Selasa, 04 Desember 2018

(33)

Arderaz. Zahra. Dari nama saja mereka sudah melengkapi. Arderaz berawalan huruf “a” dan berakhiran huruf “z”, sedang Zahra berawalan huruf “z” dan berakhiran huruf “a”. Ujung dan pangkal saling bertemu, seperti Yin dan Yang. Deraz kebanyakan membaca artikel feng shui.

Tiada hari tanpa momen yang berkesan dengan Zahra.

Kini Deraz tahu bahwa Zahra gadis yang sangat minder. Tetapi segala kekurangan diri yang Zahra ungkapkan pada Deraz tidak menjadi masalah. Deraz malah melihat itu sebagai peluang untuk menjadikan dirinya semakin berarti bagi Zahra.

Misal ketika Zahra akan mendapat giliran berpidato dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Deraz menceritakan pengalaman awalnya saat mengikuti lomba debat dan pidato di SMP, yang Zahra dengarkan dengan takjub sekaligus sangsi. Zahra tidak percaya Deraz juga pernah gagap dan gugup sampai berkeringat banyak. Deraz bahkan meninjau teks pidato Zahra, memperbaikinya, membuatkan sontekan, dan memberikan strategi. Ketika Zahra maju, tiap kali ia lupa hendak mengatakan apa, dilihatnya Deraz, yang membantunya dengan gerak bibir dan cue cards, yang cepat-cepat diturunkan lagi ke bawah meja begitu Pak Guru melirik.

Misal pula ketika Zahra menceritakan tentang keraguannya untuk menjadi dokter. Rupanya Papa Zahra sudah tidak bekerja. Sebelumnya Papa Zahra punya perusahaan di Jakarta. Namun sekitar dua tahun lalu perusahaan itu dinyatakan pailit dan merugi, sampai-sampai mereka sekeluarga harus menjual rumah dan pindah ke rumah Kakek Zahra. “Mas Imin baru kuliah. Mas Ardi juga mau kuliah tahun depan. Kedokteran kan mahal biayanya. Jadi enggak tahu kalau nanti masih ada uang buat aku kuliah atau enggak. Mama cuma guru yayasan. Gajinya kecil,” ungkap Zahra sendu.

Deraz justru senang mendengar itu. Bukan atas kesulitan yang menimpa Zahra sekeluarga, melainkan karena ia mulai melihat jalan bagi kebersamaan mereka di masa depan. Akhirnya arah hidup Zahra bersesuaian dengan cita-citanya! Setidaknya, itu dapat diarahkan. Ia merasa kejatuhan Papa Zahra memang sudah ditakdirkan terjadi karena Deraz yang akan mengambil alih untuk menjaga putrinya.

“Kamu belajar bahasa Jerman aja dari sekarang, terus nanti kita sama-sama cari beasiswa kuliah gratis di sana. Kamu pernah dengar DAAD?”

“Belajar bahasa Jerman? Kursusnya berapa?” Zahra sudah takut saja mesti meminta biaya yang tidak sedikit pada orang tuanya untuk kursus bahasa Jerman.

“Aku bisa ajarin kamu.”

Namun Zahra punya kekhawatiran lain. “Tapi aku belum tahu mau jadi dokter apa. Lagian, kalau jadi dokter, aku mesti sering ketemu orang.”

“Jadi dokter hewan aja,” mendadak Deraz menjadi konselor karier, seperti opa buyutku.

“Nanti kalau pasiennya anjing, gimana? Kan najis.”

“Kamu bisa pakai sarung tangan.”

“Bener juga sih.”

Zahra bercerita lebih lanjut tentang ibunya yang membelikan dia buku-buku keterampilan: memasak kue kering, merajut, dan sebagainya. Deraz kegirangan mendengar itu.

“Mungkin Mama pikir sebaiknya aku belajar wirausaha aja, terus nyari duit kuliah sendiri dari jualan. Tapi aku enggak mau jualan. Kalau sama-sama mesti ketemu orang, aku mending jadi dokter daripada wirausaha. Tapi kalau enggak ada duit, enggak bisa kuliah.”

“Hei, hei, Zahra,” Deraz menenangkan, “Pertama, kamu kan bisa cari beasiswa kayak aku bilang. Kedua, memangnya mama kamu bilang kalau kamu harus jualan? Enggak, kan? Itu baru prasangka kamu. Enggak ada salahnya dari sekarang kamu belajar keterampilan kayak gitu. Kalaupun kamu enggak dapat beasiswa atau enggak suka jualan, kamu bisa jadi ibu rumah tangga dan punya anak banyak. Jadi kamu tetap punya kesibukan di rumah.”

“Tapi kalau nanti suami aku nasibnya kayak papa aku, gimana? Aku mesti tetap kerja buat nombokin, kan?”

“Oh, enggak. Suami kamu nanti pekerja keras dan punya skill tinggi. Jadi dia akan selalu punya pekerjaan dan gajinya besar,” Deraz begitu yakin, “lebih dari cukup buat keluarganya hidup layak. Kamu enggak usah khawatir. Kamu belajar masak yang enak aja buat suami kamu: kue, roti, sup, apfelstrudel, bretzel, schwarzwalder kirschtorte, ….” Deraz mendaftar berbagai masakan yang pernah dibuatkan Oma Buyut untuknya.

“Itu apa? Aku mah tahunya sayur asem, sayur lodeh, tumis kangkung, ….”

“Kamu harus belajar segala macam masakan. Jangan cuma masakan lokal. Siapa tahu nanti kamu tinggalnya di luar negeri sama suami kamu. Ke Jerman, gitu, misalnya.”

“Kenapa Jerman?”

Warum nicht? “Misalnya aja.”

“Mmm …. Aku pengin cobain belajar masakan Jepang sama Korea.”

“Kenapa Jepang sama Korea? Jepang masakannya amis. Korea pedas-pedas asam ….” Deraz menyeringai mengingat kunjungannya ketika diajak makan oleh Bunda di restoran-restoran asing. Ia terus berpidato tentang keunggulan masakan Eropa. Zahra mendengarkannya dengan bingung.

Zahra mulai membawakan kue kering buatannya untuk Deraz. Warna tiap potong kue bergradasi. Bentuknya juga tidak ada yang sama, padahal cetakannya hanya satu. Kadang rasanya seperti Lego, kadang menyerupai dodol.

Teringat oleh Deraz ketika sewaktu di SD Dean ditawari nastar buatan teman sekelas mereka. Dean mengajak Deraz untuk mencicipi juga. Setelah sepotong kue itu sampai di mulutnya, Deraz ingin melepeh karena rasanya seperti pasir.

Namun Dean malah memuji, “ Mmm, enak. Bikin lagi yang banyak. Entar aku bagi sama bakteri-bakteri di perut aku ….”

“Kamu makan semua, gitu?” tanya anak perempuan teman sekelas mereka itu.

“… juga sama kecoak, tikus, cacing, belatung, dan hewan pengurai lainnya,” Dean masih hafal soal ulangan IPA yang baru berlalu, berikut jawabannya. Mendengar perkataan Dean, Deraz tersenyum karena mengira sebetulnya Dean juga ingin membuang seluruh isi kotak bekal itu ke tempat sampah. Ketika melihat temannya manyun, Dean menambahkan, “Enggak atuh, bercanda. Sini aku habisin.”

“Ih, jangan. Mau dibagi-bagiin buat yang lain.”

Tentu saja Deraz tidak akan memakai cara Dean.

“Buat lagi lebih sering. Lama-lama pasti enak.” Deraz menyemangati.

“Jadi itu enggak enak?” tanya Zahra murung.

“Eh ….” Deraz menjadi salah tingkah. “Maksudnya …. Buat lagi yang banyak, biar aku bagi sama bakteri-bakteri di perut aku.” Deraz mengerutkan kening mendengar ucapannya sendiri.

Zahra berusaha mencerna kata-kata itu.

Telepon terus berlanjut, bahkan lebih sering dan lebih lama.

Sepulang dari kursus bahasa Jerman, sehabis mandi, Deraz menelepon Zahra sembari menggeletak di tempat tidur. Zahra bertanya apakah Deraz sudah belajar untuk ulangan besok. Deraz yang normal pasti menjawab bahwa sehabis ini ia akan belajar satu-dua jam sebelum tidur, atau jika sudah lelah menyetel alarm pukul tiga-empat pagi dan biar Dean yang membangunkannya nanti. Malah sebenarnya ia sudah menyempatkan diri untuk belajar sembari menunggu kelas di tempat kursus, karena tahu bahwa setibanya di rumah nanti ia hanya ingin menelepon Zahra. Maka Deraz menjawab, “Males, ah. Capek.”

“Eeeh …” tegur Zahra. “Katanya kamu mau ranking satu?”

“Kamu udah mau tidur?”

“Belum.”

“Temenin dong belajar.”

Deraz bangkit dan duduk di meja belajar, mengeluarkan buku-bukunya dan alat tulis. Sembari mendengar Zahra merangkum drama Korea yang ditontonnya tadi sore, di buku tulisnya ia menggambar rumah, anjing, bunga, bunga, dan bunga. Ia bahkan tidak benar-benar mendengarkan Zahra. Ia hanya suka mendengar suara gadis itu yang terasa bagaikan usapan kain sutra di telinga.

Tahu-tahu saja Zahra berkata, “Kayaknya aku harus tidur sekarang. Nanti susah bangun.”

“Ya udah.”

Deraz kembali menggeletak di tempat tidur dan lanjut bertukar SMS dengan Zahra sampai pukul satu dini hari.

Kali berikutnya, Zahra tidak lupa berpesan, “Kita teleponannya sampai jam sembilan aja, ya? Biar gampang bangunnya buat salat tahajud.”

“Oh, iya. Bangunin aku juga dong. Aku juga mau salat tahajud,” sambut Deraz. “Missed call, ya.”

“Insya Allah.”

Pukul sepuluh malam, tidak kunjung ada SMS balasan dari Zahra. Deraz memejamkan mata sembari memeluk guling dan mengenang setiap momen yang baru ia lewatkan bersama Zahra hingga tertidur.

Pukul tiga dini hari, Dean terbangun karena mendengar ponsel Deraz berbunyi. Ia terseok-seok mendekati meja belajar Deraz dan membaca nama di layar ponsel. “Die Blume?” Deraz menyimpan kontak dengan nama samaran?

“Halo?” angkat Dean. Suaranya di telepon saat baru bangun tidur terdengar mirip suara Deraz.

“Bangun. Udah jam tiga,” suara di seberang kecil sekali, seakan-akan tidak ingin membangunkan siapa pun lagi.

Dean terdiam, lalu menebak, “Zahra?”

“Ya?”

“Kenapa kamu nelepon jam gini?”

Telepon ditutup.

Dean menendang betis Deraz dengan sebal. Tetapi yang ditendang malah berbalik memunggunginya sembari tetap memeluk guling.

Pukul setengah tujuh pagi di kelas, Zahra menyambut kedatangan Deraz dengan cemberut.

“Kok Dean yang ngangkat?”

Deraz baru menyadari bahwa Zahra hendak membangunkan dia pukul tiga tadi. Deraz tertawa saja.

Namun Zahra terus cemberut sampai jam istirahat. Ketika diajak akhwat-akhwat ke masjid, Zahra menggeleng sambil meringis. “Aku lagi enggak.” Deraz menjadi maklum sekaligus geli.

Selepas kepergian akhwat-akhwat dan tidak ada lagi anak yang tinggal di kelas selain mereka berdua, Deraz mencolek pipi Zahra dengan pantat pulpen. “Katanya mau salat tahajud, tapi ternyata lagi enggak salat.”

“Ih ….” Zahra menghindari colekan Deraz berikutnya. “Baru keluar pas subuh.”

“Oh.” Deraz tidak benar-benar ingin membicarakan itu sebetulnya. Tetapi ia terus melancarkan manuver dengan pantat pulpen. Zahra mengambil buku dan berusaha menampik serangan Deraz. Malah ia mendorong muka Deraz jauh-jauh dengan buku. Namun begitu buku Zahra lepas dari mukanya, Deraz mulai lagi.

Sementara itu, Dean memasuki XI IPA 9 dan tertegun mendapati dua orang yang sedang saling membelai dengan perantaraan alat tulis.

Zahra keburu melihat Dean dan segera berhenti sembari menunduk dalam-dalam. Deraz menoleh. Dean menghampiri mereka seraya membentangkan buku.

“Deraz, bantuin PR ….”

Deraz memindai barisan soal yang diajukan Dean, lalu menengok Zahra yang terus menunduk sembari cemberut maksimal. Deraz ingat bahwa kali terakhir ia membantu Dean mengerjakan PR, maksudnya, mengerjakan PR Dean, setelahnya Zahra memberi tahu dia untuk berhenti.

Deraz menyodorkan buku itu kembali pada Dean. “Saya bantu, tapi kamu yang ngerjain.”

Dean merajuk. “Tapi lebih cepet kalau dikerjain sama kamu langsung. PR-nya dikumpulin habis istirahat ini. Waktunya udah mepet!” Dean berlutut dengan kedua lengannya menjulur di permukaan meja dan meratap. Wajah itu.

Deraz menoleh lagi pada Zahra, dan memantapkan hati. Mungkin memang ini saatnya untuk melepas Dean, dan merengkuh yang baru. “Enggak,” ucapnya sembari memancangkan mata pada dinding di depannya, menghindari tatapan Dean.

Dean mengerang. Ia berdiri dan mengambil PR-nya.

“Ya udah, kalau gitu! Moga-moga kalian jadi pasangan berbahagia, dikaruniai keturunan saleh dan salehah!” sahut Dean dengan nada menyumpahi. Deraz dan Zahra menatap Dean seraya mengerutkan kening.

Terdengar di luar kelas Dean berpapasan dengan pacarnya. “ Neng, Deraz enggak mau bantuin PR aku lagi!”

“Sini, sini, mana yang susah?” pacar Dean sepertinya sangat keibuan.

Deraz menoleh pada Zahra. Gadis itu sudah tersenyum lagi seakan-akan mengapresiasi keberhasilan Deraz.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain