Pada UMPTN sebelumnya, Risky memilih
jalur IPC. Sebenarnya, karena ia tidak tahu mau kuliah di jurusan apa, ia
mengikuti jurusan kuliah orang tuanya dahulu: Papa di Teknik Fisika ITB, dan
Mama di Hubungan Internasional Unpad.
Tapi, walaupun sudah mendaftar ke jalur
IPC, persiapan Risky untuk tes bidang ilmu sosial hanyalah berupa satu buku
kumpulan soal UMPTN jalur IPS, satu buku RPUL, satu buku pintar Iwan Gayo,
serta koran dan majalah berita yang sesekali dibawa pulang papanya.
Sekarang, ketika memikirkannya, Risky
menyadari tidak benar-benar tertarik mengikuti jurusan kuliah Mama. Lagi pula,
sewaktu SMA, ia sendiri mengambil jurusan IPA. Ia masih lebih tertarik
mengutak-atik rumus ketimbang menghafal. Ia akan fokus pada bidang IPA saja.
Risky pun mengumpulkan semua buku
Matematika, Kimia, Fisika, dan Biologi semasa SMA, membacanya mulai dari kelas
satu, berusaha memahaminya, sulit mengerti, tidak mengerti, frustrasi,
berhenti, dan beralih pada hal-hal lain sampai semangatnya pulih. Lalu ia coba
membaca lagi, membaca dari awal sampai akhir setiap buku tanpa peduli ada yang
masuk atau tidak, seperti membaca novel. Setiap tamat satu buku, ia
mengingat-ingat yang baru saja dibacanya. Sedikit sekali. Tapi lelah. Ia
membaca ulang, barangkali ada lebih banyak yang masuk. Tapi ia keburu muak. Ia
menepikan buku-bukunya, mengambil selembar kertas, menarik garis-garis, lalu
menuliskan materi apa saja yang menurutnya relatif mudah dari tiap-tiap
pelajaran. Selebihnya, atau materi yang sulit, terlalu banyak untuk dituliskan.
Kalau begini, ia hanya bisa mengerjakan beberapa persen saja dari keseluruhan
soal UMPTN. Kalau ia berfokus pada yang mudah saja--itu pun tingkat
kemudahannya relatif!--kecil kemungkinan ia dapat lolos dari kompetisi yang
ketat ini. Ia harus menguasai lebih banyak materi. Malah, bukan lebih banyak
lagi, melainkan semuanya!
Enek dengan buku-buku pelajaran SMA,
Risky mengumpulkan yang SMP. Kalau ia memperkuat konsep-konsep di SMP, mungkin
akan memudahkan untuk memahami yang di SMA. Tapi, buku-bukunya di SMP pada
berhuruf Jepang dan Risky langsung pusing melihatnya. Ia coba membacanya, dan
mendapati bahwa kemampuannya memahami bahasa Jepang mulai berkurang akibat
jarang-jarang dipraktikkan. Oh, ini seperti kerja dua kali! Risky menyingkirkan
buku-buku itu dari mejanya.
Timbul pikiran bahwa buku-buku pelajaran
dari penulis atau penerbit lain cara penyajiannya mungkin lebih mudah dipahami
daripada buku-buku yang dia punya. Mungkin ia perlu membeli buku-buku itu. Ia
perlu uang.
Beberapa bulan ini, sejak tidak
bersekolah, sebenarnya Risky masih diberi uang. Sebelum Risky sempat
memintanya--bahkan sebelum ia merasa butuh--tahu-tahu saja Papa menghampiri dia
dan menyodorkan beberapa lembar uang. Biasanya, tidak lama kemudian, uang itu
dia gunakan untuk menambah koleksi bacaan, kaset, atau mainannya, serta membeli
rokok dan jajanan lain sekalian menraktir Adek, sampai tinggal menyisakan
recehan yang lalu tercecer begitu saja di mana-mana di kamarnya. Ia punya
celengan, tapi jarang ingat untuk mengisinya. Kalaupun bisa menabung, itu
karena ada barang cukup mahal yang ingin dia beli; begitu jumlahnya mencukupi,
tabungannya langsung digunakan dan sisanya tidak seberapa.
Menahan segan, Risky mendekati Papa dan
mengutarakan maksudnya. Papa memberikan beberapa lembar uang bergambar
presiden. Didampingi Adek yang memaksa-maksa ikut, Risky pergi ke Palasari. Ia
mendatangi kios buku pelajaran dan menghabiskan waktu lama mencermati isi
buku-buku yang disodorkan kepadanya, mencari yang gaya tuturnya paling mudah
diikuti, sambil sesekali meladeni Adek yang merengek kebosanan. Sempat ia
lengah sehingga Adek mengeloyor jauh. Setelah menemukan, menempeleng, dan
menenangkan Adek dengan membelikan anak itu satu buku aktivitas bergambar
pahlawan kesukaannya, Risky memutuskan untuk mempercepat. Ia membeli beberapa
buku pelajaran, satu kumpulan soal, dan di toko lain kertas dan pensil
masing-masing satu pak.
Setibanya di rumah, ia langsung duduk di
balik meja belajar dengan tumpukan buku baru di sampingnya. Proses itu
berulang. Yang sewaktu di kios tadinya berasa mudah dipahami, kini kembali
memuyengkan. Ia teringat pada buku-buku yang tidak jadi ia beli tadi karena
uangnya tidak mencukupi. Mungkin buku-buku itulah yang justru lebih gampang
dicerna .... Risky melamun. Ingin minta uang lagi pada Papa.
"Mau beli buku lagi," kata
Risky.
Sementara Papa tercenung karena
menganggap uang yang dia berikan sebelumnya sudah cukup besar, Mama yang sedari
kapan memerhatikan itu pun menimbrung, "Buku udah numpuk banyak gitu,
sia-sia!"
Risky menahan bogemnya.
Mama menyambung, "Yang salah bukan
bukunya ...."
Risky sudah waspada saja bila Mama
hendak mengatainya bodoh atau yang semacam itu.
"Kamu butuh guru!"
"Ah, belajar sendiri aja!"
Uang untuk bayar guru jatuhnya pasti akan lebih mahal, dan Mama akan
mengungkit-ungkitnya terus.
"Coba aja panggil guru. Kalau
enggak cocok kan bisa cari lagi," kata Papa.
"Kalau mau murah," lanjut
Mama, "Coba belajar bareng Adin. Kemarin dia habis ranking lagi
lo!"
Sejak awal mereka pindah ke perumahan
itu, sebenarnya Mama sudah sering menyuruh Risky main dengan Adin, atau nama
lengkapnya yaitu Saladin. Ia putra kakaknya Mama yang tinggal tepat di belakang
rumah, RT sebelah. Mama dan kakaknya berwajah mirip, begitu juga Risky dan
Saladin. Apabila keduanya dijejerkan, orang mungkin mengira keduanya kakak
beradik. Bedanya, ada banyak. Saladin bertubuh ramping dan entah bagaimana
mungkin itu yang membuatnya sekaligus tampak rupawan. Ia selalu tersenyum,
senang menyapa, dan tutur katanya lembut. Ketika Risky lulus dari SMA swasta
yang terkenal sebagai tempat pembuangan anak-anak yang tidak diterima di SMA
negeri, Saladin naik ke kelas dua di sebuah SMA negeri favorit. Sebelum
memasuki SMA itu pun, sekolah Saladin mulai dari TK, SD dan SMP negeri,
semuanya favorit sekodya Bandung.
Setelah ibu Saladin meninggal, ayahnya
menikah lagi dan pindah ke rumah keluarga yang satunya. Rumah yang di belakang
itu pun ditinggali Saladin dan kedua kakak perempuannya. Salah seorang kakak
perempuannya pandai lagi senang memasak, dan Saladin kerap mengantarkan
penganan buatan kakaknya itu untuk Mama. Saat Saladin berkunjung ke rumah, Mama
pasti menahan untuk mengajaknya mengobrol terlebih dahulu. Setelah itu, Risky
diberondong dengan kabar-kabar baik tentang Saladin yang sama sekali tidak
hendak dia dengar: Saladin ikut lomba, Saladin aktif di DKM sekolahnya, Saladin
mulai bantu mengajar di TPQ, Saladin banyak kawan, Saladin mau main bola di
lapangan. "Kayak Saladin itu lo. Aktif di luar rumahnya. Bergaul,
berprestasi, bermasyarakat!" demikian kata Mama, yang padahal baru
sebentar lalu menyuruh Risky mengawasi Adek agar jangan sampai memasukkan
mainan ke mulut.
Sewaktu kecil, memang adakalanya mereka
main bareng pada acara-acara keluarga. Tapi hubungan mereka tidak pernah lebih
daripada itu. Apalagi kemudian Risky tinggal bertahun-tahun di Jepang sehingga
mereka hampir-hampir tidak pernah bertemu lagi. Kini mereka bertetangga. Tapi
semakin banyak Mama membicarakan tentang Saladin, semakin Risky ingin memojok
saja di kamar dan menenggelamkan diri dalam barang-barang koleksinya yang jauh
lebih seru. Dalam acara-acara keluarga selanjutnya pun, ketika tidak sengaja
bertatapan, Saladin selalu tersenyum pada Risky yang membalasnya dengan
pura-pura tidak melihat sambil mengernyit rikuh.
Sekarang, Mama kembali mempromosikan
Saladin. "Dia itu pinter di sekolahnya. Tiap ulangan cawu, ranking terus.
Siapa tahu aja dia bisa bantuin kamu. Minimal sampai pelajaran kelas dua
lah."
"Coba dulu aja sama Adin,"
Papa mendukung.
Risky kembali ke kamar dan memlih untuk
berjibaku dengan buku-bukunya saja. Ia ingat perjuangannya dulu belajar bahasa
Jepang dari nol, setiap hari, dari pagi sampai menjelang larut malam, supaya
bisa mengikuti pelajaran di sekolah. Memang dalam perjuangannya itu ia terbantu
oleh adanya sesosok kawan yang sekaligus bisa menjadi guru, Shigeo. Tapi, Shigeo
dan Saladin itu bagaikan bir Asahi dan limun Orson; Risky lebih suka yang
pertama. Ah, kangen ngebir bareng diam-diam di kamar Shigeo
lalu pulang sambil mabuk tapi orang tuanya tidak pernah tahu.
Keesokan sorenya, Risky sedang menyusun
balok-balok kayu menjadi robot bersama Adek di ruang tengah, ketika dari arah
pintu depan terdengar suara Mama disusul suara lain yang antara asing dan tidak
asing. Itu Saladin yang tidak pernah lupa mengucap salam ketika hendak memasuki
rumah siapa saja.
"Tuh orangnya ada di rumah. Iki tuh
enggak pernah ke mana-mana," ucap Mama.
Risky memandang sekilas pada Saladin dan
senyumannya yang permanen, lalu berlagak acuh tak acuh meneruskan rancangan
robot kayunya. Tapi, sudah tidak ada balok yang tersisa. Seketika itu juga,
robotnya diruntuhkan tendangan maut Adek.
Melompati adegan-adegan canggung, kini
Risky duduk bersama Saladin di kamar. Risky memfokuskan pandangan pada satu
titik di lantai seakan-akan sedang bermeditasi membunuh kegeraman pada Mama,
sedang Saladin bersin-bersin yang mungkinkah akibat debu kamar yang belum
pernah dibersihkan lagi sejak pembantu yang terakhir pergi? Sesaat keduanya
berdiam-diaman, bak pasangan yang dijodohkan dan baru pertama kali itu
dipertemukan. Hingga Saladin berinisiatif dengan menanyakan tentang
materi-materi yang keluar pada UMPTN kemarin. Seketika itu juga Risky berpikir:
ia punya buku kumpulan soal sejak USM ITB 1975 sampai UMPTN yang awal-awal,
kenapa ia tidak meneliti kalau-kalau ada kekerapan pada materi-materi tertentu?
Hm, belum apa-apa Saladin sudah
menunjukkan kecemerlangannya dalam mengilhamkan strategi. Dengan sabar, Saladin
menanti Risky menuntaskan pergumulan prasangkanya.
Risky pun menjawab seingatnya. Tidak
banyak, karena pada waktu ia belum ada niat, jangankan ketertarikan dalam
memecahkan soal-soal. Saladin manggut-manggut.
Mendapati percakapan yang
tersendat-sendat, Mama yang sedari tadi pasang kuping menimbrung. "Kasih
tahu, Ki, kamu sulitnya yang mana aja!"
"SEMUA!!!" Risky ingin
berteriak.
"Adin udah belajar apa aja di sekolah?"
tanya Mama dengan nada yang berbeda. "Ajarin aja dulu itu ke Iki."
Di balik punggung Saladin, Mama mendelik
pada Risky. Serangan visual itu semakin membekukan Risky. Alih-alih, ia meraih
salah satu konsol gim dan menyerahkannya pada Saladin. Mengabaikan letupan
jengkel Mama, Risky menyalakan mesin Nintendo. Saladin tidak kuasa menolak.
Sepulangnya Saladin, rentet omelan Mama
dianggap Risky petasan Ramadan atau kembang api Tahun Baru, yang
sedikit-sedikit menggetarkan namun dengan mudah terlupakan. Begitu malam
hening, Risky membuka salah satu buku kelas satu, membaca bab pertama, mencatat
bagian-bagian yang tidak dimengerti ... untuk, rencananya, besok sore ia
tanyakan pada Saladin.
Maka, keesokan sorenya, ganti Risky yang
mendatangi rumah Saladin, meninggalkan Mama yang kesal karena ia tidak menjawab
tujuan perginya. Tapi rupanya sore itu Saladin belum pulang. Ketika Risky balik
lagi ke rumah, barulah ia menjawab bahwa ia habis dari warung. Mudah-mudahan
Mama tidak lihat buku yang dia pegang. Risky minggat lagi lepas magrib. Kali
ini Saladin benar sudah ada di rumah. Mereka masuk ke kamar Saladin, dan Risky
menutup pintunya.
.
Menakjubkan! Setiap kesulitan yang
dibawa Risky ke hadapan Saladin dapat dipecahkan dengan mudah. Risky merasa
Saladin ini sungguh punya kekuatan luar biasa. Kalaupun ada persoalan yang
tidak bisa dia atasi sendiri, Saladin bilang akan menanyakannya kepada guru di
sekolah. Benar saja, besoknya saat mereka ketemu lagi, Saladin telah memiliki
penjelasan. Saladin menyampaikannya kepada Risky dengan cara yang gampang
dipahami, dalam langkah-langkah kecil yang ringan diikuti, seperti guru TK
menunjukkan pada anak didiknya bagaimana menempelkan kacang hijau sebutir demi
sebutir ke atas gambar di kertas, dimulai dari keseluruhan pinggirnya terlebih
dahulu lalu selapis demi selapis ke bagian dalam.
Risky meneliti lagi
kesulitan-kesulitannya berikut pemecahan Saladin. Ia menyadari bahwa sebagian
memang sebenarnya soal yang relatif mudah, kalau saja ia dapat menghadapinya
dengan tenang. Soalnya, belum apa-apa dia sudah stres duluan. Segala kesan
tidak mengenakkan sepanjang masa SMA seperti mengabutkan otak Risky; yang mudah
jadi susah, yang susah jadi tambah susah.
Setelah memahami itu, Risky mulai dapat membedakan mana yang benar-benar sulit dan mana yang masih bisa dia pecahkan sendiri--walau memerlukan waktu lama. Semangat belajarnya naik. Biasanya ia tidak kuat duduk tanpa menyetel kaset atau radio, dan tiap kali ada lagu kesukaannya atau obrolan penyiar yang menarik, serta-merta ia menyimak dulu dengan sepenuh hati. Tidak lupa, kopi dan rokok mesti menemani. Dengan begitu, kalaupun tidak ada lagu kesukaan atau obrolan penyiar yang menarik, ia tetap akan teralihkan juga sekadar untuk mengisap rokok dalam-dalam sembari merenungkan nasib. Sering kali, ia perlu menghabiskan satu batang terlebih dahulu sebelum lanjut ke soal yang berikutnya. Setelah menemukan satu soal yang dapat dia pecahkan, ia rihat dulu untuk menghabiskan satu batang lagi.
Sekarang, kadang-kadang ia langsung duduk dan menghadapi pelajaran tanpa ingat untuk menyalakan tape. Rokok masih bertengger dalam apitan jari, tapi karena sekarang yang sulit jadi agak mudah, dan yang mudah jadi lebih mudah, habisnya tidak secepat sebelumnya.