Adek semestinya bukan tidak ada kegunaan
sama sekali. Ketika Risky merasa badannya pegal-pegal, ia bertelungkup di
karpet atau ranjang lalu meminta Adek menginjak-nginjak sekujur tubuhnya.
Dengan senang hati Adek memenuhi permintaan Risky, tapi kemudian malah
diteriaki, "JALAN AJA! JANGAN LONCAT-LONCAT!!!"
Kapok jadi trampolin Adek, Risky
membalas dengan menjadikan anak itu jamrah. Ketika Adek lagi asyik-asyiknya
main sendiri sambil berceloteh, Risky melemparinya dengan renyukan-renyukan
kertas bekas coretannya. Adek yang sejak sekecil itu sudah humoris mengira
Risky hanya sedang mengajaknya bermain. Ketika Risky sedang lengah, biasanya
justru ketika ia lagi duduk di meja belajar dan penuh konsentrasi pada
pelajaran, Adek sembunyi-sembunyi balas melemparkan renyukan kertas atau
meneriakinya sekadar mau bikin kaget.
Seiring dengan semakin dekatnya UMPTN,
semakin mudah Risky meledak oleh hal kecil. Bahkan ketika Adek lagi
anteng-antengnya duduk menonton televisi pun tahu-tahu saja dia bentak tanpa
sebab.
Hingga terjadi peristiwa yang menurut
Mama sudah terlalu.
Saat itu Adek seperti biasa sedang main
perang-perangan dengan aneka barang yang bertebaran di kamar Risky. Kaset-kaset
dan buku-buku disusun jadi benteng, kemudian dirobohkan oleh serangan
pesawat-pesawat, dan keluarlah musuh-musuh, berhadapan dengan
pahlawan-pahlawan. Karena Risky mengoleksi figur dan robot, pemainnya pun
banyak seperti dalam sandiwara kolosal. Di antaranya ada satu robot yang
sebenarnya sudah Risky amankan di atas lemari, tapi entah bagaimana jatuh,
mungkin karena tertubruk, dan kemudian dipungut Adek. Robot itu robot Gundam
rakitan pertama Risky, pemberian Shigeo. Saat itu Risky sedang main ke rumah
Shigeo, di kamarnya. Ia melihat potongan-potongan robot itu terserak dan segera
saja ia penasaran mencoba-coba menyusunnya. Shigeo memerhatikan Risky, lalu
memberi tahu cara merakitnya dengan lem khusus. Shigeo bilang, robot itu hadiah
Natal untuk dia, tapi sebenarnya ia tidak suka. Kalau bisa merakit robot itu
sampai utuh, Risky boleh memilikinya. Memang kemudian Risky berhasil. Shigeo
yang mengamati prosesnya mengatakan bahwa Risky berbakat. Sejak itu, Risky
ingin merakit lebih banyak robot. Bahkan setelah pulang ke Indonesia, Risky
doyan mampir ke toko mainan untuk mencarinya. Tapi, walaupun sudah memiliki
koleksi, yang pertama itu yang teristimewa, menjadi tanda mata atas segala
kenangan bersama Shigeo.
Mungkin karena Adek terlalu kuat
menghantamkannya ke mainan lain, bagian-bagian robot itu terlepas. Adek
memberitahukannya keras-keras--secara tidak sengaja--hingga terdengar Risky,
"AAAH, TIDAAAK, KEPALAKU COPOOOT ...!" Segera saja Risky menoleh dari
meja belajarnya. Barangnya mana lagi yang dirusak Adek?! Rupanya korban kali
ini robotnya yang paling disayang! Tanpa ampun lagi, Risky mengangkat tangan
dan Adek pun melayang ke tembok. Mendengar kegaduhan, Mama serta-merta keluar
dari dapur dan mendapati Adek telah tersungkur di lantai seberang pintu kamar
Risky sambil menangis kencang-kencang tentu saja. Mama mengangkat dan memeluk
Adek, membelalak pada Risky, "Gila kamu, ya! Kalau patah gimana
ini!?" Namun Risky tak mau tahu. Ia membanting pintu, memblokade kecaman
Mama, dan untuk beberapa lama marah-marah sendiri, meredam tangisan Adek dan
kerisauan Mama.
Suasana sempat hening hingga beberapa
saat setelah Papa pulang. Risky mendengar Mama mengadukan perbuatannya kepada
Papa. Risky yang tadinya sudah agak tenang pun mulai resah dan gugup. Baru
seketika itu ia terpikir pada Adek, mengingat kekuatan lemparannya tadi,
kerapuhan tubuh anak itu, serta kesolidan tembok, memikirkan rumus Fisika yang
masuk, dan mencoret-coret kertas untuk menaksir seberapa parah kira-kira cedera
yang dialami si bocah, dikaitkan dengan materi Biologi dengan regenerasi sel
untuk memperkirakan kecepatan pemulihannya. Aaah, tidaaak, soal IPA Terpadu
macam apakah iniii?! Persoalan ini malah menimpakan beban baru pada pundaknya,
yang apabila memiliki massa sekian, jatuh dalam kecepatan sekian, dengan gaya
gravitasi sekian .... Pintu diketok dan seketika itu juga mengingatkan Risky
pada materi tentang gelombang suara. Papa membuka pintu yang rupanya tidak
dikunci, dan sekali lagi memindai kamar Risky.
Lalu Papa duduk di tepi ranjang.
Papa menanyakan kemajuan belajar Risky.
Anak itu menghindari tatapan Papa, dan hanya menggumam tak jelas.
Lalu Papa menanyakan apakah Risky mau
pindah kamar.
Risky berpikir. Di rumah itu hanya ada 3
kamar tidur: 1 kamar paling besar untuk Papa dan Mama, dan Adek; 1 kamar
berukuran standar di sampingnya yang ditempati Risky, dan 1 kamar lagi yang
lebih kecil di belakang untuk pembantu. Risky tidak menyenangi kamar di belakang
itu karena kurang ventilasi dan pencahayaan alami.
Namun, Papa melanjutkan dengan
menyampaikan rencananya untuk merenovasi rumah. Memang rumah itu tidak
bertingkat. Lantai dua cuma tempat jemuran dan selebihnya atap. Papa hendak
menambah ruangan di lantai atas. "Kalau mau, kamu pindah ke atas. Biar
kamar ini nanti buat Adek."
Risky manggut-manggut. Ide bagus.
"Mau dibangun gimana, Pa?"
"Itu makanya. Menurut kamu
gimana?"
Menjelang siang pada akhir pekan, ketika
Papa libur bekerja, mereka naik ke lantai dua untuk mengamat-amati bentang
atap.
"Coba kamu bisa enggak bikin
rancangannya?" Papa menawarkan.
Risky tergugah. Setelah turun kembali ke
kamarnya, ia menarik selembar kertas baru lalu mencoret-coret denah rumah,
lantai satu sebagaimana adanya dan lantai dua sebagaimana yang dia inginkan. Ia
menghendaki kamar baru yang lebih besar daripada kamarnya yang sekarang, untuk
menampung segala barang koleksinya yang ia bayangkan akan terus bertambah.
Malah Papa mengatakan mau membuatkan lemari-lemari--dengan menyuruh orang lain,
tentu--untuk itu. Risky meletakkan kamar itu sejauh mungkin dari tangga,
tepatnya di bagian depan rumah dengan jendela yang menghadap ke jalan. Kemudian
ia menempatkan ruang terbuka semacam beranda luas di sebelah luar kamarnya,
sehingga dari posisi tersebut ia juga bisa mengamati jalan di depan rumah
berikut bentang atap tetangga tanpa kentara. Kemudian barulah ia menambahkan
ruangan lain dan seterusnya.
Risky memperlihatkan rancangannya itu
kepada Papa, yang disetujui tanpa banyak revisi. Selanjutnya Papa mencari
tukang dan mengajak Risky memilih bahan bangunan.
Pekerjaan renovasi dimulai. Mama
bertambah sibuk memasak untuk para tukang. Kebisingan yang bertalu-talu
alih-alih mengganggu Risky justru menepis segala pikiran dan perasaan negatif
yang sempat meruntuhkan kepercayaan dirinya. Bayangan akan memperoleh kamar
yang nyaman di lantai dua, terpencil dari keluarganya, menjaga semangat
belajarnya berkelanjutan. Selama Piala Dunia berlangsung pun, Risky tidak
terusik. Ia dapat mengatur diri antara belajar dan menonton pertandingan.
Terlebih, Adek sudah tidak seenaknya
menyelonong ke dalam kamar Risky. Anak itu hanya berani sampai ambang pintu,
lalu mengintip takut-takut ke dalam, memandangi punggung Risky yang sedang
berkonsetrasi pada pelajaran. Risky tidak pernah menyadarinya, sampai Adek
pergi dengan sendirinya.
Hingga suatu kali Risky tidak sengaja
menoleh ke belakang untuk meregangkan badan, dan mendapati kepala adiknya
menyembul dari balik kosen pintu. Adek terkejut karena tertangkap basah, lantas
cepat-cepat menarik diri. Tapi sebentar kemudian, ia penasaran dan mengintip
lagi. Risky masih memandang ke arahnya. Agak nyut-nyutan Risky sebetulnya saat
mendapati tatapan takut-takut anak itu. Ia menyadari bahwa perbuatannya kemarin
itu hanya menambah jumlah orang yang menghindari dia, apa pun alasannya.
Sekarang, adiknya juga, yang padahal masih sekecil itu, belum lagi masuk TK,
sudah menanggung kenangan buruk tentang dia, yang mungkin akan menumbuhkan
ketakutan seumur hidup padanya.
Tapi, Risky tahu anak itu masih memberi
dia kesempatan. Ia melambaikan tangan, isyarat agar adiknya masuk. Anak itu
malah mundur, kembali menghilang di balik kosen, dan sesaat Risky teriris. Ia
menanti adiknya menyembulkan kepala lagi, namun setelah beberapa lama, akhirnya
ia membalikkan badan, hendak melanjutkan pelajaran. Walau sebenarnya ia malah
termenung, sembari mencoret-coret kertas yang bukan lagi dengan rumus melainkan
bidang-bidang yang lama-kelamaan membentuk robot. Saat ia hendak memutar
kertas, sikut sebelah kirinya menyenggol barang yang empuk. Risky tertegun
melihat adiknya yang sontak mundur menjaga jarak namun tidak seberapa jauh.
Sejak kapan?
"Kayak ninja, enggak
ketahuan," Risky tersenyum menggoda adiknya.
Anak itu berangsur-angsur menyengir.
"Eh, mau ngebakso enggak?"
Risky menawarkan.
"Mau ..." jawab adiknya
malu-malu.
Risky bangkit dari tempat duduk,
mengendus-endus ketiaknya untuk menimbang apakah ia cuma perlu menambahkan
beberapa lapis deodoran, berganti pakaian, atau mandi sekalian, lalu mencari-cari
celana jin yang menyimpan dompetnya, dan merengkuh kepala Adek dengan sebelah
tangannya, menggiring anak itu keluar rumah bersama-sama.
.
Akhir Juni kembali tiba. Sebagaimana
yang sudah direncanakan semula, Risky tidak lagi mencoba-coba jalur IPC tapi
fokus pada IPA. Ia memilih jurusan Teknik Fisika dan ... Fisika. Teknik Fisika,
karena ia masih berpikiran bahwa air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan
sehingga lagi-lagi sekadar mengikuti jurusan kuliah Papa dahulu. Fisika, karena
itu jurusannya dahulu saat SMA, di samping satu-satunya bidang IPA yang ia
minati walau ia tak yakin benar sudah menguasai.
Sesaat setelah mengembalikan formulir
pada panitia, ia menyesal karena baru teringat bahwa si Dodi ada di Teknik
Fisika. Kalau ia sampai benar-benar lolos ke jurusan itu, artinya kebohongannya
saat bertemu mereka pada waktu jalan-jalan ke ITB dulu bisa-bisa terbongkar.
Lebih buruk lagi, ia akan menjadi adik kelas mereka .... Ah, sudahlah! Berharap
saja mereka tidak akan sepeduli itu padanya nanti! Berharap saja mereka tidak
akan pernah ketemu!
Sekarang Risky duduk di gelanggang
olahraga, memangku papan alas. Beberapa pensil yang sudah diserut
runcing-runcing, beserta dua penghapus, bertengger siaga di sampingnya. Seratus
lima puluh menit ke depan akan menentukan, dan paket berisi 75 soal itu pun
sampai kepadanya.
Risky membuka selembar demi selembar
paket soal itu, memindai gambar balok, bandul, katrol, grafik-grafik, matahari,
mobil, dan ... apa ini? Zat-zat kimia ...? Segera saja dahinya berkerut-kerut,
ludahnya menggumpal sehingga sulit ditelan, bergelenyar badai dalam perutnya,
dan gletser mengaliri tengkuknya. Badai itu bergolak, menampar-nampar dinding
rongga lambungnya, sementara matanya bergerak liar melewatkan soal-soal sulit
untuk menghajar soal-soal mudah terlebih dahulu, untuk secepat-cepatnya
mengatasi keterbatasan waktu, dan badai pun berangsur-angsur surut, surut,
namun tahu-tahu saja terbit pasang hebat, yang naik tinggi-tinggi hingga
tertumpah ke rongga mulutnya, dan seketika saja Risky menutup bagian bawah
mukanya rapat-rapat dengan kedua belah tangan, susah payah meneguk lagi
sisa-sisa sarapan yang terdampar di lidahnya.
Beberapa lama, pensilnya tidak tersentuh hingga Risky memastikan badainya mereda--mungkin tidak bisa sepenuhnya reda, tapi menit terus berjalan, Risky memandang arlojinya gelisah, membagi sisa waktu dengan sisa soal yang belum terisi jawabannya, menaksir kecepatan yang diperlukan, dan kenapa ia membuang setiap detik yang berharga untuk mengkalkulasi itu alih-alih langsung mengerjakan soal itu sendiri!?!!
Semakin parah saat pikirannya mengingatkan berkali-kali,"Jangan buang satu tahun lagi! Lu harus lulus tahun ini juga! Ingat semua orang yang sudah menghinakan lu!" dan berkelebatlah bayang-bayang Erik, Dodi, Zaki, Cipta, Koko, Teddy si bangsat dan ibunya, dan kawan-kawannya yang sama sialan, dan semua anak Jepang yang telah mengatainya lamban, malas, dan bodoh, dan Shigeo yang mungkin sekarang sudah lulus dari Universitas Tokyo, Universitas Kyoto, atau Universitas Waseda, atau manalah, dan Si Kepiting yang bila masih hidup entahkah masih dapat mengunggulkan dirinya, begitu pula satu per satu anak tetangga yang pernah tertangkap atau kemungkinan telah mencuri bukunya, kelerengnya, dan sebagai-bagainya, dan Saladin, dan Saladin yang pintar yang tahun depan lulus SMA dan pastilah bisa langsung tembus UMPTN tanpa harus mengulang seperti dia!!! Setiap pikiran dan bayangan itu sembari lewat memadamkan satu per satu ruang di dalam kepalanya, sehingga ke manapun ia meraba, tak tampak sama sekali jawabannya ....