Sabtu, 30 Januari 2010

ASTROLOVE

Langit malam seharusnya menjadi sesuatu yang indah dan romantis. Dongakkanlah kepala dan temukan berbagai macam rasi bintang: Orion, Cassiopea, Auriga... Kalau beruntung, kita akan dapat menemukan Andromeda, galaksi terjauh yang dapat dilihat dari bumi tanpa bantuan teleskop/teropong. Tapi bagi seseorang, taburan glitter di angkasa itu tak lebih dari seonggok ketombe di rambut siapa pun. Bukan lagi sekedar menjijikkan, tapi juga merusak hubungan di antara ia dan Sagan. Atau mungkin ialah yang telah menjadi pihak ketiga di antara mereka—Sagan dan onggokan ketombe berkelap-kelip itu? Betapa ia membenci langit malam yang sedang cerah-cerahnya.

“Ceres, menurutmu, apakah alam semesta akan terus mengembang?” akhirnya mata Sagan lepas juga dari teleskop.

Seharusnya aku yang bertanya padamu, kalau setiap berduaan malam-malam kamu selalu lebih mempedulikan benda-benda langit nggak jelas itu daripada aku, bagaimana cinta kita dapat mengembang? batinnya. Ketika sepasang matamu bukannya menatap mesra padaku, melainkan menempel di teleskop. Ketika sepasang tanganmu bukannya merangkul lembut pundakku, melainkan terus-terusan mengatur arah gagang teleskop dan posisi tripod...

Sepertinya tidak ada orang yang lebih freak pada astronomi daripada Sagan. Namanya saja diambil dari nama seorang ahli astronomi, Carl Sagan—selain karena ayahnya adalah seorang ahli astronomi yang bekerja di lembaga penelitian milik negara. Dan Sagan bersikeras memanggilnya Ceres, mentang-mentang Ceres adalah nama sebuah asteroid—satu-satunya asteroid yang terlihat berbentuk bulat! Padahal nama itu terdengar seperti sebuah merk meses, meskipun itu bagian dari nama lengkapnya, Sistania Ceres. Itu panggilan kesayanganku untukmu, karena kamu berbeda di antara yang lainnya, bujuk Sagan yang membuat hatinya seketika meleleh, kala itu. Padahal ia lebih suka dipanggil Sista. 

Betul kata orang bilang, pria yang mencintai langit malam adalah pria romantis. Sebagaimana hakikatnya langit malam, Sagan sebetulnya memang romantis. Itulah jurus yang ia gunakan untuk mendapatkan hati Sista. Langsung kena telak, ampuh! Sista masih ingat salah satu kalimat yang pernah Sagan bubuhkan dalam usaha untuk menggaet hatinya: ada milyaran bintang selain matahari, tapi kamulah bintang yang terindah.

Romantisme Sagan telah menggiring Sista ke masa yang begitu membahagiakan dalam hidupnya. Perasaannya dilambungkan tinggi hingga mencapai objek terjauh di angkasa yang hanya dapat dilihat teleskop terkuat. Untaian kata-kata indah yang berkaitan dengan nama-nama benda di angkasa menjadi penghias harinya. Guyuran perhatian Sagan, sebagaimana guyuran hujan pada musim di kala cowok itu menembaknya, membuktikan betapa cowok itu memang mencintainya.

Musim berganti.

Awalnya Sista senang Sagan jadi lebih sering mengunjunginya karena hujan lebat tidak lagi keukeuh menghalang. Beberapa malam dalam seminggu—kalau langit sedang cerah-cerahnya dan tugas-tugas sekolah sedang tidak menumpuk—Sagan akan berada di depan pintu rumahnya. Sista bisa melihatnya dari beranda: rapi, wangi, sudah mandi, dan senyum memikat dengan tabung teleskop tersampir di bahu.

Bagi Sista, jika saat seperti itu tiba, artinya itu adalah waktunya pacaran. Bagi Sagan, saat seperti itu bukanlah sekedar waktunya pacaran, melainkan pacaran sambil mengamati bintang. Sagan biasa mengajaknya mencari tempat yang paling mendukung untuk pengamatan bintang. Tempat itu bisa beranda rumahnya atau sebuah bukit di pinggiran kota.

Mengamati bintang bersama-sama memang membuat momen pacaran menjadi lebih romantis, Sista akui itu. Sista ingat pertama kalinya Sagan mengajarinya menangkap bintang dengan mata telanjang.

“Mana, nggak keliatan?” rajuk Sista manja.

“Adaptasi gelap dulu, Ceresku. Biarkan matamu menyesuaikan diri di kegelapan. Sebagai instrumen astronomi, mata kita memang punya kekurangan. Bukaan pada pupil sangat kecil, jadinya itu mempengaruhi kemampuan mengumpulkan cahaya dan kemampuan memisahkan bintang-bintang yang berdekatan.”

Benar saja. Lama-lama mata Sista dapat juga menangkap kemilau-kemilau itu. Sagan memperkenalkan mereka satu per satu, “Itu Vega. Yang itu Altair. Itu...” Sementara telunjuk Sagan menuding-nuding angkasa, Sista memandangi cowoknya itu tanpa berkedip. Ceresku... katanya, aduh, aduh...

Suatu ketika kemilau Alpha Centauri tertangkap teleskop Sagan. Sista kira mereka akan berebut teleskop untuk dapat melihatnya. Ternyata Sagan menyerahkan teleskopnya begitu saja pada Sista, seakan-akan bintang paling cemerlang yang terdekat jaraknya dari bumi itu bukanlah suatu hal yang menarik. “Binar mata kamu lebih cemerlang dari Alpha Centauri, Ceres...” kata Sagan waktu itu, yang membuat Sista makin sayang padanya.

Atau sewaktu Sagan menunjukkan planisfer padanya. Benda itu adalah oleh-oleh dari ayah Sagan yang baru pulang Amerika Serikat. Sebuah pertemuan ahli astronomi dunia baru saja dihelat di sana. Planisfer adalah semacam peta bintang—alat yang digunakan untuk menemukan rasi bintang. Sagan mendemonstrasikan cara menggunakan alat itu sambil dengan lembut berucap, “Belum ada planisfer yang dibuat untuk menemukan kamu, Ceres, makanya aku beruntung banget.” Sista tidak pernah terlalu cair untuk meleleh meskipun mungkin sudah puluhan kalimat seperti itu Sagan ucapkan untuknya.

Namun sebagaimana Malthus berteori laju pertumbuhan penduduk lebih cepat daripada laju produksi pangan, obsesi Sagan terhadap perbintangan melaju lebih pesat daripada intensitas perhatiannya kepada Sista. Lama kelamaan, kedatangan Sagan dengan teleskop bintang tersampir di bahu di pintu rumah Sista mendatangkan cemberut di wajah cewek itu.

Saat langit malam sedang cerah, pasangan lain mungkin akan saling mendekap sambil berharap meyaksikan bintang jatuh. Jadi mereka dapat melantunkan permintaan akan kelanggengan hubungan mereka dalam hati. Tapi bagi Sista, malam cerah lambat laun menjadi prahara. Kini bukan belaian atau bisikan mesra lagi yang ia dapat, sebagaimana yang patut didapatkan seorang kekasih pada umumnya, melainkan kuliah astronomi. Inilah buah dari obsesi Sagan pada astronomi yang makin menjadi-jadi.

“Ceres, aku sampai sekarang masih penasaran, sebetulnya energi gelap dan materi gelap macam apa sih yang telah mengembangkan alam semesta?”

“Mata kita melihat di sepanjang garis pandangnya sendiri, atau disebut juga paralaks. Itu sebabnya kenapa planet-planet dan bintang-bintang terlihat sama aja jaraknya di mata kita—yaitu jauh. Tapi justru, teknik astronomi paling sederhana untuk menentukan jarak benda-benda angkasa itu didasarkannya pada paralaks!”

“Kamu tau nggak, Ceres, ngitung jarak bintang itu pakai trigonometri loh! Yang pertama kali menyempurnakannya itu Friederich Bessel, tahun 1938. Waktu itu dia ngitung jarak bintang yang namanya 61 Cygni.”

Lagipula ia tidak percaya bintang jatuh dapat mengabulkan permintaan. Memangnya benda itu apaan? Tuhan?

Sista berharap musim hujan cepat datang kembali. Dengan demikian, langit malam akan terlalu kelam untuk dapat menampilkan kegemerlapan para pencuri hati. Sayangnya, koran malah memberitakan gejala-gejala El Nino mulai tampak lagi.

***

Bagai ledakan besar yang menciptakan alam semesta menurut teori Big Bang, saat jeda pergantian pelajaran tiba-tiba ketua kelas maju.

“Buat teman-teman yang berminat ikutan olimpiade, ini kertas tolong diisi ya. Ini kertasnya ada banyak. Masing-masing buat satu mata pelajaran. Ada Fisika, Kimia, Biologi, dan seterusnya. Diisi di sini, nama, bla bla bla. Boleh ngisi lebih dari satu. Entar kalau udah, tolong kasih ke saya lagi ya. Jangan sampe ketinggalan, entar nyesel!”

Sebagian besar siswa bangkit dari bangku masing-masing. Mereka mengerumuni bangku terdepan, tempat ketua kelas menghamparkan kertas-kertas tersebut. Sista tidak mau ketinggalan. Daripada bingung memilih ekskul yang banyak dan tidak ada yang benar-benar diminatinya itu, lebih baik langsung ambil saja kesempatan yang ditawarkan.

Sejak tadi malam, ia berniat mencari kesibukan untuk melampiaskan kekesalannya karena kehilangan perhatian dari sang pacar. Ia bahkan sudah tidak peduli lagi akan cita-cita cowoknya itu: mengunjungi pedalaman Australia untuk mendapatkan pemandangan terbaik dalam mengamati bintang—bahkan kangguru pun ikut mengamati bintang! Perasaannya pada cowok itu lama-lama amblas sudah. Habis kesabarannya. Tidak ada gunanya lagi mereka pacaran. Sagan lebih mencintai bintang-bintang...

Sambil menyelinap ke celah-celah kerumunan, Sista memikirkan mata pelajaran apa yang akan ia pilih nanti. Kimia? Uh, a BIG NO NO. Biologi? Ia tidak kuat hapal-hapalan. Fisika? Ia malas membayangkan bertemu dengan Sagan lagi. Sudah sejak tahun lalu Sagan menjadi maestro di olimpiade Fisika dalam mewakili sekolah. Matematika? Baru menyebutnya saja Sista sudah merasa ingin muntah. Astronomi? Lagi-lagi ini mengingatkannya pada Sagan. Ketika Sista akhirnya berhasil mencapai tepi meja, kerumunan telah buyar. Tinggal beberapa anak saja yang masih tinggal. Dapat dipastikan bahwa mereka mengalami kebingungan yang sama sepertinya.

Dari jauh sudah terlihat Astronomi yang paling sepi peminat. Tidak sampai lima orang mungkin. Entah kalau digabungkan dengan kelas lain. Sementara itu, peminat untuk mata pelajaran lainnya terlihat membeludak. Kalau di kelas-kelas lainnya hal yang sama terjadi, maka seleksinya akan makin ketat. Mengingat ia bukan orang yang amat unggulnya dalam akademis, sudah pasti dengan segera ia akan tersisihkan. Dengan demikian ia tidak akan jadi punya kesibukan.

Ketua kelas menyenggol sikunya. “Eh, udah belum? Mau saya balikin ke Bu Sarah nih sekarang.”

“Aduh, bentar ah, masih bingung nih!” Sista mengisyaratkan pengusiran.

“Ayo cepat tentukan pilihanmu...” Ketua kelas tidak kalah senewennya. Ia berkata dengan nada tidak sabaran, “Udah, Astronomi aja. Pasti lolos. Kelas lain kayaknya nggak ada yang minat tuh!”

“Iya, gua juga pilih Astronomi, kayaknya gampang tuh,” seseorang menimpali. 

Ketua kelas sudah menarik kertas-kertas itu dari meja. Sista cepat-cepat bertindak. “Eh, eh, ya udah, aku pilih Astronomi aja deh!”

“Sip... sip...” Ketua kelas menyerahkan kertas bertulisan “ASTRONOMI” di atasnya. Baru 2 orang ternyata yang mengguratkan namanya di situ.

***

Pegasus, Aquila, dan kawan-kawannya tidak terlihat malam ini. Kecantikan mereka tertutup tirai air yang dijatuhkan dari langit. Kali ini, giliran teleskop Sagan yang jadi obat nyamuk. Membisu di teras rumah Sista. Menunggui tuannya berbincang asyik dengan sang pacar.

“Menurut mitologi Yunani, Orion itu anak laki-lakinya Poseidon, dewa laut. Dia itu seorang pemburu handal dengan gada dan tameng yang jatuh cinta dengan tujuh putri bersaudara yang cantik, yang disebut Pleiades, dan ia masih terus mengejar mereka di angkasa.”

“Ya, tapi suatu hari dia tewas disengat kalajengking. Makanya itu dewa menempatkan kalajengking di sisi langit yang berseberangan supaya si kalajengking lenyap pada saat Orion terlihat kembali.”

“Dan saat Orion terlihat, ia adalah rasi bintang penunjuk jalan yang bagus. Karena ia menunggangi khatulistiwa langit, ia dapat dilihat baik di Belahan Bumi Utara maupun Selatan. Di samping Bajak dan Palang Salib Selatan, Orion juga rasi bintang yang sudah tidak diragukan lagi keberadaannya di angkasa. Di sabuk Orion, tiga bintangnya yang satu menunjuk ke Sirius—“

“—bintang paling terang di langit—“

“...di Canis Major. Bintang yang lain menunjuk ke Aldebaran di Taurus. Satunya lagi menunjuk ke kelompok Pleiades.”

“Tepat sekali!”

Senyum di bibir keduanya mengembang.

“Ternyata Astronomi itu mengasyikkan, ya!” Sista mendekap salah satu seri buku mitologi Yunani bergambar yang baru dibelinya.

Sagan hanya manggut-manggut. Ia tak kalah senang. Akhirnya ceweknya dapat juga memahami kesenangannya. Selama ini ia hanya bisa bersikap pura-pura tidak ngeh saat ia sedang asyik-asyiknya mengamati bintang sementara cewek itu malah cemberut. Hingga lama kelamaan intensitas pertemuannya dengan ceweknya itu makin berkurang. Di sela-sela kesibukannya mempersiapkan Olimpiade Fisika, ia tetap berusaha menyediakan waktu untuk pacaran. Apakah itu jalan ke mal, mengamati bintang, atau kegiatan lainnya yang dapat dilakukan bersama. Ketika waktu tersedia, tak dinyana malah ceweknya yang menolak bertemu. Alasannya, cewek itu juga sedang sibuk mempersiapkan Olimpiade Astronomi. Mulanya ia agak janggal dengan itu. Ia tak menyangka Sista berminat juga pada bintang-bintang. Bukankah selama ini mereka yang menjadi sasaran kecemburuan cewek tersebut?

Ia coba memahami. Bagaimanapun juga misteri jagat semesta raya memang terlalu menakjubkan untuk dilewatkan. Semakin diselidiki, semakin dapat ditemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bahkan belum ada seorang pun yang membuatnya! Siapa yang tidak tergugah? Mungkin Sista juga telah meresapi itu.

Untunglah, kali ini Sista tak menolak ketika Sagan bermaksud bertandang ke rumahnya setelah sekian lama absen. Ia sama sekali tak menduga malam ini mereka akan alot membahas sabuk Orion, dan nyambung! Sagan membayangkan, sejak malam ini mungkin malam-malam berikutnya juga akan menjadi malam yang lebih indah. Bayangkan, sepasang kekasih yang sama-sama mengagumi langit malam dan mengkaji misteri di balik itu. Mereka akan menjadi pasangan paling romantis dan ilmiah di dunia!

“Ternyata kamu benar-benar suka sama Astronomi ya. Aku nggak nyangka loh, ternyata kamu juga suka.” Sagan bangkit sambil menyandang tabung teleskop yang sebelumnya bersandar di kursi yang didudukinya tadi. Sista mengekor. Mereka menapaki jalan aspal yang becek menuju jalan raya. Tirai hujan sudah digulung pemiliknya, tapi masih terasa tetes-tetesnya menyentuh rambut.

“Benar sekali, Gan. Aku pikir aku nggak akan berhenti sampai di olimpiade aja. Kayaknya aku bener-bener mau mempelajari Astronomi, termasuk untuk kuliahku nanti,” suara Sista tertelan lamat-lamat deru kendaraan yang berlalu lalang.

“Wah, bagus itu. Berarti, kamu mau masuk ITB dong?”

“Iya. Makanya, dari sekarang aku mau fokus mempelajari Astronomi, Gan. Masuk ITB kan susah. Aku ingin seperti Henrietta Swan Leavitt, yang memberikan sebuah penemuan berharga. Menemukan ukuran untuk memperkirakan jarak terhadap galaksi terjauh!”

“Bagus, kita bisa belajar bareng!”

“Tapi kayaknya aku belum bisa pacaran lagi deh. Kayaknya itu bisa mengganggu fokus aku.”

“Maksud kamu?”

Sista bergeming.

“Maksud kamu, kita break dulu?” Sagan memperjelas. Ia merasa sudah bisa menduga ke mana arah pembicaraan ini.

“Tidak ada istilah break, Sayang. Kalau berhenti ya berhenti. Putus ya putus.”

Sagan terdiam sejenak. Dengan berat ia mengucap, “kamu marah sama aku, ya?”

“Butuh 4,25 tahun untuk mencapai Alpha Centauri, hampir 30.000 tahun untuk menuju pusat galaksi, sekitar 2.300.000 tahun untuk menuju Galaksi Andromeda, dan 13.000.000.000 tahun untuk mencapai objek terjauh yang dapat dilihat dengan teleskop yang sangat kuat. Untuk mendapatkan aku, kamu emang nggak butuh waktu selama itu. Tapi bukan berarti kamu bisa menafikan aku begitu aja, Sagan. Urus saja bintang-bintangmu dulu, ya. Ada waktunya sendiri bagi kita untuk bersama. Saat kita udah lebih memahami apa itu cinta. Eh, tuh, angkot kamu udah dateng!” Sebuah angkot berhenti seketika Sista menudingkan telunjuk ke jalan. Sista tidak peduli bahkan jika angkot itu bukan ke arah rumah Sagan sekali pun. Sista mendorong masuk Sagan yang masih terbengong-bengong. Beruntung, angkot sudah keburu jalan saat Sagan berusaha turun kembali untuk mengejar Sista yang cepat-cepat berbalik pulang. Sista tak dapat menyembunyikan tawanya. “Makan tuh bintang-bintang!” cetusnya sebelum terkekeh. 

29 Januari 2010, 6.48 PM

Jumat, 29 Januari 2010

hewan-hewan yang pernah kujumpai di kamar kosku


kucing

namanya kiti.
tapi kini ia sudah mati.
kata pemiliknya yang bernama mbak dwi,
konon kiti mati karna tergilas mobil.

kelabang


sekali ia mampir,
kiranya berasal dari kamar mandi,
janganlah pernah ia kembali lagi,
amin.

kaki seribu

ia sudah singgah beberapa kali.
tanpa sempat mengucap, "hai",
langsung sapu kuambil
dan kuusir pergi.

kecoak

ia yang paling sering
mengajakku bermain
kejar-kejaran, namun gerakannya terlalu gesit
hingga aku capek sendiri.

kutu beras

padahal beras tak kutimbun,
mengapa dalam kamarku ia kedapatan merayap dengan anggun?
mungkin karena kamarku dekat dapur.
bikin sebal saja, huh...

semut segala macam ukuran

mereka di mana-mana.
mengerubuti makanan,
bercengkerama dalam koloni kerja,
atau hanya berputar-putar kebingungan ke seantereo kamar.

cicak

berkejaran dengan asik
hingga masuk ke dalam plastik.
gemerisik.
kadang membuatku terusik.

rayap

mereka tak membuatku
menyadari bahwa mereka mendekam di setiap kayu.
hingga tahu-tahu
kudapati serbuk-serbuk.

lalat

lamat-lamat ia mendekat
hingga ku berminat untuk menjerat
nya dengan sedotan berlumur madu yang membuat
kaki-kakinya lekat.

laron

ia datang kala musim mencapai hujan.
sayap-sayap patahnya buatku ingat akan
dewa 19 dan kahlil gibran.
meski demikian kehadirannya tak begitu kuinginkan.

jenis-jenis yang belum teridentifikasi


tak pernah kutemukan di ensiklopedia.
teman-teman menggeleng kala ku tanya.
jadi ku biarkan saja mereka berlalu dengan sendirinya.
meski ada bengkak di dagu atau leherku kadang, mungkin karna mereka.

Rabu, 27 Januari 2010

Cerita Bermoral dan Islami Ala Pak Dipo

Judul : Odah & Cerita Lainnya
Pengarang : Mohammad Diponegoro
Penerbit : HIKAYAT Publishing, 2008, Yogyakarta 
Ukuran dan tebal buku : 14 x 20 cm, x + 358 hlm

Seorang kakek dengan tiga kaki kayu berjalan tertatih-tatih menuruni anak tangga. Usahanya membuat “aku” tergugah ingin menolongnya. Kakek itu mestilah seorang veteran yang tersia-siakan. Pejuang kemerdekaan negara yang bahkan pemerintah pun tak acuh terhadapnya. Uluran pertolongan dari “aku” ditampiknya. Hingga tongkatnya tergelincir dan “aku” pun sigap menangkapnya, terbukalah hati kakek itu. Berceritalah kakek itu tentang masa mudanya, awal dari ketidakpercayaannya pada orang lain. Ia dikhianati oleh ketiga temannya sewaktu sedang dalam perjalanan mengusung peti. Mereka menjebaknya hingga sepasang kakinya tergilas kereta. Sejak itu ia tidak menaruh kepercayaan pada siapapun. “Aku” masih mengira kakek itu adalah seorang pejuang gerilya sampai ia menanyakan apa gerangan isi dari peti yang kala itu mereka usung. Dengan tenang kakek itu mengaku bahwa peti tersebut berisi barang berharga dan ketika itu mereka adalah kawanan perampok.

Cerita ini hanyalah satu dari sekian cerita lainnya yang mengandung kejutan di akhir cerita. Sebut saja judul-judul lainnya seperti “Sumpah Dua Lelaki Bersaudara”—ketika sumpah sepasang kakak dan adik menjadi kenyataan—maupun “Keroyokan”—akibat pahit yang harus diterima seorang anak karena tidak mengindahkan peringatan ayahnya.

Memang terdapat pula beberapa cerita yang kejutannya kurang bikin geregetan. Modusnya sama: si protagonis memiliki prasangka akan seseorang, namun di akhir cerita kenyataan berbicara lain. Dalam “Lubang Perlindungan”, Ruben—protagonis—dibunuh oleh seorang serdadu Belanda yang dikiranya kakaknya namun ternyata bukan. Dalam “Perasaan yang Sangat Ajaib Kosongnya”, seorang wanita bersiap menyambut kedatangan anak kandungnya yang sudah lama tak ditemuinya. Setelah bertemu dan kerinduan dilepaskan, ternyata pria yang sedari tadi dipeluk dan diciumnya bukanlah anak kandungnya itu. Anak kandungnya telah meninggal dan yang datang adalah temannya yang hendak memberi kabar namun tidak jua diberi kesempatan bicara. Sementara itu dalam “Potret Seorang Prajurit”, seorang Indonesia mengira telah membunuh seorang lelaki dari keluarga tempatnya tinggal sementara di Jepang. Hal ini membuatnya takut luar biasa dan ketika ia minta pindah tempat, diberitahulah ia bahwa lelaki yang ia bunuh dengan lelaki dalam keluarga tersebut yang telah meninggal bukanlah orang yang sama.

Meski demikian, setiap cerita memiliki kesan dan keunikannya masing-masing. Dari cerita yang mengharukan (“Odah”), menguak jati diri manusia (“Memakai Baju Orang Lain”), inspiratif (“Persetujuan dengan Tuhan”), berbau mistis “Kembali ke Kuburan”, “Istri Sang Medium”, dan “Bubu Hantu”), hingga tidak jelas hendak menceritakan apa (“Catatan Seorang Narapidana”, atau mungkin saya saja kurang bisa menangkap), tersaji di sini. Pak Dipo, demikian panggilan pengarang, menghidangkan 30 cerita (yang sebagiannya serupa anekdot) yang tidak hanya menawan hati, tapi juga memberikan ajaran moral dan nilai-nilai Islam. Meski pengarangnya telah meninggal pada 1982 dan kenyataan ini membuat saya memvisualisasikan cerita-ceritanya dengan latar jadul, kebaikan-kebaikan di dalamnya tidak lekang oleh waktu. Bertambahlah satu nama dalam daftar sastrawan Islam Indonesia panutan, selain A. A. Navis.

Dalam “Berilah, Nanti Kau Akan Menerima”, misalnya, pesan moral yang sudah termuat di judulnya kembali mengingatkan kita akan sebuah firman Allah SWT. (lupa sumbernya) bahwa perniagaan yang paling menguntungkan adalah perniagaan dengan-Nya. Barangsiapa menjual kebajikan dengan menolong orang lain secara tulus, maka Ia nanti pasti akan membayarnya dengan pahala yang berlipat-lipat. (hal. 98)

Begitupun dalam “Rumah Sebelah”. Seorang lelaki sedang mencari cermin antik. Kebetulan sekali, ia bertemu teman lamanya yang sedang membutuhkan uang dan memiliki cermin antik yang dapat dijual. Dengan niat menolong teman sekaligus mendapatkan apa yang sedang diincar, lelaki itu pun membeli cermin antik tersebut tanpa melihat dulu barangnya. Keesokkan harinya, temannya mengantarkan sendiri barang itu ke rumah besarnya tanpa sempat menemui pemiliknya. Alangkah kagetnya lelaki itu ketika mengetahui ternyata cermin antik tersebut tidak sesuai seperti yang diharapkannya. Lebih kaget lagi ia setelah mengetahui bahwa selama ini temannya itu hidup tepat di samping rumahnya dalam rundungan kemiskinan.

“Tapi selama itu aku tidak pernah tahu bahwa ia tetanggaku dan penghuni satu-satunya gubug reyot di dekat rumahku. Ke mana selama lima belas tahun ini kubayar uang zakat? Kepada panitia-panitia masjid yang mengedarkan lis, ke giro bank pengumpulan zakat, kepada badan-badan dakwah yang berpuluh-puluh jumlahnya. Tapi tidak sepeser pun pernah kubayarkan kepada Fahmi.” (hal. 281)

Mengingatkan saya pada sebuah riwayat Rasulullah SAW. Saya tidak ingat persis redaksinya seperti apa. Kalau dengan bahasa sendiri, saya mengingatnya begini: tidak patut seorang muslim tidur di malam hari selama masih ada tetangganya yang kelaparan. Intinya sih, tetanggalah orang pertama yang harus kita perhatikan karena ia lebih dekat dari sanak saudara kita. Misalnya, saudara kita tinggalnya di Jogja sementara kita di Bandung. Suatu kali anggota keluarga kita sakit keras dan harus dibawa ke rumah sakit segera namun kita tidak mempunyai kendaraan. Jika tetangga kita mengetahui dan memiliki kendaraan, tentu ia akan segera menolong kita untuk mengantarkan anggota keluarga kita yang sakit itu. Anggota keluarga kita mungkin sudah keburu ‘lewat’ kalau harus menunggu sanak saudara yang dari Jogja itu datang menolong dengan kendaraannya.

Namun hal ini bisa tidak berlaku jika kita tinggal di perumahan individualis. Percayalah, meski rumahmu kerampokan sore-sore pun, boro-boro mencegah, tetangga individualismu mungkin tidak akan pernah tahu kalau kamu pernah kerampokan jika tidak ada yang memberitahunya.

Kiranya tidak ada konten yang terlalu dewasa untuk dibaca anak sekolahan. Dalam “Alice”, saya kira hal-hal yang ‘menyerempet’ mungkin akan terjadi. “Aku” dalam cerita ini mendapat kesempatan pergi ke Amerika. Di sana ia bertemu dengan seorang gadis pemusik bernama Alice. Ketertarikan pun tumbuh di antara mereka berdua. Namanya orang Barat, jika sudah tertarik, pastilah berlanjut ke tempat tidur. Namun itu tidak terjadi pada cerita ini. Alice menggedor-gedor pintu “aku” di tengah malam buta namun “aku” bergeming. Pagi pun tiba dan tidak ada ‘hal gawat’ yang terjadi. “Aku” kembali pulang ke negerinya tanpa meninggalkan kenistaan.

Pantaslah buku ini direkomendasikan kepada anak sekolahan. Toh, saya pun dapat membaca buku ini karena adik saya yang masih duduk di bangku SMP meminjamnya dari perpustakaan sekolah. Selain kian merangsang minat literasi, buku ini dapat dijadikan contoh yang baik jika ingin belajar membuat cerita bermoral dan Islami.

Jumat, 22 Januari 2010

Tagut dan Umat Islam Kini

Judul : Penjelasan tentang Makna Thoghut (Syarhu Ma’na At-Thoghut Lisy-Syeikhnil Islam Muhammad bin Abdul Wahhab)
Pengarang : Asy Syeikh DR. Sholih bin Fauzan bin Abdulloh Al Fauzan (alih bahasa oleh Al-Ustadz Abu Hafsh Marwan)
Penerbit : Sukoharjo: Maktabah Al-Ghuroba’, 2007
Tebal halaman : 82 hlm

Allah SWT. berfirman dalam Q. S. An-Nahl: 36,

“Dan sesungguhnya Kami telah Mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut itu,” maka di antara umat itu ada orang-orang yang Diberi Petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).”

juga dalam Q. S. Al-Baqarah: 256,

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat dan tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

dan An-Nisa’: 60,

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada tagut, padahal mereka telah diperintah mengingkari tagut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.”

Intinya sama. Jauhi dan ingkarilah tagut. Tapi apa sih tagut? Al-Quran terjemahan terbitan PT. Syaamil Cipta Media dan CV Penerbit Diponegoro sama-sama mencantumkan “setan dan apa saja yang disembah selain dari Allah SWT” sebagai penjelasan untuk arti tagut. Buku tipis ini, yang dapat tuntas dibaca hanya dalam beberapa jam saja—bahkan mungkin kurang dari sejam—memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai apa saja yang dimaksud dengan tagut.

Untuk dapat memahami apa makna tagut, kita harus mengetahui konteks di balik turunnya ayat-ayat tersebut dan bagaimana kronologinya. Beberapa jilid tebal Sirah Nabawiyah mungkin dibutuhkan atau tanyalah pada ahli sejarah untuk mendapatkan jawabannya. Namun rupanya penulis buku ini sudah begitu mulia meringkaskannya untuk kita. Ia juga mengutip dan menjelaskan pembagian tagut menurut Ibnu Qoyyim (tidak ada catatan kaki) yang membagi tagut (yang sesungguhnya amat banyak) menjadi lima jenis berdasarkan pentolan(?)nya:
1. Iblis. Merupakan jenis tagut yang pertama kali.
2. Siapa saja yang diibadahi selain Allah dan dia dalam keadaan ridha terhadap sesembahan tersebut. Malaikat, wali, orang soleh, dan sebagainya tidak termasuk karena mereka tentu tidak mengharapkan diri mereka menjadi sesembahan selain Allah. Yang dimaksud di sini adalah setan, baik yang berbentuk jin atau manusia.
3. Siapa saja yang menyeru kepada manusia untuk menyembah dirinya
4. Siapa saja yang mengaku mengetahui perkara yang ghaib. Yang dimaksud di sini adalah dukun atau paranormal. Sementara Allah memperlihatkan perkara gaib kepada para Rasul adalah untuk kemaslahatan dakwah mereka (hal. 17). Allah berfirman dalam Q. S. An-Naml: 65, “Katakanlah (Muhammad): “Tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah.” Lalu bagaimana dengan orang yang mengaku diberi ‘kelebihan’, dapat melihat yang ‘tak terlihat’ misalnya, seperti beberapa teman saya, yang sebetulnya tidak menginginkannya?
5. Siapa saja yang berhukum kepada selain hukum yang diturunkan oleh Allah Ta’ala. Yang termasuk ke dalamnya adalah para Huakkam (ahli hukum?) yang membuat perundang-undangan dan menghilangkan hukum syariah kemudian menjadikan peraturan-peraturan buatan mereka sebagai pengganti hukum syariah (hal.19). Adapun orang yang berhukum kepada selain Allah Ta’ala karena ber-ijtihad dalam mencari al-haq tidak termasuk ke dalamnya, meskipun ia salah. Kesalahan tersebut tidak disengaja karena ia adalah ahli yang membahas permasalahan sesuai bidangnya dan senantiasa mencari yang haq namun tidak mendapatkannya. Ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW. (tidak disebutkan perawinya) yang dapat ditemukan di halaman 20. Jadi, mereka yang berhak ber-ijtihad hanyalah mereka yang ahli.

Kalimat-kalimat dengan redaksi yang agak berbeda tapi beresensi sama tersebar di halaman-halaman buku ini. Ini merupakan salah satu strategi dalam berkomunikasi yaitu dengan pengulangan (pervasion). Dengan strategi ini diharapkan komunikan dapat mengingat pesan yang disampaikan.

Fatwa-fatwa dari penulis, yang sepertinya seorang syeikh tinggi dari suatu negara di Asia Barat atau Afrika Utara, dilampirkan mulai halaman 71 dalam format FAQ. Sayangnya, profil penulis tidak disertakan dalam buku ini, biarpun sekilas. Saya juga tidak mendapatkan hal yang sama dalam beberapa buku tentang Islam yang pernah saya baca, seperti “Kajian Lengkap Sirah Nabawiyah”-nya Prof. Dr. Faruq Hamadah (diterbitkan oleh Gema Insani Press) dan “Roman Sejarah Muhammad Sang Pembebas”-nya Abdurrahman Asy-Syarkkowi—yang konon seorang sejarawan terkenal, entah dari mana (diterbitkan oleh Pustaka Pelajar). Sekiranya penting untuk mencantumkan profil penulis dalam buku-buku semacam ini. Dengan demikian kita bisa mendapatkan gambaran bahwa yang menulis memang ahli agama yang berkredibilitas dan apa yang ditulisnya otentik dan bisa dipercaya serta dijadikan acuan. Memangnya Islam tidak boleh ilmiah? Bukankah Islam dan ilmu pengetahuan saling terkait? Bagaimana kita bisa mempercayai perkataan seseorang yang identitasnya saja tidak jelas?

Mencantumkan catatan kaki, dan siapa perawi hadis—dalam konteks buku ini, juga penting sebagai bukti validitas informasi.

Buku ini bisa menjadi bahan yang baik untuk belajar EYD. Penggunaan tanda baca sampai struktur kalimat yang tidak tepat jumlahnya bisa menyamai ranjau yang ditanam di wilayah tentara Khmer. Tapi biarlah, toh saya pun bukan guru Bahasa Indonesia.


Beberapa persoalan yang menarik untuk disoroti dalam buku ini dan kaitannya dengan umat Islam kini

“Taruh saja, benar sebagaimana yang mereka ucapkan yaitu manusia itu memiliki kebebasan di dalam beribadah dan keyakinannya, serta tidak ada yang menentang pendapat tersebut, niscaya akan hilanglah segala perkara sebagaimana yang disebutkan di atas, yaitu tidak ada faedah dakwah kepada Allah Ta’ala, jihad di jalan Allah Ta’ala, bahkan tidak ada faedah diciptakannya Jannah (surga) dan neraka, kenapa orang-orang kafir akan dimasukkan ke dalam api neraka dengan kekal di dalamnya kalau pendapat tentang kebebasan beragama yang mereka yakini itu benar?” (hal. 10)

Memang dalam Q. S. Al-Baqarah: 256, yang telah dikutipkan sebelumnya, tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam. Lantas apakah pernyataan ini dapat dipakai untuk membenarkan kebebasan beragama dan berkeyakinan? Bacalah lanjutan ayat tersebut: “...telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” Apakah dapat dibenarkan semua agama dan keyakinan sementara yang sesat telah jelas? Jika semua benar, yang mana yang sesat? Perdebatan mengenai logika kalimat ini kiranya tak akan habis-habisnya namun saya kira tetap harus dapat diputuskan yang mana yang kebenaran sejati.

“Sehingga mesti harus terdapat beberapa perkara ini di dalam mengingkari thagut.
Perkara yang pertama: wajib bagi kalian untuk mengetahui pengertian thagut, karena kalau kalian tidak mengetahuinya, tidak mungkin kalian akan menjauhinya, bagaimana kalian akan menjauhi suatu perkara yang kalian tidak mengetahuinya.
Perkara yang kedua: ketika kalian mengetahuinya kalian akan mudah untuk menjauhinya.
Perkara yang ketiga: ketika kalian telah menjauhinya maka kalian harus memusuhinya, membenci para pengikutnya, dan memusuhinya karena Allah Ta’ala.”
(hal. 28)

Setelah membaca ini, saya bisa menduga-duga salah satu penyebab mengapa ada saja orang di belahan bumi barat sana yang meledakkan diri. Terima kasih untuk mereka, karena telah membuat kami yang di belahan bumi sini jadi ikut-ikutan dicap teroris.

Namun pernyataan-pernyataan ini rupanya dibuat berdasarkan Q. S. Al-Mumtahanah: 1 yang berbunyi, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia...” yang dalam buku ini hanya dikutip sampai ini, padahal kalimatnya belum sampai titik karena ada kelanjutannya,”...sehingga kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal mereka telah ingkar kepada kebenaran yang disampaikan kepadamu.” Kalimat ini sudah titik namun masih ada kalimat-kalimat lanjutannya yang dapat dibaca sendiri.

Saya bertanya-tanya, wujud permusuhan dan kebencian apa yang harus kita tunjukkan pada mereka yang bukan pengikut ajaran Rasulullah SAW? Bagaimana kita menerapkannya dalam konteks masyarakat majemuk seperti di Indonesia? Di mana banyak teman kita yang non muslim dan kalau kita tiba-tiba memusuhi dan membenci mereka, bisa-bisa kita dianggap mengancam stabilitas nasional.

Bukankah lebih baik menyikapi musuh dengan proaktif ketimbang reaktif? Masih ingatkah akan riwayat yang mengisahkan betapa Rasulullah SAW tetap mengasihi sesama meskipun orang tersebut adalah Yahudi?. Diriwayatkan (lupa perawinya), Rasulullah setiap hari memberi makan seorang nenek Yahudi renta yang buta. Rasulullah sampai mengunyahkan makanan dan menyuapi nenek itu, padahal apa yang dilakukan si nenek? Sambil disuapi ia mencerca merca Rasulullah. Ketika Rasulullah meninggal, Abu Bakar datang menggantikannya. Namun nenek itu malah menolak karena ia merasa orang yang menyuapinya adalah orang yang berbeda dan orang itu tidak lebih baik cara menyuapinya ketimbang orang yang dulu. Begitu tahu bahwa orang yang biasa menyuapinya telah tiada dan orang itu adalah Rasulullah SAW, nenek itu menangis menyesali perbuatannya selama ini dan kemudian menyatakan diri masuk Islam.

Jadi saya bertanya-tanya lagi, mungkinkah musuh yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah musuh berupa wujud manusia, melainkan berupa ideologi yang bertentangan dengan tauhid? Seorang kenalan pernah memberitahu saya bahwa “Allah” dalam Al-Quran pun tidak mesti dipahami sebagai Zat. Ia juga adalah ideologi (lupa nama surat dan ayat berapa, yang saya ingat redaksinya, “...dan berpeganglah kepada tali Allah...”, di mana di sini ‘tali’ diartikan sebagai ideologi—ideologi Allah. Jika Allah di sini dimaknai sebagai Zat, bagaimana mungkin kita dapat berpegang pada ‘tali’ dari Zat yang tak terjangkau indra?) dan Sunatullah (Q.S. Ar-Ra’d: 17, Ibrahim: 32, dan masih banyak lagi).

Lalu bagaimanakah baiknya wujud permusuhan dan kebencian itu sendiri jika kita memang diharuskan berbuat begitu? Jika umat Islam diajarkan untuk memusuhi dan membenci umat lainnya bukankah itu sama saja dengan melumuri diri dengan kaldu ayam lantas menarikan chicken dance di kandang macan (dan macannya sedang di tempat)?

“Selama seseorang mengatakan: bahwa hukum yang diturunkan oleh Allah Ta’ala tidak lagi selaras dengan zaman, bertentangan dengan perkara-perkara modern, bertolak belakang dengan politik kenegaraan, kita harus berjalan bersama mereka dalam perkara-perkara semacam ini, syariat itu hanyalah tepat dilakukan di dalam masjid-masjid, adapun hukum di antara sesama manusia dan hukum poltik kenegaraan maka harus sesuai dengan perkembangan negara, kita harus mengikuti negeri-negeri yang lain dan mengikuti perkembangan dunia, maka orang-orang yang mengatakan ucapan semacam ini walaupun dia shalat, puasa, dan haji dan mengucapkan: Laa ilaha illallah sebanyak nafas dia, dia tetap kufur, karena dia tidak kufur kepada thaghut. Dan Allah Ta’ala di dalam ayat-Nya tersebut mendahulukan kalimat kufur kepada thaghut daripada kalimat keimanan kepada Allah, karena keimanan kepada Allah itu tidaklah benar kecuali setelah kufur kepada thaghut.” (hal. 22 – 23)

Apakah mungkin bagi negara kita, dengan menilik permasalahan-permasalahan yang selalu merundungnya, untuk dapat 100% menerapkan syariat? Dan tidak mengikuti perkembangan dunia ?(??) Apakah sekiranya jika kita, sebagai rakyat negara ini, hendak mematuhi pernyataan di atas (kalimat yang awal, karena dengan kalimat yang terakhir saya sepakat), dapat begitu saja berlepas diri dari negara?

Bukannya tak mungkin sama sekali, saya kira. Namun melihat kondisi masyarakat kita sekarang, ini jelas akan membutuhkan waktu yang amat sangat lama sekali. Dan tentu saja akan lahir bermacam pergolakan, pertentangan, pengorbanan—whatever you name it—dari kaum yang kontra. Tidak heran, demi cita-cita membentuk sebuah negara syariah ini beberapa organisasi Islam di negara kita amat bersemangat dan masif dalam pergerakan mereka. Tapi syariah yang mana dulu? Syariah yang seperti apa? Karena rupanya kepentingan yang diusung pergerakan-pergerakan ini berbeda-beda hingga mereka tak bisa jadi satu. Padahal cita-citanya sama (!?).

...jika seorang muslim memiliki sifat sangat memperhatikan dan menjaga rukun-rukun, dzikir-dzikir, senantiasa menjauhkan dari perbuatan fakhisah (kejelekan) dan perkara-perkara yang dapat mengantarkan kepada kesyirikan, akan tetapi dia tertimpa sikap menganggap remeh perkara yang diharamkan serta mendengarkan musik dan nyanyian, maka bagaimana ya Syaikh?
Perkara-perkara tersebut termasuk dosa besar, yaitu melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah Ta’ala dan mendengarkan sesuatu yang diharamkan oleh-Nya. Keduanya termasuk dosa besar dan wajib baginya untuk taubat kepada Allah dalam perkara tersebut, akan tetapi perbuatan mereka tidaklah mengeluarkannya dari agama ini, dan dia digolongkan sebagai pelaku maksiat dan pelaku dosa besar. Jika ia bertaubat kepada Allah Ta’ala maka Allah akan mengampuninya.”
(hal. 79)

Saya kira, jika kelak musik diharamkan, maka buku semestinya diharamkan pula. Setiap media memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Apakah lebih banyak manfaat atau mudharat-nya, itu tergantung kepada manusia yang menggunakannya. Bukankah banyak juga buku yang isinya sampah mau pun bisa membelokkan haluan ideologi seseorang, dari kanan jadi kiri, misalnya, lalu mengapa buku tidak ikut saja diharamkan? Efek dari membaca buku ‘gawat’ terbukti bisa jauh lebih ‘dahsyat’ ketimbang musik yang ‘sekedar’ melenakan. Kiranya belum ada musik yang memiliki efek sehebat buku “Das Kapital” dalam menuai revolusi dan mengubah ideologi separuh belahan bumi. Bukankah ilmuwan muslim jua yang menemukan terapi musik? Sebut saja Abu Yusuf Yaqub ibnu Ishaq al-Kindi (801-873 M) dan al-Farabi (872-950 M).*

Sebagai tambahan informasi, buku ini dikeluarkan oleh manhaj Salaf, golongan orang-orang terdahulu, yang dikenal begitu konservatif dalam mengamalkan ajaran Rasulullah SAW.


Ilmu dan iman sebagai pemecahan masalah

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yang berhak ber-ijitihad hanyalah yang ahli. Dengan demikian, ilmu pengetahuan amat penting peranannya bagi seorang muslim. Dengan menguasai ilmu pengetahuan, paham metodenya, dan berkapabilitas, maka ia mempunyai hak untuk ber-ijitihad dan mencari jalan keluar dari permasalahan-permasalahan yang menimpa kaum muslimin.

Ijtihad
menjadi penting karena tidak semua permasalahan dapat langsung dibeberkan solusinya dalam Al-Quran dan Hadis—pedoman wajib umat Islam. Al-Quran kaya akan metafora dan tidak semua ayat-Nya dapat termuat di sana. Sebagaimana Allah SWT. berfirman dalam Q. S. Al-Kahfi: 109, “Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)” (dan tidak akan cukup pula pohon di bumi dijadikan kertas untuk ditorehkan ayat-ayat-Nya!), juga dalam Q. S. Ali ‘Imran: 3, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal” (baca juga Q.S. Al-Baqarah: 164 dan Ar-Rad: 3). Dengan demikian, keduanya membutuhkan penafsiran dan pemahaman yang objektif dan ilmiah serta berlandaskan tauhid. Dengan metode tersebut, siapa pun yang mengkaji (yang berkapabilitas tentu) akan dapat menemukan hikmah yang bisa menjadi pemecahan masalah tanpa harus membuat umat terpecah-belah.

Islam dan ilmu pengetahuan saling melengkapi dan keduanya bersifat universal. Siapa pun berhak mengaksesnya, termasuk kita.

Mengaku muslim sejati tidak afdol kiranya kalau tidak mempelajari sendiri apa itu Islam. Tidak hanya mengandalkan ingatan akan materi Pendidikan Agama Islam yang telah diberikan di bangku sekolahan maupun perkuliahan saja tentunya. Banyak buku tentang Islam yang telah diterbitkan bisa dibaca, meskipun banyak pula di antaranya yang bertentangan. Memang, banyak penafsiran terhadap Al-Quran dan Hadis yang kerap membuat kita ragu penafsiran manakah yang seharusnya diikuti. Namun janganlah itu menjadikan kita lantas antipati dan tidak mencari bagaimana Islam sesungguhnya, agar kita bisa menjadi muslim seutuhnya. Tanpa mencari, kita tidak akan pernah menjadi. Ilmu dan iman yang saling melengkapi dapat menjadi bekal dalam mencari.


*

sumber gambar

Rabu, 20 Januari 2010

Mari Ciptakan Dunia yang Aman dan Nyaman bagi Mereka yang Punya Bokong Besar!*

Judul : Does My Bum Look Big In This? – Besar Itu Indah
Pengarang : Arabella Weir (alih bahasa oleh Monika Endita Indriani)
Penerbit : Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004
Tebal dan panjang halaman : 272 hlm; 18 cm

Menjadi ramping? Siapa wanita yang tidak ingin? Begitu pun Jacqualine M. Pane alias Jackie. Menjadi ramping adalah obsesinya. Berbagai macam usaha sudah ia lakukan agar dapat mengurangi berat badannya; kelas senam, diet ketat, terapi, hingga mendatangi dokter bedah untuk melakukan sedot lemak!--meski akhirnya tidak jadi. Pikiran mengenai kekurangan-kekurangan tubuhnya membuatnya menjadi tidak percaya diri dan selalu berpikiran negatif.

“Aku ingat sewaktu masih sekolah pernah mengunjungi galeri seni dan melihat lukisan aneh memperlihatkan kotak kardus yang menuruni tangga dan bagian-bagian sepeda yang melayang di udara. Guru kesenian memberitahu lukisan-lukisan itu dibuat saat si seniman, yang tak mampu membeli makanan saking miskinnya, mulai berhalusinasi gara-gara kelaparan. Semoga aku tak membuat lukisan-lukisan semacam itu di kantor. Kurasa Bossy Bowyer takkan menolerir jika aku tahu-tahu melukis jeruji sepeda di tengah presentasi grafik penjualan." (hal. 47)

Ia bahkan tidak mengacuhkan 'sinyal-sinyal' yang diberikan Andy, bawahannya di The Pellet Corporation—tempatnya bekerja sebagai Koordinator Senior Bagian Konferensi, juga Carlo Pozzi, klien Italianya. Setiap lelaki yang mendekatinya selalu dicurigainya sebagai homo.

"Menurut Sally, Andy pasti cowok baik-baik karena ia mau mengurusku dan tak berusaha mengambil keuntungan di saat aku tak sadarkan diri. Tapi katanya kita juga harus melihat dari kacamata laki-laki, seperti yang disimpulkan Dan, bahwa Andy pasti homo. Yah, jika benar, sejujurnya itu amat melegakan, tapi kelihatannya mustahil—kecuali gara-gara melihat tubuhku malam itu, ia jadi tak berselera lagi terhadap wanita." (hal. 61)

Saat berada dalam suatu kesempatan bersama mereka, ia malah menyangka keduanya adalah homo yang saling tertarik, apalagi karena Andy jadi bersikap sensitif padanya karena kedekatannya dengan Carlo Pozzi.

"Baik Andy maupun Carlo tidak saling bicara selama makan malam; mereka pasti saling menyukai. Aku jadi gugup, merasa seperti "si pengganggu" di antara dua orang yang sedang kasmaran..." (hal. 114)

Kenyataan bahwa ia masih lajang di usia pertengahan 30 turut menganggunya. Ia kerap mendasarkan keputusannya pada buku-buku panduan seperti 34 Steps to Make That Man Marry You—34 Langkah untuk Membuat Pria Itu Menikahi Anda. Ia bahkan telah merancang buku panduannya sendiri namun tidak selesai.

Chicklit ini berformat buku harian, jadi siap-siap saja menyelami kehidupan sehari-hari Jackie yang, dengan gaya penulisannya yang kocak dan konyol, bakal memancing senyum bahkan tawa. Dimulai pada tanggal 3 Januari (pas sekali dengan tanggal pertama saya membacanya!) dan diakhiri 31 Desember, kita dapat memantau proses yang dialami Jackie selama setahun hingga ia dapat menerima keadaannya. Tubuh besar bukanlah malapetaka selama masih ada lelaki yang mau mengajakmu bercinta. Eh, bukan. Besar itu indah. Tidak peduli bagaimana bentuk tubuhmu, yang penting sehat dan janganlah itu menjadi penghalangmu dalam memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.

Sungguh inspiratif bagi seorang manusia yang tidak menghasilkan perubahan apapun selama satu tahun kehidupan yang telah dijalaninya. Dan itu berlangsung dari tahun ke tahun...("''-_-)

Maaf, nyolong curhat.

Berlatar di London menjelang abad 21 (menilik dari Katalog Dalam Terbitan-nya), chicklit ini mengingatkan saya pada “Bridget Jones’s Diary”-nya Helen Fielding. Sayang saya belum baca. Semoga di dunia nyata memang ada lelaki-lelaki yang menilai perempuan tidak hanya dari bentuk tubuhnya. Tapi si Jackie itu memang apa menariknya sih? Tidak dijelaskan alasan di balik ketertarikan Andy dan Carlo padanya. Apakah hanya karena selera? Selera terhadap apanya?

Di satu sisi chicklit ini amat menggelikan, menyegarkan, dan memperkaya wawasan akan kebudayaan Barat, namun selalulah sedia filter sebelum keblablasan dan mencoreng moral.


* = dikutip dari halaman 271 dengan sedikit sekali perubahan

sumber gambar

Jumat, 15 Januari 2010

Kumpul-kumpul Para Pengamat Burung Jogja di Jogja Bird Walk Tahun Baru 2010 (Bagian 2 dari 2—Tamat)

(Di) Jogja (nyari) Bird (sambil) Walk (pada) Tahun Baru 2010 yang sesungguhnya 

Sarapan yang disediakan pagi itu adalah senampan besar (apa sih itu namanya wadah bulat besar yang terbuat dari anyaman bambu?) getuk singkong untuk semua orang. Masih saya lihat ada sisa setengah di nampan. Saya belum sempat mencicipinya karena semuanya, peserta dan panitia, sudah bercampur di halaman rumah Mbah Udi. Memang saya yang bangun paling siang pagi itu. Sehabis solat Subuh yang ‘dingin’, saya lebih memilih untuk tidur lagi ketimbang sarapan.

Acara pagi ini adalah pengamatan burung. Konsep acara ini hanya jalan-jalan biasa sambil mencari burung dan mengamatinya. Jam 11 kami diharapkan sudah berada di basecamp  lagi. Lagipula hari itu hari Jumat.

Peserta dan panitia dicampur satu dan dibagi menjadi 3 kelompok. Panitia memberitahu saya bahwa saya masuk kelompok 2. Nama anggota masing-masing kelompok dibacakan, lengkap dengan pemandunya. Termasuk saya dan pemandu yaitu Mas Imam, di kelompok 2 ada 9 orang. 4 di antaranya adalah anggota KP3 Burung. 2 di antaranya plus saya adalah perempuan. Sisanya adalah anggota Bionic.

Menjelang jam 7, ketiga kelompok berangkat meninggalkan basecamp alias rumah Mbah Udi sambil jalan beriringan. Setiap kelompok berbekal lebih dari satu binokuler dan kitab Mac Kinnon—dua alat yang wajib dibawa dalam pengamatan burung.

Cerahnya hari itu mengusik kesejukan pagi. Bulir-bulir keringat terasa bergulir. Tirai yang menyelubungi Merapi tersibak. Dengan gagah Merapi memamerkan setiap teksturnya. Gumpalan hijau menyemut dari bawah tapi tidak sampai naik ke atas. Yang terlihat di sana kiranya hanya pasir, kapur(?), dan bebatuan. Semuanya jelas terlihat dari bawah sini.

Sementara kelompok lain terus menanjak, kelompok saya mandeg di sebuah gerbang berhiaskan rangkaian huruf Jawa yang artinya “Regol Merapi”. Rupanya ada suara cicit burung yang ramai sekali. Terlihat pula sosoknya berseliweran.

“Kuning... Kuning...” Seseorang memberi isyarat.

Terlihat titik hitam di sebuah menara listrik. Ketika dilihat di binokuler, tampaklah titik itu menyerupai siluet hitam seekor burung. Ketika burung itu berbalik, terlihat ada warna merah cerah di sepanjang dadanya. Merah di atas kuning, lebih tepatnya.

“7.07 WIB. Cabe gunung.” Dayu mengisi beberapa kolom pada form pengamatan burung yang menjadi bagian bawaannya. Selain waktu dan nama lokal, judul masing-masing kolom pada tabel dalam form tersebut adalah nomor, nama ilmiah, lokasi, keterangan, dan jumlah. Sementara itu di luar tabel terdapat lokasi, tim, tanggal, dan cuaca. Dayu menambahkan lagi dalam catatannya, “Dicaeum sanguindentum. Regol Merapi. Bertengger.”

 “Ini burung pertama di tahun 2010,” tandas Mas Imam.

Kami memasuki jalan setapak di samping sebuah bangunan bercat putih—jalan yang sama dengan jalan yang dilalui saat pengamatan sebelumnya.

Sambil menuruni jalan, terdengar “tet tet tet” suara burung betet. Sebagian dari kami sudah berada di bawah sementara sebagian lagi masih di tengah-tengah, diam mengamati. Suasana yang sama dengan pengamatan sebelumnya. Seorang mas-mas bukannya mencari burung, malah mengamati bebungaan putih di pucuk tajuk sebuah pohon jauh di seberang. Katanya bunganya bagus tapi dia tidak tahu jenisnya.

Kami melanjutkan berjalan sebentar lalu berhenti lagi di dekat pohon yang ditandai dengan huruf A oleh penyelenggara Pelatihan Mountain and Jungle Course (MJC). Sebenarnya tanda ini sudah saya dan teman-teman temukan sejak pengamatan sebelumnya. Menurut keterangan yang tertera, tanda tersebut dimohon agar tidak diganggu atau dipindahkan hingga pelatihan yang dilaksanakan sampai tanggal 24 Desember itu berakhir. Tanggal yang sama dengan tanggal pengamatan sebelumnya! Sayang, waktu itu kami tidak bertemu dengan para partisipannya. Nah, sekarang sudah tanggal 1 Januari 2010. Kalau yang dimaksud adalah tanggal 24 Desember 2009, seharusnya saya bisa membawa tanda tersebut pulang untuk oleh-oleh ^^

Masih terdengar denging yang sama yang saya dengar semenjak saya masih di gerbang Regol Merapi. Ada lebah mengitari saya terus menerus hingga membuat saya bertanya-tanya, apakah tubuh saya menguarkan harum madu? Asam ketek sih iya.

Seorang mas-mas bersiul memanggil burung. Terdengar balasan kicauan yang indah. Namun kelompok saya malah melanjutkan perjalanan. Begitu pun saat kami berhenti di pinggir jurang. Sepertinya mereka melihat sesuatu. Terdengar “ciap ciap” dari atas.

Perdu lebat di sisi kanan kiri jalan tidak menghambat langkah kami. Begitu pun sebatang pohon tumbang yang melintang miring. Terlihat sosok seekor burung meloncat-loncat lalu terbang, seakan menggoda kami untuk dapat menemukannya. Ia meloncat-loncat di celah-celah tajuk yang cukup lebat namun masih membiarkan langit biru muda cerah menampakkan dirinya. Baru berjalan beberapa langkah, terdengar lagi suara burung yang berbeda. Lalu hilang ditimpali suara burung lain yang lebih nyaring dengan latar desisan para serangga hutan. Kami jalan lagi sebentar lantas berhenti, balik serong kiri, dan kompak mendongak, mengikuti arah gerak seekor burung yang lenyap lantas ditelan tajuk. Kami jalan lagi, berhenti. Telunjuk-telunjuk naik. Sepertinya telah ditemukan lagi burung di atas sana. Benar saja. Terlihat beberapa ekor burung meloncat-loncat di ujung tajuk tapi segera menghilang. Terdengar sekali-sekali suara burung yang berbeda. “Ngik ngok ngik ngok.” Seperti suara gesekan biola rusak yang kocak. Terasa kegerahan mengalahkan kesejukan.

“Itu burung apa, Mas?” tanya saya pada Yunan, anggota KP3 Burung angkatan 2006 yang juga panitia acara. Sedari tadi ia berjalan di depan saya sambil memotret-motret.

“Jangan mengartikan burung dari suaranya. Suara bisa menipu,” cetusnya.

Suara memang bisa menyatakan kehadiran burung. Namun tahap awal dalam mengidentifikasi burung adalah harus dicari dulu burungnya dengan mata, baru mengamatinya dengan binokuler untuk mendapatkan ciri-ciri yang lebih jelas. Setelah itu, lakukan pengecekan dengan Mac Kinnon untuk menentukan jenisnya. “Kecuali untuk burung-burung yang suaranya udah jelas,” Yunan menambahkan.

Angin sejuk lembut membelai, mengusir gerah. Para pengamat kebanyakan diam atau berbicara pelan hanya kalau diperlukan.

Di suatu titik, masih di pinggir jurang, di tengah sisi bukit, kami melihat lagi di kejauhan sepasang burung berkejaran di sela-sela tegakan. Sepertinya ada beberapa ekor burung lain selain sejoli itu. Kami berhenti. Mencoba menangkap bayang mereka dengan binokuler. “Ada yang mau lihat?” Seseorang menawarkan binokulernya.

Di form pengamatan kini, dalam selang waktu 23 menit sejak penemuan burung pertama, sudah tertera 4 jenis lainnya.

Mata para pengamat burung amatlah jeli. Mereka mampu melihat burung yang mungkin seorang awam tidak akan mampu melihatnya. Mereka terlihat antusias mana kala melihat seekor burung berwarna oranye mengepakkan sayapnya, maupun sekelebat bayang seekor burung bersayap hijau di kejauhan.

“Eh, ada tupai,” celetuk seseorang disusul desah kecewa yang serempak. Bukan karena tupai itu, melainkan karena burung yang hendak dipantau terbang menjauh lalu hilang.

Lama kami tidak beranjak dari situ. Tidak ada habis-habisnya burung-burung dengan beragam jenis dan warna itu berkeliaran, mengundang intaian sekian pasang mata, menahan kami untuk tidak segera pergi. Dengan kicauan khas masing-masing, mereka beterbangan, meloncat atau merayap dari satu tajuk ke tajuk lain.

“Obral murah,” kata Mas Imam sambil tertawa kecil.

Para pengamat burung itu berkerumun agak rapat. Ada yang menunjuk-nunjuk, memegang binokuler, maupun mengamati dengan mata bugil. Tidak kunjung puas mereka mengidentifikasi setiap burung yang tak pernah menclok lama-lama di suatu tempat. Sesekali ada anggota baru KP3 Burung yang bertanya pada Mas Imam apa nama burung yang baru mereka lihat itu. Sebagian yang lain duduk mengerumuni Mac Kinnon untuk menentukan jenis dari burung-burung yang terlihat tadi.

“Pusing lihatnya, burungnya pindah-pindah terus,” keluh Dayu.

Sementara para pengamat burung khusyuk dalam ketertarikan mereka, saya memerhatikan bunga-bunga putih yang tersebar di antara rerumputan. Kiranya ini bunga yang sama dengan bunga yang diamati mas-masnya tadi. Menurut Yunan, yang juga co ass praktikum Dendrologi, bunga ini adalah bunga puspa (Schima walichii). Kelopaknya berwarna putih dengan sekumpulan benang sari coklat muda di bagian tengah. Baunya mengingatkan saya pada acara mantenan, juga pemakaman.

Lama-lama saya tertarik juga untuk ikut merasakan apa yang dialami para pengamat burung itu. Saya mencoba ikut mengamati dengan lebih jelas burung yang terlihat menggunakan binokuler.

“Megangnya pakai dua tangan,” tegur Mas Imam saat melihat saya menempelkan binokuler ke mata hanya dengan sebelah tangan. Saya lupa tangan sebelahnya lagi saya gunakan untuk apa. Saya menurut. Ternyata, tidak mudah juga ya mengamati burung. Kita bisa saja melihat seekor burung bertengger di pohon dengan mata bugil. Namun saat lensa binokuler sudah menempel di mata, ternyata tidak ada yang kita temukan. Entah burungnya yang sudah terbang ke mana atau kita yang salah mengarahkan binokuler. Objek yang terlihat melalui lensa binokuler jadi berlipat-lipat jauh lebih besar dari aslinya dan itu malah kerap membingungkan kita. Benarkah ini tadi cabang yang saya lihat ada burung bertengger di atasnya? Kok bentuknya jadi beda ya? Begitu saya bertanya-tanya dalam hati.

Selain binokuler, rupanya ada juga yang membawa monokuler. Dari namanya saja sudah jelas, binokuler memiliki dua lensa sedangkan monokuler hanya satu. Binokuler kita pegang dengan dua tangan pada corong lensanya. Sementara itu, monokuler biasanya ditempatkan pada tripod. Kaki tripod menjejak tanah, tungkainya kita pegang dengan satu tangan, sementara tangan yang satu mengarahkan corong monokuler ke arah yang dikehendaki. Menurut Yunan, keunggulan monokuler adalah jangkauannya yang lebih jauh.

Adakah tripokuler? Mungkin hanya Dewa Er Lang dalam Legenda Kera Sakti yang membutuhkan.

Tiba-tiba Wahib, anggota KP3 Burung angkatan 2008, berlari ke belakang. Ia menunjuk langit terbuka. Seorang mas-mas bertopi, yang menyaksikan hal yang sama, menyebutkan ciri-ciri apa yang barusan terlihat. Di antaranya adalah suara lengkingan yang khas. Mas Imam, Mac Kinnon berjalan itu, bergumam, “elang ular bido.”

“Elang hitam dan elang jawa juga pernah terlihat di kawasan ini,” tambah Wahib kemudian.

Dengan demikian, sampai 8.20 WIB, sudah 10 jenis yang kami temukan, baik dalam keadaan bertengger maupun terbang. Masing-masing jenis jumlahnya berkisar antara 1–4 ekor, yaitu (sesuai urutan kemunculannya), cabe gunung, cekakak jawa (Halcyon cyanoventris), ciung batu kecil (Myiophoneus glaucinus), madu gunung, gelatik batu, sepah gunung (Pericrocotus miniatus), cicah daun sayap biru (Chloropsis cochinchinensis), srigunting keladi (Dicrurus aeneus), kepudang sungu gunung (Coracina larvata), dan elang ular bido (Spilornis cheela)

Jam-jam seperti ini, apalagi didukung oleh cuaca cerah, memang waktu yang paling baik untuk mengamati burung.

“Maksimal ampe jam 11,” bisik Yunan sambil memberi isyarat tangan.

Kami bertahan di titik yang sudah bagai surga burung itu sampai tidak terlihat begitu banyak burung lagi yang berseliweran. Sudah waktunya untuk mengeksplorasi tempat lainnya.

Sambil jalan, dua orang menyadari bahwa diri mereka telah menjadi korban gigitan pacet. Tiba-tiba ke luar darah dari salah satu titik di kaki mereka. Yang lain segera meneliti kaki mereka sendiri, kalau-kalau mereka pun menjadi korban. Ya, korban-korban lain pun bertumbangan, pacetnya.

Sesekali kami bertemu warga yang memanggul setumpuk besar rumput kolonjono di bahunya.

Di suatu tempat yang agak datar kami berhenti sebentar. Wahib berjalan ke tepi jurang, duduk dan berdiri di atas akar besar yang terbalik. Permukaan tanah menghitam yang mestinya merupakan bekas api unggun ditemukan. Perjalanan kami lanjutkan. Di tepi bekas aliran lava kami berhenti sebentar. Istirahat, bergaya, sambil icip-icip getuk.

Cukup jauh setelah itu kami berjalan. Tidak berhenti-berhenti karena memang tidak ada burung yang kami temukan. Berbagai medan kami arungi. Dari permukaan yang datar dengan rumput-rumput pendek hingga jalan setapak menanjak nan berbatu-batu dengan rumput-rumput tinggi yang rimbun. Sampailah kami di suatu bukit. Di atas sini kami dapat melihat hamparan hutan serta perbukitan yang lebih tinggi di sebelah kanan membentang. Sebagian pandangan kami ke depan terhalang oleh rerumpunan lebat rotan dan tetumbuhan lainnya. Beberapa orang tetap berdiri sementara yang lainnya duduk beristirahat setelah melalui perjalanan yang cukup melelahkan. Salah seorang mencari-cari dengan binokuler kalau-kalau ada burung yang melintas. Mas Imam bilang, elang jawa pernah terlihat dari sini.

Alih-alih elang jawa, yang terdengar malah pekikan elang ular bido. Kepala kami berputar-putar mencari. Dari bawah terbanglah seekor elang terbang meninggi dengan sayap coklat membentang yang menimbulkan ucap-ucap kekaguman. Ia menukik hilang.

Benar saja. Setelah lama berdiam diri, datanglah yang dinanti-nanti. Seekor elang jawa (Spizaetus bartelsi) dengan bentangan sayap yang lebih lebar dari saudaranya, elang ular bido, muncul.

 “Bedanya dengan elang ular bido, kalau elang jawa itu sayapnya coklat polos. Kalau elang ular bido ada putih-putihnya.” Seseorang memberikan keterangan. Hewan ini juga dikenal dengan sebutan “elang bertanduk” di kalangan anak-anak KSDH UGM angkatan 2007 dan angkatan 2006 sejak makrab KSDH 2007. Memang ciri khas hewan langka ini yaitu dua jambul yang menyerupai tanduk di atas kepalanya.

Dengan latar hijau pepohonan yang menancap di perbukitan, ia terbang naik berputar hingga sejajar dengan awan kelabu yang mendekat. Seekor elang alap cina, sempat ada yang mengira itu kekep atau srigunting, menyambutnya. Ujung sayapnya hitam, dadanya putih, dan ukuran tubuhnya lebih kecil dari elang jawa. Mereka saling berputar berhadap-hadapan. Kami mengawasi keduanya dengan antusias. Apakah mereka akan bertarung di angkasa sana demi memperebutkan wilayah teritorial?

Tak lama elang jawa turun ke bawah, seakan berucap, “monggo...” pada si migran elang alap cina.

Yah, namanya juga dari Jawa....

Pentas kedua jenis elang itu kembali digantikan oleh pekik ramai segerombolan elang ular bido. Dibandingkan kedua saudaranya, elang jenis yang ini memang lebih comel.

Setelah the eagle brothers  hilang dari pandangan, kami memutuskan untuk pulang. Jalan yang kami telusuri sama dengan jalan yang sebelumnya. Sepanjang jalan Dayu mendongengi saya epos Mahabharata ditimpali Yunan sekali-sekali. Kiranya bukan orang Bali sejati kalau belum hapal kisah-kisah dalam karya sastra termahsyur di dunia ini. Ulat dan ular telah kami temui, sekitar jam 11-an akhirnya kami sampai juga di rumah Mbah Udi. Capek sekali...



Ternyata, mengamati burung itu begini rasanya...

Yang laki-laki bersiap-siap Jumatan sementara yang perempuan melepas lelah dengan tidur-tiduran di dipan atau makan. Pilihan saya jatuh pada yang pertama. Ketika saya bangun, waktu Jumatan telah usai dan di ruangan sebelah acara diskusi sudah dimulai. Sudah kadung tidak ikutan, maka saya memilih untuk menguping saja sambil enak tidur-tiduran. Kadang-kadang ikut tersenyum sambil terkantuk-kantuk jika ada yang lucu. Udara dingin + cuaca mendung = ya enakan tidurlah....

Diskusi kali ini adalah sharing  pengalaman selama pengamatan burung tadi sekaligus laporan burung apa saja yang ditemui. Setiap kelompok mendapatkan giliran masing-masing.

Ada yang cerita, saat sedang melakukan pengamatan tiba-tiba ada yang teriak-teriak. Saya kira mereka bertemu dengan semacam orang gila atau makhluk yang teridentifikasi. Ternyata yang teriak-teriak dan mengganggu pengamatan tersebut adalah salah satu dari peserta—orang yang sama dengan orang yang meminjam sarung lapangan saya untuk Jumatan sehingga saya tidur siang kedinginan.

Banyak pula ternyata yang baru pertama kali ini melakukan pengamatan burung. Mereka mengeluhkan soal susahnya menemukan burung terutama justru saat mata sudah menempel di binokuler. Bukan saya saja yang mengalami rupanya. Ada juga yang bertanya, apakah sebaiknya binokuler yang digunakan dalam pengamatan harus selalu sama? Bisa jadi setiap binokuler memiliki resolusi yang berbeda-beda. Kadang kita sudah merasa cocok dengan binokuler yang satu, tapi kita harus membaginya dengan orang lain saat mereka juga ingin melihatnya. Ketika kita ingin mengamati lagi, dikasihnya malah binokuler yang lain. Yah, namanya juga binokuler pinjaman...

Diskusi diakhiri sekitar jam 2 siang. Kami semua bergotong royong membereskan ruangan yang telah kami pakai. Ada yang menyapu, ada yang melipat tikar, ada yang membereskan gelas-gelas, ada juga yang malah bermain-main. Entah apakah kebersamaan ini akan kita rasakan lagi... Saya menyadari bahwa jumlah peserta jadi jauh lebih banyak dari kemarin malam. Rupanya tadi pagi banyak berdatangan peserta baru yang tidak ikut menginap.

Beres-beres pun selesai. Waktunya pamit pada pemilik rumah. Kami menyalami Mbah Udi sekeluarga. Tak lupa kami mengabadikan momen ini dengan berfoto di depan rumah. Jepret jepret jepret. Satu per satu kami, dengan motor masing-masing, lalu meninggalkan tempat tersebut. Turun ke bawah. Menembus kemacetan di Jalan Kaliurang, menyaksikan sisa kecelakan, kembali direnggut panas... Oh, inilah Jogja, salah satu tujuan liburan tahun baru.
 
Dan pada tahun yang baru ini pun, kami mendapatkan teman-teman baru. Mereka adalah para pengamat burung. Dan mengamati burung bersama telah mendekatkan hati kami semua!

 
Bagian 1

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain