Kamis, 20 Agustus 2015

#2 Pelajar Senang Keluyuran

Saat itu sudah lewat jam istirahat, tapi Dean, Icang, dan beberapa kakak kelas masih menongkrong di dekat Tenis Net. Selama dua pelajaran sebelum jam istirahat tadi, Dean ketiduran nyaris sepanjang waktu. Lebih parah daripada sewaktu dia di SMP. Di SMP dia masih bisa menangkap materi yang disampaikan gurunya, sedikit-sedikit. Di SMA pelajarannya bertambah rumit. Maka Dean pikir, daripada mengantuk di kelas, disuruh guru untuk keluar dan cuci muka, dan akibatnya mengganggu kegiatan belajar mengajar, lebih baik dia absen sejak awal atas kesadaran sendiri dan memanfaatkan waktu untuk mempererat silaturahmi dengan para senior. Tidak kalah bermanfaat toh.

Icang menanyakan kepanjangan Bastard pada Kang Yuyun—anak kelas XII yang dikenal sebagai pentolan dalam kelompok itu. Kang Yuyun pun membeberkan pada Icang dan Dean mengenai sejarah, filosofi, sampai visi dan misi Bastard.

“Asalnya sih sebetulnya Bastar.”

“Bastar?”        

“Bastar itu kan artinya hibrida, persilangan, atau gampangnya… campuran. Misalnya, nih, ya, ada mangga sama apel dikawinin, jadinya mangga apel. Atau misalnya kamu, bapaknya orang Jawa, ibunya orang Sunda, kamu jadinya anak Janda—Jawa Sunda.”

“Hubungannya apa, Kang?”

“Yaa… maksudnya, kan, sehari-hari kita ada kegiatan di sekolah sama kegiatan di luar sekolah. Ada waktu untuk belajar, dan ada waktu buat senang-senang. Kita mesti bisa nyampurin kedua-duanya itu dengan seimbang. Kalau enggak seimbang, entar jadi kacau. Kalau terlalu banyak belajar, nanti kita pusing, stres, frustrasi. Kalau terlalu banyak main, ya enggak apa-apa, da main juga kan sebetulnya termasuk belajar. Belajar sesuka kita. Sekolah mah kan yang penting naik kelas, lulus pas UN, terus masuk PTN. Yah, ada waktunya sendiri-sendiri itu mah. Pokoknya mah kita jadikan masa SMA masa yang paling indah.”

Kumaha maneh we lah, asal maneh bahagia,” celetuk Kang Lutung.

“Betul. Asal kita bahagia. Da bahagia mah bukan dicari, tapi dijalani,” Kang Yuyun mengembuskan asap dari mulutnya perlahan-lahan sambil memandangi awan.

“Anjiiir…” teman-temannya menyoraki.

“Saya ngomong ke kamu maksudnya,” kata Kang Lutung pada Kang Yuyun, tapi yang dituju cuek saja.

“Emangnya itu enggak mesti disiapin dari sekarang gitu, Kang?” kata Dean tanpa meneruskan dengan, kata ibu saya mah.

Kang Cawe menceletuk, “Kamu tahu enggak Kang Rhesa?” Dean dan Icang menggeleng. “Entarlah kalau kapan dia main ke sini, kenalan. Dia alumni sini. Dulunya suka duduk-duduk di sini juga. Masuk telat. Mabal. Ngerokok. Santai, pokoknya. Belajar males. UN-nya juga cuma dapet nilai 4. Tapi pas SPMB dia belajar bener-bener. Sekarang di ITB. Geofisika. Udah kerja juga. Pas lagi nongkrong-nongkrong gini teh, ada alumni dateng. Nawarin ke dia, mau enggak kerja sama saya? Jalan-jalan, dibayarin…. Ya maulah. Pas dia SMA itu teh. Kerjanya ikut survei, ke mana gitu. Ngukur sungai, yang gitu-gitu lah. Dia anak PA juga, emang hobinya jalan-jalan.”

“Kang Rhesa teh seangkatan sama Kang Mursyid, ya?” sela Kang Galang.

“Asalnya mah enggak seangkatan. Tapi Kang Mursyidnya enggak naik kelas,” kata Kang Cawe. “Kalau Kang Mursyid di mana gitu sekarang?”

“HI Unpad. Tapi katanya sekarang lagi ikut kerja di pertambangan di mana gitu. Sumatra apa, ya? Enggak tahu kuliahnya gimana. Kayaknya sih belum selesai.”

“Kerja gitu mah kadang dapetnya lewat jalur pertemanan sih, enggak mesti lewat jalur formal. Makanya, enak kalau banyak temen mah, banyak kenalan. Bisa ada yang bantuin.” Kang Yuyun mengisap rokoknya, lalu menoleh pada Kang Abuy. “Kalau kakak kamu yang udah S2 itu udah dapet kerja belum?”

“Belum. Di rumah aja. Nge-Dota.”

“Hahahaha….”

“Enggak pinter ngomong dia mah orangnya. Gagal terus pas wawancara, katanya.”

“Ajakin atuh ke sini, biar pinter,” kata Kang Yuyun.

“Pinter ngebacot, iya.”

“Hahahaha…. Jangan gitu atuh.”

Da  jalan hidup orang mah kadang enggak ketebak sih. Enggak sama antara satu orang dan orang lainnya teh. Ada yang lurus-lurus aja, lancar. Ada yang zig-zag, kayak dikejar babi…” ucap Kang Cawe dengan hikmat sambil menyulut rokok baru.

“Hahaha, babi…” tahu-tahu Kang Abuy terbahak-bahak. Beberapa temannya yang sesama anak PA ikut terkekeh. Lalu mereka sambung-menyambung menceritakan pengalaman saat mendaki Gunung Pangrango beberapa bulan lalu. Mereka sempat mendengar suara berisik dari arah samping, seperti ada sesuatu yang besar dan berat sedang menerobos semak-semak. Mereka mengira ada babi yang mau mengejar mereka. Salah seorang dari mereka berkata bahwa kalau dikejar babi, orang harus berlari zig-zag. Kenapa gitu? Biar babinya pusing! Mereka pun berlari zig-zag. Mereka baru berhenti setelah jauh dan kecapekan. Sewaktu mengamati keadaan di belakang, yang ada cuma sunyi dan senyap.

“Hahaha, goblok…. Perasaan kamu aja kali!” sembur yang lain-lain, yang tidak ikut dalam perjalanan itu.

“Kalau kalian pada ikutan ekskul apa aja?” tanya Kang Yuyun pada Dean dan Icang, setelah tawa anak-anak mereda. “Kalau si Abuy, Galang, Rio, dan sebangsanya ini kan anak Pamanson—Pencinta Alam Smanson. Anying, ngakunya mah pen-cin-ta. Pas sampai puncak, nyodorin HP, atau kamera, terus, Fotoin saya lah, sambil nempelin rokok ke bibir.” Yang disentil terkekeh-kekeh saja. Kang Yuyun melanjutkan, “Kalau saya, si Cawe, si Elmo, dan sespesiesnyalah, anak Samson—Siswa Keamanan Smanson.”

“Ekskul hansip kamu mah,” celetuk Kang Lutung. “Siskamson.”

“Jangan gitu atuh,” kata Kang Yuyun antara mesem dan bernafsu untuk menyambit Kang Lutung dengan kerikil. Kang Lutung buru-buru bersembunyi di balik Dean sambil mengikik. “Kamu mah enggak ngerti ih betapa bahenolnya cewek-cewek di ekskul saya teh.” Anak-anak pun tergelak. Kang Yuyun melanjutkan dengan cuek, “Di sini mah kebanyakan kalau bukan anak Pamanson, ya Samson. Kalau kamu teh ekskul apa, Pil?” tanyanya pada Kang Lutung.

“Kan ketua Patin ini mah!” Kang Cawe menepuk punggung Kang Lutung keras-keras.

“Widih, ngeri,” kata Kang Galang sambil pura-pura takut. Patin itu singkatan dari Pembuka Mata Batin, ekskul bela diri dengan menggunakan tenaga dalam di Smanson. Anak-anak suka menyebutnya begitu meski nama resminya bukan itu.

“Inget enggak, yang kemarin pas demo ekskul, anak-anaknya pada pakai topeng Power Ranger?” ujar Kang Cawe, yang selaku salah satu panitia MOS ikut menonton demo ekskul.

“Jangan macem-macem sama anak Patin mah, yah,” kata Kang Yuyun yang walau nadanya serius tapi tampangnya cengengesan, “Kalau anak Pamanson mah sukanya ngejar gunung, bikin asap, kalau anak Samson kerjanya marah-marahin adik kelas, nah, anak Patin mah… apa, ceunah, Pil? Memecah batu dan membelah awan!” Tidak hanya itu, sewaktu demo ekskul, anak-anak Patin mendemonstrasikan kemampuan mereka berlari cepat di atas bangku panjang yang lebarnya tidak lebih daripada sepuluh senti.

“Ha ha ha!” Kang Lutung tertawa dengan lagak angkuh, tidak lupa sambil mengguncang-guncangkan perutnya yang seakan buncit padahal rata dengan kedua tangan. “Ah, gitu aja da,” katanya lagi.

“Kalau kamu mah yang kemarin ikut technical meeting Samson itu, ya?” Kang Cawe memegang pundak Icang.

“Iya, Kang,” sahut Icang.

“Entar saya mah kejamnya pas di Pendas aja,” ujar Kang Cawe. Pendas yang dia maksud adalah Pendidikan Dasar atau inisiasi masuk Samson yang akan diadakan pada akhir pekan itu. “Di sini mah hayuk aja haha-hehe. Tapi di sana kamunya yang serius, ya.”

“Siap!” Icang mengangkat tangan kanannya ke dahi, menunjukkan penghormatan.

“Kalau kamu, Dean, ikut ekskul apa?” tanya Kang Lutung.

Ditanya begitu, Dean terdiam, mengingat-ingat dia pernah ikut ekskul apa saja. Pada hari-hari terakhir MOS dan minggu-minggu sesudahnya, sewaktu promosi ekskul sedang gencar-gencarnya, Dean iseng saja mengisi setiap formulir pendaftaran yang disodorkan padanya dan mendatangi pertemuan ekskul apa saja. Kadang dia memang tertarik, misalnya sewaktu ekskul Jejepangan mengadakan acara nonton bareng Naruto dan film-film Jepang lainnya. Tapi sering kali dia cuma ikut-ikutan temannya. Dean tidak benar-benar tertarik dengan Jepang, teater, komputer, jurnalistik, bahasa Inggris, kebudayaan Sunda, kewirausahaan, organisasi, dan sebagainya. Bahkan ketika tahu bahwa Rieka mendaftar Vocal Group, OSIS, dan Lempers alias Lembaga Pers Smanson, Dean tidak serta-merta tertarik mengikuti semua itu hanya supaya bisa bertemu lebih sering dengan cewek itu. Lama-kelamaan, setelah punya teman-teman yang bisa diajak main tanpa ada maksud tertentu selain senang-senang saja, acara-acara ekskul itu pun terlupakan. “Ah, saya mah apa aja ikut we, Kang,” kata Dean akhirnya.

“Ekskul Bastard dia mah, Kang,” kata Kang Abuy.

Kang Yuyun mendengus geli sambil bergumam, “Ekskul Bastard….”

“Kan katanya Bastard mau mengakomodasi segala bakat tea, Yun,” kata Kang Lutung.

“Makanya saya bilang juga—sampai mana sih tadi saya ngomongnya? Bastard teh ya bastar, campuran. Kenapa tahu-tahu jadi pada ngomongin babi sama Power Ranger segala?”

“Kenapa jadi ada ‘d’-nya, Kang, dari yang asalnya ‘Bastar’ aja?” tanya Icang.

“Enggak tahu siapa yang awalnya nambahin “d”, dari kapan. Tapi kan sama aja artinya mah. ‘Bastard’ teh, ya ‘Bastar’ juga—enggak suka baca kamus, ya? Cuma kalau di bahasa Inggris mah kan ‘Bastard’ teh jadinya kasar gitu, son of a bitch, hahaha, anak PSK, tapi kita mah PSK-nya Pelajar Senang Keluyuran. Intinya mah tetep, artinya campuran, tapi campuran dari macam-macam ekskul. Ekskul remi. Ekskul gaple. Ekskul ngisi TTS. Ekskul ngerokok. Ekskul AV. Ekskul mabal. Banyaklah. Kemarin juga pas tujuh belas Agustusan kita ngadain turnamen gaple, poker, ngisi TTS sama SMK-SMK tetangga. Oh, anak-anak SMP sebelah juga ada yang ikutan. Ramelah. Kalian ikutan aja kalau entar diadain lagi. Kayaknya akhir semester ini. Di sekolah ada pekan olah raga, di sini juga ada pekan gitu-gituan.”

“Pemenangnya dapet apa, Kang?”

“Apa, ya, kemarin teh? Apa aja, Caw?”

“Ya, yang menang gaple, dapet gaple baru. Yang menang poker dapet remi baru juga. Yang menang ngisi TTS dapet buku TTS baru sama seperangkat alat tulis. Semua hadiahnya fresh pisan dari warung. Da yang dapet tugas beli hadiahnya juga lupaeun. Pas pemenangnya diumumin teh, Mana hadiahnya? Eh, lupa! Bentar, yah, beli dulu. Goblok…. Hahaha…. Ngacir aja anak itu teh. Dikasihinnya juga baru besoknya.”

“Siapa yang tugas beli hadiah teh?”

“Itu, si Abuy tea, sama ada anak SMK sebelah.”

“Udah belum ngerokoknya?” Tiba-tiba ada suara parau menyapa mereka. Semua menengok pada bapak-bapak berbaju safari yang sedang membeli sesuatu di warung sebelah. Namanya Pak Yaya, guru Biologi yang mengajar anak-anak kelas XII.  

“Bentar lagi, ya, Pak!” sahut Kang Yuyun dan beberapa anak lain.

“Bentar lagi, ya.”

“Siap, Pak!”

Pak Yaya pun meninggalkan mereka.

“Enggak apa-apa sama si bapak itu mah,” kata Kang Yuyun pada Dean dan Icang dengan suara pelan sekaligus geli. Kedua anak itu tampaknya kaget tahu-tahu ada guru memergoki mereka sedang membolos. “Tadi juga lagi beli rokok da.”

Kang Cawe menarik arloji di pergelangan tangan Kang Lutung. “Udah mau jam sebelas lagi, ih.”

“Bentar lagilah.” Kang Yuyun mengisap rokoknya bertubi-tubi. “Tadi sebelum ngomongin Bastard, bukannya mau ngebahas rencana bikin jaket bareng tea, kita teh?

“Kita habis ini ada pelajaran apa, ya?” tanya Icang pada Dean di sela-sela obrolan para akang.

“Eh, apa, ya?”

“Matematika ari kamu. Ada PR.” Icang mendadak ingat.

“Anjing! Urang can nyieun!” kata Dean dalam bahasa Sunda yang artinya kira-kira: Saya belum ngerjain! Dia menepuk jidatnya.

Ketika terdengar bel tanda bergantinya pelajaran, mereka ramai-ramai melompati tembok belakang lalu berpencar ke kelas masing-masing.

.

Sewaktu Dean dan Icang sampai di kelas, guru Matematika belum datang. Icang juga belum mengerjakan PR-nya, tapi di perjalanan tadi Dean menenangkannya, “Kita ke Zahra!”

Zahra adalah langganan Dean dalam urusan salin-menyalin PR. Menurut Dean, hasil pekerjaan Zahra lebih rapi, jelas, dan terpercaya ketimbang punya anak-anak lainnya.

Kebanyakan anak di kelas segan pada Zahra sebab cewek itu sering kali menyambut mereka dengan tampang cemberut, apalagi kalau maksudnya jelas-jelas untuk menyontek PR. Tapi Dean cuek saja. Dia mendekati Zahra dengan santai biarpun cewek itu sudah menebarkan hawa “Jangan dekat-dekat!” sampai radius lima meter. Ketika Zahra sudah memasang tampang cemberutnya hingga level 9 (pada level ini anak-anak biasanya sudah tidak sanggup bahkan untuk sekadar menengok mukanya saja), Dean malah menanggapinya dengan berceloteh riang terus-terusan seakan tidak akan berhenti kecuali ketika guru sudah datang.          

Kadang Dean berharap suatu saat Zahra akan mengerti dengan sendirinya. Jadi ketika Dean mendekati bangku Zahra sewaktu menjelang jam pelajaran atau pada jam istirahat, cewek itu akan langsung saja menyerahkan PR-nya tanpa dia harus merayu sampai berbusa-busa—soalnya lama-lama capek juga! Tapi kalau Zahra saja bisa begitu gigih dalam mempertahankan PR-nya, masak Dean kalah?

Celotehan Dean kadang membuat Zahra ngeri. Misalnya, ketika Zahra cemberut, Dean malah tersenyum semakin mencurigakan dan bilang, “Zahra, kamu lucu ih!” Tentu saja diam-diam Zahra heran, Kenapa orang cemberut kok malah dibilang lucu? Lanjut Dean, “Kamu cemberutnya kayak ibu saya. Entar kalau kamu punya anak, jangan-jangan anaknya mirip sama saya lo.” Setelah dibilangi begitu, Zahra tetap cemberut tentu saja, tapi setidaknya Dean tidak lagi berisik di dekatnya meski PR-nya lagi-lagi menjadi korban. Apalagi ketika mengembalikan PR-nya, Dean sering kali meninggalkan jejak di sekitar hasil pekerjaannya. Mulai dari tulisan “Good job, Zahra!” lengkap dengan gambar jempol yang lebih mirip jamur—seakan-akan anak itu berlagak menjadi guru yang habis menilai hasil pekerjaannya—sampai ucapan “Terima kasih” dalam berbagai bahasa yang dia tahu dan gambar orang tersenyum.

Kadang Dean berharap juga suatu saat Zahra mau pindah duduk ke bangku deretan belakang. Jadi sewaktu ulangan dia bisa dengan mudah mengintip jawaban cewek itu.

.

Di samping saat-saat yang menyusahkan ataupun membosankan, ada juga saat-saat yang menyenangkan di sekolah. Saat-saat itu adalah saat mabal, saat jam istirahat, saat guru bukannya menerangkan pelajaran tapi malah menceritakan topik lain yang menarik dan lucu, saat guru tidak masuk dan tidak juga memberi tugas, dan terutama saat bel tanda pulang sekolah berbunyi.

Dengan semangat, Dean membereskan barang-barangnya lalu menggendong ranselnya dan menyelinap di antara anak-anak lain yang juga sudah tidak sabar untuk segera menuju pintu kelas. Tapi langkah Dean terhenti karena mendengar Zahra berseru, “Dean, hari ini piket!”

“Mau keluar dulu bentar!” Dean balas berseru sambil melontar senyum. Dia sudah semakin dekat dengan pintu ke luar.

“Kalau cuma bentar mah enggak usah dibawa atuh tasnya.”

“Dompetnya kan ada di tas!” kata Dean, dan lenyaplah dia.

Acil mengangkat jam tangannya dan berkata, “Dalam waktu kurang dari setengah jam, dia akan kembali dengan membawa….”

“Cilok!” sahut Salman yang baru akan menghapus papan tulis.

“Cakue,” kata Rani yang mulai merapikan meja guru.

“Sekali-kali piza kek!” ujar Acil sambil mengangkat kursi ke atas meja.

Zahra tidak berkata apa-apa. Bibirnya mengatup rapat sementara tangannya sibuk menyapu gumpalan kertas, rautan pensil, penghapus bulukan, dan debu ke dalam pengki.

Seperti yang sudah diprakirakan Acil, dalam waktu kurang dari setengah jam, Dean kembali dengan membawa sekantong makanan. Kali ini kue cubit.

“Habis ini kita ngomongin tugas Bahasa Inggris dulu, cuy!” kata Acil selaku ketua kelompok piket sekaligus ketua kelompok tugas Bahasa Inggris.

Sebetulnya mereka juga satu kelompok tugas dalam beberapa pelajaran lain. Anak-anak sekelas sepakat untuk memakai hasil pembagian kelompok piket saja tiap kali ada guru yang menyuruh mereka untuk membentuk kelompok tugas. Meski ada juga guru yang ingin mengacak lagi mereka ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda. Jadi setelah berbulan-bulan sekelompok dalam piket dan berbagai pelajaran, Acil, Rani, Salman, dan Zahra mulai tahu cara membagi tugas di antara mereka berempat dengan sesekali melibatkan Dean apabila yang bersangkutan kebetulan hadir.

“Aku ngemoceng jendela, yak!” kata Dean setelah menaruh ransel dan menjumput kemoceng.

“Iyak…” kata teman-temannya, selain Rani yang memang pendiam dan Zahra yang selalu cemberut. 

Dean pun pergi ke luar dan mengemoceng jendela. Tidak sampai lama, dari balik jendela anak-anak di dalam kelas memerhatikan bahwa Dean lebih banyak mengobrol atau bercanda dengan orang-orang yang lewat ketimbang sungguh-sungguh mengemoceng.

Setelah semua tugas piket selesai dikerjakan, mereka duduk di tengah ruangan kelas dan mulai membahas tugas lainnya sambil melahap kue cubit. Sewaktu pembahasan mengarah pada pembagian tugas, Dean sudah tidak ada bersama mereka. Tadi Dean bilang akan pergi sebentar. Tapi anak-anak itu tahu bahwa yang Dean maksud dengan “sebentar” adalah mulai dari saat ini hingga besok pagi mereka berjumpa lagi di kelas. Yang paling (malah, sebetulnya, yang satu-satunya) cemberut di antara mereka tentu saja Zahra. Seringan apa pun tugas yang disediakan untuk Dean, ujung-ujungnya Zahra yang harus mengerjakannya atau tugas mereka tidak akan beres pada waktunya. Bagaimana memercayakan tugas pada anak yang mengerjakan PR-nya sendiri saja tidak bisa?

.

Pada jam-jam sehabis pulang sekolah, bagian luar dan dalam Tenis Net bertambah ramai. Bukan saja oleh anak-anak Smanson yang disebut-sebut sebagai geng Bastard itu, tapi juga oleh anak-anak SMK dan SMP tetangga dan pengunjung warnet tentunya. Apalagi di lantai dua bangunan itu terdapat rental game online. Sehabis berpamitan pada teman-teman sekelompok tugasnya siang itu, Dean main di sana.

Dean sedang sibuk-sibuknya menghantam lawan mainnya, ketika merasakan getaran di saku jumper yang dia kenakan. Di tengah riuhnya ruangan yang ramai oleh para pelajar sesamanya itu, Dean menjawab panggilan. Terdengar suara adiknya yang cempreng, “Kamu ke mana ih? Dicariin Bunda, tahu!” Dean mencari-cari jam dinding dan terkejut antara Udah jam lima lagi! dan Baru juga jam lima! Dean pun berpamitan lagi, kali ini pada teman-teman mainnya, dan pulang.

Ketika Dean sampai di rumah, Bunda tampak segar dan wangi sehabis mandi. Bunda juga belum lama tiba di rumah. Ketika sampai, ia langsung menanyakan Dean pada Zara yang sudah lebih dulu tiba di rumah.

Bagaimanapun juga, Dean mendapat firasat tidak baik. Benar saja. Setelah dia mandi dan makan, Bunda menyuruhnya duduk bersama-sama di ruang tengah. Ada hal serius yang mau dibicarakan. Bunda juga menyiapkan kertas dan alat tulis. Benar saja. “Sini, Dean. Ulangan Biologinya besok, kan?”

Hampir seminggu yang lalu, seperti biasanya, Bunda bertanya pada Dean, ada PR atau ulangan apa? Dean biasanya tidak mencatat, dan baru ingat sewaktu ada yang bertanya. Maka dia pun teringat pada perkataan gurunya tadi siang, “Biologi, virus, tapi masih minggu depan da,” dan merasa tenteram sejenak karena itu masih minggu depan, sampai Bunda berkata, “Belajarnya dari sekarang atuh.” Dean menjawab, “Iya, Bunda,” tapi di bibir saja, dan melupakan bahwa dia ada ulangan Biologi sampai hampir seminggu kemudian Bunda mengingatkannya lagi.

Bunda mengajar mahasiswa kedokteran dan dulunya juga mahasiswa kedokteran, jadi ia pasti tahu tentang virus-virusan. Ini akan menjadi kuliah malam yang melelahkan. Dean melangkah gontai menuju ibunya, dan kembali lagi ke kamar karena disuruh membawa serta buku pelajaran Biologinya.

Sambil melihat-lihat isi buku pelajaran Dean, Bunda bertanya, “Jadi, Dean udah belajar apa aja tentang virus?”

“Itu, Bun, virus itu yang bikin orang jadi sakit.”

“Iya. Virus itu termasuk makhluk hidup atau bukan?”

Dean terdiam. Karena Dean terdiam sampai lama, Bunda bertanya lagi, “Di bab sebelumnya udah belajar kan, ciri-ciri makhluk hidup?”

“Udah,” dan pada ulangan bab tersebut Dean mendapat nilai 4. “Bernapas…. Makan…. Beranak…. Mati….” dan seperempat jam kemudian ketika dia masih belum juga dapat menyebutkan keseluruh ciri makhluk hidup dengan benar, Bunda membuatkan rangkuman pada selembar kertas sambil menjelaskan panjang lebar.

“Nih. Nanti ini dipahami, ya.”

“Iya, Bunda.”

“Nah, sekarang, ciri-ciri virus itu apa aja, Dean?”

Lagi-lagi Dean terdiam sampai lama. Kali ini dia yang menyerah dan menawar untuk membaca sendiri dulu buku pelajarannya.

Ketika Bunda membiarkannya, Dean memanfaatkan kesempatan itu untuk memijit-mijit ponselnya. Dia mendapat SMS dari Icang yang isinya ajakan menonton balapan di Jalan Laswi. Acaranya baru akan dimulai lewat tengah malam nanti, tapi anak-anak mau berkumpul dari sekarang. Ih, mau, pikir Dean. Tapi sebelum dia sempat membalas, Bunda muncul dan kembali mengajukan pertanyaan-pertanyaan.

Setelah banyak pertanyaan dan banyak pengelakan, Bunda tampaknya mulai kehilangan kesabaran. “Fokus, Dean.”

“Ini juga fokus,” kata Dean, meski yang dia maksud adalah fokus pada cara supaya bisa keluar semalaman itu. Kalau sengaja minta izin pada Bunda, sudah tentu tidak akan diberi.

“Kamu enggak fokus,” kata Bunda. “Bukannya enggak bisa, tapi enggak mau.”

Dean diam saja.

“Dean mau, hampir enggak naik kelas lagi? Mohon-mohon ikut ulangan perbaikan, sampai berkali-kali, sampai gurunya akhirnya mau juga ngelulusin? Emangnya kamu enggak kapok? Atau kamu lebih suka enggak sekolah sama sekali? Keluyuran aja di jalanan?”

Dean bingung menanggapinya, sebab kalau dia menjawab, “Iya,” Bunda pasti makin sewot.

“Mau jadi apa kamu, Dean?”

Dean tidak tahu.

Malah kalau ada yang mengatainya “madesu”—masa depan suram”, Dean akan mengoreksinya dengan “madesong”—masa depan kosong. Bagi Dean, masa depan itu tidak ada, sebab dia selalu berada di masa kini. Masa depan yang sanggup dia bayangkan hanyalah sebatas apakah dia bisa menonton balapan malam ini atau tidak.

Bunda mendesah. Nada suaranya melunak. “Dean tahu, kan, sebelum ini, Bunda sering pergi-pergi. Ayah juga sibuk di luar kota. Dean, Zara, Deraz ditinggal di rumah sendiri, atau sama Opa, Oma, Enin…. Sekarang, Bunda bela-belain, nolak tawaran ini-itu, sering-sering izin, enggak ikut rapat, biar bisa cepet pulang, lebih sering di rumah, merhatiin anak-anak. Dean paham? Bunda mau bantuin Dean. Dean mau enggak dibantuin?”

Dean tampak merenung sebentar lalu menyahut pelan, “Iya, Bun.” Dia memeluk ibunya. “Maafin Dean, ya, Bunda.” Sudah lama Dean tidak memeluk Bunda. Ini kesempatan. Tiap kali dia ingin memeluk, Bunda menghindar. Alasannya, Dean kan sudah besar.

“Iya, Dean.” Kali ini saja Bunda sudah melepas lagi pelukannya sebelum makin lama. “Ya udah, sekarang kita coba lagi, ya, ngehafalinnya.”

Dean mengangguk, lalu berkata, “Boleh keluar dulu enggak, Bun?”

Serta-merta Bunda menjawab dengan masam, “Mau ke mana?”

“Beli cemilan, biar tambah semangat.”

“Di rumah kan udah banyak cemilan?”

Dean keburu masuk ke kamarnya, mengenakan jaket dan celana jin, dan tidak lupa menyelipkan lipatan uang ke saku. “Sebentar… aja, Bun,” kata Dean sambil berjalan cepat melewati ruang tengah dan Bunda yang mulai kesal lagi. Dia menuju pintu samping dan keluar.

.

Di luar, Dean menyusuri keremangan lampu penerang jalan. Dia membeli sebatang rokok saat melewati warung dan menyulutnya sekalian di sana. Sambil melanjutkan berjalan kaki, dia terpikir untuk mampir ke pangkalan tempat para emang ojek kenalannya berkumpul. Lalu dia akan duduk-duduk dan berpikir. Tapi ketika sudah bersama emang-emang ojek itu, dia pasti tidak akan sempat berpikir. Barangkali dia malah akan asyik mengobrol, ikut menonton sinetron, atau minta diajari main gitar oleh aa-aa yang juga suka menongkrong di sana. Dean pernah seperti itu, tapi pada malam itu mobil Bunda tahu-tahu muncul dari arah jalan raya dan berhenti di seberang pangkalan, lalu dia dipanggil dan disuruh ikut pulang.

Maka Dean bersandar saja pada tiang pos ronda yang entah ke mana penjaganya, mengepulkan asap, sambil memandangi langit yang hitam tanpa bulan dan bintang. Dia berpikir, Bunda mah terlalu serius orangnya, berkebalikan dengan para akang Bastard yang amat santai dalam menghadapi dunia. Bunda sewaktu SMA pasti bukan tipe anak yang doyan kumpul-kumpul di pinggir jalan apalagi pada jam pelajaran. Bunda sewaktu SMA pasti tipe anak yang rajin belajar sampai larut malam, yang keesokan paginya di sekolah bakal marah tiap ada yang ingin menyalin PR-nya. Dean merasa geli karena teringat pada seseorang. Aku mah enggak gitu orangnya, pikirnya, dan menyadari bahwa ketika pulang nanti kemungkinan Bunda bakal mencium bau asap rokok di bajunya.

.

Sejak Dean tahu bahwa ada teman-temannya yang suka keluar malam untuk menonton balapan motor, dia juga ingin ikut. Saat itu dia masih SMP, dan, beserta Deraz dan Zara, selalu dititipkan di rumah Oma-Opa ketika baik Bunda maupun Ayah sedang bepergian jauh. Ketika bermalam di rumah Oma-Opa, Dean merasa sungkan apabila mau minta izin untuk keluar ke mana saja, jangankan balapan motor. Dengan cara mengendap-endap saja rasanya susah. Oma selalu ingin tidur bersama cucu-cucunya, dan ia paling dekat dengan Dean. Ketika pada tengah malam Dean bangun dan menjauh dari tempat tidur, bahkan meskipun itu cuma sejauh dapur dan tujuannya untuk mengambil minuman saja, Oma akan segera ikut bangun dan menyusul.

Lagi pula Dean tidak punya motor yang bisa dia kendarai ke mana-mana dengan bebas. Di rumah ada motor Ayah. Motor gede dan keluaran lama, seperti punya emang-emang ojek. Tapi entah di mana Ayah menyimpan kuncinya. Seakan Ayah selalu membawa benda itu ke mana saja bersamanya, termasuk ke luar kota atau ke luar negeri ketika ia sedang berdinas.

Maka untuk sementara Dean cuma bisa bermimpi. Ketika guru Bahasa Indonesia memberi PR menulis karangan, dia mengarang cerita yang berjudul “Orang Tuaku Adalah Dragster”.

Suatu kali Dean berhasil keluar malam untuk menonton balapan. Triknya, dia minta izin untuk menginap di rumah teman karena akan belajar bersama. Ayah mengizinkan Dean asal tidak merepotkan empunya rumah. Waktu itu Ayah ada di rumah sementara Bunda ada urusan di luar negeri.

Segalanya pun berlangsung lancar. Puas rasanya Dean melihat motor-motor yang dipakai balapan dimodifikasi unik-unik dan digeber kencang-kencang. Belum lagi dia bisa berkenalan dengan teman-teman temannya yang rata-rata berusia jauh lebih tua dan memiliki banyak pengalaman.

Hingga datanglah serombongan polisi. Kemeriahan menjadi kekisruhan. Polisi berhasil menyita dua puluhan motor. Salah satunya adalah motor milik teman Dean. Dean ikut temannya ke kantor polisi untuk mengurus surat bukti pelanggaran, panggilan sidang, dan sebagainya. Karena Dean dan temannya masih di bawah umur, polisi meminta kontak orangtua mereka. “Pak, saya mah cuma nonton…” kata Dean waktu itu, tapi polisi tidak peduli.

Temannya lalu dijemput orang tuanya dan dimarahi, dan motornya beserta Dean ditinggal. Motor milik temannya itu tidak boleh dibawa karena banyak onderdilnya yang tidak standar dan tidak lengkap. Untuk mengambil motornya, temannya itu harus datang lagi dengan membawa onderdil-onderdil yang diperlukan dan langsung menggantinya sekalian di kantor polisi. Dean juga tidak ikut dibawa sebab biar orang tuanya saja yang menjemput.

Tapi sampai lama kemudian, Ayah tidak muncul-muncul. Malam melarut dan langit berangsur benderang. Berkali-kali Dean bertanya pada polisi yang meminta kontak orang tuanya itu, kapan Ayah akan datang. Polisi itu bilang, “Nanti,” “Nanti,” dan “Nanti,” sambil berlagak sibuk di mejanya. Dean mulai merasa kedinginan dan kelaparan meski sudah diberi sarung, teh botol, dan biskuit. Dia tidak nyaman mesti menunggu di sofa tipis yang kulitnya pecah-pecah meski akhirnya tertidur juga.

Dean baru bangun ketika siang, dan samar-samar mendengar suara Ayah di ruangan lain. Sesaat dia merasa gembira karena itu memang suara Ayah, lalu mendongkol karena obrolannya panjang sekali seakan tidak mau berhenti. Ayah ternyata kenal dengan polisi yang menahan Dean. Dean mulai meyakini bahwa Ayah sengaja membiarkannya berada di sana semalaman itu.

“Jadi kemarin teh izinnya mau nginep di rumah temen atau di kantor polisi?” Di perjalanan pulang Ayah menegurnya sambil mesem-mesem.

“Di rumah temen, Ayah.”

“Kenapa jadinya malah di kantor polisi?”

“Kan motornya temen dibawa sama polisi. Dean mah cuma nemenin, terus malah disuruh kasih nomor Ayah juga.”

“Kenapa motor temennya dibawa sama polisi?”

Suara Dean menjadi pelan. Kedengarannya semakin samar karena jendela mobil dibuka sehingga suara-suara dari jalan ikut masuk. “Ikut balapan.”

“Dean ikut balapan juga?”

“Enggak. Dean mah cuma nonton.”

“Jadi nginep di rumah temen teh mau belajar bareng atau nonton balapan?”

Suara Dean kembali pelan, “Dua-duanya.”

“Kenapa enggak bilang aja atuh kalau emang mau nonton balapan mah?”

Dean memandang ayahnya. “Boleh gitu, Yah?”

Sok aja.”

Terdiam sebentar, Dean bertanya lagi, “Emangnya sama Bunda boleh?”

“Tanya aja. Berani enggak?”

Ditanya dengan nada menantang begitu, Dean terdiam lagi sambil membayangkan reaksi Bunda kira-kira.

“Kalau sama Bunda mah pasti enggak boleh,” kata Ayah lagi. “Takut Dean nanti masuk angin. Sakit. Tidurnya kurang. Terus jadi enggak bisa fokus belajar di kelas. Takut Dean jadi kepingin juga ikut balapan. Kalau Dean ikut balapan, takutnya nanti celaka, kena masalah sama polisi, kenapa-kenapa…. Apalagi balapannya balapan liar gitu. Aturannya kan suka-suka.”

Masih dengan suara pelan, Dean bertanya, “Kenapa sama Ayah boleh?”

“Kalau Ayah ngelarang juga, Dean mau nurut? Atau Dean bakal pura-puranya izin nginep di rumah temen, padahal mah ikut balapan?” Dean bungkam saja. Ayah melanjutkan, “Ayah juga pernah seumuran Dean mah. Ayah ngerti, kalau anak udah kuat keinginannya, mau dilarang segimana pun juga, pakai dikasih hukuman yang berat-berat pun, kalau belum ngerasain sendiri akibatnya, enggak bakalan sadar, enggak bakalan belajar. Kadang akibatnya teh baru kerasa bukan sehari dua hari, atau sebulan dua bulan, tapi nanti, pas udah jauh… bertahun-tahun, pas udah tua. Kenapa saya teh waktu muda kayak gitu, ya? Sekarang jadinya kayak gini. Mending kalau itu teh bangga, puas sama jalan hidupnya. Kalau malah nyesel? Nah, itu kan, yang pengin dihindari. Makanya, orang tua mah, cuma bisa ngasih tahu. Kalau gini, jadinya kemungkinan gitu. Kalau gitu, jadinya kemungkinan gini. Sama berdoa. Mudah-mudahan, anaknya bisa selamat, mau ngapa-ngapain juga.”

Dean masih saja diam. Ayah pun kembali bicara, “Kalau buat Ayah mah, mending bandel tapi jujur, daripada baik tapi nipu.”

Sejak itu, Dean tidak pernah lagi memikirkan akan keluar malam-malam untuk sekadar menyaksikan balapan. Temannya itu sendiri belum kapok dan sesekali mengajak Dean menontonnya ikut balapan. Tapi Dean tidak terpengaruh.

Sampai beberapa waktu.

.

“Dean, besok ada ulangan?”

Dean menatap jam digital pada dasbor mobil Bunda. Belum juga pukul 6.30. Terlalu dini bagi Bunda untuk menanyakan itu! Pagi itu seperti biasanya Bunda mengantar anak-anak ke sekolah sekalian ia berangkat ke tempat kerjanya.

Bagaimanapun, ketika Bunda bertanya, Dean sebaiknya menjawab. Maka jawab Dean, “Kayaknya sih enggak ada, Bun.” Saat ini dia tidak teringat apa-apa. Mungkin dalam setengah jam ke depan, atau ketika dia sudah sampai di sekolah dan bertanya pada temannya, dia baru insaf bahwa besok ada dua ulangan.

“Belajar sendiri bisa, kan?”

“Bisa atuh, Bun,” kata Dean. “Masak belajar harus ditemenin terus. Kayak anak kecil.”

Bunda tersenyum saja.

“Kenapa gitu, Bun?” tanya Dean.

“Bunda hari ini mau ke Jakarta. Ada panel. Belum tahu pulangnya entar malam atau besok.”

“Besok aja atuh, Bun. Kasihan kalau malam mah. Capek di jalan,” ujar Dean. Samar-samar dia mulai melihat titik cerah.

“Iya. Lihat nanti aja.”

Begitu sampai di sekolah, di kelas, Dean langsung berburu bangku kosong di deretan belakang dan, tentu saja, Icang. “Entar malam, yuk!” serunya.

“Kalau ada,” kata Icang.

“Adain ajalah…” ujar Dean. “SMS-in geng-geng motornya. Suruh pada kumpul entar malem. Di mana aja boleh, asal ketempuh sama kamu, kan saya mau nebeng kamu. Bilangin, mumpung Dean lagi bisa.”

Icang menyeringai.

Tapi malam itu Icang mengirim SMS yang menggembirakan bagi Dean.

Dean bersorak dalam hati. Dia lalu menelepon Bunda.

“Bunda lagi di mana?” tanyanya.

“Masih di Jakarta,” jawab Bunda.

Dean diam sebentar, lalu berkata dengan hati-hati, “Bunda enggak pulang?”

“Pulang…. Tengah malam mungkin.”

Kata Dean lagi dengan suara pelan, “Kalau capek mah, mending nginep aja atuh, Bun. Enggak apa-apa….”

 “Masih banyak urusan besok. Lagian kan Bunda enggak nyetir sendiri. Ada sopirnya. Perginya juga bareng sama temen-temen dosen.”

“Oh.” Dean terdiam lagi. “Sampainya baru besok pagi, atuh, Bun?”

“Iya.”

“Ya udah, hati-hati, ya, Bunda.”

“Iya, Dean. Udah belajar belum tadi?”

“Udah, Bunda,” di sekolah.

Dean lalu menutup teleponnya. Dia bisa saja pergi tapi yang jelas tidak sampai pagi. Dia harus mengira-ngira kapan Bunda akan tiba di rumah, dan pulang sebelum itu. Gampanglah!

Menjelang pukul sepuluh, Dean menegur Deraz yang masih mengulik gitar di kamar.

“Belum tidur?”

“Belum.”

“Tidur atuh.”

“Iya,” kata Deraz.

Sebentar kemudian Deraz menyimpan gitarnya dan bersiap akan tidur, sementara Dean menengok kamar Zara.

“Belum tidur?”

“Belum. PR-nya masih banyak…” keluh adiknya.

“Tidur atuh. Kerjainnya besok aja di kelas. Lihat punya temen.”

“Emangnya kamu…” kata Zara sambil menutup pintu supaya Dean tidak menganggu lagi. Dean terkekeh saja.

Menjelang tengah malam Icang mengirim SMS pada Dean, mengabarkan bahwa dia akan segera berangkat. Icang akan menjemput Dean di pangkalan ojek dekat rumahnya, lalu bersama-sama mereka menuju area balapan. Malam itu balapan akan kembali diadakan di Jalan Laswi.

Setelah membaca SMS dari Icang, Dean segera mengeluarkan helm full face dari lemari bajunya. Bagian dalam helm itu masih beraroma toko karena jarang dipakai. Dean memang belum boleh memiliki SIM dan motor sendiri, tapi dia tidak dilarang mencicil perlengkapan berkendara lainnya dari sekarang. Itu dimulai dari memiliki helm sendiri.

Dean memastikan Deraz sudah lelap. Pintu kamar Zara tertutup rapat, Dean menganggap adiknya itu juga sudah tidur.

Dia lalu berjalan kaki ke pangkalan ojek sambil menenteng helm. Walau malam itu gelap dan senyap, tapi di dalam dirinya lampu-lampu berkilatan dan musik berdentam-dentam. Ada drum, gitar listrik, dan tentu saja synthesizer! Dia tersenyum-senyum sendiri karena musiknya meliuk-liuk lucu—tapi menggairahkan!

“Tumben malam Rabu. Biasanya malam Kamis atau malam Sabtu,” kata Dean setelah bertemu Icang. Dia mengenakan helmnya lalu naik ke bagian belakang motor temannya itu.

“Jadwal yang biasa mah rawan, pokemon udah pada tahu.”

“Pokemon?”

“Pokis, pokis….”

“Kamu belum makan malam, ya? Mikirinnya kok pukis. Nanti atuh subuh-subuh, kita beli serabi.”

“Alah!”

“Eh, enggak ketang.” Dean mendadak teringat pada ibunya. “Balik jam tigaan aja, heu euh?”

“Hayuk.”

“Cabut, bal!” seru Dean. Icang pun mengegas motornya.

Ketika menyusuri bypass, Dean merasa ingin tertawa keras-keras. Kalaupun nanti ada Pikachu dan Charmander berseragam pokis, Dean yakin Icang dan motornya tidak akan ikut terjaring sehingga dia harus menemani kawannya itu ke kantor polisi. Motor Icang kan biasa-biasa saja. Onderdilnya lengkap dan tidak ada modifikasi apa-apa seperti yang lazimnya tampak pada motor balapan. Motor biasa pun bisa dipakai balapan, tapi Icang tidak ada niat ikut-ikutan. Malah Icang memarkir motornya di tempat yang agak jauh dan tersembunyi, dan sepertinya lebih suka menyaksikan balapan dari situ sekalian.

Tapi di tempat yang ramai ada anak-anak Bastard, dan Dean mengajak Icang untuk bergabung dengan mereka saja. Kebanyakan dari mereka anak kelas XI.

“Anak-anak kelas XII-nya pada ke mana, Kang?” tanya Dean.

“Enggak tahu. Pada sibuk belajar kali,” kata Kang Abuy. Mendadak dia menunjuk para calon pebalap yang sedang bersiap dengan motor masing-masing di garis Start. “Tapi itu ada Kang Cawe.”

Mereka lalu menggosipkan anak-anak Bastard yang punya sejarah dengan geng motor, dan membiarkan motor-motor berdesingan begitu saja di hadapan mereka.

Sampai beberapa waktu.

Mereka bergabung dengan kerumunan yang maju sampai hampir ke tengah jalan. Jalur hijau yang membelah jalan besar itu juga diisi oleh para penonton. Ada yang berdiri sambil merekam balapan dengan ponsel. Ada yang duduk-duduk atau jongkok dan anteng saja. Ada yang membuat keributan dengan menyoraki setiap pebalap yang lewat, apalagi ketika tahu bahwa yang sedang melaju itu anak Bastard.

“Itu si Endi! Masih ngegeber juga dia!” Kang Abuy takjub.

“Wih!” sambut Dean lalu berseru keras-keras pada pengendara Mio yang baru saja lewat.

Ketika Kang Endi kembali dengan motor balapannnya, anak-anak Bastard mengerubunginya.

“Ini, si Dean bingung, katanya. Tadinya pengin Ninja, tapi pas lihat Mio dibawa kamu, jadinya pengin Mio aja,” kata Kang Abuy.

“Enggak, ah. Pokoknya Ninja,” Dean menyangkal.

“Kenapa gitu?” tanya Kang Endi sambil mencopot sarung tangannya. Tampak jari kelingking kanannya yang buntung.

“Mio mah motor cewek, katanya.”

“Emang,” kata Kang Endi. “Ini motor adik saya.” Tapi berkat jasa mekanik langganannya, yang lulusan SMK tetangga mereka itu, motor tersebut dimodifikasi sehingga tidak kalah larinya dari motor-motor lain.

Mereka terus mengobrol-obrol di pinggir jalan. Ada juga yang menyelinginya dengan menonton balapan. Capek ber-wah!-wih!-wuh!-weh!-woh! menyambut motor-motor yang lewat, lama-kelamaan Dean ikut Icang berjongkok.

“Mana pokemonnya, ih? Enggak rame,” kata Dean sambil merapatkan jaketnya.

Ari kamu malah ngarepin,” sahut Icang.

Dean menguap. “Ya udah, atuh, enggak jadi.”

“Ngantuk?”

“Pengin yang anget-anget.”

Bersamaan dengan itu mereka melihat anak-anak kelas XI tampaknya hendak bepergian.

“Mau ke mana, Kang?” tegur mereka.

“Pengin yang anget-anget!”

“Ih, mau!”

Mereka pun beranjak ke motor dan turut dalam rombongan.

.

Dean bermimpi kepalanya menjadi bola boling. Bunda menyusupkan jari-jarinya yang lentik ke dalam lubang-lubang di kepala Dean, mengayunkan lengannya, lalu melepaskan bola itu hingga menggelinding di sepanjang papan cokelat yang mulus dan menghantam formasi pin ke dalam kegelapan. Dean sempat melihat pin-pin itu berkepalakan guru-gurunya di sekolah, sebelum mukanya kembali menggilas lantai kayu dan semuanya menjadi gelap.

Ketika bangun, Dean curiga kepalanya masih berupa bola boling yang sewaktu-waktu bakal jatuh menubruk lantai. Hanya saja bola yang satu ini memiliki rangkaian saraf yang membuatnya merasakan pening dan nyut-nyutan. Ketika menggoyangkan kepala, dia merasa gumpalan padat di dalamnya bergulir dan menghantam tembok keras.

Semalam Dean dan Icang ikut menyambangi rumah seorang kakak kelas. Orangtua akang tersebut tinggal di luar kota, sedangkan pada malam itu saudaranya tidak berada di rumah dan pembantunya tidak kelihatan. Dean dan Icang ditawari minuman beraroma tajam. Icang mencicipi seteguk lalu menongkrong saja di luar rumah sambil merokok, sementara Dean disodori lagi dan lagi tiap menghabiskan seseloki. Rasanya antara pahit, asam, dan menyengat, tapi memang betul kata akang-akang itu, minumannya bikin hangat! Sudah begitu, minumannya ada lebih dari satu macam. Dean tertarik untuk mencoba semua sampai Icang mengingatkannya untuk balik pada pukul tiga pagi.

Dean pun membonceng motor Icang seperti sewaktu pergi. Tapi Icang mesti membawa motornya dengan hati-hati sekali. Sebabnya, ia merasakan gerakan Dean yang limbung di belakang punggungnya selama bermotor itu. Dean sampai di depan rumah dengan selamat. Ketika masuk ke dalam rumah, dia melihat Bunda berdiri di ruang tengah dan merasa heran. Dia ingin menyapa Bunda, tapi yang keluar malah isi perutnya. Bukan itu saja kekacauan yang dibuat Dean. Bunda juga membaui adanya aroma yang biasa tercium olehnya saat membersihkan alat di laboratorium.

Maka pagi itu Dean harus merayap di dinding untuk menjaga langkahnya supaya tidak goyah. Dia juga berusaha untuk tidak minta izin sakit pada Bunda. Percuma. Tidak akan diberi. Bunda bahkan tidak menanggapi tegurannya saat sarapan, dan hanya memberi selembar lima ribu untuk uang saku. Dean ingin menangis saja. Segini mah cuma cukup buat angkot! Deraz dan Zara saja diberi jauh lebih banyak daripada itu.

Pada jam-jam pelajaran pertama, kepala Dean rasanya masih seperti diisi pertandingan boling. Sedikit-sedikit terdengar dentuman sewaktu ada bola yang dijatuhkan ke papan, gemuruh sewaktu meluncur, dan gelegar sewaktu menabrak pin-pin sampai bertumbangan. Tapi cuma Dean yang bisa mendengarnya. Tim-tim pemain boling yang kalah melampiaskan amarah dengan menjangkau benda apa pun yang ada di sekitar mereka, lalu melemparkannya ke berbagai arah sampai membentur-bentur rongga kepala Dean. Cuma Dean juga yang bisa merasakan sakitnya.

Pada jam istirahat, Dean menukar sekeping dari kembalian ongkos angkot sewaktu berangkat tadi dengan sepotong pisang goreng, lalu termenung karena sisanya tidak mencukupi untuk ongkos pulang—tidak termasuk ojek.

Deraz menghampiri Dean dengan sebungkus cilok di tangan.

“Tumben. Biasanya kamu enggak suka jajan,” tegur Dean.

“Lagi pengin,” jawab Deraz.

“Sini, aku cobain dulu. Khawatirnya bikin kamu sakit perut.”

Dean pun mencicipi sebutir demi sebutir cilok di tangan Deraz sampai yang tersisa sausnya saja. Deraz tidak berkeberatan sama sekali dan tidak juga mengambil cilok itu sebutir pun.

Setelah jam istirahat, Dean memutuskan untuk tidak kembali ke kelas melainkan menumpang tidur di kamar kos Salman—teman sekelasnya yang berasal dari Wonosobo itu. Dia baru bangun ketika Salman pulang sambil membawakan ranselnya. Karena Salman akan pergi lagi, Dean pun pamit saja sekalian sambil tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-sebesarnya.

.

Dean mampir ke pelataran Tenis Net sebentar, cuma untuk menumpang jongkok dan mengais-ngais setiap kantong di ranselnya, bahkan isi tempat pensilnya, lalu saku celana, kemeja, dan jumper-nya. Di situ, seperti biasanya, sedang berkumpul anak-anak Bastard. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak kelas XII. Mereka tampak asyik menggoblok-gobloki seorang anak kelas XI yang sedang menceritakan perbuatan sesamanya semalam—kejadian yang berakhir dengan tepar berjamaah. Anak-anak kelas XI lainnya tidak kelihatan. Icang juga tidak hadir, tapi anak itu ada di kelas sepanjang pelajaran dengan mata terpejam dan mulut menganga.

Setelah merasa yakin bahwa tidak ada lagi uang yang terselip di mana saja di dalam ransel dan pakaiannya, Dean pamit pada anak-anak Bastard. Mereka melepas kepergian Dean dengan heran. Ketika diberi tahu bahwa Dean juga ada di acara semalam, mereka malah tergeli-geli.

Uang yang tersisa pada Dean tidak cukup untuk ongkosnya pulang. Kecuali kalau dia jalan dulu beberapa ratus meter, baru naik angkot, lalu turun dan jalan lagi beberapa ratus meter, naik ojek sampai depan rumah, lalu meminta emangnya supaya menunggu sebentar. Sementara itu, syukur-syukur Bik Odah belum pulang, atau malah adiknya yang sudah pulang, sehingga bisa dipinjam dulu uangnya. Kalau tidak, dia mesti mengais-ngais lagi isi kantongnya yang lain yang ada di rumah, atau, separah-parahnya, mengorek tabungan Deraz atau Zara dan menggantinya diam-diam entah kapan. Sambil memikirkan segala kemungkinan itu, Dean berjalan semakin jauh dari sekolahnya dengan perasaan merana. Dia sudah tidak sabar untuk merebahkan lagi kepala bolingnya di rumah, di bantalnya yang empuk.

Ketika merasa sudah capek berjalan, Dean berhenti dan menyetop angkot jurusan daerah rumahnya. Dari luar angkot itu tampak lengang, tidak banyak penumpang. Dia pun masuk dengan ekstra merunduk karena badannya yang jangkung. Matanya langsung mengarah ke pojok, spot favoritnya ketika berniat tidur di angkot—biarpun nanti akan susah keluar kalau-kalau penumpangnya bertambah banyak—dan dia pun terpana.

.

Mendadak Dean jadi saleh. Dia mengucap takbir, tahmid, dan tasbih berkali-kali, seakan mau memanggil orang-orang untuk menunaikan salat Id di lapangan… tapi di dalam hati saja. Pikirnya, Yang di Atas sanalah yang telah mengaturnya, menunjukkan Kuasa-Nya bagi seorang hamba-Nya yang daif. Ini suratan takdir. Atau konspirasi alam gaib. Jangan-jangan memang ada alasan-Nya menetapkan segala kejadian mengenekkan ini pada Dean, segala sebab-akibat yang mengantarkannya pada titik ini, detik ini, memilih angkot ini dan bukan yang lain, angkot pembawa bidadari….

Di pojok yang satu, Rieka juga terpana melihatnya—atau, mungkin lebih tepatnya, kaget. Ia segera memperbaiki posisinya supaya tidak terantuk oleh lutut Dean yang memilih tempat duduk di seberangnya. Entah karena tungkai kaki Dean yang memang terlalu panjang untuk ukuran angkot, atau ada sebab yang lain, Rieka terus saja duduk menyamping tanpa menoleh ketika angkot melaju lagi.

“Rika,” sapa Dean sambil mengangguk dengan sopan, meski diam-diam merasa khawatir akan terlihat salah tingkah.

Beberapa hari yang lalu, Dean dan teman-temannya main ke salah satu radio anak muda di Kota Bandung. Teman-teman Dean yang usil dan berisik mengajukan live request. Lagu yang diminta yaitu “Patah Hati” dari Ari Lasso, dikirim untuk Rieka yang anak kelas X-5 di Smanson dari Dean X-7. Dean tidak kuasa mencegah fitnah yang diumumkan teman-temannya itu (meski sebagiannya memang kebenaran), tapi juga tidak berharap supaya Rieka, atau pacar cewek itu, atau para mantan pacarnya, teman-temannya, sampai para pembantu di rumahnya sekalian mendengarkan siaran itu.

Rieka menarik sedikit ujung bibirnya. Sekadarnya, tapi cukup untuk membuat Dean merasa ada yang mengguyurnya dengan es jeruk dari belakang pada siang yang gerah ini.

“Tumben naik angkot. Biasanya sama Pak Sam,” Dean menyebut nama sopir keluarga Rieka.

“Pengin aja.” Rieka memalingkan lagi wajahnya ke arah jendela.

Coba Rika pengin naik angkot tiap hari…!

Jarang sekali Dean bisa sedekat ini dengan Rieka, mengamati separuh pipinya, separuh hidungnya, separuh bibirnya, separuh dagunya, separuh matanya, separuh alisnya, separuh telinganya, separuh dahinya, dan segalanya yang serba separuh pada cewek itu. Dengan lirikannya, Rieka memberi isyarat pada Dean agar berhenti memandanginya. Pelan-pelan Dean mengalihkan tatapannya pada jalanan di belakang, yang tentu saja kalah indah dari Rieka… Dean termangu. Ketika Rieka tampaknya sudah tidak lagi merasa diperhatikan, Dean kembali mencuri pandang.

Tahu-tahu terdengar irama “Karedok Leunca”. Rupanya itu ringtone ponsel Dean.

“Halo, Deraz,” Dean menjawab panggilan, tapi matanya terus terarah pada Rieka.

“Kamu di mana?” tanya Deraz.

“Di angkot, Yaz.”

“Oh. Udah pulang?”

“Iya, Yaz.”

“Ya udah.”

“Kenapa, Yaz?”

“Siapa tahu kamu mau pulang bareng.”

“Emang kamu udah enggak ada urusan lagi di sekolah, Yaz?”

“Ada.” Deraz terdiam, lalu, “Udah, ya.”

“Yo…. Sampai ketemu lagi, Deraz,” sahut Dean, lalu menyimpan lagi ponselnya ke dalam saku jumper yang dia kenakan. Matanya masih melekat pada Rieka, terutama pada wajah cewek itu yang semakin berpaling saja ke arah jendela.

Dean terus saja memandangi Rieka sampai lebih lama daripada sebelumnya, tapi kali ini cewek itu tidak bereaksi. Malah kemudian Dean yang menghentikan angkot itu ketika melewati jalan menuju perumahan tempat Rieka tinggal. Dean tahu karena dulu, sewaktu SD, dia dan saudara-saudarinya kadang menebeng mobil Rieka pulang. Mereka semua satu sekolah. Pak Sam, sopir Rieka, yang menunjukkan jalan tersebut. Sejak itu sampai sekarang, Dean sering menengok ke jalan itu tiap kali melewatinya. Begitu nyeri mengetahui bahwa rumah mereka berdua sebetulnya searah, tapi tidak pernah ada kesempatan bagi Dean untuk memasuki jalan itu. Jangankan jalan ke rumah Rieka, jalan ke hatinya saja sulit untuk ditembus.

“Kamu bukannya turun di situ, Rika?” tegur Dean sambil kepalanya menuding ke jalanan di belakang ketika angkot hendak berhenti.

“Eh?” Rieka gelagapan, tapi tetap cantik, menurut Dean. “Oh, iya. Makasih, ya,” sahutnya.

“Sama-sama,” ujar Dean ramah. “Kamu jalannya jadi jauh banget.”

“Enggak apa-apa.”

Rieka turun dan membayar. Angkot berjalan lagi. Jarak antara dirinya dan Rieka semakin jauh, hingga cewek itu menjadi titik yang kecil sekali dan menghilang di belokan tanpa menengok ke belakang sama sekali. Akhirnya Dean berhenti memandang ke belakang dan beralih pada lipatan uang sepuluh ribu yang tadi terjatuh dari saku rok Rieka. Barang pertama yang Rieka berikan padanya, meski secara tidak langsung. Dia seharusnya menjaganya, menyimpannya di dalam kotak kaca, menguburnya di halaman rumah, dan menggalinya saat ulang tahun perak pernikahan mereka…. Oh, Rieka, kamu benar-benar dewi… pikir Dean… dewi penyelamat!

.

Dean membatalkan rencananya semula untuk turun segera dari angkot dan berjalan beberapa ratus meter lagi sampai pangkalan ojek. Dia turun di pangkalan ojek dan membayar dengan lembaran uang sepuluh ribu tadi, tapi merasa terlalu gembira untuk naik motor. Dia ingin menikmati perasaan ini dengan berjalan kaki. Dean melambai saja pada para emang ojek yang terheran-heran karena dia bukannya mendekati mereka seperti biasanya. Dia berhenti di warung dan membelanjakan sisa uang sepuluh ribu tadi dengan berbagai camilan.

Sepanjang jalan antara pangkalan ojek dan rumahnya itu Dean menjejak-jejakkan sepatu ketsnya pada permukaan yang berganti-ganti antara aspal dan kerikil, hampir seperti melompat-lompat, seakan setiap langkahnya mendentingkan bunyi yang merdu. Meski bebunyian itu hanya dapat didengar di dalam kepalanya, mengalun dengan indahnya—seindah wajah Rieka!—tapi dia merasa seluruh dunia sedang bersukacita untuknya. Pohon-pohon. Langit. Burung-burung. Bahkan deretan rumah. Semua bergoyang dengan amboinya. Setiap goyangan mereka terdengar bagai irama. Yang terpenting adalah kepalanya tidak terasa seperti boling lagi, sebab kini bisa digerak-gerakkan dengan mudah, menuruti irama di dalam kepalanya.

Ah, jangan-jangan minuman yang semalam masih ada efeknya. Orang minum-minum biasanya senang dulu baru sakit, ini malah sebaliknya! Atau mungkin juga ini bukan efek minum-minum, tapi efek Rieka!

Dean mendengarkan suara-suara alamiah itu dengan saksama, memejamkan mata, dan tersadar bahwa dia harus menceritakan ini pada Baby! Ah, Baby, lama pisan Aa tidak main sama kamu! Dean bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dia menyentuh bodi Baby yang putih dan mulus itu dengan lembut dan kasih, sampai yang disentuh pun mendesah dengan tidak kalah mesra…. 

.

Leganya ketika sampai di rumah! Dean menyapa Bik Odah yang tampaknya sudah akan pulang. Tidak lupa dia menyerahkan bungkusan berisi ciki-cikian pada asisten ibunya di rumah itu. “Buat anak Bibik,” kata Dean.

“Makasih, Aa Dean,” sahut Bik Odah yang semringah.

Tapi Dean sambil lalu saja mendengarnya, karena kepalanya sedang berisik oleh nada-nada. Bahkan ketika Bik Odah mengabsen menu yang ia masak hari itu yang sudah siap santap di meja makan, Dean tidak peduli, sebab dia akan melahap semuanya—sebanyak-banyaknya!

Dean masuk ke kamar, mengganti baju seragamnya dengan kaus dan celana pendek yang memamerkan tungkai kakinya yang mirip tusuk gigi, lalu meluncur ke ruang keluarga, tempat Baby berada… semestinya.

“Bik, Baby ke mana?” tanya Dean.

Yang Dean lihat cuma jejak Baby pada dinding, yang tampak lebih cerah daripada warna dinding di sekitarnya.

“Baby?” Ketika melihat arah mata Dean, Bik Odah pun paham. “Oh, piano…. Tadi Ibu suruh pindahin ke kamar.”

“Kamar mana?”

Bik Odah menunjuk pintu kamar Bunda dan Ayah.

Dean mendekat ke sana, menggoyang-goyangkan gagang pintunya. Pintu kamar itu dikunci. “Kuncinya?”

“Dibawa Ibu.”

“Hah…?” Dean terdiam, lama, lalu, “Bik Odah tahu enggak, cara ngebuka pintu yang dikunci enggak pakai kunci?”

“Enggak.” Bik Odah menjawab saja biarpun bingung.

Dean mendongkol. Dia menyandarkan kepalanya pada pintu kamar Bunda dan Ayah, seakan ingin tahu adakah suara di baliknya. Suara Baby minta tolong, misalnya.

Tapi tidak terdengar apa-apa, selain tangis sepi dalam ruangan yang sunyi dan gelap akibat kurang pencahayaan.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain