Sarapan yang disediakan pagi itu adalah senampan besar (apa sih itu namanya wadah bulat besar yang terbuat dari anyaman bambu?) getuk singkong untuk semua orang. Masih saya lihat ada sisa setengah di nampan. Saya belum sempat mencicipinya karena semuanya, peserta dan panitia, sudah bercampur di halaman rumah Mbah Udi. Memang saya yang bangun paling siang pagi itu. Sehabis solat Subuh yang ‘dingin’, saya lebih memilih untuk tidur lagi ketimbang sarapan.
Acara pagi ini adalah pengamatan burung. Konsep acara ini hanya jalan-jalan biasa sambil mencari burung dan mengamatinya. Jam 11 kami diharapkan sudah berada di basecamp lagi. Lagipula hari itu hari Jumat.
Peserta dan panitia dicampur satu dan dibagi menjadi 3 kelompok. Panitia memberitahu saya bahwa saya masuk kelompok 2. Nama anggota masing-masing kelompok dibacakan, lengkap dengan pemandunya. Termasuk saya dan pemandu yaitu Mas Imam, di kelompok 2 ada 9 orang. 4 di antaranya adalah anggota KP3 Burung. 2 di antaranya plus saya adalah perempuan. Sisanya adalah anggota Bionic.
Menjelang jam 7, ketiga kelompok berangkat meninggalkan basecamp alias rumah Mbah Udi sambil jalan beriringan. Setiap kelompok berbekal lebih dari satu binokuler dan kitab Mac Kinnon—dua alat yang wajib dibawa dalam pengamatan burung.
Cerahnya hari itu mengusik kesejukan pagi. Bulir-bulir keringat terasa bergulir. Tirai yang menyelubungi Merapi tersibak. Dengan gagah Merapi memamerkan setiap teksturnya. Gumpalan hijau menyemut dari bawah tapi tidak sampai naik ke atas. Yang terlihat di sana kiranya hanya pasir, kapur(?), dan bebatuan. Semuanya jelas terlihat dari bawah sini.
Sementara kelompok lain terus menanjak, kelompok saya mandeg di sebuah gerbang berhiaskan rangkaian huruf Jawa yang artinya “Regol Merapi”. Rupanya ada suara cicit burung yang ramai sekali. Terlihat pula sosoknya berseliweran.
“Kuning... Kuning...” Seseorang memberi isyarat.
Terlihat titik hitam di sebuah menara listrik. Ketika dilihat di binokuler, tampaklah titik itu menyerupai siluet hitam seekor burung. Ketika burung itu berbalik, terlihat ada warna merah cerah di sepanjang dadanya. Merah di atas kuning, lebih tepatnya.
“7.07 WIB. Cabe gunung.” Dayu mengisi beberapa kolom pada form pengamatan burung yang menjadi bagian bawaannya. Selain waktu dan nama lokal, judul masing-masing kolom pada tabel dalam form tersebut adalah nomor, nama ilmiah, lokasi, keterangan, dan jumlah. Sementara itu di luar tabel terdapat lokasi, tim, tanggal, dan cuaca. Dayu menambahkan lagi dalam catatannya, “Dicaeum sanguindentum. Regol Merapi. Bertengger.”
“Ini burung pertama di tahun 2010,” tandas Mas Imam.
Kami memasuki jalan setapak di samping sebuah bangunan bercat putih—jalan yang sama dengan jalan yang dilalui saat pengamatan sebelumnya.
Sambil menuruni jalan, terdengar “tet tet tet” suara burung betet. Sebagian dari kami sudah berada di bawah sementara sebagian lagi masih di tengah-tengah, diam mengamati. Suasana yang sama dengan pengamatan sebelumnya. Seorang mas-mas bukannya mencari burung, malah mengamati bebungaan putih di pucuk tajuk sebuah pohon jauh di seberang. Katanya bunganya bagus tapi dia tidak tahu jenisnya.
Kami melanjutkan berjalan sebentar lalu berhenti lagi di dekat pohon yang ditandai dengan huruf A oleh penyelenggara Pelatihan Mountain and Jungle Course (MJC). Sebenarnya tanda ini sudah saya dan teman-teman temukan sejak pengamatan sebelumnya. Menurut keterangan yang tertera, tanda tersebut dimohon agar tidak diganggu atau dipindahkan hingga pelatihan yang dilaksanakan sampai tanggal 24 Desember itu berakhir. Tanggal yang sama dengan tanggal pengamatan sebelumnya! Sayang, waktu itu kami tidak bertemu dengan para partisipannya. Nah, sekarang sudah tanggal 1 Januari 2010. Kalau yang dimaksud adalah tanggal 24 Desember 2009, seharusnya saya bisa membawa tanda tersebut pulang untuk oleh-oleh ^^
Masih terdengar denging yang sama yang saya dengar semenjak saya masih di gerbang Regol Merapi. Ada lebah mengitari saya terus menerus hingga membuat saya bertanya-tanya, apakah tubuh saya menguarkan harum madu? Asam ketek sih iya.
Seorang mas-mas bersiul memanggil burung. Terdengar balasan kicauan yang indah. Namun kelompok saya malah melanjutkan perjalanan. Begitu pun saat kami berhenti di pinggir jurang. Sepertinya mereka melihat sesuatu. Terdengar “ciap ciap” dari atas.
Perdu lebat di sisi kanan kiri jalan tidak menghambat langkah kami. Begitu pun sebatang pohon tumbang yang melintang miring. Terlihat sosok seekor burung meloncat-loncat lalu terbang, seakan menggoda kami untuk dapat menemukannya. Ia meloncat-loncat di celah-celah tajuk yang cukup lebat namun masih membiarkan langit biru muda cerah menampakkan dirinya. Baru berjalan beberapa langkah, terdengar lagi suara burung yang berbeda. Lalu hilang ditimpali suara burung lain yang lebih nyaring dengan latar desisan para serangga hutan. Kami jalan lagi sebentar lantas berhenti, balik serong kiri, dan kompak mendongak, mengikuti arah gerak seekor burung yang lenyap lantas ditelan tajuk. Kami jalan lagi, berhenti. Telunjuk-telunjuk naik. Sepertinya telah ditemukan lagi burung di atas sana. Benar saja. Terlihat beberapa ekor burung meloncat-loncat di ujung tajuk tapi segera menghilang. Terdengar sekali-sekali suara burung yang berbeda. “Ngik ngok ngik ngok.” Seperti suara gesekan biola rusak yang kocak. Terasa kegerahan mengalahkan kesejukan.
“Itu burung apa, Mas?” tanya saya pada Yunan, anggota KP3 Burung angkatan 2006 yang juga panitia acara. Sedari tadi ia berjalan di depan saya sambil memotret-motret.
“Jangan mengartikan burung dari suaranya. Suara bisa menipu,” cetusnya.
Suara memang bisa menyatakan kehadiran burung. Namun tahap awal dalam mengidentifikasi burung adalah harus dicari dulu burungnya dengan mata, baru mengamatinya dengan binokuler untuk mendapatkan ciri-ciri yang lebih jelas. Setelah itu, lakukan pengecekan dengan Mac Kinnon untuk menentukan jenisnya. “Kecuali untuk burung-burung yang suaranya udah jelas,” Yunan menambahkan.
Angin sejuk lembut membelai, mengusir gerah. Para pengamat kebanyakan diam atau berbicara pelan hanya kalau diperlukan.
Di suatu titik, masih di pinggir jurang, di tengah sisi bukit, kami melihat lagi di kejauhan sepasang burung berkejaran di sela-sela tegakan. Sepertinya ada beberapa ekor burung lain selain sejoli itu. Kami berhenti. Mencoba menangkap bayang mereka dengan binokuler. “Ada yang mau lihat?” Seseorang menawarkan binokulernya.
Di form pengamatan kini, dalam selang waktu 23 menit sejak penemuan burung pertama, sudah tertera 4 jenis lainnya.
Mata para pengamat burung amatlah jeli. Mereka mampu melihat burung yang mungkin seorang awam tidak akan mampu melihatnya. Mereka terlihat antusias mana kala melihat seekor burung berwarna oranye mengepakkan sayapnya, maupun sekelebat bayang seekor burung bersayap hijau di kejauhan.
“Eh, ada tupai,” celetuk seseorang disusul desah kecewa yang serempak. Bukan karena tupai itu, melainkan karena burung yang hendak dipantau terbang menjauh lalu hilang.
Lama kami tidak beranjak dari situ. Tidak ada habis-habisnya burung-burung dengan beragam jenis dan warna itu berkeliaran, mengundang intaian sekian pasang mata, menahan kami untuk tidak segera pergi. Dengan kicauan khas masing-masing, mereka beterbangan, meloncat atau merayap dari satu tajuk ke tajuk lain.
“Obral murah,” kata Mas Imam sambil tertawa kecil.
Para pengamat burung itu berkerumun agak rapat. Ada yang menunjuk-nunjuk, memegang binokuler, maupun mengamati dengan mata bugil. Tidak kunjung puas mereka mengidentifikasi setiap burung yang tak pernah menclok lama-lama di suatu tempat. Sesekali ada anggota baru KP3 Burung yang bertanya pada Mas Imam apa nama burung yang baru mereka lihat itu. Sebagian yang lain duduk mengerumuni Mac Kinnon untuk menentukan jenis dari burung-burung yang terlihat tadi.
“Pusing lihatnya, burungnya pindah-pindah terus,” keluh Dayu.
Sementara para pengamat burung khusyuk dalam ketertarikan mereka, saya memerhatikan bunga-bunga putih yang tersebar di antara rerumputan. Kiranya ini bunga yang sama dengan bunga yang diamati mas-masnya tadi. Menurut Yunan, yang juga co ass praktikum Dendrologi, bunga ini adalah bunga puspa (Schima walichii). Kelopaknya berwarna putih dengan sekumpulan benang sari coklat muda di bagian tengah. Baunya mengingatkan saya pada acara mantenan, juga pemakaman.
Lama-lama saya tertarik juga untuk ikut merasakan apa yang dialami para pengamat burung itu. Saya mencoba ikut mengamati dengan lebih jelas burung yang terlihat menggunakan binokuler.
“Megangnya pakai dua tangan,” tegur Mas Imam saat melihat saya menempelkan binokuler ke mata hanya dengan sebelah tangan. Saya lupa tangan sebelahnya lagi saya gunakan untuk apa. Saya menurut. Ternyata, tidak mudah juga ya mengamati burung. Kita bisa saja melihat seekor burung bertengger di pohon dengan mata bugil. Namun saat lensa binokuler sudah menempel di mata, ternyata tidak ada yang kita temukan. Entah burungnya yang sudah terbang ke mana atau kita yang salah mengarahkan binokuler. Objek yang terlihat melalui lensa binokuler jadi berlipat-lipat jauh lebih besar dari aslinya dan itu malah kerap membingungkan kita. Benarkah ini tadi cabang yang saya lihat ada burung bertengger di atasnya? Kok bentuknya jadi beda ya? Begitu saya bertanya-tanya dalam hati.
Selain binokuler, rupanya ada juga yang membawa monokuler. Dari namanya saja sudah jelas, binokuler memiliki dua lensa sedangkan monokuler hanya satu. Binokuler kita pegang dengan dua tangan pada corong lensanya. Sementara itu, monokuler biasanya ditempatkan pada tripod. Kaki tripod menjejak tanah, tungkainya kita pegang dengan satu tangan, sementara tangan yang satu mengarahkan corong monokuler ke arah yang dikehendaki. Menurut Yunan, keunggulan monokuler adalah jangkauannya yang lebih jauh.
Adakah tripokuler? Mungkin hanya Dewa Er Lang dalam Legenda Kera Sakti yang membutuhkan.
Tiba-tiba Wahib, anggota KP3 Burung angkatan 2008, berlari ke belakang. Ia menunjuk langit terbuka. Seorang mas-mas bertopi, yang menyaksikan hal yang sama, menyebutkan ciri-ciri apa yang barusan terlihat. Di antaranya adalah suara lengkingan yang khas. Mas Imam, Mac Kinnon berjalan itu, bergumam, “elang ular bido.”
“Elang hitam dan elang jawa juga pernah terlihat di kawasan ini,” tambah Wahib kemudian.
Dengan demikian, sampai 8.20 WIB, sudah 10 jenis yang kami temukan, baik dalam keadaan bertengger maupun terbang. Masing-masing jenis jumlahnya berkisar antara 1–4 ekor, yaitu (sesuai urutan kemunculannya), cabe gunung, cekakak jawa (Halcyon cyanoventris), ciung batu kecil (Myiophoneus glaucinus), madu gunung, gelatik batu, sepah gunung (Pericrocotus miniatus), cicah daun sayap biru (Chloropsis cochinchinensis), srigunting keladi (Dicrurus aeneus), kepudang sungu gunung (Coracina larvata), dan elang ular bido (Spilornis cheela)
Jam-jam seperti ini, apalagi didukung oleh cuaca cerah, memang waktu yang paling baik untuk mengamati burung.
“Maksimal ampe jam 11,” bisik Yunan sambil memberi isyarat tangan.
Kami bertahan di titik yang sudah bagai surga burung itu sampai tidak terlihat begitu banyak burung lagi yang berseliweran. Sudah waktunya untuk mengeksplorasi tempat lainnya.
Sambil jalan, dua orang menyadari bahwa diri mereka telah menjadi korban gigitan pacet. Tiba-tiba ke luar darah dari salah satu titik di kaki mereka. Yang lain segera meneliti kaki mereka sendiri, kalau-kalau mereka pun menjadi korban. Ya, korban-korban lain pun bertumbangan, pacetnya.
Sesekali kami bertemu warga yang memanggul setumpuk besar rumput kolonjono di bahunya.
Di suatu tempat yang agak datar kami berhenti sebentar. Wahib berjalan ke tepi jurang, duduk dan berdiri di atas akar besar yang terbalik. Permukaan tanah menghitam yang mestinya merupakan bekas api unggun ditemukan. Perjalanan kami lanjutkan. Di tepi bekas aliran lava kami berhenti sebentar. Istirahat, bergaya, sambil icip-icip getuk.
Cukup jauh setelah itu kami berjalan. Tidak berhenti-berhenti karena memang tidak ada burung yang kami temukan. Berbagai medan kami arungi. Dari permukaan yang datar dengan rumput-rumput pendek hingga jalan setapak menanjak nan berbatu-batu dengan rumput-rumput tinggi yang rimbun. Sampailah kami di suatu bukit. Di atas sini kami dapat melihat hamparan hutan serta perbukitan yang lebih tinggi di sebelah kanan membentang. Sebagian pandangan kami ke depan terhalang oleh rerumpunan lebat rotan dan tetumbuhan lainnya. Beberapa orang tetap berdiri sementara yang lainnya duduk beristirahat setelah melalui perjalanan yang cukup melelahkan. Salah seorang mencari-cari dengan binokuler kalau-kalau ada burung yang melintas. Mas Imam bilang, elang jawa pernah terlihat dari sini.
Alih-alih elang jawa, yang terdengar malah pekikan elang ular bido. Kepala kami berputar-putar mencari. Dari bawah terbanglah seekor elang terbang meninggi dengan sayap coklat membentang yang menimbulkan ucap-ucap kekaguman. Ia menukik hilang.
Benar saja. Setelah lama berdiam diri, datanglah yang dinanti-nanti. Seekor elang jawa (Spizaetus bartelsi) dengan bentangan sayap yang lebih lebar dari saudaranya, elang ular bido, muncul.
“Bedanya dengan elang ular bido, kalau elang jawa itu sayapnya coklat polos. Kalau elang ular bido ada putih-putihnya.” Seseorang memberikan keterangan. Hewan ini juga dikenal dengan sebutan “elang bertanduk” di kalangan anak-anak KSDH UGM angkatan 2007 dan angkatan 2006 sejak makrab KSDH 2007. Memang ciri khas hewan langka ini yaitu dua jambul yang menyerupai tanduk di atas kepalanya.
Dengan latar hijau pepohonan yang menancap di perbukitan, ia terbang naik berputar hingga sejajar dengan awan kelabu yang mendekat. Seekor elang alap cina, sempat ada yang mengira itu kekep atau srigunting, menyambutnya. Ujung sayapnya hitam, dadanya putih, dan ukuran tubuhnya lebih kecil dari elang jawa. Mereka saling berputar berhadap-hadapan. Kami mengawasi keduanya dengan antusias. Apakah mereka akan bertarung di angkasa sana demi memperebutkan wilayah teritorial?
Tak lama elang jawa turun ke bawah, seakan berucap, “monggo...” pada si migran elang alap cina.
Yah, namanya juga dari Jawa....
Pentas kedua jenis elang itu kembali digantikan oleh pekik ramai segerombolan elang ular bido. Dibandingkan kedua saudaranya, elang jenis yang ini memang lebih comel.
Setelah the eagle brothers hilang dari pandangan, kami memutuskan untuk pulang. Jalan yang kami telusuri sama dengan jalan yang sebelumnya. Sepanjang jalan Dayu mendongengi saya epos Mahabharata ditimpali Yunan sekali-sekali. Kiranya bukan orang Bali sejati kalau belum hapal kisah-kisah dalam karya sastra termahsyur di dunia ini. Ulat dan ular telah kami temui, sekitar jam 11-an akhirnya kami sampai juga di rumah Mbah Udi. Capek sekali...
Ternyata, mengamati burung itu begini rasanya...
Yang laki-laki bersiap-siap Jumatan sementara yang perempuan melepas lelah dengan tidur-tiduran di dipan atau makan. Pilihan saya jatuh pada yang pertama. Ketika saya bangun, waktu Jumatan telah usai dan di ruangan sebelah acara diskusi sudah dimulai. Sudah kadung tidak ikutan, maka saya memilih untuk menguping saja sambil enak tidur-tiduran. Kadang-kadang ikut tersenyum sambil terkantuk-kantuk jika ada yang lucu. Udara dingin + cuaca mendung = ya enakan tidurlah....
Diskusi kali ini adalah sharing pengalaman selama pengamatan burung tadi sekaligus laporan burung apa saja yang ditemui. Setiap kelompok mendapatkan giliran masing-masing.
Ada yang cerita, saat sedang melakukan pengamatan tiba-tiba ada yang teriak-teriak. Saya kira mereka bertemu dengan semacam orang gila atau makhluk yang teridentifikasi. Ternyata yang teriak-teriak dan mengganggu pengamatan tersebut adalah salah satu dari peserta—orang yang sama dengan orang yang meminjam sarung lapangan saya untuk Jumatan sehingga saya tidur siang kedinginan.
Banyak pula ternyata yang baru pertama kali ini melakukan pengamatan burung. Mereka mengeluhkan soal susahnya menemukan burung terutama justru saat mata sudah menempel di binokuler. Bukan saya saja yang mengalami rupanya. Ada juga yang bertanya, apakah sebaiknya binokuler yang digunakan dalam pengamatan harus selalu sama? Bisa jadi setiap binokuler memiliki resolusi yang berbeda-beda. Kadang kita sudah merasa cocok dengan binokuler yang satu, tapi kita harus membaginya dengan orang lain saat mereka juga ingin melihatnya. Ketika kita ingin mengamati lagi, dikasihnya malah binokuler yang lain. Yah, namanya juga binokuler pinjaman...
Diskusi diakhiri sekitar jam 2 siang. Kami semua bergotong royong membereskan ruangan yang telah kami pakai. Ada yang menyapu, ada yang melipat tikar, ada yang membereskan gelas-gelas, ada juga yang malah bermain-main. Entah apakah kebersamaan ini akan kita rasakan lagi... Saya menyadari bahwa jumlah peserta jadi jauh lebih banyak dari kemarin malam. Rupanya tadi pagi banyak berdatangan peserta baru yang tidak ikut menginap.
Beres-beres pun selesai. Waktunya pamit pada pemilik rumah. Kami menyalami Mbah Udi sekeluarga. Tak lupa kami mengabadikan momen ini dengan berfoto di depan rumah. Jepret jepret jepret. Satu per satu kami, dengan motor masing-masing, lalu meninggalkan tempat tersebut. Turun ke bawah. Menembus kemacetan di Jalan Kaliurang, menyaksikan sisa kecelakan, kembali direnggut panas... Oh, inilah Jogja, salah satu tujuan liburan tahun baru.
Dan pada tahun yang baru ini pun, kami mendapatkan teman-teman baru. Mereka adalah para pengamat burung. Dan mengamati burung bersama telah mendekatkan hati kami semua!
Bagian 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar