Sabtu, 20 September 2014

Tawaran Menarik

Aku bertemu dengannya pertama kali di acara bedah buku yang diadakan sebuah komunitas sastra. Mulanya sekadar cele­tukan selintas di sela-sela pembahasan oleh panelis, saling menyambut, sambung-menyambung, terus, hingga acara itu di­tutup, orang-orang keluar dari gedung, dan kami tetap bersan­ding melanjutkan obrolan, terbawa sampai ke jalanan, halte bis, dari realisme sosialis sampai realisme magis, dari Gorky sam­pai Marquéz. Lalu di tengah himpitan penumpang yang ber­jejal, saling menggenggam pegangan masing-masing di dekat kepala, baru kusadari ceruk hitam di bawah bola matanya—yang tak kalah menonjol dari tulang pipinya, hingga bibirnya yang pucat pecah-pecah. Rambutnya yang dikuncir kecil ku­sam kemerahan. Kulitnya kasar kecokelatan. Ransel backpack—yang entah apa isinya namun sepertinya cukup berat—me­nempel rapat di punggungnya. Tubuhnya yang mendadak tam­pak ringkih dibalut flanel belel, kaus kumal, celana pendek yang aku tak yakin warna aslinya memang begitu, serta sandal-gunung bebercak-bercak tanah. Sekonyong-konyong topik yang semula hangat dibicarakan menukik jadi pengakuan tanpa daya: “Aku belum makan tiga hari. Uang terakhir udah kupa­kai buat ongkos bis ini.”

Kalau di halte berikutnya kami tidak turun dan segera menuju wa­rung makan terdekat, dia mungkin sudah semaput.

Sambil makan di warung itu, setelah kurasa sudah terlalu lama dia khusyuk dengan santapannya saja, basa-basi kutanyakan ke mana dirinya akan pergi sehabis ini. Dia bilang tidak tahu. Su­dah hampir seminggu ini dia mencari emperan atau rumah-iba­dah jika butuh tempat untuk menyelonjorkan kaki atau berna­ung dari terik dan hujan.

Walau penampilannya seperti gembel, namun bobot perkataan­nya sejak dari acara bedah buku tadi jelas sekali menunjukkan kecerdasan intelektualnya. Itu cukup menjadi alasan bagiku untuk menelepon seorang teman perempuan dan meminta ke­sudiannya menampung gadis itu di kosannya.

Kutambahkan, “Dia juga baca  Marquéz dan ingin tinggal di Ma­condo. Kalian pasti cocok.”

Maka kutinggalkan gadis itu di kosan temanku. Beberapa hari ke­mudian temanku itu menelepon. Ia bercerita bahwa dua per ti­ga isi ransel itu berupa kertas, ada yang bentuknya buku, notes, bundelan, lipatan, sampai gumpalan. “Pakaiannya cuma dua setel. Aku terpaksa minjemin punyaku. Dia sebetulnya eng­gak ganggu sih. Malah kok betah banget, ya, seharian cuma di pojokan—baca atau nulis. Makan juga seadanya. Jarang ngo­mong. Tapi lama-lama aku jadi serem, soalnya kesannya dia itu antara ada dan tiada gitu, kosan jadi berasa ada penung­gunya. Apalagi kalau malam, dia diam aja di bawah lampu remang-remang sambil terus baca atau nulis. Semalam tuh wak­tu aku mendadak kebangun, aku langsung jerit lihat dia. Kaget aja. Kirain apaan gelap-gelap ngeringkuk di pojokan. Dia mau sampai kapan sih kamu titipin di sini? Aku enggak enak aja negurnya.”

Demi temanku yang sudah melupakan  Marquéz dan Macondo de­mi kariernya di BUMN, aku mengajak gadis itu bertemu lagi di sebuah kedai—tanpa jaminan bagi temanku itu kalau dia tidak akan kembali ke tempatnya. Pakaiannya sama dengan yang dikenakannya pada pertemuan pertama.Tanpa basa-basi ku­tanyakan soal kegandrungannya akan baca-tulis.

“Aku punya penyakit aneh,” katanya. “Kalau enggak baca seha­ri aja, mataku kayak diremas-remas. Gitu juga kalau enggak nulis, tanganku serasa digigit-gigit.”

“Diremas-remas dan digigit-gigit… apa? Semut?”

“Gorila.”

Bisa kubayangkan sakitnya biarpun aku belum pernah mengalam­inya. “Memang itu penyakit aneh.”

“Karena itu, aku berhenti kuliah, minggat dari rumah. Aku enggak mau ngerepotin orangtuaku gara-gara penyakitku.”

Aku meminta gadis itu memperlihatkan tulisannya. Sementara aku membaca tulisannya itu barangkali dia membaca rautku ju­ga. Entahkah dia dapat menerawang bahwa semakin banyak ka­ta yang kutiti, semakin yakinku bahwa tulisannya itu ibarat se­telan Armani yang dipakaikan pada gelandangan yang sudah bertahun-tahun tidak mandi. Setelan yang kuyakin benar akan pas di tubuhku. Ingin aku merenggutnya dari si gelandang­an-bau, memasukkannya ke binatu, tidak bersabar menung­gunya dapat kujemput kembali, mengenakannya di tubuhku, dan mematut penampilanku di cermin—kemegahanku, kewi­bawaanku, kedigdayaanku, citra adiluhung yang terpancar ber­kat jahitan yang begitu rapi dari benang berkualitas tinggi, yang dijalin dengan sepenuh hati oleh… gadis berpenampilan gem­bel ini.

“…tapi enggak ada yang mau nerima tulisanku,” su­a­ra­nya—aku baru sadar kalau sedari tadi ia membicarakan entah apa, aku tidak mendengarnya, perhatianku kadung terpancar pa­da kekuatan tersembunyi yang dipendam kata-katanya.

“Terang saja. Idemu enggak menjual,” kataku. Kuempaskan bun­delan kertas itu di meja walau sesungguhnya kuingin meletak­kannya dengan hati-hati bagaikan sepinggan bolu yang baru dikeluarkan dari oven—samar-samar menguar aroma memi­kat dan begitu dicicipi lidah akan menagihnya lagi, dan lagi. Ku­tanya lagi dia, “Apa rencana masa depan kamu?”

Ia bergeming. Lalu tangannya merayap leher, menggaruk-garuk. Ia menyeringai. Kepalanya menggeleng pelan. “Aku cuma bi­sa ngebayangin… duduk, dan… menulis.”

“Karier lainnya? Berkeluarga?”

“Enggak kepikiran. Selama aku bisa duduk dan menulis, itu cukup. Aku bisa tinggal di mana aja.”

“Tapi kamu juga butuh makan, dan tulisan kamu belum tentu bi­sa ngasih kamu makan.”

Ia diam saja.

“Aku punya tawaran menarik,” ucapku setelah merenungkannya sejenak. “Aku bisa menanggung biaya hidup kamu, segala yang kamu perluin buat nulis. Syaratnya, menulislah buatku. Pa­kai ideku.”

Untuk meyakinkannya, kubawa dia ke rumahku. Kuperlihatkan pa­danya notes yang berisi coretan-coretanku—segala ide cerita yang kukumpulkan sejak SD hingga sekarang kendati frekuen­sinya makin jarang. Dia membolak-balik lembaran lusuh itu sam­bil mengerutkan kening. Lebih lama dari peninjauanku atas tulisannya. Lalu diakhirinya dengan tanya, “Kenapa kamu eng­gak bisa garap sendiri ide-ide kamu?”

Pertanyaan yang sudah sangat sering kuajukan pada diriku sen­diri selama ini, tapi tidak pernah ada jawabannya, sehinga ak­hirnya aku banting setir menjadi bankir.

“Gimana?”

Pakaikan setelan Armani itu di tubuhku!   

“Gimana kalau aku enggak sanggup?”

“Selamat jadi gelandangan seterusnya, kalau gitu.”

“Gimana kalau aku ternyata penipu?”

Kutatap matanya sedalam yang diperbuat Dedi Kobusiapaitu wak­tu ingin membengkokkan sendok.

“Coba saja,” dan itu bisa berarti apa saja.

Malam itu kami menyiapkan ruangan di lantai dua untuk dipakainya bekerja. Selain perabotan standar seperti tempat tidur, lemari, meja, dan kursi, aku melengkapinya dengan berbagai perkakas untuk menulis seperti komputer, kertas, alat tulis, printer, koneksi internet tanpa batas, koleksi bacaan dan musikku, satu set mini compo yang dapat memutar kaset, CD, DVD, mp3, dan radio, serta poster Ernest Hemingway dan Virginia Woolf—masing-masing selembar—untuk mengingatkannya kalau sewaktu-waktu aku bisa saja menembaknya pakai pistol atau menenggelamkannya di sungai apabila dia melanggar kesepakatan kami.

 

Dia mungkin saja bagian dari komplotan pencuri, sebetulnya aku was-was juga, walau sampai beberapa bulan berlalu tidak ada kejadian apapun yang mencurigakan. Seperti kata temanku, kehadirannya antara ada dan tiada. Dia bekerja tanpa suara—kadang-kadang saja terdengar dentuman dari mini compo di ruangannya. Saat berada di rumah, aku merasa sendirian seperti biasanya. Bahkan jika ada kebakaran di lantai bawah, kukira dia hanya akan merasa gerah, melebarkan jendela atau melepaskan baju, lalu kembali bekerja.

Dia tidak efektif menulis dengan komputer. Bukan berarti dia gaptek. Namun sering kali dengan alat itu dia dapat mengetik berhalaman-halaman tanpa henti, lalu menghapus semuanya seketika hingga tak bersisa. Maka aku menetapkan target harian yang mesti dipenuhinya dengan menulis di kertas menggunakan pulpen supaya awet dan berbekas—tidak kuberikan Tippex pula. Komputer hanya digunakan untuk meriset dan semacamnya.

Tiap malam sepulang dari kantor aku mengecek hasil kerjanya. Aku mengategorikannya jadi empat: bintang tiga berarti tulisannya benar-benar bagus; bintang dua berarti bagus saja—tidak begitu mengesankan tapi layak disimpan; bintang satu berarti masih butuh polesan; sedang selebihnya adalah kancut bekas yang berarti hanya layak untuk menampung ingus hingga tidak layak sama sekali dan hanya aku yang berhak merobek-robeknya jadi serpihan. Setiap kertas yang telah dipenuhi hasil kerjanya dan mendapat bintang dua ke atas segera kuamankan dalam brankas yang gemboknya kubawa ke mana-mana, sebab pernah terjadi dia mengambil kembali drafnya itu lalu melenyapkannya entah dengan cara apa karena batinnya tidak merasa puas. Kadang dia menunjukkan rasa frustasinya padaku bagaikan ibu-tiri egois yang komplain pada suaminya yang baru, “Dia bukan anak-anak kandungku! Kenapa aku yang harus mengasuhnya?!” Kadang aku menanggapinya dengan tenang, menghiburnya dan memulihkan kepercayaan dirinya. Kadang juga aku mengancam akan mengembalikannya ke jalanan, atau menjualnya pada mucikari. Lama-lama hasil kerjanya yang bernilai bintang dua ke atas menjadi lebih banyak dari sebelumnya.

Memang sejauh ini belum ada satupun ideku yang selesai digarapnya. Kebanyakan ideku memang direncanakan untuk menjadi novel, dan aku mengerti karya yang baik tidak dikerjakan terburu-buru. Tidak terhitung banyaknya jam yang telah kuhabiskan untuk memahamkan ide-ideku itu padanya. Lalu dia mengerjakannya secara acak tergantung suasana hatinya. Kadang dalam proses menghayati ide-ideku dia menghasilkan satu-dua cerpen. Kami sepakat mengirimkannya ke media dengan menggunakan nama pena yang merupakan anagram dari nama kami berdua. Sesungguhnya aku tidak berambisi benar ide-ideku nantinya harus dimuat di media atau dibukukan penerbit terkenal. Aku hanya ingin melihatnya dalam sebentuk komposisi yang indah, disusun oleh penulis yang tahu bagaimana memilih dan mengatur kata-kata pada tempatnya yang paling tepat. Tidak masalah jikapun karya itu hanya aku sendiri yang dapat menikmatinya. Yang jelas dari hasil kerjanya itu aku merasa telah menemukan rahim yang tepat bagi tumbuh-kembangnya sekian embrio yang selama ini bersarang dalam otakku saja, nyaris membusuk.

 

Tapi segalanya berubah sejak ada embrio lain yang mengisi rahimnya.

Bermula dari kunjungan mendadak orangtuaku. Di ruang tengah selagi mereka memberi wejangan yang itu-itu saja kepadaku, gadis itu menuruni tangga dengan rambut semrawut, tampang lepek, dan jejak liur yang belum dibersihkan. Pemandangan yang bisa kudapati tiap siang akhir pekan. Orangtuanya bertanya siapa dia. Kujawab dengan sejujur-jujurnya kalau dia gelandangan yang kuselamatkan dari kerasnya hidup di jalan—sebatas itu. Ibuku bilang gadis itu tinggal didandani sedikit dan menyuruhku untuk mengawininya sesegera mungkin. Enggak enak sama tetangga, imbuhnya. Padahal aku sengaja memilih rumah di komplek yang para penghuninya tidak saling mengurusi satu sama lain—tetangga yang mana? Maka saat itu juga kami menginterogasinya; meminta KTP-nya, penjelasan akan asal-usulnya, siapa orangtuanya, dan tetek-bengek lainnya. Aku juga disuruh mengambil cuti untuk menemui orangtua gadis itu—yang tampaknya sudah masa bodoh dengan apapun kehendak putri mereka yang satu itu, mereka toh masih punya lima lainnya.

Pernikahan ini mudah saja kujalani. Pertama, silakan menganggapku naif, tapi aku tidak munafik, kukatakan dengan sejujur-jujurnya kalau satu-satunya wanita yang kucintai sudah menikah dengan orang lain. Sejak itu pernikahan tidak ada artinya bagiku. Toh wanitaku juga tidak mencintai suaminya dan masih menemuiku sesekali. Kedua, jika perempuan diibaratkan makanan, maka ada makanan yang nikmat sekali sampai membuat ketagihan (seperti wanitaku); makanan yang biasa saja—tidak lezat tapi tidak hambar juga—namun bergizi dan cukup meredam lapar (seperti gadis itu); dan makanan yang dengan melihatnya saja sudah bikin mual (seperti perempuan jejadian di perempatan). Ketiga, kami sudah bersepakat bahwa pernikahan ini tidak akan mengubah apapun di antara kami, melainkan sekadar formalitas.

Sementara memang begitu adanya. Dia tetap sibuk di ruangannya sendiri, begitu larut dalam menulis—sebagaimana kehendakku, sampai lupa makan, lupa mandi, lupa waktu, lupa segalanya. Aku tetap seperti bujangan. Pulang sore atau malam, sama saja, tidak ada yang menanti apalagi mengomeli, begitupun kalau aku pulang dalam keadaan mabuk atau membawa teman perempuan menginap. Tidak ada yang menegurku saat aku ingin merokok sepuasnya, atau begadang semalaman menonton bola sambil makan kacang. Aku tetap ganteng dan gagah, tidak seperti kawan-kawan sebaya yang mulai kendor dan berjamur akibat terus-menerus digelayuti anak-istri. Aku hampir tidak merasa menanggung siapapun, bahkan. Ia makan begitu sedikit—mungkin karena lupa—sampai kadang aku yang membawakannya ke kamar sekalian mengecek hasil kerjanya. Adapun keperluan lainnya seperti pakaian, sabun, sampo, sikat-pasta gigi, sampai pembalut sama sekali tidak memberatkanku. Dia tidak meminta yang macam-macam sehingga kubelikan saja yang harganya sedang sekalian berbelanja keperluanku sendiri di supermarket. Begitupun dengan pekerjaan membereskan rumah tiap akhir pekan—kulakukan sendirian saja dengan anteng tanpa sedikitpun campur-tangannya.

Semula memang tidak ada keinginanku menyentuhnya. Yang penting perkawinan kami secara intelektual tetap berjalan seperti sebelum terjadinya pernikahan jejadian ini. Tapi, ingat, dia tipe makanan nomor dua, dan sejak ibuku menasihatinya untuk minimal mandi sehari sekali, keramas dua hari sekali, luluran seminggu sekali, serta ke salon untuk memotong dan mencabut apa-saja-yang-perlu sebulan sekali, derajatnya naik seperempat tingkat. Itu cukup membuatku tertarik untuk melakukannya dengan gadis itu, beberapa kali, tapi aku selalu mengenakan pengaman dan mengingatkannya untuk meminum pil.

Lalu dia mengaku hamil.

“Jangan ngawur,” kataku.

Dia menyodorkan testpack  bergaris dua padaku.

“Coba yang lainnya lagi. Mungkin juga kamu cuma salah makan.”

Dia menurut lalu menyodorkan lebih banyak testpack dari berbagai merek sampai aku merasa jijik karena membayangkan semuanya menampakkan dua garis setelah diguyur kencing.

“Bukan aku. Lapor saja sama bapaknya.” Aku yakin dia melakukannya dengan orang lain. Kalau aku saja begitu sementara dia tidak peduli, mengapa dia tidak berbuat serupa?

Tapi dia malah merajuk. “Kamu tahu aku hampir enggak pernah keluar rumah kecuali buat riset, berusaha mati-matian menulis buat kamu.”

“Aku enggak pernah melarang kamu keluar rumah.” Aku bahkan tidak pernah sungguh-sungguh melaksanakan satupun ancamanku. Selain karena aku tidak punya pistol dan tidak mengakrabi mucikari manapun, dia juga hampir tidak pernah melanggar kesepakatan—hingga baru-baru ini. Sampai heran aku dibikinnya, betah sekali dia menjalani gaya hidup seperti itu. “Kamu saja yang enggak punya teman.”

Dasar perempuan. Dia menelepon ibuku lalu sambil terisak-isak mengadukan segalanya dengan berlebihan. Aku hamil. Dia menuduhku serong. Padahal aku dilarang kerja di luar jadi sehari-hari aku terkurung di rumah. Aku hampir enggak pernah ketemu siapa-siapa. Tetangga di sini dingin sekali. Dia mengancam mau membuangku ke sungai. Dan seterusnya. Dan sebagainya.

Ibuku menegurku habis-habisan. Aku hanya bisa mengiyakan.

Setelahnya aku bersikap seperti biasanya. Kehamilannya bukan urusanku. Yang penting dia terus menulis, dan menghasilkan draf baru yang bisa kunikmati sepulang dari kantor setiap harinya.

Tapi kehamilan begitu memengaruhinya. Dia mulai sering meminta uang padaku. Dia ingin pergi ke pasar, memilih langsung bahan makanan yang segar dan baik, dan memasak sendiri. Akupun sekalian membuatkannya kartu ATM yang saldonya kuharap mencukupi apapun permintaannya selama berbulan-bulan supaya dia tidak sering-sering menggangguku.

Kusadari dia mulai bangun pagi. Pernah lewat tengah malam aku mengintip ke dalam kamarnya. Dia sudah tidur. Padahal biasanya kudapati dia sedang lincah-lincahnya menggerakkan pulpen pada kertas, ditemani bercangkir-cangkir kopi dan berbatang-batang rokok. Dia juga berhenti merokok. Persediaanku tidak berkurang secepat biasanya.

Yang kukhawatirkan pun menjadi nyata. Dia terlalu asyik meracik pakan yang harus dimasukkan ke dalam perutnya yang makin buncit hingga melupakan yang utama. Jumlah halaman yang dihasilkannya berkurang terus dari hari ke hari. Belum lagi mutunya. Gayanya makin menyerupai cerpen di tabloid wanita alih-alih seperti yang kuinginkan—yang dulunya membikinku kepincut. Pulpen dan kertas digantinya dengan pisau dan talenan. Tidak lupa dia memasakkan untukku, yang mau-tak-mau kuhabiskan dengan enggan. “Lebih enak tulisanmu,” komentarku. “Jelas dong, kamu kan kebiasaannya pakai pecin, enggak sehat tuh. Aku pakai bumbunya yang serba alami. Bahan-bahannya yang organik bukannya yang beku atau kalengan kayak yang kamu suka beli itu!” jawabannya itu membuatku makin menyadari bahwa secara intelektual perkawinan kami telah retak. Aku makin risau saat tidak lagi menemukan draf baru di mejanya. Hanya makanan, makanan, dan makanan yang mengepulkan aneka aroma di meja dapur. Tubuhnya jadi amat gembrot hingga derajatnya turun drastis, jika diibaratkan dengan makanan, dia seperti burger super berminyak yang dijatuhkan dari lantai tiga mal padat pengunjung lantas diinjak-injak hingga sangat kotor dan lembek dan nahas. Perutku pun jadi ikutan kendor.

Sebisa mungkin aku berusaha menjauh dari rumah. Beralasan lembur, padahal mengasap berbatang-batang di kafe 24 jam sambil memikirkan ide-ideku, calon mahakaryaku, anak-anak batinku yang terbengkalai—dan perceraian. Aku tidak peduli dengan isi perutnya, bagaimanapun juga, bisa jadi itu tinggal jasad ketika dirojolkan. Mungkin memang aku mesti berusaha menuliskan karya-karyaku sendiri. Aku berpikir untuk berhenti bekerja. Aku pulang sekadar untuk mandi, bercukur, dan berganti pakaian lalu kembali ke kantor. Pada akhir pekan aku mengurung diri di kamar, mengeluarkan tumpukan draf dari brankas, membaca tulisan tangan ala cakar beruang itu berulang-ulang, mengetikkannya di komputer diliputi ilusi bahwa baris-baris itu—kata-kata itu—adalah milikku sendiri, keluar dari lubuk pikir dan hatiku pribadi. Namun selama ini buah dari setiap kontemplasiku yang mendalam di manapun aku berada hanyalah baris-baris pendek yang tidak bisa kukembangkan sendiri, melainkan sekadar puluhan .doc dan .docx dan .rtf dan .txt dan sebagainya dan seterusnya yang kapasitasnya tidak ada yang melebihi 30 KB.

Maka bulan demi bulan berlalu. Meja di kamarnya berdebu. Sementara meja di dapurku berwarna-warni akibat tumpahan minyak, sirup, kecap, sambal, jamur, apalah—baunya jangan ditanya. Dia perempuan yang hanya bisa berfokus pada satu hal sehingga pekerjaan membereskan rumah harusnya tetap urusanku. Tapi aku terlalu sibuk berkhayal memotong-motong sekujur tubuhnya lalu menukar otakku dengan otaknya, hatiku dengan hatinya, bakatku dengan bakatnya, persepsiku dengan intuisinya… dan membuang sisanya ke tempat sampah—termasuk janinnya. Aku mencoba menggarap ideku sendiri berkali-kali, mengikuti gayanya, melanjutkan draf-draf yang diabaikannya. Sesekali dalam puncak kefrustasianku terpikir untuk menghubungi wanitaku lagi, walau tahu ia pun tengah sibuk merawat bayinya yang baru lahir—yang entah anak suaminya, anakku, atau anak setan. Sesekali pula ibuku menelepon untuk mengingatkanku agar tidak lupa mengantar si dia kontrol ke dokter kandungan, yang kujalankan, sekali lagi, demi formalitas.

Sementara dokter itu mengoleskan gel ke perut si dia sambil mengoceh basa-basi, aku teringat akan biang novel fiksi-ilmiahku. Latarnya masa ketika semua bayi baik yang baru embrio maupun sudah lahir diburu dan dimusnahkan karena persediaan sumber daya di bumi tidak lagi mencukupi. Itu pertimbangan yang sangat manusiawi. Mereka tidak mau ada lebih banyak lagi manusia yang menderita. Pada akhirnya mereka saling membunuh demi merebut sumber daya yang tersisa.

 

Segala urusan di luar penggarapan ide-ideku terasa bagaikan bayang-bayang yang berlalu begitu saja di hadapanku, dikerjakan oleh sisi auto pilot dari diriku, sementara bagian diriku yang utama memikirkan kata-kata. Kadang aku seakan diisap ke dalam dunia rekaanku, menyelaminya, antara nyata dan mimpi, namun aku hanya bisa merasakannya dengan seluruh indraku tanpa mampu mengungkapkannya melalui kata-kata, walaupun sepanjang hidupku sudah kuupayakan untuk membaca sebanyak-banyaknya, memindai dan menyerap bagaimana kata-kata dipadukan sedemikian sehingga membukakan dunia yang begitu memukau….

 

Dini hari itu aku dibangunkan oleh ibuku—aku bahkan tidak ingat sedari kapan ia menginap. Nadanya terdengar panik. “Ketubannya pecah!”

Setengah sadar, diburu-buru ibuku, aku menyalakan mobil. Hampir saja aku berangkat entah ke mana padahal ibuku dan menantu satu-satunya itu belum juga memasuki kendaraan.

 

Jadi…. Apa sekarang?

Sambil memulihkan kesadaranku di ruang tunggu, kepalaku seakan berisi kilasan-kilasan cahaya kuning yang entah apa artinya.

Aku tidak pernah benar-benar memikirkannya lagi hingga bertemu perempuan itu. Bisa dibilang aku sudah meninggalkannya, menutupnya rapat-rapat dalam kotak berlabelkan: ASA TAK SAMPAI.

Asa untuk mewujudkan diriku dalam sebentuk sesuatu, sepenggal-sepenggal atau sepenuhnya; dan melihatnya, menikmati keberbedaan wujudnya dari wujudku itu, yang sama sekali tidak serupa dengan mematut diri di cermin—dalam setelan Armani, ha-ha.

Ibuku memanggilku. Bayi itu telah dibersihkan dan disusui. Ibuku menimang-nimangnya seraya mendekatkannya padaku. “Mirip banget sama kamu. Alisnya. Matanya. Hidungnya. Bibirnya.”

Aku memerhatikannya dengan saksama.

Tidak perlu aku membandingkannya dengan fotoku sendiri semasa bayi. Selain ingatanku yang kuat bahwa sedari bayi aku sudah rupawan, tiap pagi aku mengamati setiap detail wajahku dan di hadapanku kini tampaklah miniaturnya—dalam versi yang jauh lebih lembut, dan rapuh, dan… bernapas—hidup. Sekonyong-konyong dalam kecepatan cahaya melintas di benakku malam ketika aku mengerahkan sepenuh tenagaku untuk… membikinnya. Adakah karya yang lebih bernyawa daripada dirinya?

Perempuan itu tersenyum lemah padaku. Kata-katanya terdengar bagai puisi walau bukan: Darah dan daging. Bukan tinta dan kertas.

Tidak. Kesepakatannya bukan begitu. Walau hanya kuucapkan dalam hati namun tampaknya dia mendengar lalu merengut. Bisakah dengan intelektual dan intuisimu saja—disalurkan melalui mata dan jemarimu—membuat karya yang sehidup ini?

Ibuku menyerahkan bayi itu padaku. Kudengar tadi bobotnya mencapai lebih dari empat kilogram, dan kondisinya amat baik. Mau-tak-mau aku menerimanya dengan hati-hati, terus memandanginya, dan membawanya ke jendela, mendekati cahaya matahari yang mulai terang. Kudapati setitik andeng-andeng di sisi kiri dagunya. Pantulan sosokku pada kaca jendela menampakkan tanda yang sama di tempat yang sama.

 

Sejak itu kami melanjutkan kesibukan berkolaborasi menghasilkan karya-karya baru. Lalu dia menjadi terlalu sibuk mengurus anak-anak, sementara aku terlalu sibuk mengejar promosi demi mengatasi pengeluaran yang membengkak. Pada saat mempersiapkan kamar untuk kedatangan buah hati kami yang kelima, aku menemukan notes usangku dan brankas berdebu yang segara saja kusadari apa isinya—yang entah mengapa tidak terasa lagi pentingnya. Namun notes itu kubawa ke kamar anakku yang sulung. Belum lama ini ia menyelesaikan cerpennya yang pertama, yang dibuatnya karena ditugaskan guru Bahasa Indonesia, lalu ditunjukkannya padaku untuk meminta pendapat. Terasa tanda-tanda keeksentrikan dalam narasinya itu yang kuduga diwarisinya dari ibunya. Kumasuki kamarnya, di pojokan ia meringkuk membaca Seratus Tahun Kesunyian sebagaimana kuamanatkan. Kuberikan notes itu padanya seraya berkata, “Ayah punya tawaran menarik.”[]

 

 

C623 – 18/9/14

Jumat, 05 September 2014

Gerah Malam

Malam itu begitu gerah. Aku terseok-seok keluar dari kamar, melewati ruang kerja is­tri­ku yang pintunya terbuka. Sekilas kulihat ia cuma mengenakan kutang dan rok. Ram­butnya awut-awutan menutupi separuh muka, sesekali disibakkan sebelah ta­ngan­nya, sementara tangan yang satu lagi mengibaskan lipatan koran berkali-kali.

“Panas?”

“Panas.”

“Jadi kamu sudah panas. Mari kita bercinta, ha-ha.”

“Ha-ha. Kita akan bercinta dengan panas.”

“Ya, dengan api gairah yang menyala-nyala sampai ranjang kita kebakaran.”

“Diamlah. Kamu bikin aku makin kepanasan.”

Aku pun berlalu dan ikut-ikutan melepas pakaianku hingga yang tersisa cuma ko­lor, lalu rebah di sofa.

“Kubilang juga apa, berhenti nonton yang cabul-cabul. Jadinya neraka di­pin­dah kemari.”

“Harusnya aku yang ngomong gitu,” sahutnya malas.

Aku tertawa kecil, namun energi yang terbakar untuk berbuat itu saja terasa me­lipatgandakan butiran keringatku.

“Malam ini enggak ada nyamuk,” katanya lagi.

“Enggak ada?”

“Enggak ngerasa?”

“Enggak. Mungkin mereka pada kepeleset keringatku.”

“Kupikir mereka lagi berendam di… di mana saja yang ada airnya.”

“Air yang dingin, ya.”

“Dingin, seperti agar-agar transparan.”

“Brrr….” Kubayangkan menembus agar-agar transparan itu, menyeruaknya de­ngan kedua lenganku, lalu kedua kakiku berkecipak-kecipuk memecah-belahnya, na­mun agar-agar itu menyatu lagi di belakangku, memadat, bergoyang-goyang aki­bat gerakan badanku yang menjauh, dan terus kuterobos permukaan lembut itu, se­juk­nya menerpa sekujur tubuhku, membungkusku…. Kudapati diriku terkapar di lan­tai, entah kapan aku berguling dari sofa yang kini di samping atasku. Semakin ku­le­kat­kan kulit pada ubin keramik tanpa mau mengingat apalagi bertanya pada si dia su­dahkah menyapu-mengepel hari ini—eh, minggu ini?

“Sayang,” dia berbunyi lagi, “coba cek keluar. Jangan-jangan ada yang lagi ba­kar rumah kita.”

“Mmm…?” Mataku terbuka tanpa kumau. “Kalau mau ngebayangin yang eng­gak-enggak di kertas aja. Jangan mengada-ada, ah.”

“Hei. Siapa tahu, ada yang dendam sama kamu.”

Aku mendesah.

“Kadang kenyataan itu malahan enggak terjangkau imajinasi,” lanjutnya.

“Kau sajalah yang cek,” aku tak ingin ditarik dari imajinasi agar-agar be­ning­ku, dan cewek-cewek muda yang tak kalah beningnya yang menantiku di tepi kolam.

“Enggak bisa. Saking panas pantatku sampai meleleh dan melekat di kursi.”

“Hah!” Aku bangkit seketika. Tak dinyana, lumayan, gerakanku itu memberiku se­dikit angin. Kupakai celana pendekku lalu membuka pintu depan, dan terpana. “Woi, istriku,” panggilku seperti dalam film-film Cina lama. “Sini deh.”

“Pantatku….”

“Halah! Sini! Lama-lama di sana pantatmu meleleh betulan.”

Ia menggumam sebal. Tak lama kemudian ia mampir di sisiku. Selembar kain me­nutupi bagian atas tubuhnya. Ia bergeming saja. Sekilas kulihat ia pun tampak ter­pana.

Entah berapa lama kami tertegun saja di ambang pintu. Lalu, dimulai olehku, ka­mi duduk-duduk di kursi plastik di teras.

“Tadi sempat kupikir memang ada kebakaran. Kelihatannya mereka seperti ti­tik-titik api menyerang rumah kita,” istriku ambil suara.

“Sebetulnya, di sini agak sejuk.”

“Iya.” Ia merapatkan kain di depan tubuhnya.

Ketika hansip bersepeda melintasi jalanan depan rumah, tegur-teguran tak ter­hindarkan, terutama menyoal udara yang gerah. Biarpun hawa lembap tengah me­nguasai bumi, selebihnya malam tenang. Biarpun pelit sedikit-sedikit udara kasih angin untuk elus-elus kulit kami. Istriku nyaris ketiduran, maksudku, kepalanya nya­ris terantuk kaca jendela di belakangnya sementara matanya terpejam dan mulutnya se­paruh menganga. Begitu kepalanya tegak lagi sementara matanya terbuka dan mu­lutnya terkancing penuh, kukatakan, “Di balik kainmu masih ada kutangnya?”

“Masih.” Ia terdiam sebelum menyambung, “Isinya juga masih lengkap. Tapi ka­lau tebakanku benar, aku enggak mau balik ke kamar. Pengap.”

Serentak pandangan kami terarah ke semak-semak di pojok halaman. Disorot si­nar rembulan, dibikin syahdu oleh pantat kunang-kunang yang seakan membentuk tan­da panah ke arah bawah; tampak mengundang bagaikan warung remang-re­mang yang dihiasi kerlap-kerlip deretan lampu kecil bekas tujuh-belas-agustusan. Ku­harap si hansip tak lewat lagi. Biar cuma lelembut yang jadi saksi. Aku tak peduli. Is­triku mengernyit begitu aku melirik pada koordinat yang telah ditentukan. Ia meng­ge­leng. Aku mengangguk. Ia mendengus. Aku mengangguk. Ia merengut. Aku meng­angguk. Ia menghela napas.

Malam itu begitu gerah. Kami belepotan tanah. Sembilan bulan kemudian ka­mi menanam kendi di sana. Isinya ari-arimu, Nak. Indah, bukan? Rembulan dan ku­nang-kunang menjadi saksi penciptaanmu dulu, dan masih menjaga sebagian dari di­rimu kini. Yah, mungkin ulat bulu juga serta karena sehabis itu punggung Bapak ga­tal-gatal dan merah. Intinya, Nak, sesungguhnya gerah itu membawa hikmah. Ja­di, sekarang cepat tidur, ya, Nak, jangan menangis terus…. Cup cup ah.

Yang begituan kamu ceritakan sama anak.

Ah, ibumu itu memang suka begitu. Biar saja, ya, Nak, ya, umurmu kan baru se­tahun.[]

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain