Senin, 20 Desember 2021

24. UMPTN YANG PENGHABISAN

Adek tidak lagi menyambangi kamar Risky. Risky memanfaatkan kesempatan itu baik-baik. Sekarang ia berkonsentrasi mengejar materi-materi yang belum dia kuasai.

Sesekali Risky ke lantai bawah untuk mengembalikan peralatan makan dan minum, sekalian disuruh Mama mencucikan semua perabot di bak, mengambil amunisi baru untuk kembali mengurung diri selama beberapa waktu ke depan, juga ke kamar mandi. Tapi ia sudah tidak lagi menonton televisi.

Lagi pula, Adek langsung lari bersembunyi saat sekilas saja melihat Risky. Risky tidak mengacuhkan anak itu sama sekali. Ia menuntaskan urusannya lalu bergegas naik ke kamarnya, memaksimalkan usaha dalam minggu-minggu yang tersisa.

Kadang Risky terpikir untuk berdoa: Tuhan, semoga kali ini aku lolos .... Tapi, entah kenapa ia tidak yakin ingin benar-benar lolos. Lolos atau tidak, entah mana yang terbaik. Lalu apakah artinya dua tahun ini? Kamu harus lolos! Ia sudah mempertaruhkan waktu yang sedianya bisa ia gunakan untuk berkuliah di kampus swasta, alternatif yang mungkin tak kalah baiknya, sesuai dengan masukan dari orang tuanya, ITB cuma soal reputasi saja.

Entahlah. Kalau orang tuanya bisa kuliah di perguruan tinggi negeri, maka paling tidak ia bisa menyamainya, kalau bukan melampaui. Kalau tidak? Ah, kenapa ia mesti begitu peduli pada standar orang tuanya? Setan apa yang telah merasukinya tahun-tahun ini?

Because it's there.

Risky mengusir lamunannya, pikiran-pikiran yang melantur dari tujuannya.

Sudah telanjur, mengapa harus menyesal?

Lama-lama ia kembali sulit berkonsentrasi.

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Sebelum berangkat, Risky menyalami kedua orang tuanya takzim. Wajah Mama penuh pengharapan, sedang Papa tampak datar-seakan-akan siap menerima apa pun hasilnya. Sesaat Risky merasa sebagai anak yang tidak dapat diharapkan, setelah segala fasilitas yang diberikan. Lalu ia ingat masa kecilnya yang menyakitkan bersama Papa dan pemberontakannya saat SMA. Mungkin memang sudah sepantasnya ....

Adek bersembunyi di balik tubuh Mama. Baru tersadar oleh Risky, ia juga harus meminta doa restu si kecil ini. Ia mengulurkan tangan. Mama mendorong Adek agar menyambutnya. Adek mencium punggung tangan Risky, lalu cepat-cepat melepaskan tangannya, kembali menamengi diri dengan tubuh Mama dan memegangi kain bajunya erat-erat.

Risky pun pergi dengan motornya.

Sekarang ia mendapat lokasi di suatu sekolah. Paket ujian dibagikan. Risky membuka halaman demi halaman, meninjau soal. "POLUSI UDARA", "CARA POHON MENDAPAT AIR", "ENERGI PEMBANGKIT LISTRIK DARI SEKAM", demikian judul-judul teks untuk bagian IPA Terpadu. Risky mendesah. Dari pengalaman dua kali UMPTN sebelumnya, teks-teks IPA Terpadu cenderung berbau Biologi dan Kimia-dua subjek paling dibencinya. Ia sudah memperkirakan akan mendapatkannya lagi, tapi tetap saja .... Sudah malas baca teks padat, topiknya tidak disenangi pula.

Risky kembali ke lembar pertama dan mulai mencoret-coret .... Tiap kali menemui kesulitan, pikirannya berkeluyuran.

Persetan lolos ITB apa enggak!

Seakan-akan dengan titel "mahasiswa ITB", orang-orang tidak akan lagi memandangnya rendah. Orang tuanya akan menghargai dia. Adiknya akan menjadikannya panutan. Para tetangga akan berbalik mengaguminya. Cewek-cewek akan mendekat. Namun si Edo membuyarkan semua ilusi itu. Titel itu hanya cangkang, sedang di dalamnya tetaplah seonggok pungguk yang hina.

Muncul bercak-bercak pada kertas ujiannya. Risky mendongak. Apa langit-langitnya bocor? Padahal di luar sana langit terang benderang, tak menampakkan awan seserpih pun. Risky mengisap ingusnya berkali-kali, menarik perhatian beberapa peserta lain di ruangan itu. Ah, kenapa tiba-tiba jadi pilek begini? Tentunya hanya peserta di kanan, kiri, dan belakangnya yang dapat melirik dan melihat ia menyeka matanya dengan tangan lalu lengan baju.

Tuhan, kalau memang kau ada,

Aku tidak peduli lagi lolos ITB atau tidak ....

Aku cuma ingin dihargai ....

Air tidak menetes lagi. Ia mengembuskan desah yang penghabisan. Ia tidak lagi cemas akan menjawab salah. Ia mengerjakan sebisanya. Setiap kesulitan ia hadapi tanpa banyak gundah. Kalau buntu, ia segera loncat ke soal yang lain. Begitu seterusnya sampai waktu habis.

Selagi masih di tempat parkir motor, sedang mengenakan helm, Risky mendengar beberapa orang membahas ujian tadi.

"Di samping urang siah, nepi ka ceurik." Di sebelah saya, sampai ada yang menangis.

Risky tidak acuh. Ia segera pulang.

Ada sebulan lebih hingga waktunya pengumuman. Ia kembali mendatangi beberapa kampus, adakalanya ditemani orang tua, untuk mencari informasi pendaftaran mahasiswa baru sampai ia dapat menjatuhkan pilihan. Uang muka disetorkan. Orang tuanya seakan-akan tidak ingat kepada sesumbarnya dahulu hendak membayar sendiri, atau memang pada dasarnya tak percaya? Risky pun tidak mencegah dengan menunjukkan kekuatan tekad hendak memenuhi kata-katanya itu.

Sesekali ia membuka koran juga, memindai barisan iklan lowongan kerja. Tapi tidak ada yang diminatinya. Sebagian besar waktu ia lalui dengan melamun saja di kamar. Ia merasa kembali ke masa SMA, ketika kakinya seperti yang tidak menginjak bumi sedang kepalanya diliputi kabut. Ia melayang ke sana kemari, tanpa arah pasti atau sekadar menuruti keinginan sesaat. Bedanya, kali ini keluyuran pun ia tidak bernafsu. Mau baca komik, novel, apa pun yang ringan-ringan, malah ingat kepada buku pelajaran. Mau menggambar, jadinya malah rantai DNA. Mau merakit model, rasanya tidak lagi menantang bila jadinya sekadar mainan-bukan yang betulan walau entah bagaimana juga cara membuatnya. Mau main komputer, yang dibuka cuma software dan arsip lain peninggalan Edo yang akhirnya cuma dlihat-lihat. Game Boy berikut Tetris-nya menjadi momok. Sudah capek-capek berpikir bagaimana supaya tiap potongannya bisa saling klop, eh, malah hilang begitu saja. Lalu temponya semakin cepat, menarik Risky kembali ke lokasi ujian saat waktu mengerjakan kian tipis. Kabar si Doel pun sudah tidak dipedulikannya lagi; dia sudah dapat pekerjaan atau belum, bukan urusan Risky.

Saat sedang termangu-mangu itu, Risky mendengar adiknya berteriak-teriak di lantai bawah.

"Mama! Mama!"

Adek baru terbangun dari tidur siangnya. Ia keluar kamar, mendapati suasana yang sepi. Cuma gumaman pelan dari televisi. Ia masuk ke ruangan demi ruangan. Semuanya terbuka, tapi Mama tidak ada di mana-mana. Mendung pula. Seantero rumah dirundung kegelapan.

Saat itulah Risky turun. Adek menatapnya seperti dia itu hantu. Anak itu hendak berlari ke pintu depan, menyelamatkan diri ke jalan. Tapi, bahunya keburu digapai. Adek menjerit, menoleh ngeri, di ambang tangis. Semakin keras anak itu memberontak sambil berteriak-teriak, semakin erat pula Risky memeluknya-seperti ular membelit mangsanya agar mati lemas. Ia sama takutnya dengan Adek. Takut pintu hati si kecil telah tertutup untuk dia, dan lalu anak itu akan tumbuh dengan memandang tak simpatik kepadanya-seperti orang-orang lainnya. Seperti ia yang dahulu berlari dari Mama tiap kali mendengar deru mobil ayahnya mendekati rumah, masuk ke kamarnya sendiri untuk bersembunyi. Sementara Mama beranjak ke pintu depan untuk menyambut, Risky mendekapkan bantal rapat-rapat ke telinganya, tak mau mendengar suara Papa.

"Maafin Kakak, Dek," sedunya terbenam ke dada Adek, teredam pula oleh tangisan anak itu. Jangan takut sama Kakak, jangan benci ....

Beberapa saat mereka bersahut-sahutan dalam pilu, hingga telinga Risky awas menangkap langkah kaki mendekat dari jalan. Segera saja ia bangkit sambil mengangkat Adek dan membawa anak itu lari ke lantai atas.

"Mama! Mama ...!" kali ini Adek tak hendak membiarkan dirinya diculik lagi. Ia meronta-ronta dalam dekapan.

Namun mereka sudah telanjur sampai di kamar Risky. Pintu dikunci.

"Kakak punya gim baru!" ucap Risky sembari terengah-engah. Asal saja ia menjambret kaset gim yang terdekat lantas diserahkannya kepada Adek yang kebingungan. "Yang menang, hadiahnya bakso paling gede!"

"Segede apa?" cicit Adek, masih tak yakin kepada Risky.

"Segede bola tenis-eh, enggak! Segede bola basket!"

"Segede bola basket?" Adek tercengang.

"Iya! Makannya juga di baskom!"

"Di baskom?!"

"Kalau kalah, tetep dapat hadiah. Tapi baksonya segede bola pingpong aja!"

"Segede bola pingpong tapi yang banyak?"

"Iya!"

"Tapi, aku maunya yang segede bola basket!"

"Makanya itu, harus menang dulu!" Risky merebut kaset gim itu lalu memasukkannya ke mesin Nintendo.

"Mau! MAU!" Adek melonjak lalu mengambil posisi di depan televisi kecil itu.

Segera saja keduanya asyik masyuk dalam permainan, lupa menghapus jejak-jejak air mata di pipi.

Kini Mama yang ganti memanggili Adek dan tak menemukannya di mana pun sehingga naik ke kamar Risky.

"Iki!" Mama menggedor-gedor, khawatir Adek telah kabur lagi karena entah diapakan lagi oleh Risky.

Terpaksa Risky menjeda permainan dan membukakan pintu. Ia memperlihatkan kepada Mama Adek yang sedang duduk anteng, hanya raut mukanya kesal karena permainan terganggu.

Mama melongo.

Sejak itu, Adek mulai kembali berani memasuki kamar Risky. Walau mulanya ia cuma berdiri di pintu, ragu dan takut. Kalau pintu ditutup, ia mengetuk pelan dan kalau tidak kunjung terbuka, ia tidak memaksakan. Kalau pintu terbuka, ia memanggil Risky pelan sampai kakaknya itu menyuruhnya agar langsung masuk saja. Lama-lama, Adek kembali berani masuk dengan sendirinya meski telah diiringi kehati-hatian dan kewaspadaan agar tidak membangunkan si monster lagi.

Risky sendiri sebetulnya telah kurang gairah meladeni Adek. Sering kali ia cuma berbaring saja di kasur sambil mengamati Adek bemain sendiri. Namun benaknya kosong melompong.

Saat sendirian, ia larut dalam lamunannya yang tak bercorak warna, sambil duduk atau berbaring, lalu tahu-tahu saja ada yang mengalir di pipinya. Padahal ia tidak sedang merasakan apa-apa. Ia usap pipinya, dan sudah begitu saja. Adakalanya pula tetes air matanya disusul kelebatan bayangan yang berupa kenangan tak mengenakkan. Misalnya, ketika suatu saat ia menghampiri Simbok dan bertanya, "Mbok, cerai itu apa?"

"Ngomong apa tho, Mas?" sambut Simbok sambil lalu karena sedang sibuk dengan pekerjaannya.

"Cerai itu apa, Mbok?"

"PR-nya sudah dikerjakan belum?" Kali ini Simbok mendengar Risky dengan saksama namun tak hendak mengacuhkannya.

"Cerai itu kalau Mama pergi Papa pergi, ya, Mbok?"

"Eeeh ..."

Mama akan pergi bersama om itu, sedang Papa mana mau mengurus dia.

"Mbok, nanti aku ikut sama Simbok, ya?"

"Ikut ke mana?"

Risky telah menjerat perhatian Simbok sepenuhnya.

"Pokoknya aku ikut sama Simbok!"

"Udah, udah, jangan nangis tho ...!" Simbok merangkul dan mengusap punggungnya

"Cup, cup, jangan nangis. Kakak mau bakso?" Adek menirukan suara Mama saat menghiburnya. Lalu ia melepaskan rangkulannya dari kepala Risky.

Risky terdiam.

"Mata Kakak kemasukan debu," sahut Risky sembari mengusap matanya. Lalu ia berdiri, menggiring Adek keluar kamar dan mengunci pintu, kemudian kembali duduk termenung.

Sekali waktu Risky keluar rumah, melanjutkan kebiasaan jalan-jalan sore sekalian mampir ke warung yang jauh untuk beli rokok-walau entah sudah berapa lama ia tidak merokok, tidak ada dorongan lagi. Melewati sisi kali dengan sebatang pohon jambu yang rindang, Risky mendapati sosok hitam itu lagi. Di bawah pohon ia duduk bersila. Mulutnya menyeringai, mendesis-desis sampai mencipratkan busa.

Tidak lama Risky mengamatinya. Ia lanjut berjalan pulang, berharap tak berpapasan dengan Shelly. Sampai di rumah, ia memikirkan sosok hitam itu. Setelah orang tersebut sempat meresahkan warga, Risky mengira sudah ada pihak yang menanganinya karena lama tidak terdengar kabarnya. Ternyata ia balik lagi. Dari manakah asal usulnya? Kenapa bisa sampai begitu? Ia ingat mendengar suara amukan sosok itu dari jauh, entah marah kepada siapa. Ia ingat juga saat sosok itu tampak ketakutan karena dilempari anak-anak sialan. Seandainya masih punya kesadaran, mesti dia sedih akan keadaannya itu. Mungkin justru beban kemarahan, ketakutan, dan kesedihan yang terlalu itu yang membuat dia mati rasa, sampai hilang akal.

Mati rasa .... Bukannya itu hampir-hampir seperti dia kini? Walau kadang ia kelepasan menangis, tapi entah apa sebabnya, karena sering kali ia sedang tak merasakan apa-apa.

Mati rasa mungkin hanya satu langkah dari hilang akal.

Agustus datang kembali. Mama hendak membangunkan Risky pagi-pagi sekali untuk mencari koran hari itu. Namun Risky tidak tidur semalaman. Bukan karena was-was akan hasil pengumumannya, melainkan ia bahkan tidak sadar bahwa malam sudah berakhir. Setelah mendapat satu eksemplar dari loper koran yang baru buka, Risky langsung pulang dan naik ke kamar. Ia duduk di tepi tempat tidur dan membuka koran, mengambil kartu ujiannya dan mencari ....

Enggak mungkin ....

Risky memastikannya sekali lagi.

Ini pasti halusinasi ....

Mama tadi melihat Risky sudah pulang, namun masih sibuk menyiapkan sarapan. Kemudian Mama membangunkan Adek. Setelah menyuruh anak itu mandi, Mama yang penasaran naik ke kamar Risky. Namun ia mendapati anak itu sedang tersedu-sedu. Mama duduk di samping Risky, mengusap-usap bahunya.

"Udah .... Kalau enggak lolos, enggak apa-apa. Kan udah diterima di swasta."

Tentunya Mama tak mendengar Risky membatin, Aku mulai gila ....

Saat ia hendak membuka mulut, mengatakan kepada Mama bahwa sepertinya ia perlu ke psikolog, sedunya malah makin menjadi. Kedua tangannya menutupi muka.

Mama mengambil koran dan kartu ujian Risky, ingin memastikannya sendiri. Ia turun membawa lembaran itu dan mencari kacamata baca. Lalu ia duduk membersamai Papa di meja makan.

Tak lama kemudian, "Pa, bener enggak ini?" Mama menunjuk satu baris. Papa menurutinya.

"Lo, iya, Ma!

"KI! IKIII ...!"

Mama bangkit, bergegas mengambil Stabilo. Papa memeriksa sekali lagi, memastikan.

"Maaa! Handuk!" teriak Adek dari kamar mandi.

Setelah membungkus Adek dengan handuk, kata Mama, "Panggil Kakak ke bawah. Suruh mandi, biar enggak stres!"

Adek menurut.

Risky menurut.

Di meja makan, Risky yang sudah segar mengejap-ngejap mendapati namanya di koran telah diwarnai oleh Mama.

Bukan halusinasi ....

"Selamat, Ki," Papa menepuk bahunya.

Sedang Mama mencium sebelah pipinya. "Akhirnya jerih payah kamu terbayar juga."

Adek yang sudah berseragam, siap diantar ke TK, melihat temannya di jalan, hendak berangkat juga bersama orang tuanya. Ia berteriak sekeras-kerasnya kepada temannya itu, "KAKAK AKU MASUK ITB LO!"[]

Senin, 06 Desember 2021

23. SURAT DARI SHELLY

Mama sudah tidak lagi menaruh uang di sembarang tempat. Tiap Adek mau jajan, Mama memberi dia jatah uang. Tapi Adek tidak mau mengerti soal jatah. Ia akan merajuk, merengek, menangis, menjejak-jejakkan kaki, membanting diri ke lantai atau ke dinding, namun Mama bergeming.

Adek pun beringsut ke kamar Risky. Kadang ada recehan tercecer di karpet, atau di tempat tidur, atau di meja--di mana saja. Kalau tidak menemukan, Adek berusaha menjangkau celana Risky yang tergantung di balik pintu, sampai pernah gantungannya jatuh dan ia terkubur di balik pakaian-pakaian setengah bau.

Untuk mengusir Adek yang kerap memecah konsentrasinya belajar, biasanya Risky memberi anak itu uang ala kadarnya. Tapi Adek tidak pernah merasa cukup. Berburu uang di kamar Risky jadi keasyikan baru. Ia meneliti ke balik karpet, kolong tempat tidur, membuka laci-laci, membongkar koleksi yang sudah ditata Risky rapi-rapi, sampai lupa bahwa tadinya cuma mau mencari duit.

Risky masih bisa menahan kesabaran, asal adiknya tidak berisik. Kalau adiknya berisik, Risky akan membentaknya. Kalau ia mengunci pintu kamarnya, Adek akan lebih berisik lagi dengan berbagai cara minta dibukakan. Kalau Mama sampai menyusul ke atas, ketiganya bagai ledakan petasan Ramadan yang berentet tak habis-habis.

Sore itu, ketika Risky sedang jalan-jalan sekalian mencari rokok, Adek masuk ke kamarnya, mulai berburu. Adek menarik laci meja belajar Risky. Biasanya ada lipatan duit di antara alat tulis yang terserak. Kali ini Adek menemukan secarik amplop. Ada tulisannya. "T ... O ... TO ... S ... H ..." Adek mengeja. Mama telah mulai mengajari dia membaca. Tapi S, H, dan E, bagaimana membacanya? Adek membawa amplop itu kepada Mama yang sedang bersantai menonton TV.

"Ma, ini apa bacanya?"

Mama menerima amplop itu. "To Shelly." Mama mengernyit. "Ini dari mana, Dek?"

"Dari kamar Kakak."

"Ooo." Mama tersenyum. "Balikin sana."

"Ini suratnya buat siapa, Ma?"

"Buat Teh Shelly. Udah, sana balikin. Nanti Kakak nyari lo."

"Oh ... buat Teh Seli ...." Adek menjauh. Mama tidak menghiraukannya lagi, kembali terserap oleh tayangan di televisi.

Alih-alih kembali ke kamar Risky, Adek malah menaiki sepedanya yang kini sudah beroda empat. Ia mengayuh sampai ujung jalan, tempat rumah Shelly berada.

"TEH SELIII ..." panggilnya di muka rumah itu.

Yang keluar malah ibunya. "Lo, Dek Ian, ada apa? Shelly belum pulang."

"Ada surat dari Kak Iki! Buat Teh Seli ...." Adek menyerahkan amplop itu. Mama Shelly menerimanya dan memandangi barang itu dengan takjub. Adek memutar sepedanya, menganggap tugasnya sebagai tukang pos dadakan telah tuntas. Ia pulang dengan girang karena merasa telah berbuat baik kepada kakaknya. Sampai di rumah, Adek sudah lupa dan tidak pernah mengatakan apa-apa tentang penemuannya itu kepada Risky.

Shelly tiba di rumahnya, selepas jalan-jalan sepulang sekolah bersama gacoannya di kelas. Hatinya berseri-seri karena dari gelagatnya Shandy tampak benar-benar tulus menyukainya. Tinggal menunggu cowok itu putus dari cewek yang satunya.

Mama Shelly kemudian menyerahkan surat itu.

"Dari siapa, Ma?" tanya Shelly sambil membolak-balik amplop. Tidak ada nama pengirimnya.

"Dari Kak Iki, kakaknya Dek Ian itu lo, anaknya Bu Slamet," jawab Mama Shelly selengkap-lengkapnya.

Kak Iki ...?

Sosok yang menyerupai Bigfoot atau Yeti itu?!

Shelly tercengang.

Memang Kak Iki tidak jelek. Wajahnya lucu persis adiknya, ditambah cambang yang berserakan di bagian bawah wajahnya. Tapi, kalau dibandingkan dengan Shandy yang potongannya model cover boy ... kalah lah!

Setelah masuk ke kamarnya, Shelly membaca surat itu. Mulanya ia heran dengan kata "merdeka" yang berulang-ulang. Apa hubungannya dengan bintang Leo? O rupanya Kak Iki mau ikut UMPTN dan masuk ke ITB. Kenapa jadi mendaki gunung? Sampai di "hatiku berdegup kencang saat melihatmu", Shelly ikut berdebar. "Because it's you" membuatnya menggigil, seakan-akan mendamparkannya ke puncak gunung sungguhan. "Bintangmu apa?" Shelly mencampakkan kertas itu.

Beberapa lama Shelly mengabaikan surat itu. Saat harus bersih-bersih kamar, barulah ia memungutnya dan kebingungan apakah dibuang saja ataukah ditaruh di tempat yang jarang ditengoknya. Akhirnya ia memasukkan barang itu ke suatu kotak, bercampur dengan surat-surat lain yang kebanyakan dari para sahabat penanya. Kemudian ia kembali melupakan adanya surat itu.

Hingga, suatu sore, Shelly hendak ke warung. Di teras, ia melihat adik lelakinya beserta teman-teman sepermainan anak itu pada berjongkok di balik dinding pembatas halaman sambil sesekali melongok ke arah jalan. Mereka tampaknya sedang bersembunyi. Shelly keheranan, namun tak mencampuri. Ia melangkahkan kaki ke jalan, berbelok, dan seketika saja ia mundur lagi dan bergabung bersama anak-anak itu. Ia bergeming sampai mendengar ada di antara anak-anak itu yang bersuara, "Si Wowo udah pergi. Aman!"

Anak-anak itu satu per satu lepas ke jalan. Shelly mengikuti. Tapi, tahu-tahu sosok itu muncul lagi menghadap mereka, baru keluar dari rumahnya--rupanya barusan ia sedang mengambil duit yang ketinggalan. Anak-anak itu berlarian kembali masuk teras, meninggalkan Shelly yang terpaku di jalan. Sosok itu juga melihat dia, dan terhenti. Sesaat mereka berpandangan saja dari jauh.

Sosok itu menyeringai. Shelly terperangah, sudah tidak memerhatikan lagi orang di kejauhan itu berjalan mendekat sambil tertunduk rikuh lalu belok di perempatan dan menghilang. Yang dipikirkannya hanya surat itu. Orang itu pasti menunggu-nunggu dia membalas surat itu!

Nantinya, ketika si adik sudah pulang dari bermain, Shelly iseng-iseng menanyakan kejadian tadi, "Tadi sembunyi kenapa sih? Kayak ketemu orang gila aja."

"Teteh enggak tahu, ya? Temen aku kan pernah dilempar sampai tangannya robek! Terus pernah juga dia lempar-lempar batu ke kita!"

Shelly terperanjat. Orang itu memang gila!

Lantas timbul bayangan kalau ia tidak cepat-cepat membalas suratnya, bisa-bisa orang itu datang ke rumah untuk menagih dan ....

Shelly pun mengambil pulpen dan kertas. Sekarang ia sudah resmi pacaran dengan Shandy, tidak ada yang boleh memisahkan mereka. Ia harus menjelaskannya kepada Kak Iki. Mudah-mudahan orang itu mengerti. Shelly tidak mau memberi dia harapan yang berlarut-larut. Bisa-bisa nanti Shelly diganggu ....

Kak Risky yang baik ... tulisnya.

Lalu ia mencoretnya.

Kak Risky yang terhormat ....

Ia mencoretnya lagi.

Aduh, kalau begini kapan jadinya surat ini?!

Shelly menulis cepat-cepat di selembar kertas yang bagus dan wangi.

Kak Risky Perdana Ashary yang terhormat ...

Terima kasih atas surat dari Kakak. Shelly merasa tersanjung menerimanya. Shelly doakan moga-moga Kakak bisa mencapai kemerdekaan yang diimpikan. Selamat mengikuti UMPTN, ya, Kak. Semoga Tuhan meridai Kakak masuk ke kampus yang diidamkan.

Aduh, apa lagi, ya? Ini bagian sulitnya:

Dengan ini, Shelly meminta maaf yang sedalam-dalamnya, karena Shelly sudah ada yang memiliki. Moga-moga Kakak mengerti. Karena bagi Shelly, "Because it's him."

Terima kasih yang sebesar-besarnya atas pengertian Kakak.

TTD

Shelly Ratnasari

NB.

Bintang Shelly Taurus, jadi enggak cocok sama Leo. Pacar Shelly Virgo. Mohon maklum, ya, Kak.

Shelly tidak mau memikirkannya lama-lama, sehingga langsung memasukkan surat itu ke dalam amplop yang sepaket dengan kertasnya.

Saat itu sudah magrib. Jalan sepi. Shelly berusaha melangkah cepat tanpa suara. Sampai di depan rumah Bu Slamet, ia menyelipkan amplop itu ke lubang kotak surat lalu bergegas pergi.

Esoknya ketika mengecek kotak surat, Mama mendapati amplop tersebut. Tulisannya rapi khas anak perempuan. Desainnya pun cukup centil, bergambar pemuda tampan. Mama mengernyit, tergoda untuk mengintipnya. Tapi ia mengurungkan rasa penasaran itu dan menyuruh Adek menyampaikan surat tersebut kepada Risky.

Adek mengendap-endap memasuki kamar Risky. Kakaknya sedang duduk membelakangi pintu, menghadap meja belajar. Adek menggelitiki bagian belakang kuping Risky dengan sudut amplop, membalas keusilan kakaknya yang suka diam-diam menowel kupingnya juga. Risky terkaget, Adek terkikik.

"Tok, tok, tok, ada pak pooos ..." kata Adek sebelum menyerahkan surat tersebut. Risky menerimanya dengan heran. Jarang-jarang ada yang mengirim surat kepadanya, termasuk kartu ucapan Lebaran. Ia membolak-balik amplop yang bertuliskan namanya itu, lalu membukanya.

Kak Risky Perdana Ashary yang terhormat ...

Terima kasih atas surat Kakak. Shelly ....

SHELLY!

Mata Risky terbelalak menyorot kata demi kata pada surat itu. Napasnya tercekat. Pandangannya berhenti pada seraut wajah tampan yang menebar pesona di pojok kanan halaman.

Bintangnya Taurus ....

Kertas itu terlepas dari tangannya, melayang-layang ke lantai.

Lalu ia menarik laci di depannya, mengobrak-abrik isinya. Memang surat untuk Shelly yang disembunyikannya di pojok terdalam itu sudah tidak ada. Siapa lagi pelakunya kalau bukan ...

"ADEEEK ...!!!" Risky meraung.

Begitu dilihatnya Adek di lantai bawah, sedang anteng-antengnya duduk menonton televisi di ruang tengah, segera ditempelengnya anak itu keras-keras. Belum cukup, ia menambahkan tendangan sambil memaki-makinya dengan bengis. Seakan-akan segala rasa kesalnya terhadap anak itu yang selama ini ditahan-tahannya tak tertanggungkan lagi. Mama cepat-cepat menahan, meraih pinggang Risky dan menariknya. Kesempatan itu dipergunakan Adek untuk berlari lintang pukang keluar rumah. Mama tersodok oleh siku Risky dan melepaskan pegangannya. Risky pun memelesat ke jalan, menengok ke kanan dan ke kiri namun Adek tak kelihatan. Di persimpangan pun sama saja; keempat penjuru jalan tak ada yang menampakkan anak itu. Risky berteriak meluapkan emosinya. Mama menyusul, menegurnya keras tak malu lagi setelah apa yang terjadi. Namun anak itu balas meneriakinya. Ia kembali ke rumah, masuk ke kamarnya dan membanting segala barang yang aman dibanting sebelum terduduk di kursi belajar dan tersengguk.

Sementara itu, Mama beredar ke jalan-jalan. Ia mencari Adek hingga terpikir untuk mendatangi rumah teman-temannya satu per satu. Nihil. Ia tidak tahu bahwa ketakutan telah membawa Adek jauh sampai ke kompleks sebelah.

Mama kembali ke rumah. Risky telah mengunci pintu kamarnya. Mama menggedor-gedor.

"Ki! Risky! Bantu Mama cari Adek, Ki!"

Namun Risky tidak menyahut. Ia telah meringkuk dalam selimut, membentengi dirinya dalam hasrat untuk ditelan bumi dan tidak mau muncul lagi.

Mama berkeliling lagi ke jalan, sekalian menunggu Papa pulang.

Sementara itu, Adek sampai ke lingkungan yang belum pernah dimasukinya. Rumah-rumah di sini tampak tidak familier. Ia berbalik menyusuri jalan yang dilaluinya tadi, sampai masuk ke kompleksnya lagi. Tapi, ia gentar kalau-kalau di jalan bertemu Kak Iki. Air matanya kembali menggenang. Ia tidak tahu kenapa Kak Iki tiba-tiba mengamuk begitu. Ia terus berjalan dengan hati-hati, siap lari kapan pun tahu-tahu Kak Iki tampak. Alih-alih menuju rumahnya, ia menghampiri rumah temannya.

Papa pun pulang. Mama menyambutnya dengan risau.

"Ayo cari lagi ke rumah temannya," kata Papa. Mereka pun berpencar setelah Mama memberitahukan rumah teman-teman Adek yang orang tuanya dikenal Papa.

Memang kali ini Adek ditemukan. Tapi ia tidak mau pulang sampai menangis-nangis, betapapun orang tua temannya sudah bantu membujuk.

"Kakak udah enggak marah kok," Mama meyakinkan. Namun Adek bersikeras.

Akhirnya mereka bersikap seolah-olah mengizinkan Adek tinggal di situ. Saat Adek sudah tertidur lelap, orang tua temannya itu menelepon ke rumah sehingga Mama dan Papa datang untuk menjemputnya. Adek pun digendong Papa pulang, terlalu mengantuk untuk melawan.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain