Minggu, 02 Desember 2018

(31)

Jerih payah Deraz terbayarkan. Memang sudah sepantasnya kali ini ia lolos seleksi debat tingkat regional ke ISDC. Deraz optimistis ia bisa lolos sampai ke WSDC.

Selama delapan hari Deraz menjalani kehidupan yang sibuk di hotel dekat Taman Safari. Bersama kedua rekannya sebagai tim dari Jawa Barat, setiap hari ia melalui tiga kali penyisihan, mengalahkan tim demi tim dari berbagai provinsi di Indonesia, menembus enam belas besar, perdelapan final, perempat final, semifinal, ….

Walaupun tak terhitung jam yang ia habiskan untuk membahas mosi demi mosi bersama timnya sampai rasanya mau jadi gila. Walaupun para perwakilan dari Bali dan DKI Jakarta sungguh tak boleh dipandang sebelah mata. Walaupun tiap hari ia mendapat menu yang nyaris sama: teh atau kopi tiga kali sehari, nasi goreng tiap pagi, puding tiap malam. Walaupun seiring dengan berlalunya hari bekalnya niscaya menipis hingga sama sekali habis, namun tidak ada banyak waktu untuk berburu makanan lain yang layak di lidahnya sehingga ia harus menerima apa adanya sajian yang sudah disediakan. Walaupun hujan kerap turun dan ia mesti lari-lari dari gedung ke gedung, ruangan ke ruangan. Walaupun ia mesti begadang terus-terusan dan hanya dapat terkapar barang beberapa jam hingga subuh kembali menjelang. Walaupun seragam yang dibawanya hanya dua setel hingga pada hari-hari terakhir ia sudah tidak betah mengenakannya. Walaupun wajahnya yang kesal, letih, mengantuk, atau mumet kerap menjadi sasaran para juru foto.

Namun ia menikmati semua itu. Ia berkenalan dengan banyak orang dari seantero Indonesia. Ia sekamar dengan perwakilan dari Kalimantan. Anak-anak Papua sangat ramah. Yang berasal dari Sumatra pada seru. Lucu mendapati sebagian peserta mencoba memanfaatkan kesempatan ini untuk menanam bibit-bibit asmara.

Ada juga cewek-cewek yang tampaknya mencoba menarik perhatian Deraz. Tetapi Deraz lebih tertarik untuk mengecek ponselnya, tiap kali ada kesempatan dan terutama ketika sedang merasa suntuk. Sekarang Deraz sudah biasa mengirim SMS yang isinya sekadar, “Lagi apa?” Jika belum ada SMS baru dari Zahra, ia membaca ulang kiriman gadis itu yang disimpannya di kotak draf. Zahra sepertinya punya koleksi SMS bergambar lucu dan mengirimkannya satu per satu, selalu tepat ketika Deraz sedang membutuhkan semangat. Contohnya:

Happiness, Zahra.

Tetapi tidak apa-apa. Mungkin saking mengantuk, Zahra tidak sempat mengedit. Memang Zahra kerap menemaninya begadang, walaupun dari kejauhan dan Deraz tidak selalu sempat membalas.

Di mata Deraz, SMS semacam itu hanya berupa susunan karakter dan simbol yang entah bagaimana dianggap sebagai gambar beruang, bintang, orang, dan sebagainya dengan beragam ekspresi. Yang ditangkap oleh Deraz hanya kata-katanya. Itu, dan yang penting niatnya.

Menerima SMS saja sudah meresapkan sedikit hepineshappiness, apalagi ketika menelepon si dia. Zahra sudah membeli nomor baru dari provider yang sama dengan milik Deraz. Jika ada waktu sedikit lapang, Deraz menyempatkan untuk menelepon Zahra walau hanya beberapa menit dan sambil sesekali mengecek arloji. Jika diakumulasikan, selama delapan hari itu ia menelepon Zahra hanya sekitar lima belas menit. Namun lima belas menit itu cukup untuk mengembuskan tim Jawa Barat ke grand final melawan tim dari Bali, yang tak terkalahkan.

Zahra begitu perasa hingga kerap meminta maaf jika SMS kirimannya mengganggu Deraz. Tentu saja tidak, Zahra. Deraz pandai membagi fokus dan waktu. Setidaknya, Deraz terus mengupayakannya hingga momen ini tiba. Ia sudah bertekad bahwa antara prestasi dan hubungannya dengan Zahra mesti dapat berjalan beriringan, bahkan saling mendukung. Selain itu, sebelum menutup telepon, Zahra selalu mengingatkan Deraz untuk memohon kelancaran kepada Allah dan bertawakal. Kurang apa lagi, coba?

Tibalah malam ketika semua orang berpakaian formal dan berada di ruangan besar yang megah. Lima belas pembicara terbaik akan diumumkan. Walaupun Deraz tahu bahwa namanya akan disebut belakangan, namun setiap nama baru diumumkan dan urutan pembicara terbaik semakin naik ke nomor yang lebih kecil, jantungnya berdebar. Ia tersenyum menyaksikan teman-teman barunya satu per satu naik ke panggung dan menerima penghargaan.

The ninth best speaker.”

Deraz tengah berbincang dengan orang di sampingnya.

Congratulations.”

Lalu anak-anak yang duduk di belakangnya menimbrung.

From Jawa Barat.

Delapan hari kebersamaan telah menjadikan mereka begitu akrab.

“Arderaz Haekal.”

Anak-anak di sekitar Deraz serempak menganga. Mereka menepuk-nepuk pundak Deraz agar segera maju. Serta-merta Deraz berdiri, menyambut jabatan tangan mereka, dan tersenyum. Namun, sementara berjalan ke panggung, ia linglung.

Apa barusan tadi? The ninth best speaker? The NINTH?!

Ia kembali ke tempat duduknya dengan mengalungi medali dan mengapit map.

“Selamat, ya, Arderaz!” Anak-anak yang belum sempat menyelamati menyambutnya.

Deraz menerima semua itu diriingi senyum lebar dan ucapan terima kasih.

Malam semakin larut. Sebagian anak masih bersukaria. Ada yang jajan sate. Ada pasangan yang jadian. Mereka tampak tak memusingkan hasil yang telah diumumkan. Malah sebagian sudah bersyukur hanya dengan mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam ISDC. Persiapan mereka pun seadanya.

Deraz duduk membungkuk di tepi kasur, membelakangi teman sekamarnya yang sudah terkapar. Ia masih bertanya-tanya apakah gerangan yang salah. Jangankan menjadi delegasi Indonesia ke WSDC berikutnya, masuk ke daftar delapan pembicara terbaik saja tidak! The ninth best speaker?! The NINTH?! Why not eight, at least?! Setidaknya, beri ia kesempatan untuk bersaing dalam seleksi menuju WSDC dan meningkatkan posisinya dari kedelapan menjadi yang pertama!

Kalau anak-anak OSIS akan bilang, Nanggung pisan, anjir!

Padahal sudah berkali-kali ia mendapatkan predikat Best Speaker dari lomba-lomba debat yang pernah diikutinya. Segala usaha dan prestasinya di dunia debat selama bertahun-tahun ini seolah-olah tidak ada artinya.

Ia tidak segetol Renata yang gemar membawa handycam ke setiap lomba, sehingga tidak ada rekaman yang bisa diamatinya benar-benar. Ia hanya dapat mengandalkan memorinya, mengingat-ingat penampilannya sendiri serta penampilan orang lain. Ia bahkan meragukan para juri. Ia mengingat-ingat kedelapan pembicara terbaik yang mendapat kesempatan untuk mengikuti seleksi ke WSDC. Mereka rata-rata berasal dari Bali dan DKI Jakarta, dan ada satu rekannya dari Jawa Barat yang termasuk. Memang penampilan mereka outstanding. Percaya diri. Penguasaan bahasa Inggris yang sempurna. Penuturan argumen yang rapi dan telak. Deraz harus mengakui itu.

Tetapi ia juga merasa telah berusaha semaksimal mungkin.

Am I not good enough yet for international level? Deraz menangkupkan wajahnya pada kedua belah tangan.

Getaran ponsel mengusiknya. Ia menoleh pada benda yang menggeletak di sampingnya itu dan mendapati pesan baru.

Zahra? Pukul dua pagi begini?

Lagi-lagi gadis itu mengirim SMS dengan gambar yang entah apa, tetapi kali ini diiringi kalimat:

Dengan nama Allah aku bertawakal kepada-Nya dan tiada daya serta upaya kecuali dengan izin Allah.

Tawakal? Deraz mengingat-ingat arti kata tersebut.

Masakkah memang ini yang terbaik untuknya?

Ia sadar belum memberitakan apa pun tentang malam ini pada Zahra.

“Belum tidur?” Ia membalas SMS Zahra.

Tidak lama kemudian, “Belum.”

“Boleh telepon?”

“Boleh.”

Deraz keluar dari kamar. Ia melewati Pintu Darurat lalu duduk di tangga.

“Hei,” sapanya begitu Zahra mengangkat telepon.

“Halo,” suara Zahra pelan.

“Aku enggak lolos,” sahut Deraz.

“Oh.”

“Tapi enggak apa-apa. Aku udah bikin kemajuan dari tahun kemarin,” Deraz memasang nada tegar. Ia melanjutkan dengan berbagai pengalaman positif yang diperolehnya selama hari-hari ini. Secara keseluruhan, ia baik-baik saja. Begitulah yang ingin ditampakkannya pada Zahra.

Baru disadarinya kemudian bahwa sedari tadi cuma ia yang bersuara. “Kamu … belum tidur?” akhirnya ia berujar.

“Belum. Enggak bisa tidur.”

“Tumben. Biasanya kamu nempel langsung molor.”

“Ih, kamu ….”

Terlintas oleh Deraz bahwa mungkinkah Zahra tidak bisa tidur karena memikirkannya? Toh Deraz sudah memberi tahu Zahra sebelumnya bahwa malam ini ada pengumuman penting.

Tetapi itu sudah tidak penting lagi kini.

Sesaat kemudian Deraz menjadi bagian dari anak-anak yang bersukaria dan penuh syukur. Ia bercakap dengan Zahra hingga menjelang subuh. Definisi tentang si dia pun berkembang.

Dia bukan hanya yang menemani dalam perjalanan terjal menuju puncak, melainkan juga yang hadir ketika terjatuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain