Kamis, 28 Februari 2008

Anjing

Ayahnya adalah mantan mandor yang kena PHK. Pekerjaannya kini adalah tinggal di rumah menjaga warung dan marah-marah sama istri. Untuk membantu perekonomian keluarganya, pemuda itu mesti bekerja tanpa harus mengorbankan jam sekolahnya.

Karena ia tak ingin. Karena ada beberapa mata pelajaran menarik yang ia ingin terus ikuti. Karena ada guru kocak yang dapat membuat ia terhibur; tertawa tiada henti. Karena ada teman-teman yang selalu riang dan setia menemani dan mengerti. Karena ada si Yeti, gadis dari kecamatan wetan yang selalu merawankan hati.

Pekerjaan apakah yang bisa ia lakukan tanpa harus mengorbankan jam sekolah namun dapat menghasilkan upah lumayan? Kata Wak Maman ada lowongan jadi tukang koran. Sungguh suatu kesempatan yang tidak bisa begitu saja dilewatkan. Ia pun menerimanya tanpa pikir panjang. Sebetulnya ia juga ingin mengisi waktunya sepulang sekolah dengan bekerja di bengkel. Namun belum ia temukan bengkel yang membuka perekrutan karyawan baru.

Yah, begini sajalah dulu!

Pemuda itu sudah bangun dari jam setengah empat pagi. Sesudah solat, sarapan seadanya, dan mandi, ia bergegas memacu sepedanya menuju loper dan menerima koran-koran jatahnya. Lalu ia beraksi. Bergerak cepat. Biar angin dingin menyergap selalu, namun ia tak mengeluh. Ia mampu mengendalikan sepedanya dengan tangkas dalam menghadapi setiap rintangan di jalan sehingga jarang dirinya mengalami kecelakaan. Kalau tidak begitu, bisa-bisa ia datang ke sekolah kesiangan!

Oh, inilah aku, wahai Sang Pencipta ufuk timur dan segala, menjemput rezeki yang Kau janjikan ada kala subuh!

Jalan Anggrek. Ia belok kanan. Setelah satu rumah di jalan ini, tinggal dua rumah lagi di komplek sebelah dan pergilah ia dengan tenang ke sekolah.

Rumah yang ditujunya adalah rumah yang letaknya paling ujung. Tak luput darinya pemandangan di kanan kiri selama menuju ke sana. Siapa tahu ada nona manis sedang bersiap pergi ke sekolah.

Namun biasanya yang menarik perhatiannya di jalan ini hanyalah seekor anjing yang kondisinya memprihatinkan. Di balik pagar oranye, leher si anjing dirantai dan ia duduk muram di atas pavling block yang melapisi garasi. Anjing itu sebetulnya berukuran cukup besar, seandainya gemuk. Tingginya kira-kira dapat mencapai tengah paha orang dewasa. Warnanya coklat kayu ampupu. Bulunya pendek. Tubuhnya hanya terdiri dari tulang dan kentut dibungkus kulit.

Dalam pikiran, pemuda itu bertanya-tanya setiap kali melihat pemandangan mengenaskan di balik pagar oranye tersebut. Apa pemiliknya tidak pernah memberinya makan? Setelah beberapa hari, ia baru menyadari ada wadah makan anjing dekat anjing itu. Namun pertanyaan-pertanyaannya tidak pernah berhenti. Tapi itu wadah makan atau wadah air? Kalau wadah makan, bagaimana dengan wadah airnya? Ia tak melihatnya. Kalau itu wadah minum, di mana makanannya ditaruh? Lebih baik diberi makanan saja tanpa air (itu dapat membuat si anjing tidak dapat bertahan hidup), atau makanannya dicampur air (itu menjijikkan, tapi biar saja, kan anjing), atau minum saja tanpa makanan? Ia pernah dengar pernyataan makhluk hidup bisa bertahan hanya dengan air saja jadi kekhawatirannya agak berkurang. Tapi bagaimana anjing itu menunaikan pup dan semacamnya kalau dia selalu dirantai? Urusan perut si anjing benar-benar membuatnya pusing.

Setiap melewati pagar oranye itu, anjing itu seolah mengisyaratkannya 3L: Lemah, Letih, Lesu. Kalau tidak tidur, pasti duduk dengan tampang sedih. Kalau tidak duduk dengan tampang sedih, ya tidur. Sungguh anjing yang tidak berbudaya! Bulan demi bulan pun berganti dan ia tetap dapati anjing itu di situ dan begitu begitu saja kegiatannya, tidak memancarkan semangat hidup. Membuatnya iba. Huh, bagaimana ini pemiliknya, punya anjing kok tidak dirawat?!

Suatu hari, pemuda itu ingin membelikan adik-adiknya hadiah. Sesekali ia ingin memberikan mereka sesuatu yang “bergaya”. Selama ini ia hanya membelikan mereka mainan murahan di pasar tradisional. Pemuda itu mengumpulkan upahnya selama ini dan pergi ke swalayan. Berjalan jalanlah ia, melewati rak demi rak penuh barang, dalam ruang luas bercahaya terang dan sejuk ber-AC.

Dilewatinya rak yang berisi barang-barang keperluan hewan peliharaan. Makanan kucing, anjing, ikan, kura-kura, tapir, berderet-deret dan bertumpuk-tumpuk. Ia hanya termangu-mangu karena tak terlintas sedikit pun pikiran untuk membeli salah satunya sebagai cemilan adik-adiknya. Ia kagum. Hebat. Hewan peliharaan saja makanannya canggih begini, dikemas begitu bagus. Selama ini ia pikir hewan peliharaan cukup hanya diberi makanan sisa.

Tiba-tiba matanya menumbuk seplastik berisi tulang-tulangan. Tulangbajing! Ini mainan anjing! Kok kayak anak-anak saja sih, butuh mainan? Apakah rasanya enak kalau dibuat kaldu? Berapakah harganya? Masya Allah! Nggak ah! Mending beli bakso atau ceker ayam! Ia membayangkan, setelah sekelumit daging ceker ayam itu habis digerogoti, tulangnya tidak dibuang tetapi untuk diberikan pada si anjing di balik pagar oranye. Ia heran. Tidak bisa dimakan kok harganya mahal begini?

Ia terpikir untuk menyisihkan sebagian uangnya untuk diberikan pada ibunya. Untuk membeli ceker ayam, agar sekeluarga bisa menikmati sop ceker ayam. Sisa-sisa tulang ceker ayam itu nanti akan ia berikan pada si anjing. Ia awetkan dulu baru diberikan pada anjing. Atau jangan diawetkan semua, anjing itu pun butuh makan. Sebagian diawetkan untuk jadi mainan, sebagian untuk jadi makanan. Bagaimana pula cara mengawetkan tulang? Dibalsem layaknya mumi? Ah jangan! Nanti anjing itu akan tersiksa kalau tulang awetan mainan ini kelak digerogotinya. Daripada bingung pemuda itu pun memutuskan untuk menghibahkan seluruh tulang ceker itu apa adanya saja untuk si anjing. Toh ceker ayam mentahnya saja masih ada di angan-angan.

Mungkinkah anjing itu pun perlu diberi Sangobion? Mungkin 3L-nya itu hanya gejala anemia

Sampailah saat di mana pemuda itu sudah mendapatkan tulang-tulang ceker ayam sebagaimana yang direncanakannya. Ketika melewati pagar oranye itu lagi, selain melempar koran ia lemparkan juga tulang. Tidak sekaligus banyak. Untuk percobaan satu saja. Belum tentu akan dimakan pula. Kalau tidak dimakan maka sang pemilik rumah akan marah karena ada yang mengotori garasinya dengan tulang ceker ayam. Pikiran itu membuatnya tidak nyaman. Kalaupun tidak dimakan minimal dimainkanlah! Pemuda itu harap-harap cemas.

Ia baru benar-benar khawatir tindakannya itu akan menimbulkan masalah saat ia sudah berada di sekolah. Kucing saja tidak menggerogoti tulang sampai habis, apalagi anjing! Ia telah mengotori garasi rumah orang.

Ia pun berganti haluan. Jangan. Jangan tulang. Jangan sesuatu yang menimbulkan sisa dan mengotori garasi rumah orang. Sesuatu itu mestilah yang dapat habis sekali telan. Da-ging! Wadduh! Mahal... Keluargaku saja belum tentu dapat makan daging sebulan sekali, pemuda itu mengeluhkan gagasannya sendiri.

Ia terpikir untuk mengorek-gorek tempat sampah untuk mencari daging sisa. Ia bisa jadi pemulung sepulang sekolah. Pendapatannya lumayan, ia pernah dengar percakapan tetangganya yang berprofesi demikian.

Ah, tapi dengan kerja sambilanku sebagai tukang koran, ditambah menjadi pemulung di jalanan, tidakkah akan menambah hina diriku di mata teman-teman? Teman-temanku tidak ada yang harus bangun pagi-pagi sekali untuk menjemput koran lalu mengantarkannya pada pelanggan. Ia urung dengan gagasan itu.

Sampailah saat di mana pemuda itu mendapati seorang temannya baru membeli sosis dingin. Sosis itu hendak dimakannya namun terloncat jatuh ke ubin hitam ketika akan dikeluarkan dari pembungkusnya. Sejenak temannya itu bersedih lalu balik kanan untuk membeli lagi barang yang sama. Dengan sembunyi-sembunyi pemuda itu menggiring si sosis sampai tempat yang sepi dengan kakinya. Ia lalu mencari-cari plastik yang cukup besar untuk membungkus sosis yang jadi berlumuran pasir dan kerikil itu. Sebelum dibungkus, sosis itu ia bersihkan dengan air mengalir.

Ketika melewati pagar oranye itu keesokkan harinya, dengan kecepatan kilat ia lemparkan sosis yang sedari tadi ia simpan di saku. Dengan dikantongi plastik tentu, namun plastiknya itu tidak ikut dilemparnya. Ia tidak sempat melihat anjing itu mengendus-endus si sosis lalu dengan tanpa gairah menjilatinya, nyaris malas memakannya. Ketika melewati pagar itu kembali, ia melihat hidung si anjing sedang menempel pada sosisnya. Pemuda itu tersenyum ria.

Ia mengandaikan dirinya punya banyak daging. Keluarganya akan gemuk-gemuk dan tidak kurus ceking seperti si anjing. Dan anjing itu akan diberinya juga. Ia membayangkan setiap pagi melewati pagar itu dengan membawa sebatang sosis di sakunya. Anjing itu telah menunggu dengan mata berbinar di balik pagar begitu mendengar derit roda sepeda tuanya dari kejauhan. Ia lemparkan sosis itu dan anjing itu sampai lompat saking bersemangat menangkapnya. Makin lama makin tinggi lompatan si anjing hingga cukup tinggi untuk melompati pagar. Si anjing pun dapat berlari-lari di luar pagar. Bebas dari cengkeraman pemilik jahanam dan dapat berkelana mencari makanannya sendiri dari tong sampah ke tong sampah. Kalau baik nasibnya, mungkin akan ada sepasang lansia yang ingin mengadopsinya.

Pemuda itu membayangkan dirinya yang bersepeda berkejar-kejaran dengan si anjing. Bukan karena ia maling, tentu saja, melainkan sebagai kawan bermain. “Tangkap, Njing!” serunya gembira sambil melemparkan sebuah piring plastik kuat-kuat ke udara. Anjing itu telah penuh dengan energi sehingga dapat loncat tinggi untuk menangkapnya.

Ia baru ingat kalau leher anjing itu dirantai sehingga anjing itu tak mungkin pergi ke mana-mana.

Kalau saja anjing itu bisa menggergaji rantainya sendiri, mungkin ia akan melemparkan gergaji juga ke balik pagar oranye itu.

Pada hari-hari berikutnya, pemuda itu tidak lagi sering mendapati daging berukuran cukup besar tercecer meskipun matanya sudah menelusuri lantai kantin maupun jalanan pasar. Ia berharap semoga ia bisa beramal lagi untuk si anjing.

Setelah sekian lama, harapnya akhirnya menjadi kenyataan. Dengan semangat ia memacu sepeda. Seonggok daging dalam plastik aman di saku celana. Ketika melewati pagar oranye itu, dengan cepat ia melemparkan daging ke baliknya. Namun, bukan si anjing ceking menyedihkan yang berada di sana melainkan seekor anjing hitam berbulu panjang yang menggonggonginya setiap kali ia berbalik untuk memastikan penglihatannya. Pemuda itu terpana. Halah, ke mana anjing itu?

Lepas dari jalan yang rumah itu berada di dalamnya, ia menjajaki berbagai kemungkinan yang terpikirkan mengenai misteri hilangnya si anjing.

Mungkin sebetulnya anjing itu hanya boleh diberi makanan khusus yang porsinya sedikit sehingga ia jadi kurus. Kalau diberi makanan sembarangan, si anjing bisa sakit lalu mati. Mungkin anjing itu kini memang telah mati.

Mungkin pemiliknya marah dan tersinggung karena ada yang memberi makan anjingnya. Dikiranya ia tidak sanggup kasih makan anjingnya apa. Maka anjingnya pun dimasukkan ke dalam rumah dan tidak pernah dikeluarkan lagi.

Mungkin anjing itu sedang dikebiri dan akan kembali suatu saat nanti.

Mungkin pula anjing itu sudah tua atau sudah sakit-sakitan semenjak dulu kala. Sakit kronis yang membuat pemiliknya merasa sia-sia merawatnya dan memberi makan. Dan kini anjing itu telah dianestesi.

Pemuda itu tak pernah mendapat si anjing lagi. Bertahun-tahun setelah pertemuan terakhirnya dengan si anjing, ia mendapatkan beasiswa melanjutkan kuliah ke Kedokteran Hewan dan berhenti menjadi tukang koran.

 

280208


HABIS KATA #2

Cerpen ini terinspirasi dari penglihatan yang nyata. Salah satu rumah di komplek perumahan bulik saya di Mranggen Baru Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta

memelihara dua ekor anjing kala itu (ya, saya tahu kalimat ini logikanya salah). Mereka berdua memiliki jenis yang berbeda. Saya tidak tahu apa jenisnya, yang pasti ciri-cirinya adalah memang sebagaimana yang tertera pada cerpen ini. Anjing yang satu, coklat muda warnanya, tampak begitu merana sementara anjing satunya lagi yang coklat tua ceria-ceria saja. Saya berprasangka pemiliknya telah memperlakukan hewan peliharaannya secara diskriminatif. Tapi tidak tahu juga sih.

Setiap pulang ke rumah bulik saya harus selalu melewati rumah itu. Sering saya merasa iba melihat si anjing-merana. Keadaannya seperti apa yang saya tuliskan pada cerpen. Namun tidak seperti tokoh utama, tak ada yang saya lakukan untuk memperbaiki kehidupan anjing itu. Lagipula saya bukan tukang koran dan hidup saya Alhamdulillah tidaklah semelarat itu. Hingga pada akhirnya, setelah berbulan-bulan mau tak mau melihat pemandangan yang sama, anjing itu tiba-tiba tiada. Entah ke mana. Jadilah si anjing coklat tua ceria itu sendirian. Namun entah kapan juga mulanya, saya tak ingat persis, akhirnya si anjing coklat tua itu dapat teman lagi. Jenisnya juga beda. Teman baru anjing itu kecil tubuhnya. Punya telinga panjang yang menjuntai ke bawah. Perutnya panjang. Warnanya coklat kelam. Semacam itulah. Mereka benar-benar berteman. Sering saya lihat mereka sedang asik masyuk berdua. Bergulat bersama. Berjalan-jalan bersama. Mengorek isi tong sampah orang lain bersama. Begitulah.

Saya tidak tahu apa sebenarnya yang menimpa si anjing coklat muda malang itu. Apakah mati atau mengapa. Jika mati, apakah memang karena ketuaannya (dia tampak tua, seperti kakek-kakek bertampang kuyu) atau karena penyakit atau...

Saya tidak bertanya pada pemiliknya karena saya hanya kadang-kadang saja—bahkan hampir jarang—bertukar senyum dengan mereka. Kalaupun sering, buat apa pula saya menanyakan itu. Saya tidak ada ide harus berbuat apa jikalau saya telah mendapatkan jawaban ke manakah si anjing malang gerangan. Mungkin hanya akan saya tuliskan di buku harian. Demikianlah kisah di balik pembuatan cerpen ini. Sebenarnya saya tidak ingat pasti warna si anjing coklat tua itu memang coklat tua atau perpaduan hitam-coklat muda. Memikirkan ini tidak akan meningkatkan IP saya. (12/30/2008)

Rabu, 20 Februari 2008

Adik dan Kakak (Kelas)

1

Insiden yang terjadi beberapa hari yang lalu mengondisikan Elmo untuk mulai menjajaki proses pengenalan dan pengakraban dengan suatu mesin penghasil emisi bernama Angkot. Kenapa harus Angkot? Ya iyalah. Dengan sebelah tangan digips tak mungkin ia mengendalikan motor atau mobil. Ia terlalu tengsin untuk minta diantar jemput. Elmo harus belajar merakyat, mandiri, dan merasakan pahit getirnya kehidupan dengan menumpang angkot. Suatu proses menuju kedewasaan dan mengasah kecakapan hidup.

Tai kebo.

Untuk menuju ke tempat bimbel semi-pivatnya Elmo harus naik dua kali angkot yang menghabiskan ongkos yang kalau Elmo hitung-hitung bisa untuk membeli 3 batang pensil 2B di koperasi sekolah. Pensil 2B untuk persiapan SPMB. SPMB dihitung-hitung tinggal lebih kurang 2 ½ bulan lagi. Masih ada beberapa materi yang butuh penguatan. Materi apa yah? Sambil berkontemplasi Elmo menaiki angkot merah manyala yang sedari tadi ngetem sejak dia jalan dari belokan di ujung belakang.

“Anjis...,” gumamnya begitu melihat dengan siapa dia berhadapan di dalam angkot.

Anjis merupakan plesetan dari kata “anjing” yang biasa digunakan sebagai umpatan. Anjing masuk ke dalam filum chordata; mamalia; menyusui seperti kucing; lucu, setia, sahabat manusia, tapi gudangnya penyakit. Ilmu untuk mempelajari hewan namanya Zoologi. Zoologi merupakan salah satu cabang dari ilmu Biologi. Uh, yeah.

Elmo sempat menangkap ekspresi ketakutan di wajah makhluk tak rupawan, bertubuh pendek, berpotongan rambut tanpa selera, dan bikin celaka itu sebelum memalingkan muka ke arah jalanan. Ia bersumpah demi langit dan bumi tidak akan menoleh ke hadapannya hingga cewek itu turun. Males banget. Meskipun oleh sahabatnya, Trista sang novelis, di sekolah tadi ia disuruh memahami hakikat Aze sebagai tersangka utama.

“Dia kan nggak tau bakal ada motor kamu lewat situ. Mungkin dia kira jalan itu nggak ada yang melalui selain dia seorang.” Trista mencoba menyelami kasus itu secara objektif.

“Tapi buktinya begitu ngeliat gue celaka, dia langsung kabur. Anak seperti itu apa namanya? Kita kan sama-sama satu sekolah, mana rasa tolong menolong antara kakak dan adik kelas?”

“Ohh... jadi kamu pinginnya ditolong sama dia...?”

“Nggak juga sih. Nggak ada untungnya ditolong ma dia. Pokoknya gue sebel ma dia. Liat mukanya aja udah sebel.”

Elmo berusaha menahan ombak amarah yang menghantam karang kesabaran. Amarahnya muncul karena ia ingat kepayahannya dalam mengisi lembar jawab ujian praktek dan bagaimana pula nanti UAS? SPMB? Gimana ia bisa menjawab soal kalau tangan yang biasa dipakai tidak berfungsi begini?

Dari sudut matanya Elmo mengetahui cewek itu tengah melihat ke arah lain juga. Argh, udahlah! Ayo, angkot, cepat jalannya...

Setelah mengisi setengah penuh kapasitas penumpang dan tangki kemarahan Elmo, angkot itu berjalan juga akhirnya.

Brmmm... Brmmm...

Tak lama berjalan angkot itu berhenti untuk memasukkan beberapa orang pemuda dengan warna muka yang variatif antara masing-masing individu.

Elmo larut dalam usaha menemukan pembuktian kenapa sin x = 6n

 

2

Aze memerhatikan bagaimana keenam pemuda yang datang dalam waktu bersamaan itu memilih tempat duduk yang tidak saling berdempetan antara satu sama lain alias mencar. Ada yang bawa ransel kosong di pangkuan. Beberapa duduk dekat jendela. Hm. Aze yang sudah cukup banyak makan asam garam dunia kepenumpangangkotan dan memiliki insting yang sudah terasah, merasakan adanya gelagat tidak baik dari para penumpang baru itu. Terutama yang duduk di sebelah kakak kelasnya; anak kelas 3 ganteng bernasib malang. Biarpun naik angkot, cowok itu tidak memancarkan aura bersahaja. Meski tasnya dipangku tapi sama sekali tidak tersirat adanya perlindungan akan tas itu. Aze merasa kalau ia dan cowok itu tidak berada dalam hubungan yang dibumbui konflik, Aze bisa melatihnya menjadi penumpang angkot yang kebal pencopet.    

Konflik batin pun terjadi. Meski Aze bukan tipe cewek yang gemar menyebrangkan nenek di jalan, pertemuan dengan komplotan pencopet yang sudah-sudah di angkot menyadarkan bahwa suatu peristiwa-naas-yang-akan-berlangsung-kalau-tidak-ditindak ini harus segera dicegah. Aze tidak mengetahui dari mana datangnya kesadaran untuk menjadi warga negara yang baik ini karena nilai PPKn-nya waktu SD biasa-biasa saja. Masalahnya, cowok itu kan sudah berbuat jahat sama dia. Setidaknya cowok itulah yang telah memberikan tekanan psikis tak terduga sekaligus tak menyenangkan padanya akhir-akhir ini padahal sedang tidak MOS. Tapi kalau Aze tidak membuatnya celaka mungkin dia juga tidak akan begitu. Ah, nggak ah. Ini bukan salah aku. Coba kalau cowok itu nggak ngebut.  

Objektivitas dan subjektivitas bertarung. Mana yang akan menang? Pertarungan itu makin menjadi-jadi karena keyakinan bahwa orang-orang yang baru masuk tadi mencurigakan semua makin kuat. Apalagi ketika Aze secara tak sengaja menangkap dari bahasa tubuhnya bahwa salah satu pencopet akan segera mengeksekusi objek penderita. Objek penderita yang ada di depannya. Haruskah ia mengelakkan panggilan untuk memberantas kriminalitas hanya karena sang korban adalah orang yang tidak ia sukai (meskipun ganteng)?

 

3

“Kang...”

Elmo mengetahui bahwa ada seseorang yang tidak mengetahui namanya mencoba memanggil namanya dengan embel-embel ‘kang’.

Dan mencoba menggapai salah satu anggota tubuhnya.

“AAARRGGGHHH!!!”

Sayang, kurang perhitungan akan besar energi yang dikeluarkan. Para penumpang yang sedang nikmat-nikmatnya meresapi eksotisnya perjalanan-ke-suatu-tempat-dengan-menggunakan-angkot terkaget bin terkejut dengan teriakan seorang pemuda.

“...tulangku...aduh... kamu... kamu...”

Elmo sempat menangkap ekspresi bersalah dari cewek yang ada di hadapannya.

“Mau apa si lo?” sentak Elmo kasar.

Dengan tabah cewek itu menjawab. “Main sambung kata yuk.”

 

4

Pencopet di sebelah Elmo cepat-cepat mengamankan tangannya yang tadi gerayangan. Aze senang dengan kenyataan itu. Tapi ia tetap tidak boleh lengah. Pertolongan Pertama pada Korban Pencopetan tetap harus dituntaskan. Karena dalam sekejap para penumpang yang lain mulai kembali dalam keadaan adem ayem, kesempatan yang bisa dimanfaatkan oleh para pencopet.

.

Kali ini cewek itu berani menoel lututnya. Bikin senewen banget. Tidak boleh. Elmo sudah berjanji demi langit dan bumi. Udah jelek, kegenitan lagi. Elmo menyusun rencana untuk melakukan hal yang lebih kejam lagi pada cewek ini. Tentu saja eksekusi tidak akan dilaksanakan dalam angkot.

“Kang, maen sambung kata, yuk. Itu kan bagus buat mengasah intelektualitas kita...” Cewek itu menebarkan aura saya-anak-SMAN-Bilatung-Bandung-yang-intelek-lho ke seluruh penjuru angkot. (Kemungkinan) lupa akan sumpahnya yang tadi, Elmo menatap Aze garang dan tajam. Dengan perasaan benci yang mendalam. Dalam kebisuan yang mematikan. Tatapan mata ala anak Badan Kemanan Sekolah ini akan sempurna apabila didudukung dengan kedua lengan terlipat atau satu tangan di pinggang. Sayangnya lengan Elmo yang satu lagi tak bisa digerakkan. Mau berkacak pinggang juga tak memungkinkan karena di dalam angkot sempit. 

“Ogah.” Elmo memalingkan kepalanya lagi.

“Iiihh... nggak mau berarti nggak bisa, yaa..”

“Apa sih!?.”

“Kata pertamanya dari aku, ya!”

Elmo mengeluarkan nada dan ekspresi sungguh-sungguh meminta pada cewek itu agar tidak mengusiknya lagi. Lalu kembali memalingkan kepala.

“Sih.... sih... Sihlakan...,” kata cewek itu. Melihat Elmo masih dengan muka BT, cewek itu menoel lutut Elmo lagi.

“Kang, bales dong. Ayo, bales!”

Kalo lo minta gue bales nyelakain lo pake motor lagi sih gue oke, batin Elmo.

“Kang...!”

Elmo berusaha tidak memedulikan tatapan aku-tuh-lagi-berusaha-nyelamatin-harta-kamu-tau yang gencar diberikan cewek itu. Elmo tidak peduli resleting tasnya mulai sedikit demi sedikit  terbuka akibat usaha dari orang yang duduk di sebelahnya.

“Pengecut, dasar,” gerutu cewek itu pelan. Tapi masih dapat ditangkap gendang telinga Elmo dan menyentuh impulsnya, menggerakan saraf motorik yang menghasilkan ekspresi tertegun lalu terhina yang khas.

“Kantor!”

Mata Elmo menembakkan kata, “Puas? Puas?” yang disertai usaha sebesar mungkin agar tidak mirip Tukul.

.

Yes. Elmo akhirnya mau juga diajak berkonspirasi. Huhuhu. Sekarang Aze berusaha agar ia bisa mengeluarkan kata dengan suku terakhir ‘co’, dengan harapan Elmo membalasnya dengan kata ‘copet’. Tidak terlintas dalam benak Aze cara yang lebih mudah untuk menyelamatkan kakak kelasnya dari pencopet.

“Torco!”

“Apaan tuh?” tanya cowok itu bingung.

“Torco...,” ujar Aze tak sabaran. “Udah, cepet, bales aja...”

“Adanya juga torsi. Di Fisika...”

“Aaah... nggak mau! Pokoknya torco!”

Cowok itu berpikir bentar. “Combro.”

YAH! Aze panik. Ia harus dengan tepat memperhitungkan waktu yang dipakai buat main ini dengan waktu yang digunakan si pencopet untuk dapat memasuki dan menjelajahi bagian depan tas Elmo.

“Aduh, jangan combro dong! Kata yang lainnya kek!”

“Contoh? Cokelat? Cobaan?” orang di sebelah Aze mencoba membantu.

“BUKAN.”

Cowok itu memasang muka sebal. “Banyak maunya ih! Udah diladenin juga. Main ma yang lain aja sana.”

“Ah! Ya udah deh! Brosur!”

“Surya.”

Aze mendapat ilham. Kalau cowok itu menjawab dengan kata ‘suryakanta’, ia bisa membalasnya dengan kata ‘tauco’, dan muncul peluang satu banding sekian cowok itu untuk melanjutkannya dengan kata ‘copet’.

“Gimana kalau ‘suryakanta’ aja, Kang?”

Cowok itu menjawab dengan nada tidak senang. “Nggak ah. Elmo maunya ‘surya’ aja.”

Ternyata benar namanya Elmo, catat Aze dalam ketergesaan. Sempat Aze mencuri pandang ke name tag di dada kanan seragam Elmo, tertulis Erlangga Mochammad. Nggak nyambung sama Elmo. Eh, tapi bisa juga sih. Lebih nggak nyambung namanya sendiri, ia bahkan jadi bertanya-tanya, dulu gimana ceritanya ia bisa sampai dipanggil Aze?

“Aduh... yaaa... yakin!”

“Kintamani.”

“NISTA.”

“Mmm... Tauco?”

“COPET!” Aze menjawab dengan lantang dan sepenuh hati sambil menunjuk pemuda yang ada di sebelah Elmo. Lalu terhenyak sendiri. Aze buru-buru mengarahkan telunjuknya pada Elmo yang menanggapinya dengan ekspresi itu-nggak-sopan-tau, tapi ia tidak melepaskannya sampai Elmo kembali menjawab. “Eh, salah! Copet, Akang, ayo, PET!”

Elmo terdiam karena berpikir. “Petruk...”

Seseorang berteriak “KIRI! KIRI!” dengan keras. Beberapa orang turun seketika, termasuk orang yang tadi mencoba membantu permainan yang dibuat Aze. Termasuk orang di sebelah Elmo, yang sebelum keluar dari angkot menyempatkan diri untuk dengan amat sangat sengaja menyenggol lengan kiri Elmo dengan tanpa perasaan, membuat Elmo tak mampu menatap dunia untuk beberapa waktu.

Aze memandang kepergian para pencopet itu dengan senyum penuh kemenangan dan kepuasan. Muncul keinginan masuk Akademi Kepolisian selulus SMA di benaknya agar bisa menjadi penegak kebenaran dan keadilan yang lebih kompeten.

Setelah gerombolan pencopet itu menjauh, seorang ibu mendekat dan berkata, “Tadi itu pencopet ya?”

“Oh, ya?” tanggap Aze dengan tampang tak percaya yang memuakkan Elmo yang tak sengaja melihatnya. Elmo menghentikan angkot meski tempat turunnya masih beberapa meter lagi.

Rabu, 06 Februari 2008

Mati Aja Deh!

1

Rehat sejenak. Anak-anak kelas 3 sedang masa-masanya ujian praktek. Guru-guru tidak optimal mengajar. Beberapa kelas yang gurunya tidak ada bebas hura-hura mau ke mana saja. Padahal sebentar lagi mereka juga bakal kena ulangan umum. Yang bisa Aze lakukan sambil menunggu saat itu tiba adalah menikmati hawa sejuk Bandung yang agak mendung. Ah... Bandung... Kota para kembang yang tersebar di Saritem, Savoy, Taman Lalu Lalang...

Sejak pagi ia duduk-duduk di kantin dengan beberapa teman sekelasnya, ngomongin cowok paling ganteng di kelas. Atau guru-guru yang punya kualitas untuk masuk MURI. Atau apa saja tentang dunia yang enak diomongin. Suasana aman nan nyaman itu terburai saat gerombolan anak tipe aktualisasi memasuki kawasan kantin dan menggelar perkakas mereka. Argh, silau. Kantin mulai rame. Semakin banyak diisi orang-orang, termasuk anak-anak dari SMA sebelah padahal mereka sudah punya kantin sendiri. Oh, maklum saja, sepertinya ini sudah masuk jam istirahat. Aze merasa ia tidak bisa tahan lebih lama lagi di tempat ini. Aze harus menyepi. Terlalu banyak orang. Sesak... sesak...

Dengan muka BT, Aze dan pengikutnya keluar dari areal kantin. Panas terik mulai menerpa. Matahari bersama orang-orang ceria yang ingin segera tebar pesona. Di kejauhan ia melihat beberapa anak kelas 3 dengan name tag besar di dada dan lembaran kertas terlipat di tangan membuat kelompok-kelompok. Mungkin mereka sedang mempersiapkan diri untuk giliran praktikum selanjutnya. Tahun depan juga ia akan mengalami hal yang seperti itu. Aze belum mau memikirkannya. Persiapan buat ulum besok saja nihil. Ah... sekolah... setiap pemandangan yang tertangakap matanya, di penjuru mana saja, selalu bikin iritasi. Kenapa, ya? Kenapa? Realita bahwa dirinya agak asosial tidak begitu memuaskan.

Baru saja sampai di perbatasan terdengar gemuruh langkah kaki segerombolan anak yang tergabung dalam komunitas yang membuat Aze tambah teriritasi. Gerombolan anak BKS, dengan jaket hitam dan lambang sayap merah besar di punggung yang bikin jantung berdentam serasa dipukul alu. Mereka menyerbu dari belakang. Satu orang yang terdepan merentangkan tangannya, berputar-putar, menari.

Seseorang berkomentar dengan suara keras, “Weeeyy.... ngewaaa..[1].”

Disusul seseorang berhelm berlari lurus dan cepat dengan dua tangan terkepal di depan, seakan-akan sedang mengendarai motor.

“Ngennngg...” Dilengkapi dengan suara sejernih Dolby Surround Stereo.

Cowok yang menari berjalan oleng ke sana kemari, seakan tidak menyadari bahwa gerakannya itu akan menghalangi laju lurus cowok berhelm di belakangnya. Dan terjadilah. Cowok berhelm itu mencoba menghindar dari cowok menari yang bergerak tak keruan yang menghalanginya. Ia menikung dengan cepat lalu menabrakkan diri di semak-semak pinggir bagai Aang si Avatar yang menabrak batu dalam opening serial Avatar: The Last Airbender. Teman-temannya tertawa membahana karena kelakuan konyol cowok yang sengaja mencelakakan dirinya itu. Orang-orang di sekitar tersenyum-senyum saja melihat kejadian yang terjadi bagai kilat menghantam bumi tersebut. Meski Aze pikir itu konyol, tapi ia mengikuti teman-temannya yang memperlambat jalannya untuk mengetahui apa yang akan terjadi setelahnya.

Cowok berhelm celaka itu kini sudah berdiri dan membersihkan dirinya. Teman-temannya berteriak gaduh, “Aaaaahhh... TIIS! TIIS![2]

Aze langsung melotot begitu melihat salah satu di antara mereka itu terdapat dia, cowok yang jatuh ke sawah. Dia tidak ikut berteriak. Ia berada paling belakang, hanya ikut tertawa, pembalut leher dan tangannya yang putih cemerlang itu memantulkan cahaya mentari yang membuatnya begitu bersinar dan membuat siapa saja silau melihatnya.

“Huuh, pake deterjen apa sih?” dengus Aze yang sejak melihat Elmo merasakan ketidaknyamanan dan ketidakamanan. Ia meminta teman-temannya untuk mempercepat langkahnya.

Di dalam koridor yang gelap, jalan menuju kelasnya, di mana semua benda tampak berwarna hijau dan ungu, Aze mendapatkan ilham yang meresahkan. Jangan-jangan tadi itu merupakan sebuah adegan yang sudah dirancang sebelumnya. Sebuah skenario penuh maksud telah dipresentasikan sedemikian rupa untuk secara tidak langsung menempelkan kartu merah di jidatnya. Ya, adegan itu adalah ilustrasi dari insiden yang terjadi pada hari itu, hari pertama masuk sekolah setelah libur UN...

Ugh, bodoh. Kenapa baru sadar sekarang? Kalau tidak melihat Elmo mungkin dia tidak akan sadar kalau itu adalah sindiran telak buat dirinya.

Aze terpuruk dalam aura gelap lembah hitam. Kalau dalam komik mungkin dia sudah dikelilingi garis-garis vertikal.

 

2

Kini kegiatan bermalas-malasan yang rutin dilakukan tiga kali seminggu di rumah tidak bisa dilakoni Aze dengan tenang. Selalu saja ia teringat akan tingkah laku anak-anak BKS akhir-akhir ini. Padahal Aze bisa dimasukkan ke dalam golongan anak yang tidak memiliki kepekaan sosial tinggi. Ya, anak-anak BKS itu kalau menyadari Aze lewat kerap mengucapkan kata ‘tiis’ dalam volume dan intonasi yang bervariasi. Akibatnya Aze jadi sering menghindari pulang lewat gerbang samping belakang sekolah karena tepat di depannya anak-anak BKS biasa nongkrong. Aze merasa tidak aman kalau jajan di kantin. Ia jadi lebih sering di kelas. Makin asosial saja dia.

Pernah juga Aze mendengar ada yang nyeletuk, “Pinjem tangannya dong, buat ngebuletin LJK.”

Mau tak mau itu membuat pikiran Aze melayang pada cowok yang menghantui pikirannya, yang menurut temannya punya nama Elmo. Ah iya, bocah itu, gimana dia ngisi lembar jawaban ujian praktek yah? Dia bisa nggak ya nulis pake tangan yang satunya lagi? Trus, entar lagi kan dia UAS juga tuh, gimana dia ngebuletin LJK-nya ya? Kalau ngiteminya keluar dari lubang kan bisa fatal tuh. Belum dia ngotretnya gimana ya? Yang pasti pertanyaan-pertanyaan ini membuat Aze tambah merasa berdosa. Tapi, benarkah dia yang bersalah? Apa kalau dia tidak ada di TKP Elmo bakal tetep celaka? Aze merasa frustasi menjadi orang yang dikaruniai pikiran kritis yang banyak bacot dan bertanya.

Untung saja kecelakannya terjadi ketika UN sudah usai. Tapi, kalau dia nilai ujian praktek ma UAS-nya jelek karena nggak bisa ngisi LJK, itu bakal ngaruh ke kelulusannya nggak yah? Tapi masak sih ada anak SMAN Bilatung yang nggak lulus SMA karena nilai UAS-nya (kalau ujian praktek yang dinilai kan nggak hanya semata jawaban di LJK)? Itu bakal bikin aib banget buat pihak SMAN Bilatung. Mungkin nggak yah nilainya dikatrol?

Kalau Elmo nggak lulus SMA, itu pasti bakal sangat mempengaruhi masa depannya. Kalau Elmo anak pertama, ia bakal menjadi tulang punggung keluarga. Gimana ya kalau ternyata adiknya banyak banget dan orangtuanya udah tua renta. Ah, tapi si Elmo itu keliatannya anak orang kaya kok. Apalagi orang kaya temperamen, bisa-bisa mereka nuntut haknya, minta pertanggungjawaban sama yang bikin anak mereka celaka. Atau, bisa-bisa mereka lapor sama sekolah. Oh iya, pembina BKS kan guru senior berkumis baplang yang kabarnya super galak itu! Gimana kalau dia yang maju untuk minta pertanggungjawaban atas cedera yang dialami anak asuhnya? Itu kan bisa mengganggu kinerja anggota. Tapi Elmo kan udah mau lulus masak masih aktif di BKS sih? Paling juga ngurus junior atau apalah.

Jadi, apa yang harus aku lakukan? Membayar ganti rugi pengobatan cowok itukah? Emangnya aku punya uang? Emangnya orangtuaku punya uang? Yang paling penting itu sih sebetulnya minta maaf dulu tapi emangnya aku punya nyali buat minta maaf? Lagipula, minta maaf? Ke mana? Ke rumahnya langsung? Di sekolahnya aja, dia masih belum selesai urusannya di sekolah kan? Tapi dia di kelas mana? Atau langsung ke tempat nongkrongnya? Hah? Di bimbel? Ya, Aze jarang melihat Elmo nongkrong di tempat seperti itu. Anak BKS kelas 3 kalau tidak nongkrong di tempat yang tidak jelas ya pasti di bimbel. Bimbel apa? Jalan apa? Berapa ongkos ke sana? Atau langsung ke markas BKS? Mungkin dia lagi belajar di situ dengan sesama anak BKS yang lain? Ah, masak iya?

Pikiran seperti ini dan semacamnya menghantui Aze dari hari ke hari. Terus dan terus membentuk lingkaran, kembali lagi ke awal, lalu bergerak mencari lagi hingga sampai ke satu titik di mana dia tidak memikirkan apa-apa lagi alias ketiduran.

 

3

Markas BKS terletak di pojok gang yang ada di samping sekolah. Dekat WC cowok yang katanya dihuni hantu nenek bertongkat ular. Aze mengetahui hal tersebut dari temannya yang ikut ekskul PATIN alias Pembuka Mata Batin alias ekskul bela diri yang menggunakan tenaga dalam. Diusahakan rahasia ini tidak tersebar karena kalau anak-anak BKS tau entah apa yang akan terjadi. Wallahu alam. Aze merasa prihatin dengan anak-anak BKS yang polos-polos itu.

Untuk ruangan sebuah organisasi sekolah, markas BKS bisa dibilang cukup luas. Lebih luas dari ruangan OSIS. Jarang dijamah guru pula. Sebagian dindingnya berdempet sofa empuk berwarna merah hati. Kalau Aze hendak ke ruangan ekskul PA alias Pecinta Angklung-nya, Aze mesti lewat situ. Kadang ia melihat sekilas ke dalam. Ruangan itu kerap terlihat berantakan. Kertas, buku, ransel, puntung rokok, asbak, dan barang-barang lain berserakan. Kalau Aze pulang kesorean, ia bisa melihat pintu ruangan itu terbuka lebar. Kalau sekilas melihat ke dalam akan tampak anak-anak BKS duduk nyaman di sofa, merokok, dan membuat kegaduhan di antara mereka sendiri.

Dulu sih begitu. Masih bisa untuk melihat sekilas ke dalam ruangan itu dengan aman tanpa harus mendatangkan malapetaka. Tapi kini? Aze tengah iseng mau main ke ruang PA karena tidak ada kerjaan di kelas. Jam segini biasanya markas BKS sepi karena KBM. Tapi sekarang kan anak kelas 3 lagi pada ujian praktek dan KBM jadi tak teratur. Karena pintu ujung satunya untuk memasuki gang ini ramai oleh orang-orang yang tidak paham kenapa nongkrong di ambang pintu bisa bikin jodoh jadi jauh, Aze harus masuk lewat pintu gang satunya lagi untuk bisa mencapai ruang tersebut.

Dan bagusnya, karena KBM tidak teratur, karena tidak semua anak kelas 3 dapet giliran ujian praktek pada waktu yang sama, karena anak-anak BKS punya rasa solidaritas yang cukup tinggi, mereka semua kumpul di markas. Pintu terbuka lebar sehingga siapa saja yang lewat bisa diketahui kalau jalannya tidak cepat-cepat. Bisa diteriaki juga kalau anak tersebut punya salah sama salah satu anak BKS.

Karena, pas Aze lewat, riuh suara dari markas BKS meneriakinya. Feeling Aze yang tumpul akan antisipasi bahaya di masa depan membuat gadis itu jalannya sedari tadi santai-santai aja. Begitu serangan menerjang mendadak kedua kakinya tak bisa digerakkan lagi, seakan menyatu dengan lantai.

Aze harus mengeluarkan usaha yang cukup keras agar kedua kakinya bisa menapak di ambang pintu markas BKS. Ia merasakan tangannya jadi dingin. Tatapan anggota BKS yang cewek terlihat lebih garang daripada yang cowok, entah kenapa. Mungkin karena Aze tahu kalau cewek lebih judes daripada cowok. Ia berusaha pula agar tidak muntah. Bau rokok semerbak ke mana-mana. Namun ia tahu ia takkan bisa lari. Risiko terkena kanker, impotensi, gangguan janin dan kehamilan pun mesti diabaikan.

Hyaa... deg-degan.

Oh, jadi begini rasanya jadi teroris yang kesasar di markas polisi, hanya aja aku nggak punya banyak alternatif nama..,batin Aze nelangsa.

Elmo tepat berada di depannya. Duduk dengan nyaman dan angkuh bak raja diraja di atas sofa empuk yang tepat menghadap ke pintu masuk. Dua jari pada tangannya yang tak retak mengapit rokok yang mengepulkan asap beracun. Keamanan terjaga atas dasar spekulasi guru-guru tidak akan memasuki gang ini kalau tidak perlu-perlu amat. Di kanan-kirinya duduk sepasang anak BKS bengal berambut kribo yang sekilas terlihat mirip satu sama lain. Dua-duanya sering terlihat bersama Elmo. Mereka terlihat seperti dayang Elmo, mengipasinya dengan buku tulis.

Melihat Aze, Elmo menegakkan punggung yang asalnya selonjoran nikmat.

“Kamu teh, namanya Aze, ya?”

Aze terdiam. Terpikir untuk menolak tanpa harus memalsukan namanya.

“Bukan, Kang. Nama saya Kalyana Kirana...” Aze menunjuk nama yang tersulam di badge ­kemejanya. Memang itu nama aslinya.

“Hah? Mana, liat? Sini, mendekat!”

E.

Aze maju dengan terpatah-patah. Aze menyaksikan beberapa anak BKS lain—hampir semua dengan sepuntung rokok tengah menatapnya dengan mata yang siap mengeksekusi.

“Dari Kalyana Kirana, gimana ceritanya bisa jadi Aze?” salah seorang anak BKS bertampang filsuf dan biasanya Aze lihat selalu berjalan dalam keadaan madesu, bertanya.

“Nama aku Kalyana Kirana,” Aze menegaskan.

Aze merasakan wajah ganteng Elmo tengah mengamati wajahnya. Aww, coba aku pake bedak hari ini...

“Bukannya kadal?”

Eugh. Yang waktu itu...

“Hei, madep sini kamu!” perkataan Elmo menyentaknya.

Aze menurut dengan sigap.

“Kenapa waktu itu kamu kabur?”

Aih, pertanyaan itu... lagi.

“Kamu sadar kamu udah berbuat kesalahan?”

Aze sadar ruangan itu kini jadi sepi. Semua orang memandangi. Hei, ke mana keriuhan yang tadi mengisi?           

“Ng...sebetulnya saya mau minta maaf...cuman, saya belum siap.”

Aze mengusahakan mimiknya terlihat seinosen mungkin. Meski itu tidak mungkin. Yang bisa ia lakukan hanya berlagak seperti orang imbesil.

“Jangan manja kayak gitu kamu ngomongnya...”seorang cewek BKS menukas judes.

Suasana semacam MOS kembali kental terasa.

“Kalau Akang mau minta ganti rugi, saya akan usahakan gantinya,” kata Aze lagi dengan tampang muram.

“Mau ganti rugi dengan apa kamu? Kamu bawa apa?” Salah seorang anggota BKS nyeletuk dengan nada yang tidak berperikemanusiaan. Aze berusaha keras membuat wajahnya tidak kelihatan ketakutan.

“...dengan ... apa ya...?” jawab Aze bingung. Tidak tahu lagi mau ngomong apa.

“Apa aja?” Elmo menghembuskan asap tepat ke muka Aze, membuat Aze memalingkan kepalanya dan terbatuk-batuk.

“Semuanya?” tanya Elmo lagi, agak terkekeh.

“Semuanya?” ulang Aze tidak  yakin. “Semuanya... apa?”

“Kenapa kamu malah balik nanya, hah?! Tadi emangnya kamu bilang apa?!” Elmo malah ngamuk, nyaris menendang Aze, untung masih sempet ngehindar. Aze ngos-ngosan hebat.

Yang lain ikut meramaikan.

“Iya, heeuuu, bisa nggak sih konsisten?”

“Konsisten! Konsisten!”

“BKS! Kita apain dia...??” Elmo berteriak lagi.

Anak-anak BKS terdiam meskipun tampang mereka tidak mengindikasikan adanya kegiatan berpikir ilmiah. Tiba-tiba muncul sebuah suara.

“Gampar! Gampar!”

“HAH?!”

Pintu di belakang Aze dibanting hingga tertutup rapat. Dengan tawa yang meledak seperti ini tidak ada seorangpun yang akan menyadari adanya anak malang yang terjebak di sini!

Tinju-tinju itu menyerbunya, bagai loncatan elektron yang ditarik atom positif berkekuatan ekstrim. Lalu mengalir bagai ..bagai... fluida cair. Aze lupa rumusnya. Aduh, mana kudu belajar aerodinamika lagi.

Aze memandangi pipa berbentuk aneh yang terlukis di atas papan tulis, yang dikelilingi paduan kata dan huruf kecil-kecil yang tidak mampu ia pahami meski sudah ratusan kali melihatnya.

Adegan di mana ia menegakkan kepala yang sedari tadi terpekur di meja, disambut oleh senyum mematikan guru Fisikanya.

“Enak, Nak, tidurnya?”

Aze menjawab dengan tampang pucat tak dibuat-buat.

“Nggak, Bu.” Ia menggeleng.

Bu guru Fisika itu menghela nafas. Muncul ekspresi sok penuh kebijakan dan pengertian pada air mukanya.

“Ibu mengerti kok. Kalian mesti ngejar banyak materi buat ulum, itu pasti bikin kalian capek ngikutin. Apalagi Fisika, wuuu... susah ngertinya. Kecapean kamu, Neng, kebanyakan belajar? Asal kamu udah ngejar materi ini di rumah dan ngerti ya sok atuh nggak papa, Neng, tidur lagi. Kalau begitu ibu nggak usah khawatir lagi Neng kelabakan di ulum. Ibu ngerti...”

“Ibu nyindir, ya?” ujar Aze dalam benaknya.

Aze menggeleng. “Nggak, Bu. Nggak bakal.”

Aze yakin sampai jam terakhir ia takkan tertidur lagi. Ia takut mimpinya berlanjut. Ia takut mengalami trauma psikis.



[1] Pernyataan perasaan tidak suka. Arti harfiah : Benci

[2] Dingin!

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain