Baru kali itu saya melihat orang sebanyak itu di lobi XXI Transmart Buah Batu. Kebanyakan anak usia sekolahan, mungkin juga kuliahan. Apa sekarang sudah memasuki libur sekolah? Saya mencari sofa yang masih menyisakan ruang duduk untuk menunggu teman.
Sebetulnya saya bukan penggemar The Avengers. Tetapi saya tidak berkeberatan menonton film apa saja ketika ada teman yang mengajak. Sebelum ini, dengan teman yang sama saya menonton Captain Marvel. (Sayang, pada waktu itu saya sedang malas untuk langsung menulis kesan-kesan-sebagai-penonton di blog.) Sepertinya Captain Marvel satu-satunya film Marvel Cinematic Universe yang pernah saya tonton secara tuntas sebelum film yang terakhir ini.
Menilik dari judulnya, Endgame, seolah-olah ini akan jadi film yang terakhir. Meskipun tidak mengikuti dari awal, tetapi entah kenapa seketika itu juga saya berharap ini memang film yang terakhir. Katakanlah, misalkan, saya penggemar The Avengers. Sepertinya akan melelahkan untuk mengikuti semua film itu beserta cabang-cabangnya. Enggak tahu kalau orang lain. Kalau mereka bisa begitu kukuh mendukung salah satu pasangan calon presiden dan wakilnya sampai mengakibatkan perpecahan di grup WA keluarga, kenapa enggak dengan mengikuti waralaba film superhero? Ini suatu sifat manusia yang menarik, atau sesungguhnya cermin bagi saya untuk menunjukkan keskeptisan atau malah keapatisan saya akan sosok ratu adil yang dapat menyelamatkan seluruh semesta--paling enggak selingkup Indonesia #halah #naonsih.
Teman saya telah memilihkan bangku A9 dan A10 pada pemutaran pukul 11.15 WIB di Studio 3. Tanpa aplikasi, sepertinya kami perlu mengantre panjang untuk mendapatkan tiket. Bangku favorit teman saya sebetulnya deretan B atau C bagian tengah atau dekat jalan, tetapi ia bilang keduanya sudah telanjur ada yang mengisi. Sesaat sebelum pemutaran, kami melihat di deretan bangku C bagian tengah itu (kalau enggak salah) ada anak lelaki berdebat dengan ayahnya. Si anak lelaki ingin menempati bangku tepat di samping jalan, tetapi si ayah bersikeras untuk duduk di situ. Si anak lelaki mengalah, sementara ibunya sendiri sudah anteng di nomor 8--urutan ketiga dari jalan. Seketika saya menduga si ayah penggemar berat The Avengers. Memang, tiga jam kemudian, ketika kredit film berjalan, ia sekeluarga termasuk orang-orang terakhir yang meninggalkan ruangan bioskop.
Ya, tiga jam, sama sekali enggak terasa. Ketika saya keluar dari ruangan bioskop, layar ponsel telah menunjukkan pukul 14.26. Memang, seperti yang dikatakan dalam ulasan ini, sepanjang waktu itu sesekali saya bertanya-tanya mengenai ini dan itu dalam film kepada teman di sisi kanan saya karena tidak tahu konteksnya. Teman saya sendiri bukannya penggemar berat yang telah mengikuti semua film terkait. Meskipun begitu, saya tidak merasa menyesal karena tidak menonton sekian banyak film sebelumnya. Tiga jam duduk di ruangan bioskop--yang jadi tidak terasa dingin karena hampir semua bangku terisi termasuk yang paling depan/bawah padahal posisi tersebut sama sekali enggak mengenakkan--dengan tebusan tiga puluh ribu itu somehow worth it menurut saya, bagaimanapun filmnya. Tujuan saya dalam menonton film di bioskop sepertinya lebih untuk kebersamaan dengan teman--kecuali untuk film Terlalu Tampan, tentu saja.
Di samping kehilangan banyak konteks yang enggak saya sesali (bagaimanapun, saya punya selera sendiri akan karya fiksi yang menarik), saya juga merasa kewalahan dengan banyaknya karakter, khususnya ketika gerbang dari segala universe pada terbuka menjelang akhir kemudian film mendadak jadi kolosal. Ini siapa? Itu siapa? Saya sibuk bertanya-tanya karena sebelumnya tidak menonton Black Panther, The Guardian of The Galaxy, dan seterusnya. Bagaimanapun juga,
Tidak apa-apa, tidak apa-apa .... |
Paling tidak, sesekali terselip humor yang tanpa harus dilatari konteks tertentu dapat menggelikan. Itu sudah cukup. Karakter favorit saya yaitu si Dewa Petir berperut buncit, yang kerjanya cuma minum-minum bir, main game, dan terpuruk di rumah batu. Saya juga suka dengan penampilan singkat Chris Pratt yang terlihat seperti om-om agak tambun yang lucu.
Selain itu, entah kenapa, film ini memberikan gagasan untuk mengaitkan fisika kuantum dengan cerita-cerita keagamaan yang bersifat supernatural. Gagasan ini muncul ketika Ant Man mengatakan tentang lima tahun yang cuma lima jam bagi dia sehingga saya menjadi teringat akan perbedaan waktu antara dunia dan akhirat, yang katanya waktu di dunia terasa sekejap saja dibandingkan dengan di akhirat. Semacam itulah. Gagasannya ialah bahwa sesungguhnya hal-hal dalam cerita keagamaan yang terasa tidak masuk akal--seperti bagaimana rasul melihat surga dan neraka padahal dalam waktu kita sendiri belum menghadapi hari penghisaban--dapat dijelaskan dengan ilmu semacam fisika kuantum. Kenapa fisika kuantum? Yah, karena dalam film ini mereka membicarakan tentang fisika kuantum, perjalanan waktu, dan serta-merta gagasan itu timbul dalam kepala saya, seolah-olah ada koneksi. Dengan kata lain, misalkan kita sulit memercayai tentang surga dan neraka, atau riwayat-riwayat keagamaan yang tak terindrakan, mungkin karena