Langit malam seharusnya menjadi
sesuatu yang indah dan romantis. Dongakkanlah kepala dan temukan berbagai macam
rasi bintang: Orion, Cassiopea, Auriga... Kalau beruntung, kita akan dapat
menemukan Andromeda, galaksi terjauh yang dapat dilihat dari bumi tanpa bantuan
teleskop/teropong. Tapi bagi seseorang, taburan glitter di angkasa itu tak lebih dari seonggok ketombe di rambut
siapa pun. Bukan lagi sekedar menjijikkan, tapi juga merusak hubungan di antara
ia dan Sagan. Atau mungkin ialah yang telah menjadi pihak ketiga di antara
mereka—Sagan dan onggokan ketombe berkelap-kelip itu? Betapa ia membenci langit
malam yang sedang cerah-cerahnya.
“Ceres, menurutmu, apakah alam
semesta akan terus mengembang?” akhirnya mata Sagan lepas juga dari teleskop.
Seharusnya aku yang bertanya padamu, kalau setiap berduaan
malam-malam kamu selalu lebih mempedulikan benda-benda langit nggak jelas itu
daripada aku, bagaimana cinta kita dapat mengembang? batinnya. Ketika sepasang matamu bukannya menatap mesra padaku, melainkan menempel
di teleskop. Ketika sepasang tanganmu bukannya merangkul lembut pundakku,
melainkan terus-terusan mengatur arah gagang teleskop dan posisi tripod...
Sepertinya tidak ada orang yang
lebih freak pada astronomi daripada
Sagan. Namanya saja diambil dari nama seorang ahli astronomi, Carl Sagan—selain
karena ayahnya adalah seorang ahli astronomi yang bekerja di lembaga penelitian
milik negara. Dan Sagan bersikeras memanggilnya Ceres, mentang-mentang Ceres
adalah nama sebuah asteroid—satu-satunya asteroid yang terlihat berbentuk
bulat! Padahal nama itu terdengar seperti sebuah merk meses, meskipun itu
bagian dari nama lengkapnya, Sistania Ceres. Itu panggilan kesayanganku untukmu, karena kamu berbeda di antara yang
lainnya, bujuk Sagan yang membuat hatinya seketika meleleh, kala itu.
Padahal ia lebih suka dipanggil Sista.
Betul kata orang bilang, pria
yang mencintai langit malam adalah pria romantis. Sebagaimana hakikatnya langit
malam, Sagan sebetulnya memang romantis. Itulah jurus yang ia gunakan untuk
mendapatkan hati Sista. Langsung kena telak, ampuh! Sista masih ingat salah
satu kalimat yang pernah Sagan bubuhkan dalam usaha untuk menggaet hatinya: ada milyaran bintang selain matahari, tapi
kamulah bintang yang terindah.
Romantisme Sagan telah menggiring
Sista ke masa yang begitu membahagiakan dalam hidupnya. Perasaannya
dilambungkan tinggi hingga mencapai objek terjauh di angkasa yang hanya dapat
dilihat teleskop terkuat. Untaian kata-kata indah yang berkaitan dengan
nama-nama benda di angkasa menjadi penghias harinya. Guyuran perhatian Sagan,
sebagaimana guyuran hujan pada musim di kala cowok itu menembaknya, membuktikan
betapa cowok itu memang mencintainya.
Musim berganti.
Awalnya Sista senang Sagan jadi
lebih sering mengunjunginya karena hujan lebat tidak lagi keukeuh menghalang. Beberapa malam dalam seminggu—kalau langit
sedang cerah-cerahnya dan tugas-tugas sekolah sedang tidak menumpuk—Sagan akan
berada di depan pintu rumahnya. Sista bisa melihatnya dari beranda: rapi,
wangi, sudah mandi, dan senyum memikat dengan tabung teleskop tersampir di
bahu.
Bagi Sista, jika saat seperti itu
tiba, artinya itu adalah waktunya pacaran. Bagi Sagan, saat seperti itu
bukanlah sekedar waktunya pacaran, melainkan pacaran sambil mengamati bintang.
Sagan biasa mengajaknya mencari tempat yang paling mendukung untuk pengamatan
bintang. Tempat itu bisa beranda rumahnya atau sebuah bukit di pinggiran kota.
Mengamati bintang bersama-sama
memang membuat momen pacaran menjadi lebih romantis, Sista akui itu. Sista
ingat pertama kalinya Sagan mengajarinya menangkap bintang dengan mata
telanjang.
“Mana, nggak keliatan?” rajuk
Sista manja.
“Adaptasi gelap dulu, Ceresku.
Biarkan matamu menyesuaikan diri di kegelapan. Sebagai instrumen astronomi,
mata kita memang punya kekurangan. Bukaan pada pupil sangat kecil, jadinya itu
mempengaruhi kemampuan mengumpulkan cahaya dan kemampuan memisahkan
bintang-bintang yang berdekatan.”
Benar saja. Lama-lama mata Sista
dapat juga menangkap kemilau-kemilau itu. Sagan memperkenalkan mereka satu per
satu, “Itu Vega. Yang itu Altair. Itu...” Sementara telunjuk Sagan
menuding-nuding angkasa, Sista memandangi cowoknya itu tanpa berkedip. Ceresku... katanya, aduh, aduh...
Suatu ketika kemilau Alpha
Centauri tertangkap teleskop Sagan. Sista kira mereka akan berebut teleskop
untuk dapat melihatnya. Ternyata Sagan menyerahkan teleskopnya begitu saja pada
Sista, seakan-akan bintang paling cemerlang yang terdekat jaraknya dari bumi
itu bukanlah suatu hal yang menarik. “Binar mata kamu lebih cemerlang dari
Alpha Centauri, Ceres...” kata Sagan waktu itu, yang membuat Sista makin sayang
padanya.
Atau sewaktu Sagan menunjukkan
planisfer padanya. Benda itu adalah oleh-oleh dari ayah Sagan yang baru pulang
Amerika Serikat. Sebuah pertemuan ahli astronomi dunia baru saja dihelat di
sana. Planisfer adalah semacam peta bintang—alat yang digunakan untuk menemukan
rasi bintang. Sagan mendemonstrasikan cara menggunakan alat itu sambil dengan
lembut berucap, “Belum ada planisfer yang dibuat untuk menemukan kamu, Ceres,
makanya aku beruntung banget.” Sista tidak pernah terlalu cair untuk meleleh
meskipun mungkin sudah puluhan kalimat seperti itu Sagan ucapkan untuknya.
Namun sebagaimana Malthus
berteori laju pertumbuhan penduduk lebih cepat daripada laju produksi pangan,
obsesi Sagan terhadap perbintangan melaju lebih pesat daripada intensitas
perhatiannya kepada Sista. Lama kelamaan, kedatangan Sagan dengan teleskop
bintang tersampir di bahu di pintu rumah Sista mendatangkan cemberut di wajah
cewek itu.
Saat langit malam sedang cerah,
pasangan lain mungkin akan saling mendekap sambil berharap meyaksikan bintang
jatuh. Jadi mereka dapat melantunkan permintaan akan kelanggengan hubungan
mereka dalam hati. Tapi bagi Sista, malam cerah lambat laun menjadi prahara.
Kini bukan belaian atau bisikan mesra lagi yang ia dapat, sebagaimana yang
patut didapatkan seorang kekasih pada umumnya, melainkan kuliah astronomi.
Inilah buah dari obsesi Sagan pada astronomi yang makin menjadi-jadi.
“Ceres, aku sampai sekarang masih
penasaran, sebetulnya energi gelap dan materi gelap macam apa sih yang telah
mengembangkan alam semesta?”
“Mata kita melihat di sepanjang
garis pandangnya sendiri, atau disebut juga paralaks. Itu sebabnya kenapa
planet-planet dan bintang-bintang terlihat sama aja jaraknya di mata kita—yaitu
jauh. Tapi justru, teknik astronomi paling sederhana untuk menentukan jarak
benda-benda angkasa itu didasarkannya pada paralaks!”
“Kamu tau nggak, Ceres, ngitung
jarak bintang itu pakai trigonometri loh! Yang pertama kali menyempurnakannya
itu Friederich Bessel, tahun 1938. Waktu itu dia ngitung jarak bintang yang
namanya 61 Cygni.”
Lagipula ia tidak percaya bintang
jatuh dapat mengabulkan permintaan. Memangnya benda itu apaan? Tuhan?
Sista berharap musim hujan cepat
datang kembali. Dengan demikian, langit malam akan terlalu kelam untuk dapat
menampilkan kegemerlapan para pencuri hati. Sayangnya, koran malah memberitakan
gejala-gejala El Nino mulai tampak lagi.
***
Bagai ledakan besar yang
menciptakan alam semesta menurut teori Big Bang, saat jeda pergantian pelajaran
tiba-tiba ketua kelas maju.
“Buat teman-teman yang berminat
ikutan olimpiade, ini kertas tolong diisi ya. Ini kertasnya ada banyak.
Masing-masing buat satu mata pelajaran. Ada Fisika, Kimia, Biologi, dan seterusnya.
Diisi di sini, nama, bla bla bla. Boleh ngisi lebih dari satu. Entar kalau
udah, tolong kasih ke saya lagi ya. Jangan sampe ketinggalan, entar nyesel!”
Sebagian besar siswa bangkit dari
bangku masing-masing. Mereka mengerumuni bangku terdepan, tempat ketua kelas
menghamparkan kertas-kertas tersebut. Sista tidak mau ketinggalan. Daripada
bingung memilih ekskul yang banyak dan tidak ada yang benar-benar diminatinya
itu, lebih baik langsung ambil saja kesempatan yang ditawarkan.
Sejak tadi malam, ia berniat
mencari kesibukan untuk melampiaskan kekesalannya karena kehilangan perhatian
dari sang pacar. Ia bahkan sudah tidak peduli lagi akan cita-cita cowoknya itu:
mengunjungi pedalaman Australia untuk mendapatkan pemandangan terbaik dalam
mengamati bintang—bahkan kangguru pun ikut mengamati bintang! Perasaannya pada
cowok itu lama-lama amblas sudah. Habis kesabarannya. Tidak ada gunanya lagi
mereka pacaran. Sagan lebih mencintai bintang-bintang...
Sambil menyelinap ke celah-celah
kerumunan, Sista memikirkan mata pelajaran apa yang akan ia pilih nanti. Kimia?
Uh, a BIG NO NO. Biologi? Ia tidak
kuat hapal-hapalan. Fisika? Ia malas membayangkan bertemu dengan Sagan lagi.
Sudah sejak tahun lalu Sagan menjadi maestro di olimpiade Fisika dalam mewakili
sekolah. Matematika? Baru menyebutnya saja Sista sudah merasa ingin muntah.
Astronomi? Lagi-lagi ini mengingatkannya pada Sagan. Ketika Sista akhirnya
berhasil mencapai tepi meja, kerumunan telah buyar. Tinggal beberapa anak saja
yang masih tinggal. Dapat dipastikan bahwa mereka mengalami kebingungan yang
sama sepertinya.
Dari jauh sudah terlihat
Astronomi yang paling sepi peminat. Tidak sampai lima orang mungkin. Entah
kalau digabungkan dengan kelas lain. Sementara itu, peminat untuk mata
pelajaran lainnya terlihat membeludak. Kalau di kelas-kelas lainnya hal yang
sama terjadi, maka seleksinya akan makin ketat. Mengingat ia bukan orang yang
amat unggulnya dalam akademis, sudah pasti dengan segera ia akan tersisihkan.
Dengan demikian ia tidak akan jadi punya kesibukan.
Ketua kelas menyenggol sikunya.
“Eh, udah belum? Mau saya balikin ke Bu Sarah nih sekarang.”
“Aduh, bentar ah, masih bingung
nih!” Sista mengisyaratkan pengusiran.
“Ayo cepat tentukan pilihanmu...”
Ketua kelas tidak kalah senewennya. Ia berkata dengan nada tidak sabaran,
“Udah, Astronomi aja. Pasti lolos. Kelas lain kayaknya nggak ada yang minat
tuh!”
“Iya, gua juga pilih Astronomi,
kayaknya gampang tuh,” seseorang menimpali.
Ketua kelas sudah menarik
kertas-kertas itu dari meja. Sista cepat-cepat bertindak. “Eh, eh, ya udah, aku
pilih Astronomi aja deh!”
“Sip... sip...” Ketua kelas
menyerahkan kertas bertulisan “ASTRONOMI” di atasnya. Baru 2 orang ternyata
yang mengguratkan namanya di situ.
***
Pegasus, Aquila, dan
kawan-kawannya tidak terlihat malam ini. Kecantikan mereka tertutup tirai air
yang dijatuhkan dari langit. Kali ini, giliran teleskop Sagan yang jadi obat
nyamuk. Membisu di teras rumah Sista. Menunggui tuannya berbincang asyik dengan
sang pacar.
“Menurut mitologi Yunani, Orion
itu anak laki-lakinya Poseidon, dewa laut. Dia itu seorang pemburu handal
dengan gada dan tameng yang jatuh cinta dengan tujuh putri bersaudara yang
cantik, yang disebut Pleiades, dan ia masih terus mengejar mereka di angkasa.”
“Ya, tapi suatu hari dia tewas
disengat kalajengking. Makanya itu dewa menempatkan kalajengking di sisi langit
yang berseberangan supaya si kalajengking lenyap pada saat Orion terlihat
kembali.”
“Dan saat Orion terlihat, ia
adalah rasi bintang penunjuk jalan yang bagus. Karena ia menunggangi
khatulistiwa langit, ia dapat dilihat baik di Belahan Bumi Utara maupun
Selatan. Di samping Bajak dan Palang Salib Selatan, Orion juga rasi bintang
yang sudah tidak diragukan lagi keberadaannya di angkasa. Di sabuk Orion, tiga
bintangnya yang satu menunjuk ke Sirius—“
“—bintang paling terang di
langit—“
“...di Canis Major. Bintang yang
lain menunjuk ke Aldebaran di Taurus. Satunya lagi menunjuk ke kelompok
Pleiades.”
“Tepat sekali!”
Senyum di bibir keduanya mengembang.
“Ternyata Astronomi itu
mengasyikkan, ya!” Sista mendekap salah satu seri buku mitologi Yunani
bergambar yang baru dibelinya.
Sagan hanya manggut-manggut. Ia
tak kalah senang. Akhirnya ceweknya dapat juga memahami kesenangannya. Selama
ini ia hanya bisa bersikap pura-pura tidak ngeh saat ia sedang asyik-asyiknya
mengamati bintang sementara cewek itu malah cemberut. Hingga lama kelamaan
intensitas pertemuannya dengan ceweknya itu makin berkurang. Di sela-sela
kesibukannya mempersiapkan Olimpiade Fisika, ia tetap berusaha menyediakan
waktu untuk pacaran. Apakah itu jalan ke mal, mengamati bintang, atau kegiatan
lainnya yang dapat dilakukan bersama. Ketika waktu tersedia, tak dinyana malah
ceweknya yang menolak bertemu. Alasannya, cewek itu juga sedang sibuk
mempersiapkan Olimpiade Astronomi. Mulanya ia agak janggal dengan itu. Ia tak
menyangka Sista berminat juga pada bintang-bintang. Bukankah selama ini mereka
yang menjadi sasaran kecemburuan cewek tersebut?
Ia coba memahami. Bagaimanapun
juga misteri jagat semesta raya memang terlalu menakjubkan untuk dilewatkan.
Semakin diselidiki, semakin dapat ditemukan jawaban-jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang bahkan belum ada seorang pun yang membuatnya! Siapa
yang tidak tergugah? Mungkin Sista juga telah meresapi itu.
Untunglah, kali ini Sista tak
menolak ketika Sagan bermaksud bertandang ke rumahnya setelah sekian lama
absen. Ia sama sekali tak menduga malam ini mereka akan alot membahas sabuk
Orion, dan nyambung! Sagan membayangkan, sejak malam ini mungkin malam-malam
berikutnya juga akan menjadi malam yang lebih indah. Bayangkan, sepasang
kekasih yang sama-sama mengagumi langit malam dan mengkaji misteri di balik
itu. Mereka akan menjadi pasangan paling romantis dan ilmiah di dunia!
“Ternyata kamu benar-benar suka
sama Astronomi ya. Aku nggak nyangka loh, ternyata kamu juga suka.” Sagan
bangkit sambil menyandang tabung teleskop yang sebelumnya bersandar di kursi
yang didudukinya tadi. Sista mengekor. Mereka menapaki jalan aspal yang becek
menuju jalan raya. Tirai hujan sudah digulung pemiliknya, tapi masih terasa
tetes-tetesnya menyentuh rambut.
“Benar sekali, Gan. Aku pikir aku
nggak akan berhenti sampai di olimpiade aja. Kayaknya aku bener-bener mau
mempelajari Astronomi, termasuk untuk kuliahku nanti,” suara Sista tertelan
lamat-lamat deru kendaraan yang berlalu lalang.
“Wah, bagus itu. Berarti, kamu
mau masuk ITB dong?”
“Iya. Makanya, dari sekarang aku
mau fokus mempelajari Astronomi, Gan. Masuk ITB kan susah. Aku ingin seperti Henrietta
Swan Leavitt, yang memberikan sebuah penemuan berharga. Menemukan ukuran untuk
memperkirakan jarak terhadap galaksi terjauh!”
“Bagus, kita bisa belajar
bareng!”
“Tapi kayaknya aku belum bisa
pacaran lagi deh. Kayaknya itu bisa mengganggu fokus aku.”
“Maksud kamu?”
Sista bergeming.
“Maksud kamu, kita break dulu?” Sagan memperjelas. Ia
merasa sudah bisa menduga ke mana arah pembicaraan ini.
“Tidak ada istilah break, Sayang. Kalau berhenti ya
berhenti. Putus ya putus.”
Sagan terdiam sejenak. Dengan
berat ia mengucap, “kamu marah sama aku, ya?”
“Butuh 4,25 tahun untuk mencapai
Alpha Centauri, hampir 30.000 tahun untuk menuju pusat galaksi, sekitar
2.300.000 tahun untuk menuju Galaksi Andromeda, dan 13.000.000.000 tahun untuk
mencapai objek terjauh yang dapat dilihat dengan teleskop yang sangat kuat.
Untuk mendapatkan aku, kamu emang nggak butuh waktu selama itu. Tapi bukan
berarti kamu bisa menafikan aku begitu aja, Sagan. Urus saja bintang-bintangmu
dulu, ya. Ada waktunya sendiri bagi kita untuk bersama. Saat kita udah lebih
memahami apa itu cinta. Eh, tuh, angkot kamu udah dateng!” Sebuah angkot
berhenti seketika Sista menudingkan telunjuk ke jalan. Sista tidak peduli
bahkan jika angkot itu bukan ke arah rumah Sagan sekali pun. Sista mendorong
masuk Sagan yang masih terbengong-bengong. Beruntung, angkot sudah keburu jalan
saat Sagan berusaha turun kembali untuk mengejar Sista yang cepat-cepat
berbalik pulang. Sista tak dapat menyembunyikan tawanya. “Makan tuh
bintang-bintang!” cetusnya sebelum terkekeh.
29 Januari 2010, 6.48 PM