Aku bertemu dengannya pertama kali di acara bedah buku yang
diadakan sebuah komunitas sastra. Mulanya sekadar celetukan selintas di
sela-sela pembahasan oleh panelis, saling menyambut, sambung-menyambung, terus,
hingga acara itu ditutup, orang-orang keluar dari gedung, dan kami tetap
bersanding melanjutkan obrolan, terbawa sampai ke jalanan, halte bis, dari
realisme sosialis sampai realisme magis, dari Gorky sampai Marquéz. Lalu di
tengah himpitan penumpang yang berjejal, saling menggenggam pegangan
masing-masing di dekat kepala, baru kusadari ceruk hitam di bawah bola
matanya—yang tak kalah menonjol dari tulang pipinya, hingga bibirnya yang pucat
pecah-pecah. Rambutnya yang dikuncir kecil kusam kemerahan. Kulitnya kasar
kecokelatan. Ransel backpack—yang
entah apa isinya namun sepertinya cukup berat—menempel rapat di punggungnya.
Tubuhnya yang mendadak tampak ringkih dibalut flanel belel, kaus kumal, celana
pendek yang aku tak yakin warna aslinya memang begitu, serta sandal-gunung
bebercak-bercak tanah. Sekonyong-konyong topik yang semula hangat dibicarakan
menukik jadi pengakuan tanpa daya: “Aku belum makan tiga hari. Uang terakhir
udah kupakai buat ongkos bis ini.”
Kalau di halte berikutnya kami tidak turun dan segera menuju
warung makan terdekat, dia mungkin sudah semaput.
Sambil makan di warung itu, setelah kurasa sudah terlalu lama
dia khusyuk dengan santapannya saja, basa-basi kutanyakan ke mana dirinya akan
pergi sehabis ini. Dia bilang tidak tahu. Sudah hampir seminggu ini dia
mencari emperan atau rumah-ibadah jika butuh tempat untuk menyelonjorkan kaki
atau bernaung dari terik dan hujan.
Walau penampilannya seperti gembel, namun bobot perkataannya
sejak dari acara bedah buku tadi jelas sekali menunjukkan kecerdasan intelektualnya.
Itu cukup menjadi alasan bagiku untuk menelepon seorang teman perempuan dan
meminta kesudiannya menampung gadis itu di kosannya.
Kutambahkan, “Dia juga baca Marquéz dan ingin tinggal di Macondo. Kalian
pasti cocok.”
Maka kutinggalkan gadis itu di kosan temanku. Beberapa hari
kemudian temanku itu menelepon. Ia bercerita bahwa dua per tiga isi ransel
itu berupa kertas, ada yang bentuknya buku, notes, bundelan, lipatan, sampai
gumpalan. “Pakaiannya cuma dua setel. Aku terpaksa minjemin punyaku. Dia
sebetulnya enggak ganggu sih. Malah kok betah banget, ya, seharian cuma di
pojokan—baca atau nulis. Makan juga seadanya. Jarang ngomong. Tapi lama-lama
aku jadi serem, soalnya kesannya dia itu antara ada dan tiada gitu, kosan jadi
berasa ada penunggunya. Apalagi
kalau malam, dia diam aja di bawah lampu remang-remang sambil terus baca atau
nulis. Semalam tuh waktu aku mendadak kebangun, aku langsung jerit lihat dia.
Kaget aja. Kirain apaan gelap-gelap ngeringkuk di pojokan. Dia mau sampai kapan
sih kamu titipin di sini? Aku enggak enak aja negurnya.”
Demi temanku yang sudah melupakan Marquéz dan Macondo demi kariernya di BUMN,
aku mengajak gadis itu bertemu lagi di sebuah kedai—tanpa jaminan bagi temanku
itu kalau dia tidak akan kembali ke tempatnya. Pakaiannya sama dengan yang
dikenakannya pada pertemuan pertama.Tanpa basa-basi kutanyakan soal
kegandrungannya akan baca-tulis.
“Aku punya penyakit aneh,” katanya. “Kalau enggak baca sehari
aja, mataku kayak diremas-remas. Gitu juga kalau enggak nulis, tanganku serasa
digigit-gigit.”
“Diremas-remas dan digigit-gigit… apa? Semut?”
“Gorila.”
Bisa kubayangkan sakitnya biarpun aku belum pernah mengalaminya.
“Memang itu penyakit aneh.”
“Karena itu, aku berhenti kuliah, minggat dari rumah. Aku
enggak mau ngerepotin orangtuaku gara-gara penyakitku.”
Aku meminta gadis itu memperlihatkan tulisannya. Sementara
aku membaca tulisannya itu barangkali dia membaca rautku juga. Entahkah dia
dapat menerawang bahwa semakin banyak kata yang kutiti, semakin yakinku bahwa
tulisannya itu ibarat setelan Armani yang dipakaikan pada gelandangan yang
sudah bertahun-tahun tidak mandi. Setelan yang kuyakin benar akan pas di
tubuhku. Ingin aku merenggutnya dari si gelandangan-bau, memasukkannya ke
binatu, tidak bersabar menunggunya dapat kujemput kembali, mengenakannya di
tubuhku, dan mematut penampilanku di cermin—kemegahanku, kewibawaanku,
kedigdayaanku, citra adiluhung yang terpancar berkat jahitan yang begitu rapi
dari benang berkualitas tinggi, yang dijalin dengan sepenuh hati oleh… gadis
berpenampilan gembel ini.
“…tapi enggak ada yang mau nerima tulisanku,” suaranya—aku
baru sadar kalau sedari tadi ia membicarakan entah apa, aku tidak mendengarnya,
perhatianku kadung terpancar pada kekuatan tersembunyi yang dipendam
kata-katanya.
“Terang saja. Idemu enggak menjual,” kataku. Kuempaskan bundelan
kertas itu di meja walau sesungguhnya kuingin meletakkannya dengan hati-hati
bagaikan sepinggan bolu yang baru dikeluarkan dari oven—samar-samar menguar
aroma memikat dan begitu dicicipi lidah akan menagihnya lagi, dan lagi. Kutanya
lagi dia, “Apa rencana masa depan kamu?”
Ia bergeming. Lalu tangannya merayap leher, menggaruk-garuk.
Ia menyeringai. Kepalanya menggeleng pelan. “Aku cuma bisa ngebayangin… duduk,
dan… menulis.”
“Karier lainnya? Berkeluarga?”
“Enggak kepikiran. Selama aku bisa duduk dan menulis, itu
cukup. Aku bisa tinggal di mana aja.”
“Tapi kamu juga butuh makan, dan tulisan kamu belum tentu bisa
ngasih kamu makan.”
Ia diam saja.
“Aku punya tawaran menarik,” ucapku setelah merenungkannya
sejenak. “Aku bisa menanggung biaya hidup kamu, segala yang kamu perluin buat
nulis. Syaratnya, menulislah buatku. Pakai ideku.”
Untuk meyakinkannya, kubawa dia ke rumahku. Kuperlihatkan padanya
notes yang berisi coretan-coretanku—segala ide cerita yang kukumpulkan sejak SD
hingga sekarang kendati frekuensinya makin jarang. Dia membolak-balik lembaran
lusuh itu sambil mengerutkan kening. Lebih lama dari peninjauanku atas
tulisannya. Lalu diakhirinya dengan tanya, “Kenapa kamu enggak bisa garap
sendiri ide-ide kamu?”
Pertanyaan yang sudah sangat sering kuajukan pada diriku sendiri
selama ini, tapi tidak pernah ada jawabannya, sehinga akhirnya aku banting
setir menjadi bankir.
“Gimana?”
Pakaikan
setelan Armani itu di tubuhku!
“Gimana kalau aku enggak sanggup?”
“Selamat jadi gelandangan seterusnya, kalau gitu.”
“Gimana kalau aku ternyata penipu?”
Kutatap matanya sedalam yang diperbuat Dedi Kobusiapaitu waktu
ingin membengkokkan sendok.
“Coba saja,” dan itu bisa berarti apa saja.
Malam itu kami menyiapkan ruangan di lantai dua untuk
dipakainya bekerja. Selain perabotan standar seperti tempat tidur, lemari,
meja, dan kursi, aku melengkapinya dengan berbagai perkakas untuk menulis
seperti komputer, kertas, alat tulis, printer,
koneksi internet tanpa batas, koleksi bacaan dan musikku, satu set mini compo yang dapat memutar kaset, CD,
DVD, mp3, dan radio, serta poster Ernest Hemingway dan Virginia
Woolf—masing-masing selembar—untuk mengingatkannya kalau sewaktu-waktu aku bisa
saja menembaknya pakai pistol atau menenggelamkannya di sungai apabila dia
melanggar kesepakatan kami.
Dia mungkin saja bagian dari komplotan pencuri, sebetulnya aku
was-was juga, walau sampai beberapa bulan berlalu tidak ada kejadian apapun
yang mencurigakan. Seperti kata temanku, kehadirannya antara ada dan tiada. Dia
bekerja tanpa suara—kadang-kadang saja terdengar dentuman dari mini compo di ruangannya. Saat berada di
rumah, aku merasa sendirian seperti biasanya. Bahkan jika ada kebakaran di
lantai bawah, kukira dia hanya akan merasa gerah, melebarkan jendela atau
melepaskan baju, lalu kembali bekerja.
Dia tidak efektif menulis dengan komputer. Bukan berarti dia
gaptek. Namun sering kali dengan alat itu dia dapat mengetik berhalaman-halaman
tanpa henti, lalu menghapus semuanya seketika hingga tak bersisa. Maka aku
menetapkan target harian yang mesti dipenuhinya dengan menulis di kertas
menggunakan pulpen supaya awet dan berbekas—tidak kuberikan Tippex pula.
Komputer hanya digunakan untuk meriset dan semacamnya.
Tiap malam sepulang dari kantor aku mengecek hasil kerjanya.
Aku mengategorikannya jadi empat: bintang tiga berarti tulisannya benar-benar
bagus; bintang dua berarti bagus saja—tidak begitu mengesankan tapi layak disimpan;
bintang satu berarti masih butuh polesan; sedang selebihnya adalah kancut bekas
yang berarti hanya layak untuk menampung ingus hingga tidak layak sama sekali
dan hanya aku yang berhak merobek-robeknya jadi serpihan. Setiap kertas yang
telah dipenuhi hasil kerjanya dan mendapat bintang dua ke atas segera kuamankan
dalam brankas yang gemboknya kubawa ke mana-mana, sebab pernah terjadi dia
mengambil kembali drafnya itu lalu melenyapkannya entah dengan cara apa karena
batinnya tidak merasa puas. Kadang dia menunjukkan rasa frustasinya padaku
bagaikan ibu-tiri egois yang komplain pada suaminya yang baru, “Dia bukan
anak-anak kandungku! Kenapa aku yang harus mengasuhnya?!” Kadang aku
menanggapinya dengan tenang, menghiburnya dan memulihkan kepercayaan dirinya.
Kadang juga aku mengancam akan mengembalikannya ke jalanan, atau menjualnya
pada mucikari. Lama-lama hasil kerjanya yang bernilai bintang dua ke atas
menjadi lebih banyak dari sebelumnya.
Memang sejauh ini belum ada satupun ideku yang selesai
digarapnya. Kebanyakan ideku memang direncanakan untuk menjadi novel, dan aku mengerti
karya yang baik tidak dikerjakan terburu-buru. Tidak terhitung banyaknya jam
yang telah kuhabiskan untuk memahamkan ide-ideku itu padanya. Lalu dia
mengerjakannya secara acak tergantung suasana hatinya. Kadang dalam proses
menghayati ide-ideku dia menghasilkan satu-dua cerpen. Kami sepakat
mengirimkannya ke media dengan menggunakan nama pena yang merupakan anagram
dari nama kami berdua. Sesungguhnya aku tidak berambisi benar ide-ideku
nantinya harus dimuat di media atau dibukukan penerbit terkenal. Aku hanya
ingin melihatnya dalam sebentuk komposisi yang indah, disusun oleh penulis yang
tahu bagaimana memilih dan mengatur kata-kata pada tempatnya yang paling tepat.
Tidak masalah jikapun karya itu hanya aku sendiri yang dapat menikmatinya. Yang
jelas dari hasil kerjanya itu aku merasa telah menemukan rahim yang tepat bagi
tumbuh-kembangnya sekian embrio yang selama ini bersarang dalam otakku saja, nyaris
membusuk.
Tapi segalanya berubah sejak ada embrio lain yang mengisi rahimnya.
Bermula dari kunjungan mendadak orangtuaku. Di ruang tengah
selagi mereka memberi wejangan yang itu-itu saja kepadaku, gadis itu menuruni
tangga dengan rambut semrawut, tampang lepek, dan jejak liur yang belum
dibersihkan. Pemandangan yang bisa kudapati tiap siang akhir pekan. Orangtuanya
bertanya siapa dia. Kujawab dengan sejujur-jujurnya kalau dia gelandangan yang
kuselamatkan dari kerasnya hidup di jalan—sebatas itu. Ibuku bilang gadis itu
tinggal didandani sedikit dan menyuruhku untuk mengawininya sesegera mungkin. Enggak enak sama tetangga, imbuhnya.
Padahal aku sengaja memilih rumah di komplek yang para penghuninya tidak saling
mengurusi satu sama lain—tetangga yang mana? Maka saat itu juga kami
menginterogasinya; meminta KTP-nya, penjelasan akan asal-usulnya, siapa
orangtuanya, dan tetek-bengek lainnya. Aku juga disuruh mengambil cuti untuk
menemui orangtua gadis itu—yang tampaknya sudah masa bodoh dengan apapun
kehendak putri mereka yang satu itu, mereka toh masih punya lima lainnya.
Pernikahan ini mudah saja kujalani. Pertama, silakan menganggapku naif, tapi aku tidak munafik,
kukatakan dengan sejujur-jujurnya kalau satu-satunya wanita yang kucintai sudah
menikah dengan orang lain. Sejak itu pernikahan tidak ada artinya bagiku. Toh
wanitaku juga tidak mencintai suaminya dan masih menemuiku sesekali. Kedua, jika perempuan diibaratkan
makanan, maka ada makanan yang nikmat sekali sampai membuat ketagihan (seperti
wanitaku); makanan yang biasa saja—tidak lezat tapi tidak hambar juga—namun
bergizi dan cukup meredam lapar (seperti gadis itu); dan makanan yang dengan
melihatnya saja sudah bikin mual (seperti perempuan jejadian di perempatan). Ketiga, kami sudah bersepakat bahwa
pernikahan ini tidak akan mengubah apapun di antara kami, melainkan sekadar
formalitas.
Sementara memang begitu adanya. Dia tetap sibuk di ruangannya
sendiri, begitu larut dalam menulis—sebagaimana kehendakku, sampai lupa makan,
lupa mandi, lupa waktu, lupa segalanya. Aku tetap seperti bujangan. Pulang sore
atau malam, sama saja, tidak ada yang menanti apalagi mengomeli, begitupun
kalau aku pulang dalam keadaan mabuk atau membawa teman perempuan menginap.
Tidak ada yang menegurku saat aku ingin merokok sepuasnya, atau begadang
semalaman menonton bola sambil makan kacang. Aku tetap ganteng dan gagah, tidak
seperti kawan-kawan sebaya yang mulai kendor dan berjamur akibat terus-menerus
digelayuti anak-istri. Aku hampir tidak merasa menanggung siapapun, bahkan. Ia
makan begitu sedikit—mungkin karena lupa—sampai kadang aku yang membawakannya ke
kamar sekalian mengecek hasil kerjanya. Adapun keperluan lainnya seperti
pakaian, sabun, sampo, sikat-pasta gigi, sampai pembalut sama sekali tidak
memberatkanku. Dia tidak meminta yang macam-macam sehingga kubelikan saja yang harganya
sedang sekalian berbelanja keperluanku sendiri di supermarket. Begitupun dengan
pekerjaan membereskan rumah tiap akhir pekan—kulakukan sendirian saja dengan
anteng tanpa sedikitpun campur-tangannya.
Semula memang tidak ada keinginanku menyentuhnya. Yang
penting perkawinan kami secara intelektual tetap berjalan seperti sebelum
terjadinya pernikahan jejadian ini. Tapi, ingat, dia tipe makanan nomor dua,
dan sejak ibuku menasihatinya untuk minimal mandi sehari sekali, keramas dua
hari sekali, luluran seminggu sekali, serta ke salon untuk memotong dan
mencabut apa-saja-yang-perlu sebulan sekali, derajatnya naik seperempat
tingkat. Itu cukup membuatku tertarik untuk melakukannya dengan gadis itu, beberapa kali, tapi aku selalu mengenakan
pengaman dan mengingatkannya untuk meminum pil.
Lalu dia mengaku hamil.
“Jangan ngawur,” kataku.
Dia menyodorkan testpack
bergaris dua padaku.
“Coba yang lainnya lagi. Mungkin juga kamu cuma salah makan.”
Dia menurut lalu menyodorkan lebih banyak testpack dari berbagai merek sampai aku
merasa jijik karena membayangkan semuanya menampakkan dua garis setelah diguyur
kencing.
“Bukan aku. Lapor saja sama bapaknya.” Aku yakin dia
melakukannya dengan orang lain. Kalau aku saja begitu sementara dia tidak
peduli, mengapa dia tidak berbuat serupa?
Tapi dia malah merajuk. “Kamu tahu aku hampir enggak pernah
keluar rumah kecuali buat riset, berusaha mati-matian menulis buat kamu.”
“Aku enggak pernah melarang kamu keluar rumah.” Aku bahkan
tidak pernah sungguh-sungguh melaksanakan satupun ancamanku. Selain karena aku
tidak punya pistol dan tidak mengakrabi mucikari manapun, dia juga hampir tidak
pernah melanggar kesepakatan—hingga baru-baru ini. Sampai heran aku dibikinnya,
betah sekali dia menjalani gaya hidup seperti itu. “Kamu saja yang enggak punya
teman.”
Dasar perempuan. Dia menelepon ibuku lalu sambil terisak-isak
mengadukan segalanya dengan berlebihan. Aku
hamil. Dia menuduhku serong. Padahal aku dilarang kerja di luar jadi
sehari-hari aku terkurung di rumah. Aku hampir enggak pernah ketemu
siapa-siapa. Tetangga di sini dingin sekali. Dia mengancam mau membuangku ke sungai. Dan seterusnya. Dan
sebagainya.
Ibuku menegurku habis-habisan. Aku hanya bisa mengiyakan.
Setelahnya aku bersikap seperti biasanya. Kehamilannya bukan
urusanku. Yang penting dia terus menulis, dan menghasilkan draf baru yang bisa
kunikmati sepulang dari kantor setiap
harinya.
Tapi kehamilan begitu memengaruhinya. Dia mulai sering
meminta uang padaku. Dia ingin pergi ke pasar, memilih langsung bahan makanan
yang segar dan baik, dan memasak sendiri.
Akupun sekalian membuatkannya kartu ATM yang saldonya kuharap mencukupi apapun
permintaannya selama berbulan-bulan supaya dia tidak sering-sering
menggangguku.
Kusadari dia mulai bangun pagi. Pernah lewat tengah malam aku
mengintip ke dalam kamarnya. Dia sudah tidur. Padahal biasanya kudapati dia
sedang lincah-lincahnya menggerakkan pulpen pada kertas, ditemani
bercangkir-cangkir kopi dan berbatang-batang rokok. Dia juga berhenti merokok.
Persediaanku tidak berkurang secepat biasanya.
Yang kukhawatirkan pun menjadi nyata. Dia terlalu asyik
meracik pakan yang harus dimasukkan ke dalam perutnya yang makin buncit hingga
melupakan yang utama. Jumlah halaman
yang dihasilkannya berkurang terus dari hari ke hari. Belum lagi mutunya.
Gayanya makin menyerupai cerpen di tabloid wanita alih-alih seperti yang
kuinginkan—yang dulunya membikinku kepincut. Pulpen dan kertas digantinya
dengan pisau dan talenan. Tidak lupa dia memasakkan untukku, yang mau-tak-mau
kuhabiskan dengan enggan. “Lebih enak tulisanmu,” komentarku. “Jelas dong, kamu
kan kebiasaannya pakai pecin, enggak sehat tuh. Aku pakai bumbunya yang serba
alami. Bahan-bahannya yang organik bukannya yang beku atau kalengan kayak yang
kamu suka beli itu!” jawabannya itu membuatku makin menyadari bahwa secara
intelektual perkawinan kami telah retak. Aku makin risau saat tidak lagi
menemukan draf baru di mejanya. Hanya makanan, makanan, dan makanan yang
mengepulkan aneka aroma di meja dapur. Tubuhnya jadi amat gembrot hingga
derajatnya turun drastis, jika diibaratkan dengan makanan, dia seperti burger
super berminyak yang dijatuhkan dari lantai tiga mal padat pengunjung lantas
diinjak-injak hingga sangat kotor dan lembek dan nahas. Perutku pun jadi ikutan
kendor.
Sebisa mungkin aku berusaha menjauh dari rumah. Beralasan
lembur, padahal mengasap berbatang-batang di kafe 24 jam sambil memikirkan ide-ideku,
calon mahakaryaku, anak-anak batinku yang terbengkalai—dan perceraian. Aku
tidak peduli dengan isi perutnya, bagaimanapun juga, bisa jadi itu tinggal
jasad ketika dirojolkan. Mungkin memang aku mesti berusaha menuliskan
karya-karyaku sendiri. Aku berpikir untuk berhenti bekerja. Aku pulang sekadar
untuk mandi, bercukur, dan berganti pakaian lalu kembali ke kantor. Pada akhir
pekan aku mengurung diri di kamar, mengeluarkan tumpukan draf dari brankas,
membaca tulisan tangan ala cakar beruang itu berulang-ulang, mengetikkannya di
komputer diliputi ilusi bahwa baris-baris itu—kata-kata itu—adalah milikku
sendiri, keluar dari lubuk pikir dan hatiku pribadi. Namun selama ini buah dari
setiap kontemplasiku yang mendalam di manapun aku berada hanyalah baris-baris
pendek yang tidak bisa kukembangkan sendiri, melainkan sekadar puluhan .doc dan
.docx dan .rtf dan .txt dan sebagainya dan seterusnya yang kapasitasnya tidak
ada yang melebihi 30 KB.
Maka bulan demi bulan berlalu. Meja di kamarnya berdebu.
Sementara meja di dapurku berwarna-warni akibat tumpahan minyak, sirup, kecap,
sambal, jamur, apalah—baunya jangan ditanya. Dia perempuan yang hanya bisa
berfokus pada satu hal sehingga pekerjaan membereskan rumah harusnya tetap urusanku. Tapi aku
terlalu sibuk berkhayal memotong-motong sekujur tubuhnya lalu menukar otakku
dengan otaknya, hatiku dengan hatinya, bakatku dengan bakatnya, persepsiku
dengan intuisinya… dan membuang sisanya ke tempat sampah—termasuk janinnya. Aku
mencoba menggarap ideku sendiri berkali-kali, mengikuti gayanya, melanjutkan
draf-draf yang diabaikannya. Sesekali dalam puncak kefrustasianku terpikir
untuk menghubungi wanitaku lagi, walau tahu ia pun tengah sibuk merawat bayinya
yang baru lahir—yang entah anak suaminya, anakku, atau anak setan. Sesekali
pula ibuku menelepon untuk mengingatkanku agar tidak lupa mengantar si dia
kontrol ke dokter kandungan, yang kujalankan, sekali lagi, demi formalitas.
Sementara dokter itu mengoleskan gel ke perut si dia sambil
mengoceh basa-basi, aku teringat akan biang novel fiksi-ilmiahku. Latarnya masa
ketika semua bayi baik yang baru embrio maupun sudah lahir diburu dan
dimusnahkan karena persediaan sumber daya di bumi tidak lagi mencukupi. Itu
pertimbangan yang sangat manusiawi. Mereka tidak mau ada lebih banyak lagi
manusia yang menderita. Pada akhirnya mereka saling membunuh demi merebut
sumber daya yang tersisa.
Segala urusan di luar penggarapan ide-ideku terasa bagaikan
bayang-bayang yang berlalu begitu saja di hadapanku, dikerjakan oleh sisi auto pilot dari diriku, sementara bagian
diriku yang utama memikirkan kata-kata. Kadang aku seakan diisap ke dalam dunia
rekaanku, menyelaminya, antara nyata dan mimpi, namun aku hanya bisa
merasakannya dengan seluruh indraku tanpa mampu mengungkapkannya melalui
kata-kata, walaupun sepanjang hidupku sudah kuupayakan untuk membaca
sebanyak-banyaknya, memindai dan menyerap bagaimana kata-kata dipadukan
sedemikian sehingga membukakan dunia yang begitu memukau….
Dini hari itu aku dibangunkan oleh ibuku—aku bahkan tidak
ingat sedari kapan ia menginap. Nadanya terdengar panik. “Ketubannya pecah!”
Setengah sadar, diburu-buru ibuku, aku menyalakan mobil.
Hampir saja aku berangkat entah ke mana padahal ibuku dan menantu satu-satunya
itu belum juga memasuki kendaraan.
Jadi…. Apa sekarang?
Sambil memulihkan kesadaranku di ruang tunggu, kepalaku
seakan berisi kilasan-kilasan cahaya kuning yang entah apa artinya.
Aku tidak pernah benar-benar memikirkannya lagi hingga bertemu perempuan itu. Bisa dibilang aku sudah
meninggalkannya, menutupnya
rapat-rapat dalam kotak berlabelkan: ASA TAK SAMPAI.
Asa untuk mewujudkan diriku dalam sebentuk sesuatu, sepenggal-sepenggal atau
sepenuhnya; dan melihatnya, menikmati keberbedaan wujudnya dari wujudku itu,
yang sama sekali tidak serupa dengan mematut diri di cermin—dalam setelan Armani, ha-ha.
Ibuku memanggilku. Bayi itu telah dibersihkan dan disusui.
Ibuku menimang-nimangnya seraya mendekatkannya padaku. “Mirip banget sama kamu.
Alisnya. Matanya. Hidungnya. Bibirnya.”
Aku memerhatikannya dengan saksama.
Tidak perlu aku membandingkannya dengan fotoku sendiri semasa
bayi. Selain ingatanku yang kuat bahwa sedari bayi aku sudah rupawan, tiap pagi
aku mengamati setiap detail wajahku dan di hadapanku kini tampaklah
miniaturnya—dalam versi yang jauh lebih lembut, dan rapuh, dan… bernapas—hidup.
Sekonyong-konyong dalam kecepatan cahaya melintas di benakku malam ketika aku
mengerahkan sepenuh tenagaku untuk… membikinnya.
Adakah karya yang lebih bernyawa
daripada dirinya?
Perempuan itu tersenyum lemah padaku. Kata-katanya terdengar
bagai puisi walau bukan: Darah dan
daging. Bukan tinta dan kertas.
Tidak.
Kesepakatannya bukan begitu. Walau hanya kuucapkan dalam hati namun tampaknya dia
mendengar lalu merengut. Bisakah dengan
intelektual dan intuisimu saja—disalurkan melalui mata dan jemarimu—membuat
karya yang sehidup ini?
Ibuku menyerahkan bayi itu padaku. Kudengar tadi bobotnya
mencapai lebih dari empat kilogram, dan kondisinya amat baik. Mau-tak-mau aku
menerimanya dengan hati-hati, terus memandanginya, dan membawanya ke jendela,
mendekati cahaya matahari yang mulai terang. Kudapati setitik andeng-andeng di
sisi kiri dagunya. Pantulan sosokku pada kaca jendela menampakkan tanda yang
sama di tempat yang sama.
Sejak itu kami melanjutkan kesibukan berkolaborasi
menghasilkan karya-karya baru. Lalu
dia menjadi terlalu sibuk mengurus anak-anak, sementara aku terlalu sibuk
mengejar promosi demi mengatasi pengeluaran yang membengkak. Pada saat
mempersiapkan kamar untuk kedatangan buah hati kami yang kelima, aku menemukan
notes usangku dan brankas berdebu yang segara saja kusadari apa isinya—yang
entah mengapa tidak terasa lagi pentingnya. Namun notes itu kubawa ke kamar
anakku yang sulung. Belum lama ini ia menyelesaikan cerpennya yang pertama,
yang dibuatnya karena ditugaskan guru Bahasa Indonesia, lalu ditunjukkannya
padaku untuk meminta pendapat. Terasa tanda-tanda keeksentrikan dalam narasinya
itu yang kuduga diwarisinya dari ibunya. Kumasuki kamarnya, di pojokan ia
meringkuk membaca Seratus Tahun Kesunyian
sebagaimana kuamanatkan. Kuberikan notes itu padanya seraya berkata, “Ayah
punya tawaran menarik.”[]
C623 – 18/9/14