Jumat, 17 Mei 2024

Bijak Kelola Limbah Makanan pada Bisnis Kuliner

Gambar dari Instagram @jabardekranasda.
Sebelum sajian utama, ada pengantar yang menarik dari perwakilan Evermos. Beliau menyingkap bahwa terdapat kategori usaha kecil dan menengah berdasarkan pada pendapatan tahunan, mulai dari Newcomer (<1 miliar/tahun), Artisan (1 - 5 M), Emerging (5 - 100 M), Challenger (100 - 500 M), hingga Mainstream (>500 M). Kebanyakan--kalau bukan hampir semua--UMKM di Indonesia masih pada level Newcomer (99,85%), sedikit sekali yang sudah sampai Artisan (0,5%), apalagi level-level selanjutnya hingga Mainstream yang berarti produknya telah menjadi pilihan utama masyarakat. Untuk beralih dari satu level ke level selanjutnya ada gap yang berarti diperlukan lompatan atau sokongan yang lebih besar. Gap paling besar ada di antara Emerging dan Challenger. Kebanyakan pemilik usaha tidak mengetahui mereka ada di level mana, juga tidak memiliki sumber daya untuk naik level. Tampaknya Evermos hendak menyediakan sarana penyokong UMKM itu. Melalui platform daring, penggunanya dapat menjadi reseller dari merek-merek yang telah dipilih secara ketat untuk memenuhi kebutuhan umat. Ternyata dalam dunia usaha pun ada semacam "jenjang karier"!

Gambar dari situs World Economic Forum.

Sajian utama menghadirkan Ghea Anisa (selanjutnya saya sebut Teh Ghea) selaku pemilik beberapa bisnis yaitu: @tiasa.plantbased, @pasarguyub.id (berpartner dengan @ngadaur dan @lifewithjubelo), serta @gi_ga. Di antara bisnisnya itu berupa restoran. Beliau berbagi mengenai hal-hal yang dihadapi dalam mengelola bisnis dalam bidang kuliner, yaitu:
  • Cara penyimpanan yang baik,
  • Gramasi bahan dengan baik,
  • Pemilihan menu yang cermat,
  • Sistem pre-order,
  • Pemilihan kemasan,
  • Alternative packaging,
  • Reduce plastic,
  • Jumat berkah minim sampah.
Perlu dipikirkan cara supaya bahan makanan tidak ada yang terbuang, mulai dari penyimpanan agar tidak cepat busuk hingga merancang menu agar semua termanfaatkan secara efisien. Kalaupun tetap ada sampah, paling tidak tersedia komposter untuk mengolahnya sendiri.

Untuk pengemasan, sekarang sudah ada alternatif dari plastik yaitu bagasse yang terbuat dari ampas tebu (bisa dicari di platform belanja daring). 

Jumat berkah minim sampah berarti menyediakan makanan gratis dengan sistem prasmanan, yang mana sasaran program ini diajak untuk makan di restoran dengan peralatan yang telah disediakan yang nantinya dapat dicuci dan digunakan lagi, alih-alih mengemasnya per porsi untuk dibagi-bagikan yang alhasil menimbulkan sampah berupa wadah makanan.

Pemilik usaha mesti aktif dalam mengedukasi baik pelanggan maupun pegawainya, serta kreatif untuk mengadakan cara-cara yang halus. Jangan memaksakan, tetapi berikanlah pilihan. Misalnya, pelanggan dapat ditawari pilihan untuk menggunakan kemasan yang biasa (plastik) atau ramah lingkungan sembari diberikan penjelasan mengenai harga yang lebih mahal jika menggunakan yang ramah lingkungan. Pelanggan juga dapat diberikan diskon apabila membawa wadah sendiri. Untuk membentuk kebiasaan para pegawainya agar memedulikan sampah, Teh Ghea membuat grup WhatsApp di mana mereka mesti memberikan laporan dalam format timestamp. Apabila mereka lalai, ada sistem hukuman sehingga kena denda; namun denda tersebut disalurkan untuk donasi yang laporannya akan kembali kepada mereka. 

Walaupun sudah berupaya melakukan pemilahan sampah di restorannya, Teh Ghea mengalami tantangan dalam pengangkutan yang masih memanfaatkan jasa pemerintah. Oleh jasa angkut sampah dari pemerintah itu, sampah yang telah dipilah malah dicampur lagi. Usahanya belum dapat menyediakan anggaran untuk membayar jasa angkut sampah oleh swasta yang lebih tahu cara menangani sampah yang sudah dipilah tetapi harganya masih terasa mahal.

Usaha Teh Ghea juga pernah mendapat rating bintang satu akibat keengganannya menggunakan cable ties (semacam kabel pengaman kemasan). Beliau tahu bahwa sampah cable ties mungkin saja berakhir di lautan dan termakan oleh hewan di sana. Maka pemilik usaha perlu memaklumi bahwa tidak semua pihak dapat dibuat senang. Tidak semua orang dapat menjadi pelanggan. Pemilik usaha sendiri mesti terlebih dahulu senang dengan apa yang dilakukannya, yang sejalan dengan nilai-nilai yang dipegangnya. Fokus saja pada target pasar tertentu yang mampu dan mau untuk membeli produknya. 

Selanjutnya ada pemaparan dari Greeneration, organisasi yang di antara programnya adalah pendampingan masyarakat untuk perubahan perilaku terhadap lingkungan hidup. Menurut Teh Ines, selaku pembicara dari Greeneration, untuk mengubah perilaku itu idealnya memerlukan waktu tiga tahun, sementara program dari organisasinya sendiri biasanya berjalan minimal enam bulan sampai dua tahun. Walaupun belum memiliki program yang berkaitan langsung dengan bisnis kuliner, sepertinya upaya mereka dapat membentuk masyarakat yang peduli untuk menghindari sampah dalam mengonsumsi makanan.

Produk rajutan keresek.
Dalam sesi berikutnya, peserta acara dapat bertanya dan atau berbagi mengenai pengalamannya sendiri dalam mengatasi persoalan sampah. Ada yang memproduksi sumpia dalam kemasan toples yang dapat digunakan kembali. Ada yang mengolah nasi sisa yang belum basi menjadi kerupuk, dan menanyakan soal keterusterangan mengenai bahan yang digunakan serta nama yang layak untuk produk jualannya itu. Ada yang menunjukkan hasil karyanya merajut keresek jadi topi dan kantong wadah minuman.

Sesi terakhir adalah Focus Group Discussion, peserta dikelompokkan untuk menuliskan inovasi apa yang dapat dilakukan oleh bisnis kuliner dalam pengelolaan limbah makanan. Di kelompok saya ada pengusaha moci, comfort food (seperti chicken katsu, spageti, dan nasi goreng), serta baso tahu. Menurut mereka, bahan makanan biasanya habis terpakai; kalaupun ada, masih dapat diberikan kepada hewan piaraan. Yang lebih jadi soal adalah kemasan. Menurut Kang Gigi yang menjual baso tahu, keresek berbahan singkong gampang rapuh apalagi begitu kena air. Mau tak mau, untuk mengemas kecap dan sambal masih menggunakan plastik biasa. Kalau menggunakan wadah kecil khusus, harga akan naik. Teh Anggun yang menjual comfort food mengaku kerap mendapat rating rendah di antaranya karena tidak secara cuma-cuma menyertakan perintilan macam sendok-garpu plastik atau sambal dalam paket makanannya; menurutnya, barang-barang itu pada akhirnya akan menumpuk saja belum tentu dimanfaatkan. Sebagai pengganti keresek dalam mengantarkan makanannya kepada pembeli, Teh Anggun memberikan thermal bag kepada kurir langganannya. 

Perwakilan dari beberapa kelompok kemudian maju untuk menyampaikan hasil diskusi. Ada satu kelompok yang, sebagaimana kelompok saya, terdiri dari beberapa pengusaha makanan yang bahannya habis terpakai sehingga tidak menghasilkan limbah; kalaupun ada, limbah itu dapat diolah menjadi pupuk. Ada pula yang menerangkan cara membuat sabun dan lilin aromaterapi dari minyak jelantah.

Kamis, 16 Mei 2024

Diskusi Buku DUNIA REVOLUSI: Perspektif dan Dinamika Lokal pada Masa Perang Kemerdekaan Indonesia, 1945 - 1949

Buku Dunia Revolusi adalah bunga rampai hasil dari proyek kerja sama Indonesia - Belanda dalam penelitian sejarah mengenai suatu periode setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, yaitu dari 1945 sampai 1949. Dieditori oleh dosen-dosen dari Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada, kontributor buku ini adalah peneliti sejarah dari kedua negara. Untuk peneliti dari Indonesia, instansinya bermacam-macam tidak hanya dari UGM. Proyek ini dikerjakan selama 2017 - 2022, sempat tersendat oleh pandemi COVID-19. Terdapat berbagai tantangan lain di antaranya tradisi historiografi yang berbeda antara peneliti Indonesia dan peneliti Belanda, serta tanggapan yang kurang mendukung dari masyarakat sejarah sendiri. 

Dalam pelajaran Sejarah semasa sekolah, periode ini dikenal sebagai masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selama itu terjadi konferensi-konferensi (di antaranya Linggarjati, Renville, dan Meja Bundar) diselingi dua kali Agresi Militer Belanda. Selama pemerintahan masih diproses di meja-meja konferensi itu, rupanya terjadi banyak konflik lokal bahkan kekerasan. Sebagaimana yang diungkapkan dalam buku ini, sebagian dari kekerasan itu menyasar kalangan minoritas seperti Tionghoa dan India khususnya di separuh atas Sumatera. 

Pelajaran Sejarah di sekolah pun, seingat saya, tidak menyebutkan tentang "Periode Bersiap" berkenaan dengan masa itu. Informasi tentang "Periode Bersiap" saya dapatkan sendiri secara tidak sengaja, ketika pada 2018 silam hendak mencari tahu mengenai sesuai hal dan bertemulah dengan artikel yang menerangkan tentang hal ini. Yang saya ketahui sebatas pada masa ini rakyat lokal seperti melakukan balas dendam atas penjajahan berabad-abad dengan membunuhi warga sipil Belanda, dan mungkin pula bangsa Eropa lainnya asal menyerupai Belanda.

Saya duga sisi kelam dari bangsa sendiri inilah yang membuat proyek ini kurang mendapat tanggapan positif. Sikap sungkan tampak dari tim editor selama acara bedah buku ini. Seakan-akan mereka dihadapkan pada suatu reaksi: sudahlah, yang lalu apalagi kalau buruk tidak usah dikorek-korek; janganlah membuka aib sendiri. Apalagi kalau ada uang yang terlibat, dibiayai pemerintah bekas negara penjajah untuk menggiring opini masyarakat, misalnya, bahwa orang-orang yang selama ini kita elu-elukan sebagai pahlawan pejuang tidaklah seheroik itu, ada pula kejahatan yang dibuatnya. 

Karena pada dasarnya kurang mendalami sejarah dan tidak pula mengikuti keramaian di media perkara proyek ini, saya dan teman mewakili masyarakat awam selaku peserta acara ini pun agak kebingungan memahaminya. Kami sekadar menunjukkan bahwa informasi mengenai periode yang berkabut ini kurang tersebar luas di masyarakat.

Kalau boleh saya refleksikan secara pribadi, agaknya bagian dari pendewasaan adalah mau berkaca dan mengakui kesalahan sendiri, menerima bahwa diri ini tidak selalu berada di pihak yang harus dibela, dianggap baik tanpa pernah berdosa. Setelah keburukan itu diakui, maka dipikirkan cara untuk memperbaikinya yang tentu saja perlu disusul dengan tindakan nyata yang berkelanjutan. Walaupun, menurut Pak Bambang Purwanto selaku kepala editor buku ini, dalam sejarah tidak segala hal mesti berkelanjutan; ada pula yang hilang, takkan berulang. Inginnya yang buruk itu yang takkan berulang.

Versi bahasa Inggris buku ini berjudul Revolutionary Worlds, bisa dicari di internet dan diunduh secara cuma-cuma. Namun versi ini diedit secara lebih ketat, sehingga tidak seautentik atau seutuh versi bahasa Indonesia yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia, 2023.

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain