Alhamdulillah.
Pembacaan Cerpen Koming 2010 telah diselesaikan. Supaya pembacaan tidak begitu
saja menguap,
marilah mencatat beberapa hal.
Pertama-tama yang kusadari adalah tidak ditemukannya cerpen yang diakhiri dengan orientasi seksual tidak terduga. (Eh, sebetulnya “Jejak Ditam” dari Abdullah
Khusairi—Jawa Pos, 6 Juni 2010—nyaris
begitu.) Sementara
pada tahun 2012 ada beberapa. Apa? Sampai enam biji?
Dan amatilah akhir dari beberapa cerpen
ini.
Kemudian aku tak ingat apa-apa lagi.
Semuanya begitu gelap. (*)
“Harimau Luka” - Fitriyanti
(Republika, 5 September 2010)
Mata Marza sepenuhnya gelap. (*)
“Mata Marza” - Mona Sylviana (Koran Tempo, 10 Januari 2010)
Tak lama, ruangan seketika menjadi
gelap. Pekat. Amat pekat. (*)
“Sura dan Perempuan” - Handoko F Zainsam (Republika, 17 Januari 2010)
Untungnya cuman tiga. Mungkin lama-lama
aku bisa menyusun antologi cerpen dengan judul Semuanya Berakhir Gelap—literally.
Juga antologi dengan protagonis pelacur.
Sebagai
penulis yang masih belajar, pembaca yang minim konsentrasi, dan pribadi yang
jenuh dengan melankolia, aku masih cenderung pada cerpen-cerpen yang dalam
sekali baca mudah dimengerti (olehku), menyentuh(ku), dan asyik lagi kalau
menggelitik(ku). Hingga pertengahan pembacaan, saking sedikit temuan yang
kuanggap benar-benar lucu, aku mulai melihat cerpen-cerpen ini secara lebih
serius. Aku mulai menyadari aspek lain yang tidak kalah penting dari
"lucu", yakni "konflik" dan "pesan".
Dengan demikian,
setelah 220 cerpen dari 148 penulis, 79
halaman catatan pembacaan, dan 1 file Notepad berisi hitung-hitungan
(4,1% dari total cerpen adalah terjemahan, Benny Arnas paling sering muncul,
dan lain-lain), cerpen-cerpen favoritku adalah sebagai berikut.
Eh. Spoiler
loh.
"Babi" - Romi Zarman (Koran Tempo, 17 Oktober 2010)
Singkat. Aneh. Jadi ceritanya ada orang
interogasi tersangka kok capek. Akhirnya malah ia yang diinterogasi si
tersangka, pake diceritakan tentang tradisi berburu babi segala. Dan ternyata
yang ia maki babi memang kayak babi. Kocak!
"Henning Dorg" - Yusak
Lie (Jawa Pos, 17 Oktober 2010)
Aku suka dengan kata ganti “saya”.
Penulisan cerita ini lancar sekali, jelas, nyaris tanpa dialog dengan
paragraf-paragraf cukup panjang. Mengingatkan sama “Jack dan Bidadari”-nya
Linda Christanty. Dan entah akhirannya saya mesti ketawa atau getir. Dia yang
tadinya mau balas dendam sama ayahnya malah kena getahnya.
"Imam Tarawih" - Ami
Sofia (Republika, 15 Agustus 2010)
Konfliknya menarik juga, mulanya tentang
penunjukkan imam tarawih, yang pada tahun itu diserahkan pada yang muda. Yang
muda ini di-backing sama yang bikin segan. Sudah terpilih masih
juga timbul kontra. Dan yang bikin lucu itu akhirannya. Salat dipercepat tapi
seolah-olah ekstrim.
"Kubah
Miring" - Musyafak Timur Banua (Republika,
29 Agustus 2010)
Nasib Fulan sedih sekali dan aku
bertanya-tanya kenapa gerangan cerpen koran doyan mengangkat nasib orang kecil
yang sedih-sedih? Aku ingin orang walau nasibnya buruk tapi tetap bahagia, tapi
bukan gila. Dan ini konfliknya, semoga aku enggak kelewat polos, bagus sekali.
Ketika kepentingan dunia dikalahkan oleh kepentingan agama, tapi kepentingan
yang kayak mana?
"Merdeka" - Putu Wijaya (Jawa Pos, 29 Agustus 2010)
Lucu! Awalnya memang terkesan serius
sih, seperti menggambarkan alam batin seseorang, tapi setelah situasi berangsur
menjadi realis, dalam situasi keluarga seperti cerpen-cerpen Eyang Putu
lainnya, mulai muncul kalimat-kalimat layak kutip dan semakin ke akhir semakin
aku tergeli-geli.
"Miss Konseli" - Ida
Ahdiah (Jawa Pos, 2 Mei 2010)
Keren juga sih. Narasinya rapi, terasa
lembut, enggak ribet, tenang bacanya. Awalnya aku kurang bisa simpati karena
yang diceritakan kehidupan kalangan atas. Tapi ending-nya yang
enggak terduga bikin aku mesem-mesem. Aku juga penasaran gimana perasaan anak
yang orangtuanya korupsi. Inilah masalah kalangan atas itu. Ha!
"Perihal
Orang Miskin yang Bahagia" - Agus Noor (Jawa Pos, 31 Januari 2010)
Suka! Dari judulnya saja sudah
memancing. Pas dibaca, seperti inilah konsep cerita yang belakangan kupikirkan.
Maksudnya, nasib buruk jangan melulu dibawa pilu, coba dibuat ringan. Dan
cerpen ini sangat sesuai dengan maksud tersebut. Cuman ada komen negatif yang
bikin heran, menganggap ini cerpen asal-asalan. Sinis banget.
Maaf kusela. Penting disadari kalau
komentar-komentar yang menyertai cerpen juga menarik untuk dibaca. Malah kadang
komentar-komentar itu justru lebih seru dari cerpen itu sendiri. Kadang aku rada
kecewa ketika mendapati cerpen tanpa komentar. Sering kali begitu. Padahal
bukannya apresiasi itu penting? Bukannya kesusastraan dihidupkan tidak hanya
oleh maraknya penulis tapi juga ramainya apresiasi pembaca yang bukan sekadar
“mantabs”, “keren”, “ga mudeng aku”? (Wahwahwah… berat nih…) Komentar membuat
kita mengerti bagaimana cerpen dinilai dan ditanggapi secara berbeda oleh
macam-macam pembaca. Kitapun mafhum kalau menjadi penulis berarti siap dipuji,
siap dicela, dan siap pula diabaikan.
Oke. Cukup melanturnya. Lanjut.
“Pohon Jejawi" - Budi
Darma (Kompas, 26 Desember 2010)
Judulnya aja pohon jejawi. Tapi itu
pohon munculnya cuman separo. Selebihnya kekonyolan walikota Surabaya yang
orang Belanda Henky von Kopperlyk yang puncaknya bikin aku tergeli-geli di
akhir cerita. Ini cerpen berlatar sejarah yang berhasil enggak bikin aku
bingung!
"Solilokui
Bunga Kemboja" - Cicilia Oday (Kompas,
20 Juni 2010)
Cerita yang manis. Aku bisa memahami
inferioritas bunga kemboja yang hanyalah… bunga kemboja, bunganya orang mati.
Patah hati. Dan dibunuh oleh pujaan hatinya sendiri. Aku kira ini bisa menjadi
semacam metafor…
"Subuh Mak'ke" - Ida
Ahdiah (Republika, 24 Januari 2010)
Konyol. Ini mungkin nyindir para
laki-laki yang enggak doyan meramaikan musala. Rada-rada mirip sama cerpen
“Suara Azan” itu sih, cuman karakter si Mak’ke ini lebih gimana ya, berdimensi
gitu (halah kek ngerti aja artinya). Ketidaktahuan orang dalam beragama. Yang
penting ambil prinsipnya.
Sebetulnya
banyak cerpen lainnya yang juga bagus. Memberi wawasan dan pelajaran kehidupan.
Beberapa cerpen terlalu bagus hingga kupikir, "Ah, bukan untukku."
Banyak juga yang tidak langsung bisa ditangkap. Barangkali ketika aku sudah
menjadi penulis yang terlatih, pembaca yang jeli, dan pribadi yang humoris, aku
bakal merambah cerpen-cerpen yang bagus dalam kriteria lain itu maupun yang
menyusahkan.
Beberapa
penulis yang namanya ingin kusapu pakai Stabilo: AS Laksana (Aku sudah terpikat sejak
"Bidadari yang Mengembara". Dan menyadari Murjangkung sebagai kumpulan cerpen humor.); Ida Ahdiah (Pertama kali
aku menemukannya pada tahun 2010 ini. Ada tiga cerpen. Hampir semua bertutur
lembut dengan akhir yang... wew.); Putu Wijaya (Latar cerpennya itu-itu saja. Keluarga Pak Amat dan
lingkungan di sekitarnya. Lebih seperti sketsa. Tapi merefleksikan (halah) karakter manusia yang multidimensi dan
sulit memastikan mana yang benar mana yang salah. Menggelitik!); Yusi Avianto Pareanom
(Sepertinya satu perguruan dengan AS Laksana).
Demikianlah. Pembacaan Cerpen Koming 2011 pun menanti…
NB. Semua cerpen di atas bisa ditelusuri di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar