Rabu, 26 Februari 2020

Tren Baru: dari TV ke Bioskop

Pekan film Jepang oleh Kine Klub Jakarta menyuguhkan film-film baru yang mencerminkan kehidupan sehari-hari, dan datang dari para sutradara yang sudah jenuh dengan TV dan video.

KETIGA penculik yang masih remaja itu memutuskan meminta 50 juta yen sebagai tebusan untuk nenek usia 82 tahun itu. Nyonya Yanagawa, pemilik tanah kaya raya yang menjadi korban penculikan itu, memelototkan matanya mendengar jumlah tersebut. Ia pun membentak, "Kalian tidak tahu siapa diriku! Mintakan 10 miliar yen. Tidak kurang!" 

Itulah Daiyukai (Anak-anak Pelangi) karya Kihachi Okamoto, sebuah film komedi yang segar, lincah, dan menyenangkan, satu dari tujuh film dalam Pekan Film Jepang Terbaru di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki, pekan ini. Film-film produksi tahun 1990-1991 ini sudah mengikuti festival-festival internasional, dan hampir semuanya berkisah tentang anak-anak atau remaja Jepang.

Anak-anak Pelangi adalah kisah tentang anak-anak jalanan yang biasa hidup dari mencuri atau mencopet dan tiba-tiba suatu hari mendapatkan ide untuk menjadi kaya mendadak: menculik Nyonya Yanagawa, nenek terkaya di kawasan pegunungan Semenanjung Kii di Jepang Tengah.

Tapi, seperti tersirat di awal tulisan ini, suatu kejutan yang kocak terjadi. Akhirnya para penculik remaja yang lugu dan amatiran itu malah menjadi "anak buah" Nyonya Yanagawa. Soalnya, sang nyonya, yang belakangan ini merasa telah tua dan sia-sia, seperti mendapat penyegaran dalam hidupnya karena diculik. Ia merasa, penculikan dirinya adalah sebuah petualangan yang merangsang.

Penculikan ini pun dimanfaatkan oleh Nyonya Yanagawa untuk menguji keempat anaknya, apakah mereka akan bersedia bersusah payah mengumpulkan uang tebusan 10 miliar untuk ibunya. Inilah film yang karikatural, kocak, dan penuh kejutan.

Yanagawa (diperankan dengan baik oleh aktris teater terkenal Tanie Kitabayashi), nenek baik hati yang kesepian, menjelma menjadi seorang wanita perkasa yang kaya strategi. Pada akhirnya, Sutradara Okamoto bukan menceritakan kejahatan dan keserakahan. Uang 10 miliar yen yang dikirimkan dalam karung itu pada akhirnya tak bernilai apa-apa bagi para penculik. Tanpa khotbah moral apa pun, mereka bertiga malah menjadi "orang baik-baik".

Satu-satunya film dalam acara Pekan Film ini yang tidak mempersoalkan remaja dan anak-anak hanyalah Shi no Toge (Duri Kematian) karya Kohei Oguri. Inilah film terbaik dari semua film yang diputar dalam acara tersebut. Toshio (Kazunori Kishibe), komandan muda angkatan laut di masa Perang Dunia II, hidup bahagia bersama istrinya, Miho (Keiko Matsuzaka), dan dua anaknya. Kebahagiaan itu runtuh ketika keterlibatannya dengan wanita lain, Kuniko (Midori Kiuchi) terungkap. Sejak itu rumah tangganya menjadi neraka yang terbentuk dari pertengkaran, kecemburuan, dan kecurigaan. Meski Toshio telah memutuskan hubungannya dengan Kuniko dan bersumpah setia pada Miho, ia tak bisa mengembalikan kepercayaan istrinya.

Kisah sederhana ini menjadi sebuah drama yang getir dan mencekam. Sang suami diteror terus-menerus oleh dua pihak: istri yang terluka hatinya, dan sang kekasih yang masih mencintainya. Yang membuat film ini lebih kelabu, Sutradara Oguri hanya menggunakan tiga orang aktor (ditambah dua pemain kecil) hingga fokus cerita terpusat pada perubahan karakter Miho yang semula lembut dan penurut menjelma menjadi destruktif dan agresif. Film yang ditutup dengan Miho, istri yang malang, dirawat di rumah sakit jiwa itu mendapatkan penghargaan Grand Prix Festival Film Cannes, Prancis, tahun 1991.

Dibandingkan dengan Shi no Toge, film yang lain, Batashi Kingyo (Ikan Tak Bersirip) karya Joji Matsuoka, Torajiro No Kyujitsu (Tora-san Ambil Cuti), dan Tsugumi karya Jun Ichikawa yang menceritakan persoalan-persoalan remaja Jepang adalah film-film yang jauh lebih ringan. Namun, film-film yang sudah dikirim ke berbagai festival film internasional ini digarap dengan kedalaman dan kesungguhan, jauh di atas rata-rata film-film remaja Indonesia yang populer di tahun 1980-an. Benar, sinematografi ketiga film ini tidak istimewa. Tapi karakterisasi para tokoh dan bagaimana mereka menghadapi persoalan masing-masing digarap dengan sungguh-sungguh. Bataashi Kingyo, yang berkisah tentang seorang anak lelaki yang gigih untuk mendapatkan cinta seorang wanita di sekolahnya. Tsugumi adalah cerita seorang gadis berpenyakit jantung yang sangat temperamental dan hanya berpikir tentang kematian. Torajiro No Kyujitsu adalah serial Tora-san, seorang tokoh "Kabayan" Jepang, yang mencoba membantu masalah yang dihadapi oleh keponakan dan kekasihnya yang berasal dari keluarga yang berantakan. 

Dalam sejarah perfilman Jepang, film-film dalam festival ini merupakan trend baru: para sutradaranya mula-mula berkecimpung dalam film untuk televisi atau video, dan film iklan. Mereka tak puas dengan film layar kecil, melangkahlah mereka ke layar bioskop. Menurut kritikus film Jepang, Kyoichiro Murayama, ciri para sutradara yang bertolak dari layar kecil itu: menyuguhkan tokoh-tokoh cerita yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Dan kabarnya, film yang menyajikan tokoh yang "realistis" itulah yang kini digemari di Jepang. Suatu potensi yang bisa saja mengembalikan kejayaan perfilman Jepang, yang sejak 1960-an mengalami masa surut tersaingi oleh televisi dan kemudian video.

Leila S. Chudori



Film Jepang terbaru

Tujuh film Jepang terbaru akan diputar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, atas kerja sama Kine Klub Dewan Kesenian Jakarta dan Pusat Kebudayaan Jepang. Di antara film-film produksi tahun 1990-1991 yang akan disajikan itu ada Shi No Toge (Duri Kematian), yang memperoleh penghargaan Grand Prix pada Festival Film Cannes 1991. Karya Sutradara Kohei Oguri itu mengisahkan kemelut rumah tangga dan konflik kejiwaan seorang wanita setelah Perang Dunia I. Film lainnya adalah Shonen Jidai (Masa Kecil), karya Masahiro Shinoda, tentang pengungsian massal pada masa Perang Dunia II yang menumbuhkan persahabatan di antara dua anak lelaki; Otoko Wa Tsurai Yo: Torajiro No Kyujitsu (Tora-san Ambil Cuti), film komedi situasi seri terbaru dari sutradara senior Yoji Yamada; Daiyukai (Anak-anak Pelangi), film komedi suspense tentang penculikan seorang wanita tuan tanah makmur, yang disutradarai Kihachi Okamoto; Bataashi No Kingyo (Ikan Tak Bersirip), disutradarai Joji Matsuoka, yang bertemakan cinta segitiga antar-anak remaja; lalu film Tsugumi, karya Jun Ichikawa, yang mengisahkan liburan musim panas seorang gadis manja berpenyakit jantung ke Teluk Izu; serta Harukanaru Koshien (Seruan Penonton), kisah perjuangan anak-anak tunarungu melawan keterbatasannya.

Film-film tersebut, dilengkapi teks bahasa Indonesia, diputar di Teater Tertutup, 11 sampai 18 Januari ini. Dua kali pertunjukan setiap harinya, pukul 17.00 dan 19.30 WIB. Tanda masuk bisa diperoleh secara cuma-cuma di Kine Klub Dewan Kesenian Jakarta atau di Pusat Kebudayaan Jepang.



Sumber: Tempo Nomor 46 Tahun XXIII - 15 Januari 1994

Rabu, 19 Februari 2020

Perempuan dan Politik

Di Indonesia jumlah politikus wanita masih kecil. Mengapa mereka enggan berpolitik, padahal mestinya masalah wanita lebih tajam disorot? Sebuah penelitian dari Pusat Kajian Wanita Universitas Indonesia.

MASIH ada yang bilang dunia ini milik lelaki, apalagi banyak yang mendominasi posisi strategis. Di arena politik, misalnya, dalam kebijaksanaan dan peraturan pemerintah mengalir rancangan dan keputusan dari politikus pria. Maka, tak aneh jika dalam penerapannya pria lebih banyak diuntungkan daripada wanita.

Gambaran ini tercermin dalam makalah Smita Notosusanto, 32 tahun, dari Program Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia, dalam seminar bertema "Potret Wanita Indonesia-Australia: Persepsi Sosial, Budaya, dan Politik" di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Rabu pekan lalu (lihat Menghapuskan Potret Muram). Meski setengah penduduk dunia wanita dewasa, demikian laporan United Nations Development Program 1993, di parlemen kontribusinya hanya 10%, dan kurang dari 4% yang duduk di kabinet. 

"Padahal, kontribusi wanita di dunia politik itu penting," kata Smita, yang kini mengadakan riset tentang wanita Indonesia dalam politik. Peran wanita dalam politik diharapkan akan menolong masalah-masalah wanita yang selama ini dianggap tidak penting oleh pria.

Misalnya soal cuti haid atau upah buruh yang lebih minim ketimbang buruh lelaki. Master dari California State University, AS, itu menambahkan, ketika dulu buruh menuntut cuti haid, ada anggota DPR menyarankan agar tidak mempersoalkannya karena bisa disalahgunakan pemilik perusahaan--yakni menggantinya dengan lelaki. Cuti haid dianggap mengganggu proses produksi. Padahal, cuti haid ada dalam Undang-Undang Tenaga Kerja dan GBHN, tapi tidak diterapkan. "Penyalahgunaan memang ada di mana-mana, tapi tidak berarti hak perempuan dicabut," kata Smita.

Sementara itu, di Indonesia jumlah politikus wanita masih kecil. Di lembaga DPR, hanya ada 59 wanita, sedangkan anggota pria 441. Namun, apakah jika jumlah wanita di parlemen bertambah nasib perempuan Indonesia akan lebih baik? Belum tentu. "Dalam pekerjaannya, wanita di DPR mengalami benturan," kata putri mendiang Menteri P dan K Nugroho Notosusanto itu. Pendapat mereka cenderung tidak subjektif.

Menurut Smita, yang akan melanjutkan S-3 di Sekolah Hubungan Internasional Fletcher School, di Boston, AS, perempuan Indonesia menghadapi berbagai hambatan untuk mengubah nasib (baca: maju). Adanya kultur patriarchy--sistem yang menempatkan ayah sebagai induk silsilah--misalnya, terbawa sampai di luar rumah. Perempuan cuma jadi orang nomor dua.

Dalam rekrutmen pegawai memang tidak ada perbedaan syarat antara laki-laki dan perempuan. Tapi, secara operasional, untuk tugas teknis, pria lebih dipercaya. Padahal, wanita juga mampu. Yang juga sering terjadi, perempuan harus mengalah untuk mengikuti tugas suami. Di Departemen Luar Negeri, misalnya, diterapkan peraturan tak tertulis. Yakni, bila sepasang diplomat menikah, istri--karena ikut suami--harus mencopot karier diplomatnya.

Dominasi lelaki hampir di semua bidang pekerjaan memang besar. Untuk menghapuskan dikotomi perempuan-lelaki itu diperlukan waktu panjang. Kalau pekerjaannya juru rawat, sekretaris, atau perias kecantikan, tidak jadi soal. "Soalnya jadi berat bila pekerjaan itu diminati mayoritas lelaki, umpamanya jadi menteri luar negeri," kata Smita.

Sri Pudyastuti R.



Menghapuskan Potret Muram

MENURUT sejarahnya, perempuan di Australia menyimpan potret muram. Dalam rekaman terhadap mereka itu, sampai pertengahan abad ke-19, mereka masih dijuluki pelacur terkutuk (damned whores). 

Posisi perempuan masa itu, demikian tertuang dalam makalah Ketua Pusat Kajian Australia Universitas Indonesia, Wardiningsih Soerjohardjo, dalam seminar di Jakarta pekan lalu, sangat tidak menguntungkan. Nestapa itu berawal dari keputusan Kerajaan Inggris menjadikan benua ini sebagai tanah buangan para narapidana. 

Dibandingkan dengan napi perempuan, napi lelaki masih mendapat keistimewaan. Jika masa hukuman habis, mereka boleh pulang ke Inggris. Tiket kapal dibayar dengan bekerja di kapal selama perjalanan pulang. Napi perempuan tak boleh pulang. Akibatnya, ya, melacur, agar bisa mendapat uang dan pulang.

Sampai 1841, napi perempuan ada 9.422 (napi laki-laki 78.077). Sebagian besar melacur sehingga dijuluki damned whores tadi. Cacian bermunculan, misalnya dari Thomas McQueen--bekas napi, lalu menjadi hakim. "Pelacur itu objek paling menjijikkan yang pernah dialami perempuan," katanya.

Pada masa itu, secara seksual, wanita kerap diperlakukan tidak senonoh. Misalnya, ada istri yang dijual suaminya demi satu ons emas atau sebotol minuman keras. Sejak di kapal, napi perempuan menjadi objek seks para pelaut. Tak jarang mereka menceburkan diri ke laut karena malu.

Situasi berubah setelah penemuan emas tahun 1851. Imigran bebas (bukan napi) berdatangan dan menikah dengan wanita Australia. Kehidupan normal mulai dikenal. Julukan damned whores berganti menjadi god's police--wanita menjadi polisi moral bagi suami dan anak-anaknya.

Pada masa Perang Dunia II, wanita punya kesempatan menduduki posisi pria yang pergi berperang. Misalnya, mereka bekerja di pabrik senjata ataupun menjadi sopir taksi, operator, atau portir kereta api. Dan sampai perang usai, mereka tak mau meninggalkan posisinya sehingga protes muncul. Wanita harus ditarik pulang.

Protes itu tak bersambut walau muncul masalah, seperti anak-anak tidak terkontrol. Kenakalan remaja, seks bebas, dan minuman keras di kalangan remaja merajalela. Sampai pertengahan abad ke-20, kaum wanita di Australia makin mantap bekerja. Kendati lelaki memegang berbagai kedudukan penting, wanitanya sudah tak bisa lagi dipulangkan ke rumah. 

SPR



Sumber: Tempo Nomor 40 Tahun XXIII - 4 Desember 1993

Selasa, 18 Februari 2020

"Panic Disorder" Penyakit Gangguan Kepanikan

SETIAP orang pada hakikatnya tidak bisa menghindari dari kondisi stres. Stres dapat menjadi salah satu pencetus penyakit gangguan kepanikan, meski pada umumnya serangkaian panik ini tidak terjadi pada stres. Bahkan panik bisa terjadi dalam keadaan di mana pasien tidak dalam kondisi stres. Panik juga bisa muncul seiring dengan atau setelah pasien mengalami gangguan fisik/klinis yang hebat, setelah kecelakaan, atau kematian.

Banyak para pekerja, guru/pendidik, pengusaha, bisnisman, atau eksekutif menderita panic disorder disebabkan oleh kesibukan-kesibukan, rasa was-was, dibayangi oleh setumpuk pekerjaan, perubahan situasi dan kondisi kerja di samping perubahan-perubahan sosial atau keluarga. Tetapi mereka ini hanya sebagian kecil dari lima juta penderita gangguan kepanikan yang sejak tahun 1987-an sudah melanda masyarakat Indonesia, menurut Dr. Yul Iskandar Ph.D dari kelompok studi psikiatri biologik Jakarta.

Serangan panik sebenarnya suatu fakta klinis dan sudah lama diketahui, tetapi gangguan panik (diagnosis klinik) di Indonesia terasa baru. Kepanikan bukan penyakit yang berciri sendiri akibat gangguan psikologis semata, namun juga terkait dengan biologi dan masalah sosial budaya. Oleh karena itu perlu pendekatan, pertimbangan bio-psiko, sosio-kultural untuk penyembuhan.

Gejala Penyebabnya

Gejala serangan panik yang sifatnya somatik seperti sesak napas, dada terasa sakit, perut perih, gemetaran, dan sebagainya. Juga tidak lepas dari pengaruh latar belakang sosial budaya penderitanya, sebab itu diperlukan integrasi pendekatan antara bidang psikiatri biologi dengan bidang yang terkait.

Gangguan panik yang disebabkan oleh faktor biologi menurut Prof. Burrows dari Universitas Melbourne Australia dalam simposium penganggulangan 'anxietas panic disorder' terjadi pada lokus ceuruleus yang mengatur sistem saraf simpatikus di otak atau tempat lain yang mengatur tingkat keasaman dan kebasaan suatu cairan tubuh. Kelainan pada girus parahipocampal di otak (15-25%) dapat terpantau oleh peralatan PET-Scan.

Gejala panik yang khas umumnya berupa ketegangan, kegugupan, dan tingkah laku menghindari atau senang menyendiri. Gejala dapat bervariasi tergantung sosiokulturnya.

Di Indonesia gejala kepanikan prevalensinya sekitar 0,6-3%. Penderita kebanyakan wanita, sekitar 3:1 dengan laki-laki. Serangan pertama umumnya muncul pada usia 20-an.

Sulit dibedakan penyakit (gejala) gangguan kepanikan dengan penyakit jantung koroner. Karena gejala kedua penyakit ini hampir sama, yaitu serangan pertama muncul dengan keluhan nyeri di dada (cepat atau lambat berdebar-debar, sesak napas) dan makin lama makin menghebat dalam waktu 10 menit. Akan tetapi untuk penyakit gangguan kepanikan nyeri di dada hanya berlangsung 20-30 menit yang kemudian intensitasnya akan menurun.

Sedangkan pada penyakit jantung, nyeri di dada makin lama semakin menghebat. Dari hasil penelitian, pasien dengan keluhan nyeri di dada, tanpa ada kelainan arteri koroner, 30%-nya menderita gangguan kepanikan.

Penyakit gangguan kepanikan ini merupakan gangguan biologis yang sifatnya herediter (menurun). Ada 4 reaksi dasar terjadinya gangguan kepanikan tersebut, yaitu: Reaksi fisiologik yang terjadi pada seluruh sistem organ tubuh manusia termasuk sistem kekebalan. Reaksi kognitif, yaitu adanya rasa bahwa seseorang hampir mati atau takut menjadi gila, respon ini paling tidak menyenangkan pada serangan panik. Reaksi behavioral, yaitu segala hal untuk mengembalikan keadaan semula. Suatu reaksi yaitu melarikan diri dari berbagai trauma. Banyak pasien yang menganggap rumah adalah tempat yang aman dan tidak berani keluar rumah, ada pula yang menganggap rumah sakit atau dokterlah yang paling aman.

Kini penangkal penyakit gangguan kepanikan ini telah ada, (seperti 'Alprazolam' yang telah diakui oleh FDA di Amerika. Obat ini mempunyai khasiat khusus anti panik). Stadium stres menurut Prof. Burrows yaitu pertama, mereka akan mengalami/ditandai adanya sering cemas-takut atau was-was. Kedua, tanda-tanda adanya resistensi atau perlawanan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya. Ketiga, ditandai dengan hilang kontrol diri dan perilaku yang bersifat merusak lingkungan.

Namun demikian kepanikan jangan membuat rendah diri sebab segi positifnya, orang yang tidak pernah mengalami stres, tidak pernah was-was atau cemas, khawatir atau takut, sehingga sulit diharapkan darinya akan produktif atau prestasi terjadinya tinggi. Eksplansinya sangat sederhana terhadap fenomena ini. Kalau orang tidak pernah cemas, khawatir dan seterusnya, berarti memang ia tidak tahu mengenai apa yang harus dikhawatirkan atau dcemaskan. Dengan kata lain sebenarnya ia tidak tahu apa-apa mengenai pekerjaan yang harus dilakukannya.

Kecemasan dan kekhawatiran terhadap apa yang dikerjakan merupakan indikator yang hakikatnya orang yang bersangkutan memahami persoalan pekerjaan yang sedang dihadapinya. Oleh sebab itu stres awal atau tingkat ringan akan membantu, memacu produktivitasnya kerja seseorang. Sebaliknya stres yang berkelanjutan atau yang berat, justru akan menurunkan produktivitas kerja bahkan bisa merusak.

Karena stres berat akan dapat mengganggu mekanisme dan proses kognitif yang ada pada diri seseorang. Untuk mencegahnya dan upaya untuk meringankan efek stres berat tersebut diperlukan penyegaran baik fisik maupun psikis, perlu komunikasi dan iklim yang baik dan hindari pertentangan atau perdebatan sengit. [] 

Dipl. Ing. Muhtadi Puradinata



Sumber: Panasea Nomor 63 26 Agustus - 8 September 1993

Senin, 17 Februari 2020

Mengenal Mekanisme Pembelaan Psikologik

KITA hidup di dalam dunia yang penuh dengan berbagai macam stres. Penyakit, kesedihan, kecemasan, amarah, ketakutan, keputusasaan dan sebagainya lahir dari jiwa yang dilanda stres. Seperti tubuh yang mempunyai mekanisme pertahanan kala terserang penyakit, demikian pula jiwa, bereaksi dengan berbagai cara, memobilisir berbagai macam mekanisme pembelaan diri bila dilanda oleh stres yang dapat mengancam keutuhan kepribadian. Mekanisme pembelaan ini sesungguhnya hanyalah sebuah cara untuk mempertahankan ekuilibrium (keseimbangan) dalam struktur kepribadian, bertujuan menghilangkan atau setidaknya menjinakkan anxietas (kecemasan) yang dihasilkan oleh situasi emosional yang tidak adekuat tadi.

Kecemasan memang dibutuhkan dalam perkembangan kepribadian sebagai alat pembiasaan yang dapat membawa ke arah kematangan kepribadian. Tetapi jika kecemasan berlangsung dalam waktu lama dengan intensitas yang besar, keutuhan kepribadian dapat terancam.

Berbagai macam mekanisme pembelaan diri dapat lahir dari jiwa yang dilanda stres. Ada yang fisiologis (normal) dan ada yang patologis (tidak normal), dengan kata lain mekanisme pembelaan diri itu disebut fisiologis bila kecemasan yang ada berhasil dihilangkan tanpa menyebabkan gangguan yang berarti pada organisasi kepribadian. Sebaliknya bila mekanisme pembelaan mengorbankan integritas kepribadian maka mekanisme pembelaan diri ini disebut patologis.

Berikut adalah contoh dari beragam mekanisme pembelaan psikologik.

Langsung menghadapi dan membuat penyelesaian terhadap permasalahan yang ada. Contohnya: Ria ingin sekali masuk di fakultas ekonomi pada salah satu perguruan tinggi negeri yang terkenal di kotanya. Tetapi pada saat pengumuman Ria ternyata tidak lulus ujian masuk. Keadaan yang tidak menyenangkan ini dihadapinya dengan terus belajar untuk sukses pada tahun mendatang.

Melarikan diri dari permasalahan. Contohnya: Seperti Ria, Tini juga bercita-cita menjadi seorang sarjana ekonomi. Tetapi pada saat pengumuman Tini ternyata tidak lulus ujian masuk. Keadaan ini membuat Tini kecewa dan berusaha melupakan cita-citanya dengan jalan mengalihkan perhatiannya kepada usaha catering yang dikelola oleh keluarganya. Anto juga sama seperti Tini, tetapi kekecewaan karena tidak lulus ujian membuat Anto melupakan cita-citanya dengan jalan mabuk-mabukan dan pelesiran sana-sini.

Mengadakan kompromi dengan permasalahan. Contohnya: Karena gagal menjadi pemenang pertama dalam sebuah pertandingan olahraga, Ari tetap berusaha, tetapi target yang akan dicapai dikurangi. Ari membuat target baru. Tidak untuk menjadi juara tetapi bisa masuk dalam babak final. 

Ketiga macam mekanisme pembelaan diri di atas merupakan mekanisme pembelaan yang realistik, yaitu langsung ditujukan kepada penyebab kecemasan. Berikut adalah mekanisme pembelaan diri yang tidak realistik, yaitu yang tidak langsung ditujukan kepada penyebab kecemasan.

Fantasi. Dengan berkhayal seseorang berusaha mencapai kepuasan. Pada keadaan tertentu mekanisme ini dapat menimbulkan motivasi untuk lebih berusaha dalam mencapai tujuan. Tetapi kalau tanpa disertai motivasi seseorang dapat berubah menjadi pemimpi belaka. Contohnya: karena kalah dalam pertandingan olahraga, kemudian berkhayal menjadi seorang juara yang dipuja masyarakat.

Penyangkalan. Tidak mau menerima kenyataan yang mengecewakan atau menakutkan. Mekanisme ini sering terlihat dalam kehidupan sehari-hari dan sangat efektif dalam menghilangkan kecemasan. Contohnya orang akan menutup mata saat terjadi keadaan yang menakutkan di depan matanya, seperti ketika menonton adegan seram dalam sebuah film, ketika menyaksikan rumah sendiri dilahap api atau ketka menyaksikan orang yang dicintai mengalami kecelakaan lalu-lintas. Dalam keadaan ekstrim mekanisme pembelaan ini tampak jelas pada orang yang dengan tiba-tiba menjadi buta total (padahal organ penglihatannya sehat) setelah mengalami trauma psikis hebat yang tidak mampu diatasinya. Tetapi pada saat masalahnya teratasi penglihatan akan pulih seketika. Mekanisme ini juga tampak jelas pada orang-orang yang tidak mau mengakui kekurangan dan kelemahan pribadinya padahal kekurangannya sudah tampak begitu jelas. Inilah sisi jelek dari mekanisme pembelaan diri dalam bentuk penyangkalan karena bagaimanapun kenyataan-kenyataan yang tidak menyenangkan, maupun kekurangan-kekurangan pribadi sering bermanfaat untuk dilihat sebagai suatu pelajaran.

Rasionalisasi. Mekanisme pembelaan ini sering dipakai dalam kehidupan jiwa yang normal untuk membebaskan diri dari kecemasan oleh suatu sebab yang dilakukan dengan cara memberikan suatu pernyataan atau alasan untuk membenarkan diri sendiri. Contohnya, Tika kemarin tidak masuk kantor. Ketika ditanya oleh bosnya Tika berusaha memberi alasan yang dapat membenarkan dirinya seperti alasan anak sakit atau badan terasa kurang sehat. 

Intelektualisasi. Mekanisme ini hampir sama dengan rasionalisasi tetapi didasarkan pada cara berpikir yang intelek.

Identifikasi. Pada masa perkembangan kepribadian mekanisme ini memegang tempat yang penting sekali, di mana seorang anak laki-laki mengidentifikasikan diri dengan ayahnya, atau dengan orang yang dikaguminya. Kalau pribadi yang diidentifikasi si anak menunjukkan sikap-sikap yang terpuji maka baiklah perkembangan pribadi si anak, celakanya kalau pribadi yang diidentifikasi jelek maka anak akan cenderung menjadi jelek, karena mekanisme ini merupakan mekanisme penyamaan diri dengan orang lain. Tujuan dari mekanisme ini untuk menarik perhatian orang lain, atau untuk menambah harga diri agar menyamai orang yang diidentifikasinya. Meniru gaya rambut, gaya bicara, cara hidup atau cara berpakaian dari orang-orang terkenal karena kurangnya rasa percaya terhadap diri sendiri termasuk dalam mekanisme jenis ini.

Introjeksi. Mekanisme introjeksi penting sekali dalam perkembangan mental anak, karena melalui mekanisme ini anak memasukkan ke dalam dirinya berbagai nilai moral dan kebiasaan baik yang berusaha ditanamkan oleh orangtua atau pendidik. Mekanisme introjeksi adalah mekanisme pembelaan di mana seseorang memasukkan segala kecemasan ke dalam diri-pribadinya, sehingga dapat timbul perasaan diri bersalah, depresi, membenci diri sendiri bahkan dalam bentuk ekstrim orang dapat melakukan bunuh diri.

Projeksi. Kebalikan dari mekanisme introjeksi, mekanisme projeksi merupakan mekanisme pembelaan di mana segala bentuk kecemasan diprojeksikan keluar dari pribadinya. Contohnya karena tidak lulus ujian guru yang dipersalahkan, atau ketika teman-teman kantor bergurau dan tertawa di dekatnya, dia merasa teman-teman kantornya menertawakan dia sehingga timbul perasaan benci terhadap teman-temannya. Dalam bentuk ekstrim mereka yang menggunakan mekanisme projeksi senantiasa menaruh curiga terhadap lingkungannya, jangan-jangan lingkungannya akan berbuat jahat terhadapnya. Keadaan ini disebut paranoid.

Represi. Represi adalah mekanisme pembelaan di mana materi-materi yang dapat menimbulkan kecemasan ditekan dan diendapkan ke alam bawah sadar, sehingga kecemasan tersebut akan dilupakan secara psikologis. Contohnya Mira lupa tanggal berapa ia kawin karena pada saat perkawinannya terjadi sesuatu yang traumatik.

Supresi. Mekanisme pembelaan ini hampir sama dengan represi, tetapi pada supresi materi-materi yang menimbulkan kecemasan itu dengan sadar dan disengajakan berusaha dilupakan oleh individu. Dilihat dari segi timbulnya penyakit gangguan jiwa represi lebih potensial untuk menimbulkan gangguan jiwa daripada supresi. Contoh dari mekanisme pembelaan supresi adalah sebagai berikut. Karena Titi mengalami kegagalan dalam kehidupan berumah tangga, secara sadar dia berusaha melupakan hal tersebut dan mulai memusatkan perhatiannya untuk hidup baru.

Regresi. Sering terlihat pada anak-anak yang baru mendapat adik, mereka berusaha menarik perhatian dan kasih sayang orangtuanya yang dirasa sudah berkurang karena lahirnya adik, dengan cara kembali menjadi seperti adik, misalnya tiba-tiba ngompol lagi padahal biasanya tidak. Atau tidak bisa makan sendiri lagi, jadi harus disuapi, padahal sebelumnya anak tersebut sudah pintar makan sendiri.

Reaksi Formasi. Reaksi formasi merupakan mekanisme pembelaan dengan cara menampilkan perilaku atau sikap yang berlawanan dengan perasaan yang sebenarnya. Contohnya Eni sangat marah dan membenci bosnya karena dirasanya bos tersebut pilih kasih, tetapi dia tidak berdaya karena dia hanya seorang pegawai biasa, oleh karenanya Eni berusaha menutupi perasaan tidak senangnya dengan berpura-pura bersikap manis dan menyukai bosnya (padahal dalam hatinya Eni selalu memaki-maki bos tersebut).

Salah pindah (displacement). Dalam mekanisme ini kecemasan dihilangkan dengan cara memindahkan kecemasan dari objek yang sebenarnya kepada objek lain yang lebih tidak berdaya. Contohnya karena kena teguran atasan di kantor, setelah pulang ke rumah istri dan anak yang kena marah. Atau pada anak-anak, karena dimarahi ibunya, si anak berbalik marah dan memukul adiknya.

Kompensasi. Mekanisme ini sering digunakan untuk menghilangkan atau mengurangi kecemasan akibat kegagalan untuk mencapai kepuasan dalam suatu bidang tertentu dengan cara mencari objek pemuasan yang lain. Contohnya: karena kurang pandai di sekolah, seseorang akan berusaha mengembangkan kemampuannya dalam bidang lain misalnya musik atau olahraga agar mendapat kepuasan. Mekanisme ini bisa menjadi negatif kalau kompensasinya pada hal-hal yang dapat merugikan diri sendiri dan masyarakat, contohnya karena selalu ditolak pada saat melamar pekerjaan lalu berubah menjadi pencopet atau penipu.

Sublimasi. Dalam mekanisme ini semua dorongan yang kurang baik dialihkan oleh individu kepada suatu aktivitas atau usaha yang berguna.

Pelepasan (undoing). Mekanisme ini merupakan mekanisme melepaskan isi pikiran atau perbuatan yang tidak disetujui oleh orang banyak dengan cara mengakui hal tersebut atau melakukan sesuatu yang memberi kesan bahwa ia sesungguhnya tidak berbuat sesuatu yang tidak dapat diterima oleh orang banyak. Contohnya seorang pejabat melakukan kecurangan keuangan dalam instansinya dan untuk menutupi kecurangannya dari mata banya orang pejabat tersebut memberikan sedekah pada anak-anak yatim piatu. Dalam tata kehidupan yang biasa, meminta maaf juga merupakan manifestasi dari undoing, dengan alasan lebih baik meminta maaf daripada disalahkan atau dijauhi oleh orang banyak.

Isolasi. Mekanisme pembelaan isolasi melakukan sekat emosional sebagai usaha untuk menghilangkan kecemasan. Sebagai contoh, seseorang yang merasa dirugikan berkata biarlah itu sudah nasib saya.

Acting out (pemeranan). Mengurangi kecemasan akibat sesuatu yang mengecewakan dengan cara mengekspresikannya dalam bentuk yang sebenarnya. Contoh: seorang atasan yang kecewa melihat kesalahan anak buahnya, marah dan membentak-bentak anak buah tersebut untuk menyatakan ketidakpuasannya.

Setelah mengenal berbagai mekansme pembelaan psikologis, mungkin Anda akan lebih maklum dengan tingkah laku orang-orang di sekitar Anda yang kadang memusingkan kepala. Satu hal lagi. Mekanisme jenis apakah yang Anda atau pasangan Anda sering gunakan? [] V. Mandagi



Sumber: Panasea Nomor 4 26 Agustus - 8 September 1993

Kamis, 13 Februari 2020

Awal bertemu Risky

“Kenalan dong.”

Tiba-tiba saja ada yang menjejeri langkahnya. Rosa menyingkap rambut yang melekati sebagian wajah. Barusan ia meninggalkan keran dari mencuci muka.

Tampak seorang cowok berbadan gempal, sedikit lebih tinggi daripada dia; helai-helai acak di antara hidung dan ujung-ujung bibirnya yang berkedut.

Rosa mengembalikan pandang pada aspal yang melandai. Ia mempercepat langkah, namun sepasang kaki di sebelahnya itu menyesuaikan. Kepalanya yang semula sejuk oleh air, kini bertambah dingin merayapi badan.

Cowok itu berdeham. “Namaku Risky. Kamu?”

Dada Rosa menggemuruh. Lari! Lari! Lari!, tapi kakinya berbuat sebaliknya. Apa daya, tertahan oleh selembar kartu yang mencantumkan nama panjang berikut cap gajah duduk.

“R—R—R—Raisa …” cetus Rosa.

“Raisa? Hm …. Boleh aku panggil … Ica?”

“Heh?” Rosa menahan kerling.

Icantiiik …!” Cowok itu tergelak-gelak, Rosa membeku.

“Kamu mahasiswa sini, kan? Jurusan kamu apa?” tanya cowok itu lagi.

“Mmm … Bahasa … Je—Je—Je—Jerman ….” Rosa menggeser kakinya perlahan-lahan, melepaskan diri dari jangkauan cowok itu yang ia tahu percuma saja. Mata cowok itu runcing memakunya.

“Cocok dong kita. Aku Teknik Mesin.” Cowok itu terseret oleh gerakannya.

“Oh.”

Cowok itu terdiam, seperti yang mencari hendak mengatakan apa lagi. Berdeham, lalu, “Minta nomornya dong.”

Seperti yang ditodong pisau, Rosa membuka tas, mencari kertas, lalu menuliskan nomor telepon rumah indekos yang ditempatinya. Dua angka terakhir ia tukar posisinya.

“Makasih, Raisa.” Dua jari tangan cowok itu mengapit kertas yang diberikan Rosa. “Ica.”

Rosa terus memerhatikan cowok itu berjalan mundur beberapa langkah. Setelah berbalik pun, cowok itu tetap menoleh kepada Rosa sembari tersenyum. Rosa kembali menatap aspal di hadapan kakinya. Sekuat tenaga ia menahan gelenyar, kalau-kalau cowok itu masih memandanginya.

.

Cowok itu terlihat lagi di kampus Rosa. Mereka bersitatap. Tapi, alih-alih menghampiri Rosa, cowok itu bergeming. Duduknya di sisi segerombol cowok yang sedang mengobrol. Ada satu orang dalam kawanan itu yang dikenal Rosa karena gedung fakultas mereka berdekatan, sedang yang lainnya tidak.

Cuma tatapan cowok itu saja yang mengikuti Rosa. Begitu lekat dan intens, sampai-sampai seolah-olah menarik sudut-sudut bibirnya hingga menggerenyot. Rosa lekas membalikkan badan. Langkahnya dipercepat, bahkan setelah keluar dari jangkauan pandang cowok itu.

.

Telepon di rumah indekos tidak pernah berdering untuk Rosa, dan ia suka itu. Tiap kali telepon berdering, ia tahu pasti itu bukan untuknya. Ia anteng saja di kamarnya, berlatih menulis huruf-huruf kanji. Saking menghayati tarikan garis demi garis, dering telepon benar-benar tak terdengar lagi. Gedoran di pintu baru menyadarkan setelah diiringi teriakan, “Rosa! Ada telepon!”

“Halo?”

Sambungan diputus. Rosa tidak heran lama-lama. Sekembalinya di kamar, ia larut lagi menatahkan garis-garis pada kertas. Sampai gedoran kembali mengentak.

“Telepon!” nada yang lebih kesal daripada sebelumnya, dari penghuni yang pintu kamarnya tepat di samping telepon.

“Halo?”

“Tut tut tut ….”

Setelah tiga kali lagi dalam satu jam, beberapa orang yang kamarnya di sekitar telepon berkerumun. Lampu ruang depan dinyalakan. Rupanya sudah tengah malam, Rosa juga baru tersadar. Wajah-wajah suntuk merubunginya.

“Siapa sih?”

Rosa menggeleng.

Telepon berdering. Rosa sigap mengangkat.

“Halo?”

“Ada Rosa?” suara lelaki.

“Saya—“

“Tut tut tut ….”

Rosa ditinggalkan bersama gerutuan. Kembali ia ke kamar. Tak lama, dering dan keluhan bersambung hardikan kepada si penelepon.

Satu kali lagi dering itu memecah malam. Tapi semua telah masa bodoh dan menganggapnya sebagai ninabobo. Rosa bergeming mendengarkan dering yang gigih itu, memencarkan garis-garis yang hendak disusunnya di kertas. Suara lelaki itu dipanggilnya ke ingatan, diulang-ulangnya. Pernahnya ia mendengar suara itu sebelumnya?

.

Teror itu berlangsung berkali-kali dalam sehari; berhari-hari lagi. Warga indekos tidak bisa tidak mengacuhkannya karena sebagian ada yang memang menanti telepon. Tapi, begitu ternyata Rosa yang dicari oleh suara lelaki yang itu lagi, makian terlontar.

Mereka menyebut si penelepon gelap sebagai “penggemar” Rosa. Ketika berpapasan dengan Rosa di luar kamar, para penghuni lain nyinyir melapor, “Penggemarmu tadi nelepon tuh!” Mereka juga menganjurkan supaya Rosa pindah ke ruang depan, menjadi resepsionis.

“Dari tiga belas telepon yang masuk hari ini, sebelasnya dari penggemar kamu!” sembur si penghuni yang pintu kamarnya tepat di samping telepon. Pelototannya seperti yang hendak mencelat, membentuk tangan mencekik Rosa. Memang hari-hari itu ia berdiam saja di kamar, menyelesaikan skripsi. Betapapun kerasnya ia mengentak tuts-tuts mesin tik, dering telepon tetap tak terkalahkan.

“Kamu tahu kan orangnya?” tanya penghuni lain yang pintu kamarnya tepat di seberang telepon.

Rosa menggumam tidak yakin.

Tidak bisa membedakan malam dengan siang, si penelepon gelap sungguh biadab. Jangan-jangan ia tidak bisa melihat telepon tanpa memencet nomor rumah indekos ini.

Timbul wacana untuk melapor kepada pemilik rumah supaya menghubungi Telkom dan meminta agar si penelepon gelap diblokir. Tapi, seolah-olah mengetahuinya, si penelepon gelap menghentikan aksinya sampai warga indekos melupakan rencana itu, barulah ia memulai lagi dengan lebih gencar.

Timbul wacana itu lagi, dan si penelepon gelap berhenti lagi lebih lama sampai warga indekos berpikir ia sudah insaf, sebelum kembali membombardir tanpa ampun.

Warga indekos mulai tahu polanya. Ini suatu permainan psikologis yang bikin mereka ragu melangkahkan kaki ke Telkom. Alih-alih, ketika datang lagi musimnya si penelepon gelap, bila telepon berdering, para penghuni lain yang rata-rata lebih senior daripada Rosa meneriakkan namanya agar cepat-cepat mengangkat.

Secara tidak langsung, Rosa terusir dari oasenya. Selama ini, usai kuliah, ia ingin cepat-cepat pulang ke kamarnya untuk belajar menorehkan huruf-huruf kanji sampai lupa waktu. Sekarang, ia memelas agar boleh “lari” sejenak ke rumah temannya. Tapi, tentu tidak nyaman berlama-lama di rumah teman.

Tiba giliran si teman mampir ke rumah indekos Rosa. Telepon berdering, dan penghuni lain berlomba-lomba meneriakkan nama Rosa.

Hanya untuk mendapatkan teror yang itu lagi.

“Kenapa sih?” Temannya membaca ada yang tidak beres, sekembali Rosa ke kamar.

Rosa bercerita. Temannya tertegun.

“Jangan-jangan orang itu lagi?”

“Siapa?”

“Temannya si Ken,” yang adalah teman si teman saat SMA. Belakangan ini, entah kenapa Ken suka menongkrong di kampus mereka, padahal kampusnya sendiri agak jauh di kawasan yang agak bawah. Ken biasa membawa serta temannya,” yang kayak beruang kutub itu.”

Si teman lupa-lupa ingat namanya, yang jelas itu nama pasaran. “Waktu itu, dia lihat aku lagi jalan sama kamu.” Rosa ingat. Saat itu di kejauhan ia melihat cowok itu bersama kawanannya. Rosa ingin cepat pergi, namun temannya malah dipanggil oleh salah seorang dari kawanan itu. Mereka pun berpisah, dan Rosa tidak menengok ke belakang sama sekali. “Dia ngebet banget pengin tahu nama sama nomor telepon kamu. Ken ikut maksa, lagi. Maaf, ya, Cha. Aku enggak nyangka ternyata dia psikopat.”

Rosa diam. Tapi, semakin dipikirkan, ia lebih marah kepada cowok itu ketimbang temannya. Ia tidak bisa kehilangan temannya, sedangkan cowok itu ….

.

Telepon berdering.

“Ada Rosa?” suara itu.

“Hei!” Rosa sudah menanti-nantinya.

Sambungan diputus. Dari seberang sana, Rosa bisa mendengar cekikikan yang berangsur-angsur menjadi kekehan, dan cowok itu pun akhirnya terpingkal-pingkal: puas telah menyalurkan dendamnya.

.

“Itu dia!” Temannya menunjuk kepada cowok-cowok yang duduk di bawah pohon randu kapuk. Baru saja Rosa dan temannya itu keluar dari gedung fakultas mereka. “Biar aku kasih tahu—“

Namun, Rosa menahan temannya. Dengan muka tertekuk dan langkah menggebu, ia menghampiri si cowok dan tawa riang kawanan itu pun seketika surut. Ia serahkan secarik lipatan kertas yang sudah lecek—saking lamanya menunggu kesempatan ini—kepada cowok itu. Tidak segera disambut, ia melemparkannya begitu saja ke pangkuan si cowok. Lantas ia berbalik dan mengajak temannya pergi.

.

“Lu lagi!” Seorang warga indekos membentak kepada gagang telepon. “Dasar maniak!” Dibantingnya gagang telepon.

Dering lagi.

“ROSA!”

Rosa tergopoh-gopoh ke luar kamar.

“Halo?”

“Hai, Rosa.”

Rosa tak menyahut, waspada akan mendengar sambungan diputus seperti biasanya.

“Ketemuan yuk.”

Rosa tercekat.

“Gue tunggu Minggu besok jam delapan di patung badak. Datang, ya. Kalau enggak …” cowok itu sepertinya sengaja menggantung kalimatnya, “gue tahu kosan lu,” dengan nada mengancam yang disusul tawa tertahan.

“Patung badak?” gumam Rosa.

“Yang deket BIP.”

“BIP?”

“BIP!”

“Hah?”

“Enggak tahu BIP?!”

“Eeeh ….”

“Orang mana sih lu?! Pokoknya gue enggak mau tahu!”

Sambungan diputus.

Rosa meletakkan gagang telepon pada tempatnya, yang seketika memunculkan dering.

“Halo?”

“Datangnya sendirian, ya. Awas kalau rame-rame.”

“Tut tut tut ….”

.

Kalau bukan karena ada kuliah, berat benar Rosa bangun sepagi itu. Membayangkan akan bertemu cowok itu membuatnya lebih berat lagi. Terpikir untuk bawa temannya, meminta agar bersembunyi dan mengawasi. Tapi, itu pun terlalu berat untuk dia lakukan. Dengan hati teremas-remas, Rosa membuka tas mencari pakaian yang tersisa. Yang ia temukan hanya selembar baju terusan warna putih kusam dengan kerutan di sana-sini yang modelnya sudah ketinggalan zaman—lungsuran kakaknya. Apa boleh buat, pakaian lainnya yang layak untuk di luar rumah masih pada direndam.

Setelah keramas, mengeringkan rambut sekadarnya, lalu bersisir, Rosa mengenakan baju itu. Ia mengamati wajahnya di cermin. Biasanya juga ia tidak berias bila ke kampus. Tadi ia hanya membasuhnya bersih-bersih dengan air. Lalu ia menjauh dari cermin agar tampak sebagian bajunya yang berlengan panjang dengan rok sebetis itu. Mematut diri. Cukuplah sekadar untuk bertemu cowok itu, tak perlu melebihkan diri. Dibawanya juga tas kecil untuk menyimpan buku bacaan, keduanya pinjaman: satu nomor Candy Candy dari taman bacaan dekat rumah indekos dan satu novel Kawabata Yasunari dalam bahasa asli dari perpustakaan kampus biarpun dia baru hafal sedikit kanji.

Jam dinding di ruang depan rumah indekos menunjukkan pukul setengah delapan lebih sedikit ketika Rosa keluar. Sepertinya ia akan telat. Biarlah. Pasrah sajalah.

Rosa pun naik angkot ke BIP, mengikuti petunjuk yang diberikan temannya. Baru sekali ia main ke mal itu sehingga belum mengakrabinya, apalagi daerah sekitarnya. Terasa lama waktu yang ia habiskan untuk berputar-putar, mencari sendiri patung badak itu, sebelum memberanikan diri untuk bertanya kepada orang di jalan. Rupanya patung itu berada di dalam sebuah taman.

Ketemu!

Celingukan ia mencari sosok itu. Tidak ada. Belum. Sayang sekali ia tidak punya jam tangan. Tapi mestinya sekarang sudah jam delapan lewat banyak.

Terlintas untuk menanyakan pada orang yang memakai jam tangan. Tapi ditahannya.

Terlintas bahwa jangan-jangan ini cuma cara lain cowok itu untuk mengerjainya, membalas tipuannya; dendam tak berkesudahan. Tega. Tidak cukupkah teror telepon itu? Rosa mengingat-ingat tampang dan suara si cowok, kelihatannya memang seperti yang suka usil. Tega, tega. Rasanya ingin menangis saja.

Rosa menenangkan diri dengan mengingat buku bacaan yang telah dibawanya. Bukankah menghabiskan Minggu pagi dengan membaca buku di taman terdengar menyenangkan? Iya, kan? Biarpun tamannya ramai. Ia akan bisa berkonsentrasi di tengah hiruk-pikuk banyak orang. Iya, begitu saja. Tidak ada ruginya kesempatan ini.

Namun kedua tangannya tetap terlipat di depan tas, sedang kepalanya menjulur ke sana kemari.

Ah! Cowok itu benar-benar datang!

Tapi, dia tidak sendirian. Tangannya menggandeng—atau lebih tepatnya menyeret—seorang anak kecil yang sepertinya berusia TK. Wajah anak itu berkerut-kerut: bibir mencebik, pipi menggembung, dan mata memerah.

“Katanya mau bakso …” lirih anak itu.

“Iya, nanti,” tukas cowok itu.

“Mana baksonya enggak ada ….”

“Nanti,” si cowok menggeram, “pagi-pagi belum ada.”

“Mau bakso …. Aku tuh mau bakso!” anak itu mulai menangis.

“Aku mau ketemu orang dulu!”

Kedua tangan yang berkait itu tarik-menarik, tapi tentu saja yang besar yang menang. Anak itu terseret-seret sementara tangisnya berderai. Rosa turun dari undakan dan mendekati keduanya. Tatapan mereka bertemu.

“Hei,” cowok itu menyengir.

Terpantul di wajah Rosa. Tatapan Rosa turun kepada si anak kecil, yang begitu menyadari keberadaannya lantas meneguk tangisnya dalam-dalam. Kali ini, tidak ada perlawanan dari anak itu saat digiring mencari tempat duduk—tidak, sampai,

“Itu ada cuanki! MAU CUANKI!”

Mereka pun duduk di dekat tongkrongan penjaja cuanki.

“Sori ya sambil ngasuh,” cowok itu tersenyum risi, lalu nada berikut raut wajahnya berputar seratus delapan puluh derajat kepada si anak kecil, “Salim.”

Anak itu pun mencium punggung tangan Rosa, yang lalu menjadi agak basah.

Semangkuk cuanki siap dalam sekejap. Cowok itu menerimanya, menaruhnya di antara dia dan si anak kecil, yang lalu mangap lebar-lebar. “Makan sendiri, udah gede, kan,” sepelan mungkin suara si cowok pada anak itu, yang tertangkap juga oleh Rosa. Anak itu tidak memprotes. Dengan garpu, ia mencomot potongan demi potongan sembari mengamati mereka berdua.

Perhatian Rosa pada anak itu pun teralihkan saat cowok itu mengulurkan tangan. “Maaf, ya. Sekarang kita impas kan.”

Rosa menyambutnya. Tangannya dijabat erat.

Setelah itu, mereka berdiam-diaman.

Hingga, “Kak, udah,” kata si anak. Ia mengelap seputar mulutnya yang belepotan oleh kuah dan remah cuanki dengan punggung tangan. “Sekarang bakso.”

“Belum kenyang?”

Anak itu menggeleng seraya mengisap ingus yang sebagian telah telanjur berleleran. “Mau bakso yang deket BIP.”

Cowok itu bersungut-sungut. Namun begitu tertangkap oleh Rosa, tampangnya berubah lagi. “Mau ikut … ngebakso?”

Rosa mengangguk. Matanya kemudian tidak lepas dari kedua orang itu, yang sepanjang jalan bergandengan tangan.

“Kamu tuh kalau kebanyakan ngebakso entar melendung lo,” kata si cowok.

“Aku tuh pengin basonya yang segede bola basket,” kata si anak kecil.

“Mana ada.”

“Aku tuh pengin jadi emang bakso. Entar baksonya aku bikin yang segede bola basket. Terus nanti aku main. Terus nanti kalau udah main, baksonya aku makan.”

“Jorok, udah kena tanah, kali.”

“Tapi kalau yang belinya suka main pingpong mah aku bikinnya yang segede bola pingpong aja ah.”

“Bikin yang segede bola dunia dong.”

“Hah! Bola dunia? Mana ada,” si anak kecil menirukan nada si cowok tadi.

“Aku pesen yang segede planet Jupiter, bikin sana!”

“Planet Jupiter,” si anak mengulang lagi. “Aku mau bikin yang segede matahari.”

“Bisa?”

“Terus nanti tuh bolanya aku taruh di deket mataharinya. Jadi bakso bakar deh.”

Si anak menoleh kepada Rosa di belakang, yang serta-merta tersenyum. Cepat-cepat anak itu berpaling ke depan. Lalu ia menoleh lagi ke belakang, kali ini lambat-lambat dan malu-malu. Cowok itu menyadari, tapi hanya mengusap-usap kepala si anak—mungkin sekalian mengarahkannya agar tidak pecicilan.

.

Sesampai di emang bakso, keduanya terus berdebat. Si anak kecil itu ingin ada sebanyak-banyaknya bakso di mangkuknya, yang dia sebut sebagai bakso papa, bakso mama, bakso kakak, bakso adik, dan seterusnya, sepertinya mencakup tetangga-tetangganya juga. Sepertinya dalam imajinasi anak itu, mangkuk ibarat mobil sedangkan bakso adalah orang, dan ia menghendaki konvoi. Cowok itu membatasi pesanan adiknya sampai dua mangkuk saja, yang sepertinya tidak akan habis sehingga ia sendiri tidak pesan. Rosa memesan menu bakso yang biasa.

Rosa terus mengamati cowok itu membantu si anak kecil memotong-motong bakso besar di salah satu mangkuk dan menuangkan kecap. Ketika si anak minta sambal, si cowok melarang. “Entar mules!”

Barulah perhatian cowok itu kembali pada Rosa yang duduk di hadapannya. Mereka kembali berdiam-diaman dengan canggung. Rosa tidak biasa memulai percakapan. Untung si cowok berusaha, dan kali ini Rosa insaf untuk menjawabnya dengan bersungguh-sungguh.

Mengetahui bahwa sebenarnya Rosa kuliah Pendidikan Bahasa Jepang, cowok itu menegur, “Doro kara kita no?” Asalnya dari mana?

Rosa membelalak. Cowok itu bisa berbahasa Jepang! Sewaktu pertemuan pertama, memang Rosa menghindari wajah itu. Sekarang, kalau dilihat-lihat, dengan mata sipit dan kulit terang begitu, bolehlah dia dimirip-miripkan dengan orang Jepang.

“Karawang,” jawab Rosa.

“Oh. Bukan asli Bandung.”

Rosa mengangguk.

“Sama. Aku juga.”

“Dari Jepang?”

Cowok itu menyengir. “Sempet di sana. Tapi sebelumnya aku tinggal di Jakarta.”

Rosa mengangguk disertai senyum tipis.

Tanya jawab ringan berlanjut.

Shumi wa?” Hobinya apa?

Kanji o manabu.” Belajar kanji.

Suki na tabemono wa?” Makanan kesukaannya apa?

Shiranai.” Enggak tahu.

Begitu lancar, sampai-sampai ketika si anak minta dipotongkan bakso dalam mangkuk satunya, cowok itu cuma menoleh sedikit dan membisik—walaupun masih terdengar oleh Rosa—“potong sendiri, udah gede kan.”

Sampai,

Tsukiatteru hito, iru?” Sudah punya pacar?

Rosa mencerna, lalu tersipu, dan menggeleng. “Iie.” Belum.

Terepashii no chikara, arun da yo.” Aku punya kekuatan telepati lo.

“Eh?”

Baru saja cowok itu hendak mencoba kekuatan telepatinya, sekadar pertanyaan iseng, “Mau jadi pacar aku?” yang sampai ke kepala Rosa malah potongan bakso berikut kuahnya. Cowok itu sendiri terciprat namun refleks mengangkat lengan untuk menghalangi wajahnya.

Rosa mengejap-ngejap sementara poninya mengalirkan tetes-tetes kuah, sebagian meresap ke bagian depan baju putihnya.

Mata cowok itu bolak-balik antara panik pada Rosa dan murka pada si anak kecil, sebelum mencabuti tisu lalu menepuki gadis di depannya, mulai dari poni, wajah, dan lekas-lekas menarik tangannya begitu hampir menyentuh area dada.

“Adek …!” cowok itu mendesis kepada adiknya.

Melihat sorot anak itu yang hampir menangis lagi, dan demi menurunkan nada suara cowok itu, Rosa buru-buru mengucap dengan halus, “Enggak apa-apa.” Ia menarik beberapa lembar tisu untuk lanjut membersihkan bekas bakso.

“Minta maaf!”

“Katanya enggak apa-apa ….”

“Tetep harus minta maaf!”

“Kak Iki enggak mau motongin sih …. Kan susah …. Huaaa ….” Mulut anak itu terbuka lebar-lebar, menyuarakan tangis.

“Udah, udah, enggak apa-apa,” Rosa berusaha meredakan.

“Bilang maaf!”

“Maaf … Haaa ….”

Rosa menyeringai.

Cowok itu menjambret mangkuk anak itu ke dekatnya, memotongi bakso yang tersisa, lalu melahapnya, seraya menjaga pandangannya tetap ke samping—seakan-akan hendak menghindari anak itu dan Rosa. Anak itu menggoyang-goyang lengan cowok itu. “Itu bakso aku ….!” Namun si cowok mengedikkannya, terus mengunyah sampai tidak ada potongan daging yang tersisa dalam mangkuk. Entah kenapa Rosa merasa pemandangan ini sangat lucu. Ia mengulum senyum.

.

Agaknya masih merasa tidak enak dengan kejadian tadi, cowok itu menawarkan untuk mengantar Rosa pulang ke rumah indekos. Rosa mengiyakan. Cowok itu membawa motor. Si anak kecil duduk di depan.

Mereka memasuki daerah Gegerkalong. Rosa terheran ketika cowok itu menanyakan arah. Ia ingat sewaktu di telepon yang terakhir kali itu si cowok mengatakan tahu rumah indekosnya. Karena pernyataan bernada ancaman itulah, mau tidak mau Rosa berangkat pagi itu. Tapi Rosa diam saja, hanya mengarahkan sampai ke muka gang menuju rumah indekosnya.

Setelah Rosa turun dari motor, mereka bertukar senyum. Rosa terkejut ketika tahu-tahu tangan cowok itu menjangkaunya, rambutnya. Sontak matanya terpejam erat, bahunya naik, badannya berjengit agak ke belakang—disergap kewaspadaan yang sama dengan sewaktu pertemuan pertama mereka.

Ia baru membuka mata ketika dirasakannya tangan cowok itu telah terangkat dari rambutnya. Tampak wajah itu menyengir, kedua jari tangannya mengapit sepotong kecil seledri. Rosa mendengus lega, senyumnya melebar.

.

Rosa menceritakan pertemuan Minggu itu kepada temannya. Namun temannya curiga keduanya ternyata bukan kakak beradik.

“Jangan-jangan itu anaknya lagi, tapi diaku adik.”

“Masak sih,” gumam Rosa.

“Iya!” dan temannya pun menceritakan tentang si anu dan si itu yang kebablasan saat berhubungan semasa SMP atau SMA. “Apalagi tampangnya kayak bajingan gitu.”

Rosa meringis.

Enggak mungkin.

Tapi ia diam saja.

.

Sudah berkali-kali Rosa mengucek bajunya. Sudah direndam lama-lama dalam cairan pemutih, noda bekas bakso itu masih membandel juga! Rosa lelah. Dijemurnya pakaian itu, setelah kering diseterikanya.

Setelah membasuh mukanya bersih-bersih dengan air, keramas, mengeringkan rambut sebisanya, dan bersisir, Rosa mengenakan baju itu dan mematut diri di depan cermin.

Padahal waktu itu ia merasa penampilan begini sudah cukup. Tapi sekarang, ia menyadari wajahnya kurang pelembap dan bedak, bibirnya kurang lipgloss. Mungkin semestinya ia ganti sampo juga agar rambutnya terlihat lebih halus dan berkilau.

Lalu ia memerhatikan area dadanya. Ia meraba bekas noda itu: kenang-kenangan dari hujan telepon yang telah reda, mungkin kali ini untuk selamanya, menjadikan rumah indekos tenang kembali.

Terdengar dering telepon, cepat-cepat Rosa keluar kamar. Sudah ada yang mengangkat panggilan itu, yang rupanya bukan untuk dia.

Mungkin memang sebaiknya lain kali, setelah ia pulang ke Karawang dan minta lungsuran pakaian yang lebih baik dari kakaknya.

Jumat, 07 Februari 2020

Jagalah Kesehatan Mentalmu Sendiri!

Siang 2 Februari 2020, di Auditorium Rosada Balai Kota Bandung, ada acara talkshow bertajuk "How to Take Care Our Mental Health" yang diselenggarakan Pemuda Peduli Kesejahteraan Sosial Dewan Pimpinan Cabang Bandung. Sembari menunggu acara dimulai, pada layar di depan diputarkan sebuah film yang memotret penderita depresi. Benar saja, film tersebut dapat saya temukan di Youtube.


Film ini menarik sejak awal, karena si penderita depresi bangun tidur dengan riasan yang cukup tebal. Mungkin, saking depresi, ia sampai lupa atau terlalu malas untuk copot bulu mata sebelum tidur.

MC memeriahkan suasana dengan mengajak peserta berbagi pengetahuan mereka soal kesehatan mental. Ada yang berpendapat bahwa masalah kesehatan mental yang marak belakangan ini di antaranya disebabkan oleh media sosial. Ada juga yang menceritakan tentang temannya yang "depresian banget", mudah galau hanya karena hal kecil. Ketika ia berkunjung ke rumah temannya itu, rupanya keluarganya juga sama-sama "sensitif" dalam pengertian suka main bentak. Ia pun mencoba membawa si teman ke lingkungan yang positif, seperti komunitas.

Tujuan acara ini sendiri--menurut MC yang coba saya kemas dalam bahasa sendiri--yaitu hendak mensosialisasikan kepada para pemuda cara-cara untuk mengatasi permasalahan diri berikut upaya preventif terhadap gangguan mental. Memang tampaknya semua peserta yang hadir di ruangan yang hampir penuh ini berusia muda, mahasiswa atau pelajar. Memang pemuda lah yang rentan terkena penyakit mental. Dengar-dengar, kebanyakan orang yang bunuh diri berusia 15-29 tahun. Kesehatan mental itu sendiri diartikan sebagai ketenteraman batin sehingga dapat beraktivitas dengan baik.

Ketiga pembicara mewakili bidang yang berlainan tapi sama-sama mendukung kesehatan mental: 
  • Dr. Sri Maslihah, M.Psi, psikolog
  • Dorang Luhpuri, SIP, Ph.D, pekerja sosial profesional dan dosen, serta 
  • Nur Hikmah Maulidyah, pegiat komunitas ISmile4You
Jadi, sesungguhnya kesehatan mental itu bukan cuma urusan psikologi dan psikiatri, melainkan berbagai bidang seperti kesejahteraan sosial. Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial atau Politeknik Kesejahteraan Sosial--yang rupanya merupakan perguruan tinggi kedinasan berlokasi di Dago--seolah-olah menjadi "sponsor" acara ini. Ibu Dorang selaku salah satu pembicara adalah dosen di kampus tersebut. Demikian juga dengan mas moderator, yang ternyata duta mahasiswa kampus itu #ehem.

Dari sudut pandang psikologi

Pembicara pertama, Ibu Sri, yang notabene dosen Psikologi UPI, memberikan kuliah berjudul "Kesehatan Mental: Pengertian, Upaya Preventif dan Kuratif Berbasis Masyarakat". Beliau membuka dengan memutar cuplikan film yang cukup menghebohkan belum lama ini, Joker. Alhamdulillah, video tersebut juga bisa saya temukan di Youtube. 


Beliau lalu memaparkan tentang permasalahan kesehatan jiwa di Indonesia, contohnya yaitu banyaknya penderita skizofrenia yang tidak tertampung di rumah sakit jiwa.

Kemudian ada pengertian-pengertian. 

"Mental" diartikan sebagai cara berpikir dan berperasaan menurut nurani yang tecermin pada perilaku. Dalam dunia Islam, urusan "mental" ini agaknya menyangkut soal "hati". Kalau dalam istilah Aa Gym, sepertinya kesehatan mental berarti manajemen kalbu. 

Penggunaan kata "jiwa" masih banyak digunakan dalam urusan kesehatan mental. Misalkan, kesehatan mental disamakan dengan kesehatan jiwa, psikiater disebut sebagai dokter ahli jiwa, dan seterusnya. Ibu Sri menerangkan bahwa dalam dunia psikologi sendiri istilah "jiwa" sudah tidak digunakan, sebab rupanya "mental" tidak sama dengan "jiwa". 

Bagaimanakah orang yang sehat mental atau "normal" itu? Menurut WHO, yang diadaptasi ke dalam undang-undang atau peraturan pemerintah kita, kurang lebih berarti: dapat menyadari kemampuan sendiri, mengelola stres kehidupan yang wajar, bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta berperan dalam komunitas. Dikutip juga pendapat Assagioli (: psikiater Italia yang baru saja saya googling), yang menyatakan bahwa sehat mental berarti memiliki integritas kepribadian, keselarasan jati diri, pertumbuhan ke arah realitas diri, serta hubungan sehat dengan orang lain.

Sebetulnya ada banyak poin menarik lainnya yang hendak dijabarkan, apalagi yang bersifat praktis, seperti upaya keluarga/masyarakat, upaya pencegahan individual, cara yang tepat maupun yang tidak tepat dalam menangani, langkah-langkah untuk membantu, dan sebagainya. Sayang, saya tidak sempat mencatat semuanya. Satu yang paling saya ingat dari upaya pencegahan individual ialah dengan tetap berpartisipasi aktif dalam pergaulan serta melakukan aktivitas yang disenangi.

Dari sudut pandang kesejahteraan sosial

Kalau Ibu Sri cenderung menyorot kesehatan mental secara umum, Ibu Dorang agaknya mengkhususkan pada contoh kasus yang berat, yaitu skizofrenia. Skizofrenia bisa dibilang sebagai jenis penyakit mental paling berat. Penderitanya kerap mendapat julukan "orang gila". Belakangan, pemerintah tampak mulai mensosialisasikan sebutan yang menghaluskan, yaitu Orang dengan Skizofrenia (ODS) atau Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Sebelum Ibu Dorang memperkenalkan istilah tersebut kepada peserta acara ini, saya sudah pernah mendengar iklan layanan masyarakat di radio mengenai hal itu.

Siapa pun bisa menjadi ODGJ, akibat gaya hidup jaman now yang semakin sulit, sarat akan tekanan dan persaingan. Awalnya cemas, yang bila parah menjadi depresi, kemudian timbul halusinasi, dan akhirnya menderita skizofrenia; dari Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) menjadi ODGJ. Karena itu, Ibu Dorang bilang, unek-unek sekecil apa pun mesti dibuang secara ikhlas--seperti yang kita lakukan kala duduk atau jongkok di kloset. Ya, Ibu Dorang mengibaratkannya kurang lebih begitu--yang dalam tulisan ini saya kemas dalam bahasa sendiri. Memang penampilan pembicara satu ini sangat kocak, bak stand-up comedian.

Seperti yang sudah diangkat sedikit oleh Ibu Sri, banyak ODGJ yang tidak tertampung di rumah sakit jiwa (RSJ). Ada batas waktu mereka boleh berada di sana. Lewat dari itu, mereka dipulangkan ke keluarga masing-masing. Perawatan di RSJ mungkin kondusif bagi si penderita. Tapi, begitu kembali ke keluarga dan lingkungannya semula, kemungkinan ia kambuh. Sebab, boleh jadi penyebab dia mengidap gangguan tersebut adalah keluarga dan lingkungannya sendiri. Apabila keluarga dan lingkungannya tidak berubah, maka kesembuhannya pun sulit diharapkan.

Satu ODGJ dapat melumpuhkan tiga-empat anggota lainnya dalam keluarga. Tidak mungkin seorang ODGJ dapat pergi berobat sendiri, sehingga dia mesti diantarkan oleh anggota keluarganya, katakanlah ibunya. Jika ibunya mesti pergi mengantar si ODGJ, apabila mereka punya anak kecil, siapakah yang mengurusnya? Maka anggota keluarga yang lain mungkin mesti tidak masuk kerja agar bisa mengurus si anak kecil. Kira-kira begitu.

Dengan keadaan begitu, apabila dalam setiap desa terdapat 20-30 ODGJ, bisa dibayangkan dampaknya. Karena itulah, sesungguhnya gangguan mental merupakan fenomena gawat yang mengancam kesejahteraan bangsa.

Kalau psikiater memberikan obat, sedangkan psikolog terapi, maka pekerja sosial ambil bagian dalam aspek sosiologinya. Sayangnya, pekerjaan tersebut tidak dideskripsikan secara terperinci. Saya hanya bisa membayangkan mereka turun ke lapangan untuk memberikan penyuluhan, meninjau lingkungan, dan sebagainya, di samping berhubungan langsung dengan penyintas beserta perawat ODGJ yang memiliki komunitas tersendiri.

Ibu Dorang mencontohkan cara menangani ODGJ secara tepat, menurut yang diberitahukan oleh seorang penyintas kepada beliau. Yang pertama, kita harus memberikan mereka sentuhan, misalkan di bahu. Sentuhan tersebut untuk menyadarkan mereka pada kenyataan. Kita juga perlu memahami dunianya. Menurut penyintas, ODGJ melihat halusinasi berupa sosok-sosok yang mengoceh tidak keruan. Kita bisa berpura-pura ikut melihat halusinasi tersebut, dengan menyuruh sosok-sosok itu pergi atau berhenti mengganggu si ODGJ. Selain itu, kita mesti memastikan ODGJ patuh minum obat. Sering kali terjadi, di bawah kolong tempat tidur ODGJ ditemukan obat-obat yang tidak terminum. Padahal obat itu krusial sekali bagi pengidap skizofrenia, seperti insulin pada penderita diabetes.

Ibu Dorang juga memberikan langkah-langkah praktis lainnya, sebagai berikut:
  • Menjadi pendengar yang baik.
  • Menghindari stres, dengan selalu mengekspresikan perasaan kita kepada orang yang tepat.
  • Menemui orang yang tepat dan mencari bantuan apabila merasa ada tanda-tanda "tidak beres".
  • Memahami karakteristik ODGJ.
  • Menghindari stigma, yang sepertinya berarti tidak memberikan label negatif terhadap gangguan tersebut ataupun penderitanya.
  • Memberikan dukungan dan memenuhi hak penderita secara terkendali.
Dari sudut pandang komunitas

Pembicara berikutnya punya panggilan akrab Teh Umi. Ia pegiat komunitas ISmile4You, yang salah satu misinya (CMIIW) adalah membawa senyum sebagai perubahan positif. Komunitas ini memiliki tim pendengar (listener), yang merupakan orang-orang pilihan. Tim tersebut punya prinsip hear to listen, not listen to answer. Yang saya tangkap, "listen" berarti "memvalidasi emosi". Misalkan, ada orang yang curhat sama kita. Memvalidasi emosi dia berarti kita mengatakan bahwa kita memahami perasaannya, "tapi" ... kita mesti dapat menyertakan saran yang konstruktif.

Apabila ada orang yang mengatakan hendak bunuh diri, kita juga perlu mengenali penyebabnya. Soalnya, bunuh diri itu bisa dikarenakan beberapa faktor, yaitu biologis (yang berarti hormon serotonin di otaknya sedang turun atau tidak ada), psikologis, atau sosial. Dengan mengenai penyebab tersebut, sepertinya kita bisa memikirkan cara penanganan yang tepat. Misal, apabila penyebabnya biologis, boleh jadi dia perlu diberi zat tertentu yang mengandung hormon serotonin dan oleh karena itu membawanya ke psikiater mungkin tindakan yang tepat. Apabila penyebabnya psikologis, psikolog mungkin dapat menjadi sarana yang pas. Apabila penyebabnya sosial, mungkin kita perlu membawa dia ke lingkungan lain yang positif.

Menurut Teh Umi, yang katanya bersumber dari WHO, hanya perlu 40 detik untuk mengalihkan emosi. Misalkan, ada orang yang bilang hendak bunuh diri kepada kita. Dalam 40 detik itu, apabila diberikan cara yang efektif, dia dapat berubah pikiran.

Tidak banyak yang saya catat pada segmen ini, di samping tidak ada slide. Setelah saya googling, tampaknya sudah ada cukup banyak informasi tentang komunitas ISmile4You ini apabila masih penasaran.

Sesi tanya jawab

Bagaimana cara menangani teman yang punya masalah mental sementara teman-teman lain sudah pada menyerah dengan dia?

Kalau mau menyelamatkan orang lain, kita mesti terlebih dahulu melihat keadaan diri sendiri. Jangan sampai kesehatan mental kita sendiri terancam. Kalau masalahnya serius, sebaiknya langsung saja mendatangi pihak yang profesional. Cuma psikiater yang dapat mendiagnosis apakah seseorang memang mengalami depresi.

Kampus tertentu seperti Universitas Padjajaran (Unpad) dan Politeknik Kesejahteraan Sosial menyediakan layanan konseling. Untuk Unpad yang berada di Jatinangor, layanannya khusus untuk mahasiswa dan tidak berbayar. Layanan dari Unpad yang berbayar tampaknya bisa diakses masyarakat umum, letaknya di Dago, dekat Hotel Jayakarta. Apabila memerlukan psikiater (berbayar), bisa mendatangi Grha Atma di Jalan Riau 11.

Apakah dibentak-bentak dalam masa orientasi siswa baru dapat memengaruhi kualitas mental?

Menurut Teh Umi, tidak ada penelitian bahwa bentakan dapat memberikan manfaat.

Adakah cara coping yang bukan dengan menghindari, melainkan menyelesaikan?

Ada berbagai cara untuk coping, dari mulai berkompromi sampai menarik diri. Bahkan memaafkan pun termasuk cara coping. Satu cara yang baik dicoba adalah assertive training, yang berarti meraih kemampuan untuk menyampaikan secara apa adanya namun proposional dan santun, tanpa merendahkan orang lain ataupun diri sendiri.

Simpulan dan kaitan dengan pengalaman pribadi

Kesehatan mental merupakan isu yang menarik buat saya pribadi. Sebelum isu tersebut ramai di media, saya sudah penasaran untuk mendatangi pihak yang profesional. Ketika saya benar-benar mengalami suatu masalah yang tidak dapat saya tanggung lagi sendiri, saya pun mencoba mencari informasi.

Singkat cerita, dalam kurun waktu tertentu, saya mendatangi dua tempat. Di satu tempat, saya menemui seorang psikolog sampai beberapa kali. Tempat yang lain yaitu Jalan Riau 11. Sewaktu saya masih kecil, lokasi yang kedua ini kerap menjadi bahan olokan anak-anak karena identik dengan "rumah sakit jiwa". Memang, kalau tidak salah, Grha Atma merupakan nama baru untuk menghaluskan stigma yang kurang enak itu.

Di Grha Atma, saya menemui psikiater beberapa kali dan psikolog satu kali. Terus terang, saya tidak meneruskan datang di samping karena keterbatasan biaya, juga karena meragukan efektivitasnya. Sebenarnya, biaya untuk psikiater dan obatnya cukup murah. Obat yang mahal paling-paling yang sejenis mood stabilizer, tapi dalam kunjungan berikutnya resep saya diganti sehingga tidak perlu membelinya lagi. Yang lebih mahal justru psikolognya, untuk terapi, tes, dan segala macam.

Meski begitu, pengalaman tersebut bukan berarti tidak berharga sama sekali. Sedikitnya, saya jadi mendapatkan gambaran akan cara kerja mereka. Saya juga mengamati dan menguping percakapan atau gerak-gerik pasien lain yang cukup "unik". Ada yang bicara sendiri, seolah-olah ada makhluk kecil di depannya. Ada yang sedikit-sedikit meledak sambil memaki-maki. Ada yang mengaku kembali mendengarkan suara-suara setelah lama tidak, dan ia menyebutnya sebagai "suara Tuhan".

Selain itu, obat-obatan yang diberikan psikiater agaknya memang memiliki efek tertentu yang walaupun tidak sesuai dengan harapan, namun secara tidak langsung memberikan hasil yang di luar dugaan. Bingung? Intinya kurang lebih, setelah sekitar dua bulan saya berhenti minum begitu saja, mengalami efek yang luar biasa, sehingga menimbulkan perubahan tertentu dalam hidup saya.

Setelah menceritakan pengalaman ini secara garis besar kepada teman-teman, tidak disangka, ada beberapa di antara mereka yang kemudian bertanya lebih lanjut. Tampaknya diam-diam mereka juga memiliki masalah dan penasaran ingin meminta penjelasan atau bantuan dari pihak lain. Saya hanya bisa memberitahukan tentang tempat-tempat yang pernah saya datangi, serta saran untuk mengunjungi psikolog terlebih dahulu alih-alih langsung ke psikiater. Kepada psikolog, barulah kita bisa menanyakan apakah masalah kita perlu sampai dikontrol oleh obat. Soalnya, kemungkinan psikiater pasti akan memberikan obat yang belum tentu cocok untuk kita. Saya sendiri sempat mengalami semacam efek samping sehingga memeriksakan diri lagi ke puskesmas dan diberikan obat lainnya.

Selain itu, mendatangi pihak yang profesional sudah pasti membutuhkan biaya. Kemungkinan masalah kita tidak akan terpecahkan hanya dengan sekali kunjungan. Boleh jadi mereka akan menganjurkan kunjungan berkelanjutan, yang berarti pengeluaran terus-terusan. Meski begitu, kalau ada rezeki, bisa saja kita coba datang barang sekali-dua kali sekadar untuk memupus penasaran. Hanya saja, persiapkanlah mental yang kuat kalau-kalau tanggapan dari mereka justru malah semakin menjatuhkan alih-alih mengangkat. Aneh, bukan? Kita mendatangi mereka karena merasa mental kita bermasalah, tapi untuk mendatangi mereka kita perlu mental yang kuat.

Nah, pengalaman pribadi saya tersebut adakalanya relevan dengan yang diungkit dalam talkshow ini. Misalnya, ketika Ibu Dorang mengungkapkan bahwa banyak pasien yang tidak berobat karena berasal dari keluarga berpenghasilan rendah. Pihak yang profesional pun tidak memiliki kesempatan untuk mengulik permasalahan kita sampai ke akarnya. Padahal, bisa jadi yang bermasalah itu bukan hanya si penderita, melainkan juga lingkungannya (dan di sinilah peran pekerja sosial).

Atas kenyataan itulah, penting untuk bisa menjaga kesehatan mental pribadi. Tapi, bukan berarti kita hanya mengurus diri sendiri. Secara langsung atau tidak langsung, boleh jadi kita sendiri berperan terhadap kesehatan mental orang lain. Mungkin saja, tanpa disadari, kita memiliki perilaku yang menjadi sumber tekanan batin bagi orang lain. Para pembicara talk show ini pun berpesan agar tidak meninggalkan mereka yang tidak mampu mengatasi masalahnya sendiri, sebab kitalah harapan mereka. Jadi, sepertinya kita perlu saling menjaga.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain