Sabtu, 21 November 2020

Kiat Mati Bahagia

Gambar dari Shopee.

Penulis : Dr. Abdullah Al-Muthlaq, Dr. Aidh Al-Qarni

Penerjemah : Abdul Halim, S. Ag, CRBA

Penerbit : Pustaka Ilman, Depok

ISBN : 979-3371-36-6

Cetakan 1, Desember 2005

Buku ini kecil, dengan ukuran font cukup besar, dan cuma 137 halaman, bisa ditamatkan dalam waktu singkat. Secara garis besar, isinya mengingatkan agar selalu waspada terhadap kematian yang bisa datang sewaktu-waktu. Cara-caranya pun dijabarkan. Tapi buku ini juga menyoroti bahwa adakalanya terjadi hal di luar perkiraan.

“… dan seseorang senantiasa melakukan perbuatan calon penghuni surga sehingga jarak antara dia dan surga hanya tinggal sejengkal. Akan tetapi, dalam catatan Allah tercatat bahwa di akhir hayatnya dia melakukan pekerjaan calon penghuni neraka, sehingga dia pun terjerumus ke sana.” (H. R. Bukhari, 11/418; Muslim, hadis nomor 2643) –halaman 17

Ada orang yang dipandang oleh manusia beramal seperti calon penghuni surga, padahal dia calon penghuni neraka. Dan ada juga orang yang dipandang oleh manusia beramal seperti calon penghuni neraka, padahal dia calon penghuni surga.” –halaman 19

Bagaimana kita akan berakhir, tidak ada yang tahu. Boleh jadi itu di luar kendali kita. Yang ada dalam kendali kita paling-paling mengupayakan amalan tertentu dengan niat untuk menghindari akhir yang buruk (suul khatimah).

AGAR MATI BAHAGIA (Husnul Khatimah)

Suul khatimah dapat terjadi karena menunda-nunda tobat, panjang angan-angan, gemar bermaksiat, serta bunuh diri. Supaya tidak panjang angan, ada beberapa amalan yang dapat dilakukan, yaitu:

  •          Mengingat kematian
  •           Ziarah kubur
  •           Memandikan dan mengurus jenazah
  •           Menjenguk orang sakit
  •           Mengunjungi orang-orang saleh

Selain itu, untuk mengantisipasi kematian mendadak, seorang muslim juga hendaknya membersihkan diri dari utang dan perbuatan aniaya terhadap orang lain.

Sebab, di akhirat kelak seorang hamba yang dirampas haknya oleh seseorang pasti meminta haknya dari orang zalim itu. Di sana uang atau harta tidak berlaku lagi. Yang berlaku adalah amal kebaikan. Jika orang zalim itu memiliki kebaikan, kebaikannya diserahkan kepada si teraniaya. Jika tidak, keburukan si teraniaya ditimpakan kepadanya. Rasulullah SAW mengabarkan bahwa jiwa seorang mukmin digantungkan pada utangnya hingga utangnya dilunasi. –halaman 25

Kebalikan dari suul khatimah adalah husnul khatimah. Tanda-tanda dari husnul khatimah adalah mati dalam keadaan berikut:

1.       Mengucapkan tauhid

2.       Syahid

3.       Dalam peperangan atau melaksanakan ibadah haji

4.       Dalam ketaatan (misalnya saat berpuasa atau bersedekah)

5.       Saat mempertahankan lima hal pokok yang diperintahkan Allah untuk menjaganya, yaitu agama, jiwa, harta, kehormatan, dan akal

6.       Karena wabah penyakit dalam keadaan sabar dan rela; penyakit yang dimaksud adalah sampar, TBC, sakit perut, radang selaput dada, … Corona?

7.       Saat melahirkan

8.       Karena tenggelam, terbakar, atau tertimpa keruntuhan

9.       Pada Jumat, siang atau malamnya

10.   Dengan pelipis berkeringat

Sebagian dari keadaan di atas bersifat insidental, bukan untuk direncanakan. Sebagian lagi dapat dipersiapkan dengan menjaga ketakwaan, rajin mengoreksi diri, segera bertobat dan beristigfar apabila tergelincir dalam dosa, serta senantiasa berzikir.

NASIHAT KUBUR DAN SAAT-SAAT PERTAMA DI DALAM KUBUR

Dalam bab-bab ini terdapat ajakan untuk membayangkan keadaan saat mati sekalian peringatan agar mempersiapkannya.

RIWAYAT PENGALAMAN MIMPI

Bagian ini menceritakan berbagai pengalaman bermimpi bertemu Rasulullah SAW, sahabat, atau orang saleh lainnya yang berhubungan dengan kematian. Buku ini memang mencantumkan daftar rujukan, terutama dari Alquran dan hadis, namun tidak untuk bagian ini.

Ada juga pengalaman orang-orang Indonesia. Orang mati yang ditemui dalam mimpi biasanya keluarga, kerabat, atau teman yang sekiranya minta dikirimi doa. Ada juga yang mengisyaratkan pesan agar yang didatangi melaksanakan amalan tertentu, contohnya berwakaf dan segera melunasi utang.

Catatan pribadi:

Buku ini mengilhamkan untuk berbuat amalan tertentu, khususnya di bagian “Tips Mengusir Angan Kosong” serta “mempertahankan lima hal pokok yang diperintahkan Allah untuk menjaganya”. Tips mengusir angan kosong memberikan contoh-contoh tindakan yang konkret sebagaimana sudah disebutkan di atas. Adapun mempertahankan lima hal pokok yang diperintahkan Allah sepertinya boleh dikembangkan sebagai berikut:

-          Mempertahankan agama, dengan rajin beribadah dan menambah ilmu

-          Mempertahankan jiwa, dengan menjaga kesehatan fisik dan mental

-          Mempertahankan harta, dengan kemampuan mengelola keuangan, sumber daya, dan berbagai bentuk rezeki lainnya

-          Mempertahankan kehormatan, dengan mawas diri, memperbaiki perilaku, menghormati orang lain, dan seterusnya

-          Mempertahankan akal, dengan memberdayakan kemampuan otak, terus belajar, memperkaya pengetahuan, mengasah pemikiran, dan sebagainya

Jumat, 13 November 2020

Mencari Perguruan Tinggi Layak Pilih

Sebuah buku panduan tentang perguruan tinggi yang relatif lengkap. Berguna tak hanya untuk calon mahasiswa, tapi juga untuk para orang tua.

Buku ini lebih lengkap bila dibandingkan dengan buku profil perguruan tingi yang pernah terbit di Indonesia. Misalnya, Kemana Setelah Lulus SLTA, Panduan Belajar ke Perguruan Tinggi, Direktori Pendidikan Tinggi dan Kejuruan, Direktori Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia, atau Direktori Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia.

Jumlah perguruan tinggi di Indonesia sekitar 1.200. Rinciannya: 1.040 perguruan tinggi swasta (PTS), 51 perguruan tinggi negeri (PTN), dan 111 perguruan tinggi kedinasan, seperti Akabri dan Balai Pendidikan dan Latihan Pelayaran, yang berada di luar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Namun, seperti dikatakan oleh tim penyusun buku Panduan Memilih Perguruan Tinggi, tidak semua perguruan tinggi itu baik. Barangkali, itulah asumsi dasar mengapa penerbit dan penyusun hanya memprofilkan 438 perguruan tinggi. Seluruh PTN masuk, sementara PTS dan perguruan tinggi kedinasan dipilih sebagian kecil saja.

Kendati begitu, disebut lebih lengkap karena Panduan Memilih Perguruan Tinggi mendeskripsikan unsur-unsur terpenting dari sebuah lembaga pendidikan tinggi yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar. Unsur-unsur itu antara lain, fasilitas yang dimiliki, jumlah dosen, jumlah mahasiswa, perbandingan jumlah dosen dan mahasiswa, sistem penerimaan mahasiswa baru, daya tampung, jumlah peminat, jumlah buku di perpustakaan, jumlah lulusan, jenis program studi, biaya kuliah, dan reputasi perguruan tinggi tersebut di mata masyarakat atau lembaga-lembaga pemberi bantuan. Khusus untuk PTS, ditambah dengan informasi tentang status akreditasi setiap program studi: disamakan, diakui, atau terdaftar.

Pembaca juga dapat melihat PTN mana yang paling banyak peminatnya, tingkat persaingan rata-rata dalam memperebutkan kursi yang tersedia, program studi yang memiliki tingkat persaingan tertinggi dan terendah. Informasi-informasi tersebut disajikan dengan gaya tulisan jurnalistik.

Tulisan pada bagian pengantar yang penting adalah tentang bimbingan cara memilih perguruan tinggi berdasarkan kapasitas individual. Umpamanya dipertanyakan, apakah Anda termasuk orang yang mudah putus asa, rajin belajar, pembosan, memiliki minat baca yang baik, jenis bidang studi yang Anda impikan, dan lain-lain. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu akan membantu calon mahasiswa mengevaluasi kapasitas individualnya sebelum memutuskan memilih perguruan tinggi tertentu.

Nilai rata-rata mahasiswa baru Universitas Gadjah Mada bidang ilmu pengetahuan sosial (angkatan 1993/1994) , dalam UMPTN lalu menempati urutan tertinggi (715,94), menyusul kemudian Universitas Indonesia (715,68), Universitas Diponegoro (676,71), dan seterusnya. Sedangkan untuk bidang ilmu pengetahuan alam, nilai rata-rata tertinggi dicapai oleh Institut Teknologi Bandung (733,12), lalu Universitas Gadjah Mada (726,26), Universitas Indonesia (724,23), dan seterusnya.

Secara tersirat, bagian ini juga ingin mematahkan mitos bahwa calon-calon mahasiswa PTN selalu lebih baik daripada calon mahasiswa PTS. Itu dibuktikan antara lain dengan adanya PTN yang tingkat persaingannya begitu longgar. Pemilih-pemilih bidang ilmu pengetahuan alam di sebuah PTN di Indonesia Bagian Tengah, misalnya, hampir-hampir tidak menghadapi persaingan. Artinya, mereka yang mendaftarkan diri hampir pasti diterima. Sementara, dalam bagian profil, kita dapat melihat sejumlah PTS yang dibanjiri peminat dengan tingkat persaingan yang cukup ketat.

Tentu saja, buku ini tidak luput dari kekurangan. Yang paling mengganggu adalah mengenai kriteria pemilihan perguruan tinggi yang ditulis. Pembaca tidak diberi alasan yang jelas, mengapa dari 1.200 perguruan tinggi hanya 438 yang dipilih untuk diinformasikan.

Khusus untuk PTS, penyusun memang hanya memprofilkan PTS yang berstatus minimal diakui. Tapi, saya tidak yakin bahwa di antara PTS yang belum ditulis, semuanya terdaftar. Contohnya Institut Bisnis Indonesia (IBI) yang--dari segi fasilitas, status akreditasi, dan jumlah mahasiswa--jauh lebih baik daripada sejumlah PTS yang ditulis dalam buku ini. Tetapi, mengapa IBI tidak ada?

Priyono B. Sumbogo


PANDUAN MEMILIH PERGURUAN TINGGI

Penyusun: Pusat Dokumentasi dan Analisa Tempo

Penerbit: Pusat Dokumentasi dan Analisa Tempo, Jakarta, 1994, xii, 548 halaman


Sumber: Forum Keadilan, Nomor 5, Tahun III, 23 Juni 1994

Rabu, 28 Oktober 2020

Pengertian Hikmah yang Sebenarnya dan Cara-cara untuk Memperolehnya

Gambar dari Bukalapak.
Kata "hikmah" biasanya muncul sebagai penghiburan bagi orang yang baru mengalami peristiwa buruk. "Semua pasti ada hikmahnya," begitu. Tapi, apakah sebenarnya hikmah itu? Tentunya, buku Al-Hikmah karya Dr. Nashir bin Sulaiman Al-Umar ini (penerjemah: Amir Hamzah Fachrudin, penerbit: Pustaka Hidayah, Bandung, cetakan pertama, Maret 1995) menjabarkan pengertian yang lebih luas daripada yang diberikan KBBI.

Hikmah bisa diartikan menurut bahasa, Alquran, sunah, serta definisi para ulama. Tentu ada benang merah atau titik temunya. Dari berbagai pengertian yang ada dalam buku ini, dapat disimpulkan bahwa hikmah adalah melakukan sesuatu yang layak dengan cara yang layak dan dalam waktu yang layak (halaman 31). Saya menangkap bahwa orang yang memiliki hikmah adalah yang dapat bersikap adil dan bijaksana. 

Contoh-contoh hikmah dapat ditemukan dalam Alquran dan sunah. Malah sebenarnya seluruh isi Alquran adalah hikmah. Demikian juga dengan segala perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. yang maksum (terpelihara dari kekeliruan dan kesalahan). Beberapa contoh hikmah yang diangkat dalam buku ini dari Alquran adalah kisah pemuda Al-Kahfi, kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Saba', serta kisah Lukman dan anaknya. Adapun contoh teladan Rasulullah saw. yang terutama adalah cara beliau dalam menyampaikan ajaran Islam yang disesuaikan menurut sasarannya. Beliau juga bersikap rendah hati dan terbuka, mau mempertimbangkan sudut pandang lawannya.


Seandainya para da'i mampu menyarankan sesuatu kepada setiap orang yang akan menjadi baik baginya (selain kewajiban-kewajiban dan yang hukumnya fardhu'ain) dan menghindarkannya dari segala sesuatu yang tidak dapat dilaksanakannya, maka tentu umat ini mampu menyempurnakan sebagian besar aspek kehidupannya. Akan tetapi kenyataan mayoritas manusia adalah seperti yang digambarkan oleh seorang penyair dalam sebuah syairnya, yang mencerminkan para da'i

Ketentuan segala sesuatu berada di atas tabiatnya, 

seperti menuntut bara api di dalam air. (halaman 51)


Rupanya tidak setiap orang dianugerahi hikmah (halaman 81), tapi sebagian kecil saja. Malah, nyatanya dalam kehidupan sehari-hari (keluarga, masyarakat, media, pergaulan, dan sebagainya) jarang terdapat kepedulian pada hikmah (halaman 103). Sebagai contoh, aturan agama yang memperbolehkan untuk memukul istri atau anak dipahami secara keliru sehingga terjadi tindakan yang abusive. Penyebaran hoaks serta sikap nyinyir dan baper juga akibat dari kurangnya hikmah. 

Tanda lain dari kurangnya hikmah adalah sulitnya membedakan hal-hal sebagaimana berikut (dari halaman 112):


  • antara kuat dengan keras dan kasar
  • antara lembut dan halus dengan lemah
  • antara sanjungan dengan rayuan
  • antara mengusahakan kemaslahatan dengan menghindarkan kerusakan
  • antara nasihat dan pencemaran nama baik orang lain
  • antara merahasiakan dengan menyembunyian kebenaran
  • antara gairah dengan luapan emosional
  • antara kemuliaan dengan takabur
  • antara rendah hati dengan rendah diri
  • antara tenang dengan kaku dan malas
  • antara berani dan keburu nafsu
  • antara takut fitnah dengan pengecut


Meski begitu, sepertinya jalan menuju hikmah dapat diusahakan (istilahnya: mujahadah, halaman 95). Karena itulah, buku ini memberikan petunjuknya dalam bab mengenai penghalang-penghalang serta rukun-rukun dan faktor-faktor penyebab hikmah. Saya merangkum bahwa untuk dapat memiliki hikmah, orang perlu:


1) mendalami agama, tentunya, dengan berlandaskan pada Alquran dan sunah.

2) menimba ilmu, karena luasnya ayat-ayat Allah. Ilmu sejarah, budaya, serta pengalaman bangsa/orang lain dapat membantu memahami ketetapan Allah (sunatullah) (halaman 90). 

3) menjaga akal dari kuasa hawa nafsu (pengendalian diri).


Dan bencana akal adalah hawa nafsu

maka barangsiapa (mampu) menguasai nafsunya

akalnya telah selamat. (halaman 63)


4) mengembangkan cara pandang yang luas, mendalam dan menyeluruh, juga prinspiel.

5) meningkatkan kecerdasan emosional.

6) berpartisipasi sosial.

7) mencari banyak pengalaman.

8) bersabar, karena hikmah merupakan akumulasi dari pemahaman dan pengalaman yang tentunya memerlukan waktu. Malah orang dikatakan baru memiliki cukup pengalaman setelah berusia 40 tahun (halaman 84).

9) memiliki tujuan dan target.

10) berdoa dan beristikharah.

 

PENUTUP

Ungkapan "semua pasti ada hikmahnya" cenderung menempatkan hikmah pada peristiwa atau kejadian, seolah-olah akan datang dengan sendirinya seiring dengan bergulirnya nasib. Buku ini menerangkan bahwa hikmah justru terletak pada diri orangnya, kemampuannya dalam mempersepsikan peristiwa dan mengatasi permasalahan. Hikmah tidak datang dengan sendirinya, tapi tergantung pada kemampuan individu yang dapat diusahakan dengan terlebih dahulu membebaskan diri dari penghalang-penghalangnya baru kemudian memerhatikan rukun-rukun dan faktor-faktor penyebabnya. 

Hikmah perlu dimiliki individu untuk mencegahnya dari terjerumus dalam perbuatan buruk serta hal-hal yang tidak penting dan kurang utama. Dalam skala yang lebih luas, hikmah penting dalam penyebaran ajaran Islam untuk menghindarkan dari kesalahpahaman serta bahaya dan tipu daya musuh Islam.

Minggu, 20 September 2020

Mendidik Jiwa Lewat Berkebun

Sebagai orang kota, dalam pertumbuhannya saya tidak begitu akrab dengan alam. Alam sekadar pohon-pohon perindang di tepi jalan, taman, halaman rumah, dan semacamnya, sekadar latar bagi kehidupan yang cenderung berorientasi pada bangunan buatan manusia: rumah, sekolah, mal ....

Berkebun yang baru saya coba tahun-tahun ini, pada usia yang dikatakan sudah dewasa, saya rasakan sebagai suatu pendidikan karakter. Terus terang, berkebun saya rasakan lebih sebagai suatu kewajiban ketimbang passion. Ibarat anak kecil yang mesti terus-menerus didorong untuk bangun pagi, makan teratur, bobo siang, sikat gigi sebelum tidur, dan sebagainya, berkebun memaksa saya untuk belajar membentuk kebiasaan-kebiasaan baru. 

1. Bersyukur

Tuhan melimpahkan nikmat kepada manusia, dan manusia mesti mensyukurinya. Bagaimanakah caranya? Di antaranya dengan memanfaatkan nikmat tersebut untuk kepentingan hidupnya.

Hasil panen kompos pertama,
belum terurai dengan baik.
Saya punya waktu luang. Saya tinggal di rumah dengan balkon-balkon dan halaman yang cukup luas. Saya punya sedikit uang untuk membeli media tanam dan biji tanaman. Malah, biji bisa diperoleh secara cuma-cuma dari bahan masakan sehari-hari (misalnya cabai, kacang, dan sebagainya). Air untuk siram-siram pun ada. Sampah terus menerus dihasilkan; yang organik bisa dijadikan pupuk, sedangkan sebagian yang plastik untuk wadah tanaman  Inspirasi untuk berkebun berdatangan dari mana-mana. Sayang kalau semua itu tidak dimanfaatkan ....

2. Disiplin dan bertanggung jawab

Rutin menyiram tanaman setiap hari adalah pencapaian tersendiri. Betapa tidak. Adakalanya kemalasan menyerang. Kalau tidak berhasil mengalahkannya, bisa-bisa tanaman pada mati kekeringan. 

Tiap kali kemalasan melanda, saya mengingatkan diri bahwa tanaman itu sudah dikasih nyawa. Kamu sudah menumbuhkannya, dengan menanamnya dan menyiraminya pada waktu kamu lagi semangat-semangatnya berkebun. Sekarang kamu malas, dan ingin membiarkannya begitu saja? Rasa-rasanya seperti kamu memutuskan untuk punya anak sehingga hamil dan lalu melahirkan. Tapi sudah begitu bayi itu kamu diamkan saja, tidak disusui atau apa. Kan tega amat, tidak bertanggung jawab. Menyirami tanaman tiap hari merupakan tindak lanjut paling minimal. Paling, karena sebetulnya mesti diberi pupuk dan diawasi dari hama juga.

3. Menghargai

Hasil panen minggu ini.
Mungkin ini kedengaran aneh. Orang berkebun biasanya senang ketika akhirnya bisa panen dan menikmati hasil menanam sendiri. Saya justru malas, baik dalam memanen maupun memakan atau mengolah hasilnya. Padahal proses sampai bisa panen itu telah memakan pengorbanan tersendiri, mulai dari menyiapkan media dan wadah tanam, menyeret diri agar rutin menyiram, dan seterusnya. Akibat kemalasan itu, sebagian tanaman pun keburu dilalap hama. Yah, bisa saja menganggapnya sebagai sedekah, sengaja menanam untuk memberi makan makhluk-makhluk lain sesama ciptaan Tuhan. Tapi, please deh! Setidaknya sisihkan sebagian besarnya sebagai reward atas usahamu selama ini. Toh katanya sebaik-baik rezeki adalah hasil jerih payah sendiri, bukan?

Tentunya ini bagian dari mensyukuri nikmat Tuhan, yang telah menjadikan tanaman itu tumbuh sampai layak panen. Bahkan, sesungguhnya nikmat tersebut bukan hanya berupa tanaman yang sengaja ditanam melainkan juga tumbuhan liar yang ternyata dapat dimakan. Contohnya, di sekitar rumah saya, tumbuh sirih cina dan mengkudu tanpa ada yang sengaja menanamnya.

4. Proporsional

Saya tidak begitu yakin akan mana istilah yang tepat untuk yang satu ini. Intinya sih menyangkut pengendalian hama. Saya pernah mendengar bahwa hama itu dikendalikan, bukan dibasmi. Hama pun berhak atas yang kita tanam, asal tidak kebanyakan. Ibarat kita bekerja atau berbisnis, lalu uang yang kita hasilkan dari situ mesti disisihkan untuk zakat dan pajak. Lebih dari itu boleh saja, dianggap sebagai sedekah. 

Hasil panen ecoenzyme.
Karena aromanya kurang sedap,
sepertinya akan dijadikan
pupuk dan pestisida saja. 

Namun agama juga mengajarkan supaya tidak terlalu mengulurkan tangan atau kita akan merugi. Begitupun dalam berkebun. Bersedekah untuk hewan-hewan kecil itu boleh saja, tapi rugi dong kalau semuanya habis sama mereka? Perhatikanlah dirimu sendiri, yang sebetulnya poin 3.

Nah, untuk menjaga supaya bagian kita tidak dijarah oleh yang kurang berhak, kita mesti rajin-rajin memantau dan tentunya mengambil tindakan dengan menyemprotkan pestisida. Pestisida yang digunakan tentu saja yang ramah lingkungan. Ibarat ada peminta-minta dan kita tidak hendak memberi dia uang, maka sebaiknya kita tidak menghardik tapi menolak dengan halus dan tidak menyakitkan(?)

.

Begitu dulu yang terpikirkan oleh saya. Berkebun lebih dari sekadar untuk ketahanan pangan, yang sepertinya sebatas pada fisik. Berkebun bukan sekadar memupuk tanah untuk menyuburkan tanaman, melainkan juga memupuk jiwa untuk menyehatkan pribadi. Walau katanya tidak ada kata terlambat untuk belajar, saya merasa sayang baru menyadari hal tersebut sekarang ini. Seandainya saja sedari kecil saya sudah dididik untuk menghayati sikap-sikap tersebut dengan cara berkebun ....

Selasa, 25 Agustus 2020

Mau Jadi SJW? Tonton Dulu Film Ini!

Sepintas saya melihat cuplikan thumbnail film ini di layar HP. Biasanya saya abaikan saja rekomendasi dari YouTube itu. Tapi, kemudian sebuah pesan datang dari teman chat saya di AS. Dia berbagi sebuah link, yang dia peroleh dari teman chat-nya yang lain dari Indonesia. Teman chat-nya itu tinggal di Wonogiri dan bilang bahwa film itu menggambarkan kehidupan di tempatnya, khususnya budaya menjenguk orang yang sakit.

Teman chat saya membocorkan bahwa film ini dimulai dengan pergosipan, suatu topik yang pernah kami bicarakan dan dia ingat bahwa saya tidak menyukainya. Untuk menghargai teman chat saya itu, saya pun mengeklik link tersebut dan terbukalah film ini di YouTube.  Wow, tak kusangka rupanya berjodoh dengan yang tadinya cuma terlihat sambil lalu dan tertepikan. Malah, akhirnya saya membagikan link film ini ke beberapa teman lain.


Film ini menjadi istimewa buat saya karena beberapa hal berikut:

Latarnya di Jogja, sehingga nostalgia

Dialog yang hampir semuanya berbahasa Jawa, plat truk yang ternyata AB, pelang yang menunjukkan bahwa mereka baru keluar dari Bantul, dan detail lainnya, membangkitkan suasana yang pernah familier buat saya. Maklum saja, dulu saya kuliah di Jogja.

Sudah begitu, tampang tokoh-tokoh utamanya sendiri entah kenapa kok mirip dengan beberapa orang yang saya kenal di kampus. Akting mereka pun terasa natural, meyakinkan.

Genrenya yang komedi satire, kesukaan saya

Sepanjang cerita, ada saja hal yang bikin saya ketawa. Seiring dengan bergulirnya dialog, saya merasakan bahwa film ini bukan sekadar hiburan melainkan potret perilaku manusia. Kemasannya sih sederhana. Peristiwa-peristiwa yang terjadi tidak begitu luar biasa, malah mungkin sangat akrab bagi masyarakat dari latar tertentu. Dialog yang lebih banyak bermain dengan tajamnya, membungkus konflik yang sesungguhnya pelik.

Rumusnya: Lucu, tapi menyentil. Sederhana, tapi pelik. 

Apanya yang menyentil sekaligus pelik?

Seperti yang telah dibocorkan teman chat saya, film ini dibuka dengan pergosipan. Sekelompok ibu-ibu berjilbab sedang dalam perjalanan di atas truk untuk menengok Bu Lurah yang dirawat di rumah sakit. Dalam situasi itu, si tokoh "jahat", sebut saja Bu Tejo karena memang demikian nama perannya, mengisi waktu dengan menggosipkan Dian--kembang di kampung mereka. Seorang ibu-ibu lain, Yu Ning, tampak gerah mendengarnya. Berkali-kali Yu Ning menimpali agar Bu Tejo tidak asal membicarakan orang, karena bisa saja itu fitnah.

Jilbab termasuk ucapan-ucapan religius yang menyelip di percakapan mereka menunjukkan bahwa mereka umat Islam. Seorang muslim yang cukup belajar agama tentu tahu bahwa gibah dan fitnah merupakan dosa. Maka sikap Yu Ning terhadap Bu Tejo bisa dianggap merupakan amar ma'ruf nahi munkar (: menyuruh kepada kebaikan, dan mengajak menjauhi keburukan).

Tapi kemudian terkupas bahwa tiap-tiap karakter itu mungkin punya motif tersembunyi. 

AWAS SPOILER!!!

Suami Bu Tejo rupanya hendak mengajukan diri sebagai lurah. Mungkin dia menjelek-jelekkan Dian--yang notabene punya hubungan dengan Bu Lurah--untuk menyingkirkan pesaing.

Yu Ning sendiri rupanya masih bersaudara jauh dengan Dian. Jadi, apakah dia murni ber-amar ma'ruf nahi munkar atau sekadar menyelamatkan muka keluarganya?

Truk yang mereka tumpangi pun akhirnya tiba di pelataran rumah sakit. Mereka disambut oleh Dian, yang dari tadi jadi bahan gosip itu. Selain itu, ada Fikri--anak Bu Lurah. 

Dian dan Fikri lalu menjelaskan bahwa Ibu Lurah belum bisa dijenguk karena masih dirawat di ruang ICU.

Ibu-ibu pun pada kecewa.

Yu Ning merasa bersalah karena dia lah yang mengusulkan untuk menjenguk Bu Lurah.

Untuk mengobati kekecewaan ibu-ibu, Bu Tejo mengajak agar mereka sekalian jalan-jalan ke Pasar Beringharjo.

Ibu-ibu pun pergi. Namun cerita belum berakhir. Film ditutup dengan adegan singkat yang menunjukkan bahwa ... Dian memang seperti yang digosipkan oleh Bu Tejo itu.

Akhir yang menghentak, menurut saya. Seketika, timbul di pikiran saya, jangan-jangan film ini beramanat agar:

JANGAN JADI SJW.

SJW atau Social Justice Warrior adalah istilah yang kerap saya temukan di internet belakangan ini. Istilah ini merujuk pada orang-orang yang doyan "membela kebenaran dan keadilan", eh, maksudnya, mendesakkan standar moral mereka kepada orang lain. Dalam film ini, tokoh Yu Ning bertindak sebagai SJW dengan berkali-kali menegur Bu Tejo yang demikian asyik bergosip. Belum cukup, setelah truk mereka sempat mogok, Yu Ning menyinggung Bu Tejo yang tidak ikut mendorong kendaraan bersama ibu-ibu lain. Bagi yang memahami kacamata Yu Ning, tentu mudah mengklaim Bu Tejo sebagai tokoh antagonis yang kerap didentikkan dengan sifat jahat. 

Namun cerita malah diakhiri dengan memberikan kemenangan kepada Bu Tejo, baik yang disadari maupun tidak. 

Yang disadari adalah ketika ternyata Yu Ning juga termasuk pemberi kabar yang "enggak jelas", seperti menjilat ludah sendiri. Maksudnya, tidak jelas apakah Bu Lurah yang sakit itu sudah bisa dijenguk atau belum. Semestinya Yu Ning mengonfirmasikan terlebih dahulu bahwa Bu Lurah memang sudah siap untuk dijenguk. Tapi, yah, HP-nya juga kehabisan baterai dalam perjalanan. Apes. Kemenangan itu ditegaskan Bu Tejo dengan memanfaatkan situasi, mengambil hati ibu-ibu lewat usul jalan-jalan ke Pasar Beringharjo.

Yang tidak disadari, yaitu bahwa Dian memang berkencan dengan laki-laki yang jauh lebih tua. Seandainya Bu Tejo tahu, tentu dia jauh lebih senang lagi--merasakan kemenangan ganda.

Kaitan dengan bacaan

23 Agustus tampaknya hari adab amar ma'ruf nahi munkar sedunia. Paginya, saya membaca tafsir Quran Surat Al-Baqarah ayat 44. Siangnya, saya membaca The Daily Stoic: 366 Meditations on Wisdom, Perseverance, and the Art of Living (Ryan Holiday dan Stephen Hanselman, Portfolio, 2016) entri 23 Agustus. Malamnya, saya menonton film ini. Semuanya ternyata berkaitan.

Al-Baqarah ayat 44 berbunyi sebagai berikut:
"Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti?"
Saya membaca tafsirnya di aplikasi yang memuat versi Kemenag RI dan Ibnu Katsir. Tafsir tersebut menjelaskan latar belakang turunnya ayat ini, yaitu mengecam perilaku beberapa orang Yahudi yang menasihati keluarga dan kerabatnya agar tetap memeluk agama Islam, namun mereka sendiri tidak mengamalkannya. Dengan begitu mereka telah merugikan diri sendiri. Perilaku tersebut menunjukkan bahwa mereka seolah-olah tidak berakal. Sebab, masakkah orang berakal tidak mengamalkan ilmu pengetahuannya? Ayat ini agar menjadi pelajaran bagi setiap bangsa, bukan hanya Bani Israil yang pembaca Taurat.

Lebih jauh, tafsir Ibnu Katsir menghubungkan ayat ini dengan perintah amar ma'ruf nahi munkar. Menyuruh kepada kebaikan dan mengajak menjauhi keburukan merupakan kewajiban bagi setiap orang yang berilmu, tapi lebih wajib lagi bagi dia untuk mengamalkannya.

Selanjutnya, seperti biasa, pembacaan tafsir jadi membingungkan karena ditampilkan berbagai pendapat ulama, di antaranya:
Malik ibnu Rabi'ah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnu Jubair berkata, "Seandainya seseorang tidak melakukan amar ma'ruf, tidak nahi munkar karena diharuskan baginya bersih dari hal tersebut, niscaya tidak seorang pun yang melakukan amar ma'ruf, tidak pula nahi munkar." Malik berkata, "Dan memang benar, siapakah orangnya yang bersih dari kesalahan?"
Masuk akal memang.

Tapi sepertinya itu menunjukkan kealiman yang belum paripurna. Namanya orang berilmu, mestinya dia mengetahui akibat dari meninggalkan ketaatan dan mengerjakan kemaksiatan. Orang cerdas mana yang mau merugikan diri sendiri? Tafsir ini secara keseluruhan cenderung pada pendapat bahwa amar ma'ruf nahi munkar wajib dilakukan dengan juga mengamalkannya secara pribadi.

Selanjutnya ditambahkan hadis-hadis yang menggambarkan kejamnya siksaan di akhirat terhadap para tukang ceramah di dunia yang tidak mengamalkan seruannya sendiri, padahal mereka membaca Quran!

Lewat Quran, Tuhan memerintahkan manusia untuk membaca dan berpikir--menyempurnakan akal. Dengan begitu, manusia dapat memperoleh ilmu yang dapat menghindarkan dirinya dari kerugian. The Daily Stoic seperti motivasi harian untuk menjalankan ibadah itu, khususnya untuk entri 23 Agustus yang seperti perpanjangan dari Al-Baqarah ayat 44.

Entri ini berjudul "IT'S IN YOUR SELF-INTEREST", yang kalau boleh saya terjemahkan secara bebas, berarti "DEMI KEPENTINGANMU SENDIRI". Entri ini mengilhamkan bahwa dalam melakukan "amar ma'ruf nahi munkar" (tentu saja mereka tidak menggunakan istilah itu), daripada menceramahi atau mengkhotbahi atau menguliahi atau menggurui (meski ada juga sih orang-orang yang senang mendengarkannya), mengatakan bahwa "itu dosa" atau "buruk", berkoar-koar soal moral ... lebih baik jelaskan akibat, dampak, konsekuensi dari perbuatan tersebut, bagaimana itu akan merugikan kepentingan mereka sendiri pada akhirnya.
And what happens when you apply this way of thinking to your own behavior?
Nah, pada akhirnya, kembali pada diri sendiri terlebih dahulu. Keburukan-keburukan apakah yang masih kita lakukan? Apakah akibat, dampak, konsekuensinya di kemudian hari? Bacalah, pikirkanlah, jadilah orang berilmu yang dapat menghindarkan diri dari akibat, dampak, konsekuensi yang merugikan itu, dan sampaikanlah dengan cara yang "aman". Rumusnya:
  1. Amalkan sendiri terlebih dahulu selama beberapa waktu.
  2. Amati, resapi, dan renungkan yang dialami.
  3. Bagikan pengalaman tersebut kepada orang lain, dengan nada bercerita dan reflektif alih-alih menasihati. Kita tidak menyeru dia agar harus begini atau jangan begitu, tidak. Kita hanya "curhat", atau menceritakan pengalaman seseorang yang sebut saja namanya Mawar supaya tidak dikira membongkar aib sendiri. Biar orang itu sendiri yang menarik pelajaran tersirat. Biarkan dia sendiri yang memberdayakan akalnya. Itu tanggung jawabnya sebagai manusia.
Kembali kepada Yu Ning

Film ini tidak menunjukkan apakah Yu Ning pernah menghadiri pengajian yang membahas tafsir Al-Baqarah ayat 44, juga tidak ada adegan dirinya membaca The Daily Stoic entri 23 Agustus. Malah, kita tidak bisa yakin apakah Yu Ning memang amar ma'ruf nahi munkar dengan menghardik orang bergibah, karena terungkap bahwa dia ternyata masih saudara jauh Dian.

Bagaimanapun juga, seandainya Yu Ning memang punya niat tulus, murni, ikhlas, sekadar hendak amar ma'ruf nahi munkar, film ini menunjukkan contoh pengamalannya yang tidak efektif.

Ketidakefektifan ini bukan murni kesalahan Yu Ning. Bukan karena dia tidak membaca The Daily Stoic, melainkan ada faktor-faktor lainnya seperti latar sosial (oke, bagaimana sekelompok ibu-ibu yang ditunjukkan "ndeso" itu bisa menalar akibat, dampak, konsekuensi yang merugikan dari bergibah?) dan faktor X--keXilafan (ih, maksa).

Kata peribahasa: sepandai-pandainya tupai melompat, akan jatuh juga.

Bagaimanapun kita berusaha untuk menjadi SJW yang efektif, akan ada kemungkinan suatu saat baterai HP kita mati di perjalanan sehingga tidak bisa dihubungi untuk mengklarifikasi kabar.

Di samping Stoikisme, sepertinya Absurdisme menarik juga untuk ditilik.

Selasa, 18 Agustus 2020

TKI: Hilang Uang, Hilang Kerja

Dua perusahaan pengerah jasa TKI dicabut izin usahanya gara-gara menelantarkan calon TKI.

Ingin memperoleh pekerjaan, justru duit sendiri yang hilang. Itulah nasib yang dialami ratusan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Puluhan calon TKI yang dijanjikan akan dikirim ke Malaysia itu disekap di Tanjung Pinang, Riau, pertengahan Januari lalu. Tak beberapa lama kasus serupa mencuat di Cianjur, Jawa Barat. Ratusan TKI yang akan dikirim ke Korea telantar, tak jelas kapan diberangkatkan.

Semula 40 orang calon TKI, percaya begitu saja pada PT Aula Mahkota Pratama (AMP) di Tanjung Pinang, Riau. Mereka yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, dijanjikan pekerjaan di Malaysia. Untuk sementara para pencari kerja itu ditampung di sebuah rumah di Desa Dompak, Tanjung Pinang.

Tapi, sampai pada hari yang dijanjikan, ternyata hanya 17 orang yang bisa diberangkatkan. Itu pun tanpa izin kerja. Mereka masuk ke Malaysia hanya dengan paspor, visa kunjungan, dan membayar fiskal biasa. Sisanya, harus mendekam di tempat penampungan tak tentu entah kapan berangkat ke negeri jiran tersebut.

Merasa ditelantarkan, Iwan, salah seorang dari calon TKI itu, melarikan diri dan mengadukan nasibnya ke orangtuanya di Cianjur, Jawa Barat. Tak jelas, akibat laporan Iwan atau apa, akhirnya pihak Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) mencium juga gelagat buruk PT AMP. Depnaker lantas mengirim tim untuk menyelamatkan mereka. "Sebanyak 5 orang melarikan diri, dan sisanya 18 orang berhasil diselamatkan," kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Tenaga Kerja, Fachri Thaharuddin.

Rupanya pengiriman TKI oleh PT AMP itu tidak melalui prosedur yang digariskan. "PT AMP tidak mempunyai perjanjian kerja. Tidak ada job order. Juga tidak ada permohonan pengajuan visa untuk bekerja," ujar Fachri menyebutkan kesalahan perusahaan itu.

TKI YANG DIBERANGKATKAN:
Ada juga yang ditelantarkan.

Tak heran, jika kini Depnaker memasukkan PT AMP, yang izin usahanya habis pada Februari ini, ke dalam daftar hitam. Artinya, Menteri Tenaga Kerja menolak perpanjangan izinnya.

Lain lagi yang terjadi di Cianjur. Bermula dari rekrutmen 2.262 TKI laki-laki dan 646 TKI perempuan oleh PT Binawan Praduta (PT BP) sejak Mei-Desember 1994. Mereka yang rata-rata berusia 20-30 tahun itu, tergiur bekerja ke Korea karena dijanjikan gaji sekitar 500 sampai 1.000 dollar Amerika bersih per bulan.

Untuk persiapan, mereka dididik dulu di balai latihan kerja PT BP di Cianjur. Untuk biaya pengurusan dan latihan tersebut, masing-masing TKI dipungut Rp 1 juta sampai Rp 1.250.000. Tapi yang terjadi jauh dari impian. Yang berhasil diberangkatkan hanya 847 TKI laki-laki dan 252 TKI perempuan. Sisanya masih telantar.

Buntutnya, pertengahan Januari lalu, sekitar 60 orang mewakili TKI yang telantar itu mengadu ke DPRD Cianjur. Tak hanya itu, mereka pun menuntut PT BP melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Cianjur. "Setelah satu bulan mengikuti latihan di Cianjur, dua minggu kemudian akan diberangkatkan langsung ke Korea Selatan," ujar Ari, calon TKI yang juga seorang sarjana.

Hingga kini mereka yang belum berangkat ke Korea masih bertahan di Cianjur meskipun sudah tidak diberi fasilitas oleh Binawan. "Kami sekarang terpaksa menginap di rumah penduduk tanpa biaya memadai. Kami terpaksa bekerja apa saja di sini untuk makan," ujar seorang calon TKI sambil menangis.

Toh, Direktur PT Binawan Praduta, Saleh Alwaini, tetap membantah perusahaannya menelantarkan calon TKI itu. "Ini semata-mata karena bertepatan dengan liburan akhir tahun. Jadi ada kelambatan soal proses visa di Kedubes Korea," ujar Saleh.

Menurut Saleh, pihak Binawan pun telah menawarkan beberapa pilihan bagi calon TKI yang ragu-ragu berangkat. Mereka, kata Saleh, bisa meninggalkan program pelatihan dan uangnya akan dikembalikan secara penuh. "Walaupun uang itu telah digunakan untuk pelatihan, medical check-up, psikotes, dan pengurusan paspor," ujarnya.

Pihak Binawan boleh berkilah. Tapi yang jelas, kini seluruh rekrutmen baru yang akan dilaksanakan PT Binawan terpaksa dihentikan. Soalnya, pihak Depnaker telah memutuskan hanya 14 perusahaan yang diberikan izin mengirim TKI, 18 Januari lalu. Dan, surat keputusan yang berlaku efektif awal Februari itu tidak mencantumkan nama PT Binawan.

Iskandar Siregar, Teguh A., Asikin HS. (Bandung), dan Wahyudi El Panggabean (Riau)


Sumber: Forum Keadilan Nomor 22, Tahun III, 16 Februari 1995

Selasa, 04 Agustus 2020

PERKELAHIAN: Bentrok Pencuri dan Penadah

Sekitar 200 warga desa Beringin berkelahi melawan karyawan PT Arara Abadi. Pasalnya, perusahaan itu menolak membeli kayu curian penduduk.

Nasib perusahaan penadah kayu curian boleh dibilang bak tersudut menghadapi dua lawan berkelahi. Bila menampung kayu curian, aparat keamanan pasti menindaknya. Tapi kalau tak mau menadahnya, penduduklah yang memusuhi mereka.

Paling tidak, itulah yang dihadapi PT Arara Abadi di Riau yang dikenal suka membeli kayu chip (kayu potongan pendek) curian dari penduduk untuk kemudian dipasok ke pabrik kertas dan pulp PT Indah Kiat. Warga Beringin, Kabupaten Bengkalis, Riau, menaruh dendam karena kayu curiannya tak ditampung PT Arara.

Padahal, sebelumnya, sejak hadir di dekat desa ini delapan tahun lalu, PT Arara selalu membeli chip dari penduduk desa ini. Rata-rata, Rp 25 juta per bulan duit perusahaan itu mengalir ke sana. Tapi, entah kenapa, sejak Desember lalu, puluhan ton kayu curian penduduk desa Beringin ditolak PT Arara.

Maka penduduk pun marah. Jalan utama yang biasa dilewati armada PT Arara diblokir dengan truk. Akibatnya, jumlah chip yang masuk ke pabrik (biasanya 100 truk per hari) berkurang.

Maka, malam itu juga (19 Desember), karyawan PT Arara melakukan pembalasan. Lebih dari 100 karyawan, dengan menggunakan sebuah traktor, menyerang desa Beringin. Pos ronda yang pertama mereka serang.

Para pemuda yang sedang berkumpul di pos itu langsung ngacir begitu melihat adanya serangan mendadak. Nahas, Firdaus, 27 tahun, tak sempat lari. Ia dihajar para karyawan itu dengan batu dan parang. "Waktu itu, saya kira Firdaus mati," kata seorang rekannya. Karena penduduk melarikan diri, rumah-rumah mereka pun menjadi sasaran lemparan batu.

Menurut seorang warga yang menyaksikan, "komandan" penyerangan itu adalah Tigor, manajer PT Arara yang selalu mengawasi penimbangan kayu, dan Rustam--kepala desa mereka sendiri. "Buktinya, ketika penyerangan itu terjadi, saya melihat Rustam turun dari sebuah mobil milik PT Arara dan tidak berbuat apa-apa untuk meredakan amarah penyerbu," katanya.

Sumber ini menduga, ada kerjasama antara Rustam dan Tigor. Pasalnya, begitu diangkat menjadi kepala desa awal 1994, ia langsung terjun di bisnis chip. Namun Rustam hanya mau membeli chip penduduk dengan harga Rp 5.000 per ton. Sedangkan penadah lain, misalnya Abu dari desa lain, berani membayar Rp 7.000.

Meski tak membeli kayu potongan dari desa Beringin, ternyata PT Arara menerima pula chip dari desa lain untuk memenuhi suplai bahan baku ke PT Indah Kiat. "Hingga kini PT Arara tetap melakukan pembelian dari penduduk desa lain," katanya.

Karena berbagai pembicu itu, meletuslah perkelahian antara penduduk Beringin dan karyawan PT Arara itu. Tapi Polsek Mnadau, yang membawahi desa ini, tak bisa berbuat apa-apa. Sebab, ketika polisi diturunkan ke tempat kejadian, konon, masalahnya sudah diselesaikan secara kekeluargaan. "Itu hanya kesalah-fahaman," kata Lettu Afriyanto BR, Kepala Polsek Mandau. "Dan soal PT Arara tak mau membeli kayu dari penduduk, itu bukan wewenang saya."

Akan halnya manajemen PT Arara. Ketika dihubungi FORUM mereka tak bersedia memberi komentar. Baik Darwis Husein di PT Arara di Riau, maupun Haji Purnama yang menjadi Humas kantor pusatnya di Jakarta.

Kecuali tak mau menadah kayu curian warga Beringin, sebenarnya penduduk juga sudah lama menaruh dendam ke perusahaan milik konglomerat Eka Tjipta Widjaya. Ada 55 hektare tanah mereka yang diambil perusahaan ini untuk Hutan Tanaman Industri (HTI). Sudah begitu, ganti rugi yang ditetapkan bupati Rp 100 per meter cuma dibayar seperempatnya.

Ditambah lagi, ketika menggarap lahan HTI, ratusan pohon sialang (tempat bersarang lebah madu yang menjadi penghasilan tambahan penduduk Beringin) dibabat tanpa ganti rugi. Jadi, "Dari dulu kami memang sudah ditindas PT Arara," kata Syarif, seorang tokoh Desa Beringin.

BK dan Wahyudi El Panggabean (Riau)



Sumber: Forum Keadilan: Nomor 22, Tahun III, 16 Februari 1995

Kamis, 23 Juli 2020

Melepas Kebergantungan pada Lampu Meja/Remang-remang

Di blog ini, saya merekam kesan tertentu yang ditimbulkan beberapa benda terhadap diri saya, mulai dari laptop Axioo, kue D'asse, seblak Umi Keriting, sampai scanner Canon. Benda-benda itu hanya cuilan remah dari semesta nikmat dunia yang tidak dapat saya peroleh lagi, entah karena sudah tidak berfungsi, jarang dijual, atau apa. Sepertinya ini menunjukkan kelekatan saya terhadap materi, di samping yang berupa kebutuhan pokok--pastinya. Maksudnya, benda-benda yang saya sebut itu sepertinya tergolong pada kebutuhan sekunder, malah mungkin tersier? Yang tanpa itu, saya masih dapat bertahan hidup serta menemukan alternatif, entahkah dalam bentuk barang lagi atau aktivitas lain.

Baru-baru ini, saya kehilangan nikmat atas satu barang lagi, yaitu lampu meja atau lampu remang-remang. Maksudnya adalah lampu yang ditaruh di meja dan dapat menyalakan cahaya remang-remang. Lampu ini berguna saat malam. Misalnya, apabila lampu yang ada di langit-langit dirasakan terlalu terang untuk beraktivitas dan setelahnya mengakibatkan sulit tidur. Misalnya lagi, saat entah kenapa rasanya takut tidur dalam kegelapan total. Misalnya lagi, sebagai peralihan dari lampu langit-langit ke gelap total atau sebaliknya; sebab tanpa peralihan itu, mata bakal kaget dari terang banget ke gelap sekali atau sebaliknya.

Lampu meja yang saya gunakan bukan saya sendiri yang membeli. Ayah saya membelinya untuk ditaruh di setiap meja yang ada di setiap kamar di rumah. Namun, lampu-lampu itu kemudian jarang difungsikan dan hanya menjadi penadah debu.

Saya ingat mulai bergantung pada lampu meja saat kuliah. Saat itu saya menumpang tinggal di rumah bulik. Di kamar yang disediakan buat saya, terdapat lampu yang dipasang di atas meja. Lampu itu saya nyalakan untuk menemani tidur. Sebab entah kenapa saya merasa takut tidur dalam kegelapan total di kamar itu.

Kebiasaan ini berlangsung hingga saya pindah tinggal di kos. Saya minta dibawakan salah satu lampu meja yang ada di rumah. Sejak itu, rasa-rasanya saya selalu tidur dengan lampu meja menyala. Sepertinya, kebiasaan takut tidur dalam kegelapan total terbawa sampai ke kamar kos itu.

Kemudian, saya pindah tinggal lagi ke rumah bude. Nah, pada waktu ini, saya meninggalkan kebergantungan pada lampu meja. Kondisi rumah bude membuat saya tidak merasa takut tidur tanpa lampu meja. Malah, saya selalu tidur dengan pintu kamar terbuka lebar. Yah, begitulah.

Setelah menyelesaikan kuliah, saya kembali tinggal di rumah bersama orang tua. Saya mulai menggunakan lampu meja lagi, tapi kali ini seperlunya saja. Saya mulai berani tidur dalam kegelapan total, padahal kamar saya letaknya di sudut--lantai dua pula. Malah, cahaya sedikit saja rasanya mengganggu. Lampu meja saya nyalakan hanya ketika tidak bisa tidur saat malam dan ingin menulis sejenak sebelum mencoba tidur kembali.

Di samping itu, ada pikiran untuk menghemat energi. Tidur dalam kegelapan total sepertinya lebih baik daripada dalam keremangan. Selain diri dapat beristirahat total, juga tidak keluar biaya listrik alias hemat energi. Kan.

Beberapa tahun ini, lampu meja sangat saya andalkan untuk mengatasi susah tidur saat malam. Adakalanya saya terus beraktivitas saat malam diterangi lampu langit-langit yang sangat terang itu. Dugaan saya, lampu yang sangat terang itu bikin diri ini terkondisikan untuk terus aktif. Akibatnya, saya terus terjaga sepanjang malam sampai lelah dan baru tidur saat pagi. Itu pola hidup yang tidak saya kehendaki. Untuk mengubah pola itu, begitu hari gelap, saya nyalakan saja lampu remang-remang. Aktivitas pun biasanya sekadar membaca dan menulis diterangi lampu itu.

Belakangan, ketika entah kenapa saya mulai kembali tidak nyaman tidur dalam kegelapan total, lampu remang-remang itu terus saya nyalakan sepanjang malam. Baru hari-hari ini saya mematikannya lagi saat hendak tidur karena terpikir soal listrik.

Nah, pada subuh kemarin, ketika saya baru bangun dan hendak menyalakan lampu itu, tiba-tiba saja seperti ada yang meledak(?). Lampu menyala cuma sekejap, setelah itu ngejepret (saya enggak tahu bagaimana mengatakannya secara baku, wkwk) dan aliran listrik di rumah pun padam total. Saat itu juga ayah saya baru bangun dan menyalakan kembali pusat listrik(?) (ah, enggak tahu lagi apa istilahnya!) di rumah sehingga kembali ada cahaya tapi tidak dengan lampu saya. Saya mencoba mencolokkannya berkali-kali ke lubang listrik, tapi tidak ada hasil. Jangan-jangan bohlamnya sudah isdet? Saya menggantinya dengan yang baru; hasilnya sama saja.

Pagi ini, saya mencari lampu meja lainnya di rumah. Mudah-mudahan masih ada yang berfungsi. Tapi, dari beberapa yang ada, tidak satu pun yang dalam kondisi baik. Ada yang kabelnya sudah putus. Ada yang dudukan bohlamnya entah ke mana.

Saya menemukan satu yang tampaknya masih baik, walaupun ukurannya jauh lebih besar daripada yang ada di meja kamar saya. Saya pun mencobanya, dan, ... lagi-lagi ngejepret. Saya mencoba menyalakannya beberapa kali lagi dengan menggonta-ganti lampu, tanpa sadar bahwa aliran listrik di rumah sudah kembali padam total .... Saya baru menyadarinya ketika ibu saya mengeluh mati lampu.

Saya curiga, setelah ngejepret itu, kejadian lampu ini sama dengan lampu di kamar saya, yaitu sudah tidak bisa dinyalakan lagi. Ada sesuatu yang salah di dalamnya, yang tidak saya mengerti. Mungkin lampu ini sudah mencapai batas masa pakainya, seperti yang terjadi dengan scanner Cannon waktu itu. Saya ingin memeriksakannya ke tempat servis barang elektronik terdekat, tapi belum ada biaya. Haha.

Maka, saya berpikir bahwa sebetulnya ini bukanlah urusan yang urgen. Untuk membaca sebelum tidur, saya bisa menggunakan lampu yang ada saja--yaitu lampu langit-langit. Memang rasanya terlalu terang, tapi toh sebetulnya membaca dalam penerangan remang-remang itu, apalagi kalau berupa majalah lawas yang huruf-hurufnya kecil padat, adakalanya bikin sakit mata. Cuma saya berharap penggunaan lampu langit-langit ini tidak akan menggeser pola tidur saya lagi.

Yang jadi persoalan adalah apabila saya mau yoga dulu sebelum tidur. Gerakan-gerakan yoga sebelum tidur itu banyak rebahannya, sehingga mata terarah pada lampu langit-langit yang menyilaukan itu. Enggak rileks dong, malah mengingkari tujuan dari melakukan yoga itu sendiri. Maka semalam saya coba melakukannya dalam kegelapan total saja. Tapi, saya melakukan yoga dengan panduan video YouTube. Walaupun tingkat kecerahan tablet sudah saya turunkan sampai mentok, tetap saja cahayanya menyengat mata.

Yah, begitulah. Saya menyadari bahwa ini keluhan yang teramat sepele (kayak enggak ada masalah yang lebih berat aja dalam hidup lu), yang sekaligus menunjukkan kebergantungan saya pada suatu benda materi nonesensial. Kalau ingat pada tren minimalisme yang lagi hip belakangan, bolehlah dengan tidak berfungsinya lampu meja ini menjadi kesempatan bagi saya untuk melepaskan kelekatan pada suatu benda atau istilah kerennya: decluttering. Seorang minimalis (tingkat advance) tentunya tidak akan memandang lampu meja sebagai kebutuhan yang hakiki, bukan? Dan ia akan fine-fine saja yoga dalam kegelapan total.

Eh, tapi kalau suatu saat ada rezeki, tetap saja saya penasaran membawa lampu meja ini ke tempat servis barang elektronik terdekat.

Sabtu, 18 Juli 2020

Mengajar Matematika kepada Balita

Mengajarkan matematika kepada anak balita sebenarnya mudah, bahkan para ibu telah melakukannya, seperti melalui pertanyaan, "Ada berapa telingamu?", yang dijawab kemudian, "Dua, Bu!" Hanya saja banyak ibu yang kurang atau tidak mengetahui manfaatnya terhadap perkembangan balita setelah masuk sekolah, hingga dilakukan secara sambilan atau asal ada waktu saja.

Para psikolog sependapat, substansi matematika yang dikuasai balita dapat mempengaruhi kemampuannya menghadapi mata pelajaran matematika setelah masuk sekolah. Ini harus diyakini, agar para ibu terangsang untuk mengajarinya sedini mungkin.

Caranya beragam. Jika tidak mampu menemukannya, dapat menanyai ahli pendidikan balita. Bahannya juga banyak serta dapat dicari yang sesuai dengan perkembangan usianya. Sebagai pembuka cakrawala, berikut ini disajikan 5 buah contohnya secara berangkai:

1. Usia 1 tahun

Menyebut deretan angka secara bertahap di hadapannya sambil melakukan gerakan badan, seperti menari-nari. Dalam 3 bulan kesatu menyebut "1 s/d 5", 3 bulan kedua menyebut "1 s/d 10", hingga 3 bulan keempat menyebut "1 s/d 20". Anak tidak perlu disuruh mengulanginya. Asal sudah terdengar dengan jelas, sudah cukup. Ini dilakukan secara berulang, tapi dengan selisih waktu yang tidak terlalu dekat. Misalkan pukul 08.00, 10.00, 12.00, dst. Sedangkan jarak waktu antara angka, cukup 2 detik saja. Gunanya, agar anak dapat menangkap makna tiap angka yang disebutkan.

2. Usia 2 tahun

Menyuruh anak menyebut angka secara bertahap. Tiap tahap cukup 2 angka saja hingga dalam 1 tahun sudah dapat menyebut "1 s/d 20". Ini akan lebih berhasil jika dilakukan dalam suasana gembira dan pikiran segar, seperti setelah mandi dan makan. Dapat juga dengan menjanjikan hadiah setelah anak dapat menyebut angka hingga tertentu. Misalkan, "Tono kini sudah dapat menyebut 1 s/d 3". Tapi jika Tono dapat menyebut 1 s/d 6, Tono akan diberi hadiah".

3. Usia 3 tahun

Anak sudah banyak mengenal anggota tubuhnya. Saat itu dapat ditanyakan jumlahnya masing-masing di mana dia akan menjawab setelah anggota tubuhnya yang bersangkutan dirabanya sambil dihitungnya. Misalkan Ny. Ida bertanya, "Ada berapa jari tanganmu?", kemudian dijawab oleh Eddy, "Sepuluh, Bu."

Tentu saja diawali dengan menanyakan anggota tubuh yang diperkirakan telah diketahuinya secara jelas. Menanyakan jumlah bahu kepadanya biasanya lebih sulit dijawab daripada menanyakan jumlah kaki, karena popularitas kaki di kalangan balita lebih tinggi daripada popularitas bahu.

4. Usia 4 tahun

Menyuruh anak menghitung benda yang ada di sekitar rumah. Misalkan, "Coba hitung, ada berapa pintu di rumah ini?" Nanti akan berkeliling rumah sambil menghitung pintu.

Tentu saja ini diawali dengan benda yang jumlahnya sedikit. Kemudian berlanjut dengan jumlah yang lebih banyak.

Ini akan lebih berhasil jika ditunggangi oleh kebutuhan ibu. Artinya, menyuruh anak menghitung bantal, misalnya, juga ditunggangi oleh keingintahuannya akan jumlah bantal yang ada.

5. Usia 5 tahun

Anak umumnya sudah dapat berbelanja. Secara psikologis, anak cenderung melakukan pengawasan, dalam arti, menghindari sedapat mungkin dari keadaan yang merugikannya, seperti kesalahan pengembalian uang belanja. Karena itu, mengapa anak setelah menerima pengembalian uang dari pedagang selalu ingin menghitung kembali.

Ini dapat dijadikan kesempatan untuk mengajarkan matematika dengan cara menanyakan sisa uang belanja. Misalkan, "Dody, ini, ibu memberi uang sebanyak 150 rupiah. Tapi hanya boleh dijajankan sebanyak 100 rupiah saja. Sisanya ditabungkan, ya?"

Dody akan menghitung, "Oh, berarti uang yang harus ditabung sebanyak 50 rupiah."

Para ibu tidak terlalu terikat dengan urutan contoh di atas jika anak memang mempunyai kecerdasan yang melampaui rekan-rekannya sebaya. Untuk mengajarkan matematika kepadanya dapat menggunakan bahan yang lebih rumit. Misalkan, meloncat dari point 1) ke point 3), meskipun usianya masih 2 tahun. (Nasrullah)



Sumber: Suara Karya, 10 Oktober 1991

Jumat, 10 Juli 2020

Risky dan Gambar Wanita tanpa Baju

Dari belakang, Risky terlihat sibuk: lengannya bergerak-gerak, seperti yang sedang mengotret soal. Kalau ditelongok, rupanya memang dia sedang menggambar bangun-bangun geometri.  Tapi, ia bukannya sedang berkutat dengan matematika, alih-alih ia mencoba membuat sketsa secara proporsional. Berhati-hati sekali ia menarik garis-garis sehingga membentuk lekukan-lekukan tegas tapi halus. Bersyukur tangannya masih tahu caranya sejak terakhir kali menggambar beginian sewaktu SMA. Belakangan paling-paling yang ia buat hanya robot, kesatria baja hitam, atau Power Ranger untuk menyenangkan adiknya.

Set-set-set—uwah! Risky mematut-matut hasil karyanya, mengerutkan kening dan mencibir. Memang ia tidak pernah hendak mengklaim diri sebagai seniman. Yang penting … cukuplah!

Ia memisahkan lembar A3 itu dari buku gambar secara berhati-hati, lalu menempelkannya di atas kepala tempat tidur. Dengan begini, begitu Mama membuka pintu kamarnya nanti pagi—tinggal beberapa jam lagi—akan langsung terpampang gambar itu. Risky menyeringai.

.

Hobinya bermula di SMA. Dilanda bosan sementara guru berceloteh di depan kelas, Risky mencoret-coret bagian belakang buku tulis. Awalnya tidak ada bayangan, tapi lamat-lamat ia tahu yang dapat membangkitkan gairahnya. Berkelebat cuplikan-cuplikan gambar dari majalah kepunyaan Shigeo. Orang itu kawannya semasa tinggal di Jepang. Usianya sekitar 3,5 lebih tua daripada Risky, dan kerap mengajak dia bermain ke rumah. Waktu itu Risky masih siswa SMP, sedangkan Shigeo sudah SMA. Masih segar di ingatan Risky kala Shigeo mengangkat kasurnya lantas tampaklah majalah berserakan. Risky mengambil asal saja, melongo hanya dengan melihat kovernya—apalagi dalamnya. Dari membaca cerita-cerita pendek di koleksi itulah, penguasaan bahasa Jepang Risky tambah lumayan. Sejak itu, dunianya tidak pernah sama lagi.

Risky ingin beli sendiri yang begituan di toko dekat rumah, tapi takut ketahuan orang tua. Sepulangnya ke Indonesia seusai tugas belajar Papa di Jepang, mendapatkan yang begituan tambah susah. Kalaupun ada, modelnya masih pada berpenutup barang sehelai-dua helai—dan tetap Risky merasa riskan membawanya pulang. Padahal, Risky baru saja menemukan potensinya, hendak mengeksplorasi sensitivitas artistiknya. Karena itu, ia membutuhkan berbagai contoh gambar untuk bahan belajar. Jadilah, Risky mengandalkan ingatannya saja.

Gambarnya jadi, disusul gambar yang lain. Inginnya sih setiap pose yang masih melekat jelas di ingatannya itu—yang kadang malah sampai bergerak-gerak—bisa ia pindahkan ke kertas. Susah memang, apalagi tanpa menguasai dasar-dasar anatomi. Satu gambar saja membuat meja penuh kotoran penghapus. Garis-garisnya pun tampak kaku sebab ia lebih sering bikin robot. Tapi, Risky tak memusingkan aneka hambatannya itu. Sembari berusaha menghidupkannya di kertas, sekalian menghidupkan gambar itu di dalam kepalanya.

Anak-anak yang duduk di sekitarnya mulai melirik.

“Bisaan gambarnya,” puji mereka.

“Bikinin dong,” ada yang meminta.

Risky menyerahkan gambarnya yang sudah jadi, tanpa keberatan untuk mengulang kesusahan dan kepayahan membikin yang baru, membeli penghapus baru.

Hari-hari di SMA pun menjadi tertahankan, sementara harem meramaikan buku tulisnya.

“Bikinin yang wajahnya mirip si ini dong,” pinta temannya.

Risky pun tersadarkan bahwa semua wanita di haremnya berwajah serupa. Berlatih anatomi itu satu soal, dan mengarang wajah itu soal lain.

Omong-omong soal wajah cewek, sesungguhnya ada satu yang seketika terbayang di benak Risky. Bukan “si ini” yang disebutkan temannya itu, melainkan sebut saja sebagai “si anu”. Memang ide bagus memasangkan wajah si anu dengan salah satu pose favoritnya.

Baru saja Risky bereksperimen dengan wajah si anu, terjadi kehebohan di sekolah. Anak-anak mengerubungi mading. Sebelum datang guru mengamankan barang bukti penyebab keriuhan, masih sempat Risky melihatnya: gambar buatannya.

Anak-anak bubar dan begitu bersitatap dengan dia: cewek-cewek berpaling jijik, cowok-cowok menyengir geli. Setiap cewek yang melewati dia menjaga jarak seraya menyelamatkan muka, seakan-akan kalau berdekatan sedikit saja mereka akan dijadikan objek berikutnya.

Di antara cewek-cewek itu ialah si anu. Sebenarnya, cuma si anu yang Risky lihat, yang seolah-olah mewakili semua cewek yang ada di dunia.

Tidak mengherankan bila kemudian Risky dipanggil ke ruang guru. Pertama, karena gambar yang telah diperlengkapi dengan nama dan kelasnya—yang mestilah diperbuat oleh salah satu anak yang duduk di sekitar bangkunya. Kedua, karena menonjoki anak-anak yang duduk di sekitar bangkunya.

Guru yang menangani dia ada dua orang. Guru yang wanita bersikap keras sekali. Setelah merasa cukup memberikan peringatan, ditinggalkannya Risky bersama guru yang pria.

Beberapa saat lalu, seakan-akan menunggu keadaan lebih kondusif. Guru yang pria bersikap pengertian. “Kalau suka gambar cewek, setidaknya pakaikan baju.”

Risky yang selama itu diam saja perlahan-lahan menatap pak guru; padangannya takjub seakan-akan itu gagasan yang tidak pernah terpikirkan oleh dia.

“Enggak bisa gambar baju, Pak,” sahut Risky pelan.

“Ya, belajar.”

Risky menunduk dan membisu, lalu, “Tapi,” diam lagi.

“Tapi?” dorong pak guru, yang berangsur-angsur jadi desak.

“Tapi,” Risky ragu, “saya enggak cita-cita jadi modiste, Pak.”

“Memangnya cita-cita kamu apa?”

Cita-citaku … apa …?

.

Sejak itu, Risky tidak hendak kembali ke sekolah. Pergi dari rumah saat pagi, ia pakai baju seragam sekolah menuju tempat umum yang ada kamar kecilnya. Di situ ia berganti pakaian bebas, lalu keluyuran ke toko buku, toko mainan, menonton bioskop, bermain dingdong, ke mana saja sampai uangnya bersisa sedikit atau habis sama sekali. Kalau masih belum waktunya pulang sekolah, ia mencari tempat yang nyaman seperti masjid, perpustakaan, atau restoran untuk duduk membaca atau menggambar.

Begitu terus sampai akibat yang tidak terelakkan: ganti orang tuanya dipanggil guru.

Dimarahi saja tidak mengubah sikap Risky. Terpaksa orang tuanya memindahkan dia ke SMA lain, yang mau tidak mau reputasinya kurang. Paling tidak, Risky mau kembali bersekolah.

Tapi, tidak banyak murid sekolah itu yang hendak (atau lebih tepatnya: mampu dalam berbagai hal) melanjutkan ke perguruan tinggi negeri, sedangkan orang tua Risky berharap si anak dapat menuruti jejak mereka.

Sayang, Risky baru insaf setelah menggagalkan UMPTN.

Untung UMPTN bisa diulang. Risky tidak hendak menyia-nyiakannya lagi. Karena itu, ia mesti menebus waktu belajar yang dulu malah dipakainya untuk “proyek seni” dan membolos. Ia memutuskan untuk belajar sepenuh waktu demi menembus UMPTN selanjutnya.

Semestinya orang tuanya mendukung dia. Tapi, sedikit-sedikit,

“IKIII …!”

Mama membuka pintu kamarnya.

Dan, tanpa tahu bahwa Risky baru saja hendak beristirahat setelah semalaman mempertanyakan apa itu “gradien”, apa itu “absis”, apa maksudnya “gradien garis singgung grafik fungsi y = f(x) adalah y’ = f’ (x) sama dengan dua kali absis P (x, y)”—yang tidak kunjung berujung pemahaman … “Tidur melulu! Katanya mau belajar?!” atau,

“Belajar terus, apa enggak jenuh? Main dulu sana sama Adek,” yang maksudnya adalah menyuapi makan bocah itu, atau,

“Cuci piring dulu gih, biar seger,” atau,

“Mau jajan enggak? Mama sekalian titip bawang merah, bawang putih, tempe, tahu, bayam, garam, cabe ….”

Risky menghitung-hitung: dalam sehari lebih banyak kekerapan Mama masuk ke kamarnya ketimbang jumlah soal yang berhasil dia pecahkan tanpa mengintip pembahasan sama sekali.

Pengalaman telah mengajarkan Risky cara menjauhkan diri dari wanita. Ini saatnya Risky kembali mengasah sensitivitas artistiknya.

“RISKY! APA-APAAN SIH KAMU?!”

Kepala Risky berputar malas, ke arah Mama yang menunjuk-nunjuk gambar di atas kepala tempat tidur. Ia sendiri sedang duduk di meja belajar, berlagak mengerjakan soal padahal sedang merenungkan suramnya nasib. Kepalanya berputar lagi ke depan. Pendengarannya menangkap langkah-langkah Mama; kertas yang direnggut, digumalkan, dan entah.

.

Selagi menggambar yang baru, Risky berpikir-pikir apakah sebaiknya ia memilih jurusan seni  ketimbang teknik. Tapi ia tidak merasa begitu nyeniman. Ia hanya suka mencoba-coba menyatakan yang ada di benaknya dengan cara yang ia bisa—yang menurutnya tak cukup memadai untuk dianggap sebagai bakat—sembari mengkhayalkan kehangatan meruap dari permukaan kertas yang pura-puranya kulit tak berlapis barang sehelai benang pun itu.

Setelah jadi, gambar itu dipasangnya di tempat yang sama. Gambar yang sebelumnya itu hanya pemanasan, masih malu-malu. Gambar yang kali ini tentu saja mulai menantang, sudah menampakkan sedikit bulu.

Cabut saja terus gambarnya, hahaha, dan semakin besar pertimbangan Risky untuk melayap ke jurusan seni sebab teknik sepertinya tak akan tergapai.

Memang Mama tambah panas. Setelah beberapa gambar yang semakin berasap saja, yang cuma ditanggapi Risky dengan mengedikkan bahu seraya mengguratkan angka-angka acak di kertas biar terlihat seperti yang sedang mengerjakan soal, ganti Papa yang masuk ke kamar.

Papa diam saja memandangi sosok dalam gambar itu, yang kini sudah mengangkang selebar-lebarnya. Sisi baiknya, untuk menggambar bagian itu secara mendetail, Risky mau tak mau sekalian membuka buku pelajaran Biologi bab reproduksi. Sisi buruknya, Risky rikuh sendiri karena lamanya Papa mematung dengan mata terpancang pada gambar itu, selayaknya guru Biologi yang sedang mengoreksi kertas jawaban ulangan.

Lalu, kata Papa, “Si Adek suka masuk kamar.”

Memang betul kata Papa. Sekarang pun si Adek, yang tadinya lagi berguling-guling di karpet kamar Risky sembari memainkan robot, ikut-ikutan tegak di samping Papa dengan raut bertanya-tanya.

Cuma itu yang Papa katakan. Tinggal Adek yang memandangi gambar itu, seakan-akan tidak sadar bahwa Papa telah keluar dari kamar.

“Kakak, kenapa itu enggak pake baju?” kata adiknya.

“Biarin,” sahut Risky yang sudah kembali menghadap meja belajar, kali ini telah menemukan soal yang sepertinya cukup mudah.

“Enggak dingin?”

“Enggak.”

“Nanti masuk angin?”

Enggak,” tukas Risky agak menggeram.

Lalu diabaikannya si Adek. Sebab, soal-soal berikutnya lumayan juga. Kalau sudah larut begitu, soal-soal sulit yang biasanya jadi penghambat pun ia loncat saja sampai menemukan soal mudah berikutnya. Sampai-sampai tidak terdengar suara-suara di belakangnya: si Adek disuruh sikat gigi, tidur ….

Konsentrasi Risky baru terpecah oleh aroma hangat yang dia akrabi, yang biasa terhirup olehnya pada waktu-waktu si Adek selesai mandi. Risky menoleh, dan mendapati adiknya menurunkan kaki dari tumpukan bantal di kepala tempat tidur. Botol minyak telon di tangan.

Serta-merta mata Risky berlari pada gambar di atasnya.

BUSET.

Gambar yang sudah menghabiskan setengah penghapus baru yang dia garap demi menjengkelkan Mama itu … kini ….

Risky mencabut gambar itu dari dinding, merenyukkannya sampai jadi bola, lalu menimpukkannya ke kepala si Adek.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain