Senin, 28 Februari 2011

Peninggalan Oktober 2010

11 Oktober 2010


Kecanduan jahe menggerakkan saya untuk mengeksplorasi produk mengandung jahe di KOPMA UGM pada suatu ketika. Mengingat budget yang ada, maka saya hanya beli Energen Jahe, Jahe Wangi, dan Ginseng Cereal. Bandrek Abah merupakan sisa oleh-oleh dari famili di Garut sedang Kopi Jahe Gula Jawanya saya beli beberapa hari sebelumnya di Gading Mas. Sampai di kos, saya pikir-pikir lagi ternyata ginseng itu lain dengan jahe. Mengapa sewaktu di toko saya pikir ginseng itu jahe Korea?

18 Oktober 2010


Waktu ke Bandung itu, Juhe cerita sama saya hal obrolannya dengan kawan-kawan kuliahnya. Obrolan tentang cita-cita aneh. Juhe pernah bercita-cita jadi nelayan. Temannya ada yang bercita-cita jadi tukang gorengan. Ketika saya sudah di kampus saya kembali, saya lihat seorang petugas cleaning service melintas. Sejak lama sudah ada kekaguman tersendiri saat lihat para petugas cleaning service kampus saya bekerja. Rasanya keren saja, entah, sampai saya pernah kepikiran untuk membuat cerita tentang mereka. Namun saya tak pernah bercita-cita jadi petugas cleaning service. Lalu apa relevansinya dengan cerita Juhe? Cita-cita aneh saya mungkin menjadi kasir Mc Donald.

25 Oktober 2010


Hari itu Senin sekitar pukul sembilan pagi. Saatnya kuliah Ekologi Perairan. Ada sebuah kejadian menakjubkan yang tak disengaja. Disadari atau tidak, para mahasiswa dan para mahasiswi membentuk koloni. Para mahasiswi duduk di sebelah kiri sedang para mahasiswa duduk di sebelah kanan. Di tengah mereka adalah space yang cukup luas. Tak ada yang mengomando mereka untuk begitu. Bu dosen yang masuk kemudian menyuruh para mahasiswa/i agar lain kali duduk bercampur. Sayang sekali saya tidak bisa mengambil gambar dari angle yang dapat meraup bukti yang lebih meyakinkan.

27 Oktober 2010


Suatu sore di Balairung selatan UGM, saya bertemu Mas Sobat. Entah sedang menunggui stand pendaftaran FLP Jogja atau klub Rabu. Saya lihat ia memegang sebuah buku. Ia mengizinkan saya melihat-lihat bagian dalam buku tersebut. Saya tertarik dan jadi ingin minta dibelikan Mama di Palasari kalau saya hendak ke Bandung lagi. Namun ketika akhirnya kesempatan itu tiba, saya malah minta dibelikan buku yang lain, he.

28 Oktober 2010


Suatu pagi saya jalan pagi bersama Vina ke kawasan agrokompleks. Di Fakultas Teknologi Pertanian ada sebuah pohon gundul yang menarik perhatian saya. Bukankah pohon gundul adalah pemandangan biasa—terutama bagi mereka, penjarah hutan? Pohon gundul kali ini luar biasa karena digantungi sebuah papan tulis.
  

Kemudian di Fakultas Kedokteran Hewan saya menemukan dua ekor serangga dengan bokong bertaut. Apakah mereka sedang kawin?

29 Oktober 2010


Ini adalah jalan masuk menuju komplek perumahan Bude saya. Karena keterbatasan kamera pada ponsel saya, maka tak terlihat dengan jelas bahwa jalan tersebut diapit Indomaret dan Alfamart di kanan-kirinya. Padahal baru setahun lebih saya tidak tinggal lagi di kawasan tersebut, namun lihatlah kemajuan yang terjadi. Indomaret dan Alfamart bagai sejoli penjajah Jawa. Di mana ada Indomaret, tak jauh di dekatnya pasti ada Alfamart—meski di dekat rumah saya di Bandung adanya Alfamart saja, Indomaretnya tak mendapat lahan, mungkin. Namun saya belum menemukan mereka di Sumatera Barat waktu saya ke sana pertengahan tahun lalu.

30 Oktober 2010


Hujan abu pertama mengguyur Kota Jogja. Hebohnya luar biasa. Saya mencatat di ponsel saya, “pemandangan di luar kek abis dihujanin skian ton semen.bau belerang pula.btuh brp lama ya buat ngbersiin semua ni?bahkan langit pun warnanya abu2.” Juga, “parah dah,naik mobil depannya ga keliatan apa2 gini..



Pada hari yang sama, saya menghadiri walimah seseorang yang saya kenal di Gunungkidul. Abu vulkanik tak sampai sana. Maka ketika rombongan kembali ke Kota Jogja, hanya cemas menyesaki dada. Seolah selama beberapa jam lalu terhapus ingatan dalam benak kami bahwa baru saja tadi pagi kami mengalami fenomena yang bikin was-was.

Jumat, 25 Februari 2011

ASA UNTUK DESAKU


Mereka datang lagi seiring dengan pu­dar­nya hujan di penghujung Januari. Kom­pleks bangunan itu akan ramai lagi—mung­kin ada hampir sebulan setiap tiga ka­li dalam setahun mereka menghuninya. Pa­pan kayu di balik pagarnya tertulis: Kam­pus Lapangan Getas Fakultas Ke­hu­tan­an Universitas Gadjah Mada.

Mereka disebut mahasiswa. Aku tak per­nah mengira suatu saat akan mengobrol de­ngan mereka. Suatu kali aku mampir un­tuk membeli sabun di warung pinggir la­pang­an. Sebelum pulang, kusempatkan me­nyaksikan permainan bola mereka. Tak ku­sangka salah seorang dari mereka akan me­negurku.

Namaku Cahyo. Aku sekolah di SMP yang ber­jarak kurang lebih sepuluh menit dari si­ni. Aku duduk di kelas VIII. Begitu aku me­ngenalkan diriku ketika mereka ber­ta­nya.

Mereka mengenalkan diri mereka sebagai ma­hasiswa kehutanan. Iseng, aku me­na­nya­kan apa yang mereka lakukan di tem­pat ini. Dengan semangat mereka bilang bah­wa mereka datang untuk main dan ja­lan-­jalan ke hutan. Namun, itu hanya gu­rau­an. Salah seorang dari mereka me­lan­jut­kan, “Kita juga ngukur-ngukur pohon, Dek. Liat tanaman jagung, ketemu pak man­dor, liat orang nebang pohon…”

“…pokoknya kita belajar untuk bisa mem­ba­ngun hutan yang baik, Dek…”

Ah, tak begitu kupahami omongan me­re­ka sebetulnya. Apalagi ketika mereka mu­lai menceletukkan kata-kata yang belum per­nah kudengar sebelumnya, berupa sing­katan atau apa. Dan memangnya ada a­pa dengan hutan di desaku? Mengapa me­reka sampai jauh-jauh ke mari untuk mem­pelajarinya?
`
Aku ungkapkan saja penasaranku itu. Cara me­reka menanggapiku begitu hangat, se­a­kan aku juga bagian dari mereka. “Karena ki­ta semua membutuhkan hutan, Dek,” ja­wab mereka.

Lalu mereka menerangkan tentang ba­gai­ma­na hutan mempengaruhi kehidupan me­reka—meski seharusnya mereka tak me­miliki ternak maupun masih memasak de­ngan kayu bakar di tempat asal mereka. Me­reka mengingatkanku pada pelajaran Bi­ologi, pada bagaimana tumbuhan ber­fo­to­sintesis, menghasilkan oksigen, me­nyim­pan unsur karbon, menyerap air, dan ber­ba­gai manfaat lain yang tak dirasakan se­ca­ra langsung.

Aku memang tidak mengerti ucapan me­re­ka secara keseluruhan, namun diam-diam tum­buh rasa kagumku pada mereka. Aku ja­di membayangkan diriku suatu saat ke­lak mampu berbicara seperti mereka, ber­pa­kaian ala mereka, berilmu setinggi me­re­ka. Mereka seakan tahu lebih banyak da­riku mengenai hutan, padahal selama i­ni hutan telah menjadi bagian yang tak ter­pisahkan dari hidupku.

Aku ingat bagaimana hutan telah me­me­nuh­i kebutuhan hidup keluargaku. Ba­pak­ku kadang mendapat uang dari pak man­dor karena telah membantunya menebang po­hon di hutan. Ibuku sering pulang de­ngan menggendong tumpukan kayu bakar da­ri hutan. Adik-adikku kini ganti men­da­pat tugas untuk menggembalakan sapi-sa­pi dan kambing-kambing kami di hutan ka­lau sekolah libur. Begitu pun yang pen­du­duk desa lainnya lakukan. Tentu saja a­ku berharap agar kami bisa terus meng­am­bil sesuatu dari hutan demi kebutuhan hi­dup kami.

“Cita-citamu apa, Dek?”

Ah. Aku termenung. Mendadak pupus ba­yang­anku akan menjadi bagian dari me­re­ka. Yang terbayang adalah membantu pe­ker­jaan bapakku di sawah. Sebenarnya a­ku malas melakukannya. Tapi kalau di­ta­nya apa sebenarnya yang aku inginkan, a­ku tak punya bayangan. Menikahi Puji, te­man sepermainanku sejak kecil, mungkin bi­sa jadi salah satu pilihan. Namun kuingat gu­ruku pernah berkata bahwa sebaiknya ka­mi sekolah setinggi mungkin. Akan ada le­bih banyak peluang bagi mereka yang ber­pendidikan tinggi. Masa depan mereka tak hanya terbatas pada meneruskan pe­ker­jaan bapak mereka di sawah maupun lang­sung menikah selulus SMP. Ter­ba­yang­kan olehku akan kemungkinan diriku men­jadi sesuatu yang lain. Kubayangkan di­riku berseragam safari seperti pak mantri di Polindes atau pak asper di kantor Per­hu­tani. Ah, mungkin aku bisa jadi se­se­o­rang yang lebih hebat dari itu. Seseorang de­ngan kemeja berkerah, dasi, dan wajah ce­rah. Bukan seseorang berkaos lusuh, wa­jah kumal, dan kekurangan air setiap hari. Ber­peluh payah mencangkuli sawah se­per­ti yang para pemuda desaku ini enggan ker­jakan.

“Kowe sekolah ae ning Jogja…” teguran se­o­rang mas-mas memecahkan la­mun­an­ku. Aku tersipu. Lanjut mas-mas yang lain, “su­paya kamu bisa jadi orang besar. Nanti ka­mu kembali lagi ke sini untuk mem­ba­ngun desamu, hutanmu…”

“…nanti kamu bisa punya uang untuk mem­perbaiki jalan dari desa ini ke depan sa­na, biar nggak jelek lagi…”

“…bangun SMP, SMA lagi di sini, jadi a­dik-­adikmu nanti nggak usah jauh-jauh ka­lau ingin melanjutkan sekolah.”

“…supaya hutan di desamu ini bisa jadi le­bih bagus lagi…”

Ah, mereka seakan bisa membaca pi­kir­an­ku. Butuh tiga jam dari sini untuk men­ca­pai SMA terdekat, satu dari sekian hal yang membuatku dan teman-teman tak ke­pikiran untuk melanjutkan pendidikan. Pa­dahal bukannya kami tak pernah coba meng­impikan untuk menjadi dokter, in­si­nyur, atau bos perusahaan seperti yang su­ka ibu-ibu tonton di sinetron. Selama ini mim­pi itu hanya jadi mimpi. Untuk me­wu­judkannya dibutuhkan cara yang tak se­mua orang mampu menempuhnya. Ka­lau pun mampu, belum tentu mau. Tanpa di­sadari, bahwa pada pundak kamilah ter­sim­pan harapan akan keadaan yang lebih ba­ik bagi semua orang.

Salah satu dari mereka menepuk bahuku, se­akan memberiku dorongan. “Bukannya ng­gak mungkin tho?”

Mereka semua memandangiku. Me­ngu­at­kan sebuah kemauan akan arah baru da­lam hidupku.

Aku mengangguk. Sehabis ini aku pulang ke rumah. Aku harap aku bisa langsung me­nemui orangtuaku. Kuceritakan—aku ber­temu dengan mas dan mbak di kampus Ge­tas, mereka memberikan petuah-petuah dan setitik asa untukku. Akan ku­kem­bang­kan setitik asa menjadi impian yang akan ku­pupuk. Impian itu akan kuiringi dengan u­saha dan doa. Aku ingin seperti mereka, se­kolah setinggi mungkin. Ketika aku pu­lang ke desaku lagi, desa dengan ber­lim­pah kekayaan yang tersembunyi di setiap a­kar, batang, daun yang tumbuh, aku a­kan bisa memberikan masa depan yang le­bih baik untukku, untuk desaku, untuk hu­tan­ku.

Itu­lah impianku saat ini.
***

Salah satu program bakmas PU Getas Gelombang Cinta 2011 adalah membuat mading. Mading ini diserahkan bersamaan pelaksanaan acara pendidikan lingkungan di SMP terdekat (saya tidak ikut ke sana, jadi kurang tahu) pada 21 Februari 2011. Sebagai salah seorang yang dipercaya untuk menyemarakkan mading, maka cerpen ini dibuat dengan bantuan dari Fitri Indah.
 

Kamis, 24 Februari 2011

Perencanaan SDH, ruang IV, 7.10, hari ini

I
deru angin mengeringkan gigi. aku pasti tengah merengut, di tengah gersang nan mengepung. kasar menguning, dihadang seonggok raksasa cadas cokelat. sengaja aku rubuh agar menghadap langsung mozaik warna di mana ku bernaung. tajam menghujam tubuhku, tak mengapa. terlena aku mengharap putihku, kuningku. waktunya bukan sekarang, lirih bisik sanubari. nafas terhela. tak bisa diangkat tumpukan batu di dada. telah kubunuh si juru tuntut. pasak berlumur merah lengket bergulir juga dari tanganku. dia mungkin hidup lagi, tapi beruntung aku, kini dia tidak. kujemba kelegaan meski terasa himpitan. ada yang kunanti, ia tak kan sampai kini. jemari ini terlalu lembam untuk mengguratkan kata-kata berjiwa. lembam... aku tak mau berpikir ada setan. kareka jika aku berpikir lebih jauh, sadarlah aku, kakiku ini mungkin telah salah berpijak, selama ini. jadi dengarlah ratapanku, tuhaaaaaaaaan... aku ingin hilang!

membuncah jadi cercah. cahaya nan menggoda. hidupkan hasrat jadi montir, dunia.

II
uh, jemu, sendu, biru, kelabu, kumau kamu buatku tergugu, membasuh pilu perasuk hatiku, peluruh lugu pengganggu jalanku, pengayuh peluru menuju dambaku, huuu...


Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain