Jumat, 06 Desember 2013

Pembacaan Cerpen Koming 2010

(Sebelumnya silakan mampir ke Pembacaan Cerpen Koming 2012)

Alhamdulillah.

Pembacaan Cerpen Koming 2010 telah diselesaikan. Supaya pembacaan tidak begitu saja menguap, marilah mencatat beberapa hal.

Pertama-tama yang kusadari adalah tidak ditemukannya cerpen yang diakhiri dengan orientasi seksual tidak terduga. (Eh, sebetulnya “Jejak Ditam” dari Abdullah Khusairi—Jawa Pos, 6 Juni 2010—nyaris begitu.) Sementara pada tahun 2012 ada beberapa. Apa? Sampai enam biji?

Dan amatilah akhir dari beberapa cerpen ini.

Kemudian aku tak ingat apa-apa lagi. Semuanya begitu gelap. (*)
“Harimau Luka” - Fitriyanti (Republika, 5 September 2010)

Mata Marza sepenuhnya gelap. (*)
“Mata Marza” - Mona Sylviana (Koran Tempo, 10 Januari 2010)

Tak lama, ruangan seketika menjadi gelap. Pekat. Amat pekat. (*)
“Sura dan Perempuan” - Handoko F Zainsam (Republika, 17 Januari 2010)

Untungnya cuman tiga. Mungkin lama-lama aku bisa menyusun antologi cerpen dengan judul Semuanya Berakhir Gelapliterally. Juga antologi dengan protagonis pelacur.

Sebagai penulis yang masih belajar, pembaca yang minim konsentrasi, dan pribadi yang jenuh dengan melankolia, aku masih cenderung pada cerpen-cerpen yang dalam sekali baca mudah dimengerti (olehku), menyentuh(ku), dan asyik lagi kalau menggelitik(ku). Hingga pertengahan pembacaan, saking sedikit temuan yang kuanggap benar-benar lucu, aku mulai melihat cerpen-cerpen ini secara lebih serius. Aku mulai menyadari aspek lain yang tidak kalah penting dari "lucu", yakni "konflik" dan "pesan".

Dengan demikian, setelah 220 cerpen dari 148 penulis, 79 halaman catatan pembacaan, dan 1 file Notepad berisi hitung-hitungan (4,1% dari total cerpen adalah terjemahan, Benny Arnas paling sering muncul, dan lain-lain), cerpen-cerpen favoritku adalah sebagai berikut.

Eh. Spoiler loh.

 "Babi" - Romi Zarman (Koran Tempo, 17 Oktober 2010)
Singkat. Aneh. Jadi ceritanya ada orang interogasi tersangka kok capek. Akhirnya malah ia yang diinterogasi si tersangka, pake diceritakan tentang tradisi berburu babi segala. Dan ternyata yang ia maki babi memang kayak babi. Kocak!

"Henning Dorg" - Yusak Lie (Jawa Pos, 17 Oktober 2010)
Aku suka dengan kata ganti “saya”. Penulisan cerita ini lancar sekali, jelas, nyaris tanpa dialog dengan paragraf-paragraf cukup panjang. Mengingatkan sama “Jack dan Bidadari”-nya Linda Christanty. Dan entah akhirannya saya mesti ketawa atau getir. Dia yang tadinya mau balas dendam sama ayahnya malah kena getahnya.

"Imam Tarawih" - Ami Sofia (Republika, 15 Agustus 2010)
Konfliknya menarik juga, mulanya tentang penunjukkan imam tarawih, yang pada tahun itu diserahkan pada yang muda. Yang muda ini di-backing sama yang bikin segan. Sudah terpilih masih juga timbul kontra. Dan yang bikin lucu itu akhirannya. Salat dipercepat tapi seolah-olah ekstrim.

"Kubah Miring" - Musyafak Timur Banua (Republika, 29 Agustus 2010)
Nasib Fulan sedih sekali dan aku bertanya-tanya kenapa gerangan cerpen koran doyan mengangkat nasib orang kecil yang sedih-sedih? Aku ingin orang walau nasibnya buruk tapi tetap bahagia, tapi bukan gila. Dan ini konfliknya, semoga aku enggak kelewat polos, bagus sekali. Ketika kepentingan dunia dikalahkan oleh kepentingan agama, tapi kepentingan yang kayak mana?

"Merdeka" - Putu Wijaya (Jawa Pos, 29 Agustus 2010)
Lucu! Awalnya memang terkesan serius sih, seperti menggambarkan alam batin seseorang, tapi setelah situasi berangsur menjadi realis, dalam situasi keluarga seperti cerpen-cerpen Eyang Putu lainnya, mulai muncul kalimat-kalimat layak kutip dan semakin ke akhir semakin aku tergeli-geli.

"Miss Konseli" - Ida Ahdiah (Jawa Pos, 2 Mei 2010)
Keren juga sih. Narasinya rapi, terasa lembut, enggak ribet, tenang bacanya. Awalnya aku kurang bisa simpati karena yang diceritakan kehidupan kalangan atas. Tapi ending-nya yang enggak terduga bikin aku mesem-mesem. Aku juga penasaran gimana perasaan anak yang orangtuanya korupsi. Inilah masalah kalangan atas itu. Ha!

"Perihal Orang Miskin yang Bahagia" - Agus Noor (Jawa Pos, 31 Januari 2010)
Suka! Dari judulnya saja sudah memancing. Pas dibaca, seperti inilah konsep cerita yang belakangan kupikirkan. Maksudnya, nasib buruk jangan melulu dibawa pilu, coba dibuat ringan. Dan cerpen ini sangat sesuai dengan maksud tersebut. Cuman ada komen negatif yang bikin heran, menganggap ini cerpen asal-asalan. Sinis banget.

Maaf kusela. Penting disadari kalau komentar-komentar yang menyertai cerpen juga menarik untuk dibaca. Malah kadang komentar-komentar itu justru lebih seru dari cerpen itu sendiri. Kadang aku rada kecewa ketika mendapati cerpen tanpa komentar. Sering kali begitu. Padahal bukannya apresiasi itu penting? Bukannya kesusastraan dihidupkan tidak hanya oleh maraknya penulis tapi juga ramainya apresiasi pembaca yang bukan sekadar “mantabs”, “keren”, “ga mudeng aku”? (Wahwahwah… berat nih…) Komentar membuat kita mengerti bagaimana cerpen dinilai dan ditanggapi secara berbeda oleh macam-macam pembaca. Kitapun mafhum kalau menjadi penulis berarti siap dipuji, siap dicela, dan siap pula diabaikan.

Oke. Cukup melanturnya. Lanjut.

Pohon Jejawi" - Budi Darma (Kompas, 26 Desember 2010)
Judulnya aja pohon jejawi. Tapi itu pohon munculnya cuman separo. Selebihnya kekonyolan walikota Surabaya yang orang Belanda Henky von Kopperlyk yang puncaknya bikin aku tergeli-geli di akhir cerita. Ini cerpen berlatar sejarah yang berhasil enggak bikin aku bingung! 

"Solilokui Bunga Kemboja" - Cicilia Oday (Kompas, 20 Juni 2010)
Cerita yang manis. Aku bisa memahami inferioritas bunga kemboja yang hanyalah… bunga kemboja, bunganya orang mati. Patah hati. Dan dibunuh oleh pujaan hatinya sendiri. Aku kira ini bisa menjadi semacam metafor…

"Subuh Mak'ke" - Ida Ahdiah (Republika, 24 Januari 2010)
Konyol. Ini mungkin nyindir para laki-laki yang enggak doyan meramaikan musala. Rada-rada mirip sama cerpen “Suara Azan” itu sih, cuman karakter si Mak’ke ini lebih gimana ya, berdimensi gitu (halah kek ngerti aja artinya). Ketidaktahuan orang dalam beragama. Yang penting ambil prinsipnya.

Sebetulnya banyak cerpen lainnya yang juga bagus. Memberi wawasan dan pelajaran kehidupan. Beberapa cerpen terlalu bagus hingga kupikir, "Ah, bukan untukku." Banyak juga yang tidak langsung bisa ditangkap. Barangkali ketika aku sudah menjadi penulis yang terlatih, pembaca yang jeli, dan pribadi yang humoris, aku bakal merambah cerpen-cerpen yang bagus dalam kriteria lain itu maupun yang menyusahkan.

Beberapa penulis yang namanya ingin kusapu pakai Stabilo: AS Laksana (Aku sudah terpikat sejak "Bidadari yang Mengembara". Dan menyadari Murjangkung sebagai kumpulan cerpen humor.); Ida Ahdiah (Pertama kali aku menemukannya pada tahun 2010 ini. Ada tiga cerpen. Hampir semua bertutur lembut dengan akhir yang... wew.); Putu Wijaya (Latar cerpennya itu-itu saja. Keluarga Pak Amat dan lingkungan di sekitarnya. Lebih seperti sketsa. Tapi merefleksikan (halah) karakter manusia yang multidimensi dan sulit memastikan mana yang benar mana yang salah. Menggelitik!); Yusi Avianto Pareanom (Sepertinya satu perguruan dengan AS Laksana).

Demikianlah. Pembacaan Cerpen Koming 2011 pun menanti…


NB. Semua cerpen di atas bisa ditelusuri di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...