“Kenalan dong.”
Tiba-tiba saja ada yang menjejeri langkahnya. Rosa
menyingkap rambut yang melekati sebagian wajah. Barusan ia meninggalkan keran
dari mencuci muka.
Tampak seorang cowok berbadan gempal, sedikit
lebih tinggi daripada dia; helai-helai acak di antara hidung dan ujung-ujung
bibirnya yang berkedut.
Rosa mengembalikan pandang pada aspal yang
melandai. Ia mempercepat langkah, namun sepasang kaki di sebelahnya itu
menyesuaikan. Kepalanya yang semula sejuk oleh air, kini bertambah dingin
merayapi badan.
Cowok itu berdeham. “Namaku Risky. Kamu?”
Dada Rosa menggemuruh. Lari! Lari! Lari!,
tapi kakinya berbuat sebaliknya. Apa daya, tertahan oleh selembar kartu yang
mencantumkan nama panjang berikut cap gajah duduk.
“R—R—R—Raisa …” cetus Rosa.
“Raisa? Hm …. Boleh aku panggil … Ica?”
“Heh?” Rosa menahan kerling.
“Icantiiik …!” Cowok itu tergelak-gelak,
Rosa membeku.
“Kamu mahasiswa sini, kan? Jurusan kamu apa?”
tanya cowok itu lagi.
“Mmm … Bahasa … Je—Je—Je—Jerman ….” Rosa menggeser
kakinya perlahan-lahan, melepaskan diri dari jangkauan cowok itu yang ia tahu
percuma saja. Mata cowok itu runcing memakunya.
“Cocok dong kita. Aku Teknik Mesin.” Cowok itu
terseret oleh gerakannya.
“Oh.”
Cowok itu terdiam, seperti yang mencari hendak
mengatakan apa lagi. Berdeham, lalu, “Minta nomornya dong.”
Seperti yang ditodong pisau, Rosa membuka tas,
mencari kertas, lalu menuliskan nomor telepon rumah indekos yang ditempatinya.
Dua angka terakhir ia tukar posisinya.
“Makasih, Raisa.” Dua jari tangan cowok itu
mengapit kertas yang diberikan Rosa. “Ica.”
Rosa terus memerhatikan cowok itu berjalan mundur
beberapa langkah. Setelah berbalik pun, cowok itu tetap menoleh kepada Rosa
sembari tersenyum. Rosa kembali menatap aspal di hadapan kakinya. Sekuat tenaga
ia menahan gelenyar, kalau-kalau cowok itu masih memandanginya.
.
Cowok itu terlihat lagi di kampus Rosa. Mereka
bersitatap. Tapi, alih-alih menghampiri Rosa, cowok itu bergeming. Duduknya di
sisi segerombol cowok yang sedang mengobrol. Ada satu orang dalam kawanan itu
yang dikenal Rosa karena gedung fakultas mereka berdekatan, sedang yang lainnya
tidak.
Cuma tatapan cowok itu saja yang mengikuti Rosa.
Begitu lekat dan intens, sampai-sampai seolah-olah menarik sudut-sudut bibirnya
hingga menggerenyot. Rosa lekas membalikkan badan. Langkahnya dipercepat,
bahkan setelah keluar dari jangkauan pandang cowok itu.
.
Telepon di rumah indekos tidak pernah berdering
untuk Rosa, dan ia suka itu. Tiap kali telepon berdering, ia tahu pasti itu
bukan untuknya. Ia anteng saja di kamarnya, berlatih menulis huruf-huruf kanji.
Saking menghayati tarikan garis demi garis, dering telepon benar-benar tak
terdengar lagi. Gedoran di pintu baru menyadarkan setelah diiringi teriakan,
“Rosa! Ada telepon!”
“Halo?”
Sambungan diputus. Rosa tidak heran lama-lama.
Sekembalinya di kamar, ia larut lagi menatahkan garis-garis pada kertas. Sampai
gedoran kembali mengentak.
“Telepon!” nada yang lebih kesal daripada
sebelumnya, dari penghuni yang pintu kamarnya tepat di samping telepon.
“Halo?”
“Tut tut tut ….”
Setelah tiga kali lagi dalam satu jam, beberapa
orang yang kamarnya di sekitar telepon berkerumun. Lampu ruang depan
dinyalakan. Rupanya sudah tengah malam, Rosa juga baru tersadar. Wajah-wajah
suntuk merubunginya.
“Siapa sih?”
Rosa menggeleng.
Telepon berdering. Rosa sigap mengangkat.
“Halo?”
“Ada Rosa?” suara lelaki.
“Saya—“
“Tut tut tut ….”
Rosa ditinggalkan bersama gerutuan. Kembali ia ke
kamar. Tak lama, dering dan keluhan bersambung hardikan kepada si penelepon.
Satu kali lagi dering itu memecah malam. Tapi
semua telah masa bodoh dan menganggapnya sebagai ninabobo. Rosa bergeming
mendengarkan dering yang gigih itu, memencarkan garis-garis yang hendak
disusunnya di kertas. Suara lelaki itu dipanggilnya ke ingatan,
diulang-ulangnya. Pernahnya ia mendengar suara itu sebelumnya?
.
Teror itu berlangsung berkali-kali dalam sehari;
berhari-hari lagi. Warga indekos tidak bisa tidak mengacuhkannya karena
sebagian ada yang memang menanti telepon. Tapi, begitu ternyata Rosa yang
dicari oleh suara lelaki yang itu lagi, makian terlontar.
Mereka menyebut si penelepon gelap sebagai
“penggemar” Rosa. Ketika berpapasan dengan Rosa di luar kamar, para penghuni
lain nyinyir melapor, “Penggemarmu tadi nelepon tuh!” Mereka juga menganjurkan
supaya Rosa pindah ke ruang depan, menjadi resepsionis.
“Dari tiga belas telepon yang masuk hari ini,
sebelasnya dari penggemar kamu!” sembur si penghuni yang pintu kamarnya tepat
di samping telepon. Pelototannya seperti yang hendak mencelat, membentuk tangan
mencekik Rosa. Memang hari-hari itu ia berdiam saja di kamar, menyelesaikan
skripsi. Betapapun kerasnya ia mengentak tuts-tuts mesin tik, dering telepon
tetap tak terkalahkan.
“Kamu tahu kan orangnya?” tanya penghuni lain yang
pintu kamarnya tepat di seberang telepon.
Rosa menggumam tidak yakin.
Tidak bisa membedakan malam dengan siang, si
penelepon gelap sungguh biadab. Jangan-jangan ia tidak bisa melihat telepon
tanpa memencet nomor rumah indekos ini.
Timbul wacana untuk melapor kepada pemilik rumah
supaya menghubungi Telkom dan meminta agar si penelepon gelap diblokir. Tapi,
seolah-olah mengetahuinya, si penelepon gelap menghentikan aksinya sampai warga
indekos melupakan rencana itu, barulah ia memulai lagi dengan lebih gencar.
Timbul wacana itu lagi, dan si penelepon gelap
berhenti lagi lebih lama sampai warga indekos berpikir ia sudah insaf, sebelum
kembali membombardir tanpa ampun.
Warga indekos mulai tahu polanya. Ini suatu
permainan psikologis yang bikin mereka ragu melangkahkan kaki ke Telkom.
Alih-alih, ketika datang lagi musimnya si penelepon gelap, bila telepon
berdering, para penghuni lain yang rata-rata lebih senior daripada Rosa meneriakkan
namanya agar cepat-cepat mengangkat.
Secara tidak langsung, Rosa terusir dari oasenya.
Selama ini, usai kuliah, ia ingin cepat-cepat pulang ke kamarnya untuk belajar
menorehkan huruf-huruf kanji sampai lupa waktu. Sekarang, ia memelas agar boleh
“lari” sejenak ke rumah temannya. Tapi, tentu tidak nyaman berlama-lama di
rumah teman.
Tiba giliran si teman mampir ke rumah indekos
Rosa. Telepon berdering, dan penghuni lain berlomba-lomba meneriakkan nama
Rosa.
Hanya untuk mendapatkan teror yang itu lagi.
“Kenapa sih?” Temannya membaca ada yang tidak
beres, sekembali Rosa ke kamar.
Rosa bercerita. Temannya tertegun.
“Jangan-jangan orang itu lagi?”
“Siapa?”
“Temannya si Ken,” yang adalah teman si teman saat
SMA. Belakangan ini, entah kenapa Ken suka menongkrong di kampus mereka,
padahal kampusnya sendiri agak jauh di kawasan yang agak bawah. Ken biasa
membawa serta temannya,” yang kayak beruang kutub itu.”
Si teman lupa-lupa ingat namanya, yang jelas itu
nama pasaran. “Waktu itu, dia lihat aku lagi jalan sama kamu.” Rosa ingat. Saat
itu di kejauhan ia melihat cowok itu bersama kawanannya. Rosa ingin cepat
pergi, namun temannya malah dipanggil oleh salah seorang dari kawanan itu.
Mereka pun berpisah, dan Rosa tidak menengok ke belakang sama sekali. “Dia
ngebet banget pengin tahu nama sama nomor telepon kamu. Ken ikut maksa, lagi.
Maaf, ya, Cha. Aku enggak nyangka ternyata dia psikopat.”
Rosa diam. Tapi, semakin dipikirkan, ia lebih
marah kepada cowok itu ketimbang temannya. Ia tidak bisa kehilangan temannya,
sedangkan cowok itu ….
.
Telepon berdering.
“Ada Rosa?” suara itu.
“Hei!” Rosa sudah menanti-nantinya.
Sambungan diputus. Dari seberang sana, Rosa bisa
mendengar cekikikan yang berangsur-angsur menjadi kekehan, dan cowok itu pun
akhirnya terpingkal-pingkal: puas telah menyalurkan dendamnya.
.
“Itu dia!” Temannya menunjuk kepada cowok-cowok
yang duduk di bawah pohon randu kapuk. Baru saja Rosa dan temannya itu keluar
dari gedung fakultas mereka. “Biar aku kasih tahu—“
Namun, Rosa menahan temannya. Dengan muka tertekuk
dan langkah menggebu, ia menghampiri si cowok dan tawa riang kawanan itu pun
seketika surut. Ia serahkan secarik lipatan kertas yang sudah lecek—saking
lamanya menunggu kesempatan ini—kepada cowok itu. Tidak segera disambut, ia
melemparkannya begitu saja ke pangkuan si cowok. Lantas ia berbalik dan mengajak
temannya pergi.
.
“Lu lagi!” Seorang warga indekos membentak kepada
gagang telepon. “Dasar maniak!” Dibantingnya gagang telepon.
Dering lagi.
“ROSA!”
Rosa tergopoh-gopoh ke luar kamar.
“Halo?”
“Hai, Rosa.”
Rosa tak menyahut, waspada akan mendengar sambungan
diputus seperti biasanya.
“Ketemuan yuk.”
Rosa tercekat.
“Gue tunggu Minggu besok jam delapan di patung
badak. Datang, ya. Kalau enggak …” cowok itu sepertinya sengaja menggantung
kalimatnya, “gue tahu kosan lu,” dengan nada mengancam yang disusul tawa
tertahan.
“Patung badak?” gumam Rosa.
“Yang deket BIP.”
“BIP?”
“BIP!”
“Hah?”
“Enggak tahu BIP?!”
“Eeeh ….”
“Orang mana sih lu?! Pokoknya gue enggak mau
tahu!”
Sambungan diputus.
Rosa meletakkan gagang telepon pada tempatnya,
yang seketika memunculkan dering.
“Halo?”
“Datangnya sendirian, ya. Awas kalau rame-rame.”
“Tut tut tut ….”
.
Kalau bukan karena ada kuliah, berat benar Rosa
bangun sepagi itu. Membayangkan akan bertemu cowok itu membuatnya lebih berat
lagi. Terpikir untuk bawa temannya, meminta agar bersembunyi dan mengawasi.
Tapi, itu pun terlalu berat untuk dia lakukan. Dengan hati teremas-remas, Rosa
membuka tas mencari pakaian yang tersisa. Yang ia temukan hanya selembar baju
terusan warna putih kusam dengan kerutan di sana-sini yang modelnya sudah
ketinggalan zaman—lungsuran kakaknya. Apa boleh buat, pakaian lainnya yang
layak untuk di luar rumah masih pada direndam.
Setelah keramas, mengeringkan rambut sekadarnya,
lalu bersisir, Rosa mengenakan baju itu. Ia mengamati wajahnya di cermin.
Biasanya juga ia tidak berias bila ke kampus. Tadi ia hanya membasuhnya
bersih-bersih dengan air. Lalu ia menjauh dari cermin agar tampak sebagian
bajunya yang berlengan panjang dengan rok sebetis itu. Mematut diri. Cukuplah
sekadar untuk bertemu cowok itu, tak perlu melebihkan diri. Dibawanya juga tas
kecil untuk menyimpan buku bacaan, keduanya pinjaman: satu nomor Candy Candy
dari taman bacaan dekat rumah indekos dan satu novel Kawabata Yasunari
dalam bahasa asli dari perpustakaan kampus biarpun dia baru hafal sedikit
kanji.
Jam dinding di ruang depan rumah indekos
menunjukkan pukul setengah delapan lebih sedikit ketika Rosa keluar. Sepertinya
ia akan telat. Biarlah. Pasrah sajalah.
Rosa pun naik angkot ke BIP, mengikuti petunjuk
yang diberikan temannya. Baru sekali ia main ke mal itu sehingga belum
mengakrabinya, apalagi daerah sekitarnya. Terasa lama waktu yang ia habiskan
untuk berputar-putar, mencari sendiri patung badak itu, sebelum memberanikan
diri untuk bertanya kepada orang di jalan. Rupanya patung itu berada di dalam
sebuah taman.
Ketemu!
Celingukan ia mencari sosok itu. Tidak ada. Belum.
Sayang sekali ia tidak punya jam tangan. Tapi mestinya sekarang sudah jam
delapan lewat banyak.
Terlintas untuk menanyakan pada orang yang memakai
jam tangan. Tapi ditahannya.
Terlintas bahwa jangan-jangan ini cuma cara lain
cowok itu untuk mengerjainya, membalas tipuannya; dendam tak berkesudahan.
Tega. Tidak cukupkah teror telepon itu? Rosa mengingat-ingat tampang dan suara
si cowok, kelihatannya memang seperti yang suka usil. Tega, tega. Rasanya ingin
menangis saja.
Rosa menenangkan diri dengan mengingat buku bacaan
yang telah dibawanya. Bukankah menghabiskan Minggu pagi dengan membaca buku di
taman terdengar menyenangkan? Iya, kan? Biarpun tamannya ramai. Ia akan bisa
berkonsentrasi di tengah hiruk-pikuk banyak orang. Iya, begitu saja. Tidak ada
ruginya kesempatan ini.
Namun kedua tangannya tetap terlipat di depan tas,
sedang kepalanya menjulur ke sana kemari.
Ah! Cowok itu benar-benar datang!
Tapi, dia tidak sendirian. Tangannya
menggandeng—atau lebih tepatnya menyeret—seorang anak kecil yang sepertinya
berusia TK. Wajah anak itu berkerut-kerut: bibir mencebik, pipi menggembung, dan
mata memerah.
“Katanya mau bakso …” lirih anak itu.
“Iya, nanti,” tukas cowok itu.
“Mana baksonya enggak ada ….”
“Nanti,” si cowok menggeram, “pagi-pagi belum
ada.”
“Mau bakso …. Aku tuh mau bakso!” anak itu mulai
menangis.
“Aku mau ketemu orang dulu!”
Kedua tangan yang berkait itu tarik-menarik, tapi
tentu saja yang besar yang menang. Anak itu terseret-seret sementara tangisnya
berderai. Rosa turun dari undakan dan mendekati keduanya. Tatapan mereka
bertemu.
“Hei,” cowok itu menyengir.
Terpantul di wajah Rosa. Tatapan Rosa turun kepada
si anak kecil, yang begitu menyadari keberadaannya lantas meneguk tangisnya
dalam-dalam. Kali ini, tidak ada perlawanan dari anak itu saat digiring mencari
tempat duduk—tidak, sampai,
“Itu ada cuanki! MAU CUANKI!”
Mereka pun duduk di dekat tongkrongan penjaja
cuanki.
“Sori ya sambil ngasuh,” cowok itu tersenyum risi,
lalu nada berikut raut wajahnya berputar seratus delapan puluh derajat kepada
si anak kecil, “Salim.”
Anak itu pun mencium punggung tangan Rosa, yang
lalu menjadi agak basah.
Semangkuk cuanki siap dalam sekejap. Cowok itu
menerimanya, menaruhnya di antara dia dan si anak kecil, yang lalu mangap
lebar-lebar. “Makan sendiri, udah gede, kan,” sepelan mungkin suara si cowok
pada anak itu, yang tertangkap juga oleh Rosa. Anak itu tidak memprotes. Dengan
garpu, ia mencomot potongan demi potongan sembari mengamati mereka berdua.
Perhatian Rosa pada anak itu pun teralihkan saat
cowok itu mengulurkan tangan. “Maaf, ya. Sekarang kita impas kan.”
Rosa menyambutnya. Tangannya dijabat erat.
Setelah itu, mereka berdiam-diaman.
Hingga, “Kak, udah,” kata si anak. Ia mengelap
seputar mulutnya yang belepotan oleh kuah dan remah cuanki dengan punggung
tangan. “Sekarang bakso.”
“Belum kenyang?”
Anak itu menggeleng seraya mengisap ingus yang
sebagian telah telanjur berleleran. “Mau bakso yang deket BIP.”
Cowok itu bersungut-sungut. Namun begitu
tertangkap oleh Rosa, tampangnya berubah lagi. “Mau ikut … ngebakso?”
Rosa mengangguk. Matanya kemudian tidak lepas dari
kedua orang itu, yang sepanjang jalan bergandengan tangan.
“Kamu tuh kalau kebanyakan ngebakso entar
melendung lo,” kata si cowok.
“Aku tuh pengin basonya yang segede bola basket,”
kata si anak kecil.
“Mana ada.”
“Aku tuh pengin jadi emang bakso. Entar baksonya
aku bikin yang segede bola basket. Terus nanti aku main. Terus nanti kalau udah
main, baksonya aku makan.”
“Jorok, udah kena tanah, kali.”
“Tapi kalau yang belinya suka main pingpong mah
aku bikinnya yang segede bola pingpong aja ah.”
“Bikin yang segede bola dunia dong.”
“Hah! Bola dunia? Mana ada,” si anak kecil
menirukan nada si cowok tadi.
“Aku pesen yang segede planet Jupiter, bikin
sana!”
“Planet Jupiter,” si anak mengulang lagi. “Aku mau
bikin yang segede matahari.”
“Bisa?”
“Terus nanti tuh bolanya aku taruh di deket
mataharinya. Jadi bakso bakar deh.”
Si anak menoleh kepada Rosa di belakang, yang
serta-merta tersenyum. Cepat-cepat anak itu berpaling ke depan. Lalu ia menoleh
lagi ke belakang, kali ini lambat-lambat dan malu-malu. Cowok itu menyadari,
tapi hanya mengusap-usap kepala si anak—mungkin sekalian mengarahkannya agar
tidak pecicilan.
.
Sesampai di emang bakso, keduanya terus berdebat.
Si anak kecil itu ingin ada sebanyak-banyaknya bakso di mangkuknya, yang dia
sebut sebagai bakso papa, bakso mama, bakso kakak, bakso adik, dan seterusnya,
sepertinya mencakup tetangga-tetangganya juga. Sepertinya dalam imajinasi anak
itu, mangkuk ibarat mobil sedangkan bakso adalah orang, dan ia menghendaki
konvoi. Cowok itu membatasi pesanan adiknya sampai dua mangkuk saja, yang
sepertinya tidak akan habis sehingga ia sendiri tidak pesan. Rosa memesan menu
bakso yang biasa.
Rosa terus mengamati cowok itu membantu si anak
kecil memotong-motong bakso besar di salah satu mangkuk dan menuangkan kecap.
Ketika si anak minta sambal, si cowok melarang. “Entar mules!”
Barulah perhatian cowok itu kembali pada Rosa yang
duduk di hadapannya. Mereka kembali berdiam-diaman dengan canggung. Rosa tidak
biasa memulai percakapan. Untung si cowok berusaha, dan kali ini Rosa insaf
untuk menjawabnya dengan bersungguh-sungguh.
Mengetahui bahwa sebenarnya Rosa kuliah Pendidikan
Bahasa Jepang, cowok itu menegur, “Doro kara kita no?” Asalnya dari
mana?
Rosa membelalak. Cowok itu bisa berbahasa Jepang!
Sewaktu pertemuan pertama, memang Rosa menghindari wajah itu. Sekarang, kalau
dilihat-lihat, dengan mata sipit dan kulit terang begitu, bolehlah dia
dimirip-miripkan dengan orang Jepang.
“Karawang,” jawab Rosa.
“Oh. Bukan asli Bandung.”
Rosa mengangguk.
“Sama. Aku juga.”
“Dari Jepang?”
Cowok itu menyengir. “Sempet di sana. Tapi
sebelumnya aku tinggal di Jakarta.”
Rosa mengangguk disertai senyum tipis.
Tanya jawab ringan berlanjut.
“Shumi wa?” Hobinya apa?
“Kanji o manabu.” Belajar kanji.
“Suki na tabemono wa?” Makanan kesukaannya
apa?
“Shiranai.” Enggak tahu.
Begitu lancar, sampai-sampai ketika si anak minta
dipotongkan bakso dalam mangkuk satunya, cowok itu cuma menoleh sedikit dan
membisik—walaupun masih terdengar oleh Rosa—“potong sendiri, udah gede kan.”
Sampai,
“Tsukiatteru hito, iru?” Sudah punya pacar?
Rosa mencerna, lalu tersipu, dan menggeleng. “Iie.”
Belum.
“Terepashii no chikara, arun da yo.” Aku
punya kekuatan telepati lo.
“Eh?”
Baru saja cowok itu hendak mencoba kekuatan
telepatinya, sekadar pertanyaan iseng, “Mau jadi pacar aku?” yang sampai ke
kepala Rosa malah potongan bakso berikut kuahnya. Cowok itu sendiri terciprat
namun refleks mengangkat lengan untuk menghalangi wajahnya.
Rosa mengejap-ngejap sementara poninya mengalirkan
tetes-tetes kuah, sebagian meresap ke bagian depan baju putihnya.
Mata cowok itu bolak-balik antara panik pada Rosa
dan murka pada si anak kecil, sebelum mencabuti tisu lalu menepuki gadis di
depannya, mulai dari poni, wajah, dan lekas-lekas menarik tangannya begitu
hampir menyentuh area dada.
“Adek …!” cowok itu mendesis kepada adiknya.
Melihat sorot anak itu yang hampir menangis lagi,
dan demi menurunkan nada suara cowok itu, Rosa buru-buru mengucap dengan halus,
“Enggak apa-apa.” Ia menarik beberapa lembar tisu untuk lanjut membersihkan
bekas bakso.
“Minta maaf!”
“Katanya enggak apa-apa ….”
“Tetep harus minta maaf!”
“Kak Iki enggak mau motongin sih …. Kan susah ….
Huaaa ….” Mulut anak itu terbuka lebar-lebar, menyuarakan tangis.
“Udah, udah, enggak apa-apa,” Rosa berusaha
meredakan.
“Bilang maaf!”
“Maaf … Haaa ….”
Rosa menyeringai.
Cowok itu menjambret mangkuk anak itu ke dekatnya,
memotongi bakso yang tersisa, lalu melahapnya, seraya menjaga pandangannya
tetap ke samping—seakan-akan hendak menghindari anak itu dan Rosa. Anak itu
menggoyang-goyang lengan cowok itu. “Itu bakso aku ….!” Namun si cowok
mengedikkannya, terus mengunyah sampai tidak ada potongan daging yang tersisa
dalam mangkuk. Entah kenapa Rosa merasa pemandangan ini sangat lucu. Ia
mengulum senyum.
.
Agaknya masih merasa tidak enak dengan kejadian
tadi, cowok itu menawarkan untuk mengantar Rosa pulang ke rumah indekos. Rosa
mengiyakan. Cowok itu membawa motor. Si anak kecil duduk di depan.
Mereka memasuki daerah Gegerkalong. Rosa terheran
ketika cowok itu menanyakan arah. Ia ingat sewaktu di telepon yang terakhir
kali itu si cowok mengatakan tahu rumah indekosnya. Karena pernyataan bernada
ancaman itulah, mau tidak mau Rosa berangkat pagi itu. Tapi Rosa diam saja,
hanya mengarahkan sampai ke muka gang menuju rumah indekosnya.
Setelah Rosa turun dari motor, mereka bertukar
senyum. Rosa terkejut ketika tahu-tahu tangan cowok itu menjangkaunya,
rambutnya. Sontak matanya terpejam erat, bahunya naik, badannya berjengit agak
ke belakang—disergap kewaspadaan yang sama dengan sewaktu pertemuan pertama
mereka.
Ia baru membuka mata ketika dirasakannya tangan
cowok itu telah terangkat dari rambutnya. Tampak wajah itu menyengir, kedua
jari tangannya mengapit sepotong kecil seledri. Rosa mendengus lega, senyumnya
melebar.
.
Rosa menceritakan pertemuan Minggu itu kepada
temannya. Namun temannya curiga keduanya ternyata bukan kakak beradik.
“Jangan-jangan itu anaknya lagi, tapi diaku adik.”
“Masak sih,” gumam Rosa.
“Iya!” dan temannya pun menceritakan tentang si
anu dan si itu yang kebablasan saat berhubungan semasa SMP atau SMA. “Apalagi
tampangnya kayak bajingan gitu.”
Rosa meringis.
Enggak mungkin.
Tapi ia diam saja.
.
Sudah berkali-kali Rosa mengucek bajunya. Sudah
direndam lama-lama dalam cairan pemutih, noda bekas bakso itu masih membandel
juga! Rosa lelah. Dijemurnya pakaian itu, setelah kering diseterikanya.
Setelah membasuh mukanya bersih-bersih dengan air,
keramas, mengeringkan rambut sebisanya, dan bersisir, Rosa mengenakan baju itu
dan mematut diri di depan cermin.
Padahal waktu itu ia merasa penampilan begini
sudah cukup. Tapi sekarang, ia menyadari wajahnya kurang pelembap dan bedak,
bibirnya kurang lipgloss. Mungkin semestinya ia ganti sampo juga agar
rambutnya terlihat lebih halus dan berkilau.
Lalu ia memerhatikan area dadanya. Ia meraba bekas
noda itu: kenang-kenangan dari hujan telepon yang telah reda, mungkin kali ini
untuk selamanya, menjadikan rumah indekos tenang kembali.
Terdengar dering telepon, cepat-cepat Rosa keluar
kamar. Sudah ada yang mengangkat panggilan itu, yang rupanya bukan untuk dia.
Mungkin memang sebaiknya lain kali, setelah ia
pulang ke Karawang dan minta lungsuran pakaian yang lebih baik dari kakaknya.