|
Gambar screenshot dari Instagram. |
"Perkenalan" saya dengan penulis Us Tiarsa ternyata sudah dimulai sejak cukup lama, yaitu ketika mengikuti
acara tapak tilas buku Basa Bandung Halimunan. Hampir sepuluh tahun setelah itu, perkenalan baru dilanjutkan dengan
membaca sendiri kumpulan cerpen beliau, Halis Pasir, alhamdulillah sampai tuntas dan dapat menangkap isinya secara garis besar sekalipun saya tidak menguasai bahasa Sunda XD Jadi kuat motivasi saya untuk turut beranjangsana ke rumah beliau bersama Klub Buku Laswi. Posternya menampilkan kedua buku tersebut. Versi cetak
Halis Pasir masih tersedia di Toko Buku Bandung depan Perpustakaan Ajip Rosidi, sedangkan
Basa Buku Halimunan sudah tidak ada; tapi di Ipusnas keduanya bisa ditemukan.
Beliau bermukim di komplek perumahan wartawan yang ada di Baleendah. Kami bertolak dari Perpustakaan Ajip Rosidi selepas zuhur, merayap dalam kemacetan selama sekitar 1,5 jam; katanya hari itu ada 7 universitas sedang menyelenggarakan wisuda, salah satunya Telkom University yang berlokasi kurang lebih di tengah-tengah perjalanan. Tiba menjelang pukul 2 siang, kami baru kembali dari sana setelah azan magrib. Acara utamanya sendiri hanya sekitar 2 jam, setelah itu keramahan tuan rumah menjamu kami dengan yamin manis.
Acara berlangsung dalam bahasa Sunda, yang secara umum masih bisa saya pahami walau adakalanya menanyakan arti kata kepada teman di sebelah. Dalam 2 jam itu, tentu banyak poin yang disampaikan oleh Abah Us Tiarsa; beberapa di antaranya dipantik oleh pertanyaan dari kawan-kawan peserta. Kami mendengar tentang riwayat kepenulisan/kewartawanan beliau, proses di balik buku-bukunya, perkara bahasa jurnalistik, anekdot mengenai tokoh-tokoh yang dikenal, masukan dalam menulis, dan sebagainya.
Poin yang paling menarik bagi saya adalah proses kreatif di balik Halis Pasir, kumpulan cerpen yang sudah dibaca-tuntas-dan-ulas itu. Kebetulan, saya sendiri dalam pergulatan untuk menulis cerpen (atau karangan fiksi apapun) lagi. Berikut beberapa masukan beliau yang tercatat.
Ketika penulis menganggap karyanya yang terdahulu jelek tapi toh diakui media, itu berarti ia telah mengalami kemajuan.
Cerpen-cerpen di Halis Pasir pernah dimuat di Mangle dan mendapat penghargaan. Namun, dengan menyatakan yang di atas itu, apakah beliau punya anggapan sendiri mengenai cerpen-cerpennya itu? Sepertinya saya kurang menangkap penjelasan beliau soal ini. Kalau boleh saya kaitkan dengan pengalaman saya sendiri, selama saya masih menganggap karangan-karangan yang terdahulu rada-rada lumayan, itu berarti saya masih mandek atau bahkan mengalami kemunduran XD
Cerita yang isinya kebetulan belaka tidak bernilai sastra.
Beliau mencontohkan dengan menceritakan suatu kejadian yang menimpa seorang pedagang di pinggir jalan. Pedagang itu diminta pindah lapak ke tanah kosong, karena tempatnya semula dianggap dapat membahayakan. Namun, setelah pindah ke tanah kosong itu, pedagang tersebut malah tewas ditabrak kendaraan yang entah bagaimana menyelonong ke sana. Itu suatu kejadian menarik, tapi berunsur kebetulan yang jika dituliskan menjadi cerpen menurut Abah Tiarsa teu nyastra.
Masukkan elemen kejutan (plot twist).
Dapat dilihat contohnya dalam Halis Pasir, banyak cerpen beliau dalam buku tersebut yang mengandung unsur kejutan.
Setiap unsur dalam cerita harus ada alasannya.
Ini pun dapat dilihat contohnya dalam cerpen-cerpen di Halis Pasir. Dalam cerpen pertama yang sekaligus menjadi judul buku tersebut, "Halis Pasir", diceritakan mengenai seorang ibu yang bungkuk. Ibu tersebut bungkuk bukan asal bungkuk, melainkan akibat dari pekerjaannya membuat batu bata; pekerjaan itu pun punya peran yang kuat dalam menentukan jalan cerita. Dalam "Diantos di Sarayevo", tokoh utama bertemu dengan sesosok "hantu". Namun, hantu itu sebetulnya halusinasi belaka, yang kerap dialami orang dari iklim tropis kala pergi ke tempat dengan iklim ekstrem (dalam cerita ini adalah orang Sunda yang sedang ada hajat ke negara Eropa bersalju).
|
Mahasiswa bertanya kepada Abah. |
Gunakan kata arkais.
Contohnya, dalam cerpen "Incok", terdapat kata "enggah" yang jadi pertanyaan salah satu peserta yang notabene mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Sunda. Kata ini digunakan oleh kalangan menak untuk menyebut "kakek". Kata ini sudah tidak digunakan karena sejak zaman Revolusi sudah tidak ada kaum menak (kurang lebih begitulah yang saya tangkap). Sisi positif dari penggunaan kata arkais adalah untuk menunjukkan dan melestarikan kekayaan bahasa. Pembaca yang berdedikasi akan menelusuri arti kata yang sebetulnya kuno tapi terasa baru itu untuk menambah perbendaharaannya; apalagi kalau ia sekaligus penulis yang berdedikasi, mungkin akan tergerak untuk menggunakan juga kata tersebut dalam karangannya sendiri.
Dalam mengarang tidak harus menggunakan pengalaman pribadi, tapi lebih mengandalkan pengalaman batin.
Yang dimaksud dengan pengalaman batin sepertinya adalah imajinasi. Pengarang tidak harus mengalami sendiri yang ia tuliskan dalam cerpennya. Maka untuk bisa mengarang imajinasi harus kuat dan kaya, yang itulah problem saya sekarang sehingga susah mengarang fiksi lagi XD Ketika imajinasi tidak lagi muncul secara intuitif, bagaimana memulihkannya? Saya mendengar Abah Tiarsa memberi masukan agar terus membaca dan tidak berhenti menulis. Abah Tiarsa sendiri semasa mudanya giat membaca, menjadi anggota berbagai perpustakaan termasuk perpustakaan keliling. Pekerjaannya sebagai wartawan pun menuntut beliau untuk selalu menulis. Malah sejak kelas 4 SD (tahun 1950-an) beliau sudah menjadi "wartawan" dengan melaporkan suatu peristiwa di tempat tinggalnya (tepatnya, kedatangan pengungsi dari Tasikmalaya ke Kebon Kawung) dalam kartu pos ke Pikiran Rakyat, yang setelah itu menurunkan wartawannya sendiri untuk meliput secara langsung. Buku Basa Bandung Halimunan pun dikatakannya bukan merupakan kumpulan esai atau autobiografi, melainkan suatu karya jurnalistik.
Tidak ada kata ketuaan.
Ini bukan masukan langsung dari Abah Tiarsa, melainkan saya tarik sendiri dari beberapa cerpennya yang dalam buku Halis Pasir bertanda "2007". Jika beliau lahir pada 1943 (yang sebetulnya 1942, ungkap beliau), itu berarti cerpen-cerpen tersebut ditulis ketika beliau sudah berusia 60-an tahun. Enam puluhan tahun dan imajinasi masih mengalir, bagaimana dengan yang usianya baru sekitar separuh usia Abah Tiarsa waktu itu? XD
(Catatan untuk diri sendiri: Untuk membaca, alhamdulillah sudah bertahun-tahun cukup intens dan konsisten dijalankan; insya Allah ingin dipertahankan sampai akhir hayat. Untuk menulis, mengingat pengalaman selama ini, sepertinya tidak cukup dengan catatan harian, ulasan, dan terjemahan tapi perlu ada sesi khusus membangkitkan imajinasi alias menulis yang semata khayalan yang tidak terputus-putus. Ada olah raga, ada pula olah imajinasi. Olah raga yang terputus-putus kurang efektif, begitu pula dengan olah imajinasi. Stay creative!)