Selasa, 12 November 2013

Dipukul Mamanya

—judulnya biar mirip judul novel HAMKA: Dijemput Mamaknya

 

Mama ingin memukulnya. Bibe tahu itu. Dari gerenyot muka Mama. Tangan yang terkepal rapat. Hawa yang naik ke ubun-ubun. Gerahnya Mama memukul-mukul jantung Bibe.

            Bertahun-tahun jadi anak Mama, Bibe insaf bentakan saja tidak cukup untuk membuatnya kapok. Bibe kasihan melihat Mama menahan-nahan begitu. Bibe saja suka tidak bisa menahan-nahan. Bibe suka mengambil selembar-dua dari dompet Mama karena tidak bisa menahan-nahan saat tukang bakso atau gerobak es krim lewat depan rumah. Bibe suka tidak bisa menahan-nahan untuk tidak menggambari dinding dengan matahari karena ingin menghangatkan rumah. Bibe suka tidak bisa menahan-nahan untuk tidak memasukkan anak kucing ke dalam rumah, dan membiarkan kotorannya tercecer-cecer di lantai. Bibe suka tidak bisa menahan-nahan apapun bahkan apabila itu membuat Mama mesti menahan-nahan untuk tidak memukulnya. Jangankan menjewer, mencubit saja Mama tidak!

            “Mama… pukul aja…” cicit Bibe tanpa bermaksud menantang. Malah tubuhnya makin mengkeret karena tatapan Mama. Kedua tangan Bibe berpelukan di depan dada, seakan hendak melindungi satu sama lain dari luapan amarah Mama. Suara Bibe bergetar. Ia siap menangis kalau Mama benar-benar memukulnya. Dari bagaimana Mama membanting-banting barang, Bibe tahu Mama memang ingin memukulnya.

            “Temen-temen aku juga pernah dipukul mamanya, papanya…” Nita pernah dilempar pakai payung. Bayu pernah ditoyor sampai bibirnya membentur laci. Axel pernah didorong sampai terjengkang. Sedang yang bisa Bibe pamerkan hanya, “Tante juga pernah nampar aku…”

            Mata Mama makin membesar. Mama menghentak-hentak langkah ke kamar adiknya.

            “Berani-beraninya kamu nampar anakku, heh?!” Lalu Bibe dengar kulit bertemu kulit dengan kerasnya.

            Bibe tidak berani bersuara lagi, selain patuh saja pada kata-kata Mama. Habisin makanan kamu! Kerjain PR! Sikat gigi! Tidur!

            Bibe terus membolak-balik badan di kasur. Sempat ia terlelap, tapi terjaga lagi. Terpejam lagi sebentar, lalu matanya terbuka lagi. Pada waktu-waktu tersebut ia masih dengar cakap-cakap dari TV. Ia mengintip. Mama masih menonton dalam gelap. Setelah entah berapa kali lagi Bibe terlelap-terjaga, suasana akhirnya sunyi.

            Pintu kamar Mama tertutup. Bibe mengendap-endap ke pintu kamar Tante, yang juga tertutup. Tampak cahaya di bawah pintu. Ia mengetuk pelan. “Tante… Tante…” suaranya tidak kalah pelan. Tidak ada jawaban. Bibe mengambil kertas dan krayon, lalu menulis besar-besar: “TANTE MAAFIN AKU YA.” Ia dorong kertas tersebut hingga melewati celah di bawah pintu.

            Bibe lalu menggambari kertas lain sembari telungkup di depan pintu, dengan penerangan sekadarnya.

            Terdengar gagang ditarik. Pintu terbuka. Bibe mendongak. Tante berdiri sambil memegang kertas bertuliskan: “DIMAAFIN.”

            Keduanya tersenyum.

            Bibe masuk ke kamar tantenya, lalu mereka berbisik-bisik di tempat tidur.

            “Kamu tuh aneh. Malah minta dipukul.”

            “Temen-temen aku pada pernah.”

            “Habis kayaknya Mama pingin pukul aku,” kata Bibe lagi.

            “Kamunya bandel sih. Ayo, tidur aja.” Tante membaringkan tubuhnya sambil tangannya mendorong Bibe agar rebah juga. Tapi Bibe bangun lagi.

            “Tapi kok Mama enggak pernah mukul?”

            “Soalnya dipukul itu sakit.”

            “Iya aku tahu. Aku kan karate.”

            Tante yang sudah memejamkan matanya itu pun tersenyum.

            “Makanya jangan bandel, biar enggak dipukul.”

            “Tapi Mama enggak pernah mukul.”

            “Enggak.”

            “Kenapa?”

            “Enggak mau.”

            “Kenapa enggak mau?”

            “Dipukul itu sakit.”

            “Tante mah jawabnya gitu-gitu aja!”

            “Sakitnya enggak cuman di kulit, Bibe, tapi di dalam juga.”

            “Di dalam apa?”

            “Di hati. Sakit hati.”

            “Enggak ah.”

            “Udah, Bibe, jangan ngarep-ngarepin dipukul Mama.”

            “Enggak kok.”

            Tante diam. Bibe takut Tante tidur betulan.

            “Tapi tadi Mama pingin mukul aku, Tante.”

            “Enggak. Enggak pingin.”

            “Tapi temen aku kalau orangtuanya marah suka mukul, Tante.”

            “Mamanya Bibe enggak.”

            “Kenapa Mama enggak pingin mukul, Tante?”

            “Ah!”

            “Tapi aku yakin Mama pingin mukul aku, Tante. Tante!” Bibe mengguncang-guncang tubuh Tante sampai yang empunya kesal.

            “Ya gitu, Bibe, kalau dulunya sering dipukulin. Udah, sekarang tidur aja.”

            “Dipukulin siapa?”

            “Mamanya.”[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain

  • Animonster Volume 41 Agustus 2002 - Animonster edisi ini memuat banyak hal yang familier buat saya. Pertama, saya menemukan kembali lagu “SHARA RA” (atau “Sha la… Read more Animonster Volume ...
    5 hari yang lalu
  • Keindahan - Aku terbuka pada keindahan di sekelilingku. Biar kelembutan yang menguasai hidupku hari ini. Menepiskan cangkang pelindungku, otot-ototku mengendur dan ber...
    2 tahun yang lalu
  • Sumpah Pemuda - Hari Sumpah Pemuda baru saja berlalu. Masih hangat dalam ingatan, ketika pada 28 Oktober 1928--dalam Kongres Pemuda II--para pemuda yang sebagian berpendid...
    4 tahun yang lalu