Sewaktu masih hidup di dunia, aku berjanji akan menulis cerpen pada
seseorang, tapi aku tidak menunaikannya. Amalan baik dan amalan burukku selama
hidup di dunia nyaris seimbang jumlahnya. Hanya utang itu yang mengganjalku
untuk dapat memasuki Surga secara langsung. Pengadilan Akhirat memutuskan untuk
memberiku kesempatan memenuhi janjiku itu. Aku dimasukkan ke sebuah ruangan
yang berisikan meja, kursi, setumpuk kertas, dan beberapa batang pensil yang
telah diserut.
Waktu sudah tidak berlaku di alam ini, namun karena statusku yang masih
menanggung beban dunia, mereka mengondisikanku seolah-olah aku masih terikat
oleh waktu dunia. Mereka memberiku “delapan jam” untuk menulis sesuatu,
setelahnya aku akan diseret keluar untuk bekerja-paksa selama “enam belas jam”
di Tambang Akhirat—menggali bahan bakar untuk Neraka di gua-gua yang amat dalam
dan super pengap tanpa alas kaki dan standar K3. Tidak ada istirahat sama
sekali selama “waktu-waktu” tersebut. Konsep “istirahat” juga hanya berlaku di
dunia. (Untungnya selama di dunia aku menjadi pengangguran sehingga aku telah
puas merasakan tidur.) Lalu aku akan dimasukkan lagi ke Ruangan selama “delapan
jam” (yang terasa bagai “delapan menit”), dan dikeluarkan lagi ke Tambang
selama “enam belas jam” (yang terasa bagai “enam belas tahun”), dan begitu
seterusnya sampai “seminggu lebih”, sampai-sampai aku dan Malaikat Penjaga
Pintu Ruangan dapat menjalin interaksi yang lumayan akrab.
“Susah amat sih nulis,” tegurnya saat aku hendak dikembalikan ke Ruangan.
Malaikat-malaikat Petugas Tambang tengah melepaskan belenggu di kedua tangan
dan kedua kakiku—wajib terpasang selama berada di Tambang.
“Iya nih, udah lama banget enggak nyoba nulis, soalnya,” kataku. Lalu aku
didorong dengan kasar. Pintu di belakangku pun tertutup rapat-rapat.
Selanjutnya, aku hanya bengong selama “delapan jam” ke depan. Selain
berbagai perlengkapan menulisku, ruangan ini benar-benar sekosong rongga
kepalaku, dan tumpukan kertas di hadapanku. Sama sekali tidak disediakan
bacaan, padahal aku membutuhkannya barangkali daripadanya akan tebersit suatu
ide di benakku… atau jangan-jangan sebenarnya aku memang sudah berada di
Neraka? Ironisnya, ruangan ini secara keseluruhan berwarna putih (kecuali
batang hitam dalam selusin pensil yang disediakan untukku menulis, tentunya).
Bahkan, tidak tampak garis sama sekali—selain yang membentuk pintu—sebagai
tanda bertemunya sisi-sisi dinding. Maksudku, ruangan ini sepertinya tidak
berdinding. Aku pernah mencoba berjalan ke satu arah sambil meraba-raba ke
depan mana tahu akan menabrak semacam bidang yang sekiranya dinding, tapi aku
menghentikannya sebelum meja tempatku seharusnya menulis makin tidak tampak,
dan aku akan makin tersesat dalam “ruangan” tanpa batas ini. Aku kembali ke
meja, dan menatap garis pintu. Aku berjalan menuju pintu tersebut, berharap
bisa membukanya dengan cara apapun, tapi entah bagaimana langkahku tidak
kunjung sampai. Pintu itu sepertinya menjauh sementara aku mendekat. Aku
berlarian ke berbagai arah lainnya, lalu kembali sebelum aku kehilangan
penampakan meja dan perlengkapan menulisku lainnya, yang kuanggap sebagai
satu-satunya realitas dalam ruangan ini, pusat ruangan ini.
Kondisi yang kemudian berlangsung selama “berminggu-minggu” ini membuatku
frustrasi lebih daripada yang kadang kurasakan sewaktu masih hidup di dunia.
Sewaktu masih hidup di dunia, aku bisa terjun ke kasur dan tertidur dan
terbangun dalam keadaan mental yang sudah tenteram. Tapi di sini, di samping
tidak ada kasur, aku tidak merasakan adanya kantuk sama sekali. Sering aku
memejamkan mata, membenamkan kepalaku dalam lipatan lengan di atas meja. Tapi
bukannya kantuk yang datang, malah kegelisahan makin membayang-bayang. Kadang
aku merebahkan diri di lantai—yang tak bergaris dan tak berujung pula, tentu saja—memposisikannya
serileks mungkin, mencoba untuk terlelap. Tapi betapapun letihnya aku tiap
habis bekerja-paksa di Tambang, lalu mencoba untuk “istirahat” di Ruangan,
kantuk tetap tak tergapai. Kegelisahan terus mendera. Sampai kapan aku
dibiarkan berada di ruangan ini? Apakah sebentar lagi “waktu” ku akan habis?
Bagaimana kalau aku tidak sempat menyelesaikan satu cerpen pun? Semengerikan
apakah Neraka sementara Tambang tempat bahan bakarnya saja sudah melepuhkan
kulitku begitu memasukinya?
Sewaktu dibelenggu untuk dibawa ke Tambang kembali, dengan takut-takut aku
bertanya pada malaikat yang menjagaku apakah aku boleh meminta bacaan. Tak
kusangka permintaan itu membuatku dipanggil ke Mahkamah; ke hadapan sederet
malaikat berwajah garang yang duduk di balik meja setinggi gedung.
“Wahai Manusia yang Lalai, untuk apa kau meminta bacaan, sementara semasa
hidup di dunia kau selalu dikelilingi bacaan tapi tak pernah memanfaatkannya
menjadi bahan tulisan?”
“Wahai Malaikat yang Mulia, tolonglah, beri hamba kesempatan lagi,”
tangisku.
Lalu aku dikembalikan ke Ruangan beserta setumpuk buku. Begitu pintu
tertutup, barulah aku dapat memerhatikan buku-buku tersebut. Beberapa berupa
novel remaja yang alurnya sangat biasa, penokohannya begitu payah, sedang
editingnya keterlaluan kacaunya. Sisanya berupa buku-buku sejarah tanpa daftar
pustaka, yang membuatnya tidak dapat dipercaya. Bagaimana bisa aku membacanya
tanpa merasa tersiksa? Jika Neraka ternyata berupa perpustakaan yang semua
koleksinya terdiri dari buku-buku semacam itu, aku benar-benar menyesali segala
amalan burukku di dunia.
Begitu “jam” menulisku sudah habis dan aku dibelenggu kembali, aku meminta
buku-buku itu disingkirkan. Dengan sangat berhati-hati, aku memanfaatkan
kesempatan yang sangat sebentar itu untuk menyelipkan pesan yang sangat memelas
pada Malaikat Penjaga Pintu, yang intinya adalah: “Tolong selundupkan buku-buku
Dickens, Camus, atau siapa saja yang semacam itu. Fernando Sorrentino boleh
juga.”
Di Tambang, ketakutanku menjadi-jadi akibat terpikir kemungkinan
kalau-kalau pesan itu malah akan membuatku kehilangan kesempatan untuk memenuhi
utang dan segera dijerumuskan ke Neraka. Sambil menahan tangis yang walaupun
menetes tidak mengapa karena akan menguap seketika, dalam batin aku mencoba
untuk membujuk diriku agar mencoba menulis apapun biarpun hasilnya lebih buruk
daripada Neraka, sekembalinya ke Ruangan nanti. Biarlah jeleknya tulisan itu
akan menyakiti mata, hati, dan pikiran siapapun yang membacanya, peduli amat,
yang penting aku selamat dan terbebas dari segala derita ini.
Sewaktu hendak kembali ke Ruangan, Malaikat Penjaga Pintu ganti
menyelipkan pesan untukku. Ia tidak bisa membawakanku buku-buku bermutu karena
tidak memiliki akses bebas ke Surga, tapi ia bisa membawaku menemui orang yang
kuutangi dan memintanya untuk mengikhlaskan tanggunganku. Maka “keesokan
harinya”, ia bertukar posisi dengan Malaikat Petugas Tambang yang ternyata
sahabat baiknya. Di perjalanan aku bertanya padanya apakah orang yang kuutangi
itu berada di Surga. Malaikat Penjaga Pintu menjawab, “Tidak.”
“Kalau begitu, mengikhlaskan utangku akan memberinya amal baik dan
membuatnya dipertimbangkan untuk memasuki Surga,” kataku sok tahu, sebab
katanya untuk menjadi penulis itu kadang diperlukan sikap sok tahu.
“Enggak tahu, ya,” kata Malaikat Penjaga Pintu.
Rupanya ia membawaku ke Tambang, ke sisi yang bukan wilayah garapanku dan
tak pernah terjamah olehku sebelumnya. Aku agak terkejut karena, berdasarkan
keterangan dari Malaikat Penjaga Pintu, para pekerja Tambang adalah orang-orang
yang utangnya di dunia belum terpenuhi—setidaknya di Tambang area ini. Aku pun
dipertemukan dengan orang yang kuutangi itu. Ia sedang mencangkuli batu
membara. (Beda dengan “batu bara” di dunia yang berupa bongkahan hitam sisa
fosil, batu membara adalah bongkahan merah yang panasnya sanggup mematangkan
sate dalam sekejap.) Karena rasa heranku, yang pertama-tama kukatakan bukanlah
permintaan agar ia mengikhlaskan utangku, melainkan, “Utang apa yang menjebakmu
di sini, Kawan?”
“Aku sesumbar pada orang-orang kalau aku akan membuat novel,” katanya.
“Mereka mengurungmu juga di Ruangan supaya menulis?”
“Begitulah! Sudah “berminggu-minggu” ini aku tidak kunjung bisa
menyelesaikannya, keparat!” Ia membanting cangkulnya kuat-kuat.
Malaikat Penjaga Pintu mengangkat bahu.[]
21072014
–
kayaknya gegara nerjemahin cerita-cerita Fernando Sorrentino pas Ramadhan