Senin, 21 Juli 2014

Utang

Sewaktu masih hidup di dunia, aku berjanji akan menulis cerpen pada seseorang, tapi aku tidak menunaikannya. Amalan baik dan amalan burukku selama hidup di dunia nyaris seimbang jumlahnya. Hanya utang itu yang mengganjalku untuk dapat memasuki Surga secara langsung. Pengadilan Akhirat memutuskan untuk memberiku kesempatan memenuhi janjiku itu. Aku dimasukkan ke sebuah ruangan yang berisikan meja, kursi, setumpuk kertas, dan beberapa batang pensil yang telah diserut.

Waktu sudah tidak berlaku di alam ini, namun karena statusku yang masih menanggung beban dunia, mereka mengondisikanku seolah-olah aku masih terikat oleh waktu dunia. Mereka memberiku “delapan jam” untuk menulis sesuatu, setelahnya aku akan diseret keluar untuk bekerja-paksa selama “enam belas jam” di Tambang Akhirat—menggali bahan bakar untuk Neraka di gua-gua yang amat dalam dan super pengap tanpa alas kaki dan standar K3. Tidak ada istirahat sama sekali selama “waktu-waktu” tersebut. Konsep “istirahat” juga hanya berlaku di dunia. (Untungnya selama di dunia aku menjadi pengangguran sehingga aku telah puas merasakan tidur.) Lalu aku akan dimasukkan lagi ke Ruangan selama “delapan jam” (yang terasa bagai “delapan menit”), dan dikeluarkan lagi ke Tambang selama “enam belas jam” (yang terasa bagai “enam belas tahun”), dan begitu seterusnya sampai “seminggu lebih”, sampai-sampai aku dan Malaikat Penjaga Pintu Ruangan dapat menjalin interaksi yang lumayan akrab.

“Susah amat sih nulis,” tegurnya saat aku hendak dikembalikan ke Ruangan. Malaikat-malaikat Petugas Tambang tengah melepaskan belenggu di kedua tangan dan kedua kakiku—wajib terpasang selama berada di Tambang.

“Iya nih, udah lama banget enggak nyoba nulis, soalnya,” kataku. Lalu aku didorong dengan kasar. Pintu di belakangku pun tertutup rapat-rapat.

Selanjutnya, aku hanya bengong selama “delapan jam” ke depan. Selain berbagai perlengkapan menulisku, ruangan ini benar-benar sekosong rongga kepalaku, dan tumpukan kertas di hadapanku. Sama sekali tidak disediakan bacaan, padahal aku membutuhkannya barangkali daripadanya akan tebersit suatu ide di benakku… atau jangan-jangan sebenarnya aku memang sudah berada di Neraka? Ironisnya, ruangan ini secara keseluruhan berwarna putih (kecuali batang hitam dalam selusin pensil yang disediakan untukku menulis, tentunya).

Bahkan, tidak tampak garis sama sekali—selain yang membentuk pintu—sebagai tanda bertemunya sisi-sisi dinding. Maksudku, ruangan ini sepertinya tidak berdinding. Aku pernah mencoba berjalan ke satu arah sambil meraba-raba ke depan mana tahu akan menabrak semacam bidang yang sekiranya dinding, tapi aku menghentikannya sebelum meja tempatku seharusnya menulis makin tidak tampak, dan aku akan makin tersesat dalam “ruangan” tanpa batas ini. Aku kembali ke meja, dan menatap garis pintu. Aku berjalan menuju pintu tersebut, berharap bisa membukanya dengan cara apapun, tapi entah bagaimana langkahku tidak kunjung sampai. Pintu itu sepertinya menjauh sementara aku mendekat. Aku berlarian ke berbagai arah lainnya, lalu kembali sebelum aku kehilangan penampakan meja dan perlengkapan menulisku lainnya, yang kuanggap sebagai satu-satunya realitas dalam ruangan ini, pusat ruangan ini. 

Kondisi yang kemudian berlangsung selama “berminggu-minggu” ini membuatku frustrasi lebih daripada yang kadang kurasakan sewaktu masih hidup di dunia. Sewaktu masih hidup di dunia, aku bisa terjun ke kasur dan tertidur dan terbangun dalam keadaan mental yang sudah tenteram. Tapi di sini, di samping tidak ada kasur, aku tidak merasakan adanya kantuk sama sekali. Sering aku memejamkan mata, membenamkan kepalaku dalam lipatan lengan di atas meja. Tapi bukannya kantuk yang datang, malah kegelisahan makin membayang-bayang. Kadang aku merebahkan diri di lantai—yang tak bergaris dan tak berujung pula, tentu saja—memposisikannya serileks mungkin, mencoba untuk terlelap. Tapi betapapun letihnya aku tiap habis bekerja-paksa di Tambang, lalu mencoba untuk “istirahat” di Ruangan, kantuk tetap tak tergapai. Kegelisahan terus mendera. Sampai kapan aku dibiarkan berada di ruangan ini? Apakah sebentar lagi “waktu” ku akan habis? Bagaimana kalau aku tidak sempat menyelesaikan satu cerpen pun? Semengerikan apakah Neraka sementara Tambang tempat bahan bakarnya saja sudah melepuhkan kulitku begitu memasukinya? 

Sewaktu dibelenggu untuk dibawa ke Tambang kembali, dengan takut-takut aku bertanya pada malaikat yang menjagaku apakah aku boleh meminta bacaan. Tak kusangka permintaan itu membuatku dipanggil ke Mahkamah; ke hadapan sederet malaikat berwajah garang yang duduk di balik meja setinggi gedung.

“Wahai Manusia yang Lalai, untuk apa kau meminta bacaan, sementara semasa hidup di dunia kau selalu dikelilingi bacaan tapi tak pernah memanfaatkannya menjadi bahan tulisan?”

“Wahai Malaikat yang Mulia, tolonglah, beri hamba kesempatan lagi,” tangisku.

Lalu aku dikembalikan ke Ruangan beserta setumpuk buku. Begitu pintu tertutup, barulah aku dapat memerhatikan buku-buku tersebut. Beberapa berupa novel remaja yang alurnya sangat biasa, penokohannya begitu payah, sedang editingnya keterlaluan kacaunya. Sisanya berupa buku-buku sejarah tanpa daftar pustaka, yang membuatnya tidak dapat dipercaya. Bagaimana bisa aku membacanya tanpa merasa tersiksa? Jika Neraka ternyata berupa perpustakaan yang semua koleksinya terdiri dari buku-buku semacam itu, aku benar-benar menyesali segala amalan burukku di dunia.

Begitu “jam” menulisku sudah habis dan aku dibelenggu kembali, aku meminta buku-buku itu disingkirkan. Dengan sangat berhati-hati, aku memanfaatkan kesempatan yang sangat sebentar itu untuk menyelipkan pesan yang sangat memelas pada Malaikat Penjaga Pintu, yang intinya adalah: “Tolong selundupkan buku-buku Dickens, Camus, atau siapa saja yang semacam itu. Fernando Sorrentino boleh juga.”

Di Tambang, ketakutanku menjadi-jadi akibat terpikir kemungkinan kalau-kalau pesan itu malah akan membuatku kehilangan kesempatan untuk memenuhi utang dan segera dijerumuskan ke Neraka. Sambil menahan tangis yang walaupun menetes tidak mengapa karena akan menguap seketika, dalam batin aku mencoba untuk membujuk diriku agar mencoba menulis apapun biarpun hasilnya lebih buruk daripada Neraka, sekembalinya ke Ruangan nanti. Biarlah jeleknya tulisan itu akan menyakiti mata, hati, dan pikiran siapapun yang membacanya, peduli amat, yang penting aku selamat dan terbebas dari segala derita ini.

Sewaktu hendak kembali ke Ruangan, Malaikat Penjaga Pintu ganti menyelipkan pesan untukku. Ia tidak bisa membawakanku buku-buku bermutu karena tidak memiliki akses bebas ke Surga, tapi ia bisa membawaku menemui orang yang kuutangi dan memintanya untuk mengikhlaskan tanggunganku. Maka “keesokan harinya”, ia bertukar posisi dengan Malaikat Petugas Tambang yang ternyata sahabat baiknya. Di perjalanan aku bertanya padanya apakah orang yang kuutangi itu berada di Surga. Malaikat Penjaga Pintu menjawab, “Tidak.”

“Kalau begitu, mengikhlaskan utangku akan memberinya amal baik dan membuatnya dipertimbangkan untuk memasuki Surga,” kataku sok tahu, sebab katanya untuk menjadi penulis itu kadang diperlukan sikap sok tahu.

“Enggak tahu, ya,” kata Malaikat Penjaga Pintu.

Rupanya ia membawaku ke Tambang, ke sisi yang bukan wilayah garapanku dan tak pernah terjamah olehku sebelumnya. Aku agak terkejut karena, berdasarkan keterangan dari Malaikat Penjaga Pintu, para pekerja Tambang adalah orang-orang yang utangnya di dunia belum terpenuhi—setidaknya di Tambang area ini. Aku pun dipertemukan dengan orang yang kuutangi itu. Ia sedang mencangkuli batu membara. (Beda dengan “batu bara” di dunia yang berupa bongkahan hitam sisa fosil, batu membara adalah bongkahan merah yang panasnya sanggup mematangkan sate dalam sekejap.) Karena rasa heranku, yang pertama-tama kukatakan bukanlah permintaan agar ia mengikhlaskan utangku, melainkan, “Utang apa yang menjebakmu di sini, Kawan?”

“Aku sesumbar pada orang-orang kalau aku akan membuat novel,” katanya.

“Mereka mengurungmu juga di Ruangan supaya menulis?”

“Begitulah! Sudah “berminggu-minggu” ini aku tidak kunjung bisa menyelesaikannya, keparat!” Ia membanting cangkulnya kuat-kuat.

Malaikat Penjaga Pintu mengangkat bahu.[]

 

21072014 –

kayaknya gegara nerjemahin cerita-cerita Fernando Sorrentino pas Ramadhan

Sabtu, 05 Juli 2014

Jadi Ayah

Cita-cita adalah hal yang lazim ditanyakan kepada se­o­rang anak. Ketika pertanyaan itu ganti diajukan oleh se­o­rang anak kepadanya, dadanya dijalari semacam gelora, dan ia merasa mantap akan jawabannya yang masih sama se­perti dahulu, ketika usianya masih sepantaran anak itu: “Jadi ayah.”

Gadis itu menatapnya dengan terkesima, sekaligus heran. Ta­tapan yang telah diakrabinya sedari lama, dari si­a­pa­pun, termasuk dari keluarganya sendiri. Kadang disertai per­tanyaan terang-terangan akibat dorongan penasaran yang tak tertahankan. Gadis itu mengucapkannya dengan ha­ti-hati, “Kalau boleh tahu… kenapa sih, Om, belum?”

Lelaki itu tersenyum. Dalam dunianya, menikahi seorang pe­rempuan tidaklah semudah meniduri banyak pe­rem­pu­an. Ada di antara mereka yang amat lekat di hatinya. Na­mun perempuan itu telah memutuskan untuk tidak me­ni­kah, dan tidak memiliki anak. Terjebak dalam idealisme ke­kasihnya itu, ia menjadi partner yang setia di ranjang ken­dati hubungan mereka bersifat terbuka. Kerapkali ia me­numpang tidur di apartemen perempuan itu kala se­dang kehabisan uang atau amat kesepian. Setelah ber­ta­hun-tahun, ia merasakan kehampaan. Ibunya yang telah me­nua di Indonesia menguatkan alasannya untuk me­nyu­dahi hubungan dengan perempuan itu—yang me­mak­lum­inya, bagaimanapun juga. Kepulangannya makin te­ra­sa sebagai keputusan yang benar ketika sesampainya di In­donesia ia bertemu dengan mantan kekasihnya yang te­lah bercerai. Sekarang ia sedang berusaha mengambil ha­ti perempuan itu lagi dengan mengandalkan ke­piawai­an­nya di ranjang.

Tentunya kepada remaja yang sedang duduk di ha­dap­an­nya itu ia tidak mengungkapkan lika-liku hubungan as­ma­ra seorang dewasa yang pernah tinggal cukup lama di ne­gara bebas, sehingga yang disodorkannya adalah ja­wab­an sederhana: “Belum ada jodohnya.”

Ada sih, tapi masih diupayakan, ralatnya dalam hati.

Tatapan itu berganti simpati. Sebagai seorang remaja, ga­dis itu telah mengalami cukup banyak patah hati. Apalagi de­ngan seorang papa yang sering mewanti-wanti agar ti­dak berpacaran. Gadis itu telah menceritakan banyak hal ke­padanya. “Susah ya, jadi ayah?” imbuhnya. Pertanyaan yang sepatutnya diajukan pula kepada papanya sendiri.

Lelaki itu mengangkat gelasnya yang masih terisi penuh oleh Grapo, “Yah, kadang… orang enggak mencita-citakan se­suatu, tapi dapet. Sebaliknya, orang yang mencita-ci­ta­kan yang justru enggak dapet,” lalu meneguk minuman itu lambat-lambat. “Tapi kita harus yakin.”

Seperti dirinya, yang sebenarnya tidak pernah berambisi un­tuk meniti karier sebagai pianis. Ia ingin bermain pi­a­no semata untuk bersenang-senang. Ta­pi ibunya, yang me­yakini dirinya tidak mempunyai bakat la­in, malah me-ngi­rimnya ke sekolah musik di Boston agar me­nekuni bi­dang tersebut. Maka semenjak itu hingga ki­ni ia telah meng­alami pahit-manisnya transisi dari pe­mu­la menjadi pro: kompetisi, kegamangan akan bakat, gegar bu­daya, ka­ngen rumah, mempertahankan hubungan ja­rak jauh de­ngan pacar, dikhianati pacar, ditinggal ayah un­tuk se­la­ma-selamanya, diminta ibu untuk tidak terlalu se­ring pu­lang, mulai mabuk-mabukan, terbangun di sam­ping pe­rem­puan tidak dikenal dalam keadaan sudah tidak per­ja­ka, mencoba mengamen di jalan, menambal kekurangan kre­dit perkuliahan demi gelar yang tidak kunjung ter­ga­pai, men­cari pe­kerjaan paruh waktu, membentuk grup mu­sik la­lu bu­bar, mengajar musik pada anak-anak ber­ma­salah di ko­mu­nitas setempat tanpa dibayar, me­num­pang ting­gal di apar­temen teman, membentuk grup mu­sik lalu bu­bar, me­numpang tinggal di apartemen teman ken­can, mem­ben­tuk grup musik lalu bubar, mengisi per­tun­jukan di ka­fe-kafe kecil sampai kafe-kafe itu bangkrut sa­tu per sa­tu, men­jadi musisi pengiring artis-artis lokal, men­jadi mu­sisi peng­iring artis-artis terkenal, mem­per­da­lam mu­sik di Prancis se­la­ma beberapa tahun, menjadi asis­ten do­sen et­no­mu­sik­ologi dan dibawa berkeliling du­nia un­tuk me­nge­nal ra­gam musik etnik, makin ber­se­ma­ngat me­nga­rang kom­po­si­si sendiri, menjalin kerja sama de­­ngan pro­du­ser, merilis al­bum sendiri, mendapat peng­har­­gaan, mu­lai diundang se­bagai penampil di berbagai kon­­ser dan fes­tival…. Pada usia menjelang kepala empat, ia merasa su­dah mencapai pun­cak karier, sekaligus ke­bun­tuan da­lam hubungan as­ma­ra. Maka dengan hati la­pang ia pu­lang ke rumah ibu­nya dengan harapan pe­rem­pu­an itu pun puas dengan pen­capaiannya. Sekarang ia dan ibunya te­lah dapat ber­se­pakat bahwa ada hal lainnya yang sedari du­lu menanti un­tuk diprioritaskan.

“Betul, Om,” gadis itu mengangguk. “Semoga di usia yang ba­ru, Om bisa ngedapetin yang dicita-citain.”

“Amin. Terima kasih, Bibe,” lelaki itu memandang gadis di depannya dengan penuh kasih. Alangkah beruntung orang­­tua Bibe—memiliki anak remaja yang sungguh per­ha­tian!

Bibe mengangkat ransel ke pang­ku­an­nya, lalu me­nge­lu­ar­kan sebuah kotak yang dilapisi kertas ber­motif minimalis. “Maaf cuman bisa kasih ini buat Om. Maklum, Om, kan­tong pelajar, hehehe.” Bibe mendorong hadiahnya. Lelaki itu meraih persembahan itu mendekat. Ia membuka pem­bung­kusnya dengan hati-hati—hal yang akan sulit di­la­ku­kan­nya apabila tidak ada yang mengamati—lalu men­da­pat­kan sebuah jurnal dan sebatang bolpoin. “Biasanya pa­pa­ku seneng dikasih itu.” Apapun yang diberikan gadis itu pada papanya, iapun akan menerimanya dengan se­nang hati! Permasalahannya hanya: Tulisan gua kelewat je­lek buat notes sebagus ini. Ia paling sering menulis de­ngan huruf toge—itupun hanya ia yang mengerti.

“Terima kasih.” Dipandangnya Bibe lekat-lekat. Ia be­ren­ca­na untuk membeli kotak kaca nanti, memasukkan ha­di­ah ini ke dalamnya, lalu memajangnya di dinding kamar. Ba­gaimanapun ini sama sekali tidak tampak murahan. Ba­rangkali Bibe menghabiskan tabungannya sedari SMP. Te­bersit perasaan bahwa ia telah memberatkan gadis itu. Un­tuk kado ulang tahun Bibe, kurang dari dua minggu la­lu, ia memberi gadis itu seuntai gelang emas. Ia tidak meng­harapkan balasan apapun, sungguh, ia mem­be­ri­kan­nya semata karena ingin melihat benda itu melingkar in­dah di pergelangan tangan gadis yang ingin di­ang­gap­nya sebagai anak sendiri.

Ia tidak tahu kalau Bibe pun tidak berani mengeluarkan ge­lang itu dari kotaknya lagi. Hadiah itu terlalu indah hing­ga anak itu takut orangtuanya akan mengetahui.

Hari belum gelap ketika lelaki itu menghentikan mo­bil­nya di seberang gang menuju rumah Bibe. “Enggak mau di­antar sampai dalam?” tanyanya. Bibe menggeleng ce­pat-cepat. Mungkin sang papa sedang berada di rumah. Ga­dis itu menempelkan punggung tangan kanannya ke dahi, seperti seorang anak yang berpamitan pada orang­tua­nya sebelum bepergian. “Hati-hati nyeberangnya, ya.” Ia terus mengawasi Bibe melintasi jalan raya yang telah le­ngang, lalu ditelan oleh gang. Ia lupa menitip salam un­tuk kedua orangtua Bibe, kendati tahu gadis itu tidak akan menyampaikannya. Kapan hari Bibe bilang padanya agar tidak melapor pada sang mama kalau mereka jalan-ja­lan bareng lagi. Pesan yang selalu dilanggarnya.

“Maaf, ya, Bibenya diajak lagi,” ucap lelaki itu lewat te­le­pon sesampainya di rumah. Ia telah membersihkan diri, ber­ganti pakaian, dan tengah menikmati senja di beranda sam­ping rumahnya bertemankan sigaret. Titik-titik ca­ha­ya di la­ngit yang kelam tampak samar, tersaput awan. Ibu­nya be­lum pu­lang dari pengajian, dan ia tidak perlu ber­siap men­jem­putnya karena perempuan itu membawa mo­bil sen­di­ri. Ada beberapa pembantu, namun kendati ia su­dah cu­kup lama mendiami rumah itu, tampaknya me­re­ka ma­sih meng­anggapnya sebagai penghuni baru yang asing.

“Yah, saya bisa apa,” sahut perempuan di seberang sana. Le­laki itu tertawa menanggapinya. “Jalannya ke mana aja ta­di?”

“Biasa we, makan-makan.”

“Jangan yang mahal-mahal. Enggak enak.”

“Enak kok. Kalau tahu tempatnya. Perlu rekomendasi?”

“Bukan itu….” Jeda yang cukup lama, lelaki itu me­nan­ti­nya dengan sabar. “Bibe cerita apa aja?”

“Tadi sih ngomongin cita-cita.”

“Dia bilang apa?”

“Belum tahu, katanya.”

“Duh. Tuh anak. Udah mau kuliah juga.”

“Kayaknya cenderung ke sosial, yah.”

“Iya, sih. Tapi udah terlanjur masuk IPA. Temen-te­men­nya banyak di sana, sih.”

“Kayak lu aja entar, murtad dari IPA, hahaha.”

“Hehe.”

“Kata si Akang gimana?”

“Suruh nerusin jadi wartawan.”

Lelaki itu tertawa lagi. Obrolan dengan sang mama bisa ber­jam-jam lamanya. Membicarakan anak selalu menjadi to­pik yang menyenangkan baginya, walaupun bukan ten­tang anak­­nya sendiri. Apalagi anak remaja kadangkala su­­lit ber­komunikasi dengan orangtuanya. Ia pun meng­a­lami­nya dulu. Kini dengan senang hati ia memberikan ban­tu­an. Namun malam itu mereka tidak berbincang ba­nyak. Pe­rempuan itu sedang berada di rumah, bersama anak­nya, dan, benar saja, suaminya.

Sebelum percakapan diakhiri, ia bertanya pada sang ma­ma, bolehkah membawa anaknya ke Ciwidey. “Ke­jauh­an!” Padahal ia punya rencana one day trip bersama ga­dis itu ke Singapura. Pergi pagi pulang sore pakai pesawat da­ri Hu­sein Sastranegara. “Ke kebun binatang aja, atau ta­man hu­tan raya, tuh.” Ia mengerutkan kening, meng­i­ngat-ingat adakah pakaiannya yang cocok untuk di­ke­na­kan di tem­pat-tempat semacam itu.

Satu pertanyaan lagi, yang sebetulnya sudah pernah di­a­ju­kannya berkali-kali, kapan ia bisa ngopi bareng mereka se­keluarga? “Biar akrab sama si Akang aja sih.” Ka­yak­nya sok salah paham aja dari dulu, imbuhnya dalam ha­ti. Dulu, ketika perempuan itu sudah berbulan-bulan me­ni­kah dan masih perawan, itu masalah, menurutnya. Ia mem­beri banyak saran kepada perempuan itu, dan ke­tika su­aminya mengetahui, ia dianggap sebagai peng­gang­gu. Se­karang, ketika perempuan itu sudah belasan ta­hun me­ni­kah dan belum memiliki anak lagi semenjak yang per­ta­ma, itu juga masalah, sebetulnya, tapi ia lebih me­nye­nangi hubungan dengan putri pasangan itu, dan ke­ti­ka tam­paknya papanya mengetahui, ia ingin agar se­ga­la­nya je­las, dan terbuka.

“Iya, iya,” tanggapan perempuan itu sama saja se­ba­gai­ma­na sebelum-sebelumnya.

Panggilan usai. Lelaki itu lalu mengusap-usap layar tab­let­­nya dengan telunjuk, meninjau agenda. Ia seharusnya me­mpekerjakan manajer karena ia sama sekali bukan ah­li da­lam mengatur jadwal. Ia sebetulnya tidak be­ren­ca­na un­tuk meneruskan kariernya secara profesional di In­do­­ne­sia. Tujuannya yang utama adalah menemani ibu­nya, lalu di­tambah dengan mendekati mantan kekasihnya yang te­lah bercerai itu. Tapi ibunya sudah punya ke­a­syik­an sen­di­ri dengan memasak dan berkebun, dan sebagai lan­sia man­diri tidak doyan mengandalkan bantuan dari orang la­in. Adapun sang mantan kekasih sibuk dengan pe­ker­ja­an­nya di kementerian dan mengurus anak-anak­nya sen­di­ri. Jadi, selain mengobrol dengan ibunya pada pa­gi dan so­re, bercengkerama dengan kekasihnya se­ti­dak­nya se­ka­li dalam sebulan sekalian mengunjungi para ke­po­na­kan­nya, berjumpa dengan kawan-kawan lama se­se­kali dalam se­pekan hingga menemukan kawan jalan yang istimewa—Bi­be, melatih jemarinya di atas tuts, mem­baca kamus ba­ha­sa sunda untuk mengingat-ingat dan berusaha mem­per­oleh logatnya kembali, serta me­ra­wat tubuhnya yang mu­lai ken­dor akibat makan terlalu banyak nyamikan bu­at­an ibu­nya, ia tidak punya ke­si­buk­an berarti. Maka ke­ti­ka ke­ber­a­daannya mulai diketahui, na­manya dikenali, dan ajakan ber­munculan, ia me­nang­gapi beberapa di an­ta­ranya se­ka­dar untuk memiliki ke­si­buk­an. Yang lainnya, se­per­ti menjadi ju­ri ajang pencarian ba­kat di TV dan mem­bin­tangi iklan, ia tolak. Ia berusaha untuk men­jadi se­bi­jak mungkin dan ti­dak terlalu sibuk, wa­lau­pun be­la­kang­an jadwalnya relatif pa­dat. Dua bulan la­lu ia ikut touring ke Ja­wa Tengah dan Ja­wa Timur. Bu­lan ini ia ba­ru pulang dari meng­isi be­be­ra­pa pertunjukan di Jogja. Ban­dung Jazz Fes­tival me­nan­ti­nya pada Oktober men­da­tang. Tahun de­pan ada Java Jazz. Besok malam di Hotel Pa­pandayan. Ta­pi setidaknya ha­ri ini ia sudah ber­te­mu de­ngan Bibe, dan malam se­te­lah besok malam ia akan me­nuju Jakarta un­tuk ber­ma­lam di rumah adik­nya—me­lampiaskan kangen pa­da ke­po­na­kan-ke­po­na­kan­nya yang ce­ria, dan tentunya, pa­da ma­lam berikutnya, ke­ka­sih­nya.

***

Pada malam Sabtu ia memberi kesempatan pada adiknya dan sang suami untuk berpacaran di luar rumah, se­men­ta­ra ia berbaring di kamar dengan trio kecil yang me­nge­li­linginya dan bersiap mendengarkannya mendongeng. Trio kecil itu mengingatkannya akan dirinya, saudara kem­barnya, dan adiknya semasa kecil. Persis seperti ma­sa itu: mereka bertiga mengitari ayah mereka di tempat ti­dur dan mendengarkan cerita-cerita rakyat yang telah di­modifikasi oleh sang ayah. Kekasihnya se­masa di Bos­ton pernah mengatakan: Ketika kau bilang kalau cita-ci­ta­mu menjadi seorang ayah, kau membayangkan ayah­mu, dan anak-anak yang mirip denganmu. Kau se­be­nar­nya hanya ingin mengulang masa lalu. Terjebak da­lam masa lalu. Ia tidak tertarik dengan analisis semacam itu. Demi perempuan itu ia per­nah mencamkan akan men­jadi lajang selamanya dan ma­ti bahagia, tapi kini ia da­pat merasakan menjadi se­o­rang ayah walau belum se­pe­nuhnya: “ayah” yang menyerupai ayah­nya. Ia tertidur ber­sama me­reka, terbangun ketika ibu mereka yang telah pu­lang mem­buka pintu kamar dan ber­gu­mam terharu. Ia me­nge­cup pipi kedua putranya, lalu meng­angkat yang bung­su un­tuk dibawa tidur ber­sa­ma­nya. “Hei,” tegur si ka­kak. “Yang gede enggak dicium ju­ga?” Adiknya ber­la­gak men­de­lik. “Makanya, kawin…!” Di­cu­bitnya pipi lelaki itu. Be­ta­papun akrabnya ia dengan ke­luarga adiknya, ia me­rasa ti­dak nyaman berada lebih da­ri dua malam di rumah mereka.

Pada malam Sabtu ia telah memesan ruangan di sebuah ho­tel luks, dan menanti kedatangan Ri tersayang. Ke­ka­sih­nya itu telah menitipkan kedua anaknya pada sang man­tan suami, dan bebas untuk bersenang-senang se­ma­lam­an itu. Berjam-jam mereka berpeluh dalam deru. Se­ka­rang da­lam debar yang telah menenteram, ber­se­li­mut­kan te­ma­ram, lelaki itu memeluk kekasihnya dari be­la­kang. “Ka­pan?” bisiknya.

Lama perempuan itu diam saja.

“Baru dua tahun,” akhirnya ia berucap.

“Dua tahun itu udah lama.”

“Gini aja dulu, enggak apa-apa.”

Perempuan itu mengatupkan bibir dan memejamkan ma­ta ketika merasakan tangan lelaki itu mengusap-usap pe­rut­nya. Dalam bisu ia bertanya-tanya apa lelaki itu su­dah lu­pa perkataannya kapan hari mengenai tubektomi, dan sung­guh-sungguh memahami alasannya bercerai.

“Kalau aku enggak pernah pergi,” lelaki itu mengetatkan de­kapan, “anak kita udah sebesar apa, ya?”

Dalam benaknya terbayang seorang gadis. Sulit meng­ang­gap­nya sebagai anak sendiri. Bibe terlalu mirip kedua orang­tuanya; sepenuhnya milik mereka. Tapi begitu mu­dah­nya ia dan gadis itu terhubung. Sekali sewaktu me­ne­ngok sang mama yang sedang hamil, ia meminta izin un­tuk memegang perut yang membuncit itu. Tentunya pada wak­tu itu sang pa­pa sedang tidak ada. Ketika seluruh te­la­pak tangannya te­lah menempel dengan sempurna pada per­mukaan itu, ia langsung merasakan adanya sentuhan da­ri dalam. Se­a­kan anak itu tahu kalau ada yang ingin me­nyapanya. Pada wak­tu itu ayah lelaki itu belum lama me­ninggal dunia, pun ia ba­ru resmi putus dari pacar yang se­lama itu di­i­dam-idam­kannya menjadi istri masa depan. Du­ka yang se­mula berdentum-dentum di dadanya men­da­dak le­nyap. Ia menyambut kehidupan yang baru itu, me­nyapanya ba­lik  dengan se­­nyum berseri. Belasan tahun ke­mudian, ke­ti­ka ia ber­­jum­pa lagi dengan kehidupan yang telah ber­wu­jud se­o­rang ga­dis itu, serta-merta pe­ra­sa­an itu me­lan­danya kem­bali. Ka­dang ia termenung-me­nung dibuatnya.

Mungkin sebesar Bibe, pikirnya, dan membayangkan se­0rang remaja memanggilnya dengan sebutan “Ayah”.[]

 

20130703

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain