Saat itu sudah lewat
jam istirahat, tapi Dean, Icang, dan beberapa kakak kelas masih menongkrong di
dekat Tenis Net. Selama dua pelajaran sebelum jam istirahat tadi, Dean
ketiduran nyaris sepanjang waktu. Lebih parah daripada sewaktu dia di SMP. Di
SMP dia masih bisa menangkap materi yang disampaikan gurunya, sedikit-sedikit.
Di SMA pelajarannya bertambah rumit. Maka Dean pikir, daripada mengantuk di
kelas, disuruh guru untuk keluar dan cuci muka, dan akibatnya mengganggu
kegiatan belajar mengajar, lebih baik dia absen sejak awal atas kesadaran
sendiri dan memanfaatkan waktu untuk mempererat silaturahmi dengan para senior.
Tidak kalah bermanfaat toh.
Icang menanyakan
kepanjangan Bastard pada Kang Yuyun—anak kelas XII yang dikenal sebagai
pentolan dalam kelompok itu. Kang Yuyun pun membeberkan pada Icang dan Dean
mengenai sejarah, filosofi, sampai visi dan misi Bastard.
“Asalnya sih sebetulnya
Bastar.”
“Bastar?”
“Bastar itu kan artinya
hibrida, persilangan, atau gampangnya… campuran. Misalnya, nih, ya, ada mangga
sama apel dikawinin, jadinya mangga apel. Atau misalnya kamu, bapaknya orang
Jawa, ibunya orang Sunda, kamu jadinya anak Janda—Jawa Sunda.”
“Hubungannya apa,
Kang?”
“Yaa… maksudnya, kan,
sehari-hari kita ada kegiatan di sekolah sama kegiatan di luar sekolah. Ada
waktu untuk belajar, dan ada waktu buat senang-senang. Kita mesti bisa
nyampurin kedua-duanya itu dengan seimbang. Kalau enggak seimbang, entar jadi
kacau. Kalau terlalu banyak belajar, nanti kita pusing, stres, frustrasi. Kalau
terlalu banyak main, ya enggak apa-apa, da
main juga kan sebetulnya termasuk belajar. Belajar sesuka kita. Sekolah mah kan
yang penting naik kelas, lulus pas UN, terus masuk PTN. Yah, ada waktunya
sendiri-sendiri itu mah. Pokoknya mah kita jadikan masa SMA masa yang paling
indah.”
“Kumaha maneh we lah, asal maneh
bahagia,” celetuk Kang Lutung.
“Betul. Asal kita
bahagia. Da bahagia mah bukan dicari,
tapi dijalani,” Kang Yuyun mengembuskan asap dari mulutnya perlahan-lahan
sambil memandangi awan.
“Anjiiir…”
teman-temannya menyoraki.
“Saya ngomong ke kamu
maksudnya,” kata Kang Lutung pada Kang Yuyun, tapi yang dituju cuek saja.
“Emangnya itu enggak
mesti disiapin dari sekarang gitu, Kang?” kata Dean tanpa meneruskan dengan, kata ibu saya mah.
Kang Cawe menceletuk,
“Kamu tahu enggak Kang Rhesa?” Dean dan Icang menggeleng. “Entarlah kalau kapan
dia main ke sini, kenalan. Dia alumni sini. Dulunya suka duduk-duduk di sini
juga. Masuk telat. Mabal. Ngerokok. Santai, pokoknya. Belajar males. UN-nya
juga cuma dapet nilai 4. Tapi pas SPMB dia belajar bener-bener. Sekarang di
ITB. Geofisika. Udah kerja juga. Pas lagi nongkrong-nongkrong gini teh, ada alumni dateng. Nawarin ke dia, mau enggak kerja sama saya? Jalan-jalan,
dibayarin…. Ya maulah. Pas dia SMA itu teh.
Kerjanya ikut survei, ke mana gitu. Ngukur sungai, yang gitu-gitu lah. Dia anak
PA juga, emang hobinya jalan-jalan.”
“Kang Rhesa teh seangkatan sama Kang Mursyid, ya?”
sela Kang Galang.
“Asalnya mah enggak
seangkatan. Tapi Kang Mursyidnya enggak naik kelas,” kata Kang Cawe. “Kalau
Kang Mursyid di mana gitu sekarang?”
“HI Unpad. Tapi katanya
sekarang lagi ikut kerja di pertambangan di mana gitu. Sumatra apa, ya?
Enggak tahu kuliahnya gimana. Kayaknya sih belum selesai.”
“Kerja gitu mah kadang
dapetnya lewat jalur pertemanan sih, enggak mesti lewat jalur formal. Makanya,
enak kalau banyak temen mah, banyak kenalan. Bisa ada yang bantuin.” Kang Yuyun
mengisap rokoknya, lalu menoleh pada Kang Abuy. “Kalau kakak kamu yang udah S2
itu udah dapet kerja belum?”
“Belum. Di rumah aja.
Nge-Dota.”
“Hahahaha….”
“Enggak pinter ngomong
dia mah orangnya. Gagal terus pas wawancara, katanya.”
“Ajakin atuh ke sini, biar pinter,” kata Kang
Yuyun.
“Pinter ngebacot, iya.”
“Hahahaha…. Jangan gitu
atuh.”
“Da jalan hidup orang mah
kadang enggak ketebak sih. Enggak sama antara satu orang dan orang lainnya teh. Ada yang lurus-lurus aja, lancar.
Ada yang zig-zag, kayak dikejar babi…” ucap Kang Cawe dengan hikmat sambil
menyulut rokok baru.
“Hahaha, babi…”
tahu-tahu Kang Abuy terbahak-bahak. Beberapa temannya yang sesama anak PA ikut
terkekeh. Lalu mereka sambung-menyambung menceritakan pengalaman saat mendaki
Gunung Pangrango beberapa bulan lalu. Mereka sempat mendengar suara berisik
dari arah samping, seperti ada sesuatu yang besar dan berat sedang menerobos
semak-semak. Mereka mengira ada babi yang mau mengejar mereka. Salah seorang
dari mereka berkata bahwa kalau dikejar babi, orang harus berlari zig-zag. Kenapa gitu? Biar babinya pusing! Mereka
pun berlari zig-zag. Mereka baru berhenti setelah jauh dan kecapekan. Sewaktu
mengamati keadaan di belakang, yang ada cuma sunyi dan senyap.
“Hahaha, goblok….
Perasaan kamu aja kali!” sembur yang lain-lain, yang tidak ikut dalam
perjalanan itu.
“Kalau kalian pada
ikutan ekskul apa aja?” tanya Kang Yuyun pada Dean dan Icang, setelah tawa
anak-anak mereda. “Kalau si Abuy, Galang, Rio, dan sebangsanya ini kan anak
Pamanson—Pencinta Alam Smanson. Anying, ngakunya mah pen-cin-ta. Pas sampai puncak, nyodorin HP, atau kamera, terus, Fotoin saya lah, sambil nempelin rokok
ke bibir.” Yang disentil terkekeh-kekeh saja. Kang Yuyun melanjutkan, “Kalau
saya, si Cawe, si Elmo, dan sespesiesnyalah, anak Samson—Siswa Keamanan
Smanson.”
“Ekskul hansip kamu
mah,” celetuk Kang Lutung. “Siskamson.”
“Jangan gitu atuh,” kata Kang Yuyun antara mesem dan
bernafsu untuk menyambit Kang Lutung dengan kerikil. Kang Lutung buru-buru
bersembunyi di balik Dean sambil mengikik. “Kamu mah enggak ngerti ih betapa
bahenolnya cewek-cewek di ekskul saya teh.”
Anak-anak pun tergelak. Kang Yuyun melanjutkan dengan cuek, “Di sini mah
kebanyakan kalau bukan anak Pamanson, ya Samson. Kalau kamu teh ekskul apa, Pil?” tanyanya pada Kang
Lutung.
“Kan ketua Patin ini
mah!” Kang Cawe menepuk punggung Kang Lutung keras-keras.
“Widih, ngeri,” kata
Kang Galang sambil pura-pura takut. Patin itu singkatan dari Pembuka Mata
Batin, ekskul bela diri dengan menggunakan tenaga dalam di Smanson. Anak-anak
suka menyebutnya begitu meski nama resminya bukan itu.
“Inget enggak, yang
kemarin pas demo ekskul, anak-anaknya pada pakai topeng Power Ranger?” ujar
Kang Cawe, yang selaku salah satu panitia MOS ikut menonton demo ekskul.
“Jangan macem-macem
sama anak Patin mah, yah,” kata Kang Yuyun yang walau nadanya serius tapi
tampangnya cengengesan, “Kalau anak Pamanson mah sukanya ngejar gunung, bikin
asap, kalau anak Samson kerjanya marah-marahin adik kelas, nah, anak Patin mah…
apa, ceunah, Pil? Memecah batu dan
membelah awan!” Tidak hanya itu, sewaktu demo ekskul, anak-anak Patin
mendemonstrasikan kemampuan mereka berlari cepat di atas bangku panjang yang
lebarnya tidak lebih daripada sepuluh senti.
“Ha ha ha!” Kang Lutung
tertawa dengan lagak angkuh, tidak lupa sambil mengguncang-guncangkan perutnya
yang seakan buncit padahal rata dengan kedua tangan. “Ah, gitu aja da,” katanya lagi.
“Kalau kamu mah yang
kemarin ikut technical meeting Samson
itu, ya?” Kang Cawe memegang pundak Icang.
“Iya, Kang,” sahut
Icang.
“Entar saya mah
kejamnya pas di Pendas aja,” ujar Kang Cawe. Pendas yang dia maksud adalah
Pendidikan Dasar atau inisiasi masuk Samson yang akan diadakan pada akhir pekan
itu. “Di sini mah hayuk aja haha-hehe. Tapi di sana kamunya yang serius, ya.”
“Siap!” Icang
mengangkat tangan kanannya ke dahi, menunjukkan penghormatan.
“Kalau kamu, Dean, ikut
ekskul apa?” tanya Kang Lutung.
Ditanya begitu, Dean
terdiam, mengingat-ingat dia pernah ikut ekskul apa saja. Pada hari-hari
terakhir MOS dan minggu-minggu sesudahnya, sewaktu promosi ekskul sedang
gencar-gencarnya, Dean iseng saja mengisi setiap formulir pendaftaran yang
disodorkan padanya dan mendatangi pertemuan ekskul apa saja. Kadang dia memang
tertarik, misalnya sewaktu ekskul Jejepangan mengadakan acara nonton bareng
Naruto dan film-film Jepang lainnya. Tapi sering kali dia cuma ikut-ikutan
temannya. Dean tidak benar-benar tertarik dengan Jepang, teater, komputer,
jurnalistik, bahasa Inggris, kebudayaan Sunda, kewirausahaan, organisasi, dan
sebagainya. Bahkan ketika tahu bahwa Rieka mendaftar Vocal Group, OSIS, dan
Lempers alias Lembaga Pers Smanson, Dean tidak serta-merta tertarik mengikuti
semua itu hanya supaya bisa bertemu lebih sering dengan cewek itu.
Lama-kelamaan, setelah punya teman-teman yang bisa diajak main tanpa ada maksud
tertentu selain senang-senang saja, acara-acara ekskul itu pun terlupakan. “Ah,
saya mah apa aja ikut we, Kang,” kata
Dean akhirnya.
“Ekskul Bastard dia
mah, Kang,” kata Kang Abuy.
Kang Yuyun mendengus
geli sambil bergumam, “Ekskul Bastard….”
“Kan katanya Bastard
mau mengakomodasi segala bakat tea,
Yun,” kata Kang Lutung.
“Makanya saya bilang
juga—sampai mana sih tadi saya
ngomongnya? Bastard teh ya bastar, campuran. Kenapa
tahu-tahu jadi pada ngomongin babi sama Power Ranger segala?”
“Kenapa jadi ada
‘d’-nya, Kang, dari yang asalnya ‘Bastar’ aja?” tanya Icang.
“Enggak tahu siapa yang
awalnya nambahin “d”, dari kapan. Tapi kan sama aja artinya mah. ‘Bastard’ teh, ya ‘Bastar’ juga—enggak suka baca
kamus, ya? Cuma kalau di bahasa Inggris mah kan ‘Bastard’ teh jadinya kasar gitu, son
of a bitch, hahaha, anak PSK, tapi kita mah PSK-nya Pelajar Senang
Keluyuran. Intinya mah tetep, artinya campuran, tapi campuran dari macam-macam
ekskul. Ekskul remi. Ekskul gaple. Ekskul ngisi TTS. Ekskul ngerokok. Ekskul
AV. Ekskul mabal. Banyaklah. Kemarin juga pas tujuh belas Agustusan kita
ngadain turnamen gaple, poker, ngisi TTS sama SMK-SMK tetangga. Oh, anak-anak
SMP sebelah juga ada yang ikutan. Ramelah. Kalian ikutan aja kalau entar
diadain lagi. Kayaknya akhir semester ini. Di sekolah ada pekan olah raga, di
sini juga ada pekan gitu-gituan.”
“Pemenangnya dapet apa,
Kang?”
“Apa, ya, kemarin teh? Apa aja, Caw?”
“Ya, yang menang gaple,
dapet gaple baru. Yang menang poker dapet remi baru juga. Yang menang ngisi TTS
dapet buku TTS baru sama seperangkat alat tulis. Semua hadiahnya fresh pisan dari warung. Da yang dapet tugas beli hadiahnya juga
lupaeun. Pas pemenangnya diumumin teh, Mana
hadiahnya? Eh, lupa! Bentar, yah,
beli dulu. Goblok…. Hahaha…. Ngacir aja anak itu teh. Dikasihinnya juga baru besoknya.”
“Siapa yang tugas beli
hadiah teh?”
“Itu, si Abuy tea, sama ada anak SMK sebelah.”
“Udah belum
ngerokoknya?” Tiba-tiba ada suara parau menyapa mereka. Semua menengok pada
bapak-bapak berbaju safari yang sedang membeli sesuatu di warung sebelah.
Namanya Pak Yaya, guru Biologi yang mengajar anak-anak kelas XII.
“Bentar lagi, ya, Pak!”
sahut Kang Yuyun dan beberapa anak lain.
“Bentar lagi, ya.”
“Siap, Pak!”
Pak Yaya pun
meninggalkan mereka.
“Enggak apa-apa sama si
bapak itu mah,” kata Kang Yuyun pada Dean dan Icang dengan suara pelan
sekaligus geli. Kedua anak itu tampaknya kaget tahu-tahu ada guru memergoki
mereka sedang membolos. “Tadi juga lagi beli rokok da.”
Kang Cawe menarik
arloji di pergelangan tangan Kang Lutung. “Udah mau jam sebelas lagi, ih.”
“Bentar lagilah.” Kang
Yuyun mengisap rokoknya bertubi-tubi. “Tadi sebelum ngomongin Bastard, bukannya
mau ngebahas rencana bikin jaket bareng tea,
kita teh?
“Kita habis ini ada
pelajaran apa, ya?” tanya Icang pada Dean di sela-sela obrolan para akang.
“Eh, apa, ya?”
“Matematika ari kamu. Ada PR.” Icang mendadak ingat.
“Anjing! Urang can nyieun!” kata Dean dalam
bahasa Sunda yang artinya kira-kira: Saya
belum ngerjain! Dia menepuk jidatnya.
Ketika terdengar bel
tanda bergantinya pelajaran, mereka ramai-ramai melompati tembok belakang lalu
berpencar ke kelas masing-masing.
.
Sewaktu Dean dan Icang
sampai di kelas, guru Matematika belum datang. Icang juga belum mengerjakan
PR-nya, tapi di perjalanan tadi Dean menenangkannya, “Kita ke Zahra!”
Zahra adalah langganan
Dean dalam urusan salin-menyalin PR. Menurut Dean, hasil pekerjaan Zahra lebih
rapi, jelas, dan terpercaya ketimbang punya anak-anak lainnya.
Kebanyakan anak di
kelas segan pada Zahra sebab cewek itu sering kali menyambut mereka dengan
tampang cemberut, apalagi kalau maksudnya jelas-jelas untuk menyontek PR. Tapi
Dean cuek saja. Dia mendekati Zahra dengan santai biarpun cewek itu sudah menebarkan
hawa “Jangan dekat-dekat!” sampai radius lima meter. Ketika Zahra sudah
memasang tampang cemberutnya hingga level 9 (pada level ini anak-anak biasanya
sudah tidak sanggup bahkan untuk sekadar menengok mukanya saja), Dean malah
menanggapinya dengan berceloteh riang terus-terusan seakan tidak akan berhenti
kecuali ketika guru sudah datang.
Kadang Dean berharap
suatu saat Zahra akan mengerti dengan sendirinya. Jadi ketika Dean mendekati
bangku Zahra sewaktu menjelang jam pelajaran atau pada jam istirahat, cewek itu
akan langsung saja menyerahkan PR-nya tanpa dia harus merayu sampai
berbusa-busa—soalnya lama-lama capek juga! Tapi kalau Zahra saja bisa begitu
gigih dalam mempertahankan PR-nya, masak Dean kalah?
Celotehan Dean kadang
membuat Zahra ngeri. Misalnya, ketika Zahra cemberut, Dean malah tersenyum
semakin mencurigakan dan bilang, “Zahra, kamu lucu ih!” Tentu saja diam-diam
Zahra heran, Kenapa orang cemberut kok
malah dibilang lucu? Lanjut Dean, “Kamu cemberutnya kayak ibu saya. Entar
kalau kamu punya anak, jangan-jangan anaknya mirip sama saya lo.” Setelah
dibilangi begitu, Zahra tetap cemberut tentu saja, tapi setidaknya Dean tidak
lagi berisik di dekatnya meski PR-nya lagi-lagi menjadi korban. Apalagi ketika
mengembalikan PR-nya, Dean sering kali meninggalkan jejak di sekitar hasil
pekerjaannya. Mulai dari tulisan “Good
job, Zahra!” lengkap dengan gambar jempol yang lebih mirip
jamur—seakan-akan anak itu berlagak menjadi guru yang habis menilai hasil
pekerjaannya—sampai ucapan “Terima kasih” dalam berbagai bahasa yang dia tahu
dan gambar orang tersenyum.
Kadang Dean berharap
juga suatu saat Zahra mau pindah duduk ke bangku deretan belakang. Jadi sewaktu
ulangan dia bisa dengan mudah mengintip jawaban cewek itu.
.
Di samping saat-saat
yang menyusahkan ataupun membosankan, ada juga saat-saat yang menyenangkan di
sekolah. Saat-saat itu adalah saat mabal, saat jam istirahat, saat guru
bukannya menerangkan pelajaran tapi malah menceritakan topik lain yang menarik
dan lucu, saat guru tidak masuk dan tidak juga memberi tugas, dan terutama saat
bel tanda pulang sekolah berbunyi.
Dengan semangat, Dean
membereskan barang-barangnya lalu menggendong ranselnya dan menyelinap di
antara anak-anak lain yang juga sudah tidak sabar untuk segera menuju pintu
kelas. Tapi langkah Dean terhenti karena mendengar Zahra berseru, “Dean, hari
ini piket!”
“Mau keluar dulu
bentar!” Dean balas berseru sambil melontar senyum. Dia sudah semakin dekat
dengan pintu ke luar.
“Kalau cuma bentar mah
enggak usah dibawa atuh tasnya.”
“Dompetnya kan ada di
tas!” kata Dean, dan lenyaplah dia.
Acil mengangkat jam
tangannya dan berkata, “Dalam waktu kurang dari setengah jam, dia akan kembali
dengan membawa….”
“Cilok!” sahut Salman
yang baru akan menghapus papan tulis.
“Cakue,” kata Rani yang
mulai merapikan meja guru.
“Sekali-kali piza kek!”
ujar Acil sambil mengangkat kursi ke atas meja.
Zahra tidak berkata
apa-apa. Bibirnya mengatup rapat sementara tangannya sibuk menyapu gumpalan
kertas, rautan pensil, penghapus bulukan, dan debu ke dalam pengki.
Seperti yang sudah
diprakirakan Acil, dalam waktu kurang dari setengah jam, Dean kembali dengan
membawa sekantong makanan. Kali ini kue cubit.
“Habis ini kita
ngomongin tugas Bahasa Inggris dulu, cuy!” kata Acil selaku ketua kelompok
piket sekaligus ketua kelompok tugas Bahasa Inggris.
Sebetulnya mereka juga
satu kelompok tugas dalam beberapa pelajaran lain. Anak-anak sekelas sepakat
untuk memakai hasil pembagian kelompok piket saja tiap kali ada guru yang
menyuruh mereka untuk membentuk kelompok tugas. Meski ada juga guru yang ingin
mengacak lagi mereka ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda. Jadi setelah
berbulan-bulan sekelompok dalam piket dan berbagai pelajaran, Acil, Rani,
Salman, dan Zahra mulai tahu cara membagi tugas di antara mereka berempat
dengan sesekali melibatkan Dean apabila yang bersangkutan kebetulan hadir.
“Aku ngemoceng jendela,
yak!” kata Dean setelah menaruh ransel dan menjumput kemoceng.
“Iyak…” kata
teman-temannya, selain Rani yang memang pendiam dan Zahra yang selalu cemberut.
Dean pun pergi ke luar
dan mengemoceng jendela. Tidak sampai lama, dari balik jendela anak-anak di
dalam kelas memerhatikan bahwa Dean lebih banyak mengobrol atau bercanda dengan
orang-orang yang lewat ketimbang sungguh-sungguh mengemoceng.
Setelah semua tugas
piket selesai dikerjakan, mereka duduk di tengah ruangan kelas dan mulai
membahas tugas lainnya sambil melahap kue cubit. Sewaktu pembahasan mengarah
pada pembagian tugas, Dean sudah tidak ada bersama mereka. Tadi Dean bilang
akan pergi sebentar. Tapi anak-anak itu tahu bahwa yang Dean maksud dengan
“sebentar” adalah mulai dari saat ini hingga besok pagi mereka berjumpa lagi di
kelas. Yang paling (malah, sebetulnya, yang satu-satunya) cemberut di antara
mereka tentu saja Zahra. Seringan apa pun tugas yang disediakan untuk Dean,
ujung-ujungnya Zahra yang harus mengerjakannya atau tugas mereka tidak akan
beres pada waktunya. Bagaimana memercayakan tugas pada anak yang mengerjakan
PR-nya sendiri saja tidak bisa?
.
Pada jam-jam sehabis
pulang sekolah, bagian luar dan dalam Tenis Net bertambah ramai. Bukan saja
oleh anak-anak Smanson yang disebut-sebut sebagai geng Bastard itu, tapi juga
oleh anak-anak SMK dan SMP tetangga dan pengunjung warnet tentunya. Apalagi di
lantai dua bangunan itu terdapat rental game
online. Sehabis berpamitan pada teman-teman sekelompok tugasnya siang itu,
Dean main di sana.
Dean sedang
sibuk-sibuknya menghantam lawan mainnya, ketika merasakan getaran di saku jumper yang dia kenakan. Di tengah
riuhnya ruangan yang ramai oleh para pelajar sesamanya itu, Dean menjawab
panggilan. Terdengar suara adiknya yang cempreng, “Kamu ke mana ih? Dicariin
Bunda, tahu!” Dean mencari-cari jam dinding dan terkejut antara Udah jam lima lagi! dan Baru juga jam lima! Dean pun berpamitan
lagi, kali ini pada teman-teman mainnya, dan pulang.
Ketika Dean sampai di
rumah, Bunda tampak segar dan wangi sehabis mandi. Bunda juga belum lama tiba
di rumah. Ketika sampai, ia langsung menanyakan Dean pada Zara yang sudah lebih
dulu tiba di rumah.
Bagaimanapun juga, Dean
mendapat firasat tidak baik. Benar saja. Setelah dia mandi dan makan, Bunda
menyuruhnya duduk bersama-sama di ruang tengah. Ada hal serius yang mau
dibicarakan. Bunda juga menyiapkan kertas dan alat tulis. Benar saja. “Sini,
Dean. Ulangan Biologinya besok, kan?”
Hampir seminggu yang
lalu, seperti biasanya, Bunda bertanya pada Dean, ada PR atau ulangan apa? Dean
biasanya tidak mencatat, dan baru ingat sewaktu ada yang bertanya. Maka dia pun
teringat pada perkataan gurunya tadi siang, “Biologi, virus, tapi masih minggu
depan da,” dan merasa tenteram
sejenak karena itu masih minggu depan, sampai Bunda berkata, “Belajarnya dari
sekarang atuh.” Dean menjawab, “Iya,
Bunda,” tapi di bibir saja, dan melupakan bahwa dia ada ulangan Biologi sampai
hampir seminggu kemudian Bunda mengingatkannya lagi.
Bunda mengajar
mahasiswa kedokteran dan dulunya juga mahasiswa kedokteran, jadi ia pasti tahu
tentang virus-virusan. Ini akan menjadi kuliah malam yang melelahkan. Dean
melangkah gontai menuju ibunya, dan kembali lagi ke kamar karena disuruh
membawa serta buku pelajaran Biologinya.
Sambil melihat-lihat
isi buku pelajaran Dean, Bunda bertanya, “Jadi, Dean udah belajar apa aja
tentang virus?”
“Itu, Bun, virus itu
yang bikin orang jadi sakit.”
“Iya. Virus itu termasuk
makhluk hidup atau bukan?”
Dean terdiam. Karena
Dean terdiam sampai lama, Bunda bertanya lagi, “Di bab sebelumnya udah belajar
kan, ciri-ciri makhluk hidup?”
“Udah,” dan pada
ulangan bab tersebut Dean mendapat nilai 4. “Bernapas…. Makan…. Beranak…. Mati….”
dan seperempat jam kemudian ketika dia masih belum juga dapat menyebutkan
keseluruh ciri makhluk hidup dengan benar, Bunda membuatkan rangkuman pada
selembar kertas sambil menjelaskan panjang lebar.
“Nih. Nanti ini
dipahami, ya.”
“Iya, Bunda.”
“Nah, sekarang,
ciri-ciri virus itu apa aja, Dean?”
Lagi-lagi Dean terdiam
sampai lama. Kali ini dia yang menyerah dan menawar untuk membaca sendiri dulu
buku pelajarannya.
Ketika Bunda
membiarkannya, Dean memanfaatkan kesempatan itu untuk memijit-mijit ponselnya.
Dia mendapat SMS dari Icang yang isinya ajakan menonton balapan di Jalan Laswi.
Acaranya baru akan dimulai lewat tengah malam nanti, tapi anak-anak mau
berkumpul dari sekarang. Ih, mau,
pikir Dean. Tapi sebelum dia sempat membalas, Bunda muncul dan kembali
mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
Setelah banyak
pertanyaan dan banyak pengelakan, Bunda tampaknya mulai kehilangan kesabaran.
“Fokus, Dean.”
“Ini juga fokus,” kata
Dean, meski yang dia maksud adalah fokus pada cara supaya bisa keluar semalaman
itu. Kalau sengaja minta izin pada Bunda, sudah tentu tidak akan diberi.
“Kamu enggak fokus,”
kata Bunda. “Bukannya enggak bisa, tapi enggak mau.”
Dean diam saja.
“Dean mau, hampir
enggak naik kelas lagi? Mohon-mohon ikut ulangan perbaikan, sampai
berkali-kali, sampai gurunya akhirnya mau juga ngelulusin? Emangnya kamu enggak
kapok? Atau kamu lebih suka enggak sekolah sama sekali? Keluyuran aja di
jalanan?”
Dean bingung
menanggapinya, sebab kalau dia menjawab, “Iya,” Bunda pasti makin sewot.
“Mau jadi apa kamu, Dean?”
Dean tidak tahu.
Malah kalau ada yang
mengatainya “madesu”—masa depan suram”, Dean akan mengoreksinya dengan
“madesong”—masa depan kosong. Bagi Dean, masa depan itu tidak ada, sebab dia
selalu berada di masa kini. Masa depan yang sanggup dia bayangkan hanyalah
sebatas apakah dia bisa menonton balapan malam
ini atau tidak.
Bunda mendesah. Nada
suaranya melunak. “Dean tahu, kan, sebelum ini, Bunda sering pergi-pergi. Ayah
juga sibuk di luar kota. Dean, Zara, Deraz ditinggal di rumah sendiri, atau
sama Opa, Oma, Enin…. Sekarang, Bunda bela-belain, nolak tawaran ini-itu,
sering-sering izin, enggak ikut rapat, biar bisa cepet pulang, lebih sering di
rumah, merhatiin anak-anak. Dean paham? Bunda mau bantuin Dean. Dean mau enggak
dibantuin?”
Dean tampak merenung
sebentar lalu menyahut pelan, “Iya, Bun.” Dia memeluk ibunya. “Maafin Dean, ya,
Bunda.” Sudah lama Dean tidak memeluk Bunda. Ini kesempatan. Tiap kali dia
ingin memeluk, Bunda menghindar. Alasannya, Dean kan sudah besar.
“Iya, Dean.” Kali ini
saja Bunda sudah melepas lagi pelukannya sebelum makin lama. “Ya udah, sekarang
kita coba lagi, ya, ngehafalinnya.”
Dean mengangguk, lalu
berkata, “Boleh keluar dulu enggak, Bun?”
Serta-merta Bunda
menjawab dengan masam, “Mau ke mana?”
“Beli cemilan, biar
tambah semangat.”
“Di rumah kan udah
banyak cemilan?”
Dean keburu masuk ke
kamarnya, mengenakan jaket dan celana jin, dan tidak lupa menyelipkan lipatan
uang ke saku. “Sebentar… aja, Bun,” kata Dean sambil berjalan cepat melewati
ruang tengah dan Bunda yang mulai kesal lagi. Dia menuju pintu samping dan
keluar.
.
Di luar, Dean menyusuri
keremangan lampu penerang jalan. Dia membeli sebatang rokok saat melewati
warung dan menyulutnya sekalian di sana. Sambil melanjutkan berjalan kaki, dia
terpikir untuk mampir ke pangkalan tempat para emang ojek kenalannya berkumpul.
Lalu dia akan duduk-duduk dan berpikir. Tapi ketika sudah bersama emang-emang
ojek itu, dia pasti tidak akan sempat berpikir. Barangkali dia malah akan asyik
mengobrol, ikut menonton sinetron, atau minta diajari main gitar oleh aa-aa
yang juga suka menongkrong di sana. Dean pernah seperti itu, tapi pada malam
itu mobil Bunda tahu-tahu muncul dari arah jalan raya dan berhenti di seberang
pangkalan, lalu dia dipanggil dan disuruh ikut pulang.
Maka Dean bersandar
saja pada tiang pos ronda yang entah ke mana penjaganya, mengepulkan asap,
sambil memandangi langit yang hitam tanpa bulan dan bintang. Dia berpikir, Bunda mah terlalu serius orangnya,
berkebalikan dengan para akang Bastard yang amat santai dalam menghadapi dunia.
Bunda sewaktu SMA pasti bukan tipe anak yang doyan kumpul-kumpul di pinggir
jalan apalagi pada jam pelajaran. Bunda sewaktu SMA pasti tipe anak yang rajin
belajar sampai larut malam, yang keesokan paginya di sekolah bakal marah tiap
ada yang ingin menyalin PR-nya. Dean merasa geli karena teringat pada
seseorang. Aku mah enggak gitu orangnya, pikirnya, dan menyadari bahwa
ketika pulang nanti kemungkinan Bunda bakal mencium bau asap rokok di bajunya.
.
Sejak Dean tahu bahwa
ada teman-temannya yang suka keluar malam untuk menonton balapan motor, dia
juga ingin ikut. Saat itu dia masih SMP, dan, beserta Deraz dan Zara, selalu
dititipkan di rumah Oma-Opa ketika baik Bunda maupun Ayah sedang bepergian
jauh. Ketika bermalam di rumah Oma-Opa, Dean merasa sungkan apabila mau minta
izin untuk keluar ke mana saja, jangankan balapan motor. Dengan cara
mengendap-endap saja rasanya susah. Oma selalu ingin tidur bersama
cucu-cucunya, dan ia paling dekat dengan Dean. Ketika pada tengah malam Dean
bangun dan menjauh dari tempat tidur, bahkan meskipun itu cuma sejauh dapur dan
tujuannya untuk mengambil minuman saja, Oma akan segera ikut bangun dan
menyusul.
Lagi pula Dean tidak
punya motor yang bisa dia kendarai ke mana-mana dengan bebas. Di rumah ada
motor Ayah. Motor gede dan keluaran lama, seperti punya emang-emang ojek. Tapi
entah di mana Ayah menyimpan kuncinya. Seakan Ayah selalu membawa benda itu ke
mana saja bersamanya, termasuk ke luar kota atau ke luar negeri ketika ia
sedang berdinas.
Maka untuk sementara
Dean cuma bisa bermimpi. Ketika guru Bahasa Indonesia memberi PR menulis
karangan, dia mengarang cerita yang berjudul “Orang Tuaku Adalah Dragster”.
Suatu kali Dean
berhasil keluar malam untuk menonton balapan. Triknya, dia minta izin untuk
menginap di rumah teman karena akan belajar bersama. Ayah mengizinkan Dean asal
tidak merepotkan empunya rumah. Waktu itu Ayah ada di rumah sementara Bunda ada
urusan di luar negeri.
Segalanya pun
berlangsung lancar. Puas rasanya Dean melihat motor-motor yang dipakai balapan
dimodifikasi unik-unik dan digeber kencang-kencang. Belum lagi dia bisa
berkenalan dengan teman-teman temannya yang rata-rata berusia jauh lebih tua
dan memiliki banyak pengalaman.
Hingga datanglah
serombongan polisi. Kemeriahan menjadi kekisruhan. Polisi berhasil menyita dua
puluhan motor. Salah satunya adalah motor milik teman Dean. Dean ikut temannya
ke kantor polisi untuk mengurus surat bukti pelanggaran, panggilan sidang, dan
sebagainya. Karena Dean dan temannya masih di bawah umur, polisi meminta kontak
orangtua mereka. “Pak, saya mah cuma nonton…” kata Dean waktu itu, tapi polisi
tidak peduli.
Temannya lalu dijemput
orang tuanya dan dimarahi, dan motornya beserta Dean ditinggal. Motor milik
temannya itu tidak boleh dibawa karena banyak onderdilnya yang tidak standar
dan tidak lengkap. Untuk mengambil motornya, temannya itu harus datang lagi
dengan membawa onderdil-onderdil yang diperlukan dan langsung menggantinya
sekalian di kantor polisi. Dean juga tidak ikut dibawa sebab biar orang tuanya saja
yang menjemput.
Tapi sampai lama
kemudian, Ayah tidak muncul-muncul. Malam melarut dan langit berangsur
benderang. Berkali-kali Dean bertanya pada polisi yang meminta kontak orang
tuanya itu, kapan Ayah akan datang. Polisi itu bilang, “Nanti,” “Nanti,” dan
“Nanti,” sambil berlagak sibuk di mejanya. Dean mulai merasa kedinginan dan
kelaparan meski sudah diberi sarung, teh botol, dan biskuit. Dia tidak nyaman
mesti menunggu di sofa tipis yang kulitnya pecah-pecah meski akhirnya tertidur
juga.
Dean baru bangun ketika
siang, dan samar-samar mendengar suara Ayah di ruangan lain. Sesaat dia merasa
gembira karena itu memang suara Ayah, lalu mendongkol karena obrolannya panjang
sekali seakan tidak mau berhenti. Ayah ternyata kenal dengan polisi yang
menahan Dean. Dean mulai meyakini bahwa Ayah sengaja membiarkannya berada di
sana semalaman itu.
“Jadi kemarin teh izinnya mau nginep di rumah temen
atau di kantor polisi?” Di perjalanan pulang Ayah menegurnya sambil
mesem-mesem.
“Di rumah temen, Ayah.”
“Kenapa jadinya malah
di kantor polisi?”
“Kan motornya temen
dibawa sama polisi. Dean mah cuma nemenin, terus malah disuruh kasih nomor Ayah
juga.”
“Kenapa motor temennya
dibawa sama polisi?”
Suara Dean menjadi
pelan. Kedengarannya semakin samar karena jendela mobil dibuka sehingga
suara-suara dari jalan ikut masuk. “Ikut balapan.”
“Dean ikut balapan
juga?”
“Enggak. Dean mah cuma
nonton.”
“Jadi nginep di rumah
temen teh mau belajar bareng atau
nonton balapan?”
Suara Dean kembali
pelan, “Dua-duanya.”
“Kenapa enggak bilang
aja atuh kalau emang mau nonton
balapan mah?”
Dean memandang ayahnya.
“Boleh gitu, Yah?”
“Sok aja.”
Terdiam sebentar, Dean
bertanya lagi, “Emangnya sama Bunda boleh?”
“Tanya aja. Berani
enggak?”
Ditanya dengan nada
menantang begitu, Dean terdiam lagi sambil membayangkan reaksi Bunda kira-kira.
“Kalau sama Bunda mah
pasti enggak boleh,” kata Ayah lagi. “Takut Dean nanti masuk angin. Sakit.
Tidurnya kurang. Terus jadi enggak bisa fokus belajar di kelas. Takut Dean jadi
kepingin juga ikut balapan. Kalau Dean ikut balapan, takutnya nanti celaka,
kena masalah sama polisi, kenapa-kenapa…. Apalagi balapannya balapan liar gitu.
Aturannya kan suka-suka.”
Masih dengan suara
pelan, Dean bertanya, “Kenapa sama Ayah boleh?”
“Kalau Ayah ngelarang
juga, Dean mau nurut? Atau Dean bakal pura-puranya izin nginep di rumah temen,
padahal mah ikut balapan?” Dean bungkam saja. Ayah melanjutkan, “Ayah juga
pernah seumuran Dean mah. Ayah ngerti, kalau anak udah kuat keinginannya, mau
dilarang segimana pun juga, pakai dikasih hukuman yang berat-berat pun, kalau
belum ngerasain sendiri akibatnya, enggak bakalan sadar, enggak bakalan
belajar. Kadang akibatnya teh baru
kerasa bukan sehari dua hari, atau sebulan dua bulan, tapi nanti, pas udah
jauh… bertahun-tahun, pas udah tua. Kenapa
saya teh waktu muda kayak gitu, ya?
Sekarang jadinya kayak gini. Mending kalau itu teh bangga, puas sama jalan hidupnya. Kalau malah nyesel? Nah, itu
kan, yang pengin dihindari. Makanya, orang tua mah, cuma bisa ngasih tahu.
Kalau gini, jadinya kemungkinan gitu. Kalau gitu, jadinya kemungkinan gini.
Sama berdoa. Mudah-mudahan, anaknya bisa selamat, mau ngapa-ngapain juga.”
Dean masih saja diam.
Ayah pun kembali bicara, “Kalau buat Ayah mah, mending bandel tapi jujur,
daripada baik tapi nipu.”
Sejak itu, Dean tidak
pernah lagi memikirkan akan keluar malam-malam untuk sekadar menyaksikan
balapan. Temannya itu sendiri belum kapok dan sesekali mengajak Dean
menontonnya ikut balapan. Tapi Dean tidak terpengaruh.
Sampai beberapa waktu.
.
“Dean, besok ada ulangan?”
Dean menatap jam
digital pada dasbor mobil Bunda. Belum juga pukul 6.30. Terlalu dini bagi Bunda
untuk menanyakan itu! Pagi itu seperti biasanya Bunda mengantar anak-anak ke
sekolah sekalian ia berangkat ke tempat kerjanya.
Bagaimanapun, ketika
Bunda bertanya, Dean sebaiknya menjawab. Maka jawab Dean, “Kayaknya sih enggak
ada, Bun.” Saat ini dia tidak teringat apa-apa. Mungkin dalam setengah jam ke
depan, atau ketika dia sudah sampai di sekolah dan bertanya pada temannya, dia
baru insaf bahwa besok ada dua ulangan.
“Belajar sendiri bisa,
kan?”
“Bisa atuh, Bun,” kata Dean. “Masak belajar
harus ditemenin terus. Kayak anak kecil.”
Bunda tersenyum saja.
“Kenapa gitu, Bun?”
tanya Dean.
“Bunda hari ini mau ke
Jakarta. Ada panel. Belum tahu pulangnya entar malam atau besok.”
“Besok aja atuh, Bun. Kasihan kalau malam mah.
Capek di jalan,” ujar Dean. Samar-samar dia mulai melihat titik cerah.
“Iya. Lihat nanti aja.”
Begitu sampai di
sekolah, di kelas, Dean langsung berburu bangku kosong di deretan belakang dan,
tentu saja, Icang. “Entar malam, yuk!” serunya.
“Kalau ada,” kata
Icang.
“Adain ajalah…” ujar
Dean. “SMS-in geng-geng motornya. Suruh pada kumpul entar malem. Di mana aja
boleh, asal ketempuh sama kamu, kan saya mau nebeng kamu. Bilangin, mumpung
Dean lagi bisa.”
Icang menyeringai.
Tapi malam itu Icang
mengirim SMS yang menggembirakan bagi Dean.
Dean bersorak dalam
hati. Dia lalu menelepon Bunda.
“Bunda lagi di mana?”
tanyanya.
“Masih di Jakarta,”
jawab Bunda.
Dean diam sebentar,
lalu berkata dengan hati-hati, “Bunda enggak pulang?”
“Pulang…. Tengah malam
mungkin.”
Kata Dean lagi dengan
suara pelan, “Kalau capek mah, mending nginep aja atuh, Bun. Enggak apa-apa….”
“Masih banyak urusan besok. Lagian kan Bunda
enggak nyetir sendiri. Ada sopirnya. Perginya juga bareng sama temen-temen
dosen.”
“Oh.” Dean terdiam
lagi. “Sampainya baru besok pagi, atuh,
Bun?”
“Iya.”
“Ya udah, hati-hati,
ya, Bunda.”
“Iya, Dean. Udah
belajar belum tadi?”
“Udah, Bunda,” di sekolah.
Dean lalu menutup
teleponnya. Dia bisa saja pergi tapi yang jelas tidak sampai pagi. Dia harus
mengira-ngira kapan Bunda akan tiba di rumah, dan pulang sebelum itu.
Gampanglah!
Menjelang pukul
sepuluh, Dean menegur Deraz yang masih mengulik gitar di kamar.
“Belum tidur?”
“Belum.”
“Tidur atuh.”
“Iya,” kata Deraz.
Sebentar kemudian Deraz
menyimpan gitarnya dan bersiap akan tidur, sementara Dean menengok kamar Zara.
“Belum tidur?”
“Belum. PR-nya masih
banyak…” keluh adiknya.
“Tidur atuh. Kerjainnya besok aja di kelas.
Lihat punya temen.”
“Emangnya kamu…” kata
Zara sambil menutup pintu supaya Dean tidak menganggu lagi. Dean terkekeh saja.
Menjelang tengah malam
Icang mengirim SMS pada Dean, mengabarkan bahwa dia akan segera berangkat.
Icang akan menjemput Dean di pangkalan ojek dekat rumahnya, lalu bersama-sama
mereka menuju area balapan. Malam itu balapan akan kembali diadakan di Jalan
Laswi.
Setelah membaca SMS
dari Icang, Dean segera mengeluarkan helm full
face dari lemari bajunya. Bagian dalam helm itu masih beraroma toko karena
jarang dipakai. Dean memang belum boleh memiliki SIM dan motor sendiri, tapi
dia tidak dilarang mencicil perlengkapan berkendara lainnya dari sekarang. Itu
dimulai dari memiliki helm sendiri.
Dean memastikan Deraz
sudah lelap. Pintu kamar Zara tertutup rapat, Dean menganggap adiknya itu juga
sudah tidur.
Dia lalu berjalan kaki
ke pangkalan ojek sambil menenteng helm. Walau malam itu gelap dan senyap, tapi
di dalam dirinya lampu-lampu berkilatan dan musik berdentam-dentam. Ada drum,
gitar listrik, dan tentu saja synthesizer!
Dia tersenyum-senyum sendiri karena musiknya meliuk-liuk lucu—tapi
menggairahkan!
“Tumben malam Rabu.
Biasanya malam Kamis atau malam Sabtu,” kata Dean setelah bertemu Icang. Dia
mengenakan helmnya lalu naik ke bagian belakang motor temannya itu.
“Jadwal yang biasa mah
rawan, pokemon udah pada tahu.”
“Pokemon?”
“Pokis, pokis….”
“Kamu belum makan
malam, ya? Mikirinnya kok pukis. Nanti atuh
subuh-subuh, kita beli serabi.”
“Alah!”
“Eh, enggak ketang.” Dean mendadak teringat pada
ibunya. “Balik jam tigaan aja, heu euh?”
“Hayuk.”
“Cabut, bal!” seru
Dean. Icang pun mengegas motornya.
Ketika menyusuri bypass, Dean merasa ingin tertawa
keras-keras. Kalaupun nanti ada Pikachu dan Charmander berseragam pokis, Dean
yakin Icang dan motornya tidak akan ikut terjaring sehingga dia harus menemani
kawannya itu ke kantor polisi. Motor Icang kan biasa-biasa saja. Onderdilnya
lengkap dan tidak ada modifikasi apa-apa seperti yang lazimnya tampak pada
motor balapan. Motor biasa pun bisa dipakai balapan, tapi Icang tidak ada niat
ikut-ikutan. Malah Icang memarkir motornya di tempat yang agak jauh dan
tersembunyi, dan sepertinya lebih suka menyaksikan balapan dari situ sekalian.
Tapi di tempat yang
ramai ada anak-anak Bastard, dan Dean mengajak Icang untuk bergabung dengan
mereka saja. Kebanyakan dari mereka anak kelas XI.
“Anak-anak kelas
XII-nya pada ke mana, Kang?” tanya Dean.
“Enggak tahu. Pada
sibuk belajar kali,” kata Kang Abuy. Mendadak dia menunjuk para calon pebalap
yang sedang bersiap dengan motor masing-masing di garis Start. “Tapi itu ada Kang Cawe.”
Mereka lalu
menggosipkan anak-anak Bastard yang punya sejarah dengan geng motor, dan
membiarkan motor-motor berdesingan begitu saja di hadapan mereka.
Sampai beberapa waktu.
Mereka bergabung dengan
kerumunan yang maju sampai hampir ke tengah jalan. Jalur hijau yang membelah
jalan besar itu juga diisi oleh para penonton. Ada yang berdiri sambil merekam
balapan dengan ponsel. Ada yang duduk-duduk atau jongkok dan anteng saja. Ada
yang membuat keributan dengan menyoraki setiap pebalap yang lewat, apalagi
ketika tahu bahwa yang sedang melaju itu anak Bastard.
“Itu si Endi! Masih
ngegeber juga dia!” Kang Abuy takjub.
“Wih!” sambut Dean lalu
berseru keras-keras pada pengendara Mio yang baru saja lewat.
Ketika Kang Endi
kembali dengan motor balapannnya, anak-anak Bastard mengerubunginya.
“Ini, si Dean bingung,
katanya. Tadinya pengin Ninja, tapi pas lihat Mio dibawa kamu, jadinya pengin
Mio aja,” kata Kang Abuy.
“Enggak, ah. Pokoknya
Ninja,” Dean menyangkal.
“Kenapa gitu?” tanya
Kang Endi sambil mencopot sarung tangannya. Tampak jari kelingking kanannya
yang buntung.
“Mio mah motor cewek,
katanya.”
“Emang,” kata Kang
Endi. “Ini motor adik saya.” Tapi berkat jasa mekanik langganannya, yang
lulusan SMK tetangga mereka itu, motor tersebut dimodifikasi sehingga tidak
kalah larinya dari motor-motor lain.
Mereka terus
mengobrol-obrol di pinggir jalan. Ada juga yang menyelinginya dengan menonton
balapan. Capek ber-wah!-wih!-wuh!-weh!-woh! menyambut motor-motor yang lewat,
lama-kelamaan Dean ikut Icang berjongkok.
“Mana pokemonnya, ih?
Enggak rame,” kata Dean sambil merapatkan jaketnya.
“Ari kamu malah ngarepin,” sahut Icang.
Dean menguap. “Ya udah,
atuh, enggak jadi.”
“Ngantuk?”
“Pengin yang
anget-anget.”
Bersamaan dengan itu
mereka melihat anak-anak kelas XI tampaknya hendak bepergian.
“Mau ke mana, Kang?”
tegur mereka.
“Pengin yang
anget-anget!”
“Ih, mau!”
Mereka pun beranjak ke
motor dan turut dalam rombongan.
.
Dean bermimpi kepalanya
menjadi bola boling. Bunda menyusupkan jari-jarinya yang lentik ke dalam
lubang-lubang di kepala Dean, mengayunkan lengannya, lalu melepaskan bola itu
hingga menggelinding di sepanjang papan cokelat yang mulus dan menghantam
formasi pin ke dalam kegelapan. Dean sempat melihat pin-pin itu berkepalakan
guru-gurunya di sekolah, sebelum mukanya kembali menggilas lantai kayu dan
semuanya menjadi gelap.
Ketika bangun, Dean
curiga kepalanya masih berupa bola boling yang sewaktu-waktu bakal jatuh
menubruk lantai. Hanya saja bola yang satu ini memiliki rangkaian saraf yang
membuatnya merasakan pening dan nyut-nyutan. Ketika menggoyangkan kepala, dia
merasa gumpalan padat di dalamnya bergulir dan menghantam tembok keras.
Semalam Dean dan Icang
ikut menyambangi rumah seorang kakak kelas. Orangtua akang tersebut tinggal di
luar kota, sedangkan pada malam itu saudaranya tidak berada di rumah dan
pembantunya tidak kelihatan. Dean dan Icang ditawari minuman beraroma tajam.
Icang mencicipi seteguk lalu menongkrong saja di luar rumah sambil merokok,
sementara Dean disodori lagi dan lagi tiap menghabiskan seseloki. Rasanya
antara pahit, asam, dan menyengat, tapi memang betul kata akang-akang itu,
minumannya bikin hangat! Sudah begitu, minumannya ada lebih dari satu macam.
Dean tertarik untuk mencoba semua sampai Icang mengingatkannya untuk balik pada
pukul tiga pagi.
Dean pun membonceng
motor Icang seperti sewaktu pergi. Tapi Icang mesti membawa motornya dengan
hati-hati sekali. Sebabnya, ia merasakan gerakan Dean yang limbung di belakang
punggungnya selama bermotor itu. Dean sampai di depan rumah dengan selamat.
Ketika masuk ke dalam rumah, dia melihat Bunda berdiri di ruang tengah dan
merasa heran. Dia ingin menyapa Bunda, tapi yang keluar malah isi perutnya.
Bukan itu saja kekacauan yang dibuat Dean. Bunda juga membaui adanya aroma yang
biasa tercium olehnya saat membersihkan alat di laboratorium.
Maka pagi itu Dean
harus merayap di dinding untuk menjaga langkahnya supaya tidak goyah. Dia juga
berusaha untuk tidak minta izin sakit pada Bunda. Percuma. Tidak akan diberi.
Bunda bahkan tidak menanggapi tegurannya saat sarapan, dan hanya memberi
selembar lima ribu untuk uang saku. Dean ingin menangis saja. Segini mah cuma cukup buat angkot! Deraz
dan Zara saja diberi jauh lebih banyak daripada itu.
Pada jam-jam pelajaran
pertama, kepala Dean rasanya masih seperti diisi pertandingan boling.
Sedikit-sedikit terdengar dentuman sewaktu ada bola yang dijatuhkan ke papan,
gemuruh sewaktu meluncur, dan gelegar sewaktu menabrak pin-pin sampai
bertumbangan. Tapi cuma Dean yang bisa mendengarnya. Tim-tim pemain boling yang
kalah melampiaskan amarah dengan menjangkau benda apa pun yang ada di sekitar
mereka, lalu melemparkannya ke berbagai arah sampai membentur-bentur rongga
kepala Dean. Cuma Dean juga yang bisa merasakan sakitnya.
Pada jam istirahat,
Dean menukar sekeping dari kembalian ongkos angkot sewaktu berangkat tadi
dengan sepotong pisang goreng, lalu termenung karena sisanya tidak mencukupi
untuk ongkos pulang—tidak termasuk ojek.
Deraz menghampiri Dean
dengan sebungkus cilok di tangan.
“Tumben. Biasanya kamu
enggak suka jajan,” tegur Dean.
“Lagi pengin,” jawab
Deraz.
“Sini, aku cobain dulu.
Khawatirnya bikin kamu sakit perut.”
Dean pun mencicipi
sebutir demi sebutir cilok di tangan Deraz sampai yang tersisa sausnya saja.
Deraz tidak berkeberatan sama sekali dan tidak juga mengambil cilok itu sebutir
pun.
Setelah jam istirahat,
Dean memutuskan untuk tidak kembali ke kelas melainkan menumpang tidur di kamar
kos Salman—teman sekelasnya yang berasal dari Wonosobo itu. Dia baru bangun
ketika Salman pulang sambil membawakan ranselnya. Karena Salman akan pergi
lagi, Dean pun pamit saja sekalian sambil tidak lupa mengucapkan terima kasih
yang sebesar-sebesarnya.
.
Dean mampir ke
pelataran Tenis Net sebentar, cuma untuk menumpang jongkok dan mengais-ngais
setiap kantong di ranselnya, bahkan isi tempat pensilnya, lalu saku celana,
kemeja, dan jumper-nya. Di situ,
seperti biasanya, sedang berkumpul anak-anak Bastard. Kebanyakan dari mereka
adalah anak-anak kelas XII. Mereka tampak asyik menggoblok-gobloki seorang anak
kelas XI yang sedang menceritakan perbuatan sesamanya semalam—kejadian yang
berakhir dengan tepar berjamaah. Anak-anak kelas XI lainnya tidak kelihatan.
Icang juga tidak hadir, tapi anak itu ada di kelas sepanjang pelajaran dengan
mata terpejam dan mulut menganga.
Setelah merasa yakin
bahwa tidak ada lagi uang yang terselip di mana saja di dalam ransel dan
pakaiannya, Dean pamit pada anak-anak Bastard. Mereka melepas kepergian Dean
dengan heran. Ketika diberi tahu bahwa Dean juga ada di acara semalam, mereka
malah tergeli-geli.
Uang yang tersisa pada
Dean tidak cukup untuk ongkosnya pulang. Kecuali kalau dia jalan dulu beberapa
ratus meter, baru naik angkot, lalu turun dan jalan lagi beberapa ratus meter,
naik ojek sampai depan rumah, lalu meminta emangnya supaya menunggu sebentar.
Sementara itu, syukur-syukur Bik Odah belum pulang, atau malah adiknya yang
sudah pulang, sehingga bisa dipinjam dulu uangnya. Kalau tidak, dia mesti
mengais-ngais lagi isi kantongnya yang lain yang ada di rumah, atau,
separah-parahnya, mengorek tabungan Deraz atau Zara dan menggantinya diam-diam
entah kapan. Sambil memikirkan segala kemungkinan itu, Dean berjalan semakin
jauh dari sekolahnya dengan perasaan merana. Dia sudah tidak sabar untuk
merebahkan lagi kepala bolingnya di rumah, di bantalnya yang empuk.
Ketika merasa sudah
capek berjalan, Dean berhenti dan menyetop angkot jurusan daerah rumahnya. Dari
luar angkot itu tampak lengang, tidak banyak penumpang. Dia pun masuk dengan
ekstra merunduk karena badannya yang jangkung. Matanya langsung mengarah ke
pojok, spot favoritnya ketika berniat
tidur di angkot—biarpun nanti akan susah keluar kalau-kalau penumpangnya
bertambah banyak—dan dia pun terpana.
.
Mendadak Dean jadi
saleh. Dia mengucap takbir, tahmid, dan tasbih berkali-kali, seakan mau
memanggil orang-orang untuk menunaikan salat Id di lapangan… tapi di dalam hati
saja. Pikirnya, Yang di Atas sanalah yang telah mengaturnya, menunjukkan
Kuasa-Nya bagi seorang hamba-Nya yang daif. Ini suratan takdir. Atau konspirasi
alam gaib. Jangan-jangan memang ada alasan-Nya menetapkan segala kejadian
mengenekkan ini pada Dean, segala sebab-akibat yang mengantarkannya pada titik
ini, detik ini, memilih angkot ini dan bukan yang lain, angkot pembawa
bidadari….
Di pojok yang satu,
Rieka juga terpana melihatnya—atau, mungkin lebih tepatnya, kaget. Ia segera
memperbaiki posisinya supaya tidak terantuk oleh lutut Dean yang memilih tempat
duduk di seberangnya. Entah karena tungkai kaki Dean yang memang terlalu
panjang untuk ukuran angkot, atau ada sebab yang lain, Rieka terus saja duduk
menyamping tanpa menoleh ketika angkot melaju lagi.
“Rika,” sapa Dean
sambil mengangguk dengan sopan, meski diam-diam merasa khawatir akan terlihat
salah tingkah.
Beberapa hari yang
lalu, Dean dan teman-temannya main ke salah satu radio anak muda di Kota
Bandung. Teman-teman Dean yang usil dan berisik mengajukan live request. Lagu yang diminta yaitu “Patah Hati” dari Ari Lasso,
dikirim untuk Rieka yang anak kelas X-5 di Smanson dari Dean X-7. Dean tidak
kuasa mencegah fitnah yang diumumkan teman-temannya itu (meski sebagiannya
memang kebenaran), tapi juga tidak berharap supaya Rieka, atau pacar cewek itu,
atau para mantan pacarnya, teman-temannya, sampai para pembantu di rumahnya
sekalian mendengarkan siaran itu.
Rieka menarik sedikit
ujung bibirnya. Sekadarnya, tapi cukup untuk membuat Dean merasa ada yang
mengguyurnya dengan es jeruk dari belakang pada siang yang gerah ini.
“Tumben naik angkot.
Biasanya sama Pak Sam,” Dean menyebut nama sopir keluarga Rieka.
“Pengin aja.” Rieka
memalingkan lagi wajahnya ke arah jendela.
Coba Rika pengin naik angkot tiap hari…!
Jarang sekali Dean bisa
sedekat ini dengan Rieka, mengamati separuh pipinya, separuh hidungnya, separuh
bibirnya, separuh dagunya, separuh matanya, separuh alisnya, separuh
telinganya, separuh dahinya, dan segalanya yang serba separuh pada cewek itu.
Dengan lirikannya, Rieka memberi isyarat pada Dean agar berhenti memandanginya.
Pelan-pelan Dean mengalihkan tatapannya pada jalanan di belakang, yang tentu
saja kalah indah dari Rieka… Dean termangu. Ketika Rieka tampaknya sudah tidak
lagi merasa diperhatikan, Dean kembali mencuri pandang.
Tahu-tahu terdengar
irama “Karedok Leunca”. Rupanya itu ringtone
ponsel Dean.
“Halo, Deraz,” Dean
menjawab panggilan, tapi matanya terus terarah pada Rieka.
“Kamu di mana?” tanya
Deraz.
“Di angkot, Yaz.”
“Oh. Udah pulang?”
“Iya, Yaz.”
“Ya udah.”
“Kenapa, Yaz?”
“Siapa tahu kamu mau
pulang bareng.”
“Emang kamu udah enggak
ada urusan lagi di sekolah, Yaz?”
“Ada.” Deraz terdiam,
lalu, “Udah, ya.”
“Yo…. Sampai ketemu
lagi, Deraz,” sahut Dean, lalu menyimpan lagi ponselnya ke dalam saku jumper yang dia kenakan. Matanya masih
melekat pada Rieka, terutama pada wajah cewek itu yang semakin berpaling saja
ke arah jendela.
Dean terus saja
memandangi Rieka sampai lebih lama daripada sebelumnya, tapi kali ini cewek itu
tidak bereaksi. Malah kemudian Dean yang menghentikan angkot itu ketika
melewati jalan menuju perumahan tempat Rieka tinggal. Dean tahu karena dulu,
sewaktu SD, dia dan saudara-saudarinya kadang menebeng mobil Rieka pulang.
Mereka semua satu sekolah. Pak Sam, sopir Rieka, yang menunjukkan jalan
tersebut. Sejak itu sampai sekarang, Dean sering menengok ke jalan itu tiap
kali melewatinya. Begitu nyeri mengetahui bahwa rumah mereka berdua sebetulnya
searah, tapi tidak pernah ada kesempatan bagi Dean untuk memasuki jalan itu.
Jangankan jalan ke rumah Rieka, jalan ke hatinya saja sulit untuk ditembus.
“Kamu bukannya turun di
situ, Rika?” tegur Dean sambil kepalanya menuding ke jalanan di belakang ketika
angkot hendak berhenti.
“Eh?” Rieka gelagapan,
tapi tetap cantik, menurut Dean. “Oh, iya. Makasih, ya,” sahutnya.
“Sama-sama,” ujar Dean
ramah. “Kamu jalannya jadi jauh banget.”
“Enggak apa-apa.”
Rieka turun dan
membayar. Angkot berjalan lagi. Jarak antara dirinya dan Rieka semakin jauh,
hingga cewek itu menjadi titik yang kecil sekali dan menghilang di belokan
tanpa menengok ke belakang sama sekali. Akhirnya Dean berhenti memandang ke
belakang dan beralih pada lipatan uang sepuluh ribu yang tadi terjatuh dari
saku rok Rieka. Barang pertama yang Rieka berikan padanya, meski secara tidak
langsung. Dia seharusnya menjaganya, menyimpannya di dalam kotak kaca,
menguburnya di halaman rumah, dan menggalinya saat ulang tahun perak pernikahan
mereka…. Oh, Rieka, kamu benar-benar
dewi… pikir Dean… dewi penyelamat!
.
Dean membatalkan
rencananya semula untuk turun segera dari angkot dan berjalan beberapa ratus
meter lagi sampai pangkalan ojek. Dia turun di pangkalan ojek dan membayar dengan
lembaran uang sepuluh ribu tadi, tapi merasa terlalu gembira untuk naik motor.
Dia ingin menikmati perasaan ini dengan berjalan kaki. Dean melambai saja pada
para emang ojek yang terheran-heran karena dia bukannya mendekati mereka
seperti biasanya. Dia berhenti di warung dan membelanjakan sisa uang sepuluh
ribu tadi dengan berbagai camilan.
Sepanjang jalan antara
pangkalan ojek dan rumahnya itu Dean menjejak-jejakkan sepatu ketsnya pada
permukaan yang berganti-ganti antara aspal dan kerikil, hampir seperti
melompat-lompat, seakan setiap langkahnya mendentingkan bunyi yang merdu. Meski
bebunyian itu hanya dapat didengar di dalam kepalanya, mengalun dengan
indahnya—seindah wajah Rieka!—tapi dia merasa seluruh dunia sedang bersukacita
untuknya. Pohon-pohon. Langit. Burung-burung. Bahkan deretan rumah. Semua
bergoyang dengan amboinya. Setiap goyangan mereka terdengar bagai irama. Yang
terpenting adalah kepalanya tidak terasa seperti boling lagi, sebab kini bisa
digerak-gerakkan dengan mudah, menuruti irama di dalam kepalanya.
Ah, jangan-jangan
minuman yang semalam masih ada efeknya. Orang minum-minum biasanya senang dulu
baru sakit, ini malah sebaliknya! Atau mungkin juga ini bukan efek minum-minum,
tapi efek Rieka!
Dean mendengarkan
suara-suara alamiah itu dengan saksama, memejamkan mata, dan tersadar bahwa dia
harus menceritakan ini pada Baby! Ah,
Baby, lama pisan Aa tidak main sama
kamu! Dean bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dia menyentuh bodi Baby
yang putih dan mulus itu dengan lembut dan kasih, sampai yang disentuh pun
mendesah dengan tidak kalah mesra….
.
Leganya ketika sampai
di rumah! Dean menyapa Bik Odah yang tampaknya sudah akan pulang. Tidak lupa
dia menyerahkan bungkusan berisi ciki-cikian pada asisten ibunya di rumah itu.
“Buat anak Bibik,” kata Dean.
“Makasih, Aa Dean,”
sahut Bik Odah yang semringah.
Tapi Dean sambil lalu
saja mendengarnya, karena kepalanya sedang berisik oleh nada-nada. Bahkan
ketika Bik Odah mengabsen menu yang ia masak hari itu yang sudah siap santap di
meja makan, Dean tidak peduli, sebab dia akan melahap
semuanya—sebanyak-banyaknya!
Dean masuk ke kamar,
mengganti baju seragamnya dengan kaus dan celana pendek yang memamerkan tungkai
kakinya yang mirip tusuk gigi, lalu meluncur ke ruang keluarga, tempat Baby
berada… semestinya.
“Bik, Baby ke mana?”
tanya Dean.
Yang Dean lihat cuma
jejak Baby pada dinding, yang tampak lebih cerah daripada warna dinding di
sekitarnya.
“Baby?” Ketika melihat
arah mata Dean, Bik Odah pun paham. “Oh, piano…. Tadi Ibu suruh pindahin ke kamar.”
“Kamar mana?”
Bik Odah menunjuk pintu
kamar Bunda dan Ayah.
Dean mendekat ke sana,
menggoyang-goyangkan gagang pintunya. Pintu kamar itu dikunci. “Kuncinya?”
“Dibawa Ibu.”
“Hah…?” Dean terdiam,
lama, lalu, “Bik Odah tahu enggak, cara ngebuka pintu yang dikunci enggak pakai
kunci?”
“Enggak.” Bik Odah
menjawab saja biarpun bingung.
Dean mendongkol. Dia
menyandarkan kepalanya pada pintu kamar Bunda dan Ayah, seakan ingin tahu
adakah suara di baliknya. Suara Baby minta tolong, misalnya.
Tapi tidak terdengar
apa-apa, selain tangis sepi dalam ruangan yang sunyi dan gelap akibat kurang
pencahayaan.