Membandingkan dengan tahun sebelumnya, pada tahun ini ada
peningkatan. Dari 79 buku, 3 majalah, dan 1 skripsi atau taruhlah 83 jadi 86.
Jumlah ini termasuk majalah (cuma 3 biji) dan draf tulisan sendiri (catatan
harian dan novel). Di Goodreads ada 45 buku, selebihnya di blog
ini dan blog satunya (khusus majalah dan draf fiksi karangan sendiri). Ketika mulai merekap, tak terduga ternyata jumlahnya sudah sebanyak itu. Soalnya, sebagaimana yang dikeluhkan
di catatan pembacaan tahun sebelumnya, saya merasakan stamina baca sudah turun. Saya sudah tak kuat
membaca 1 buku saja selama 1 jam nonstop. Pola membaca pun jadi terasa acak-acakan, tak seteratur tahun-tahun sebelumnya. Pada 2023 ini, ada beberapa cara yang
dilakukan untuk mengatasi atau mengakali supaya habit ini bertahan.
Klub buku
Awalnya, saya
meminta seorang teman untuk mengabari saya bila ada acara menarik lagi. Ia
menanggapi dengan memberi tahu tentang adanya klub buku yang kebetulan banget
lokasinya tidak jauh dari rumah saya—kurang dari setengah jam bersepeda. Klub
buku ini diselenggarakan oleh seorang akang yang saya kenal sudah dari lama
(tapi entah apa selama itu beliau ingat saya hahaha) bekerja sama dengan seorang lainnya yang sedang jadi ketua komunitas kepenulisan yang pernah saya ikuti. Ketika
itu klub telah berjalan selama sebulan, mulai Februari 2023. Saya pertama kali
datang pada pertemuan kelima yang sudah memasuki Maret, kala itu membahas buku Orang
dan Bambu Jepang (Ajip Rosidi) yang, lagi-lagi kebetulan banget, sudah
pernah saya baca. Sejak itu, saya pun mendatangi pertemuan mingguan ini walaupun
sesekali rehat. Kerap kali buku yang akan dibahas sudah saya miliki atau ada di
Ipusnas, sehingga menggenjot semangat saya untuk ikut membacanya. Sampai akhir
Desember 2023, klub sudah mengadakan 44 pertemuan yang berarti membahas lebih dari 44 buku (soalnya ada pertemuan yang membahas lebih dari satu buku). Dari
jumlah itu hampir separuhnya, yaitu 21 buku, saya ikut baca. Kalau bukan karena
klub ini juga saya tidak akan menamatkan beberapa buku sastra Sunda.
20 Minute Rule
Kemudian saya
keranjingan untuk menerapkan 20 Minute Rule dalam berbagai kegiatan,
termasuk membaca buku. Saya mendapatkan angka 20 dari filter YouTube. Ketika
mau mencari video dengan topik tertentu tapi tetap random, biasanya saya
memasang filter penelusuran dengan durasi 4 – 20 menit. Kalau kurang dari 4
menit, terlalu pendek. Lebih dari 20 menit, kepanjangan. Dua puluh menit terasa
pas, tidak singkat amat tapi juga tidak begitu lama. Jadi, setelah membaca 1
buku selama 20 menit—kecuali buku itu benar-benar menarik sehingga saya tidak
mau menjedanya—saya beralih ke buku lain selama 20 menit berikutnya, dan
seterusnya tergantung keleluasaan.
Ray
Bradbury Challenge
Saya mengetahui challenge
ini sudah dari lama, tahun ini baru tergerak menerapkannya tapi cuma untuk
membaca 1 esai, 1 cerpen, dan 1 puisi per hari, sedang untuk menulis 1
cerpen/minggu, entar dulu lah ya. Ada berbagai sensasi ketika mencoba cara ini,
tetapi ujungnya saya kewalahan karena jadi menambah kategori bacaan. Sudah
begitu, panjang esai/cerpen/puisi kan tidak menentu: ada yang rata-rata, sangat
singkat, atau panjang sekali.
Setelah telanjur
menamatkan dua buku kumpulan puisi, saya skip dulu challenge ini
dan menentukan jalan tengahnya adalah dengan membuat kategori baru di tabel
rekap pembacaan. Jadi, sudah bertahun-tahun ini, saya menggunakan tabel rekap
pembacaan. Mulanya sih untuk menyeimbangkan jumlah buku cetak dan buku digital
yang dibaca. Soalnya buku digital sering kali lebih menggoda untuk dibaca, sementara buku cetak (termasuk majalah) yang untuk memilikinya
harus ditebus dengan uang itu malah jadi pajangan saja di dalam lemari. Tabel
ini kemudian berkembang sehingga kategorinya bukan cuma cetak dan digital,
melainkan juga nonfiksi dan fiksi serta tema umum dan tema khusus. Tema umum
adalah yang bersangkutan dengan kehidupan saya sehari-sehari, sedangkan tema
khusus katakanlah yang berhubungan dengan kehidupan imajiner dalam kepala saya.
Dari tabel ini, saya mendapati telah membaca jauh lebih banyak buku digital
khususnya dari Ipusnas. (Kadang itu tak terhindarkan, kalau mau mengikuti rencana
buku yang akan dibahas di klub.) Karena itulah, selama beberapa bulan pertama
pada 2024, saya ingin berfokus untuk mengisi gap di tabel lama (alias
mengutamakan-baca buku cetak) sebelum berlanjut ke tabel baru yang mana sudah ditambahkan
kategorinya sehingga di samping nonfiksi dan fiksi (yang mana di dalamnya
termasuk esai dan cerpen yang sudah dibukukan tentu saja), ada puisi. Selain
untuk mengikuti Ray Bradbury Challenge (dengan penyesuaian), membaca
puisi rasa-rasanya perlu juga supaya mana tahu saya bisa lebih ekspresif dan
kreatif dalam berkata-kata(?). Entahlah, seumur hidup saya belum pernah
menekuni-baca buku kumpulan puisi—selama ini random saja lagi jarang.
Jalan tengah lainnya
adalah stick to 20 Minute Rule, alias targetnya bukan 1 esai, 1 cerpen,
dan 1 puisi per hari melainkan ikuti saja pergiliran di tabel. Ketika
gilirannya buku kumpulan puisi, baca selama 20 menit lalu pindah ke buku lain
yang entahkah nonfiksi atau fiksi, kumpulan esai atau majalah, kumpulan cerpen
atau novel ….
Selain tabel,
tahun ini juga saya mulai membuat daftar buku yang telah tuntas tiap bulannya.
Karena ingin tahu saja. Itu mempermudah untuk melihat tren dan menghitung,
misalnya, ternyata saya masih membaca lebih banyak nonfiksi (44) daripada fiksi
(40).
Buku-buku
yang cepat dituntaskan
Buku-buku
tersebut ibarat seteguk air segar di sela-sela maraton (kayak yang pernah ikut
saja) membaca buku tebal yang seakan tak selesai-selesai. Contohnya adalah
buku kumpulan artikel (misalnya dari Tempo dan Trubus) yang
terdapat di Ipusnas, buku komik, buku anak-anak, dan lain-lain yang tebalnya tidak
sampai 100 halaman.
Goodreads
Seperti biasanya, pada awal tahun saya pasang target 52 buku
dengan perkiraan selesai 1 buku/minggu. Namun, setelah
beberapa bulan, saya mendapati bahwa target itu sepertinya tidak akan tercapai
karena bukan berarti saya tidak sanggup menyelesaikan 1 buku/minggu, melainkan
sebagian buku yang saya baca tidak ada di Goodreads sedang sekarang sudah tidak
bisa lagi manually add book. Maka saya turunkan target jadi 36 saja, alias 3
buku/bulan—3 buku yang ada di Goodreads, maksudnya. Ini tercapai, bahkan
terlampaui (125%) tapi memang tidak sampai 52.
Penilaian
Karena saya
membaca bukan untuk kepentingan akademis/profesional/dsb melainkan sebagai
penikmat saja, 86 buku tahun ini atau 1 – 2 buku/minggu sudah bagus banget. Itu
saja saya masih ada perasaan bersalah karena memang hobi saya bukan cuma
membaca, melainkan juga berbagai turunannya yang mau sekalian saya bicarakan di
bawah, sehingga mesti ada waktu juga buat yang lain-lainnya itu. Kalau sampai
tembus lebih dari 2 buku/minggu, rasa-rasanya sudah berlebihan. Malah terpikir
setelah sampai di angka 78 (dari 52 + 26 alias pas 1,5 buku/minggu), mungkin
saya setop saja dan beralih ke hal lain misalnya menulis novel? (hahahaha~)
kemudian baru mulai membaca buku lagi setelah masuk tahun berikutnya. Entahlah.
TURUNAN DARI
MEMBACA
Menulis
Yang rutin
adalah menulis review tiap kali menamatkan satu buku (atau majalah kadang
juga karya lainnya yang benar-benar menarik), alhamdulillah berhasil
dipertahankan sejak 2019. Tahun ini saya menambahkan rutin baru, dengan
menerapkan 20 Minute Rule itu, yaitu menulis catatan harian. Sebetulnya
ini tidak sama sekali baru. Sejak SD saya suka menulis catatan harian. Tiap ada
pikiran, segera saya tuliskan. Pada satu titik, saya mengira kebiasaan ini
mengembangkan sifat overthinking. Maka itu saya berhenti. Yah, tidak
sama sekali sih (memang bisa?) tapi mengurangi, sampai-sampai menurut catatan
harian tahun kemarin saja, saya menulisnya tidak sampai setengah halaman F4 per
hari. Namun, setelah membaca semua diary semasa SMP, saya justru
mendapatkan pandangan lain. Menulis catatan harian justru merupakan suatu coping.
Dengan itu saya mengatasi kesepian, menghibur dan menyemangati diri, serta menghargai kehidupan yang acap kali tak mengenakkan. Saya yang sekarang pun jadi sangat mengapresiasi saya
yang dulu. Kenapa tidak melakukannya lagi? Namun kali ini secara teratur dan
terbatas, agar tak merasa berlebih-lebihan lagi. Lalu saya mulai begitu saja,
tak ingat dari tanggal berapa pokoknya enggak persis 1 Januari 2022. Ada
hari-hari yang bolong, tak apa.
Setelah berhasil
melakukan rutin itu beberapa lama, timbul pikiran: kenapa tidak melakukan ini
juga untuk menulis fiksi? Saya sudah mencobanya, mempertahankannya beberapa
lama tapi menulis kehidupan imajiner tetap saja tak seenteng menuliskan
pengalaman pribadi yang nyata. Saya tak berhasil mempertahankannya.
Percobaan-percobaan lainnya untuk kembali menulis fiksi juga belum ada yang
persisten lagi seperti semasa kuliah. Entahlah. Pelik sih. Keadaannya sudah
beda. Maka status masih “pura-puranya mau menulis novel”.
Menerjemahkan
Pada 2023 ini
saya menyadari bahwa sudah 1 dekade saya menerjemahkan. Jejaknya terekam di
blog ini, sebelum dibuat blog lain khusus untuk terjemahan dengan tujuan menjaga
kesinambungan, yang dijadwalkan mulai 2014, yang berarti blog itu akan genap 1
dekade juga. Sampai sekarang saya masih menikmati menerjemahkan sebagai hobi
saja. Malah tahun-tahun belakangan terjadi penurunan aktivitas sebenarnya.
Pernah ada target ambisius untuk memosting mingguan, tapi yang realistis
sebulan sekali saja lah ya. Sedang mencoba menerapkan 20 Minute Rule
juga untuk kegiatan ini, lebih banyak bolongnya daripada menulis catatan harian
wkwkwk. Sebenarnya lagi mau mengukur sih: kalau bisa rutin 20 menit/hari tanpa banyak bolong, akan ada rata-rata berapa judul yang bisa dihasilkan dalam sebulan.
Mengkliping
Ini biasanya saya
lakukan sekalian dengan menerjemahkan. Mengkliping dulu, baru menerjemahkan. Keduanya
sama-sama soal menyalin. Mengkliping adalah menyalin teks dari cetak ke digital
tanpa perubahan berarti (paling-paling menyesuaikan ejaan atau tanda baca yang
biasanya refleks saja), sedangkan menerjemahkan juga menyalin tetapi dengan
mengubah bahasa yang sering kali memerlukan berpikir, mengecek arti ke beberapa
kamus sekaligus, googling, dan Google Translate hihihi. Baru mulai
menerapkan 20 Minute Rule juga untuk ini, dari yang tadinya menarget 1
artikel/hari (menginsafi panjang artikel yang berbeda-beda).
Bahasa-bahasa
Pelajaran bahasa
Arab di Duolingo sudah tamat. Bukan karena saya begitu rajin, melainkan karena
itu termasuk bahasa yang baru ditambahkan sehingga pelajarannya belum banyak
dan cepat dituntaskan asal rutin. Karena itu saya merasa perlu move on
ke sumber belajar lain, seperti buku dan video. Ada satu buku pelajaran bahasa
Arab yang sudah saya mulai, tapi tersendat-sendat. Begitu pula dengan bahasa
Jerman. Saya telah mengumpulkan buku-buku berbahasa Jerman yang saya ingin baca,
kalau bisa menjadikannya bahan latihan menerjemahkan. Namun itu muluk-muluk banget sih. Kalau bukan karena Duolingo, aslinya saya belum betah belajar
bahasa asing. Selain Arab dan Jerman, di Duolingo saya juga belajar bahasa
Jepang dan Belanda. Biar apa? Biar menghayati perjuangan bangsa selama masa
penjajahan dan lebih menghargai kemerdekaan(?) Sudah, empat itu sajalah.
REAL LyFE
Setelah menonton beberapa video ‘cleaning’, saya mendapat pencerahan bahwa DECLUTTERING adalah kunci. Itu yang harus saya fokuskan pada 2024 ini. DECLUTERING yang ORGANIC maupun yang ANORGANIC. DECLUTTERING ORGANIC untuk menghasilkan ecoenzyme dan kompos, yang kemudian berguna untuk bebersih dan berkebun. DECLUTTERING ANORGANIC dengan menggunakan panduan dari bank sampah. (Untuk sementara ini, panduan dari Bank Sampah Bersinar di Bojongsoang tampak yang paling bisa diandalkan; bisa cek di situs webnya). Barulah sisanya—baik karena tidak ditampung bank sampah maupun yang sengaja disisihkan—disyukuri sebagai sarana berkreasi dan berusaha. Cita-citaku sekarang tak muluk-muluk, sekadar ingin membangun sistem sirkular skala rumah tangga agar meninggalkan sesedikit mungkin kerusakan di dunia dan meringankan hisab di akhirat. Bismillah.