Ayahnya adalah mantan mandor yang kena PHK. Pekerjaannya kini adalah tinggal di rumah menjaga warung dan marah-marah sama istri. Untuk membantu perekonomian keluarganya, pemuda itu mesti bekerja tanpa harus mengorbankan jam sekolahnya.
Karena ia tak ingin. Karena ada beberapa mata pelajaran menarik yang ia ingin terus ikuti. Karena ada guru kocak yang dapat membuat ia terhibur; tertawa tiada henti. Karena ada teman-teman yang selalu riang dan setia menemani dan mengerti. Karena ada si Yeti, gadis dari kecamatan wetan yang selalu merawankan hati.
Pekerjaan apakah yang bisa ia lakukan tanpa harus mengorbankan jam sekolah namun dapat menghasilkan upah lumayan? Kata Wak Maman ada lowongan jadi tukang koran. Sungguh suatu kesempatan yang tidak bisa begitu saja dilewatkan. Ia pun menerimanya tanpa pikir panjang. Sebetulnya ia juga ingin mengisi waktunya sepulang sekolah dengan bekerja di bengkel. Namun belum ia temukan bengkel yang membuka perekrutan karyawan baru.
Yah, begini sajalah dulu!
Pemuda itu sudah bangun dari jam setengah empat pagi. Sesudah solat, sarapan seadanya, dan mandi, ia bergegas memacu sepedanya menuju loper dan menerima koran-koran jatahnya. Lalu ia beraksi. Bergerak cepat. Biar angin dingin menyergap selalu, namun ia tak mengeluh. Ia mampu mengendalikan sepedanya dengan tangkas dalam menghadapi setiap rintangan di jalan sehingga jarang dirinya mengalami kecelakaan. Kalau tidak begitu, bisa-bisa ia datang ke sekolah kesiangan!
Oh, inilah aku, wahai Sang Pencipta ufuk timur dan segala, menjemput rezeki yang Kau janjikan ada kala subuh!
Jalan Anggrek. Ia belok kanan. Setelah satu rumah di jalan ini, tinggal dua rumah lagi di komplek sebelah dan pergilah ia dengan tenang ke sekolah.
Rumah yang ditujunya adalah rumah yang letaknya paling ujung. Tak luput darinya pemandangan di kanan kiri selama menuju ke sana. Siapa tahu ada nona manis sedang bersiap pergi ke sekolah.
Namun biasanya yang menarik perhatiannya di jalan ini hanyalah seekor anjing yang kondisinya memprihatinkan. Di balik pagar oranye, leher si anjing dirantai dan ia duduk muram di atas pavling block yang melapisi garasi. Anjing itu sebetulnya berukuran cukup besar, seandainya gemuk. Tingginya kira-kira dapat mencapai tengah paha orang dewasa. Warnanya coklat kayu ampupu. Bulunya pendek. Tubuhnya hanya terdiri dari tulang dan kentut dibungkus kulit.
Dalam pikiran, pemuda itu bertanya-tanya setiap kali melihat pemandangan mengenaskan di balik pagar oranye tersebut. Apa pemiliknya tidak pernah memberinya makan? Setelah beberapa hari, ia baru menyadari ada wadah makan anjing dekat anjing itu. Namun pertanyaan-pertanyaannya tidak pernah berhenti. Tapi itu wadah makan atau wadah air? Kalau wadah makan, bagaimana dengan wadah airnya? Ia tak melihatnya. Kalau itu wadah minum, di mana makanannya ditaruh? Lebih baik diberi makanan saja tanpa air (itu dapat membuat si anjing tidak dapat bertahan hidup), atau makanannya dicampur air (itu menjijikkan, tapi biar saja, kan anjing), atau minum saja tanpa makanan? Ia pernah dengar pernyataan makhluk hidup bisa bertahan hanya dengan air saja jadi kekhawatirannya agak berkurang. Tapi bagaimana anjing itu menunaikan pup dan semacamnya kalau dia selalu dirantai? Urusan perut si anjing benar-benar membuatnya pusing.
Setiap melewati pagar oranye itu, anjing itu seolah mengisyaratkannya 3L: Lemah, Letih, Lesu. Kalau tidak tidur, pasti duduk
dengan tampang sedih. Kalau tidak duduk dengan tampang sedih, ya tidur. Sungguh
anjing yang tidak berbudaya! Bulan demi bulan pun berganti dan ia tetap dapati
anjing itu di situ dan begitu begitu saja kegiatannya, tidak memancarkan
semangat hidup. Membuatnya iba. Huh, bagaimana ini pemiliknya, punya anjing kok tidak
dirawat?!
Suatu hari, pemuda itu ingin membelikan adik-adiknya hadiah. Sesekali ia ingin memberikan mereka sesuatu yang “bergaya”. Selama ini ia hanya membelikan mereka mainan murahan di pasar tradisional. Pemuda itu mengumpulkan upahnya selama ini dan pergi ke swalayan. Berjalan jalanlah ia, melewati rak demi rak penuh barang, dalam ruang luas bercahaya terang dan sejuk ber-AC.
Dilewatinya rak yang berisi barang-barang keperluan hewan peliharaan. Makanan kucing, anjing, ikan, kura-kura, tapir, berderet-deret dan bertumpuk-tumpuk. Ia hanya termangu-mangu karena tak terlintas sedikit pun pikiran untuk membeli salah satunya sebagai cemilan adik-adiknya. Ia kagum. Hebat. Hewan peliharaan saja makanannya canggih begini, dikemas begitu bagus. Selama ini ia pikir hewan peliharaan cukup hanya diberi makanan sisa.
Tiba-tiba matanya menumbuk seplastik berisi tulang-tulangan. Tulangbajing! Ini mainan anjing! Kok kayak anak-anak saja sih, butuh mainan? Apakah rasanya enak kalau dibuat kaldu? Berapakah harganya? Masya Allah! Nggak ah! Mending beli bakso atau ceker ayam! Ia membayangkan, setelah sekelumit daging ceker ayam itu habis digerogoti, tulangnya tidak dibuang tetapi untuk diberikan pada si anjing di balik pagar oranye. Ia heran. Tidak bisa dimakan kok harganya mahal begini?
Ia terpikir untuk menyisihkan sebagian uangnya untuk diberikan pada ibunya. Untuk membeli ceker ayam, agar sekeluarga bisa menikmati sop ceker ayam. Sisa-sisa tulang ceker ayam itu nanti akan ia berikan pada si anjing. Ia awetkan dulu baru diberikan pada anjing. Atau jangan diawetkan semua, anjing itu pun butuh makan. Sebagian diawetkan untuk jadi mainan, sebagian untuk jadi makanan. Bagaimana pula cara mengawetkan tulang? Dibalsem layaknya mumi? Ah jangan! Nanti anjing itu akan tersiksa kalau tulang awetan mainan ini kelak digerogotinya. Daripada bingung pemuda itu pun memutuskan untuk menghibahkan seluruh tulang ceker itu apa adanya saja untuk si anjing. Toh ceker ayam mentahnya saja masih ada di angan-angan.
Mungkinkah anjing itu pun perlu diberi Sangobion? Mungkin 3L-nya itu hanya gejala anemia
Sampailah saat di mana pemuda itu sudah mendapatkan tulang-tulang ceker ayam sebagaimana yang direncanakannya. Ketika melewati pagar oranye itu lagi, selain melempar koran ia lemparkan juga tulang. Tidak sekaligus banyak. Untuk percobaan satu saja. Belum tentu akan dimakan pula. Kalau tidak dimakan maka sang pemilik rumah akan marah karena ada yang mengotori garasinya dengan tulang ceker ayam. Pikiran itu membuatnya tidak nyaman. Kalaupun tidak dimakan minimal dimainkanlah! Pemuda itu harap-harap cemas.
Ia baru benar-benar khawatir tindakannya itu akan menimbulkan masalah saat ia sudah berada di sekolah. Kucing saja tidak menggerogoti tulang sampai habis, apalagi anjing! Ia telah mengotori garasi rumah orang.
Ia pun berganti haluan. Jangan. Jangan tulang. Jangan sesuatu yang menimbulkan sisa dan mengotori garasi rumah orang. Sesuatu itu mestilah yang dapat habis sekali telan. Da-ging! Wadduh! Mahal... Keluargaku saja belum tentu dapat makan daging sebulan sekali, pemuda itu mengeluhkan gagasannya sendiri.
Ia terpikir untuk mengorek-gorek tempat sampah untuk mencari daging sisa. Ia bisa jadi pemulung sepulang sekolah. Pendapatannya lumayan, ia pernah dengar percakapan tetangganya yang berprofesi demikian.
Ah, tapi dengan kerja sambilanku sebagai tukang koran, ditambah menjadi pemulung di jalanan, tidakkah akan menambah hina diriku di mata teman-teman? Teman-temanku tidak ada yang harus bangun pagi-pagi sekali untuk menjemput koran lalu mengantarkannya pada pelanggan. Ia urung dengan gagasan itu.
Sampailah saat di mana pemuda itu mendapati seorang temannya baru membeli sosis dingin. Sosis itu hendak dimakannya namun terloncat jatuh ke ubin hitam ketika akan dikeluarkan dari pembungkusnya. Sejenak temannya itu bersedih lalu balik kanan untuk membeli lagi barang yang sama. Dengan sembunyi-sembunyi pemuda itu menggiring si sosis sampai tempat yang sepi dengan kakinya. Ia lalu mencari-cari plastik yang cukup besar untuk membungkus sosis yang jadi berlumuran pasir dan kerikil itu. Sebelum dibungkus, sosis itu ia bersihkan dengan air mengalir.
Ketika melewati pagar oranye itu keesokkan harinya, dengan kecepatan kilat ia lemparkan sosis yang sedari tadi ia simpan di saku. Dengan dikantongi plastik tentu, namun plastiknya itu tidak ikut dilemparnya. Ia tidak sempat melihat anjing itu mengendus-endus si sosis lalu dengan tanpa gairah menjilatinya, nyaris malas memakannya. Ketika melewati pagar itu kembali, ia melihat hidung si anjing sedang menempel pada sosisnya. Pemuda itu tersenyum ria.
Ia mengandaikan dirinya punya banyak daging. Keluarganya akan gemuk-gemuk dan tidak kurus ceking seperti si anjing. Dan anjing itu akan diberinya juga. Ia membayangkan setiap pagi melewati pagar itu dengan membawa sebatang sosis di sakunya. Anjing itu telah menunggu dengan mata berbinar di balik pagar begitu mendengar derit roda sepeda tuanya dari kejauhan. Ia lemparkan sosis itu dan anjing itu sampai lompat saking bersemangat menangkapnya. Makin lama makin tinggi lompatan si anjing hingga cukup tinggi untuk melompati pagar. Si anjing pun dapat berlari-lari di luar pagar. Bebas dari cengkeraman pemilik jahanam dan dapat berkelana mencari makanannya sendiri dari tong sampah ke tong sampah. Kalau baik nasibnya, mungkin akan ada sepasang lansia yang ingin mengadopsinya.
Pemuda itu membayangkan dirinya yang bersepeda berkejar-kejaran dengan si anjing. Bukan karena ia maling, tentu saja, melainkan sebagai kawan bermain. “Tangkap, Njing!” serunya gembira sambil melemparkan sebuah piring plastik kuat-kuat ke udara. Anjing itu telah penuh dengan energi sehingga dapat loncat tinggi untuk menangkapnya.
Ia baru ingat kalau leher anjing itu dirantai sehingga
anjing itu tak mungkin pergi ke mana-mana.
Kalau saja anjing itu bisa menggergaji rantainya sendiri, mungkin ia akan melemparkan gergaji juga ke balik pagar oranye itu.
Pada hari-hari berikutnya, pemuda itu tidak lagi sering mendapati daging berukuran cukup besar tercecer meskipun matanya sudah menelusuri lantai kantin maupun jalanan pasar. Ia berharap semoga ia bisa beramal lagi untuk si anjing.
Setelah sekian lama, harapnya akhirnya menjadi kenyataan. Dengan semangat ia memacu sepeda. Seonggok daging dalam plastik aman di saku celana. Ketika melewati pagar oranye itu, dengan cepat ia melemparkan daging ke baliknya. Namun, bukan si anjing ceking menyedihkan yang berada di sana melainkan seekor anjing hitam berbulu panjang yang menggonggonginya setiap kali ia berbalik untuk memastikan penglihatannya. Pemuda itu terpana. Halah, ke mana anjing itu?
Lepas dari jalan yang rumah itu berada di dalamnya, ia menjajaki berbagai kemungkinan yang terpikirkan mengenai misteri hilangnya si anjing.
Mungkin sebetulnya anjing itu hanya boleh diberi makanan khusus yang porsinya sedikit sehingga ia jadi kurus. Kalau diberi makanan sembarangan, si anjing bisa sakit lalu mati. Mungkin anjing itu kini memang telah mati.
Mungkin pemiliknya marah dan tersinggung karena ada yang memberi makan anjingnya. Dikiranya ia tidak sanggup kasih makan anjingnya apa. Maka anjingnya pun dimasukkan ke dalam rumah dan tidak pernah dikeluarkan lagi.
Mungkin anjing itu sedang dikebiri dan akan kembali suatu saat nanti.
Mungkin pula anjing itu sudah tua atau sudah sakit-sakitan semenjak dulu kala. Sakit kronis yang membuat pemiliknya merasa sia-sia merawatnya dan memberi makan. Dan kini anjing itu telah dianestesi.
Pemuda itu tak pernah mendapat si anjing lagi. Bertahun-tahun setelah pertemuan terakhirnya dengan si anjing, ia mendapatkan beasiswa melanjutkan kuliah ke Kedokteran Hewan dan berhenti menjadi tukang koran.
280208
Cerpen ini terinspirasi dari penglihatan yang nyata. Salah satu rumah di
komplek perumahan bulik saya di Mranggen Baru Sinduadi, Mlati, Sleman,
Yogyakarta
memelihara dua ekor anjing kala itu (ya, saya tahu kalimat ini logikanya
salah). Mereka berdua memiliki jenis yang berbeda. Saya tidak tahu apa
jenisnya, yang pasti ciri-cirinya adalah memang sebagaimana yang tertera pada
cerpen ini. Anjing yang satu, coklat muda warnanya, tampak begitu merana
sementara anjing satunya lagi yang coklat tua ceria-ceria saja. Saya
berprasangka pemiliknya telah memperlakukan hewan peliharaannya secara diskriminatif.
Tapi tidak tahu juga sih.
Setiap pulang ke rumah bulik saya harus selalu melewati rumah itu. Sering
saya merasa iba melihat si anjing-merana. Keadaannya seperti apa yang saya
tuliskan pada cerpen. Namun tidak seperti tokoh utama, tak ada yang saya
lakukan untuk memperbaiki kehidupan anjing itu. Lagipula saya bukan tukang
koran dan hidup saya Alhamdulillah tidaklah semelarat itu. Hingga pada akhirnya,
setelah berbulan-bulan mau tak mau melihat pemandangan yang sama, anjing itu
tiba-tiba tiada. Entah ke mana. Jadilah si anjing coklat tua ceria itu
sendirian. Namun entah kapan juga mulanya, saya tak ingat persis, akhirnya si
anjing coklat tua itu dapat teman lagi. Jenisnya juga beda. Teman baru anjing
itu kecil tubuhnya. Punya telinga panjang yang menjuntai ke bawah. Perutnya
panjang. Warnanya coklat kelam. Semacam itulah. Mereka benar-benar berteman.
Sering saya lihat mereka sedang asik masyuk berdua. Bergulat bersama.
Berjalan-jalan bersama. Mengorek isi tong sampah orang lain bersama. Begitulah.
Saya tidak tahu apa sebenarnya yang menimpa si anjing coklat muda malang
itu. Apakah mati atau mengapa. Jika mati, apakah memang karena ketuaannya (dia
tampak tua, seperti kakek-kakek bertampang kuyu) atau karena penyakit atau...
Saya tidak bertanya pada pemiliknya karena saya hanya kadang-kadang saja—bahkan hampir jarang—bertukar senyum dengan mereka. Kalaupun sering, buat apa pula saya menanyakan itu. Saya tidak ada ide harus berbuat apa jikalau saya telah mendapatkan jawaban ke manakah si anjing malang gerangan. Mungkin hanya akan saya tuliskan di buku harian. Demikianlah kisah di balik pembuatan cerpen ini. Sebenarnya saya tidak ingat pasti warna si anjing coklat tua itu memang coklat tua atau perpaduan hitam-coklat muda. Memikirkan ini tidak akan meningkatkan IP saya. (12/30/2008)