Kamis, 23 Juli 2020

Melepas Kebergantungan pada Lampu Meja/Remang-remang

Di blog ini, saya merekam kesan tertentu yang ditimbulkan beberapa benda terhadap diri saya, mulai dari laptop Axioo, kue D'asse, seblak Umi Keriting, sampai scanner Canon. Benda-benda itu hanya cuilan remah dari semesta nikmat dunia yang tidak dapat saya peroleh lagi, entah karena sudah tidak berfungsi, jarang dijual, atau apa. Sepertinya ini menunjukkan kelekatan saya terhadap materi, di samping yang berupa kebutuhan pokok--pastinya. Maksudnya, benda-benda yang saya sebut itu sepertinya tergolong pada kebutuhan sekunder, malah mungkin tersier? Yang tanpa itu, saya masih dapat bertahan hidup serta menemukan alternatif, entahkah dalam bentuk barang lagi atau aktivitas lain.

Baru-baru ini, saya kehilangan nikmat atas satu barang lagi, yaitu lampu meja atau lampu remang-remang. Maksudnya adalah lampu yang ditaruh di meja dan dapat menyalakan cahaya remang-remang. Lampu ini berguna saat malam. Misalnya, apabila lampu yang ada di langit-langit dirasakan terlalu terang untuk beraktivitas dan setelahnya mengakibatkan sulit tidur. Misalnya lagi, saat entah kenapa rasanya takut tidur dalam kegelapan total. Misalnya lagi, sebagai peralihan dari lampu langit-langit ke gelap total atau sebaliknya; sebab tanpa peralihan itu, mata bakal kaget dari terang banget ke gelap sekali atau sebaliknya.

Lampu meja yang saya gunakan bukan saya sendiri yang membeli. Ayah saya membelinya untuk ditaruh di setiap meja yang ada di setiap kamar di rumah. Namun, lampu-lampu itu kemudian jarang difungsikan dan hanya menjadi penadah debu.

Saya ingat mulai bergantung pada lampu meja saat kuliah. Saat itu saya menumpang tinggal di rumah bulik. Di kamar yang disediakan buat saya, terdapat lampu yang dipasang di atas meja. Lampu itu saya nyalakan untuk menemani tidur. Sebab entah kenapa saya merasa takut tidur dalam kegelapan total di kamar itu.

Kebiasaan ini berlangsung hingga saya pindah tinggal di kos. Saya minta dibawakan salah satu lampu meja yang ada di rumah. Sejak itu, rasa-rasanya saya selalu tidur dengan lampu meja menyala. Sepertinya, kebiasaan takut tidur dalam kegelapan total terbawa sampai ke kamar kos itu.

Kemudian, saya pindah tinggal lagi ke rumah bude. Nah, pada waktu ini, saya meninggalkan kebergantungan pada lampu meja. Kondisi rumah bude membuat saya tidak merasa takut tidur tanpa lampu meja. Malah, saya selalu tidur dengan pintu kamar terbuka lebar. Yah, begitulah.

Setelah menyelesaikan kuliah, saya kembali tinggal di rumah bersama orang tua. Saya mulai menggunakan lampu meja lagi, tapi kali ini seperlunya saja. Saya mulai berani tidur dalam kegelapan total, padahal kamar saya letaknya di sudut--lantai dua pula. Malah, cahaya sedikit saja rasanya mengganggu. Lampu meja saya nyalakan hanya ketika tidak bisa tidur saat malam dan ingin menulis sejenak sebelum mencoba tidur kembali.

Di samping itu, ada pikiran untuk menghemat energi. Tidur dalam kegelapan total sepertinya lebih baik daripada dalam keremangan. Selain diri dapat beristirahat total, juga tidak keluar biaya listrik alias hemat energi. Kan.

Beberapa tahun ini, lampu meja sangat saya andalkan untuk mengatasi susah tidur saat malam. Adakalanya saya terus beraktivitas saat malam diterangi lampu langit-langit yang sangat terang itu. Dugaan saya, lampu yang sangat terang itu bikin diri ini terkondisikan untuk terus aktif. Akibatnya, saya terus terjaga sepanjang malam sampai lelah dan baru tidur saat pagi. Itu pola hidup yang tidak saya kehendaki. Untuk mengubah pola itu, begitu hari gelap, saya nyalakan saja lampu remang-remang. Aktivitas pun biasanya sekadar membaca dan menulis diterangi lampu itu.

Belakangan, ketika entah kenapa saya mulai kembali tidak nyaman tidur dalam kegelapan total, lampu remang-remang itu terus saya nyalakan sepanjang malam. Baru hari-hari ini saya mematikannya lagi saat hendak tidur karena terpikir soal listrik.

Nah, pada subuh kemarin, ketika saya baru bangun dan hendak menyalakan lampu itu, tiba-tiba saja seperti ada yang meledak(?). Lampu menyala cuma sekejap, setelah itu ngejepret (saya enggak tahu bagaimana mengatakannya secara baku, wkwk) dan aliran listrik di rumah pun padam total. Saat itu juga ayah saya baru bangun dan menyalakan kembali pusat listrik(?) (ah, enggak tahu lagi apa istilahnya!) di rumah sehingga kembali ada cahaya tapi tidak dengan lampu saya. Saya mencoba mencolokkannya berkali-kali ke lubang listrik, tapi tidak ada hasil. Jangan-jangan bohlamnya sudah isdet? Saya menggantinya dengan yang baru; hasilnya sama saja.

Pagi ini, saya mencari lampu meja lainnya di rumah. Mudah-mudahan masih ada yang berfungsi. Tapi, dari beberapa yang ada, tidak satu pun yang dalam kondisi baik. Ada yang kabelnya sudah putus. Ada yang dudukan bohlamnya entah ke mana.

Saya menemukan satu yang tampaknya masih baik, walaupun ukurannya jauh lebih besar daripada yang ada di meja kamar saya. Saya pun mencobanya, dan, ... lagi-lagi ngejepret. Saya mencoba menyalakannya beberapa kali lagi dengan menggonta-ganti lampu, tanpa sadar bahwa aliran listrik di rumah sudah kembali padam total .... Saya baru menyadarinya ketika ibu saya mengeluh mati lampu.

Saya curiga, setelah ngejepret itu, kejadian lampu ini sama dengan lampu di kamar saya, yaitu sudah tidak bisa dinyalakan lagi. Ada sesuatu yang salah di dalamnya, yang tidak saya mengerti. Mungkin lampu ini sudah mencapai batas masa pakainya, seperti yang terjadi dengan scanner Cannon waktu itu. Saya ingin memeriksakannya ke tempat servis barang elektronik terdekat, tapi belum ada biaya. Haha.

Maka, saya berpikir bahwa sebetulnya ini bukanlah urusan yang urgen. Untuk membaca sebelum tidur, saya bisa menggunakan lampu yang ada saja--yaitu lampu langit-langit. Memang rasanya terlalu terang, tapi toh sebetulnya membaca dalam penerangan remang-remang itu, apalagi kalau berupa majalah lawas yang huruf-hurufnya kecil padat, adakalanya bikin sakit mata. Cuma saya berharap penggunaan lampu langit-langit ini tidak akan menggeser pola tidur saya lagi.

Yang jadi persoalan adalah apabila saya mau yoga dulu sebelum tidur. Gerakan-gerakan yoga sebelum tidur itu banyak rebahannya, sehingga mata terarah pada lampu langit-langit yang menyilaukan itu. Enggak rileks dong, malah mengingkari tujuan dari melakukan yoga itu sendiri. Maka semalam saya coba melakukannya dalam kegelapan total saja. Tapi, saya melakukan yoga dengan panduan video YouTube. Walaupun tingkat kecerahan tablet sudah saya turunkan sampai mentok, tetap saja cahayanya menyengat mata.

Yah, begitulah. Saya menyadari bahwa ini keluhan yang teramat sepele (kayak enggak ada masalah yang lebih berat aja dalam hidup lu), yang sekaligus menunjukkan kebergantungan saya pada suatu benda materi nonesensial. Kalau ingat pada tren minimalisme yang lagi hip belakangan, bolehlah dengan tidak berfungsinya lampu meja ini menjadi kesempatan bagi saya untuk melepaskan kelekatan pada suatu benda atau istilah kerennya: decluttering. Seorang minimalis (tingkat advance) tentunya tidak akan memandang lampu meja sebagai kebutuhan yang hakiki, bukan? Dan ia akan fine-fine saja yoga dalam kegelapan total.

Eh, tapi kalau suatu saat ada rezeki, tetap saja saya penasaran membawa lampu meja ini ke tempat servis barang elektronik terdekat.

Sabtu, 18 Juli 2020

Mengajar Matematika kepada Balita

Mengajarkan matematika kepada anak balita sebenarnya mudah, bahkan para ibu telah melakukannya, seperti melalui pertanyaan, "Ada berapa telingamu?", yang dijawab kemudian, "Dua, Bu!" Hanya saja banyak ibu yang kurang atau tidak mengetahui manfaatnya terhadap perkembangan balita setelah masuk sekolah, hingga dilakukan secara sambilan atau asal ada waktu saja.

Para psikolog sependapat, substansi matematika yang dikuasai balita dapat mempengaruhi kemampuannya menghadapi mata pelajaran matematika setelah masuk sekolah. Ini harus diyakini, agar para ibu terangsang untuk mengajarinya sedini mungkin.

Caranya beragam. Jika tidak mampu menemukannya, dapat menanyai ahli pendidikan balita. Bahannya juga banyak serta dapat dicari yang sesuai dengan perkembangan usianya. Sebagai pembuka cakrawala, berikut ini disajikan 5 buah contohnya secara berangkai:

1. Usia 1 tahun

Menyebut deretan angka secara bertahap di hadapannya sambil melakukan gerakan badan, seperti menari-nari. Dalam 3 bulan kesatu menyebut "1 s/d 5", 3 bulan kedua menyebut "1 s/d 10", hingga 3 bulan keempat menyebut "1 s/d 20". Anak tidak perlu disuruh mengulanginya. Asal sudah terdengar dengan jelas, sudah cukup. Ini dilakukan secara berulang, tapi dengan selisih waktu yang tidak terlalu dekat. Misalkan pukul 08.00, 10.00, 12.00, dst. Sedangkan jarak waktu antara angka, cukup 2 detik saja. Gunanya, agar anak dapat menangkap makna tiap angka yang disebutkan.

2. Usia 2 tahun

Menyuruh anak menyebut angka secara bertahap. Tiap tahap cukup 2 angka saja hingga dalam 1 tahun sudah dapat menyebut "1 s/d 20". Ini akan lebih berhasil jika dilakukan dalam suasana gembira dan pikiran segar, seperti setelah mandi dan makan. Dapat juga dengan menjanjikan hadiah setelah anak dapat menyebut angka hingga tertentu. Misalkan, "Tono kini sudah dapat menyebut 1 s/d 3". Tapi jika Tono dapat menyebut 1 s/d 6, Tono akan diberi hadiah".

3. Usia 3 tahun

Anak sudah banyak mengenal anggota tubuhnya. Saat itu dapat ditanyakan jumlahnya masing-masing di mana dia akan menjawab setelah anggota tubuhnya yang bersangkutan dirabanya sambil dihitungnya. Misalkan Ny. Ida bertanya, "Ada berapa jari tanganmu?", kemudian dijawab oleh Eddy, "Sepuluh, Bu."

Tentu saja diawali dengan menanyakan anggota tubuh yang diperkirakan telah diketahuinya secara jelas. Menanyakan jumlah bahu kepadanya biasanya lebih sulit dijawab daripada menanyakan jumlah kaki, karena popularitas kaki di kalangan balita lebih tinggi daripada popularitas bahu.

4. Usia 4 tahun

Menyuruh anak menghitung benda yang ada di sekitar rumah. Misalkan, "Coba hitung, ada berapa pintu di rumah ini?" Nanti akan berkeliling rumah sambil menghitung pintu.

Tentu saja ini diawali dengan benda yang jumlahnya sedikit. Kemudian berlanjut dengan jumlah yang lebih banyak.

Ini akan lebih berhasil jika ditunggangi oleh kebutuhan ibu. Artinya, menyuruh anak menghitung bantal, misalnya, juga ditunggangi oleh keingintahuannya akan jumlah bantal yang ada.

5. Usia 5 tahun

Anak umumnya sudah dapat berbelanja. Secara psikologis, anak cenderung melakukan pengawasan, dalam arti, menghindari sedapat mungkin dari keadaan yang merugikannya, seperti kesalahan pengembalian uang belanja. Karena itu, mengapa anak setelah menerima pengembalian uang dari pedagang selalu ingin menghitung kembali.

Ini dapat dijadikan kesempatan untuk mengajarkan matematika dengan cara menanyakan sisa uang belanja. Misalkan, "Dody, ini, ibu memberi uang sebanyak 150 rupiah. Tapi hanya boleh dijajankan sebanyak 100 rupiah saja. Sisanya ditabungkan, ya?"

Dody akan menghitung, "Oh, berarti uang yang harus ditabung sebanyak 50 rupiah."

Para ibu tidak terlalu terikat dengan urutan contoh di atas jika anak memang mempunyai kecerdasan yang melampaui rekan-rekannya sebaya. Untuk mengajarkan matematika kepadanya dapat menggunakan bahan yang lebih rumit. Misalkan, meloncat dari point 1) ke point 3), meskipun usianya masih 2 tahun. (Nasrullah)



Sumber: Suara Karya, 10 Oktober 1991

Jumat, 10 Juli 2020

Risky dan Gambar Wanita tanpa Baju

Dari belakang, Risky terlihat sibuk: lengannya bergerak-gerak, seperti yang sedang mengotret soal. Kalau ditelongok, rupanya memang dia sedang menggambar bangun-bangun geometri.  Tapi, ia bukannya sedang berkutat dengan matematika, alih-alih ia mencoba membuat sketsa secara proporsional. Berhati-hati sekali ia menarik garis-garis sehingga membentuk lekukan-lekukan tegas tapi halus. Bersyukur tangannya masih tahu caranya sejak terakhir kali menggambar beginian sewaktu SMA. Belakangan paling-paling yang ia buat hanya robot, kesatria baja hitam, atau Power Ranger untuk menyenangkan adiknya.

Set-set-set—uwah! Risky mematut-matut hasil karyanya, mengerutkan kening dan mencibir. Memang ia tidak pernah hendak mengklaim diri sebagai seniman. Yang penting … cukuplah!

Ia memisahkan lembar A3 itu dari buku gambar secara berhati-hati, lalu menempelkannya di atas kepala tempat tidur. Dengan begini, begitu Mama membuka pintu kamarnya nanti pagi—tinggal beberapa jam lagi—akan langsung terpampang gambar itu. Risky menyeringai.

.

Hobinya bermula di SMA. Dilanda bosan sementara guru berceloteh di depan kelas, Risky mencoret-coret bagian belakang buku tulis. Awalnya tidak ada bayangan, tapi lamat-lamat ia tahu yang dapat membangkitkan gairahnya. Berkelebat cuplikan-cuplikan gambar dari majalah kepunyaan Shigeo. Orang itu kawannya semasa tinggal di Jepang. Usianya sekitar 3,5 lebih tua daripada Risky, dan kerap mengajak dia bermain ke rumah. Waktu itu Risky masih siswa SMP, sedangkan Shigeo sudah SMA. Masih segar di ingatan Risky kala Shigeo mengangkat kasurnya lantas tampaklah majalah berserakan. Risky mengambil asal saja, melongo hanya dengan melihat kovernya—apalagi dalamnya. Dari membaca cerita-cerita pendek di koleksi itulah, penguasaan bahasa Jepang Risky tambah lumayan. Sejak itu, dunianya tidak pernah sama lagi.

Risky ingin beli sendiri yang begituan di toko dekat rumah, tapi takut ketahuan orang tua. Sepulangnya ke Indonesia seusai tugas belajar Papa di Jepang, mendapatkan yang begituan tambah susah. Kalaupun ada, modelnya masih pada berpenutup barang sehelai-dua helai—dan tetap Risky merasa riskan membawanya pulang. Padahal, Risky baru saja menemukan potensinya, hendak mengeksplorasi sensitivitas artistiknya. Karena itu, ia membutuhkan berbagai contoh gambar untuk bahan belajar. Jadilah, Risky mengandalkan ingatannya saja.

Gambarnya jadi, disusul gambar yang lain. Inginnya sih setiap pose yang masih melekat jelas di ingatannya itu—yang kadang malah sampai bergerak-gerak—bisa ia pindahkan ke kertas. Susah memang, apalagi tanpa menguasai dasar-dasar anatomi. Satu gambar saja membuat meja penuh kotoran penghapus. Garis-garisnya pun tampak kaku sebab ia lebih sering bikin robot. Tapi, Risky tak memusingkan aneka hambatannya itu. Sembari berusaha menghidupkannya di kertas, sekalian menghidupkan gambar itu di dalam kepalanya.

Anak-anak yang duduk di sekitarnya mulai melirik.

“Bisaan gambarnya,” puji mereka.

“Bikinin dong,” ada yang meminta.

Risky menyerahkan gambarnya yang sudah jadi, tanpa keberatan untuk mengulang kesusahan dan kepayahan membikin yang baru, membeli penghapus baru.

Hari-hari di SMA pun menjadi tertahankan, sementara harem meramaikan buku tulisnya.

“Bikinin yang wajahnya mirip si ini dong,” pinta temannya.

Risky pun tersadarkan bahwa semua wanita di haremnya berwajah serupa. Berlatih anatomi itu satu soal, dan mengarang wajah itu soal lain.

Omong-omong soal wajah cewek, sesungguhnya ada satu yang seketika terbayang di benak Risky. Bukan “si ini” yang disebutkan temannya itu, melainkan sebut saja sebagai “si anu”. Memang ide bagus memasangkan wajah si anu dengan salah satu pose favoritnya.

Baru saja Risky bereksperimen dengan wajah si anu, terjadi kehebohan di sekolah. Anak-anak mengerubungi mading. Sebelum datang guru mengamankan barang bukti penyebab keriuhan, masih sempat Risky melihatnya: gambar buatannya.

Anak-anak bubar dan begitu bersitatap dengan dia: cewek-cewek berpaling jijik, cowok-cowok menyengir geli. Setiap cewek yang melewati dia menjaga jarak seraya menyelamatkan muka, seakan-akan kalau berdekatan sedikit saja mereka akan dijadikan objek berikutnya.

Di antara cewek-cewek itu ialah si anu. Sebenarnya, cuma si anu yang Risky lihat, yang seolah-olah mewakili semua cewek yang ada di dunia.

Tidak mengherankan bila kemudian Risky dipanggil ke ruang guru. Pertama, karena gambar yang telah diperlengkapi dengan nama dan kelasnya—yang mestilah diperbuat oleh salah satu anak yang duduk di sekitar bangkunya. Kedua, karena menonjoki anak-anak yang duduk di sekitar bangkunya.

Guru yang menangani dia ada dua orang. Guru yang wanita bersikap keras sekali. Setelah merasa cukup memberikan peringatan, ditinggalkannya Risky bersama guru yang pria.

Beberapa saat lalu, seakan-akan menunggu keadaan lebih kondusif. Guru yang pria bersikap pengertian. “Kalau suka gambar cewek, setidaknya pakaikan baju.”

Risky yang selama itu diam saja perlahan-lahan menatap pak guru; padangannya takjub seakan-akan itu gagasan yang tidak pernah terpikirkan oleh dia.

“Enggak bisa gambar baju, Pak,” sahut Risky pelan.

“Ya, belajar.”

Risky menunduk dan membisu, lalu, “Tapi,” diam lagi.

“Tapi?” dorong pak guru, yang berangsur-angsur jadi desak.

“Tapi,” Risky ragu, “saya enggak cita-cita jadi modiste, Pak.”

“Memangnya cita-cita kamu apa?”

Cita-citaku … apa …?

.

Sejak itu, Risky tidak hendak kembali ke sekolah. Pergi dari rumah saat pagi, ia pakai baju seragam sekolah menuju tempat umum yang ada kamar kecilnya. Di situ ia berganti pakaian bebas, lalu keluyuran ke toko buku, toko mainan, menonton bioskop, bermain dingdong, ke mana saja sampai uangnya bersisa sedikit atau habis sama sekali. Kalau masih belum waktunya pulang sekolah, ia mencari tempat yang nyaman seperti masjid, perpustakaan, atau restoran untuk duduk membaca atau menggambar.

Begitu terus sampai akibat yang tidak terelakkan: ganti orang tuanya dipanggil guru.

Dimarahi saja tidak mengubah sikap Risky. Terpaksa orang tuanya memindahkan dia ke SMA lain, yang mau tidak mau reputasinya kurang. Paling tidak, Risky mau kembali bersekolah.

Tapi, tidak banyak murid sekolah itu yang hendak (atau lebih tepatnya: mampu dalam berbagai hal) melanjutkan ke perguruan tinggi negeri, sedangkan orang tua Risky berharap si anak dapat menuruti jejak mereka.

Sayang, Risky baru insaf setelah menggagalkan UMPTN.

Untung UMPTN bisa diulang. Risky tidak hendak menyia-nyiakannya lagi. Karena itu, ia mesti menebus waktu belajar yang dulu malah dipakainya untuk “proyek seni” dan membolos. Ia memutuskan untuk belajar sepenuh waktu demi menembus UMPTN selanjutnya.

Semestinya orang tuanya mendukung dia. Tapi, sedikit-sedikit,

“IKIII …!”

Mama membuka pintu kamarnya.

Dan, tanpa tahu bahwa Risky baru saja hendak beristirahat setelah semalaman mempertanyakan apa itu “gradien”, apa itu “absis”, apa maksudnya “gradien garis singgung grafik fungsi y = f(x) adalah y’ = f’ (x) sama dengan dua kali absis P (x, y)”—yang tidak kunjung berujung pemahaman … “Tidur melulu! Katanya mau belajar?!” atau,

“Belajar terus, apa enggak jenuh? Main dulu sana sama Adek,” yang maksudnya adalah menyuapi makan bocah itu, atau,

“Cuci piring dulu gih, biar seger,” atau,

“Mau jajan enggak? Mama sekalian titip bawang merah, bawang putih, tempe, tahu, bayam, garam, cabe ….”

Risky menghitung-hitung: dalam sehari lebih banyak kekerapan Mama masuk ke kamarnya ketimbang jumlah soal yang berhasil dia pecahkan tanpa mengintip pembahasan sama sekali.

Pengalaman telah mengajarkan Risky cara menjauhkan diri dari wanita. Ini saatnya Risky kembali mengasah sensitivitas artistiknya.

“RISKY! APA-APAAN SIH KAMU?!”

Kepala Risky berputar malas, ke arah Mama yang menunjuk-nunjuk gambar di atas kepala tempat tidur. Ia sendiri sedang duduk di meja belajar, berlagak mengerjakan soal padahal sedang merenungkan suramnya nasib. Kepalanya berputar lagi ke depan. Pendengarannya menangkap langkah-langkah Mama; kertas yang direnggut, digumalkan, dan entah.

.

Selagi menggambar yang baru, Risky berpikir-pikir apakah sebaiknya ia memilih jurusan seni  ketimbang teknik. Tapi ia tidak merasa begitu nyeniman. Ia hanya suka mencoba-coba menyatakan yang ada di benaknya dengan cara yang ia bisa—yang menurutnya tak cukup memadai untuk dianggap sebagai bakat—sembari mengkhayalkan kehangatan meruap dari permukaan kertas yang pura-puranya kulit tak berlapis barang sehelai benang pun itu.

Setelah jadi, gambar itu dipasangnya di tempat yang sama. Gambar yang sebelumnya itu hanya pemanasan, masih malu-malu. Gambar yang kali ini tentu saja mulai menantang, sudah menampakkan sedikit bulu.

Cabut saja terus gambarnya, hahaha, dan semakin besar pertimbangan Risky untuk melayap ke jurusan seni sebab teknik sepertinya tak akan tergapai.

Memang Mama tambah panas. Setelah beberapa gambar yang semakin berasap saja, yang cuma ditanggapi Risky dengan mengedikkan bahu seraya mengguratkan angka-angka acak di kertas biar terlihat seperti yang sedang mengerjakan soal, ganti Papa yang masuk ke kamar.

Papa diam saja memandangi sosok dalam gambar itu, yang kini sudah mengangkang selebar-lebarnya. Sisi baiknya, untuk menggambar bagian itu secara mendetail, Risky mau tak mau sekalian membuka buku pelajaran Biologi bab reproduksi. Sisi buruknya, Risky rikuh sendiri karena lamanya Papa mematung dengan mata terpancang pada gambar itu, selayaknya guru Biologi yang sedang mengoreksi kertas jawaban ulangan.

Lalu, kata Papa, “Si Adek suka masuk kamar.”

Memang betul kata Papa. Sekarang pun si Adek, yang tadinya lagi berguling-guling di karpet kamar Risky sembari memainkan robot, ikut-ikutan tegak di samping Papa dengan raut bertanya-tanya.

Cuma itu yang Papa katakan. Tinggal Adek yang memandangi gambar itu, seakan-akan tidak sadar bahwa Papa telah keluar dari kamar.

“Kakak, kenapa itu enggak pake baju?” kata adiknya.

“Biarin,” sahut Risky yang sudah kembali menghadap meja belajar, kali ini telah menemukan soal yang sepertinya cukup mudah.

“Enggak dingin?”

“Enggak.”

“Nanti masuk angin?”

Enggak,” tukas Risky agak menggeram.

Lalu diabaikannya si Adek. Sebab, soal-soal berikutnya lumayan juga. Kalau sudah larut begitu, soal-soal sulit yang biasanya jadi penghambat pun ia loncat saja sampai menemukan soal mudah berikutnya. Sampai-sampai tidak terdengar suara-suara di belakangnya: si Adek disuruh sikat gigi, tidur ….

Konsentrasi Risky baru terpecah oleh aroma hangat yang dia akrabi, yang biasa terhirup olehnya pada waktu-waktu si Adek selesai mandi. Risky menoleh, dan mendapati adiknya menurunkan kaki dari tumpukan bantal di kepala tempat tidur. Botol minyak telon di tangan.

Serta-merta mata Risky berlari pada gambar di atasnya.

BUSET.

Gambar yang sudah menghabiskan setengah penghapus baru yang dia garap demi menjengkelkan Mama itu … kini ….

Risky mencabut gambar itu dari dinding, merenyukkannya sampai jadi bola, lalu menimpukkannya ke kepala si Adek.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain