Selasa, 20 Juli 2021

14. RENOVASI RUMAH, RENOVASI MENTAL

Adek semestinya bukan tidak ada kegunaan sama sekali. Ketika Risky merasa badannya pegal-pegal, ia bertelungkup di karpet atau ranjang lalu meminta Adek menginjak-nginjak sekujur tubuhnya. Dengan senang hati Adek memenuhi permintaan Risky, tapi kemudian malah diteriaki, "JALAN AJA! JANGAN LONCAT-LONCAT!!!"

Kapok jadi trampolin Adek, Risky membalas dengan menjadikan anak itu jamrah. Ketika Adek lagi asyik-asyiknya main sendiri sambil berceloteh, Risky melemparinya dengan renyukan-renyukan kertas bekas coretannya. Adek yang sejak sekecil itu sudah humoris mengira Risky hanya sedang mengajaknya bermain. Ketika Risky sedang lengah, biasanya justru ketika ia lagi duduk di meja belajar dan penuh konsentrasi pada pelajaran, Adek sembunyi-sembunyi balas melemparkan renyukan kertas atau meneriakinya sekadar mau bikin kaget.

Seiring dengan semakin dekatnya UMPTN, semakin mudah Risky meledak oleh hal kecil. Bahkan ketika Adek lagi anteng-antengnya duduk menonton televisi pun tahu-tahu saja dia bentak tanpa sebab.

Hingga terjadi peristiwa yang menurut Mama sudah terlalu.

Saat itu Adek seperti biasa sedang main perang-perangan dengan aneka barang yang bertebaran di kamar Risky. Kaset-kaset dan buku-buku disusun jadi benteng, kemudian dirobohkan oleh serangan pesawat-pesawat, dan keluarlah musuh-musuh, berhadapan dengan pahlawan-pahlawan. Karena Risky mengoleksi figur dan robot, pemainnya pun banyak seperti dalam sandiwara kolosal. Di antaranya ada satu robot yang sebenarnya sudah Risky amankan di atas lemari, tapi entah bagaimana jatuh, mungkin karena tertubruk, dan kemudian dipungut Adek. Robot itu robot Gundam rakitan pertama Risky, pemberian Shigeo. Saat itu Risky sedang main ke rumah Shigeo, di kamarnya. Ia melihat potongan-potongan robot itu terserak dan segera saja ia penasaran mencoba-coba menyusunnya. Shigeo memerhatikan Risky, lalu memberi tahu cara merakitnya dengan lem khusus. Shigeo bilang, robot itu hadiah Natal untuk dia, tapi sebenarnya ia tidak suka. Kalau bisa merakit robot itu sampai utuh, Risky boleh memilikinya. Memang kemudian Risky berhasil. Shigeo yang mengamati prosesnya mengatakan bahwa Risky berbakat. Sejak itu, Risky ingin merakit lebih banyak robot. Bahkan setelah pulang ke Indonesia, Risky doyan mampir ke toko mainan untuk mencarinya. Tapi, walaupun sudah memiliki koleksi, yang pertama itu yang teristimewa, menjadi tanda mata atas segala kenangan bersama Shigeo.

Mungkin karena Adek terlalu kuat menghantamkannya ke mainan lain, bagian-bagian robot itu terlepas. Adek memberitahukannya keras-keras--secara tidak sengaja--hingga terdengar Risky, "AAAH, TIDAAAK, KEPALAKU COPOOOT ...!" Segera saja Risky menoleh dari meja belajarnya. Barangnya mana lagi yang dirusak Adek?! Rupanya korban kali ini robotnya yang paling disayang! Tanpa ampun lagi, Risky mengangkat tangan dan Adek pun melayang ke tembok. Mendengar kegaduhan, Mama serta-merta keluar dari dapur dan mendapati Adek telah tersungkur di lantai seberang pintu kamar Risky sambil menangis kencang-kencang tentu saja. Mama mengangkat dan memeluk Adek, membelalak pada Risky, "Gila kamu, ya! Kalau patah gimana ini!?" Namun Risky tak mau tahu. Ia membanting pintu, memblokade kecaman Mama, dan untuk beberapa lama marah-marah sendiri, meredam tangisan Adek dan kerisauan Mama.

Suasana sempat hening hingga beberapa saat setelah Papa pulang. Risky mendengar Mama mengadukan perbuatannya kepada Papa. Risky yang tadinya sudah agak tenang pun mulai resah dan gugup. Baru seketika itu ia terpikir pada Adek, mengingat kekuatan lemparannya tadi, kerapuhan tubuh anak itu, serta kesolidan tembok, memikirkan rumus Fisika yang masuk, dan mencoret-coret kertas untuk menaksir seberapa parah kira-kira cedera yang dialami si bocah, dikaitkan dengan materi Biologi dengan regenerasi sel untuk memperkirakan kecepatan pemulihannya. Aaah, tidaaak, soal IPA Terpadu macam apakah iniii?! Persoalan ini malah menimpakan beban baru pada pundaknya, yang apabila memiliki massa sekian, jatuh dalam kecepatan sekian, dengan gaya gravitasi sekian .... Pintu diketok dan seketika itu juga mengingatkan Risky pada materi tentang gelombang suara. Papa membuka pintu yang rupanya tidak dikunci, dan sekali lagi memindai kamar Risky.

Lalu Papa duduk di tepi ranjang.

Papa menanyakan kemajuan belajar Risky. Anak itu menghindari tatapan Papa, dan hanya menggumam tak jelas.

Lalu Papa menanyakan apakah Risky mau pindah kamar.

Risky berpikir. Di rumah itu hanya ada 3 kamar tidur: 1 kamar paling besar untuk Papa dan Mama, dan Adek; 1 kamar berukuran standar di sampingnya yang ditempati Risky, dan 1 kamar lagi yang lebih kecil di belakang untuk pembantu. Risky tidak menyenangi kamar di belakang itu karena kurang ventilasi dan pencahayaan alami.

Namun, Papa melanjutkan dengan menyampaikan rencananya untuk merenovasi rumah. Memang rumah itu tidak bertingkat. Lantai dua cuma tempat jemuran dan selebihnya atap. Papa hendak menambah ruangan di lantai atas. "Kalau mau, kamu pindah ke atas. Biar kamar ini nanti buat Adek."

Risky manggut-manggut. Ide bagus. "Mau dibangun gimana, Pa?"

"Itu makanya. Menurut kamu gimana?"

Menjelang siang pada akhir pekan, ketika Papa libur bekerja, mereka naik ke lantai dua untuk mengamat-amati bentang atap.

"Coba kamu bisa enggak bikin rancangannya?" Papa menawarkan.

Risky tergugah. Setelah turun kembali ke kamarnya, ia menarik selembar kertas baru lalu mencoret-coret denah rumah, lantai satu sebagaimana adanya dan lantai dua sebagaimana yang dia inginkan. Ia menghendaki kamar baru yang lebih besar daripada kamarnya yang sekarang, untuk menampung segala barang koleksinya yang ia bayangkan akan terus bertambah. Malah Papa mengatakan mau membuatkan lemari-lemari--dengan menyuruh orang lain, tentu--untuk itu. Risky meletakkan kamar itu sejauh mungkin dari tangga, tepatnya di bagian depan rumah dengan jendela yang menghadap ke jalan. Kemudian ia menempatkan ruang terbuka semacam beranda luas di sebelah luar kamarnya, sehingga dari posisi tersebut ia juga bisa mengamati jalan di depan rumah berikut bentang atap tetangga tanpa kentara. Kemudian barulah ia menambahkan ruangan lain dan seterusnya.

Risky memperlihatkan rancangannya itu kepada Papa, yang disetujui tanpa banyak revisi. Selanjutnya Papa mencari tukang dan mengajak Risky memilih bahan bangunan.

Pekerjaan renovasi dimulai. Mama bertambah sibuk memasak untuk para tukang. Kebisingan yang bertalu-talu alih-alih mengganggu Risky justru menepis segala pikiran dan perasaan negatif yang sempat meruntuhkan kepercayaan dirinya. Bayangan akan memperoleh kamar yang nyaman di lantai dua, terpencil dari keluarganya, menjaga semangat belajarnya berkelanjutan. Selama Piala Dunia berlangsung pun, Risky tidak terusik. Ia dapat mengatur diri antara belajar dan menonton pertandingan.

Terlebih, Adek sudah tidak seenaknya menyelonong ke dalam kamar Risky. Anak itu hanya berani sampai ambang pintu, lalu mengintip takut-takut ke dalam, memandangi punggung Risky yang sedang berkonsetrasi pada pelajaran. Risky tidak pernah menyadarinya, sampai Adek pergi dengan sendirinya.

Hingga suatu kali Risky tidak sengaja menoleh ke belakang untuk meregangkan badan, dan mendapati kepala adiknya menyembul dari balik kosen pintu. Adek terkejut karena tertangkap basah, lantas cepat-cepat menarik diri. Tapi sebentar kemudian, ia penasaran dan mengintip lagi. Risky masih memandang ke arahnya. Agak nyut-nyutan Risky sebetulnya saat mendapati tatapan takut-takut anak itu. Ia menyadari bahwa perbuatannya kemarin itu hanya menambah jumlah orang yang menghindari dia, apa pun alasannya. Sekarang, adiknya juga, yang padahal masih sekecil itu, belum lagi masuk TK, sudah menanggung kenangan buruk tentang dia, yang mungkin akan menumbuhkan ketakutan seumur hidup padanya.

Tapi, Risky tahu anak itu masih memberi dia kesempatan. Ia melambaikan tangan, isyarat agar adiknya masuk. Anak itu malah mundur, kembali menghilang di balik kosen, dan sesaat Risky teriris. Ia menanti adiknya menyembulkan kepala lagi, namun setelah beberapa lama, akhirnya ia membalikkan badan, hendak melanjutkan pelajaran. Walau sebenarnya ia malah termenung, sembari mencoret-coret kertas yang bukan lagi dengan rumus melainkan bidang-bidang yang lama-kelamaan membentuk robot. Saat ia hendak memutar kertas, sikut sebelah kirinya menyenggol barang yang empuk. Risky tertegun melihat adiknya yang sontak mundur menjaga jarak namun tidak seberapa jauh. Sejak kapan?

"Kayak ninja, enggak ketahuan," Risky tersenyum menggoda adiknya.

Anak itu berangsur-angsur menyengir.

"Eh, mau ngebakso enggak?" Risky menawarkan.

"Mau ..." jawab adiknya malu-malu.

Risky bangkit dari tempat duduk, mengendus-endus ketiaknya untuk menimbang apakah ia cuma perlu menambahkan beberapa lapis deodoran, berganti pakaian, atau mandi sekalian, lalu mencari-cari celana jin yang menyimpan dompetnya, dan merengkuh kepala Adek dengan sebelah tangannya, menggiring anak itu keluar rumah bersama-sama.

.

Akhir Juni kembali tiba. Sebagaimana yang sudah direncanakan semula, Risky tidak lagi mencoba-coba jalur IPC tapi fokus pada IPA. Ia memilih jurusan Teknik Fisika dan ... Fisika. Teknik Fisika, karena ia masih berpikiran bahwa air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan sehingga lagi-lagi sekadar mengikuti jurusan kuliah Papa dahulu. Fisika, karena itu jurusannya dahulu saat SMA, di samping satu-satunya bidang IPA yang ia minati walau ia tak yakin benar sudah menguasai.

Sesaat setelah mengembalikan formulir pada panitia, ia menyesal karena baru teringat bahwa si Dodi ada di Teknik Fisika. Kalau ia sampai benar-benar lolos ke jurusan itu, artinya kebohongannya saat bertemu mereka pada waktu jalan-jalan ke ITB dulu bisa-bisa terbongkar. Lebih buruk lagi, ia akan menjadi adik kelas mereka .... Ah, sudahlah! Berharap saja mereka tidak akan sepeduli itu padanya nanti! Berharap saja mereka tidak akan pernah ketemu!

Sekarang Risky duduk di gelanggang olahraga, memangku papan alas. Beberapa pensil yang sudah diserut runcing-runcing, beserta dua penghapus, bertengger siaga di sampingnya. Seratus lima puluh menit ke depan akan menentukan, dan paket berisi 75 soal itu pun sampai kepadanya.

Risky membuka selembar demi selembar paket soal itu, memindai gambar balok, bandul, katrol, grafik-grafik, matahari, mobil, dan ... apa ini? Zat-zat kimia ...? Segera saja dahinya berkerut-kerut, ludahnya menggumpal sehingga sulit ditelan, bergelenyar badai dalam perutnya, dan gletser mengaliri tengkuknya. Badai itu bergolak, menampar-nampar dinding rongga lambungnya, sementara matanya bergerak liar melewatkan soal-soal sulit untuk menghajar soal-soal mudah terlebih dahulu, untuk secepat-cepatnya mengatasi keterbatasan waktu, dan badai pun berangsur-angsur surut, surut, namun tahu-tahu saja terbit pasang hebat, yang naik tinggi-tinggi hingga tertumpah ke rongga mulutnya, dan seketika saja Risky menutup bagian bawah mukanya rapat-rapat dengan kedua belah tangan, susah payah meneguk lagi sisa-sisa sarapan yang terdampar di lidahnya.

Beberapa lama, pensilnya tidak tersentuh hingga Risky memastikan badainya mereda--mungkin tidak bisa sepenuhnya reda, tapi menit terus berjalan, Risky memandang arlojinya gelisah, membagi sisa waktu dengan sisa soal yang belum terisi jawabannya, menaksir kecepatan yang diperlukan, dan kenapa ia membuang setiap detik yang berharga untuk mengkalkulasi itu alih-alih langsung mengerjakan soal itu sendiri!?!!

Semakin parah saat pikirannya mengingatkan berkali-kali,"Jangan buang satu tahun lagi! Lu harus lulus tahun ini juga! Ingat semua orang yang sudah menghinakan lu!" dan berkelebatlah bayang-bayang Erik, Dodi, Zaki, Cipta, Koko, Teddy si bangsat dan ibunya, dan kawan-kawannya yang sama sialan, dan semua anak Jepang yang telah mengatainya lamban, malas, dan bodoh, dan Shigeo yang mungkin sekarang sudah lulus dari Universitas Tokyo, Universitas Kyoto, atau Universitas Waseda, atau manalah, dan Si Kepiting yang bila masih hidup entahkah masih dapat mengunggulkan dirinya, begitu pula satu per satu anak tetangga yang pernah tertangkap atau kemungkinan telah mencuri bukunya, kelerengnya, dan sebagai-bagainya, dan Saladin, dan Saladin yang pintar yang tahun depan lulus SMA dan pastilah bisa langsung tembus UMPTN tanpa harus mengulang seperti dia!!! Setiap pikiran dan bayangan itu sembari lewat memadamkan satu per satu ruang di dalam kepalanya, sehingga ke manapun ia meraba, tak tampak sama sekali jawabannya ....

Selasa, 06 Juli 2021

13. GANGGUAN-GANGGUAN

"Adeeek, kalau makan yang kon-sen-tra-si!!!"

Tapi Adek menggeleng-geleng dan terus saja berlarian masuk ke satu ruangan dan keluar lagi menuju ruangan lain, sering kali ke kamar Risky, di mana yang bersangkutan sendiri tengah berusaha keras agar dapat berkonsentrasi.

"Kakak! Kakak! Gambarin lagi Power Renjer kayak yang waktu itu," kata Adek ketika melihat Risky sedang menggambar pesawat mendekati menara di atas kertas. Sebenarnya Risky sedang berusaha memahami Efek Doppler yang keluar di UMPTN tahun lalu. Tapi sepertinya Adek mengira ia sedang membuat gambar aksi. "Itu yang di pesawat siapa?"

"Enggak ada orangnya."

"Ada Power Renjernya?"

"Enggak ada."

"Kenapa enggak ada orangnya?"

"Enggak ada."

"Ke mana orangnya?"

"Sibuk."

"Sibuk apa?"

"Diem!"

"Sibuk diem?"

"Kamu yang diem!"

"Adek, sini, ayok, belajar makan sendiri bareng Mama, yuk," Mama memasuki kamar. Beberapa saat selanjutnya dilalui dengan Mama membujuk Adek yang selalu membantah di balik punggung Risky yang serta-merta terkacaukan konsentrasinya.

"Kakak lagi sibuk belajar--"

"Enggak mau!"

"Jangan ganggu--"

"Aku makannya di sini ajaaa!"

"Enggak boleh!" Risky berbalik. Kemarin Adek makan di kamarnya, sampai mencecerkan remah-remah makanan sehingga terinjak-injak oleh Risky dan merekatkan halaman-halaman majalah yang baru dia beli.

"Ya udah, enggak apa-apa deh, biar di sini aja. Daripada sulit makan!" putus Mama sembari menyerahkan piring kepada Adek. Tidak ada yang memedulikan erangan Risky.

Begitupun ketika selanjutnya Risky menemukan sampul kaset hiphop kesayangannya robek. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Adek?! Risky membentak anak itu, yang buru-buru dihampiri Mama, yang segera saja membalas tuduhannya. "Makanya kamu rapiin dong kamarnya! Jangan geletakin barang sembarangan aja. Adek kan enggak tahu!" sergah Mama sambil menyambut Adek yang mendekap pahanya.

"Jangan ke sini!"

"Biarin aja dong. Kamu kan udah gede, berbagi sama Adek!"

"AAARRRGGGHHH!!!"

Waktu belajar paling tenteram memang sepanjang malam, selagi yang lain-lain tidur. Tapi adakalanya Adek ingin tidur di kamar Risky, memintanya membacakan komik sebagai pengantar tidur, atau asyik sendiri main sambil berceloteh menirukan efek suara, atau kesatria melawan penjahat, di balik punggung Risky yang duduk di meja belajar sembari memijat-mijat kepala. Pastinya Mama turun tangan mengajak Adek agar kembali ke kamar sebelah, untuk tidur saat itu juga. Tapi Adek berkilah, "Kakak juga enggak tidur!"

"Kakak mau belajar ...."

"Aku mau nemenin Kakak!"

"Enggak usah ditemenin!" bentak Risky.

"Aku mau nemenin!"

"Kakak tidur sekarang aja deh!" kata Mama.

Padahal Risky sudah penuh niat dan semangat untuk menghajar malam itu.

"Pura-pura aja!" lanjut Mama pada Risky seakan-akan Adek tidak memerhatikan. "Lagian kamu apa-apaan sih begadang semalaman, tidur seharian, kayak kalong aja. Kebiasaan enggak bener itu!"

Ingin Risky menendang adiknya, tapi itu hanya akan memperpanjang urusan. Risky menurut. Ia merebahkan diri dan memejamkan mata--sementara Mama mematikan lampu dan menutup pintu kamarnya sembari menggandeng Adek keluar. Risky pun tertidur semalaman dan terbangun penuh penyesalan pagi-pagi oleh gelegar senam disko, sejak Mama menetapkan bahwa program perampingan tubuh sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi. Ruang keluarga tempat TV dan alat pemutar video berada tepat di muka kamar Risky. Kalau sudah begitu, percuma saja mencoba tidur terus. Risky keluar kamar hendak membuang muatan dan membasuh muka di kamar mandi, sembari tangannya menutupi sisi wajah untuk menghalangi pemandangan Mama yang terbungkus dalam busana ketat berwarna-warni menyolok mata sedang di sampingnya Adek berjingkrak-jingkrak mengikuti gerakannya.

Kalau terjaga sepanjang pagi sampai malam, gangguannya lebih-lebih lagi. Mama memang mendukung Risky belajar, dengan mengantarkan nyamikan serta menjauhkan Adek, tapi sering kali cuma berlagak. Berkali-kali Mama mampir sekadar untuk menegur,

"Belajar terus, apa enggak jenuh? Main dulu sana sama Adek," yang maksudnya adalah mengawasi Adek makan sementara Mama mengerjakan yang lain, atau,

"Mau jajan, enggak? Sekalian titip tahu," yang maksudnya adalah berbelanja ke warung yang jauh sebab warung terdekat tidak menyediakan bahan masakan, atau,

"Biar segar, cuci piring dulu gih," yang maksudnya tentu sudah jelas, atau,

"Tidur melulu! Katanya mau belajar!?" padahal Risky baru saja merebahkan diri sembari terus memikirkan maksud dari "gradien garis singgung grafik fungsi y=f(x) adalah y'=f'(x) sama dengan dua kali absis P(x,y)".

Risky menghitung-hitung: dalam sehari lebih banyak kekerapan Mama--dan Adek, pastinya--masuk ke kamarnya daripada jumlah soal yang berhasil dia pecahkan tanpa mengintip pembahasan sama sekali.

Risky bisa saja mengunci pintu kamar, sebagai tanda bahwa dia sedang tidak bisa diganggu. Kalau belum cukup, sekalian saja ia setel volume stereonya kencang-kencang untuk meredam gedoran Mama atau teriakan Adek. Tapi suatu kali tetangga sebelah datang dan meminta agar suara stereo Risky dipelankan, karena di rumahnya ada yang sakit, atau apalah. Ditambah lagi, pada suatu waktu, Risky mengamuk menonjok-nonjok pintu sampai bolong sehingga siapa saja kini bisa mengintip dan memanggil dia dengan suara yang lebih jelas daripada sebelumnya. Adek, terutama, yang menjadikan lubang pintu itu permainan menarik. Ia senang menjulurkan anggota badannya lewat lubang, bahkan kemudian lengannya entah bagaimana dapat memutar kunci pintu. Ketika kunci pintunya disembunyikan, ia tetap saja iseng.

"Kakak, Kakak lagi apa?"

"Kakak lagi belajar, Dek!" jawab Mama dari jauh.

"Kakak lagi belajar apa?"

"Kakak, itu di tipi ada yang rame lo!" kata Adek lagi.

"Kakak, kok diem aja? Kakak lagi bobok sambil duduk, ya?"

"Kakak, Kakak lagi bobok?"

Risky coba menutup lubang itu dengan kertas, karton, lakban, dan segala macamnya, tapi selalu berhasil dilubangi lagi oleh Adek, sampai Risky menemukan potongan tripleks di gudang dan memakukannya pada pintu.

Tapi, kemudian, "IKIII! Apa-apaan sih dikunci segala?!" dengan suara nyaring yang tak mungkin lagi disamarkan oleh kencangnya volume stereo.

Tampaknya Risky kemudian coba berdamai dengan keadaan, dengan membiarkan pintu kamarnya tidak terkunci bahkan terbuka lebar-lebar sekalian. Padahal diam-diam ia menyiapkan penghalang baru, dengan mengasah sensitivitas artistiknya dalam menggambar ... cewek bugil. Pengalaman telah mengajarkan Risky bahwa itu cara ampuh untuk menjauhkan diri dari wanita. Memang benar.

Sebelumnya Mama masih menoleransi poster-poster cewek berbaju renang. Tapi kali ini, "APA-APAAN SIH KAMUUU???!" Mama menunjuk-nunjuk gambar di atas tempat tidur, menjambretnya, menggumalkannya, dan membawanya keluar mungkin untuk dibakar. Risky cuma menoleh sedikit dengan malas. Tidak apa-apa. Ia masih bisa bikin lagi. Ia akan terus bikin.

Sembari menggambar yang baru, dan baru lagi, Risky mempertimbangkan apakah sebaiknya ia memilih jurusan seni saja daripada teknik. Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, kedengarannya keren.

Tapi setelah mengamat-amati lagi hasil gambarnya, ia merasa tidak cukup nyeniman. Tarikan garisnya jauh dari lembut. Ia memang dapat menggambar genitalia, robot, serta pahlawan super pesanan Adek secara mendetail, tapi lebih daripada itu hanyalah lukisan manusia gua yang Adek pun bisa membuatnya.

Setelah Mama mengenyahkan satu gambar, gambar-gambar lain pun segera terpampang di dinding kamar Risky. Memang Mama jadi risih masuk ke kamarnya. Hingga, Risky tidak menduga, Papa lalu menggantikan.

Pertama-tama, Papa memerhatikan lubang di pintu yang kini ditutup oleh tripleks itu, kemudian seantero kamar Risky: ranjang kayu yang beralaskan pakaian-pakaian kotor, onggokan kasur di sudut sebelahnya dengan isian kapuk yang amburadul berikut bantal dan gulingnya, berbukit-bukit komik dan bacaan ringan lain, serta berbagai kaset gim dan musik, sebagian ambruk berserakan begitu saja di karpet, lantai, kolong tempat tidur, belum lagi mainan, renyukan kertas coretan, puntung rokok, gumpalan debu, bungkus makanan ringan, dan aneka sampah lain, sedang meja sesak oleh gunungan buku pelajaran, mug-mug bekas kopi, asbak buatan sendiri dari kertas ....

Papa membuka jalan dengan mengangkat dan menepikan barang-barang, mendekati gambar-gambar di dinding yang hanya bermodalkan kertas kuarto dan pensil itu, hingga Risky rikuh sendiri karena lamanya Papa mematung dengan mata terpancang pada gambarnya, selayaknya guru Biologi sedang mengoreksi lembar jawaban ulangan.

Namun Papa hanya mengatakan soal Adek yang suka masuk ke kamarnya. Memang saat itu Adek sedang berguling-gulingan di hamparan pakaian kotor, sambil menerbangkan dan menabrakkan satu robot-robotan Risky ke perbukitan komik. Mendengar dirinya disinggung-singgung, Adek bangkit dan ikut mengamat-amati gambar Risky dengan raut bertanya-tanya, sampai tidak menyadari Papa keluar kamar.

"Kakak, itu gambar orang?" ganti Adek yang mengomentari.

"Iya," jawab Risky malas. Ia sudah kembali beralih pada buku pelajaran.

"Orangnya enggak pakai baju?"

"Enggak."

"Enggak dingin?"

"Enggak."

"Enggak masuk angin?"

"Enggak."

Terpikir untuk menggiring Adek keluar kamar, namun saat Risky berbalik, anak itu sudah tidak ada. Risky kembali menghadap meja belajar.

Tidak lama kemudian, Risky membaui aroma yang dia akrabi, biasanya menyebar setelah Adek mandi. Ia mendengus-dengus sembari menoleh mencari asal aroma itu, dan mendapati Adek menurunkan kaki dari kepala tempat tidur. Botol minyak telon di tangannya.

Risky beranjak dari kursi, menghampiri Adek dan memerhatikan yang baru saja dilakukan bocah itu. Ia tercengang, lalu mencabut salah satu gambar buatannya yang telah dibanjur minyak telon itu, menggumalkannya, lalu menimpukkannya ke kepala Adek.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain