Sabtu, 01 Desember 2018

(30)

Anak-anak OSIS mulai memerhatikan Zahra. Kalau hanya melihat sekilas foto dari Ipong, wajah itu sulit dihafal. Maka ketika melihat cewek berjilbab yang sepertinya Zahra, mereka perlu sambil membandingkannya dengan foto. Tentu saja ada juga anak-anak OSIS yang sudah mengenal Zahra, entah karena dulu satu gugus atau satu kelas. Tetapi tidak banyak yang dapat diceritakan tentang gadis itu. Mereka hanya tahu bahwa ia tidak populer. Ia selalu menunduk. Gerak-geriknya kikuk.

Anak-anak OSIS yang suka menongkrong di Kabita—kantin SMANSON—pada jam istirahat tahu bahwa kadang Zahra terlihat bersama akhwat-akhwat DKM. Di mata mereka Zahra terlihat seperti cewek berjilbab pada umumnya. Kulitnya tidak putih, tidak gelap. Badannya tidak gendut, tidak kurus. Mereka berusaha memahami kecantikan Zahra yang mistis, hingga Deraz tertarik.

“Jelek sih enggak juga. Tapi yang lebih cantik kan banyak,” kata Ipong.

Puguh cantikan Dean, asana mah,” sambung Alf.

“Namanya aja pasaran,” imbuh Jati.

“Memang orang tidak bisa memilih dengan siapa dia jatuh cinta,” simpul Gilang.

Perhatian cowok-cowok malah teralih pada dua akhwat yang mengiringi Zahra, yang kulitnya lebih terang, bibirnya lebih merah, dan badannya lebih tinggi.

“Anak DKM geulis-geulis geuningan nya.”

“Kalau mau kenalan, harus pakai taaruf,” terang Alf.

“Taaruf?”

“Sama aja sih artinya mah, kenalan. Cuma kalau pakai bahasa Arab lebih gimana gitu. Lebih makbul jigana mah,” lanjut Alf. “Urang ge engke rek taarufan mun geus siap lahir batin mah.” Anak-anak menoleh pada Alf. Mereka tidak menyangka bahwa sang otaku ternyata berjiwa alim, padahal di komputer kamarnya ada video Kakek Sugiono. Malah mereka baru menyadari bahwa Alf itu jomlo, sejak putus dengan pacarnya semasa SMP. “Mun urang teu kaburu dapat pacar baru sih,” sambung Alf.

“Anak DKM teh bukannya enggak pacaran, ya. Eh, si Zahra anak DKM, lain?”

“Kalau dilihat sepintas sih gaulnya sama anak-anak DKM. Pas ketemuan di balkot juga dia pakai rok. Bajunya longgar. Enggak mau salaman. Tapi kerudungnya sedikit kurang panjang,” Alf membeberkan hasil pengamatannya. “Jadi sepertinya … belum bisa dipastikan.”

“Lagian, siapa sih yang dapat menolak pesona Deraz?” ujar Jati. “Blasteran Jerman, gitu. Cicitnya Daendels, cucunya Hitler. Yang punya Anyer-Panarukan. Soraya ge daek aslina mah, kalau enggak keburu digaet om-om ITB. Iya, enggak, Sor?”

“Sar-sor-sar-sor,” balas Soraya ketus.

“Tapi da si Derazna nu teu daekan ka maneh,” ungkap Gilang.

“Tuh kan, mulai deh,” Soraya mengangkat telunjuk pada Gilang, “tapi bener sih. Kayaknya memang tipe dia bukan cewek kayak gue.”

“Iya, tipe dia tuh yang alim kalem kayak Zahra, gitu. Kalau lu kan TOA.”

Bersamaan dengan itu, Zahra dan akhwat-akhwat menghampiri penjual roti bakar yang berada tidak jauh dari mereka.

“Eh, itu madu gue!”” ucap Soraya, sembari sebelah tangannya mengetuk-ngetuk meja menarik perhatian para cowok.

“Kalau dia madu, berarti lu racunnya dong!” sembur Ipong.

Soraya tidak menggubris. Ia berteriak memanggil Zahra sambil melambaikan tangan.

“Anjir, enggak tahu malu,” cowok-cowok mengikik.

“Suara lu TOA pisan, Ya.”

“Emang dia kenal sama lu, Ya?”

“Pura-pura enggak kenal, pura-pura enggak kenal,” mereka merunduk dan memalingkan kepala.

“Zahra …!”

Setelah beberapa kali panggilan, Zahra menoleh. Ia terheran-heran mendapati seorang cewek berambut panjang lurus meneriakkan namanya. Ia mengenali wajah Soraya yang memang termasuk populer di sekolah, tetapi sama sekali tidak pernah berinteraksi dengan cewek itu. Begitu Zahra membalas pandangannya, Soraya mengisyaratkan dengan tangan supaya gadis itu mendekat. Zahra memberi tahu teman-temannya bahwa ia akan menghampiri Soraya.

Begitu Zahra mendekat, Soraya bergeser menepuk-nepuk ruang duduk di sampingnya. Zahra duduk.

“Kamu Zahra, kan, ya?”

“Udah tahu nanya, lagi,” komentar Adip.

Soraya tidak acuh. Ia menyalami Zahra. “Gue Soraya.” Lalu ia memperkenalkan satu per satu anak-anak OSIS yang pada duduk di sekitar mereka. “Kita semua OSIS, temennya Deraz.”

“Oh.” Zahra terkesima. Ia menoleh pada teman-temannya para akhwat, namun mereka melambaikan tangan padanya hendak meninggalkan Kabita.

“Zahra, lu deket, ya, sama Deraz?” tembak Soraya.

“Eh ….” Zahra kaget. Ia mendapati anak-anak OSIS pada menatapnya. “Mmm, enggak juga sih. Cuma … sebangku.”

“Oh, sebangku,” anak-anak pada menganggut.

“Memang deket sih kalau sebangku mah. Enggak sampai satu meter jaraknya.”

“Cinlok berarti.”

“Zahra, Deraz pas nembak pakai proposal, enggak?” ganti Jati yang menembak.

“Eh ….” Zahra menunduk. Lalu, jawabnya perlahan-lahan, “Kita enggak … pacaran kok. Cuma … sahabatan.”

“Apa? Enggak kedengeran,” sahut Bram yang duduk di paling ujung.

“Oh, Hubungan Tapi Sahabat, berarti,” suara Soraya memang lebih keras.

“Oooh …” sahut Bram.

“Nadanya biasa aja atuh, Ya. Jangan kayak tokoh antagonis gitu,” celetuk Alf.

“Apa sih?!”

“Iya ih, mentang-mentang Deraz udah dapet cewek yang lebih baik,” tambah Ipong.

“Gue juga biasa aja kali!”

“Kalau disingkat jadi HTS, ya,” Jati mengabaikan perselisihan sebagian anak itu.

“Proposalnya belum jadi, berarti,” simpul Gilang.

“Belum perfect,” tambah Jati.

“Deraz tuh kalau bikin proposal teliti banget lo, sambil lihat KBBI dan pedoman EyD,” terang Alf.

“Pakai riset juga, biar meyakinkan gitu, argumentatif sekaligus persuasif. Pakai retorika! Makanya proposal OSIS banyak yang gol,” sambung Jati.

“Itulah gunanya punya anggota OSIS yang sekaligus anak ekskul sepak bola,” simpul Gilang.

“Deraz memang striker andal,” Bram mengiyakan.

“Deraz tuh kesukaannya bikin proposal, benerin proposal, master proposal, terobsesi sama proposal. Bikin catatan, bikin daftar, bikin jadwal. Cita-citanya jadi petugas tata usaha,” Jati mulai mengarang.

“Oh, kirain Deraz mau jadi dokter,” hanya itu yang terpikirkan oleh Zahra untuk menanggapi.

“Oh,” kompak anak-anak OSIS.

“Tata usaha rumah sakit berarti,” Jati melengkapi.

Zahra tidak tahu mesti menjawab apa.

Sejenak semuanya terdiam.

“Kita ini di OSIS udah kayak keluarga lo,” ujar Alf tiba-tiba.

“Bener!” Jati segera menyambut. “Soraya ini dulunya istri Deraz, tapi udah dicerai, soalnya ternyata dia cewek jadi-jadian. Wujud aslinya siluman TOA.”

“Apa sih, lu!” Soraya menyambit Jati dengan gumpalan bungkus permen.

“Kalau ini Dek Ipong. Dek Ipong senang katanya punya mama baru. Iya, enggak, Dek?”

Ipong menghindari tangan Gilang yang hendak menepuk-nepuk kepalanya.

“Udah diajak jalan-jalan ke mana aja sama Deraz?” tanya Jati pada Zahra.

Yang malah dijawab Ipong, “Entar minta jalan-jalan ke ‘Bukit Berbunga’ aja, bukit yang indah.”

“Atau ke Jalan Kenangan aja, biar sepanjang jalan saling bergandeng tangan. Apalagi pas hujan rintik-rintik, di awal bulan itu, menambah indahnya malam syahdu,” sambung Gilang.

“Bermalamnya di Cianjur, anjir. ‘Semalam di Cianjur’,” lanjut Bram.

“Oh!” Jati mengacungkan telunjuk. “Terus dari Cianjur, ke Cipanas, terus ke Puncak. Pas tah! Banyak bukit!”

“Entar bukan bukit berbunga atuh namanya, tapi bukit teh!” protes Ipong.

“Panjangan mana, Cianjur-Puncak apa ‘Antara Anyer dan Jakarta’?” Alf urun suara.

“Panjangan Anyer sampai Panarukan atuh, lagian Deraz yang punya jalan.”

Cowok-cowok terbahak.

“Entar mah mau dipanjangin, tahu, sampai Papua Nugini,” cetus Adip. “Habis itu rencananya mau bikin jalan tembus ke Paraguay lewat Samudra Pasifik. Jadi Anyer-Paraguay via Panarukan-Papua Nugini-Pasifik.”

“Terus lanjut ke Paris, heu euh?” ujar Alf.

“Ke Patagonia heula, cuy. Beli llama buat Lebaran Haji.”

“Dengan mengerahkan tenaga anak OSIS sedunia, anjir,” sahut Jati.

Zahra bengong.

“Maaf, ya, Zahra. Cowok-cowok ini tuh kalau ngomong memang suka ngaco,” ujar Soraya.

Tahu-tahu Jati sudah menceletuk lagi, “Eh, Zahra, kamu ada hubungan kekerabatan sama vokalis Gigi, ya?”

Zahra bingung. Ia tidak menyadari bahwa kerudungnya tersingkap hingga menampakkan sebagian nama di dadanya, yang terbaca oleh Jati.

“Kan nama kamu Zahra Maulana. Satu klan atuh sama Arman Maulana,” jelas Jati.

Tawa cowok-cowok menimpali.

“Garing, anjir!” seru Soraya.

“Eh, Zahra, kamu kan cewek, jadi harusnya nama kamu Zahra Maulani,” sambung Gilang.

“Suka-suka yang kasih nama atuh!” malah Soraya yang menanggapi.

“Eh, Zahra, kamu tahu enggak nama kepanjangannya Soraya apa?” Adip mendapat gagasan.

“Enggak.” Zahra menggeleng terheran-heran.

“Dengerin baik-baik, ya,” Adip berdeham, lalu, “Soraya Velasquez de La Fea Chiquiqita Fernando Torres Paraguay Argentina Burkina Faso Che Guavara Dian Sastrowardoyo!”

Cowok-cowok mengakak. “Meni kuateun anjir maneh ngomongna!”

“Soraya Sandrina!” koreksi Soraya.

“Kamu mah nama teh meni kayak tokoh antagonis di telenovela, anjir. Musuhnya Maria Mercedes. Bapak kamu Fernando Jose, ya?” cetus Ipong.

“Bukan!”

“Tapi orang Meksiko, kan?” tunjuk Adip.

“Ngaco!”

“Orang Chicago, ari kamu,” koreksi Gilang. “Dari Cimahi belok kanan saeutik.”

“Hahahahahaha, anjir, belegug!”

“Cikagok, meureun.”

Sementara anak-anak OSIS malah sibuk dengan sesamanya, Zahra yang salah tingkah mengedarkan pandang. Matanya bertemu dengan mata Deraz yang kebetulan saat itu tidak sengaja menoleh kepadanya. Deraz sedang berdiri agak jauh di ujung Kabita, mendengarkan obrolan Yoga dengan Kang Ega. Zahra tersenyum agak menunduk, namun matanya tetap terarah pada Deraz. Anak-anak menyadari arah pandang Zahra dan mengikutinya, lalu mendapati Deraz yang sedang tersenyum juga. Sontak mereka bersorak dan bersuit. Zahra langsung menunduk dalam-dalam, menatap punggung tangannya yang mencengkeram rok. Deraz juga memalingkan wajah, namun senyumnya terus terulas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain