang saya rasakan tidak sebesar apa yang dirasakan orang-orang terdekatnya, namun tetap saja terasa. Kenyataan paling mengena adalah bahwa saya tidak akan pernah melihat senyum itu lagi. Senyum yang begitu saya sukai. Akan beda rasanya melihat orang itu tersenyum langsung pada kita, dengan melihat senym orang itu dalam foto. Lagipula saya tidak punya fotonya.

Pada malam kesekian dari hari-hari kehilangan itu (sekitar seminggu ada kiranya) saya duduk di depan notebook dan tahu-tahu jadilah cerpen ini. Pada mulanya saya menggunakan sudut pandang orang pertama namun kemudian saya ganti dengan sudut pandang orang ketiga. Kalau menggunakan sudut pandang orang pertama kesannya seperti menulis catatan harian saja, padahal bukan. Mungkin tokoh Tia memang hampir merepresentasikan apa yang saya rasakan, tapi tidak sama persis dengan apa yang saya alami. Saya ngeh akan senyum kakak angkatan itu bukan karena dia yang mula-mula mensenyumi saya sewaktu dia lagi olahraga pagi. Dalam kenyataannya saya baru ngeh sama dia waktu makrab—kalau tidak salah. Memang pada awalnya dia yang mensenyumi saya. Sejak itu kami jadi saling bertukar senyum. Lagipula kehidupan saya waktu itu tidaklah sesuram Tia dan sepertinya kakak angkatan itu senyum pada saya bukan karena saya suka cemberut.

Cerpen ini mengalami perbaikan beberapa kali hingga akhirnya saya bosan dan mencukupkan perbaikan itu sampai demikian saja. (12/31/2008)

Sabtu, 06 September 2008

Aku Bukan Siapa-siapa

1

Jalan-jalan sendirian, walau tidak di alam bebas, memang memberi Elmo kejernihan dalam memandang. Clarity of insight. Edan. Elmo jadi tahu apa yang mesti dilakukan. Ia akan mendatangi rumah Aze hari ini. Elmo tahu rumah Aze di mana, Elmo tahu Aze akan sedang menyiram tanaman hari Senin jam 4, Elmo juga tahu bahwa Aze kemungkinan akan menghindar. Yeah, semangat Elmo!

Elmo menatap langit yang mendung tebal, seperti sudah pada titik jenuh. Biarpun hujan turun dan Aze tidak menyiram tanaman, Elmo yang sedang optimis tidak akan mundur. Ia akan mengetuk pintu rumah Aze.

Ah, itu dia sedang memasang selang air. Masih pakai seragam, aduh. Elmo memarkir mobilnya di depan pagar rumah Aze. Turun.

”Elmo? Ngapain ke sini kamu?”Aze nanya. Tanpa nada mengusir, seolah-olah dia bukan siapa-siapa.

”Eung, pengen aja. Keknya kita udah lama nggak ketemu. Kemaren Elmo ke Giant, beli Oreo buat Aze, nih”

“Ah, baik kamu Elmo. Makasih.” Aze menyelipkan Oreo itu ke saku jaketnya. Elmo jadi agak geli. Si Aze ini sedang linglung, sudah jelas.  Ia memulai acara menyiram tanamannya, tak sekalipun lagi menatap Elmo, yang memutuskan untuk lugas saja.

“Aze, kamu kenapa sih?”

“Gapapa.”

“Kok makin jarang aja Aze ke BC? UN kan minggu depan? Udah ngerasa pinter ya?”

Aze akhirnya menatap Elmo, setengah sebal, setengah geli. Elmo ini sudah dirasuki oleh sosoknya.

“Ya, nggak gitu. Udah ngerasa ngerti aja.”

“Ya, bagus deh kalo gitu,” Elmo agak nggak rela, “Eh, ini Elmo bawa soal BC loh. Bisa ngerjain nggak? Katanya udah ngerti. Ini jenis soal yang lain dari yang lain.”

Diam. Elmo mendapat perasaan bahwa Aze tidak lebih ‘ngerti’ dibanding dulu. “Kamu punya masalah sama orang di BC? Elmo bilang Mas Fahri ya?”

“Jangan!” Aze jengkel.

“Atau males naik angkot? Elmo jemput?”

“Oh, boleh. Eh, jangan, nggak, lagi jenuh aja,”

Sejurus desakan kemudian, Aze menyergah jengkel, sudah hampir menyiram Elmo.

”Anjrit! Aze!”

Yang dipanggil membelakangi Elmo. Sebelah tangannya terangkat ke wajah. Elmo duduk di depan pagar. Dari sinipun ia bisa melihat Aze sedang mengusap matanya. Aze berbalik lagi, menyiram jalan dan mobil Elmo. Ya ampun, si Aze itu habis nangis. Elmo menghela nafas, lalu pamit pada Aze.

 

2

Sepeninggal si cowok yang bawa Oreo, adalah Aze yang selesai menyiram tanaman melipat selang, mengembalikannya ke garasi, berjalan gontai ke kamarnya. Gontai. Kata yang lucu ya. Aze tidak pernah menyadarinya sebelumnya. Ia berpapasan dengan adik bungsunya, yang mengoceh entah apa. Aze hanya berhenti berjalan dan memandanginya, soalnya kayaknya adiknya itu sedang ngomong sama dia.

Nggak tau kamu ya, kakakmu ini sedang patah hati? Atau bukan. Apalah. Atau mungkin bingung karena tidak ada yang mrivatin lagi padahal lagi butuh-butuhnya...? Minggir, minggir. Mau ke kamar. To pass the time in my room alone[1]. Lagu apa itu ya, tiba-tiba terlintas di benaknya. Aze bertanya-tanya dalam hati sambil menyingkirkan adiknya dari jalannya, masuk kamar, mengunci pintu kamar.

Bersandar ke pintu. Lalu berjalan gontai lagi ke tempat tidur. Terjun ke tempat tidur. Hmm, lagu apa itu tadi ya? Dia berpikir sambil menutup wajahnya dengan bantal. Apa, lagu apa?

Aze kira dirinya bakal nangis terisak-isak, menangis semalam di atas bantal, segala air bercucuran di wajah, tengah malam saat keluarganya sudah di kamar entah tidur atau tidak dia baru akan keluar karena haus. Tapi apa yang terjadi, sepertinya Aze sudah tidak ingin menangis lagi. Jadi tadi itu apa pas Elmo mampir, bisa-bisanya dia menitikkan air mata? Buncahan emosi yang dikira hendak meluap, tinggal menunggu atmosfer yang tepat, ternyata hilang begitu saja. Ada apa sih si Elmo itu? Elmo yang pintar dan baik dan suka ngajarin Aze. Elmo yang lebih akrab sama cewek lain yang lebih cantik, yang sebenarnya Aze pun jenuh jadi ceweknya. Gimana sih kamu ini Aze?

Aduh, Aze kehabisan nafas. Ia cepat-cepat menyingkirkan bantalnya ke samping, lalu membuka bungkusan oleh-oleh Elmo. Ngapain si Elmo beli Oreo segala? Tiba-tiba Aze jadi ingin tertawa. Sekaligus ingin menangis lagi. Katanya yang seperti itu adalah tanda-tanda orang bipolar. Atau skizofrenia?

Kehilangan minat deh. Setelah patah hati, gontai, tidak jadi menangis, geli, ingin menangis lagi, sekarang Aze merasa sebal. Begitu banyak emosi untuk setengah jam. Aze kangen kehidupannya yang dulu, tanpa perasaan aneh, biarlah datar dan garing juga. Aze meraih hapenya, hendak menghapus nomor Elmo, tapi urung. Nggak usah segitunyalah. Siapa tau dia butuh lagi. Aze mengeluarkan buku 1001 soal SPMB Kimia, lalu mengerjakan bab Larutan. Rasanya ia belum mantap di buffer.

Heuh... Aze tidak bisa konsentrasi.

Ia malah membuka-buka LKS Kewarganegaraan yang kebetulan saja berada di urutan teratas dari tumpukan buku pelajaran di samping sikunya. Siapa tahu dapat pencerahan. Ia sampai pada sepasang halaman penuh dengan soal pilihan ganda. Tertangkap oleh matanya sebuah soal:

 

Di bawah ini merupakan kegiatan di kalangan generasi muda yang dapat memperkuat patriotisme, kecuali...

a.      melakukan pendidikan politik

b.      meningkatkan disiplin nasional

c.       mengadakan peringatan hari-hari besar nasional

d.      ikut aktif dalam pelaksanaan pembangunan nasional

e.      memasuki kelompok pemuda yang pesimis pada masa depan

 

Aze memberi tanda silang besar dan dalam pada opsi e.

 

3

Malam itu Elmo sengaja tidak menelepon Aze. Belajar dari pengalaman dan perkiraan, sebaiknya cewek yang siangnya nangis tanpa sudi memberi tahu alasannya, malamnya jangan dihubungi dulu, peduli amat deh apa kata orang.

Terus Elmo, belajar dari pengalaman kamu, cewek yang tiba-tiba menjauh dari kamu, mesti diapain biar deket lagi?

Nggak tau, nggak tau. Bisa-bisanya Elmo yang mestinya ngerti cewek nggak tau gini mau ngapain? Uh. Elmo menurunkan lengannya yang sedari tadi menutupi mata. Kelamaan tangannya di atas seperti itu, semutan jadinya. Elmo berbalik menelungkup, tangannya terjuntai ke pinggir tempat tidur. Ia mencoba berpikir jernih.

Iya, memang dia tidak seintensif dulu lagi menelpon Aze. Mungkin dia sudah tidak sesensitif dulu dalam menebak apa sebenarnya yang diinginkan seorang cewek. Dalam kepala Elmo, otaknya mulai berpikir.

Tapi otaknya tidak bisa bekerja tanpa oksigen. Kepala Elmo terangkat seolah sedang berada di dalam air, lalu ia menarik nafas. Jadi ingat salah satu episode Mr. Bean, itu loh, yang sedang tidak bisa tidur, hihi. Entah kenapa merasa malu, Elmo mengenyahkan pikiran tentang itu dari benaknya. Mesti diberi perhatian seperti apa si Aze itu biar hatinya tergugah? Oh iya.

-          beliin makanan favoritnya, anterin ke rumah. Sudah.

-          kirim sms lucu 

Elmo bangun, meraih hape, lupa tentang teori jangan-menghubungi-cewek-habis-nangis-nggak-jelas-nya.

 

4

Insomnia. Aze memejamkan mata tapi tidak tidur. Hapenya yang sedang di-charge berbunyi. Dengan malas Aze menjulurkan tangan ke meja, melihat siapa gerangan yang belum tidur pada pukul 02.09 lalu mengirimnya sms.

           

z,z,

dhulu kala ada sEkor krang yg sgt jlk.krn jlkny, smw yg mlht krang itu mati.tmt.hi2.Lmo.

           

Aze membekap mulutnya dengan tangan, menahan tawa ngakaknya yang bisa membangunkan orang serumah. Tapi lalu dia tersadar. Ya Tuhan, apa yang kulakukan?

 

5

Oh, pagi hari yang menyebalkan. Elmo malas bekerja hari ini. Ia ingin tinggal di rumah dan main game Zuma.

Smsnya semalam buat Aze sudah ada laporan terkirimnya, tapi tidak ada balasan. Harus berbuat apa lagi dia? Menelepon dengan lebih intensif mungkin. Tapi daripada salah langkah, mendingan dia tanya orang lain dulu ya. Elmo berbaring di tempat tidurnya sambil menatap slip gaji terakhirnya dari Papier Shelter dengan sedih karena tidak tahu akan dihabiskan bersama siapa uang hasil kerjanya sebulan terakhir itu.

Oh iya, kemarin ada sms dari si Bamba, temannya semasa SMA, yang mengajak Elmo kumpul-kumpul dengan anak-anak BKS lain yang masih tinggal atau sedang berada di Bandung. Setelah sms itu menyusul sms lain yang isinya serupa, dari si kembar kribo Yayat dan Yadi. Dari mana, Elmo heran, mereka memperoleh nomornya ini. Masak sih dari Trista?

Elmo mendapat ilham. Ia akan meminta saran Trista.

Empat missed call untuk Trista kemudian, Elmo menyerah. Tapi memang sudah takdir, saat mengeluarkan mobil dari garasi, hape Elmo tiba-tiba bernyanyi dengan suara tenor.

Memory, all alone in the moonlight, I can smile at the old days.[2].”

”Halo.”

”Aduh Elmo, maaf tadi nggak keangkat, aku lagi asistensi!”

Asistensi. Apa pula itu, dasar mahasiswa. Tiba-tiba Elmo ilfil.

”Ah, ya, gapapa, nggak penting..”

”Ada apa Elmo?”

”Iya, itu dia, nggak penting.”

“Eh, Elmo, jangan ngambek gitu dong, ntar nggak ganteng lagi...”

Ugh. Elmo sebenarnya paling tidak suka digoda dengan cara seperti itu. Makin ilfil aja dia.

“Apa kabar si Aze?” tanya Trista di ujung dengan nada ceria. Ah, Aze. Elmo seolah teringat luka lama. Padahal baru kemarin..

“Iya, baik. Tris.. mau nanya nih.. soal Aze.”

“Ih, ya mana tau. Kan kamu cowoknya,” lalu Trista tertawa. Elmo meringis. Ah, ayo cepat tuntaskan! Elmo pun mulai menguraikan masalah. Juga usaha yang telah dilakukan dan terpikirkan. Sesekali Trista menanyakan hal-hal tidak penting, seperti apakah Aze menghadap Elmo saat ia menangis. Entah kenapa, ia tiba-tiba merasa lelah. Kenapa juga ia repot-repot mengurusi hubungan ini, sebentar lagi SNMPTN dan mestinya ia konsentrasi pada belajarnya.

“Mo, tau nggak, kayaknya si Aze itu jealous, atau ngerasa kurang perhatian,”

“Ah jealous sama siapa, gue nggak pernah ngapa-ngapain,”

”Hmm, nggak tau juga sih, tapi biasanya itu..”

”Kalo ngerasa kurang perhatian sih bisa jadi. Ah, nggak, dianya aja yang jadi aneh, terus gue harus ngapain emangnya? Anak kek gitu..”

”Idih, Elmo darah tinggi ya, marah-marah aja..”

”Huhu..” Elmo ketawa garing.

”Kalo saran aku sih kasih dia sedikit sentuhan..”

”HAH?”

”Maksud aku, yah, dari pengalaman juga, terus biasanya di novelku, buat ngedeketin tokohnya, ya pake cara itu, hehe..”

Elmo berusaha tidak menampilkan kengeriannya. Ia diam saja.

”Yah, biasanya sih dengan sentuhan, orang akan merasa..”

Euh..

”TAPI TRIS,” potong Elmo yang tidak ingin terus mendengar ada cewek yang menyarankan menggunakan ’sentuhan’.

”..lebih dicintai, kenapa Mo?”

”Nggak. Sok sana terusin.” Bisa-bisanya si Trista. Lingkungan kuliah telah mengubahnya. Dulu kalau Elmo minta saran tentang ceweknya pada Trista, dia tidak pernah menyarankan ’sentuhan’. Adalah satu hal kalau seorang cowok ingin menyentuh seorang cewek, tapi jika seorang cewek menyarankan seorang cowok ‘menyentuh’ cewek lain, itu jadi mengerikan. Elmo jadi penasaran, jangan-jangan si Trista ini cocok bergaul dengan beberapa di antara temen BKS-nya yang mesum-mesum. Tiba-tiba, misteri dari mana nomornya diperoleh Bamba, Yayat, dan Yadi jadi terpecahkan.

”Ng, itu elo ya yang ngasih nomer gue ke anak-anak?”

”Iya, kenapa Mo, nggak boleh ya? Maaf deh kalo..”

“Nggak, gapapa kok. Hayulah Tris, gue mau kerja. Thanks yah,”

“Sama-sama.”

Elmo meletakkan hapenya di meja samping tempat tidur, lalu menjatuhkan diri ke pembaringan, menutup wajahnya dengan tangan. Elmo termenung. Walaupun Elmo selama ini menganggap dirinya adalah jenis orang yang dapat menerima perubahan dalam hidup, tetapi tak urung hati Elmo merasa.. apa ya.. pedih mungkin, melihat Trista sudah berubah. Elmo merasa berat ketika timbul kesan dalam hatinya bahwa Trista yang dulu diam-diam ia cintai telah berubah tanpa kehadiran Elmo.

Betapa Elmo tidak rela menerima hal itu. Besok ia akan bertanya lagi pada Trista, siapa tahu sebenarnya sejauh apapun Trista berubah, ia masih bisa memberi saran dan menyejukkan hati Elmo.

 

6

Siang terik. Trista memindah-mindah channel tivi mini di mobilnya yang sedang menunggu untuk bisa keluar dari pelataran parkir kampusnya. Tadi ia habis mengerjakan tugas yang membuatnya harus asistensi berulang kali. Tugas sampling, menurut Trista sebenarnya tidak usah sampai sebegitunya asistensi sampai berkali-kali. Di malam itu, ya, di malam itu.

Selepas salah satu asistensinya ia berpapasan dengan Elmo di pintu parkiran restoran. Trista menghela nafas sambil menyerahkan uang parkir, akhirnya mobilnya bisa keluar, menuju kemacetan di jalan di depan kampusnya. Membuat Trista bertanya-tanya, mana sih sarjana-sarjana planologi? Bukankah mestinya mereka yang mengurusi masalah beginian? Siang terik, Trista mesti membiarkan pikirannya hanya berputar di dalam mobil karena ia tidak punya teman diskusi.

Setengah melamun di atas mobilnya yang merayap selamban siput sekarat, Trista mematikan tivinya lalu menyalakan radio. Ponselnya berdering.

“ Tris,”

“Elmo?”

Huh, siapa lagi gerangan yang menelepon dia di tengah suasana hatinya yang sendu?

Punten ya Tris, gue ngganggu aja..”

“Ah, nggak. Ada apa Mo?”

...Kusadari ku sangat, sangat menginginkanmu..”.

Uh, lagu apa pula itu. Trista mengecilkan volume radio lalu memindahkan frekuensinya.

”..Kucintaimu, tak berarti bahwa.. ku harus memilikimu slamanya..”

Lagunya sama! Ya ampun, ia menyerah.

Trista merasa hatinya sakit. Iya, ia jatuh cinta pada lelaki yang selalu dimiliki orang lain, yang tidak bisa dimilikinya. Samar-samar, menyeruak ke dalam kesadarannya yang diisi lagu d’Massiv, Trista mengerti bahwa Elmo lagi-lagi curhat tentang Aze. Aze-nya, yang jauh secara emosional. Berarti sarannya kemarin tentang menggunakan sentuhan itu tidak diterapkan Elmo atau sudah diterapkan lalu tidak berhasil?

”Jadi gimana dong Tris? Mesti gimana gue?”suara Elmo terdengar sedih.

“..kembali padanya... Aku bukan siapa-siapa.[3].

Trista menelan teriakan Elmo-yang-selama-ini-cinta-sama-kamu-tuh-aku dari tenggorokannya dan berusaha berpikir jernih. Oh yeah, ia bisa dibilang sudah sembuh dari nervous breakdown atau schizophrenia atau apalah yang terjadi padanya satu setengah tahun terakhir ini.

”Mo, menurut gue sih yang bisa bikin dia kembali kayak dulu ya dengan bikin dia ngerasa kek dulu..”

”..”

”Bikin dia merasa nyaman secara emosional..”

“Hah?”

Biarlah, biarlah. Sekiranya mereka jadi dekat lagi. Cinta tak harus memiliki. Trista menarik nafas dalam-dalam untuk mencegah suaranya diwarnai isakan.

Selama hampir setengah jam Trista berusaha membuat Elmo, yang bego dalam berkomunikasi, yang kadang orang bilang terlalu cengeng untuk jadi anggota BKS, yang dia cintai, untuk mengerti cara membuat ceweknya kembali. Elmo, kamu ajak dia ke rutinitas kalian dulu yang mungkin sempet terpotong. Elmo, bikin dia merasakan kembali masa-masa kasmaran dulu. Huh, memangnya mereka pasangan paruh baya yang jenuh dengan rumah tangga? Trista tidak terlalu ngeh dengan sarannya sendiri, tapi intinya itu deh.

Trista merasakan air mata perlahan-lahan mengalir menuruni pipinya. Ia membiarkan emosinya tersalurkan. Biarlah, biarlah. Ia tersedu-sedu di dalam mobilnya di siang bolong.

Ternyata ia sudah melewati kemacetan di depan kampus, melalui Pasupati dan sekarang sedang menelusuri deretan FO di jalan Dago. Ia akan menghibur hatinya yang patah dengan metode kesukaannya, retail therapy.



[1] Blink 182 – Adam’s Song

[2] CATS - Memory

[3] D’Massiv – Aku Bukan Siapa-siapa

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain