Judul : Odah & Cerita Lainnya
Pengarang : Mohammad Diponegoro
Penerbit : HIKAYAT Publishing, 2008, Yogyakarta
Ukuran dan tebal buku : 14 x 20 cm, x + 358 hlm
Seorang kakek dengan tiga kaki kayu berjalan tertatih-tatih menuruni anak tangga. Usahanya membuat “aku” tergugah ingin menolongnya. Kakek itu mestilah seorang veteran yang tersia-siakan. Pejuang kemerdekaan negara yang bahkan pemerintah pun tak acuh terhadapnya. Uluran pertolongan dari “aku” ditampiknya. Hingga tongkatnya tergelincir dan “aku” pun sigap menangkapnya, terbukalah hati kakek itu. Berceritalah kakek itu tentang masa mudanya, awal dari ketidakpercayaannya pada orang lain. Ia dikhianati oleh ketiga temannya sewaktu sedang dalam perjalanan mengusung peti. Mereka menjebaknya hingga sepasang kakinya tergilas kereta. Sejak itu ia tidak menaruh kepercayaan pada siapapun. “Aku” masih mengira kakek itu adalah seorang pejuang gerilya sampai ia menanyakan apa gerangan isi dari peti yang kala itu mereka usung. Dengan tenang kakek itu mengaku bahwa peti tersebut berisi barang berharga dan ketika itu mereka adalah kawanan perampok.
Cerita ini hanyalah satu dari sekian cerita lainnya yang mengandung kejutan di akhir cerita. Sebut saja judul-judul lainnya seperti “Sumpah Dua Lelaki Bersaudara”—ketika sumpah sepasang kakak dan adik menjadi kenyataan—maupun “Keroyokan”—akibat pahit yang harus diterima seorang anak karena tidak mengindahkan peringatan ayahnya.
Memang terdapat pula beberapa cerita yang kejutannya kurang bikin geregetan. Modusnya sama: si protagonis memiliki prasangka akan seseorang, namun di akhir cerita kenyataan berbicara lain. Dalam “Lubang Perlindungan”, Ruben—protagonis—dibunuh oleh seorang serdadu Belanda yang dikiranya kakaknya namun ternyata bukan. Dalam “Perasaan yang Sangat Ajaib Kosongnya”, seorang wanita bersiap menyambut kedatangan anak kandungnya yang sudah lama tak ditemuinya. Setelah bertemu dan kerinduan dilepaskan, ternyata pria yang sedari tadi dipeluk dan diciumnya bukanlah anak kandungnya itu. Anak kandungnya telah meninggal dan yang datang adalah temannya yang hendak memberi kabar namun tidak jua diberi kesempatan bicara. Sementara itu dalam “Potret Seorang Prajurit”, seorang Indonesia mengira telah membunuh seorang lelaki dari keluarga tempatnya tinggal sementara di Jepang. Hal ini membuatnya takut luar biasa dan ketika ia minta pindah tempat, diberitahulah ia bahwa lelaki yang ia bunuh dengan lelaki dalam keluarga tersebut yang telah meninggal bukanlah orang yang sama.
Meski demikian, setiap cerita memiliki kesan dan keunikannya masing-masing. Dari cerita yang mengharukan (“Odah”), menguak jati diri manusia (“Memakai Baju Orang Lain”), inspiratif (“Persetujuan dengan Tuhan”), berbau mistis “Kembali ke Kuburan”, “Istri Sang Medium”, dan “Bubu Hantu”), hingga tidak jelas hendak menceritakan apa (“Catatan Seorang Narapidana”, atau mungkin saya saja kurang bisa menangkap), tersaji di sini. Pak Dipo, demikian panggilan pengarang, menghidangkan 30 cerita (yang sebagiannya serupa anekdot) yang tidak hanya menawan hati, tapi juga memberikan ajaran moral dan nilai-nilai Islam. Meski pengarangnya telah meninggal pada 1982 dan kenyataan ini membuat saya memvisualisasikan cerita-ceritanya dengan latar jadul, kebaikan-kebaikan di dalamnya tidak lekang oleh waktu. Bertambahlah satu nama dalam daftar sastrawan Islam Indonesia panutan, selain A. A. Navis.
Dalam “Berilah, Nanti Kau Akan Menerima”, misalnya, pesan moral yang sudah termuat di judulnya kembali mengingatkan kita akan sebuah firman Allah SWT. (lupa sumbernya) bahwa perniagaan yang paling menguntungkan adalah perniagaan dengan-Nya. Barangsiapa menjual kebajikan dengan menolong orang lain secara tulus, maka Ia nanti pasti akan membayarnya dengan pahala yang berlipat-lipat. (hal. 98)
Begitupun dalam “Rumah Sebelah”. Seorang lelaki sedang mencari cermin antik. Kebetulan sekali, ia bertemu teman lamanya yang sedang membutuhkan uang dan memiliki cermin antik yang dapat dijual. Dengan niat menolong teman sekaligus mendapatkan apa yang sedang diincar, lelaki itu pun membeli cermin antik tersebut tanpa melihat dulu barangnya. Keesokkan harinya, temannya mengantarkan sendiri barang itu ke rumah besarnya tanpa sempat menemui pemiliknya. Alangkah kagetnya lelaki itu ketika mengetahui ternyata cermin antik tersebut tidak sesuai seperti yang diharapkannya. Lebih kaget lagi ia setelah mengetahui bahwa selama ini temannya itu hidup tepat di samping rumahnya dalam rundungan kemiskinan.
“Tapi selama itu aku tidak pernah tahu bahwa ia tetanggaku dan penghuni satu-satunya gubug reyot di dekat rumahku. Ke mana selama lima belas tahun ini kubayar uang zakat? Kepada panitia-panitia masjid yang mengedarkan lis, ke giro bank pengumpulan zakat, kepada badan-badan dakwah yang berpuluh-puluh jumlahnya. Tapi tidak sepeser pun pernah kubayarkan kepada Fahmi.” (hal. 281)
Mengingatkan saya pada sebuah riwayat Rasulullah SAW. Saya tidak ingat persis redaksinya seperti apa. Kalau dengan bahasa sendiri, saya mengingatnya begini: tidak patut seorang muslim tidur di malam hari selama masih ada tetangganya yang kelaparan. Intinya sih, tetanggalah orang pertama yang harus kita perhatikan karena ia lebih dekat dari sanak saudara kita. Misalnya, saudara kita tinggalnya di Jogja sementara kita di Bandung. Suatu kali anggota keluarga kita sakit keras dan harus dibawa ke rumah sakit segera namun kita tidak mempunyai kendaraan. Jika tetangga kita mengetahui dan memiliki kendaraan, tentu ia akan segera menolong kita untuk mengantarkan anggota keluarga kita yang sakit itu. Anggota keluarga kita mungkin sudah keburu ‘lewat’ kalau harus menunggu sanak saudara yang dari Jogja itu datang menolong dengan kendaraannya.
Namun hal ini bisa tidak berlaku jika kita tinggal di perumahan individualis. Percayalah, meski rumahmu kerampokan sore-sore pun, boro-boro mencegah, tetangga individualismu mungkin tidak akan pernah tahu kalau kamu pernah kerampokan jika tidak ada yang memberitahunya.
Kiranya tidak ada konten yang terlalu dewasa untuk dibaca anak sekolahan. Dalam “Alice”, saya kira hal-hal yang ‘menyerempet’ mungkin akan terjadi. “Aku” dalam cerita ini mendapat kesempatan pergi ke Amerika. Di sana ia bertemu dengan seorang gadis pemusik bernama Alice. Ketertarikan pun tumbuh di antara mereka berdua. Namanya orang Barat, jika sudah tertarik, pastilah berlanjut ke tempat tidur. Namun itu tidak terjadi pada cerita ini. Alice menggedor-gedor pintu “aku” di tengah malam buta namun “aku” bergeming. Pagi pun tiba dan tidak ada ‘hal gawat’ yang terjadi. “Aku” kembali pulang ke negerinya tanpa meninggalkan kenistaan.
Pantaslah buku ini direkomendasikan kepada anak sekolahan. Toh, saya pun dapat membaca buku ini karena adik saya yang masih duduk di bangku SMP meminjamnya dari perpustakaan sekolah. Selain kian merangsang minat literasi, buku ini dapat dijadikan contoh yang baik jika ingin belajar membuat cerita bermoral dan Islami.
Pengarang : Mohammad Diponegoro
Penerbit : HIKAYAT Publishing, 2008, Yogyakarta
Ukuran dan tebal buku : 14 x 20 cm, x + 358 hlm
Seorang kakek dengan tiga kaki kayu berjalan tertatih-tatih menuruni anak tangga. Usahanya membuat “aku” tergugah ingin menolongnya. Kakek itu mestilah seorang veteran yang tersia-siakan. Pejuang kemerdekaan negara yang bahkan pemerintah pun tak acuh terhadapnya. Uluran pertolongan dari “aku” ditampiknya. Hingga tongkatnya tergelincir dan “aku” pun sigap menangkapnya, terbukalah hati kakek itu. Berceritalah kakek itu tentang masa mudanya, awal dari ketidakpercayaannya pada orang lain. Ia dikhianati oleh ketiga temannya sewaktu sedang dalam perjalanan mengusung peti. Mereka menjebaknya hingga sepasang kakinya tergilas kereta. Sejak itu ia tidak menaruh kepercayaan pada siapapun. “Aku” masih mengira kakek itu adalah seorang pejuang gerilya sampai ia menanyakan apa gerangan isi dari peti yang kala itu mereka usung. Dengan tenang kakek itu mengaku bahwa peti tersebut berisi barang berharga dan ketika itu mereka adalah kawanan perampok.
Cerita ini hanyalah satu dari sekian cerita lainnya yang mengandung kejutan di akhir cerita. Sebut saja judul-judul lainnya seperti “Sumpah Dua Lelaki Bersaudara”—ketika sumpah sepasang kakak dan adik menjadi kenyataan—maupun “Keroyokan”—akibat pahit yang harus diterima seorang anak karena tidak mengindahkan peringatan ayahnya.
Memang terdapat pula beberapa cerita yang kejutannya kurang bikin geregetan. Modusnya sama: si protagonis memiliki prasangka akan seseorang, namun di akhir cerita kenyataan berbicara lain. Dalam “Lubang Perlindungan”, Ruben—protagonis—dibunuh oleh seorang serdadu Belanda yang dikiranya kakaknya namun ternyata bukan. Dalam “Perasaan yang Sangat Ajaib Kosongnya”, seorang wanita bersiap menyambut kedatangan anak kandungnya yang sudah lama tak ditemuinya. Setelah bertemu dan kerinduan dilepaskan, ternyata pria yang sedari tadi dipeluk dan diciumnya bukanlah anak kandungnya itu. Anak kandungnya telah meninggal dan yang datang adalah temannya yang hendak memberi kabar namun tidak jua diberi kesempatan bicara. Sementara itu dalam “Potret Seorang Prajurit”, seorang Indonesia mengira telah membunuh seorang lelaki dari keluarga tempatnya tinggal sementara di Jepang. Hal ini membuatnya takut luar biasa dan ketika ia minta pindah tempat, diberitahulah ia bahwa lelaki yang ia bunuh dengan lelaki dalam keluarga tersebut yang telah meninggal bukanlah orang yang sama.
Meski demikian, setiap cerita memiliki kesan dan keunikannya masing-masing. Dari cerita yang mengharukan (“Odah”), menguak jati diri manusia (“Memakai Baju Orang Lain”), inspiratif (“Persetujuan dengan Tuhan”), berbau mistis “Kembali ke Kuburan”, “Istri Sang Medium”, dan “Bubu Hantu”), hingga tidak jelas hendak menceritakan apa (“Catatan Seorang Narapidana”, atau mungkin saya saja kurang bisa menangkap), tersaji di sini. Pak Dipo, demikian panggilan pengarang, menghidangkan 30 cerita (yang sebagiannya serupa anekdot) yang tidak hanya menawan hati, tapi juga memberikan ajaran moral dan nilai-nilai Islam. Meski pengarangnya telah meninggal pada 1982 dan kenyataan ini membuat saya memvisualisasikan cerita-ceritanya dengan latar jadul, kebaikan-kebaikan di dalamnya tidak lekang oleh waktu. Bertambahlah satu nama dalam daftar sastrawan Islam Indonesia panutan, selain A. A. Navis.
Dalam “Berilah, Nanti Kau Akan Menerima”, misalnya, pesan moral yang sudah termuat di judulnya kembali mengingatkan kita akan sebuah firman Allah SWT. (lupa sumbernya) bahwa perniagaan yang paling menguntungkan adalah perniagaan dengan-Nya. Barangsiapa menjual kebajikan dengan menolong orang lain secara tulus, maka Ia nanti pasti akan membayarnya dengan pahala yang berlipat-lipat. (hal. 98)
Begitupun dalam “Rumah Sebelah”. Seorang lelaki sedang mencari cermin antik. Kebetulan sekali, ia bertemu teman lamanya yang sedang membutuhkan uang dan memiliki cermin antik yang dapat dijual. Dengan niat menolong teman sekaligus mendapatkan apa yang sedang diincar, lelaki itu pun membeli cermin antik tersebut tanpa melihat dulu barangnya. Keesokkan harinya, temannya mengantarkan sendiri barang itu ke rumah besarnya tanpa sempat menemui pemiliknya. Alangkah kagetnya lelaki itu ketika mengetahui ternyata cermin antik tersebut tidak sesuai seperti yang diharapkannya. Lebih kaget lagi ia setelah mengetahui bahwa selama ini temannya itu hidup tepat di samping rumahnya dalam rundungan kemiskinan.
“Tapi selama itu aku tidak pernah tahu bahwa ia tetanggaku dan penghuni satu-satunya gubug reyot di dekat rumahku. Ke mana selama lima belas tahun ini kubayar uang zakat? Kepada panitia-panitia masjid yang mengedarkan lis, ke giro bank pengumpulan zakat, kepada badan-badan dakwah yang berpuluh-puluh jumlahnya. Tapi tidak sepeser pun pernah kubayarkan kepada Fahmi.” (hal. 281)
Mengingatkan saya pada sebuah riwayat Rasulullah SAW. Saya tidak ingat persis redaksinya seperti apa. Kalau dengan bahasa sendiri, saya mengingatnya begini: tidak patut seorang muslim tidur di malam hari selama masih ada tetangganya yang kelaparan. Intinya sih, tetanggalah orang pertama yang harus kita perhatikan karena ia lebih dekat dari sanak saudara kita. Misalnya, saudara kita tinggalnya di Jogja sementara kita di Bandung. Suatu kali anggota keluarga kita sakit keras dan harus dibawa ke rumah sakit segera namun kita tidak mempunyai kendaraan. Jika tetangga kita mengetahui dan memiliki kendaraan, tentu ia akan segera menolong kita untuk mengantarkan anggota keluarga kita yang sakit itu. Anggota keluarga kita mungkin sudah keburu ‘lewat’ kalau harus menunggu sanak saudara yang dari Jogja itu datang menolong dengan kendaraannya.
Namun hal ini bisa tidak berlaku jika kita tinggal di perumahan individualis. Percayalah, meski rumahmu kerampokan sore-sore pun, boro-boro mencegah, tetangga individualismu mungkin tidak akan pernah tahu kalau kamu pernah kerampokan jika tidak ada yang memberitahunya.
Kiranya tidak ada konten yang terlalu dewasa untuk dibaca anak sekolahan. Dalam “Alice”, saya kira hal-hal yang ‘menyerempet’ mungkin akan terjadi. “Aku” dalam cerita ini mendapat kesempatan pergi ke Amerika. Di sana ia bertemu dengan seorang gadis pemusik bernama Alice. Ketertarikan pun tumbuh di antara mereka berdua. Namanya orang Barat, jika sudah tertarik, pastilah berlanjut ke tempat tidur. Namun itu tidak terjadi pada cerita ini. Alice menggedor-gedor pintu “aku” di tengah malam buta namun “aku” bergeming. Pagi pun tiba dan tidak ada ‘hal gawat’ yang terjadi. “Aku” kembali pulang ke negerinya tanpa meninggalkan kenistaan.
Pantaslah buku ini direkomendasikan kepada anak sekolahan. Toh, saya pun dapat membaca buku ini karena adik saya yang masih duduk di bangku SMP meminjamnya dari perpustakaan sekolah. Selain kian merangsang minat literasi, buku ini dapat dijadikan contoh yang baik jika ingin belajar membuat cerita bermoral dan Islami.
terima kasih sangat membantu
BalasHapussaya keren buku kumpulan ini
BalasHapus