Rabu, 20 Agustus 2008

Uno Dos Tres Quatro Cinco Cinco Seis

1

Malam ini, seperti biasa, suasana sendu di kamar Trista yang penuh wangi memabukkan dengan aneka lilin gemuk berwarna-warni. Alunan musik Binocular dengan lagunya, Deep mendayu-dayu melengkapinya. Trista berjongkok di tengah ruangan temaram itu. Ia sedang beryoga di tengah ruangan yang penuh asap lilin. Perlahan ia menjulangkan bokongnya ke langit. Sikap Anjing.

Trista sedang frustasi. Huh, masa si Aze mau kawin sama Elmo. Bisa-bisanya anak miskin kayak dia bayar dukun pelet. Bakal kayak apa hidup mereka? Hidup susah katanya, cih. Trista membayangkan sebuah gubuk di desa terpencil, di mana Elmo menghidupi keluarganya yang beranak banyak dengan cara bertani. Sementara Aze yang dari omongannya terkesan sok idealis, sok anti-kemapanan, mengajar anak-anak desa yang berleleran ingus di kedua lubang hidungnya. Tidak ada komputer, internet, apalagi TV kabel. Listriknya kadang ada kadang tidak, rumah tetangga 1 km jauhnya, kemana-mana naik sepeda ontel...

Padahal hidup bareng Trista pasti lebih enak. Bulan madu Trista juga pastinya lebih elit, huh, membeli villa di Santorini, naik kano menyusuri jalan-jalan temaram di Venesia, jadi presiden Amerika, Elmo diculik Aze di kastil, Trista nolongin pake gantole...

Mestinya aku jangan nonton kartun Nickelodeon, pikirnya sambil mencoba mengusir khayalannya barusan. Tapi malah muncul bayangan keluarga Elmo-Aze. Elmo tidak memakai kacamata, sedang menggendong satu anak di masing-masing lengan, begitu pula Aze, yang sedang hamil tua..

Ah, sudahlah.. Ooomm. Oh holy spirit.. Oh.. Mother Goddess..

Yoga, seperti biasanya, sedikit banyak mampu melepaskan sesuatu dari dirinya. Ia memang tak pernah habis pikir, bagaimana orang-orang di luar sana bisa menghadapi problematika hidup tanpa lilin aromaterapi dan yoga. Dan buku berbahasa asing yang belum diterjemahkan. Dan kopi mahal, tentu saja.

Pelan-pelan Trista mengubah pose yoganya yang tadi. Aargh.. Shit !! Sekarang bagian bawah punggungnya terasa kebas karena terlalu lama mengacungkan pantat. Pasti ada 10 menit tadi Trista berpikir tanpa bergerak dari pose yoganya.

Oh iya, dia kan masih punya satu lagi pelepas stres: sepupu-sepupu tajir. Yah, gimana lagi kalau punya keluarga yang berkuasa kayak Keluarga Cendana. Trista meraih telepon wireless-nya, berniat menelepon Ramon, salah-satu sepupu favoritnya. Waktu itu Trista sampai memberikan sebuah dompet mahal pada pacar Ramon. Memang, Trista sungguh murah hati.

“Hai Ramon. No me ames[1].”sapanya. itu artinya ‘halo, selamat malam’.

Estrella gracias de nada[2] Trista. Dime porque lloras? De felicidad[3],”jawab Ramon dengan nada mau nangis. Itu artinya ‘Ya ampun Trista. Ngapain kamu nelepon malem-malem begini? Mati ajalah.’

Uno dos tres[4]?”Itu artinya ‘kenapa kamu kayak mau nangis?’

“Aku kangen cewekku..,“ isak Ramon, mengakhiri percakapan bahasa Spanyol mereka yang menambah wawasan. Trista jadi teringat, Ramon punya cewek imut ceria yang sudah berbulan-bulan meninggalkan negara yang punya kolam lumpur raksasa ini.

“Tapi nggak papa kok.. Jadi, Trista, kenapa kamu nelepon jam segini?”

Ramon kemudian mendengarkan segala celotehan curhat Trista. Tentang Elmo-Aze. Tentang kejadian di Starbucks. Tentang bagaimana cintanya pada Elmo yang tidak juga kesampaian sampai sekarang. Tentang ilusi dan realita yang bercampur aduk dalam kepalanya. Tentang Mario, adiknya yang sedang depresi dan menjalarkannya ke setiap sudut rumahnya yang besar.

“Dan sekarang, aku jadi ingin nyanyi ‘Tenda Biru’ keras-keras juga. Aku desperate nih.. Ramon, aku harus gimana dong?”

 

Maret 2008

2

Hal kayak gini pernah dibahas di salah satu majalah cewek yang pernah Aze baca. Betapa inginnya Aze meminjam lagi majalah itu ke temannya, wanita pemasok pinjaman majalah. Membaca majalah adalah satu-satunya cara yang terpikirkan oleh Aze sekarang untuk memecahkan masalah ini. Menyediakan solusi. Kya. Aze jadi cewek dangkal yang dulu sering ia remehkan.

Ia sudah setengah jalan hendak menghubungi temannya yang punya majalah itu.

 

may,aq blh pnjm yogirl km g?yg ad nhgbhs jnuh dlm pcrn it lo.blh yh?yh?bsk bw.thx.

 

Lalu terlintas suatu pikiran di benak Aze. Kalau dia sendiri disms minta tolong temannya seperti itu, pasti ia bisa menebak sendiri apa yang sedang terjadi. Sama saja dong Aze cerita sama temannya itu, yang sebenarnya tidak begitu akrab juga dengannya.

Aze batal meminjam majalah dari temannya itu. Malu ah.

Sebenarnya ada satu cara lagi. Aze baru saja kepikiran. Ia bisa menganalisis buku hariannya. Tapi belakangan ini buku harian itu isinya benar-benar garing. Malas nian jika harus membacanya.

Aze merutuk-rutuk sambil mengambil buku hariannya dari tempat penyimpanannya, di meja sebelah tempat tidur, di dasar tumpukan kertas kotretan. Disimpan di situ karena menurut perkiraannya, adik-adiknya yang tengil bin usil tidak akan terpikir untuk menjamah tempat itu dalam rangka mencari dan membaca buku harian Aze.

Sekarang ia harus puas dulu dengan buku hariannya. Waktu kosong ini bisa ia gunakan untuk membaca dan menelaah ulang isi buku harian, hatinya, dan pikirannya. Sejauh mana kau kejar cinta? Aze jadi teringat tagline sinetron. Idih.

Aze mengingat-ingat bagian-bagian dari artikel di majalah cewek itu. Katanya, hal ini namanya ‘jenuh’. Cewek sama cowok pacaran, hubungan mereka menjadi garing. Tidak mungkin ia curhat dan minta saran kepada teman-temannya yang rata-rata sama cupunya dengan dia. Pun tidak mau ia curhat pada orangtuanya.

Pikirannya merunut kenapa ia bisa sampai jenuh. Ia jenuh karena makin jarang bertemu Elmo, dan sekalinya bertemu mereka benar-benar belajar, tidak mengobrolkan apa-apa. Namun Aze pun tak sudi mengharapkan yang lebih dari itu karena Aze takut merasakan lagi dorongan gila yang muncul sewaktu di kasir Starbucks kapan itu. Hii, Aze ngeri sendiri setiap kali teringat itu. Ia tidak bisa membayangkan sejadinya ia tidak bisa menahan yang kemarin itu.

Dan kemarin-kemarinnya lagi juga. Dan sebetulnya yang dulu-dulu juga.

Aze menyingkirkan barang apapun yang cukup besar untuk dipeluk dari kasurnya. Ia takut tahu-tahu dirinya sudah memeluk barang itu dengan sosok Elmo dalam kepalanya. Hihh, ngeri aja.

Solusi. Solusi. Ia butuh solusi. Aze terus merutuk-rutuk sambil berguling di tempat tidurnya, membuka buku hariannya yang makin hari makin garing. Bukannya dulu buku hariannya menarik sih.

Tidak ada yang bisa dianalisis dari situ. Aze membolak-balik halaman-halaman terakhir buku hariannya. Semua nadanya sama, isinya kegaringan semata. Aze heran ia pacaran buat apa, Aze bosan wajah Elmo begitu-begitu saja, Aze kangen teman-teman SD-nya. Cuma bisa ditarik kesimpulan bahwa Aze akhirnya jenuh dan satu-satunya daya tarik Elmo tinggal kecerdasannya dan kemampuannya untuk mengajari Aze. Kegantengannya sudah tidak membuat Aze terkesan.

Ritual malam harinya, menulisi buku harian, selama ini menjadi sarana pelepas stres harian. Pada hari-hari saat ia baru jadian dengan Elmo, ritual itu menjadi tinjauan dari hari-hari yang menarik yang tak ingin ia lupakan. Dulu, kebanyakan isi buku harian Aze seperti ini. Geli Aze membacanya.

 

Dear diary,

Banyak banget yang pingin aku tulis sebetulnya. Tapi saking kenyangnya aku sampe ga sanggup nulis nih, haha.

Tau ga, hari ini kan aku ultah yang ketujubelas. trus aku diajak ke Hartz Chicken Buffet ama dia. Iya, siapa lagi... Elmo! Udah deh aku makan semuanya yang ada di situ. Kapan lagi coba? Makan ayam sepuasnya... uah, kenikmatan dunia... Aku merasa hidupku kembali bersinar...

trus dia pake minta maaf lagi gabisa kasi kado barang. katanya gajinya lum cukup buat beli barangnya itu,  tahun depan aja.  ih, emang barang apaan sih? dia gamau kasitau. trus aku bilang gini aja cukup kok... aku seneng banget. liat wajahnya aku jadi malu! kya! hahaha... tadi sih aku penasaran banget, tapi udahlah. otakku kayaknya ikut pindahan ke perut, gabisa mikir lagi...ngantuk...

Uff, kayaknya aku butuh minyak kayu putih nih. Sekarang perut aku jadi sakit gara-gara kekenyangan. Soalnya tadi ternyata papa beli ciffon juga, mama beli yoghurt.stroberi lagi.  mau ga mau ya aku makanlah. Baru kali ini loh ultahku diistimewain. karena ketujubelas kali ya?? Tapi gapapa, yang penting aku senang, hahahahahahahhahahahahahahahahahahahahahhahahah (261107)

 

Dear diary,

Tadi Elmo jemput aku lagi di sekolah kayak biasa. Kan aku komentar, kok mobilnya ada bekas sabun. Terus diary, dia bilang, ‘enak aja, ini aku nyuci mobil sendiri tau tadi pagi’. Hahaha, nyuci mobil juga dia. Pengen liat deh. Kayaknya cute.

Tapi aku ga bilang gitu,aku bilang, lain kali ke tukang cuci mobil aja, serahkan ke yang profesional, daripada hasilnya ga beres gitu. Ih, terus dia bilang, dia kan ngikutin kata2ku yang nyuruh dia nyoba melakukan sesuatu sendiri. Dia nurutin kata2ku loh, hahaha..seneng deh!!

Terus dia ngasih CD kompilasi mp3 yang dia burn sendiri. Kok bisa ya dia tau lagu2 apa aja yang aku suka? Aku sampe ga tau mesti gimana, jadi aku cuma bilang makasih. Aku ga berani liat matanya.

Yah, aku ga kepikiran buat ngasih dia sesuatu. Orang dia tajir gitu. Walaupun ga punya apa2 soalnya papanya pelit! Jadi aku kasih dia kamus Jawa Kuna bekas yang aku temuin di Palasari. Dia kan orang Jawa, tapi kehilangan akar budayanya gitu. Biasa, sindrom anak muda negara berkembang.

Gitu deh hari ini. Ke BC. Ada kucing baru, namanya Kiti sama Krimi. Pas aku pulang ke rumah, Ryan sakit demam tapi ga mau makan apa-apa. Kata Elmo kasih madu aja. Belum dicoba sih. Ntar deh. (201207)

 

dan lain-lainnya.

Tapi sekarang, rasanya kehidupan menjadi berlipat-lipat kali lebih hampa daripada ketika Elmo belum memasuki kehidupan dan hatinya.

 

Dear diary,

parah banget. aku lupa Elmo ultah hari ini. padahal pas pagi hapeku udah bunyi ngingetin. tapi tadi ulangan ada 2. fisika ama kimia laknat.

Elmo sok-sok ga ngambek sih. baguslah kalo gitu. eh, tadi aku pake kata ‘sok-sok’ ya?

untungnya jatah minggu ini masih ada sisa, jadi makan siang di timbel sungaibekas tadi aku yang bayarin punya dia juga. uh. maafkan aku Elmo... maafkan! akuakuaku...

sorenya dia bayarin aku beli roti di Roti Ngomong. kata dia mestinya yang ultah yang nraktir-nraktir. aduh... aku masih bisa denger nada jutek di kalimatnya itu meski dia ngomongnya sambil senyum. trus abis itu kita ga lama2 lagi, langsung pulang. ada acara keluarga katanya. ngerayain ultahnya kali.

besok aku bikinin puding salju ah.

tapi males. ngapain sih ultah aja mesti diselametin? padahal kan ultah makin mendekatkan kepada kematian? ya ga? ya ga?gian besok ada ulangan biologi juga... lom ngapalin sama sekali. i want to retired. no longer required. i want to get paid[5].semua adalah kesia-siaan belaka!!! (060308)

 

Dear diary,

Hujan lagi. SPMB gak jelas. Katanya tahun ini SPMB ditiadakan, diganti ama SNMPTN. Huh, ganti nama doang. Udah gitu aku udah nulis belum sih, UN udah pasti jadi 6 pelajaran loh.sekarang itu bukan lagi mitos..

Anjing.

Butuh Elmo buat mrivatin intensif. Gimana lagi coba? Masak belajar sendiri?? Tapi...

Tadi Elmo sms tapi aku pura-pura kehabisan pulsa.  Jangan sampe dia tau. Dia ga bakal tau kok. He (100308).

 

Itulah isi diary Aze minggu lalu. Ia belum menulisinya lagi setelah itu.

 

3         

Di pintu samping SMAN Bilatung, di sanalah Aze menunggu jemputan Elmo. Aze berdiri dengan perasaan gamang sambil memencet-mencet ponselnya, main Quadra Pop, berusaha melupakan hasil pra-UAN-nya yang mengerikan. Tidak lulus empat dari enam pelajaran. Sudahlah. Ia cukup bahagia bisa main sepuasnya, tak usahlah itu ia punya cowok, tak usahlah itu ia masuk universitas bergengsi saat ia lulus nanti.

Sesekali Aze melongok ke jalan, mungkin Elmo sudah datang. Sebenarnya ia setengah berharap Elmo tidak akan datang, jadi ia bisa ikut temannya yang pergi ke Pasar Baru untuk survey kosmetik yang akan digunakan saat penampilan angklung lalu makan-makan setelahnya. Selain ia memang agak malas bertemu Elmo hari ini.

Sebenarnya Aze oke-oke saja kalau mesti bareng Elmo, tapi lama-lama ia makin tidak nyaman dengan status pacarannya. Elmo bukan cowok yang klop dengan jiwa seorang Aze. Ya ampun, dia ngomong apa sih. Racun-racun majalah cewek sudah mengontaminasi dirinya.

Uh, datang dia ternyata. Aze mengantongi ponselnya yang baterenya sudah nge-drop, lalu masuk ke mobil Elmo. Jalan.

“Ze, Elmo ngisi angin dulu ya, keknya ban kiri belakang agak nggak beres,”

Aze bergumam tidak jelas. Elmo menepikan mobilnya ke tukang tambal ban. Tanpa berkata-kata Aze langsung keluar untuk membeli permen ke kios di sebelahnya. Dua detik kemudian, sebuah Honda Jazz merah dari belakang mobil Elmo ikut menepi. Elmo dan Aze sama-sama memperhatikan saat mesin mobil yang baru tiba itu dimatikan.

Si Trista yang cantik. Hmm. Aze hanya mengamati saat pintu pengemudi Jazz membuka, dan keluarlah Trista, menghampiri Elmo yang kelihatannya sudah tidak tertarik pada mobil temannya itu, dan sekarang sedang berkonsentrasi memper-hatikan tukang tambal ban bekerja. Trista mendekati Elmo dari belakangnya, sejurus kemudian mereka asyik dalam obrolan.

Trista dan Elmo. Elmo dan Trista. Kenapa, kenapa, kok bisa mereka kebetulan bertemu di sini? Aze membekukan perasaannya—bukan hal yang mudah dilakukan akhir-akhir ini—dan merasa tidak sepantasnya mendekat dan menyela pembicaraan mereka. Mereka tampak begitu... serasi... Aze heran kenapa ia tidak merasa sakit padahal ia sudah kebanting. Aze akhirnya memesan kopi susu dan duduk di bangku kayu di depan kios permen, lalu main Quadra Pop lagi.

“Ze,”

Aze mendongak dari ponselnya yang sudah mati kehabisan batere lima menit yang lalu. Elmo berdiri menjulang di hadapannya, wajahnya tidak jelas karena matahari tepat berada di belakang kepala Elmo. Matahari-Elmo-Aze. Gerhana matahari buat Aze. Tapi dia masih bisa melihat ekspresi minta maaf di wajah ganteng Elmo yang ia sudah kebal terhadapnya.

Tangan Aze terangkat menaungi matanya dari sinar matahari yang sebenarnya tidak silau, mengingat Bandung sedang dinaungi mendung. Aze tidak bicara, ia hanya mengeluarkan bunyi dengan nada bertanya dari tenggorokannya.

“Hngg?”

“Aduh, sori banget, keknya kita nggak bisa belajar bareng hari ini.”

Ah, Aze belum sempat menceritakan situasi gawat-akademisnya pada Elmo. Kalau Elmo tahu, pasti ia tidak akan membatalkan sesi belajar mereka.

“Elmo anterin Aze pulang dulu yah?”

Aze masih mendongak menatap Elmo yang kata-katanya sekarang terdengar seperti komat-kamit tidak jelas. Tangan Elmo melambai-lambai di depan mukanya. Entah kenapa tahu-tahu Elmo sudah melangkah pergi, melambai lagi padanya dari kejauhan, dan memacu mobilnya pergi dengan mobil Trista membuntuti. Kedua tangan Aze naik untuk menutupi sepasang mata yang pandangannya mengabur.

           

4

Percakapannya dengan Ramon di malam hari yang sama dengan peristiwa duka di Starbucks cukup mengurangi stres Trista. Hanya sedikit, seperti efek positif yoga terhadap keadaan jiwanya. Ramon bahkan tidak memberi saran yang berarti untuk penyelesaian masalah Trista.

Tapi hari ini cerah sekali. Trista senyum-senyum sendiri. Kemarin ia bertemu Elmo dan jalan berdua. Perasaan Trista agak terganggu tapi, saat teringat cewek cupu itu, si Aze atau entah siapa namanya, yang kemarin ditinggal Elmo sendiri di depan kios rokok. Selain itu sikap Elmo juga agak gelisah, dan terus-menerus mencoba menghubungi ceweknya itu.

Ah, biarlah. Elmo juga dulu suka berbuat seperti itu terhadap ceweknya yang dulu, tapi Trista tidak merasa bersalah tuh. Cewek yang jadian dengan Elmo biasanya malah merasa lega untuk ditinggal selama beberapa saat.

Hari ini Trista berencana untuk kembali bertemu dengan Elmo. Sekarang ia sedang berada di belakang roda kemudi si Jazz merah. Trista sempat menimbang-nimbang untuk membeli mobil baru yang mereknya sama dengan mobil Elmo. Pura-puranya kebetulan, gitu. Jadi nggak ya?

Trista membelokkan mobilnya ke jalan yang kanan-kirinya banyak pohon yang habis ditebang, untuk pelebaran jalan, sembari terus berpikir.

Mungkin kalau ia sering-sering menyambangi tempat kerja cowok pujaannya itu lama-lama mereka bisa nyambung lagi. Yah, seperti dulu. Sama seperti dulu. Perkenalan mereka dulu juga berlangsung perlahan. Kalau dulu Trista bisa melakukannya, kenapa sekarang ia tidak bisa? Ya toh? Trista sungguh bangga pada dirinya dan optimisme baru ini.

Trista tertegun. Ia tidak beranjak dari mobilnya. Kecuali.. kecuali kalau ternyata Elmo benar-benar jatuh cinta sama Aze. Hiih. Tapi apakah Trista benar-benar percaya bahwa hal yang kayak gitu bisa terjadi? Terlalu jauh dari imajinasinya sebagai penulis teenlit yang bercerita tentang orang-orang kaya rupawan menghadapi problem cinta.

 

5

Elmo adalah seorang mas-mas charming berkacamata di sebuah kafe baca anak muda. Sebentuk senyum tulus selalu terkembang di bibirnya, dengan penuh semangat ia mengelap kaca, saat melayani pelanggan pun sikapnya penuh antusiasme adanya. Tidak lulus SPMB adalah masa lalu, ia bersyukur sudah lulus UN.

Elmo si mas charming kadang didekati oleh cewek ganjen, tapi iman Elmo kuat, ia sudah punya cewek. Walaupun ceweknya secara inner beauty atau outer beauty tidak ada apa-apanya dengan cewek jelita berbalut merek ternama yang sedang melewati Elmo si pengelap kaca yang charming sambil lalu.

“Rajin banget kamu..,” kata Trista, tersenyum menawan. Elmo cuma cengengesan grogi.

 

6

Tuh, datang lagi dia. Sudah hari ketiga. Elmo merapikan seragamnya yang serupa office boy, merapikan meja kasirnya yang sebenarnya tidak ada apa-apa di atasnya selain mesin kasir. Sempat merasa konyol, lalu ia menarik nafas, mencoba rileks saja. Ingat dong, dia kan sudah punya cewek. Dia sendiri pula yang nembak.

Walaupun sudah sepuluh hari lamanya sejak terakhir kali ia bertemu dengan ceweknya yang tidak menarik itu..

Ketika sosok Trista lewat, Elmo duluan menyunggingkan senyum maut.

 

7

Sebenarnya tadi niatnya apa sih, main ke Papier Shelter segala? Aze, yang hari ini tidak ada jadwal les juga tidak diajak temannya kemana-mana, memilih untuk bertandang ke sana tanpa memberitahu Elmo dulu. Ia juga butuh sedikit selingan setelah ulangan Kimia asam-basanya harus diremedial. Dia menyangka kedatangannya juga akan membawa tambahan keceriaan ke dunia Elmo. Salah besar. Tanpa Aze pun dunia Elmo tetap asyik. Aze melihat sosok cantik yang dulu mentraktirnya di Starbucks sedang mengobrol akrab dengan Elmo.

Iya, memang ia dan Elmo menjadi semakin jarang tertawa bersama, sehingga tidak ada keceriaan yang mungkin dibawa Aze buat Elmo. Memang dia sendiri yang duluan merasa jenuh dan risi sehingga menjauhi cowoknya itu. Cowoknya. Ya ampun. Elmo adalah cowoknya. Memang tidak mungkin ya sepertinya. Ia dan Elmo tidak ditakdirkan untuk bersatu.

Aze, Aze, kenapa tiba-tiba kamu jadi dramatis begini sih? Kepalanya jelas sedang panas. Lebih baik ia menjauh agak lebih lama lagi dari Elmo. Mempelajari enam mata pelajaran yang di-UN-kan dengan penekanan pada empat pelajaran yang ia tidak lulus pada pra-UN kemarin. Ia mengacungkan tangan, isyarat memanggil, saat sebuah angkot mendekat.

 

8

Elmo buru-buru meletakkan semprotan cairan pembersihnya di lantai, dan berusaha melihat lebih jelas ke halaman Papier Shelter. Kayaknya cewek SMA yang baru saja naik angkot itu serupa Aze. Tapi tidak seperti tabiat Aze yang biasa, yang pastilah akan mampir dan menyapa Elmo, tidak akan peduli jika melihat Elmo akrab dengan Trista.

Bukan, bukan. Itu bukan Aze. Elmo meraih kembali semprotan pembersih.

“Kenapa Elmo?”tanya Trista penuh perhatian.

“Nggak, nggak papa. Kirain tadi gue ngeliat Aze. Tapi ternyata bukan.”

 

April 2008

9

Mas Fahri merasa senang hari ini, entah kenapa. Karena cuaca cerah kali ya. Sebagian besar murid yang datang hari ini juga tidak terlalu muram walau UN minggu depan. Yah, kecuali murid yang berada di ruangan ini.

Hening. Aze mencatat dengan gaya rajin yang tidak biasanya. Mas Fahri menatapnya dengan penuh kecurigaan. Lalu ganti menatap Elmo, yang mukanya sama-sama serius.

Wah, ada apa nih? Mas Fahri terus bertanya-tanya dalam hati. Selain kesenyapan itu sebenarnya tidak ada hal lain yang berbeda sih, ekspresi wajah mereka juga biasa saja, tapi Mas Fahri merasakan suasana yang lain dari biasanya. Apa mereka bertengkar? Aze kelihatan terlalu sopan ketika melewati Elmo tadi saat masuk kelas. Mas Fahri pun baru teringat bahwa akhir-akhir ini Aze tidak pernah datang ke BC di luar jadwal lesnya, Rabu dan hari ini, Sabtu.

AARGHH. Gerah nian berada di tengah pasangan yang hubungannya dingin begini. Mas Fahri tiba-tiba menggeliat seperti habis bangun tidur, sambil menguap dengan gaya berlebihan.

Aze yang mestinya tersenyum melihat tingkah semacam itu hanya menatap sebentar, melihat jam, lalu menggumam tentang sesi hari ini yang sudah habis waktunya, berpamitan, lalu menyampirkan ransel barunya ke pundak, meninggalkan kelas. Elmo membuka mulutnya sebentar dengan gelagat akan berdiri, tapi ia menghembuskan nafas, lalu bersandar lagi ke kursinya, sementara pintu ruangan ditutup Aze. Mungkin ini saatnya sesi penuh pelajaran hidup antara dua orang pria. Mas Fahri mendehem grogi. Ia dan istrinya tidak pernah garing-garingan begitu, Elmo mungkin berminat pada sepotong petuah!

“Mo, boleh nanya nggak?”

“Hah,”Elmo tidak antusias, malah sibuk membereskan barang-barangnya.

“Kamu sama si Aze teh kenapa? Saya kok nggak pernah gitu ya?”

“Gapapa. Teuing[6]. Duluan, Mas!”

Pintu ditutup. Mas Fahri merasa agak sakit hati.

 

10

Elmo berhasil menyetir mobilnya keluar gang BC dengan selamat, seperti biasanya, lalu ia memacu mobinya tidak ke rumahnya, tapi ke Pasupati. Sedang suntuk, pengen ngebut. Mungkin sekalian cari makan. Mestinya Aze ikut, ia juga pasti jarang ke daerah ini.

Mobil Elmo melaju di bawah pancaran sinar kuning lampu jalan di kanan-kiri Pasupati. Autopilot Elmo yang nyetir, pikirannya melayang-layang. Si Aze. Ampun. Si Aze kenapa sih. Mas Fahri sampai ‘ngerasa’, sampai berlagak mau ngasih nasihat lagi. Setelah melewati kemacetan di depan Pasupati, ia tiba-tiba ingin bersenang-senang sendiri, makan sendiri di salah satu restoran situ misalnya. Mumpung ada uang. Dulu sih Elmo tidak pernah mau sendiri di tengah keramaian, tapi Aze bilang dia sering berbuat begitu kalau sedang ingin menjernihkan pikiran. Euh, Aze.

Mobil merah yang baru keluar parkiran Raja Rasa itu tiba-tiba berhenti, jendela pengemudinya turun, lalu kepala Trista melongok dari situ. Elmo! Bisa-bisanya ia mikirin Trista di saat seperti ini! Ah, itu betulan, Elmo, bego banget kamu. Trista tersenyum, melambai. Elmo sudah lupa, betapa cantiknya dia.

”Ngapain Tris?” Elmo teriak nanya.

”Habis ngerjain tugas di kampus, terus makan di sini sama temen..,”balas Trista dengan suara nyaring nan merdu.

Sebelum percakapan berlanjut, Elmo memacu mobilnya ke tengah kemacetan di jalan Pasteur. Kok bisa kebetulan melulu gini ya?

Si Yaris melaju pelan saja di sebelah kiri, kalau-kalau ada restoran yang parkirannya kosong. Tadi ada sih yang kosong, tapi menunya ular. Ya ampun, penuh semua gini. Rame banget yah ternyata, begitu banyak restoran di sini, semua parkirannya penuh sampai ke jalan-jalan.

Tiba-tiba Elmo mendapati dirinya sudah berbalik arah dan berada di basement parkiran Giant. Ngapain dia di sini? Ah sudahlah, ia jalan-jalan sendirinya di sini saja. Beli Oreo buat Aze kalau mereka bertemu lagi. Suasana hatinya sungguh sedang aneh, tidak ingin ia kalau ada orang ‘masuk’. Bahkan tidak Trista. Elmo tanpa sadar tersenyum getir, ia tidak tahu kenapa.



[1] Jangan cintai aku.( Jennifer Lopez feat. Marc Anthony – No Me Ames)

[2] Bintang terimakasih sama-sama.

[3] Kenapa kamu menangis? Karena aku bahagia (Jennifer Lopez feat. Marc Anthony – No Me Ames)

[4] Satu dua tiga

[5] Kaiser Chiefs - Retirement

[6] Nggak tau

Starbucks itu Bukan Warteg, Tolong Ya....

1

“Tak sengaja... lewat depan rumahmu...”

Trista membuka matanya pelan-pelan. Sadar dari mimpi buruk yang barusan membuat adrenalinnya terpacu dengan sangat kencang.

“Ku melihat... Ada ... Tenda Biruuuuuuu...”

“...”

“TANPA UCAPAN, DIRIKU KAU TINGGALKAN!!!!”

Trista menggapai-gapai meja kecil di sebelah tempat tidurnya dan meraih segelas air mineral yang selalu tersedia di situ. Lalu menelan berteguk-teguk air putih untuk melumuri tenggorokannya yang terasa sakit dan kering.

“TANPA BERDOSA...[1],”

Trista beranjak dari pembaringannya dan berjalan menuju sumber suara itu.

“Mario, bisa gak sih kamu berhenti nyanyiin itu?” ujar Trista. Ia sudah tiba di pintu kamar Mario, adik semata wayangnya yang ia sayang. Belum lama ini kekasihnya pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya, ke alam baka. Dan tak akan kembali lagi. Mario bukan lagi berada di ambang depresi. Ia malah sedang berkubang di dalamnya. Menangisi kepergian orang yang paling dikasihinya selama ini. Yang paling dikasihinya itu selain papa, mama, dan kakak-kakak plus om-om, tante-tante, dan sepupu-sepupunya yang tajir-tajir tentu saja.

“Sudahlah, bendera kuningnya aja bahkan udah dicopot...” Trista mengelus-elus kepala Mario dengan sayang. “Udah ya, Mbak harus siap-siap mau ke Starbucks, ada janji. Kamu mau ikut?”

Mario tidak menjawab. Masih memeluk lututnya, mengisap jempol, dan menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan nelangsa. Badannya bergerak mendekat ke kaki lalu menjauh lagi, kedua tangannya terangkat ke atas, sambil mengerang, “Masa depaan.. masa depaan..,”

“Mau titip?”

“Masa depaan.. masa depaan..,”       

“Ya udah, kalau nggak mau jangan nyesel.”

Trista menutup pintu kamar adiknya. Siapa sangka, keluarga nyaris sempurna yang dimiliknya, yang seharusnya tidak punya satu masalah pun untuk dikeluhkan, ternyata sanggup bertekuk lutut hanya karena cinta.

Ah, Elmo...

 

2

Trista sempat deg-degan selama perjalanan ke Papier Shelter. Ia diantar oleh sepupunya, Ramon, dengan Audy hitam. Ia cemas, takut dan gelisah kalau-kalau apa yang akan dialaminya nanti sama persis dengan mimpinya.

Jangan. Jangan sampai terjadi. Ia memegang pelipisnya.

Are you okay, Sis?” Ramon melirik Trista sekilas. Ia harus berkonsentrasi mengemudi. Sudah lama sih sebetulnya, SUV-nya dulu pernah masuk sawah dalam sebuah insiden mengerikan yang tidak direncanakan. Akibatnya SUV tersebut harus masuk bengkel. Namun karena sudah ketinggalan zaman sebelum selesai diperbaiki akhirnya ia ganti deh. Audy yang ini punya Trista, bukan punyanya. Mobil punya dia lebih canggih, ada kolam renangnya segala.

“Oh, diamlah!” sergah Trista. Ramon tak berkata apa-apa lagi.

Untungnya selama perjalanan ke Starbucks yang terjadi lain dari yang diimpikan. Meski tidak lebih baik dari isi mimpi buruknya, setidaknya tak ada razia dan KTP dengan tulisan ‘STATUS: KAWIN’.

Tunggu, dia belum memeriksanya

Dia harus memeriksanya. Harus.

Begitu berhenti di lampu merah dengan body language yang tetap terjaga Trista meminjam dompet Elmo.            

“Cuman liat-liat aja, kok. Kalau nggak boleh ya nggak apa-apa...” Trista sok ngambek. Elmo jadi tak enak.

 Elmo merogoh saku jinsnya dan menyerahkan dompetnya pada Trista. Cewek tersebut cepat-cepat mengecek kartu-kartu yang ada. ATM. SIM. KTP...

 

STATUS : BELUM KAWIN.

 

Fiuhh...

Trista mengembalikan dompet Elmo pada pemiliknya.

“Buat apa sih, ngeliat KTP?”

“Mmm.. Impulsif. Gak tau kenapa?”

“Impulsif artinya apa, Elmo?”

“Nggak tau.”

Hening.

“Aze punya KTP juga?” Trista memecah keheningan.

“Belum bikin....”

“Oh... ya, baguslah..” Trista lega. Memikirkan kembali kenapa ia harus ke Starbucks.

Mengembalikan ingatan Elmo yang hilang akan momen-momen berharganya bersama Trista.

Ah, iya, tentu saja.

Trus kenapa tiba-tiba ada cewek yang namanya Aze? Jadi untuk apa ia pergi ke Starbucks cuman buat jadi kebo congek, pakai harus nraktir mereka berdua segala?

Tidak tahu. Tidak tahu.

Tahu-tahu mereka sudah sampai di Starbucks BIP.

Sebelum memasuki Starbucks-nya saja kepala Aze sudah mendongak. Sambil mangap ia terperangah dan melihat ke sekelilingnya. Mengamati mesin pembuat kopi, orang-orang yang sedang ngopi di sana, apa saja yang ada di meja mereka, musik yang mengalun lembut... Emang sih, Aze sering main ke mal ini bersama teman-temannya. Tapi biasanya mereka ke atas, cuma beli pernak-pernik murah buatan Cina di toko-toko berdekor pink.

Trista mendahului mereka ke counter, di mana berjejer para barista yang siap meracik kopi. Salah satu barista tersenyum begitu Trista mendatangi. Dia menyapa Trista dengan cara yang lebih akrab dari sekedar sapaan seorang pembuat kopi kepada seorang pelanggan tidak dikenal tapi berkantong tebal. Aze dan Elmo berdiri diam-diam saja menunggui Trista mengobrol. Lagi sepi ini.

Saat itulah Aze merasakan dorongan gila yang tidak salah lagi timbul karena habis nonton drama Korea. Dengan Trista mendahului mereka, Elmo bertindak sebagai penengah, ia berdiri menghadap punggung Elmo. Aze memelototi punggung Elmo dengan jantungnya hampir melompat ke mulut karena berdebar keras. Samar-samar terhirup wangi tubuh Elmo.

Oh Tuhan, lindungilah hamba-Mu dari godaan setan yang terkutuk.

.

“Pesen yang biasa, ya,” kata Trista, lalu ia berbalik pada pasangan yang menyertainya.

“Aze pesen apa?”

“..”

“Mm?”

“Euh, kopi. Kopi..”suara Aze entah kenapa terdengar takut.

“Iya, yang mana?”tanya Trista dengan gaya cewek antagonis sinetron yang sesuai.

“Eh, itu aja deh, yang pink, kayak yang punya orang itu,”kata Aze sambil menunjuk gelas di atas meja dekat mereka. “Itu jus jambu kan yah?”

“Bukan Aze, itu Frapuccino Ice Blended rasa Raspberry,” Trista memberikan senyum charming-nya yang harus selalu ada kapanpun dan di manapun pada Aze. Orang yang dituju merasa itu teror, bukan senyum.

Aze terhenyak. Oh, memang ini bukan tempatku. Seharusnya aku pergi saja...

 

3

“Jadi, udah berapa lama kalian jadian?” Trista membuka topik begitu mereka duduk.

“Berbulan-bulan,” kata Aze mantap.

Sebagai anak SMAN Bilatung, SMA terfavorit di Bandung, itu bukan jawaban yang bagus, batin Trista sinis.

“Sebetulnya hari ini tepat 4 bulan kita jadian, Aze...” jawab Elmo sendu karena ceweknya sama sekali tidak ingat.

“Oh, ya?!” Aze tampak terkejut. 

“Ya, masak Aze nggak sadar sih, setiap ulang bulan Elmo kan selalu ngajak Aze keluar makan enak?”

“Aku taunya sebulan sekali semenjak jadian Elmo selalu ngajakin aku ke warung timbel di jalan Sungaibekas tea...”

Trista tak bisa menahan tawanya. Namun ia tetap berhati-hati agar tak tersedak kopinya. Kalau kopinya sampai keluar lagi lewat lubang hidung itu bakal jadi aib yang paling memalukan.

“Ah, masak... yang bener? Si Elmo?” sahut Trista tampak tak percaya. Ia ganti menatap Elmo dengan pandangan menohok sejak-kapan-kamu-jadi-begitu-kampungan?

Elmo mengelap kacamatanya dengan ujung kemeja dengan hasrat ingin mati.         “Kita kan nggak bisa terus-terusan di atas. Kita juga harus merakyat, sekali-kali mencoba menyelami kehidupan masyarakat bawah. Elmo mau jadi wakil rakyat katanya, jadi dia harus latihan hidup susah dari sekarang...” Aze mencoba menyelamatkan Elmo dengan alasan yang dianggapnya bagus. Tapi tak urung dia masih merasa harus duduk sejauh-jauhnya dari Elmo.

“Ah iya?” Trista mengeluarkan ekspresi seakan-akan hal itu merupakan hal paling tragis yang bisa terjadi dalam panggung kehidupan.

Coba kalau dia menikah dengan aku, aku bisa bujuk papa buat kasih dia posisi bagus di perusahaannya dan dia nggak perlu hidup melarat, pikir Trista.

Hey, kenapa aku mikirin si Elmo menikah sama aku? Sadar Trista kemudian.

Apakah ini... takdir? Apakah takdir ini aku yang menyadarinya duluan? Jadi... apakah aku benar-benar bakal menikah dengan Elmo suatu saat nanti...?

Trista tidak menyadari bibirnya telah melengkung membentuk senyum sinis.

“...karena itulah aku juga nyoba buat ikutan hidup susah juga...” sebenarnya nggak udah ikut-ikutan Elmo hidup susah juga aku emang udah hidup susah... lanjut Aze merana dalam hati, tentu saja tak terlihat di luarnya.

“Hah, kenapa?” tanya Trista heran. “Kenapa kamu juga ikut-ikutan?”

Tiba-tiba Elmo dan Aze sama-sama mengulas senyum terkembang di bibir mereka. Menyebarkan hawa beracun bagi Trista. Mereka jadi seperti malu-malu kucing menjijikan. Pipi Elmo nge-blush dan menimbulkan debar jantung Trista meningkat dua kali lipat.

.

Sekonyong-konyong Aze merasa canggung dan risih. Ini salah satu saat di mana Aze teringat bahwa mereka pacaran, dan itu tidak sama dengan berteman. Juga, ya ampun, tadi pas di kasir itu apa yang dia rasakan? Aze cepat-cepat menyingkirkan perasaan jengahnya dan kembali bersikap bahagia dan kasmaran sebagaimana seharusnya.

“Mmm... Elmo janji sama aku. Katanya kalau dia udah lulus kuliah... mmm... Elmo, kamu ah yang terusin!”

“Ah, nggak ah! Apaan sih, kok kamu bilang-bilang?” Elmo jelas-jelas malu sambil mengenakan kacamatanya kembali. Tapi tak kuasa menyembunyikan kebahagiaan yang seketika muncul karena ceweknya mengungkit hal paling penting dalam hidupnya itu.

Senyum yang sedari tadi menempel di wajah Trista memudar pelan-palan. Sepercik dugaan muncul di benaknya. Dugaan mengerikan yang tak ingin ia bawa ke permukaan. Namun dorongan impulsif yang menang. “Apa? Kalian mau menikah?”

Aze dan Elmo agak terkejut menerima kenyataan bahwa Trista bisa tahu rencana besar mereka. Tapi mereka kembali terjun dalam kebahagiaan yang sejenak tergantikan itu.

“Ya, kalau uangnya udah cukup, dia...,” Aze menunjuk Elmo, “Mau beli cincin dan kita tunangan dan... kayak di film-film itu loh.”

Aze tidak meneruskan. Karena orang yang ingin diberitahu sepertinya sudah tahu apa kelanjutannya.  Dengan gugup ia membentur-benturkan kedua ujung telunjuknya di depan dada.

Trista seakan meninggalkan dunia yang sedari tadi dipijakinya. Kegelapan mulai menyelimuti dunia sekitarnya. Isi kepalanya blank. Ia bahkan lupa berapa hasil 9 x 9, draft teenlitnya...

Tadinya ia ingin mencabut meja di hadapannya hingga mur-murnya terlepas dan memporakporandakan seluruh isi Starbucks. Membanting-membantingnya, memukuli pasangan memuakkan di hadapannya. Tapi pikiran sehat yang untungnya tertinggal di kepala ketika isi kepalanya tiba-tiba blank tadi mengatakan, “Kalau kamu melakukan itu, malah membuat keduanya ketakutan dan saling berpelukan. Aze akan berkata tanpa daya, ‘...save me, Elmo, i’m so scared...’. Elmo akan memeluknya semakin erat untuk melindunginya...dan... seterusnya bisa kamu bayangkan sendiri, kamu kan pengarang hebat. Bukan pemandangan yang kamu inginkan, bukan?”

Ya, benar. Akhirnya Trista berusaha tersenyum selebar mungkin meskipun urat-urat sudah bertonjolan di pelipisnya—malah membuatnya terlihat seperti Joker—dan berkata dengan nada yang ditulus-tuluskan, “Wah, selamat!”

Setelah itu Trista merasa ada teflon sebesar dan seberat gong menghantamnya. Bunyinya keras dan sangat memprihatinkan. Tubuhnya terhantam di dinding yang remuk. Tidak—tidak, seharusnya Aze yang berada dalam posisiku kalau begitu...

Tiba-tiba Trista berdiri dengan gelisah.

“Aku harus ke toilet!”

“Wah, semangat amat...,” komentar Elmo.

Tuhan... tolong bantu aku membedakan mana yang ilusi dan mana yang nyata!!! Jerit Trista pedih dalam hati sambil berlalu.

 

4

Malam menyelimuti bumi. Beberapa keluarga tidur kelaparan karena tidak punya minyak untuk menggoreng lauk makan malam. Tidak begitu di rumah Elmo. Elmo tidak menyadari bahwa seharusnya ia bersyukur pada Tuhan Yang Maha Pengasih. Orangtuanya masih punya anggaran buat beli minyak goreng. Sehingga Elmo punya lauk makan malam lezat temannya nasi. Sehingga dia tidak kelaparan dan bisa belajar semalam suntuk dengan perut kenyang. Penyebab insomnia akut yang membuat Elmo terlihat seperti vampir dengan lingkaran mata menggantung seperti jamur pagi harinya.

Elmo belajar dengan semangat berjuang yang tinggi. Belajar buat SPMB tahun ini. Belajar buat masuk jurusan STEI Institut Top Banget. Padahal Elmo sendiri tidak punya gambaran lulus dari situ dia mau kerja jadi apa. Dia tidak terlalu ngebet pula jadi manajer atau direktur. Jadi mahasiswa  STEI Institut Top Banget udah keren banget. Dan pastinya, bangga!

I can’t sleep tonight/Everybody’s saying everything is alright/Still i can’t close my eyes/I’m seeing a tunnel at the end of the light[2]

Elmo meraih hapenya yang bernyanyi dan melihat nama yang tertera di LCD. Hampir aja dia menjatuhkan hape tersebut. Begitu ingat harga hapenya ini mahal dia langsung sigap menangkap sebelum hape hancur berderai menubruk lantai.

Ya, Elmo panik mengetahui siapa yang menelponnya itu. Nomor itu belum dia hapus dari phonebook hapenya walaupun ia sudah mengganti nomor. Sebenarnya dia kan sudah bertemu, bahkan memberikan nomor hapenya yang baru, dengan pemilik nomor ini tadi , tetapi tetap saja dia bingung sebaiknya dia menerima apa tidak. Antara takut, malu, dan pikiran rasional yang tidak mempedulikan perasaan yang bertanya, kenapa harus panik sih menerima panggilan dari sahabat lama? Kesalahan lo kan cuman nggak lulus SPMB dan itu bukanlah aib sepanjang masa karena kegagalan merupakan...

Elmo menekan tuts bertuliskan ‘yes’ setelah menyuruh rasionalitas-tukang-bacotnya untuk kalem bentar.            

“Halo.” Elmo berusaha menjaga agar suaranya tidak terdengar gugup. Elmo merasa kurang berhasil.

Terdengar suara lembut dari ujung sana. Suara yang bisa menaikkan gairah pria mana saja. “Elmo...”

“Ng... Trista... kenapa? Ada apa?”

“Aku mau minta maaf. Tadi tiba-tiba aja aku pulang nggak bareng-bareng kalian.”

“Oh, nggak papa...”

“Trus habis aku pergi kalian ngapain aja? Cerita-cerita dong...”

Maksud Trista : “Kalian gak ngapa-ngapain kan abis itu?”

“Mm... kita ini kok, tadinya sih mau nonton DVD Sponbob bareng di rumah Aze. Tapi nggak tau kenapa si Aze tadi kayak linglung, pengen cepet-cepet pulang. Agak aneh dia, karena keracunan kafein kali, hehehe...”

Trista mencengkram gagang telepon erat-erat. Tak peduli kuku mengkilapnya tergesek. Cepat-cepat ia mengganti topik sebelum obrolan satu arah ini berakhir dengan segera.

“Kok belum tidur sih?”

“Ng, Elmo lagi... lagi mau tidur.” Elmo bohong. Tengsin dia kalau mesti bilang lagi belajar buat persiapan SPMB. Bilang belajar saja juga tak mungkin. Belajar. Belajar buat apa? Buat kuis Kalkulus II besok? Lulus SPMB aja nggak, udah main Kalkulus aja.

“Oh... Trista kira Elmo masih kena insomnia akut.”

“Gak... kok.” Elmo tak yakin. Susah jadi pria jujur.

“...kalau gitu Trista ganggu, ya?” Suara Trista seperti bersalah dan termenung.

.

Di ujung sana Trista berprasangka jangan-jangan cewek-tidak-berselera pacar barunya Elmo itu telah mengobati insomnia Elmo. Tapi dengan apa? Sebagai pengarang teenlit Trista berasumsi jawabannya adalah dengan...

Cinta.

W—what?!

Trista cepat-cepat menepis bayangan yang mulai membentuk balon di atas kepalanya. Tidak mungkin! Trista! Kenapa bisa-bisanya kamu coba-coba membayangkan hal rendahan seperti itu?!

The spirit of positivity muncul perlahan di batin Trista. Mengusir kegalauan hati nan psychedelic.

“Trista? Kamu kok terdiam gitu?” suara Elmo terdengar kembali samar-samar makin jelas dari kejauhan, semakin menariknya ke dunia nyata lagi.

“Entahlah, Elmo. Akhir-akhir ini aku suka agak-agak...” Trista mencari-cari kata yang tepat untuk mengungkapkan maksudnya... well, yah... agak-agak... agak-agak seperti penderita schizophrenia...

“Agak-agak kenapa?” kepedulian Elmo pada Trista perlahan muncul. Ibaratnya orang pingsan, saat mendapatkan kembali kesadarannya ia akan menggerakkan jarinya sedikit setelah itu diam lagi. Seperti itulah.

Trista bingung. “Ehm... yah... just... agak-agak...” Titik. “ Well, aku pingin tahu, apa rahasianya kamu bisa mengobati insomnia kamu. Karena akhir-akhir ini aku kayaknya mulai kena...”

Ya, gara-gara aku mikirin kamu terus, Elmo...

“Hehe, ketularan Elmo apa, ya? Elmo gak tau kenapa bisa insomnia Elmo bisa ilang. Sembuh sendiri meureun.”

Sementara Elmo mengoceh terus di sana untuk menutupi kebohongan demi kebohongan yang akhirnya keluar tanpa bersalah dari mulut pemiliknya, Trista menatap penuh kenestapaan. Sebenarnya Trista ingin berteriak pada Elmo. “Elmo! Kenapa kamu jadi begitu? Kenapa kamu harus nggak lulus SPMB? Kenapa kamu harus berhubungan dengan cewek yang seperti itu dan bukannya denganku? Kurang peduli apa aku padamu?!”, tapi itu akan terasa sangat  tidak sophisticated.

Satu hal yang sebenarnya sangat menggalaukan Trista adalah pertanyaan terakhir karena orang bilang cinta mengalahkan segalanya. Oke, Trista hanya ingin tahu kenapa Elmo bisa begitu tertarik pada gadis macam Aze. Secara level mereka beda banget gitu loh. Namun Trista tak kuasa berkata-kata. Ia tak bisa mengungkapkan sesuatu segamblang itu. Yang ia bisa ungkapkan dari dalam dirinya pada dunia adalah kata-kata indah sebagai pengantar ke dunia angan-angan. Ia tak tahan dengan hal-hal seperti kemiskinan, kejelekan, keburukan, dan sebagainya. Hal-hal yang ia rasakan dari aura yang dipancarkan gadis-gadis macam Aze. Okh...

“Trista, kok kamu jadi suka diem gitu sih?”

Yang sebenarnya mau dikatakan Elmo adalah: “Trista, kamu tau nggak kalau waktu yang kita pakai buat teteleponan ini bisa Elmo manfaatkan buat ngerjain 3 soal fisika SIPENMARU?”

“Trista, udah ya? Elmo besok shift 1 nih.” Kali ini Elmo jujur.

“Maaf ya, Elmo, Trista udah ganggu...”

“Gapapa kok. Kalau kata Elmo mah Trista jangan terlalu stres ma kuliah, ma kerjaan Trista yang lain juga. Jangan banyak pikiran.”

“Iya, Elmo, makasih ya.” Trista menyalakan satu lilin aromaterapi lagi dan menghirup asapnya begitu tampak cahaya api lilin yang merah kekuningan.

“Oh ya, Elmo. Kapan-kapan kita jalan-jalan berdua lagi yuk, kayak waktu SMA dulu. Kangen deh. Just the two of us,“ ujar Trista dengan suara tabah. Waktu SMA dulu meski Elmo udah punya pacar tapi Elmo selalu mau menemani Trista jalan-jalan berdua dan itu tak pernah jadi masalah karena hubungan mereka berdua waktu itu hanya sebatas sahabat. Orang-orang dengan naifnya tidak ada yang curiga.

Jawaban Elmo kemudian sungguh mengejutkan Trista. “Nggak ah.”

Trista, “Hah?—E—eh, yah, nggak papa deh.”

“Ehm, maksudnya nggak untuk sekarang-sekarang ini. Maaf banget ya, Tris.” “Oke. Lain kali lagi aja. Dadah, Elmo.”

“Dadah... Eh, ya, Trista, kamu masih hapal nggak teori tentang kecepatan suara di ruang vakum?” ternyata Elmo sudah sibuk lagi dengan soal-soalnya.

Perlahan Trista memutuskan sambungan telepon.

Di sebelah kamarnya terdengar sayup-sayup seseorang memainkan piano.

Satu lilin aromaterapi lagi deh.

Sementara itu Elmo tengah mengingat-ingat lagi apa korelasi antara pegas, beban, gesekan, gaya gravitasi, momentum dan relativitas, karena semua itu ada dalam satu soal yang sedang dihadapinya, sambil memandangi hape. Menunggu apakah benda itu akan berjoget lagi meski Elmo sebenarnya sungguh ingin melupakan masa lalu.



[1] Desy Ratnasari – Tenda Biru

[2] Travis – Why Does It Always Rain on Me

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain