Dari belakang, Risky terlihat sibuk:
lengannya bergerak-gerak, seperti yang sedang mengotret soal. Kalau ditelongok, rupanya memang dia sedang
menggambar bangun-bangun geometri. Tapi, ia bukannya sedang berkutat dengan
matematika, alih-alih ia mencoba membuat sketsa secara proporsional.
Berhati-hati sekali ia menarik garis-garis sehingga membentuk lekukan-lekukan
tegas tapi halus. Bersyukur tangannya masih tahu caranya sejak terakhir kali
menggambar beginian sewaktu SMA. Belakangan paling-paling yang ia buat hanya
robot, kesatria baja hitam, atau Power Ranger untuk menyenangkan adiknya.
Set-set-set—uwah! Risky mematut-matut hasil
karyanya, mengerutkan kening dan mencibir. Memang ia tidak pernah hendak
mengklaim diri sebagai seniman. Yang penting … cukuplah!
Ia memisahkan lembar A3 itu dari buku gambar
secara berhati-hati, lalu menempelkannya di atas kepala tempat tidur. Dengan
begini, begitu Mama membuka pintu kamarnya nanti pagi—tinggal beberapa jam
lagi—akan langsung terpampang gambar itu. Risky menyeringai.
.
Hobinya bermula di SMA. Dilanda bosan sementara guru
berceloteh di depan kelas, Risky mencoret-coret bagian belakang buku tulis.
Awalnya tidak ada bayangan, tapi lamat-lamat ia tahu yang dapat membangkitkan
gairahnya. Berkelebat cuplikan-cuplikan gambar dari majalah kepunyaan Shigeo.
Orang itu kawannya semasa tinggal di Jepang. Usianya sekitar 3,5 lebih tua
daripada Risky, dan kerap mengajak dia bermain ke rumah. Waktu itu Risky masih
siswa SMP, sedangkan Shigeo sudah SMA. Masih segar di ingatan Risky kala Shigeo
mengangkat kasurnya lantas tampaklah majalah berserakan. Risky mengambil asal
saja, melongo hanya dengan melihat kovernya—apalagi dalamnya. Dari membaca
cerita-cerita pendek di koleksi itulah, penguasaan bahasa Jepang Risky tambah
lumayan. Sejak itu, dunianya tidak pernah sama lagi.
Risky ingin beli sendiri yang begituan di toko
dekat rumah, tapi takut ketahuan orang tua. Sepulangnya ke Indonesia seusai
tugas belajar Papa di Jepang, mendapatkan yang begituan tambah susah. Kalaupun
ada, modelnya masih pada berpenutup barang sehelai-dua helai—dan tetap Risky
merasa riskan membawanya pulang. Padahal, Risky baru saja menemukan potensinya,
hendak mengeksplorasi sensitivitas artistiknya. Karena itu, ia membutuhkan
berbagai contoh gambar untuk bahan belajar. Jadilah, Risky mengandalkan ingatannya
saja.
Gambarnya jadi, disusul gambar yang lain. Inginnya
sih setiap pose yang masih melekat jelas di ingatannya itu—yang kadang malah
sampai bergerak-gerak—bisa ia pindahkan ke kertas. Susah memang, apalagi tanpa
menguasai dasar-dasar anatomi. Satu gambar saja membuat meja penuh kotoran
penghapus. Garis-garisnya pun tampak kaku sebab ia lebih sering bikin robot.
Tapi, Risky tak memusingkan aneka hambatannya itu. Sembari berusaha
menghidupkannya di kertas, sekalian menghidupkan gambar itu di dalam kepalanya.
Anak-anak yang duduk di sekitarnya mulai melirik.
“Bisaan gambarnya,” puji mereka.
“Bikinin dong,” ada yang meminta.
Risky menyerahkan gambarnya yang sudah jadi, tanpa
keberatan untuk mengulang kesusahan dan kepayahan membikin yang baru, membeli
penghapus baru.
Hari-hari di SMA pun menjadi tertahankan,
sementara harem meramaikan buku tulisnya.
“Bikinin yang wajahnya mirip si ini dong,” pinta
temannya.
Risky pun tersadarkan bahwa semua wanita di
haremnya berwajah serupa. Berlatih anatomi itu satu soal, dan mengarang wajah
itu soal lain.
Omong-omong soal wajah cewek, sesungguhnya ada
satu yang seketika terbayang di benak Risky. Bukan “si ini” yang disebutkan
temannya itu, melainkan sebut saja sebagai “si anu”. Memang ide bagus
memasangkan wajah si anu dengan salah satu pose favoritnya.
Baru saja Risky bereksperimen dengan wajah si anu,
terjadi kehebohan di sekolah. Anak-anak mengerubungi mading. Sebelum datang
guru mengamankan barang bukti penyebab keriuhan, masih sempat Risky melihatnya:
gambar buatannya.
Anak-anak bubar dan begitu bersitatap dengan dia:
cewek-cewek berpaling jijik, cowok-cowok menyengir geli. Setiap cewek yang
melewati dia menjaga jarak seraya menyelamatkan muka, seakan-akan kalau
berdekatan sedikit saja mereka akan dijadikan objek berikutnya.
Di antara cewek-cewek itu ialah si anu.
Sebenarnya, cuma si anu yang Risky lihat, yang seolah-olah mewakili semua cewek
yang ada di dunia.
Tidak mengherankan bila kemudian Risky dipanggil
ke ruang guru. Pertama, karena gambar yang telah diperlengkapi dengan nama dan
kelasnya—yang mestilah diperbuat oleh salah satu anak yang duduk di sekitar
bangkunya. Kedua, karena menonjoki anak-anak yang duduk di sekitar bangkunya.
Guru yang menangani dia ada dua orang. Guru yang
wanita bersikap keras sekali. Setelah merasa cukup memberikan peringatan,
ditinggalkannya Risky bersama guru yang pria.
Beberapa saat lalu, seakan-akan menunggu keadaan
lebih kondusif. Guru yang pria bersikap pengertian. “Kalau suka gambar cewek,
setidaknya pakaikan baju.”
Risky yang selama itu diam saja perlahan-lahan
menatap pak guru; padangannya takjub seakan-akan itu gagasan yang tidak pernah
terpikirkan oleh dia.
“Enggak bisa gambar baju, Pak,” sahut Risky pelan.
“Ya, belajar.”
Risky menunduk dan membisu, lalu, “Tapi,” diam
lagi.
“Tapi?” dorong pak guru, yang berangsur-angsur
jadi desak.
“Tapi,” Risky ragu, “saya enggak cita-cita jadi
modiste, Pak.”
“Memangnya cita-cita kamu apa?”
Cita-citaku … apa …?
.
Sejak itu, Risky tidak hendak kembali ke sekolah. Pergi dari
rumah saat pagi, ia pakai baju seragam sekolah menuju tempat umum yang ada
kamar kecilnya. Di situ ia berganti pakaian bebas, lalu keluyuran ke toko buku,
toko mainan, menonton bioskop, bermain dingdong, ke mana saja sampai uangnya
bersisa sedikit atau habis sama sekali. Kalau masih belum waktunya pulang
sekolah, ia mencari tempat yang nyaman seperti masjid, perpustakaan, atau
restoran untuk duduk membaca atau menggambar.
Begitu terus sampai akibat yang tidak terelakkan:
ganti orang tuanya dipanggil guru.
Dimarahi saja tidak mengubah sikap Risky. Terpaksa
orang tuanya memindahkan dia ke SMA lain, yang mau tidak mau reputasinya kurang.
Paling tidak, Risky mau kembali bersekolah.
Tapi, tidak banyak murid sekolah itu yang hendak
(atau lebih tepatnya: mampu dalam berbagai hal) melanjutkan ke perguruan tinggi
negeri, sedangkan orang tua Risky berharap si anak dapat menuruti jejak mereka.
Sayang, Risky baru insaf setelah menggagalkan
UMPTN.
Untung UMPTN bisa diulang. Risky tidak hendak
menyia-nyiakannya lagi. Karena itu, ia mesti menebus waktu belajar yang dulu
malah dipakainya untuk “proyek seni” dan membolos. Ia memutuskan untuk belajar
sepenuh waktu demi menembus UMPTN selanjutnya.
Semestinya orang tuanya mendukung dia. Tapi,
sedikit-sedikit,
“IKIII …!”
Mama membuka pintu kamarnya.
Dan, tanpa tahu bahwa Risky baru saja hendak
beristirahat setelah semalaman mempertanyakan apa itu “gradien”, apa itu
“absis”, apa maksudnya “gradien garis singgung grafik fungsi y = f(x) adalah y’
= f’ (x) sama dengan dua kali absis P (x, y)”—yang tidak kunjung
berujung pemahaman … “Tidur melulu! Katanya mau belajar?!” atau,
“Belajar terus, apa enggak jenuh? Main dulu sana
sama Adek,” yang maksudnya adalah menyuapi makan bocah itu, atau,
“Cuci piring dulu gih, biar seger,” atau,
“Mau jajan enggak? Mama sekalian titip bawang
merah, bawang putih, tempe, tahu, bayam, garam, cabe ….”
Risky menghitung-hitung: dalam sehari lebih banyak
kekerapan Mama masuk ke kamarnya ketimbang jumlah soal yang berhasil dia
pecahkan tanpa mengintip pembahasan sama sekali.
Pengalaman telah mengajarkan Risky cara menjauhkan
diri dari wanita. Ini saatnya Risky kembali mengasah sensitivitas artistiknya.
“RISKY! APA-APAAN SIH KAMU?!”
Kepala Risky berputar malas, ke arah Mama yang
menunjuk-nunjuk gambar di atas kepala tempat tidur. Ia sendiri sedang duduk di
meja belajar, berlagak mengerjakan soal padahal sedang merenungkan suramnya
nasib. Kepalanya berputar lagi ke depan. Pendengarannya menangkap
langkah-langkah Mama; kertas yang direnggut, digumalkan, dan entah.
.
Selagi menggambar yang baru, Risky berpikir-pikir apakah
sebaiknya ia memilih jurusan seni
ketimbang teknik. Tapi ia tidak merasa begitu nyeniman. Ia hanya
suka mencoba-coba menyatakan yang ada di benaknya dengan cara yang ia bisa—yang
menurutnya tak cukup memadai untuk dianggap sebagai bakat—sembari mengkhayalkan
kehangatan meruap dari permukaan kertas yang pura-puranya kulit tak berlapis
barang sehelai benang pun itu.
Setelah jadi, gambar itu dipasangnya di tempat yang
sama. Gambar yang sebelumnya itu hanya pemanasan, masih malu-malu. Gambar yang
kali ini tentu saja mulai menantang, sudah menampakkan sedikit bulu.
Cabut saja terus gambarnya, hahaha, dan semakin besar pertimbangan Risky untuk melayap ke jurusan seni sebab
teknik sepertinya tak akan tergapai.
Memang Mama tambah panas. Setelah beberapa gambar
yang semakin berasap saja, yang cuma ditanggapi Risky dengan mengedikkan bahu
seraya mengguratkan angka-angka acak di kertas biar terlihat seperti yang
sedang mengerjakan soal, ganti Papa yang masuk ke kamar.
Papa diam saja memandangi sosok dalam gambar itu,
yang kini sudah mengangkang selebar-lebarnya. Sisi baiknya, untuk menggambar
bagian itu secara mendetail, Risky mau tak mau sekalian membuka buku pelajaran
Biologi bab reproduksi. Sisi buruknya, Risky rikuh sendiri karena lamanya Papa
mematung dengan mata terpancang pada gambar itu, selayaknya guru Biologi yang
sedang mengoreksi kertas jawaban ulangan.
Lalu, kata Papa, “Si Adek suka masuk kamar.”
Memang betul kata Papa. Sekarang pun si Adek, yang
tadinya lagi berguling-guling di karpet kamar Risky sembari memainkan robot,
ikut-ikutan tegak di samping Papa dengan raut bertanya-tanya.
Cuma itu yang Papa katakan. Tinggal Adek yang
memandangi gambar itu, seakan-akan tidak sadar bahwa Papa telah keluar dari kamar.
“Kakak, kenapa itu enggak pake baju?” kata
adiknya.
“Biarin,” sahut Risky yang sudah kembali menghadap
meja belajar, kali ini telah menemukan soal yang sepertinya cukup mudah.
“Enggak dingin?”
“Enggak.”
“Nanti masuk angin?”
“Enggak,” tukas Risky agak menggeram.
Lalu diabaikannya si Adek. Sebab, soal-soal
berikutnya lumayan juga. Kalau sudah larut begitu, soal-soal sulit yang
biasanya jadi penghambat pun ia loncat saja sampai menemukan soal mudah
berikutnya. Sampai-sampai tidak terdengar suara-suara di belakangnya: si Adek
disuruh sikat gigi, tidur ….
Konsentrasi Risky baru terpecah oleh aroma hangat
yang dia akrabi, yang biasa terhirup olehnya pada waktu-waktu si Adek selesai
mandi. Risky menoleh, dan mendapati adiknya menurunkan kaki dari tumpukan
bantal di kepala tempat tidur. Botol minyak telon di tangan.
Serta-merta mata Risky berlari pada gambar di
atasnya.
BUSET.
Gambar yang sudah menghabiskan setengah penghapus
baru yang dia garap demi menjengkelkan Mama itu … kini ….
Risky mencabut gambar itu dari dinding,
merenyukkannya sampai jadi bola, lalu menimpukkannya ke kepala si Adek.