Ruang
Jumat, 29 Juli 2011
In Dieng
:)
Minggu, 03 Juli 2011
Rambut Cakrawala
Selepas SMA, Cakrawala memanjangkan rambutnya. Di tingkat keempat perkuliahannya, panjang rambutnya sudah hampir mencapai pinggang. Ia menjadi satu di antara beberapa mahasiswa berambut gondrong lain. Mereka mudah dikenali dan mengundang penasaran untuk didekati.
Cakrawala kadang menggerai rambutnya atau mengikatnya
begitu saja sehingga menjadi seperti ekor atau bulatan telur di belakang
kepala. Teman berambut gondrongnya yang lain malah mengikat rambutnya di atas
kepala sehingga membuatnya tampak seperti abdi raja dari Era Majapahit.
Rambut Cakrawala bergelombang dan tumbuh dengan lebat.
Para mahasiswi sering memandanginya dengan penuh kekaguman. “Kok rambutnya bisa
lebat gitu? Pakai sampo apa sih?” Cakrawala menggoyang-goyangkan mahkotanya dan
menunjukkan ekspresi sok heran pada para teman perempuannya itu.
Rambut yang menakjubkan itu melekatkan mata mereka
untuk mengamat-amati dari dekat. Meski kemudian mereka temukan ketombe, semut,
kutu, atau bahkan laba-laba mendekam di balik kerimbunan rambut tersebut, tetap
saja menimbulkan perasaan iri kala mengamatinya dari jauh.
Bahkan ibu Cakrawala pun memendam rasa yang sama. Dalam
suasana santai di rumah, kadang ia duduk di belakang putranya. Ia ambil
segenggam rambut megar tersebut, dibelainya, lalu ia ambil segenggam lagi,
segenggam, dan segenggam lagi. Kadang ia menyisirinya. Cakrawala hanya menoleh,
kaget sebentar, lantas melanjutkan lagi aktivitasnya menonton TV atau memainkan
kucing peliharaan mereka.
Dulu ibu Cakrawala juga memiliki rambut berombak tebal
yang membuatnya jadi primadona di kalangan lelaki. Namun harta kebanggaannya
itu kian lama kian menipis. Perjalanan usia menghiasinya dengan semburat putih.
Maka kini ia hanya bisa mengelus-elus milik putranya, sang pewaris, sembari
mengenang masa-masa kenikmatannya dulu.
Dulu ia suka mengepang rambutnya. Juga melumurinya
dengan urang-aring agar tampak berkilau. Cakrawala semakin kaget ketika ibunya
tahu-tahu menumpahkan cairan itu di atas kepalanya. Ia hendak lekas beranjak
namun Ibu memegangi rambutnya disertai omelan agar ia tidak ke mana-mana. Maka
selanjutnya Cakrawala diam saja menunggui ibunya selesai bermain-main dengan
rambutnya. Esok harinya di kampus ia dihujani decak terkesima dari
teman-temannya, baik laki-laki maupun perempuan.
“Bagus kan? Ibuku yang pingin,” begitu saja
penjelasannya ketika teman-temannya itu mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
Lama-lama Cakrawala risih dengan perlakuan ibunya.
Ibunya bahkan melebihkan uang sakunya agar ia bisa memberi perawatan pada
rambutnya di salon. Kelebihan itu malah ia gunakan untuk keperluan lain.
Cakrawala jadi semakin malas pulang ke rumah. “Daripada rambutku
dipegang-pegang terus sama Ibu,” pikirnya.
Jadi Cakrawala pulang ke rumah hanya ketika ia butuh
uang. Kadang ia sekadar menumpang tidur, ganti baju, atau menukar barang. Lalu
ia akan pergi lagi dengan ransel lapangan, jaket, handuk, peralatan mandi,
notes kecil, dan tas selempang kecil. Ia akan menaruh barang-barangnya itu di
kosan teman—siapapun itu, selalu berganti-ganti—dan setelahnya pergi ke manapun
sekehendak hatinya. Handuk dan notes kecil merupakan barang yang wajib ia bawa
dalam tas selempangnya. Ia akan pulang ke rumah lagi ketika uangnya habis,
pakaian yang melekat di badannya butuh dicuci, atau membutuhkan sesuatu yang
harus ia bawa tapi ditaruhnya di rumah. Kadang Ibu melepas kepergiannya sampai
pintu depan. Ia berusaha untuk tidak menangkap pandangan sang ibu yang seakan
meratapi rambutnya yang tiada pernah dapat perawatan khusus. Ia keramas dan
menyisir rambutnya hanya kalau ingat.
Sampai suatu ketika Cakrawala harus praktek lapangan
ke provinsi lain. Cuaca di sana sangat gerah sampai-sampai mandi pun rasanya
percuma. Saat Cakrawala melewati sebuah rumah penduduk, anak-anak di pelataran
ramai-ramai meneriakinya, “Awas ada Sule, prikitiw!”
Teman perempuan yang memboncengnya (sewaktu mereka
harus mengambil data di kantor petugas yang berwenang) sesekali mengeluh, “Cak,
rambutmu masuk-masuk ke mulutku…” Terasa olehnya tangan gadis itu berusaha
membenahi rambutnya agar tidak menggelora ke mana-mana.
Hampir dua minggu telah berlalu. Suatu senja Cakrawala
pergi ke luar komplek tempat mereka menginap bersama seorang teman
laki-lakinya. Tidak ada teman-temannya yang lain mengira kalau mereka menuju ke
suatu tempat yang sebenarnya ingin Cakrawala kunjungi sejak mula mereka di sana.
Cakrawala ingat kalau sebaiknya ia membawa oleh-oleh untuk ibunya. Ia telah
sampai di tempat tujuannya dan duduk di kursi yang disediakan. Pria di
belakangnya berkata, “Wah, ini kayak motong rambut tiga orang!”
“Tapi bayarnya tetep seorang kan, Pak?” Cakrawala
menengadah. Tukang cukur di belakangnya mengukur panjang rambut Cakrawala
dengan jengkalnya. Dapat tiga. Tidak lupa Cakrawala bilang pada pria itu supaya
rambutnya jangan langsung disapu habis.
Dua hari kemudian Cakrawala pulang ke rumahnya dengan
menggendong carrier besar dan kumal. Sang Ibu menyambut putranya yang baru
pulang dari praktek di ujung barat Pulau Jawa itu. Ia sudah tidak sabar melihat
sang putra menggerai rambutnya yang selalu diikat bulat ke belakang.
Setelah menurunkan carrier-nya, Cakrawala mengeluarkan
sebuah bungkusan. “Oleh-oleh, Bu,” katanya. Ibu membuka bungkusan itu seiring Cakrawala
yang membuka ikatan rambutnya hingga mengembang rambut sepanjang bagian bawah
telinga. Ibu terbelalak lantas jatuh lemas.
3 Juli 2011, disadur dari kisah teman
Sabtu, 02 Juli 2011
(akhir kegalauan)
Kemarin
hari ulang tahunnya yang ke separuh abad. Aku sudah mengirimkan ucapan selamat
dan doa ke surelnya. Ia adalah seseorang yang pernah kuanggap sebagai ayahku
sendiri sebagaimana ia sudah menganggapku sebagai anaknya sendiri. Ia adik
kelas orangtuaku waktu SMA.
Pagi
ini aku membuka surel balasan darinya. Bibe
sayang, katanya. Sapaan hangatnya selalu mengukir senyum di wajahku. Aku senang sekali dengan kirimanmu kemarin.
Semoga Tuhan mengabulkan doamu untukku dan untukmu juga.
Cuaca masih terasa panas di sini.
Mungkin kedatangan musim gugur akan bergeser lagi. Namun kehadiran Jas selalu
dapat menyejukkanku. Ia seperti embun yang tahu-tahu menetes ke pucuk hidungmu
di terik siang. Senyumnya adalah kado pertama yang aku dapatkan di hari ulang
tahunku yang ke-50. 50 tahun, Bibe, bayangkan! Kamu tahu aku pernah mengalami
masa di mana sepertinya usia ini tidak akan pernah aku hampiri. Namun Tuhan
memberikanku energi kehidupan melalui bidadari kecilku yang setenang Situ
Patengan.
Bibe sayang,
Ketika aku membuka mata pada hari itu,
aku melihatnya dalam gaun putih berenda. Gaun cantik yang sudah aku belikan
sejak lama namun ia tidak pernah mau memakainya. Kamu tahu aku tidak pernah
bisa memaksanya. Dan kali ini ia mengenakannya atas kesadarannya sendiri! Aku bertanya
padanya sudah berapa lama ia duduk bersimpuh di tepi tempat tidurku. Ia hanya
menjawabku dengan senyumnya. Ia menyentuh lenganku dan memberiku kecupan
selamat pagi yang masih terasa manis hingga sekarang. Dan bahasa dari kalbunya
yang mengingatkanku bahwa aku kian tumbuh. Dia juga, gadis kecilku.
Mataku
meloncat dari paragraf satu ke paragraf lain seiring turunnya halaman. Surel ini
alamak panjangnya! Decak kagum meloncat dari mulutku. Padahal dulu ia tidak
bisa diharapkan menulis apapun sepanjang lebih dari enam kalimat. Untung aku
punya kesempatan untuk memaksanya belajar. Aku terkesan ia mau menurutiku.
Sejak kami tidak lagi tinggal di negara yang sama, ia mengirimiku surel
sesekali. Aku selalu membalas dengan jumlah paragraf yang lebih banyak untuk
memancingnya agar ia menulis lebih banyak di kali berikut. Aku berhasil kali
ini.
Dan,
tahu apa saja isi surelnya? Tidak pernah tidak soal putrinya itu. Pengalamannya
menjadi seorang ayah kandung—akhinya. Tentang mata Jas yang sebening embun.
Tentang rambut megar Jas yang bercahaya selayaknya mentari. Tentang
ketidakmampuan Jas dalam mempelajari sesuatu secara cepat selain piano. Tentang
betapa sensitif dan manjanya Jas. Tentang Jas yang selalu menghentak-hentakkan
jemarinya pada tuts-tuts piano kalau marah. Tentang ketakutan Jas pada dokter
gigi dan salon. Tentang bahasa isyarat Jas yang semakin lama semakin dapat ia pahami.
Tentang setiap harapan, kecemasan, impian, dan kekhawatiran seorang ayah pada
putrinya. Selama bertahun-tahun, tentang Jas yang tidak kunjung bicara.
Aku
masih ingat ketika ia pertama kali bertemu dengan Jas. Seperti kejatuhan
bidadari dari langit saja. Waktu itu Jas masih berusia 10 tahun. Om Yan masih
kuat mengangkatnya tinggi-tinggi. Gadis kecil itu tergelak riang dengan aku dan
bibinya memandang penuh keharuan. Bibinya itulah yang nekat membawa Jas kabur
dari rumah kakek-neneknya untuk menemui sang ayah biologis—yang tidak pernah sebelumnya
memikirkan nasib benih yang telah ia sumbangkan pada bank sperma.
Masih
saja aku dibuat tercenung setiap kali teringat akan hal ini.
Mendiang
ibu Jas sebetulnya tidak ingin ada yang memberitahu Jas kenyataan tentang
ayahnya—entah bagaimana caranya. Maka Om Yan sangat mensyukuri kenekatan Judy.
Kalau saja Judy bukan penggemar berat Om Yan… Hahaha…
Tidak hanya memainkan simfoni
kesukaanku, dia juga berjanji akan menuruti setiap permintaanku khusus pada
hari itu saja.
Jariku
bergeser. Menuntunku pada paragraf-paragraf selanjutnya yang semakin jauh
semakin hanya mampu aku baca sepenggal-sepenggal.
Aku mengganti gaunnya dengan gaun yang
lebih indah dan berwarna pastel sebagaimana warna kesukaan ibuku. Dia juga
tidak boleh merengek ketika aku membawanya ke salon agar rambut keriting
memukaunya itu bisa dibuat mengikal halus seperti rambut ibuku. Aku suruh ia
tersenyum terus, yang lembut, tapi ia malah meringis—kamu harus melihatnya,
Bibe, ia menggemaskan sekali!
Kadang-kadang
jariku berhenti sampai aku ingat untuk menggerakkannya lagi.
Hari itu aku seperti berjalan-jalan
dengan versi muda ibuku. Seseorang yang sangat aku nantikan di masa remajaku.
Aku seolah tidak sadar kalau aku hanya seorang pria tua ringkih.
Di
luar kesadaranku, aku meloncati paragraf-paragraf setelahnya. Sebetulnya ingin
aku tekan tanda silang di pojok kanan atas namun kalah cepat dengan gerakan
mataku yang sudah terlanjur memaku perhatianku pada penghujung surel.
Aku masih membaca ucapan-ucapan selamat
yang masuk seharian itu ketika ia naik ke atas tempat tidurku. Tubuhnya bersandar
nyaman di atas tumpukan bantal. Posisi yang mengingatkanku bahwa sudah tiba
waktuku untuk mendongeng. Saat kudekati dia aku menyadari bahwa putriku telah
berusia 15 tahun. Mendiang ibuku dalam foto itu juga berusia sama. Aku sadari
juga kalau foto itu sudah berpuluh tahun tersimpan dalam dompetku—meski sudah
jutaan kali aku berganti dompet. Aku belum menyingkirkannya.
Sesaat aku berpikir demikian, aku ingat
untuk menunaikan permintaan putriku. Malam itu aku ceritakan ia dongeng tentang
seorang pemuda yang mencintai ibunya sendiri—Sangkuriang. Seperti biasa ia
mendengarkanku dengan penuh minat. Matanya menatapku dalam-dalam. Aku terbius
dan tidak bisa berhenti bercerita. Bahkan wajahnya saat tertidur pun tetap
memesonaku. Ia begitu mirip ibuku.
Ketika mengingatnya dadaku kembali
berdebar kencang. Rasanya seperti de javu. Aku ingat akan malam itu. Malam yang
mengubah hidupku. Malam ketika aku memandangi punggung ibuku dan aku tidak
dapat menahan keinginan itu...
Minimize.
Uh. Dadaku juga jadi ikut berdebar kencang. “Cuman perempuan itu yang paling
dia cinta,” kalimat Tante Ri yang terucap belasan tahun silam mampir lagi dalam
kepalaku. Ada lagi ingatan yang lain. Hari pemakaman ibunya. Hanya ia yang
memberi kecupan terakhir untuk ibunya di bibir. Dan aku ingat pula
penggalan-penggalan percakapan kami. Selalu ada ibunya, ibunya, ibunya… “Dia
selalu mencari sosok yang mirip dengan Ibu,” bahkan saudaranya sendiri pernah
mengatakan demikian padaku. Aku mendesah. Berpikir untuk meneruskan membaca
surel ini atau tidak.
Ah.
Kan nanti aku akan membacanya lagi… Tapi tanganku malah bergerak dan kutekan
tanda itu lagi.
Sejenak aku mengira aku akan melakukan
sesuatu di luar kesadaranku lagi, seperti yang terjadi pada malam aku melihat
punggung Ibu. Aku menunggu dengan perasaan tidak menentu.
Namun yang aku ingat, selanjutnya aku
hanya menyibak rambut yang menutupi dahinya. Kukecup pualam itu dan tidak bisa
lebih dari itu. Tidak ada keinginan sama sekali. Yang ada hanya perasaan kuat
untuk melindunginya selalu, bahkan kalau perlu melindunginya dari diriku
sendiri. Aku tidak ingin ia mengulangi dosa yang ayahnya lakukan dulu. Aku
ingin bisa terus mengawasinya hingga ia semakin dewasa hingga seseorang datang
menjemputnya—seperti apakah pria yang akan mendampinginya kelak?
Aku
menghembuskan nafas lega. Mataku terpejam. Punggungku merosot dari sandaran.
Langit-langit gelap saja kusenyumi. Inikah akhir dari kegundahanmu, Om? Segera
aku membaca kelanjutannya lagi.
Tadi pagi aku mengajaknya jalan-jalan
lagi. Kami berhenti di tengah jembatan. Ia suka mengamati itik-itik, aku sudah
pernah bilang padamu kan? Pada saat itulah aku ingat untuk memberikannya foto
ibuku. Ekspresinya polos sekali saat menyatakan kalau ia tidak ingat pernah
difoto seperti itu. Aku menantinya sampai ia mengamat-amati foto itu lagi dan
menyadari bahwa foto itu kelihatannya seperti foto lama. Ia bertanya, “Siapa
ini?” Aku coba menjawabnya dengan bahasa isyarat juga, “Kemarin malam aku
jalan-jalan ke dalam mimpimu, lalu aku memotretmu.” Balasnya, “Aku enggak ingat
mimpi apapun.” Aku bilang lagi, “Kamu terlihat sangat bahagia dalam mimpi itu
sampai-sampai ketika kamu bangun kamu enggak ingat apapun.”
Aku
tersenyum. Sepertinya doaku terkabul.
26 Juni-2 Juli 2011
Banyak Dibuka
-
“ Du ” (“ You ” dalam bahasa Inggris) adalah lagu yang dibawakan oleh Peter Maffay, seorang musisi Jerman. Lagu ini menjadi hit terbesar d...
-
Gambar dari situs web Pustaka Yayasan Obor Indonesia . Penulis : Bahagia, SP., MSc. Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta ISBN ...
-
Perkenalan dimulai waktu SMA, lewat novel 1984 yang dipinjam dari perpustakaan sekolah. Kondisi buku tersebut sudah tidak begitu bagus. Di ...
-
Penulis : Fachruddin M. Mangunjaya Penerbit : Yayasan Obor Indonesia atas bantuan Bank Dunia ( The World Bank ) dan Conservation Internat...
-
Tersebutlah kisah sepasang suami istri. Sang suami dikenal sebagai seorang suami yang berperasaan. Dia mau membantu istrinya mengerjakan ...
-
Di rumah ada seekor kucing betina. Dia lahir dari seekor kucing betina liar yang kawin dengan salah seekor kucing jantan yang dipelihara d...
-
...sebelumnya ada Makam Kristen, Makam Batak, dan Makam China... Makam Freemason Kami menemukan dua makam dengan simbol Freemason yai...
-
Buku Sejarah dan Sejarawan yang ditulis oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan diterbitkan oleh PN Balai Pustaka ini tebalnya hanya 24 h...
-
Malam pergantian tahun, sudah kutetapkan resolusi. Salah satunya adalah membantu orang lain. Mulai tahun depan tidak akan ada lagi yang bila...
-
Pada 13 – 16 Oktober 2010, saya berkesempatan untuk pulang ke Bandung. Tak sedikit sesuatu menarik yang saya temu dan alami selama di sana....
Pembaruan Blog Lain
-
Tempo Nomor 24/XXXI/12 – 18 Agustus 2002 (Edisi Khusus 100 Tahun Hatta) - ISSN : 0126-4273 Rp 17.500 Mohammad Hatta adalah pahlawan nasional favorit saya karena selain sama-sama kutu buku, ada banyak anekdot… Read more Tempo Nomo...6 hari yang lalu
-
Batasan - Hari ini akan kuterima batas-batasku. Hari ini akan kutetapkan batas-batas dalam kehidupanku. Hanya karena keluargaku hidup dalam kekacauan, bukan berarti ...2 tahun yang lalu
-
Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu - *Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penan...6 tahun yang lalu