Sabtu, 20 Maret 2021

6. SALADIN

Pada UMPTN sebelumnya, Risky memilih jalur IPC. Sebenarnya, karena ia tidak tahu mau kuliah di jurusan apa, ia mengikuti jurusan kuliah orang tuanya dahulu: Papa di Teknik Fisika ITB, dan Mama di Hubungan Internasional Unpad.

Tapi, walaupun sudah mendaftar ke jalur IPC, persiapan Risky untuk tes bidang ilmu sosial hanyalah berupa satu buku kumpulan soal UMPTN jalur IPS, satu buku RPUL, satu buku pintar Iwan Gayo, serta koran dan majalah berita yang sesekali dibawa pulang papanya.

Sekarang, ketika memikirkannya, Risky menyadari tidak benar-benar tertarik mengikuti jurusan kuliah Mama. Lagi pula, sewaktu SMA, ia sendiri mengambil jurusan IPA. Ia masih lebih tertarik mengutak-atik rumus ketimbang menghafal. Ia akan fokus pada bidang IPA saja.

Risky pun mengumpulkan semua buku Matematika, Kimia, Fisika, dan Biologi semasa SMA, membacanya mulai dari kelas satu, berusaha memahaminya, sulit mengerti, tidak mengerti, frustrasi, berhenti, dan beralih pada hal-hal lain sampai semangatnya pulih. Lalu ia coba membaca lagi, membaca dari awal sampai akhir setiap buku tanpa peduli ada yang masuk atau tidak, seperti membaca novel. Setiap tamat satu buku, ia mengingat-ingat yang baru saja dibacanya. Sedikit sekali. Tapi lelah. Ia membaca ulang, barangkali ada lebih banyak yang masuk. Tapi ia keburu muak. Ia menepikan buku-bukunya, mengambil selembar kertas, menarik garis-garis, lalu menuliskan materi apa saja yang menurutnya relatif mudah dari tiap-tiap pelajaran. Selebihnya, atau materi yang sulit, terlalu banyak untuk dituliskan. Kalau begini, ia hanya bisa mengerjakan beberapa persen saja dari keseluruhan soal UMPTN. Kalau ia berfokus pada yang mudah saja--itu pun tingkat kemudahannya relatif!--kecil kemungkinan ia dapat lolos dari kompetisi yang ketat ini. Ia harus menguasai lebih banyak materi. Malah, bukan lebih banyak lagi, melainkan semuanya!

Enek dengan buku-buku pelajaran SMA, Risky mengumpulkan yang SMP. Kalau ia memperkuat konsep-konsep di SMP, mungkin akan memudahkan untuk memahami yang di SMA. Tapi, buku-bukunya di SMP pada berhuruf Jepang dan Risky langsung pusing melihatnya. Ia coba membacanya, dan mendapati bahwa kemampuannya memahami bahasa Jepang mulai berkurang akibat jarang-jarang dipraktikkan. Oh, ini seperti kerja dua kali! Risky menyingkirkan buku-buku itu dari mejanya.

Timbul pikiran bahwa buku-buku pelajaran dari penulis atau penerbit lain cara penyajiannya mungkin lebih mudah dipahami daripada buku-buku yang dia punya. Mungkin ia perlu membeli buku-buku itu. Ia perlu uang.

Beberapa bulan ini, sejak tidak bersekolah, sebenarnya Risky masih diberi uang. Sebelum Risky sempat memintanya--bahkan sebelum ia merasa butuh--tahu-tahu saja Papa menghampiri dia dan menyodorkan beberapa lembar uang. Biasanya, tidak lama kemudian, uang itu dia gunakan untuk menambah koleksi bacaan, kaset, atau mainannya, serta membeli rokok dan jajanan lain sekalian menraktir Adek, sampai tinggal menyisakan recehan yang lalu tercecer begitu saja di mana-mana di kamarnya. Ia punya celengan, tapi jarang ingat untuk mengisinya. Kalaupun bisa menabung, itu karena ada barang cukup mahal yang ingin dia beli; begitu jumlahnya mencukupi, tabungannya langsung digunakan dan sisanya tidak seberapa.

Menahan segan, Risky mendekati Papa dan mengutarakan maksudnya. Papa memberikan beberapa lembar uang bergambar presiden. Didampingi Adek yang memaksa-maksa ikut, Risky pergi ke Palasari. Ia mendatangi kios buku pelajaran dan menghabiskan waktu lama mencermati isi buku-buku yang disodorkan kepadanya, mencari yang gaya tuturnya paling mudah diikuti, sambil sesekali meladeni Adek yang merengek kebosanan. Sempat ia lengah sehingga Adek mengeloyor jauh. Setelah menemukan, menempeleng, dan menenangkan Adek dengan membelikan anak itu satu buku aktivitas bergambar pahlawan kesukaannya, Risky memutuskan untuk mempercepat. Ia membeli beberapa buku pelajaran, satu kumpulan soal, dan di toko lain kertas dan pensil masing-masing satu pak.

Setibanya di rumah, ia langsung duduk di balik meja belajar dengan tumpukan buku baru di sampingnya. Proses itu berulang. Yang sewaktu di kios tadinya berasa mudah dipahami, kini kembali memuyengkan. Ia teringat pada buku-buku yang tidak jadi ia beli tadi karena uangnya tidak mencukupi. Mungkin buku-buku itulah yang justru lebih gampang dicerna .... Risky melamun. Ingin minta uang lagi pada Papa.

"Mau beli buku lagi," kata Risky.

Sementara Papa tercenung karena menganggap uang yang dia berikan sebelumnya sudah cukup besar, Mama yang sedari kapan memerhatikan itu pun menimbrung, "Buku udah numpuk banyak gitu, sia-sia!"

Risky menahan bogemnya.

Mama menyambung, "Yang salah bukan bukunya ...."

Risky sudah waspada saja bila Mama hendak mengatainya bodoh atau yang semacam itu.

"Kamu butuh guru!"

"Ah, belajar sendiri aja!" Uang untuk bayar guru jatuhnya pasti akan lebih mahal, dan Mama akan mengungkit-ungkitnya terus.

"Coba aja panggil guru. Kalau enggak cocok kan bisa cari lagi," kata Papa.

"Kalau mau murah," lanjut Mama, "Coba belajar bareng Adin. Kemarin dia habis ranking lagi lo!"

Sejak awal mereka pindah ke perumahan itu, sebenarnya Mama sudah sering menyuruh Risky main dengan Adin, atau nama lengkapnya yaitu Saladin. Ia putra kakaknya Mama yang tinggal tepat di belakang rumah, RT sebelah. Mama dan kakaknya berwajah mirip, begitu juga Risky dan Saladin. Apabila keduanya dijejerkan, orang mungkin mengira keduanya kakak beradik. Bedanya, ada banyak. Saladin bertubuh ramping dan entah bagaimana mungkin itu yang membuatnya sekaligus tampak rupawan. Ia selalu tersenyum, senang menyapa, dan tutur katanya lembut. Ketika Risky lulus dari SMA swasta yang terkenal sebagai tempat pembuangan anak-anak yang tidak diterima di SMA negeri, Saladin naik ke kelas dua di sebuah SMA negeri favorit. Sebelum memasuki SMA itu pun, sekolah Saladin mulai dari TK, SD dan SMP negeri, semuanya favorit sekodya Bandung.

Setelah ibu Saladin meninggal, ayahnya menikah lagi dan pindah ke rumah keluarga yang satunya. Rumah yang di belakang itu pun ditinggali Saladin dan kedua kakak perempuannya. Salah seorang kakak perempuannya pandai lagi senang memasak, dan Saladin kerap mengantarkan penganan buatan kakaknya itu untuk Mama. Saat Saladin berkunjung ke rumah, Mama pasti menahan untuk mengajaknya mengobrol terlebih dahulu. Setelah itu, Risky diberondong dengan kabar-kabar baik tentang Saladin yang sama sekali tidak hendak dia dengar: Saladin ikut lomba, Saladin aktif di DKM sekolahnya, Saladin mulai bantu mengajar di TPQ, Saladin banyak kawan, Saladin mau main bola di lapangan. "Kayak Saladin itu lo. Aktif di luar rumahnya. Bergaul, berprestasi, bermasyarakat!" demikian kata Mama, yang padahal baru sebentar lalu menyuruh Risky mengawasi Adek agar jangan sampai memasukkan mainan ke mulut.

Sewaktu kecil, memang adakalanya mereka main bareng pada acara-acara keluarga. Tapi hubungan mereka tidak pernah lebih daripada itu. Apalagi kemudian Risky tinggal bertahun-tahun di Jepang sehingga mereka hampir-hampir tidak pernah bertemu lagi. Kini mereka bertetangga. Tapi semakin banyak Mama membicarakan tentang Saladin, semakin Risky ingin memojok saja di kamar dan menenggelamkan diri dalam barang-barang koleksinya yang jauh lebih seru. Dalam acara-acara keluarga selanjutnya pun, ketika tidak sengaja bertatapan, Saladin selalu tersenyum pada Risky yang membalasnya dengan pura-pura tidak melihat sambil mengernyit rikuh.

Sekarang, Mama kembali mempromosikan Saladin. "Dia itu pinter di sekolahnya. Tiap ulangan cawu, ranking terus. Siapa tahu aja dia bisa bantuin kamu. Minimal sampai pelajaran kelas dua lah."

"Coba dulu aja sama Adin," Papa mendukung.

Risky kembali ke kamar dan memlih untuk berjibaku dengan buku-bukunya saja. Ia ingat perjuangannya dulu belajar bahasa Jepang dari nol, setiap hari, dari pagi sampai menjelang larut malam, supaya bisa mengikuti pelajaran di sekolah. Memang dalam perjuangannya itu ia terbantu oleh adanya sesosok kawan yang sekaligus bisa menjadi guru, Shigeo. Tapi, Shigeo dan Saladin itu bagaikan bir Asahi dan limun Orson; Risky lebih suka yang pertama. Ah, kangen ngebir bareng diam-diam di kamar Shigeo lalu pulang sambil mabuk tapi orang tuanya tidak pernah tahu.

Keesokan sorenya, Risky sedang menyusun balok-balok kayu menjadi robot bersama Adek di ruang tengah, ketika dari arah pintu depan terdengar suara Mama disusul suara lain yang antara asing dan tidak asing. Itu Saladin yang tidak pernah lupa mengucap salam ketika hendak memasuki rumah siapa saja.

"Tuh orangnya ada di rumah. Iki tuh enggak pernah ke mana-mana," ucap Mama.

Risky memandang sekilas pada Saladin dan senyumannya yang permanen, lalu berlagak acuh tak acuh meneruskan rancangan robot kayunya. Tapi, sudah tidak ada balok yang tersisa. Seketika itu juga, robotnya diruntuhkan tendangan maut Adek.

Melompati adegan-adegan canggung, kini Risky duduk bersama Saladin di kamar. Risky memfokuskan pandangan pada satu titik di lantai seakan-akan sedang bermeditasi membunuh kegeraman pada Mama, sedang Saladin bersin-bersin yang mungkinkah akibat debu kamar yang belum pernah dibersihkan lagi sejak pembantu yang terakhir pergi? Sesaat keduanya berdiam-diaman, bak pasangan yang dijodohkan dan baru pertama kali itu dipertemukan. Hingga Saladin berinisiatif dengan menanyakan tentang materi-materi yang keluar pada UMPTN kemarin. Seketika itu juga Risky berpikir: ia punya buku kumpulan soal sejak USM ITB 1975 sampai UMPTN yang awal-awal, kenapa ia tidak meneliti kalau-kalau ada kekerapan pada materi-materi tertentu?

Hm, belum apa-apa Saladin sudah menunjukkan kecemerlangannya dalam mengilhamkan strategi. Dengan sabar, Saladin menanti Risky menuntaskan pergumulan prasangkanya.

Risky pun menjawab seingatnya. Tidak banyak, karena pada waktu ia belum ada niat, jangankan ketertarikan dalam memecahkan soal-soal. Saladin manggut-manggut.

Mendapati percakapan yang tersendat-sendat, Mama yang sedari tadi pasang kuping menimbrung. "Kasih tahu, Ki, kamu sulitnya yang mana aja!"

"SEMUA!!!" Risky ingin berteriak.

"Adin udah belajar apa aja di sekolah?" tanya Mama dengan nada yang berbeda. "Ajarin aja dulu itu ke Iki."

Di balik punggung Saladin, Mama mendelik pada Risky. Serangan visual itu semakin membekukan Risky. Alih-alih, ia meraih salah satu konsol gim dan menyerahkannya pada Saladin. Mengabaikan letupan jengkel Mama, Risky menyalakan mesin Nintendo. Saladin tidak kuasa menolak.

Sepulangnya Saladin, rentet omelan Mama dianggap Risky petasan Ramadan atau kembang api Tahun Baru, yang sedikit-sedikit menggetarkan namun dengan mudah terlupakan. Begitu malam hening, Risky membuka salah satu buku kelas satu, membaca bab pertama, mencatat bagian-bagian yang tidak dimengerti ... untuk, rencananya, besok sore ia tanyakan pada Saladin.

Maka, keesokan sorenya, ganti Risky yang mendatangi rumah Saladin, meninggalkan Mama yang kesal karena ia tidak menjawab tujuan perginya. Tapi rupanya sore itu Saladin belum pulang. Ketika Risky balik lagi ke rumah, barulah ia menjawab bahwa ia habis dari warung. Mudah-mudahan Mama tidak lihat buku yang dia pegang. Risky minggat lagi lepas magrib. Kali ini Saladin benar sudah ada di rumah. Mereka masuk ke kamar Saladin, dan Risky menutup pintunya.

.

Menakjubkan! Setiap kesulitan yang dibawa Risky ke hadapan Saladin dapat dipecahkan dengan mudah. Risky merasa Saladin ini sungguh punya kekuatan luar biasa. Kalaupun ada persoalan yang tidak bisa dia atasi sendiri, Saladin bilang akan menanyakannya kepada guru di sekolah. Benar saja, besoknya saat mereka ketemu lagi, Saladin telah memiliki penjelasan. Saladin menyampaikannya kepada Risky dengan cara yang gampang dipahami, dalam langkah-langkah kecil yang ringan diikuti, seperti guru TK menunjukkan pada anak didiknya bagaimana menempelkan kacang hijau sebutir demi sebutir ke atas gambar di kertas, dimulai dari keseluruhan pinggirnya terlebih dahulu lalu selapis demi selapis ke bagian dalam.

Risky meneliti lagi kesulitan-kesulitannya berikut pemecahan Saladin. Ia menyadari bahwa sebagian memang sebenarnya soal yang relatif mudah, kalau saja ia dapat menghadapinya dengan tenang. Soalnya, belum apa-apa dia sudah stres duluan. Segala kesan tidak mengenakkan sepanjang masa SMA seperti mengabutkan otak Risky; yang mudah jadi susah, yang susah jadi tambah susah.

Setelah memahami itu, Risky mulai dapat membedakan mana yang benar-benar sulit dan mana yang masih bisa dia pecahkan sendiri--walau memerlukan waktu lama. Semangat belajarnya naik. Biasanya ia tidak kuat duduk tanpa menyetel kaset atau radio, dan tiap kali ada lagu kesukaannya atau obrolan penyiar yang menarik, serta-merta ia menyimak dulu dengan sepenuh hati. Tidak lupa, kopi dan rokok mesti menemani. Dengan begitu, kalaupun tidak ada lagu kesukaan atau obrolan penyiar yang menarik, ia tetap akan teralihkan juga sekadar untuk mengisap rokok dalam-dalam sembari merenungkan nasib. Sering kali, ia perlu menghabiskan satu batang terlebih dahulu sebelum lanjut ke soal yang berikutnya. Setelah menemukan satu soal yang dapat dia pecahkan, ia rihat dulu untuk menghabiskan satu batang lagi.

Sekarang, kadang-kadang ia langsung duduk dan menghadapi pelajaran tanpa ingat untuk menyalakan tape. Rokok masih bertengger dalam apitan jari, tapi karena sekarang yang sulit jadi agak mudah, dan yang mudah jadi lebih mudah, habisnya tidak secepat sebelumnya.

Sabtu, 06 Maret 2021

5. CHERRY, YANG SEBENARNYA SHELLY

Pada ulang tahunnya yang ketiga, si Adek dihadiahi sepeda roda tiga. Adek hampir-hampir tidak mau berjalan lagi, lebih suka mengayuh sepedanya itu. Paling tidak, suasana dalam rumah agak anteng karena dengan sepedanya itu Adek tidak mungkin berakrobat seperti biasanya.

Mulanya, Adek hanya dapat berkeliling dalam rumah dari ruangan ke ruangan. Ia boleh mencoba sepedanya di jalanan sekitar rumah hanya pada waktu tertentu saja, misalnya ketika Mama sedang rihat dari pekerjaannya atau akhir pekan saat Papa tidak ke kantor. Risky sendiri ogah bila disuruh menemani adiknya bersepeda, kecuali kalau ia sendiri memang ada urusan di luar rumah. Atau tepatnya, ia mau jajan ke warung lalu, seperti biasanya, Adek memaksa ikut tapi kali ini sambil bersepeda.

Sering kali tidak ada yang bisa (atau mau) menemani Adek bersepeda di luar rumah, sementara anak itu lagi pengin-penginnya. Adek mulai menuntut agar dibolehkan bersepeda di luar rumah sendirian, tapi Mama waswas. Mama membujuk Risky yang baru memulai program satu tahun persiapan intensif UMPTN, "Kakak, apa enggak capek belajar terus? Sekali-sekali jajan lah di luar, menghirup udara segar. Biar enggak stres." Oh, Mama begitu perhatian. "Sekalian nemenin Adek nyepeda."

"Mama ganggu aja sih!" hardik Risky, yang sudah berkali-kali membaca satu paragraf yang sama di buku Kimia, tapi belum mengerti juga.

Adek pun marah pada Mama. Ia mau keluar sendiri bersama sepedanya, tapi pintu depan terkunci. Adek bolak-balik dari pintu depan ke Mama, memohon-mohon minta dibukakan. Tapi Mama pura-pura tidak tahu kuncinya di mana. Adek kembali lagi ke pintu depan, menarik-narik gagangnya seakan-akan bakal terbuka entah bagaimana. Lalu ia menendangi pintu, berteriak-teriak sambil menangis dan menjejak-jejakkan kaki.

Luluh lantak sudah konsentrasi yang sedari tadi berusaha dibangun Risky. Ia menelungkupkan kepala di meja, ingin berteriak-teriak sambil menangis dan menjejak-jejakkan kaki juga.

Adek berlari lagi pada Mama, yang baru bisa rebahan di tempat tidur sambil membukai majalah setelah seharian bersih-bersih dan masak. Adek menyentak-nyentakkan kain rok Mama. "Bukain! BUKAIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIN ...!" Mama berusaha memberikan penjelasan kepada Adek. Kenapa Adek tidak boleh pergi sendirian, kenapa Mama tidak bisa menemaninya karena mau beristirahat terlebih dahulu. Mama mengajak Adek tidur saja. Tapi Adek tidak mau. "Boleh sepedaan, asal ada yang nemenin," Mama letih mengulangi, lalu timbul isengnya, "Coba minta temenin sama Kakak."

Serta-merta Adek berlari ke kamar Risky. Giliran kain celana Risky yang disentak-sentaknya, sampai badan kakaknya itu terguncang-guncang. Mau tidak mau Risky mengangkat kepala. "Ayo .... AYOOO!!!" Adek lalu membanting diri ke lantai dan berputar-putar seperti gasing.

"Kiii .... Enggak kasihan sama Adek?" suara Mama.

Ingin Risky menendangi gasing itu sampai terlontar ke luar kamar, lalu mengunci pintu. Nanti juga anak itu capek sendiri dan berhenti.

"KAKAAAAAK ...!"

Beberapa lama kemudian, Risky menunggu Adek meluncur ke jalan dengan sepedanya itu sampai agak jauh baru keluar dari rumah. Ia berjalan dengan menjaga jarak cukup jauh dari Adek, pokoknya asal bocah itu masih kelihatan. Namun strateginya sia-sia. Sore itu di jalan berkumpul beberapa wanita sedang memberi makan bocah-bocah. Adek melewati mereka, ditegur. "Mamanya mana?" Adek menunjuk ke belakang. Serta-merta Risky memalingkan muka, menghentikan langkah, dan memandangi jalinan kabel listrik yang menembus tajuk pohon, seakan-akan ada burung dari spesies langka sedang bertengger.

Perhatiannya sempat teralihkan oleh gerung motor yang diiringi tawa genit. Sekilas memelesat dua orang berseragam putih abu yang menunggangi Honda Gelatik. Risky memandang kecut. Bersukaria menikmati senja bersama kekasih tidak pernah jadi miliknya. Ia juga pemuda yang punya gelora asmara, tapi kenapa yang lain bisa jadi pacar gadis cantik sedang ia cuma baby sitter?

Sampai di ujung jalan, Adek balik lagi menuju persimpangan lalu berbelok ke salah satu jalan. Risky melihat dari sudut matanya. Ketika merasa Adek sudah cukup jauh, barulah ia berbalik dan mengikuti.

Adek anak yang supel. Ketika berpapasan dengan seseorang—entah dikenal atau tidak—ia melambaikan tangan sambil berucap, "Dadah!" Orang yang didadahi biasanya menanggapi dengan senyum, sapa, atau balas dadah. Tapi ada satu orang yang sama sekali asing dengan Adek; ketika didadahi, raut mukanya datar saja bahkan menoleh pun tidak. Adek kesal dan meneriaki orang itu. "Dadah! Dadaaah! IH ... DADAAAAAAAH ...!"

Risky menyembunyikan diri di balik tiang listrik.

Tapi, sejenak kemudian, "KAKAAAAK .... ITU ADA IYONG! IYONG! IYOOONG!"

Orang asing dengan raut muka datar itu melewati Risky sambil melihat padanya. Risky berpura-pura tidak memerhatikan, memandang ke arah lain. Sementara kucing yang diteriaki sejenak tampak kaget, tapi lalu melanjutkan perjalanannya seakan-akan tidak ada apa-apa.

Perhatian Adek segera teralih. Di ujung jalan, baru saja muncul dari belokan, muncul satu sosok yang dia kenal. Mama pernah membawa Adek ke rumah orang itu. Adek dikasih permen. Senang sekali.

"TECEYIIII .... Dadaaaah!" Adek melambaikan tangan, padahal yang dipanggil lagi mau menyongsongnya.

Risky yang tadinya mau bergeser melepaskan diri dari perlindungan pun mengurungkan langkah. Dari balik tiang listrik, sebelah matanya menangkap makhluk manis yang menyambut Adek. Wajah yang tersenyum itu putih bercahaya bak sorot lampu mobil di malam tanpa bintang. Tubuhnya yang ramping itu kini berbalut seragam putih abu. Terakhir kali Risky melihatnya, baru beberapa bulan lalu sebelum ia sendiri lulus SMA, gadis itu masih berseragam putih biru. Sesore ini dia baru pulang. SMA mana? Habis berbuat apa? Sudah punya pacar belum, ya?

Lepas mensenyumi Adek, gadis itu lanjut berjalan. Arahnya menuju Risky yang kontan gelagapan. Entah kenapa Risky tidak hendak kelihatan oleh gadis itu. Ia membalikkan badan dan terhuyung menjauh dari tiang listrik, memasuki jalan lain di persimpangan itu hingga menemukan persembunyian baru. Dari balik semak-semak taman, ia bisa mengawasi gadis itu lewat sampai lenyap terhalang oleh rumah.

Baru beberapa kali Risky melihat gadis itu. Sekalinya melihat, entah kenapa Risky sampai terngiang berhari-hari. Entah kenapa juga seketika ia merasa harus bersembunyi, seakan-akan dirinya seekor pungguk bermuka buruk yang tersilaukan oleh cahaya bulan berparaskan dewi. Pertama kali Risky melihatnya yaitu saat gadis itu melintas di depan rumah. Entah gadis itu melihatnya juga atau tidak karena tidak tampak menoleh, Risky segera berjongkok di balik tubuh si Adek yang kala itu baru belajar berdiri.

Risky tidak pernah tahu nama gadis itu, hanya rumahnya pastilah dekat-dekat sini. Sore itu, ia mendengar gadis itu dipanggil ... Te ... ce ... yi? Adiknya memang masih agak cadel. Teceyi .... Teceyi .... Risky termenung-menung sampai pada pikiran bahwa "Te" itu mungkin "Teh" dari "Teteh", panggilan untuk perempuan yang lebih tua. Jadi namanya adalah "Ceyi". Tapi itu bukan nama yang umum. Ceyi .... Ceri .... Cherry? Mungkinkah? Cherry itu kalau di Jepang namanya "Sakura", mungkin orang tua gadis itu penggemar Fariz RM dan lagunya yang berjudul tersebut merupakan kenang-kenangan pertemuan mereka. Kalau benar seperti itu, gadis itu memang pantas menyandang nama tersebut.

Sampai di rumah, Risky mengusap-usap kepala adiknya penuh kasih sayang. Ia tidak berkeberatan mengawal adiknya bersepeda lagi selama di jalan ada tiang listrik atau semak untuk bersembunyi.

.

Sebenarnya Risky cukup percaya diri mendekati cewek yang dia suka. Dengan catatan: cewek itu juga menunjukkan ketertarikan padanya. Tapi, selama ini, mulai dari SMP kali pertama ia suka pada cewek sampai SMA saat ia punya lebih banyak incaran, Risky selalu kecele.

Yang pertama, cewek itu satu-satunya cewek Jepang—selama Risky bersekolah di Jepang—yang pernah menunjukkan simpati padanya, melalui perbuatan remeh-temeh seperti tersenyum tipis serta meminjaminya alat tulis. Hingga suatu kali Shigeo iseng menanyainya soal cewek. Sepertinya pipinya memerah dan sikapnya berubah canggung, sehingga Shigeo mendesaknya terus. Ia pun membocorkannya. Tidak heran Shigeo mendorong Risky mengambil tindakan. Risky kerap melihat Shigeo bercengkerama di jalan atau taman dengan cewek yang berganti-ganti. Shigeo saat itu bergabung dengan klub sastra di SMA. Setelah memberi Risky suntikan rasa percaya diri, Shigeo membantunya menulis surat cinta yang terindah (atau, setidaknya begitulah kata Shigeo). Risky menyerahkan surat cinta itu kepada si cewek. Esok paginya, ia mendapati surat itu melekat erat di mejanya ditambahi tulisan-tulisan lain yang sampai memenuhi seluruh permukaan mejanya. Salah satu tulisan itu mengatai dia tak tahu diri dan menyuruhnya pulang agar mencari pacar di negerinya sendiri saja. Hari itu Risky pulang telat dari sekolah karena mesti membersihkan mejanya sampai benar-benar polos seperti sedia kala. Waktu dan tenaganya sebagian besar habis untuk mengerik sisa kertas yang entah direkatkan dengan lem apa, sampai kukunya sakit seperti mau copot. Yang menghibur Risky adalah tinggal beberapa bulan lagi ia akan meninggalkan negara itu, yang ia harap untuk selama-lamanya. Ia tidak akan pernah kembali, begitu camkannya berulang-ulang dalam hati.

Di SMA, Risky masih mengartikan sikap simpatik beberapa cewek sebagai peluang. Memang ia tidak segegabah sebelumnya. Ia tidak langsung menyatakan perasaan, tapi mendekat perlahan-lahan. Ada masa ketika ia menghabiskan banyak koin di telepon umum. Awalnya beberapa koin untuk satu cewek. Kemudian jumlah koin berkurang. Antara Risky kehabisan bahan pembicaraan atau cewek itu yang telah menyadari manuvernya, tidak tertarik, lalu cepat-cepat menyudahi. Dipikir-pikir, rugi juga satu koin untuk pembicaraan sesingkat itu. Apalagi setelah Risky mendengar bahwa satu koin bisa digunakan untuk menghubungi lebih dari satu nomor, selama pulsanya masih ada. Risky pun mencoba peruntungannya dengan beberapa cewek lain. Kalau ia bisa menghabiskan satu koin sendiri untuk satu cewek, barulah cewek itu layak dikejar. Namun, Risky selalu kembali ke titik itu, ketika satu koin masih menyisakan pulsa dan tidak ada cewek lain yang bisa atau hendak ia hubungi. Ia pun telat mengetahui cara mengakali telepon umum biar koinnya bisa diambil lagi. Sebab, belum sempat ia memraktikkan, tampaknya reputasinya telah tersebar di antara cewek-cewek sehingga mereka pada menjaga jarak—sama sekali tidak memberikan celah untuk didekati.

Dengan Cherry, yang sebenarnya bernama Shelly, Risky tidak begitu percaya diri. Cewek-cewek yang parasnya setaraf Shelly di SMA-nya dulu biasanya sudah pada punya pacar. Boro-boro kasih nomor telepon, lirikan saja tidak!

Atau, boleh jadi sekian pengalaman ditolak dan dijauhi di masa silam akhirnya mengempiskan rasa percaya diri yang telah digelembungkan Shigeo dan sebagai gantinya menumbuhkan rasa malu Risky.

Kecantikan Shelly hanya layak diperbandingkan dengan cewek-cewek dalam kliping Risky. Kliping itu berupa map yang berisi guntingan atau robekan dari koran, majalah, dan tabloid—baik yang dibeli Papa atau Mama lalu tidak disentuh lagi, maupun yang sengaja dibelinya sendiri. Mulai dari Cut Keke sampai Cindy Crawford, Tamara Bleszinsky hingga Naomi Campbell. Ada Julia Robert dalam gaun merah panjang yang ujungnya berumbai-rumbai, mengangkang sambil berdiri sehingga menyerupai pohon yang akarnya tinggi-tinggi itu. Ada gadis Rodenstock dengan mata besar berbinar, serta gadis ber-BH biru menerawang di balik blus putih dalam iklan Matahari. Cuma Yurike Prastika yang ia hindari masuk ke dalam koleksinya, karena wajah itu mengingatkan pada Mama, hiii! Koleksinya memang tidak seseronok dalam majalah porno Shigeo, namun memadai untuk menemani malam-malam gelisah.

Ada map lain yang Risky peruntukkan khusus bagi satu perempuan. Ia sudah terpincut sejak pertama kali melihat gadis itu dalam gaun panjang merah yang sopan, di televisi. Saat itu tidak lama setelah ia kembali ke Indonesia. Seberkas cahaya terang, menyinari hidupku, nyanyi gadis itu, yang seketika menyinari hidup Risky juga. Ia merasa optimistis bahwa kehidupan kedua yang menjelang dia di Indonesia akan lebih baik, daripada kehidupan-kehidupan dia yang sebelumnya, baik sewaktu di Jepang maupun sebelum ke Jepang. Sejak itu, tiap menyalakan televisi atau radio, ia menanti-nantikan gadis itu bernyanyi untuk dia. Ia mengoleksi setiap kasetnya, walaupun lebih sering mendengarkan kaset penyanyi atau grup lain. Tiap kali melewati lapak koran, majalah, dan tabloid, ia meninjau kalau-kalau ada terbitan baru yang memberitakan gadis itu.

Suatu kali, ia mendapat bonus poster gadis itu. Ia menempelnya di balik pintu yang berhadapan dengan tempat tidur supaya bisa ia pandangi sampai terlelap. Tapi, di tempat tidur, kegiatan Risky tidak hanya menunggu lelap. Supaya tidurnya nyenyak, kadang Risky perlu melakukan suatu urusan. Namun tatapan teduh gadis itu, kulitnya yang putih bersinar dalam kegelapan, bahkan hidungnya yang mancung dan dagunya yang belah, semua-muanya memancarkan kemurnian, yang serta-merta membuat Risky sungkan. Poster itu ia lepas lagi dan ia simpan dalam map; setiap tahapnya ia lakukan secara berhati-hati agar tidak ada semilimeter pun yang berlekuk atau kusut. Setelah itu, barulah ia dapat melancarkan pelepasannya dengan leluasa.

Kadang tidak tertahankan untuk meraba wajah itu dengan ujung jemarinya. Namun pikirannya tak pernah sampai jauh, keburu ia merasa nista.

Ia sadar diri. Dengan Shelly saja, ia sudah merasa bak pungguk merindukan bulan. Dengan Nike, bulannya ada di galaksi lain!

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain