Ruang
Kamis, 31 Desember 2009
Minggu, 20 Desember 2009
Minta Ditelepon
Petugas akademik
menyerahkan secarik Kartu Hasil Studi (KHS) kepadaya. Ia menahan nafas. IP-nya
semester ini turun 0,01. Tapi masih di atas 3,7. Membosankan. Dilipatkan kertas
tersebut dan dimasukkan ke dalam saku hemnya.
"Dapet IP
berapa lu?" sodok seorang teman yang juga baru mengambil KHS. Dibalasnya dengan cengiran. "Ada
deh."
"Alah, paling
cum laude lagi."
"Turun
kok." Mengembangkan senyum dapat meraibkan sejumput ketidakbahagiaannya.
"Alah, paling
cuma turun 0,01."
Ia tertawa. Kok
tepat benar sangka temannya ini.
"Punya lu
sendiri gimana?" balasnya berbasa-basi. Ia heran apa pentingnya saling
mengetahui siapa dapat IP berapa seperti yang biasa teman-temannya korek antar
satu sama lain. Bersainglah dengan diri sendiri. Berusahalah agar bisa
mendapatkan IP yang lebih tinggi dari sebelumnya, bukannya berusaha agar selalu
lebih tinggi dari IP teman. Bisa-bisa yang tersisa hanya perasaan dengki dan
makan hati. Begitu pikirnya. Cukup membantunya meningkatkan prestasi tanpa
harus berambisi mengalahkan orang lain.
"Ah, biasa.
Dapat kemelut dong. Tinggal nunggu diamuk ortu aja..."
Ia tercenung.
Beberapa hari
kemudian, amplop berisikan KHS yang akademik kirimkan pada orangtuanya mesti
sudah sampai. Ia berkali-kali mengecek layar hapenya. Melihat daftar panggilan
dan kotak masuk. Hanya ada ucapan selamat atas perolehan IP-nya. Hah... Tetap
tidak ada kabar sama sekali dari orang-orang yang diharapkannya. Kalaupun ada,
betapa jarang frekuensinya. Padahal sekian semester telah berlalu sejak ia
hijrah untuk berkuliah. Padahal ia ingin mendengar suara mereka, bukan sekedar
kata-kata yang tertangkap mata. Seperti ada yang hilang dari hidupnya. Masakkan
mereka baru bertukar suara saat bertemu langsung saja--saat ia menyempatkan
diri untuk pulang walau hanya untuk beberapa hari?
Apa ia saja yang
berinisiatif menghubungi mereka duluan ya? Tapi ia bosan mengatakan semuanya
baik-baik saja. IP-nya stabil. Makan teratur 3 kali sehari. Tidak pernah sakit.
Organisasi lancar. Pergaulan bukanlah persoalan. Mungkin mereka juga bosan
dengan segala jawabannya. Dan sibuk dengan urusan mereka masing-masing,
sebagaimana ia. Ia tak bisa berbohong. Kehidupan memang sehampa itu. Sama
sekali tak ada hasrat bicara.
Kalau begitu ia
akan membuat sebuah realita baru.
Satu semester
berselang, kembali ia berhadapan dengan petugas akademik yang sama untuk
mengambil KHS. Dibacanya huruf-huruf dan angka-angka yang tertera. Ia tak sabar
menunggu hari-hari berikutnya menjelang. Mendatangkan sebuah panggilan di
pembuka malam.
"IP-mu kok
turun drastis?!"
Senyum terulas di
wajahnya. Akhirnya orangtuanya meneleponnya lagi.
27
Agustus 2009 * 20 Desember 2009, 9.09 PM
Sabtu, 19 Desember 2009
Balada Monyet
Senja bertandang. Kaki Dani menjuntai
ke bawah. Dani duduk di tepi lantai semen tingkat tiga sebuah bangunan rumah
yang belum jadi—rumahnya. Sepasang tangannya menggenggam harmonika perak kunci
D. Kedamaian menyelubungi jiwanya. Sesekali Dani melambai sambil tertawa pada
anak-anak berbaju muslim yang melintas di bawah dan berteriak-teriak
memanggilnya. “Dani... Ayo ke TPA...!”
Berkali-kali sudah mereka
melakukannya. Dani tetap malas beranjak. Ketenteraman jiwanya sedang tak ingin
dirusak. Ah, untung anak-anak itu tidak cukup punya kesabaran menunggu. Mereka
berlalu. Digantikan sayup-sayup suara motor yang digas kencang mendekat lantas
decit tiba-tiba rem. Dani hanya sempat melihat sekelebat sosok memasuki lantai
bawah rumahnya. Sebuah motor bebek merah ditinggalkan begitu saja.
Semakin jelas terdengar suara langkah
kaki menaiki tangga dengan terburu-buru diiringi desah nafas yang
tersengal-sengal. Dani menoleh. Perasaan tak nyaman mulai menyambangi kalbunya.
Tak lama muncullah orang itu, menyorongkan buntalan plastik, lalu, “Dani, cepet
ganti baju lo sama ini!”
“Heeh? Apaa?”
“Cepetan!” Cowok itu menarik lengannya.
Dani bangkit terjatuh-jatuh. Hingga cowok itu melepaskannya, Dani malah terdiam
sambil mengamat-amati buntalan yang diberikan kepadanya. Sepertinya berisi
pakaian.
“Tunggu apa lagi sih? Buruan dong!”
Cowok itu seperti sedang kebelet pipis. Dani menatap bingung. “Harus di sini?”
Cowok itu terpana. Ia memandang
sekelilingnya dan menyadari lantai tempat mereka berpijak tidak penuh
diselubungi dinding. Dani melewatinya, mencari-cari ruang tertutup, lalu
berbalik bingung. “Kita mau ngapain sih?”
Cowok itu mengacak-acak rambut sambil
berujar dengan wajah memelas. “Udah ganti aja baju lo, cepetaan...”
“Buat apaa?” Dani tak kalah pasang
wajah memelas juga
“Sore ini kita pacaran!”
“Apa?!”
Cowok itu lekas mendorongnya ke balik
sebuah kubikel triplek. “Gua nggak akan liat. Sana cepet ganti!”
.
Dani terperangah dengan baju terusan
putih berenda-renda yang kini menutupi tubuhnya. Dani menutup mulutnya.
Terakhir kali Dani memakai baju terusan berenda-renda adalah saat berumur 5
tahun. Sekarang baju tersebut sudah hilang entah ke mana setelah sebelumnya
dijadikan lap dapur. Dan baju terusan ini menyerapkan kekaguman bagi pemakainya
kini. Wangi pula. Sepasang kaki telanjangnya sedikit meloncat-loncat di atas
lantai semen, membawanya keluar dari kubikel.
“Pantas nggak?”
Cowok itu bahkan tidak menyempatkan
untuk berkata “...kamu cantik banget...” seperti yang biasa Dani saksikan di
film-film. Sepasang tangan cowok itu dengan cepat mencoba merapikan rambut
lurus pendek Dani namun tampak tidak puas dengan hasilnya. “Ah, udahlah entar
kena angin juga kacau lagi!”
Dani cemberut. Cowok itu tak
melihatnya karena sudah berbalik sambil menariknya menuruni tangga.
“Mana bokap lo?” tanya cowok itu masih
sambil menggiringnya cepat-cepat ke halaman tempat motornya tadi diparkir.
“Mmm... mancing...?”
Cowok itu tak menggubrisnya. Ia sudah
di atas motornya, memakai helmnya sendiri dan melemparkan satu helm lagi pada
Dani. Dani membiarkan helm itu jatuh begitu saja.
“Heh! Dipake!”
Dani berjingkat mundur dengan tampang
ngeri. “Aku nggak mau dibonceng kamu...!” Dani ingat suatu ketika dibonceng
cowok itu, ia jatuh terjengkang ke atas aspal. Ranselnya yang terisi penuh
menyelamatkannya dari gegar otak, untungnya. Supir angkot paling serampangan
saja masih bisa disebut budiman jika dibandingkan dengan cowok itu.
Bertambah lipatan di wajah cowok itu.
Seperti teringat sesuatu, mimiknya mendadak serius. “Gua akan tertib, Bu
Polwan.”
Beberapa menit kemudian motor bebek
merah itu sudah melaju kencang di jalan raya. Pengemudinya berusaha tetap penuh
kendali meski di belakangnya penumpangnya memukulinya tiada henti. “Boong! Kamu
boong! Turunin akuuu!”
.
Muka Dani masih pucat. Dani pusing,
ingin muntah. Sepasang bola matanya menyusuri sepasang tangan yang berusaha
merapikan lagi rambutnya. Terdengar gerutuan kesal, “ah, udahlah gini aja!” dan
lagi-lagi wajah kecewa. Lantas Dani ditarik naik undakan ke teras rumah itu.
Terus sampai ke pojok. Tempat yang mereka tuju tidak akan terlihat dari jalan
karena tertutup oleh tanaman-tanaman besar. Di sana ada sebuah meja persegi
panjang yang beralaskan kaca. Koran-koran menumpuk acak-acakan di bawahnya.
Beberapa kursi panjang yang terbuat dari besi ukir mengelilingi meja tersebut.
Cowok itu mendudukkannya di kursi yang menghadap ke jalan, disusul oleh dirinya
sendiri yang segera atur nafas untuk menenangkan diri. Dani menarik-narik ujung
baju terusannya agar menutupi kedua lututnya yang menempel rapat. Sedikit saja
terbuka, ketidaknyamanannya akan makin menjadi-jadi. Apalagi kalau ada orang
yang duduk di depannya. Setelah cukup tenang, cowok itu menarik sebuah tas
selempang ke pangkuan. Dani baru sadar cowok itu sedari tadi memakai tas, yang
dari dalamnya dikeluarkan beberapa buku pelajaran, buku tulis, lengkap dengan
alat tulisnya.
Cowok itu meliriknya. “Tadi kita ada
PR Bahasa kan?”
Dani balas melirik. Aneh. Apakah cowok
itu sengaja menculiknya dari rumah hanya untuk mengerjakan PR bersama? Tidak
seperti biasanya. Biasanya kalau cowok itu mau mengerjakan PR bersama ya
langsung datang saja ke rumah, tidak pakai acara culik-culikan ke rumahnya
sendiri segala. Tapi tadi temannya itu bilang mereka mau apa?
Dani beringsut menjauhi cowok itu,
yang tertegun. Yang malah mendekatinya terus. Keganjilan yang bertubi-tubi ini
membangkitkan Dani untuk bergerak menyelamatkan diri ke kursi seberang. Cowok
itu menariknya hingga ia jatuh terduduk dengan kaki terangkat. Ia merasa ngeri.
Ada apa dengan teman laki-lakinya ini? Jantungnya mulai berpacu. Dani menarik
tangannya dari genggaman cowok itu dan mengusap-usapnya. “Kamu kenapa sih?”
Didapatinya wajah cowok itu juga tak kalah pucatnya.
“Udah nurut aja ama gua, Dani.
Plis...”
Getaran lain merambati rongga dadanya.
Dani ingin berkata-kata lagi tapi dibungkamnya. Cowok itu menggeser posisinya
sedikit menjauh sambil mulai membuka-buka bukunya. “Ayo kita kerjain PR-nya,
Dan. Halaman berapa?”
Dani mendengus, tapi terlalu takut
untuk tersenyum. “Nggak tau. Buku catatanku kan ada di rumah.”
“Ya udahlah. Kerjain apa kek...”
Dan belum pernah sebelumnya Dani bisa
mengamati dengan jelas wajah cowok itu hingga sedekat ini...
...bibirnya yang pink... sepasang mata
tanpa kelopak yang bundar dan mungil bagai kancing,... rambut lurus hitam lebat
yang begitu kontras dengan pipinya yang mulus...
...ternyata teman sepermainannya itu
begini indah.
Debaran itu sebelumnya tak pernah ada.
Kini demikian kerasnya.
Dani tak lama-lama terhanyut dalam
pemandangan memesonakan itu. Pandangnya menangkap sesosok pria bertubuh tinggi
besar tengah celingukan di ujung teras satunya. Tampaknya pria itu baru ke luar
dari dalam rumah. Rambut lurus kecoklatannya panjang sebahu, kulitnya putih
agak kemerahan, dan sepertinya bukan saudara dekat temannya ini. Jika temannya
berwajah oriental, maka pria itu tampak kebule-bulean. Usianya mungkin sekitar
30-an?
Temannya itu menoleh, mengikuti arah
pandangnya. Detik berikutnya Dani kaget cowok itu sudah sedemikian ketat
menempelnya. Semakin ia bergeser menjauh, semakin cowok itu mendekatinya.
Pegangan kursi sudah terasa menekan pinggangnya. Dani tak bisa ke mana-mana
lagi. Kulit mereka lekat bersentuhan.
Pria itu menyadari keberadaan mereka
di sana. Ia melangkah mendekat. Lututnya sejengkal sudah dari pegangan kursi
dan didapatinya sepasang anak SMA yang berangkulan. Dengan nyamannya dagu yang
cowok bertumpu pada pundak yang cewek. Keduanya tampak asik memelototi halaman
terbuka sebuah buku yang terhampar di meja.
Namun Dani sungguh melotot. Tak keruan
lagi debar jantungnya yang sudah ingin mencelat copot. Cowok itu merangkulnya
sangat kuat. Dani tak bisa bergerak. Rongga hidungnya penuh menghirup harum
rambut dan aroma tubuh yang bukan miliknya. Tubuhnya menegang dijalari perasaan
panas dingin. Ujung-ujung rambutnya menyentuh bibir cowok itu. Terdengar
gelitik bisikan, “Rileks aja...”
Bukan hal mudah bagi Dani untuk dapat
melemaskan diri. Dani mencoba mengendalikan gejolak perasaannya. Tidak bisa.
Terlalu ganas. Hingga Dani merasa beban di pundaknya terangkat. Dani dan cowok
itu sama-sama mendongak ke arah si pria besar. Dani berusaha memasang tampang
sedatar mungkin saat menghadapi manusia yang tampak terpekur dan kesulitan
mengeluarkan suatu kata itu.
“Kalian ngapain?” ujar pria besar itu
akhirnya.
“Emang keliatannya gi ngapain?”
temannya itu menjawab dengan nada acuh tak acuh. Dani tak kuasa tak menggeliat
saat tangan cowok itu menyosor kikuk ke pinggangnya yang kurang berlekuk.
Sebelumnya adalah pipi cowok itu, lalu bibirnya, yang menempel di pipi Dani.
Dani benar-benar lemas sekarang, hanya bisa menunduk saja. Jiwanya terbang
entah ke mana.
Keheningan yang mengambang sejenak
terpecah oleh kedatangan seorang perempuan. Sepertinya ia juga baru dari dalam
rumah. Hitam rambutnya yang lurus panjang dikuncir ekor kuda itu begitu kontras
dengan warna kulitnya. Memang tidak begitu mirip (mata perempuan itu begitu
besar) namun Dani merasa perempuan itu adalah kakak temannya. Dengar saja
kalimat yang dilontarkan dari wajahnya yang terkejut, “Anjir lo, Dek, nggak
mungkin lo punya pacar!”
Cowok itu diam saja. Dagunya kembali
bertumpu manja pada pundak Dani lalu berkata lembut, “maaf ya, Yang, banyak
pengganggu...” Ia mengangkat dagunya lagi dan dengan lembut mengarahkan dagu
Dani agar menghadap ke arahnya. Kepala Dani berputar kaku. “Apa kita mau pindah tempat aja?”
Demi melihat isyarat yang dilancarkan
cowok itu sedemikian rupa padanya, yang mana pria besar dan perempuan itu
takkan dapat menyaksikannya, Dani mengangguk lemah dengan senyum yang
dipaksakan. Dilipatnya buku-buku jarinya yang bergetar.
Yang... Yang... Yang... Panggilan itu
mengiang-ngiang di kepalanya...
YANG?!
Cowok itu menggamit erat tangannya,
menariknya agar bangkit dan berlalu dari situ. Mereka melewati pria besar dan
perempuan itu menuju pagar di mana di baliknya si motor bebek merah masih aman
terparkir.
“Kita cari makan aja dulu yuk...”
Cowok itu berkata-kata lagi sesudahnya namun Dani terlalu bingung untuk
mendengarkan dengan jelas. Sampai di sebelah motor, cowok itu memakaikan helm
untuk kepala Dani sebelum memakai helm untuk kepalanya sendiri. Cowok itu tak
pernah bersikap sebaik ini kepadanya. Dani tercekat melihat kelembutan yang
tatap cowok itu pancarkan kepadanya. Tangannya masih digamit. Mereka terpaku di
balik pagar, saling berhadapan dan menatap. Satu, dua, tiga. Tatapan lembut itu
berganti isyarat agar Dani segera naik ke motor. Sebelumnya cowok itu berbisik
dekat wajahnya. Begitu dekat. “Taruh tangan lu di pinggang gua.”
Mata Dani menyorotkan kengerian. Dani
menggeleng-geleng cepat sambil balas berbisik keras, “Nggak mau! Nggak mau!”
Namun cowok itu ternyata punya kiat
lain agar Dani mengikuti kemauannya. Begitu motor sudah mereka tunggangi, ia segera tancap gas sehingga mau tak mau
Dani memeluk pinggangnya agar tak terjungkal. Dani masih bisa melihat sekilas
pria besar dan perempuan itu mendekati pagar untuk melepas kepergian mereka.
Ditangkapnya perasaan kecewa dan kehilangan dari sorot mata pria besar itu.
Nyatakah itu?
Sesampainya di jalan raya Dani ingat
untuk mencopot lengannya. Hati-hati Dani menggeser jarak duduknya sambil
berpegangan pada bagian belakang motor. Dalam deru angin senja yang menggelap,
ia mendengar sayup-sayup cowok itu berteriak, “Cowok yang tadi itu ngedeketin
gua trus gatau napa. Najis gua. Trus pas dia dateng untuk yang ke sekian
kalinya tadi, sebelum ketemu ama gua, langsung aja gua kepikiran buat nyulik
lu, pura-pura jadi cewek gua. Barangkali aja dia entar mundur pas tau kalo gua
ternyata normal. Untung aja gua pernah ngamatin kakak gua pacaran! Eh, tapi
yang tadi itu pura-pura aja ya...”
Dani tak mendengar rentetan kalimat
terakhir dengan jelas. Dani hanya menangkap kalau temannya itu sedang
dikejar-kejar pria besar tadi. Tapi gara-gara apa? “Hah? Nggak kedengeran!
Emang kamu ada utang berapa sama dia, sampai dia ngejar-ngejar kamu?”
Cowok itu tak menjawabnya. Mungkin
karena tak bisa mendengar suaranya dengan jelas atau mungkin karena sedang
konsentrasi mengemudi. Dani agak lega cowok itu kini tidak sengebut dan
seserampangan sebelumnya. Lebih-lebih lagi Dani bersyukur saat ia sampai di
halaman rumahnya dengan selamat. Dani meloncat turun dari dudukan motor sambil
mencopot helm. Cowok itu mengambil kembali helmnya namun tidak segera pergi. Ia
malah mematikan mesin motornya.
“Duh, langsung pulang nggak ya, gua?”
Dani memiringkan kepalanya, menangkap
pancaran kebingungan dari temannya itu. “Emang kenapa?”
“Takut masih ada di rumah.”
“Main aja dulu, ke mana... gitu?”
Cowok itu memutar kunci motornya lagi.
Gas menyala. “Iya ah. Gua main ke Genesis dulu aja deh.” Genesis adalah tempat
rental RPG di dekat sekolah mereka.
Tanpa mengucapkan “makasih”, cowok itu
minggat meninggalkan asap.
.
Menjelang larut malam. Kaki Dani
menjuntai ke bawah. Dani duduk di tepi lantai semen tingkat tiga bangunan rumah
yang belum jadi—rumahnya. Sepasang tangannya menggenggam harmonika perak kunci
C. Keresahan menyelubungi jiwanya.
“Dan... Ayo tidur...!”
Berkali-kali sudah bapaknya itu
berteriak. Dani tetap malas beranjak. Lantunan melodi La Vie en Rose yang
mengalir mesra dari harmonikanya tak ingin ia rusak. Ah, bapaknya itu tak
bosan-bosannya begitu. Tidak tahu bahwa
Dani sedang ingin bercerita pada bulan dan bintang-bintang yang bertaburan di
cerahnya angkasa, “Hai, bulan, bintang, malam ini hatiku berbunga-bunga dan aku
tak bisa meredamnya...”
.
Di kelas, cowok itu adalah tipe orang
yang bakal berjalan cepat ke bangkunya dengan cuek. Tanpa senyum, tanpa
merengut, tanpa menoleh kanan kiri. Kehadirannya jarang terasa oleh siapapun.
Teman perempuannya mungkin hanya Dani.
Dan mungkin hanya Dani pula yang
merasakan fenomena aneh ini. Jantungnya jadi berdebar tak keruan. Semakin Dani
mengingat cowok itu beserta segala pesona fisiknya yang baru disadarinya
kemarin, semakin kencang pula gemuruh di dadanya. Bertalu-talu dengan kekuatan
tinggi. Besar suaranya terdengar. Dug. Dug. Dug. Aih, Dani jadi makin resah.
Dani jadi ingin terus memainkan harmonikanya. Biarlah dentuman-dentuman di
hatinya ini menjadi pengatur ritme dari melodi-melodi romantis yang mendadak
jadi senang dilantunkannya.
Ketika bayang cowok itu menjauh,
debaran itu perlahan menghilang. Dani bisa menghembuskan nafas lega dan
menjauhkan lubang-lubang harmonika dari katup bibirnya. Tapi ketika ingatan
akan cowok itu kembali, aih, aih, debarannya jadi terasa kencang lagi!
Semalaman tadi hingga pagi ini batin
Dani hanya berisi kegundahan belaka. Padahal pagi ini adalah pagi yang
biasanya. Bangun subuh, pergi ke sekolah, bertemu teman-teman... Perasaannyalah
yang jadi luar biasa. Hingga tidak dapat ditahankannya lagi. Kegundahan ini
harus ada jawabnya. Setidaknya Dani harus tahu apa yang seharusnya ia lakukan
dalam keadaan yang tidak menentu seperti ini. Sesuatu yang indah telah mengoyak
ketenteraman hidupnya.
Maka, ketika cowok itu akhirnya
memasuki kelas pada beberapa saat setelah bel masuk berbunyi—seperti biasa—dan
hendak melewati bangkunya, dan debaran itu terasa kian kencang kian kencang...
oh, apakah cowok itu akan menoleh sejenak dan tersenyum hangat?—satu, dua,
tiga...
Cowok itu tidak tersenyum. Menoleh pun
tidak. Tetap cuek seperti biasanya.
“Raka!” Perut cowok itu tertahan di
lengannya.
Cowok itu memandangnya risih seraya
mundur sedikit. “Kenapa lo?”
Dani meneguk ludah. “Kenapa sih kita
harus pacaran?”
Cowok itu mengerjap-ngerjapkan mata
sipitnya.
(ah, desember yang resah...)
25
april 2009 * 19 desember 2009: 12.41 AM
Kamis, 17 Desember 2009
Anak Ayam Buruk Rupa
Permadani sersah berhiaskan
bercak-bercak nyala yang jatuh dari sela-sela tajuk di atasnya. Jika terlalu
lama di sekitarnya, akan terasa panas menyengat. Namun justru itulah yang
menguarkan hangat dalam keteduhan di bawah naungan kanopi hutan.
Garukan kaki Mama Ayam pada sersah
menambah riuh nyanyi para serangga yang melekat di batang pepohonan. Di
sekitarnya, para juniornya meniru-niru apa yang dilakukannya. Penuh rasa ingin
tahu mereka mengikuti ke mana induk mereka pergi. Ciapan mereka ikut
menyemarakkan orkestra hutan. Mereka semakin ribut ketika Mama Ayam mencabut
seutas cacing dari lubang yang baru digalinya.
“Mama! Mama! Aku dulu! Aku dulu!”
begitu mereka terpekik-pekik girang. Tembolok mereka sudah minta diisi lagi.
Belum cukup segala yang sudah tersimpan di dalamnya.
“Ayo, siapa tadi yang belum dapat?”
tanya Mama Ayam masih dengan menjepit cacing di paruhnya.
“Aku! Aku!” semua berteriak.
Sebetulnya ia tahu giliran siapa
sekarang. Ia hanya ingin menggoda anak-anaknya. Ia tak perlu menyuruh anak yang
akan mendapatkan gilirannya untuk membuka mulutnya. Paruh semua anak sudah
terkuak menganga. Cacing malang itu pun jatuh ke dalam lubang mulut Elena,
salah satu anaknya. Ditelannya benda kenyal panjang itu bulat-bulat.
“Mama! Mama! Kapan giliranku lagi?”
tanya Alicia, anak sulungnya, tak sabaran.
“Sabar, Nak...” Mama Ayam tersenyum
akan polah anaknya itu sambil meneruskan kembali langkahnya.
Barbara, Colin, dan Delilah juga
tampaknya sudah tak sabar pula ingin mendapatkan giliran mereka lagi. Loh,
tunggu... tunggu... sepertinya masih ada yang kurang... batin Mama Ayam. Hm,
mungkin ia masih di belakang, sibuk mencari makanan sendiri seperti biasa...
Cakar Mama Ayam kembali menyeruak
tumpukan sersah di hadapannya. Anak-anaknya segera mengejar. Berkeliaran di
sekitar induknya. Tak mau ketinggalan mendapati apapun yang tengah dilakukan
induknya.
Cakar Mama Ayam berhenti tepat di atas
seonggok bangkai ikan. Bagian perutnya sedikit terkoyak. Wah, kebetulan sekali
kali ini giliran si bungsu yang dapat makan... batinnya. Lantas kepalanya
celingak celinguk mencari sesuatu meski pandangnya hanya menangkap hamparan
tegakan pohon dan lenggokan kebingungan kepala anak-anaknya yang ikut-ikutan
berhenti.
“Ada apa, Mama?”
“Iya, ada apa? Ada apa?”
Ciapan yang saling menimpali itu
dijawab Mama Ayam, “di mana ya Fiona?”
Raut wajah anak-anak ayam itu berubah
jadi tidak senang. Pandangan mereka alihkan ke satu sama lain. Terdengar
gumam-gumam pelan yang menyiratkan kedengkian.
Kepala Mama Ayam masih
melenggok-lenggok. “Fiona, di mana kamu? Ada i—“
“NGAAAKKK!”
Ketentraman hamparan tumbuhan bawah Piper sp. terusik ketika sepasang cakar
besar itu menginjak-injak mereka tanpa ultimatum sama sekali. Sesosok unggas
berparuh amat panjang dengan sejumput acak rambut kepala melesat dengan
kecepatan tinggi seraya memekik-mekik. Gerombolan anak ayam terlonjak lalu lari
kacau balau menyelamatkan diri. Mama Ayam hanya mampu terpaku ketika paruh
kuning kemerahan nan panjang itu nyaris terantuk dengan paruhnya yang kuning
mungil namun tajam terpercaya. Tubuh makhluk yang sudah sedikit lebih besar
dari dirinya itu menimpa bayang-bayang tajuk pepohonan.
“Mana ikannya, Mama?” anak itu berkoak
lagi. Suara serak dan nyaringnya membuat anak-anak ayam yang sudah pada
menyingkir itu bergidik. Masih pandangnya terpaku pada makhluk tersebut, Mama
Ayam bergeser sejengkal dan memperlihatkan penemuannya. Kedengkian para anak
ayam menjadi-jadi demi melihat rakusnya makhluk jelek itu saat melahap si
bangkai ikan. Seonggok bangkai ikan yang mungkin akan mengenyangkan mereka
semua tapi tidak akan pernah cukup bagi si bocah nista itu. Mama Ayam hanya
bisa memandangi dengan hampa.
“Terima kasih, Mama!” koak anak itu
kali ini tidak membuat para anak ayam gentar. Tatapan keji mereka layangkan.
Mama Ayam mengangguk-angguk. Katanya, “apakah banyak ikan yang sudah kamu
temukan tadi, Nak?”, yang dibalas dengan anggukan semangat, “ya, Mama, tapi
rasanya aku belum cukup kenyang.”
“Oh, begitu, kalau begitu mari kita
cari makan lagi. Saudara-saudaramu juga sepertinya belum cukup kenyang.” Mama
Ayam berbalik hendak terus masuk ke tengah hutan. Tidak mendapati anak-anaknya
bergegas mengikuti seperti biasa, Mama Ayam mencari-cari. “Ayo, Anak-anak!
Masih ada banyak makanan di sana...”
Dengan enggan, para anak ayam beranjak
dan menjaga jarak sejauh mungkin dari saudara mereka yang lain rupa lain bentuk
itu. Kalau tak sengaja beradu pandang, mereka akan segera melayangkan sorot
mata penuh kebencian.
Mama Ayam yang menyadari itu hanya
bisa menegur, “yang rukun ya, Anak-anak... Fiona, kalau cari makan jangan
jauh-jauh ya. Nanti kamu tersesat.”
“Huh, biar saja dia tersesat. Jadi
kita tidak usah sama-sama dia lagi...” desis Delilah pada Colin.
“Kenapa sih, namanya harus mirip
dengan namaku? Sama-sama ada ‘na’ di belakangnya!” keluh Elena untuk ke sekian
kalinya selama beberapa minggu kehidupannya.
Alicia, si sulung, hanya bisa mengusap
punggung adiknya. “Sabar... Sabar...”
Barbara tak kalah sebalnya. Tapi ia
tidak menemukan kata-kata yang cukup kejam untuk dilontarkan. Jadi ia diam saja
dengan muka merengut.
Mama Ayam sudah tidak tahu lagi apa
yang bisa dilakukannya agar mereka berhenti berbisik-bisik seperti itu. Ditegur
berkali-kali sudah tidak mempan. Bukan hari ini saja mereka mendiskriminasi
sesama saudara mereka itu, melainkan setiap kali mereka bersamanya. Dan itu
hampir sepanjang hari. Ia hanya bisa berharap agar perasaan Fiona, anak
angkatnya itu, tidak terluka demi mendengar semua perkataan yang menolak
kehadirannya. Suatu kehadiran yang tiba-tiba. Ingatan Mama Ayam melayang...
Malam itu, dari balik kandangnya yang
luas dan berpenerangan cukup, dengan anak-anaknya—yang belum berapa lama
berhasil melepaskan diri dari belenggu cangkang—mencuri kehangatan dari balik
kedua sayapnya, Mama Ayam dicemaskan oleh pemandangan yang terlihat dari balik
jendela kawat. Tumpukan tebal jerami yang ditungganginya tidak cukup melarutkan
kesadarannya ke alam mimpi. Terlihat olehnya garis zig zag keperakan melecut
langit ungu. Butir-butir air meluncur dari sana, mulanya perlahan. Setetes demi
setetes, hingga makin lama makin lesat menjadi peluru. Udara menggeliat pesat
menjelma badai yang menghantam-hantam. Harmoni kanopi hutan di kejauhan goyah.
Himpunan tajuk digoyang-goyangkan dalam irama yang tak beraturan. Kacaulah
apa-apa yang berdiam di atas maupun di dalamnya. Peluru air kian bertubi
ditembakkan langit, menambah porak poranda komposisi suara yang terdengar dari
luar sana...
Keesokan paginya, sepasang tangan
mungil menghantarkan makhluk itu ke dalam kandangnya. Dalam balutan kain handuk
kumal, makhluk itu terlihat sama ringkihnya dengan anak-anaknya yang belum lama
melihat dunia tersebut. O lihat ukuran badannya yang jauh lebih besar dari
mereka, bulu-bulu cokelat-putih-hitamnya yang bercampur aduk dan nampak masih
sedikit basah, sepasang mata yang menatap waspada serta curiga, dan paruh amat
panjang yang begitu mengancam...
Mama Ayam sedikit gentar. Ia tekan
kepanikannya meski anak-anaknya gelagapan berebut tempat persembunyian yang
aman di balik tubuh induknya. Setelah lama mengamati makhluk asing tersebut,
Mama Ayam mendapat keyakinan bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan darinya.
Makhluk itu sama membutuhkan perlindungan sebagaimana anak-anaknya sendiri.
Maka makhluk itu direngkuhnya, membikin anak-anaknya tambah gelagapan karena
tempat persembunyian mereka mendadak bergerak menjauh. Makhluk itu sempat
menghindar hingga tersudut. Namun tak memberinya perlawanan apa-apa. Makhluk
itu tidak berbahaya.
“NGAAAKKK!”
Ya, mungkin koakannya agak sedikit mengagetkan.
Koakan yang mengingatkannya akan para
makhluk yang bersinggasana di atas hutan. Jumlah mereka amat banyak,
mendominasi langit. Tidak pernah mereka sudi menjejakkan kaki di atas tanah,
kecuali anak mereka, yang sebesar tubuhnya, yang terjatuh dari sarangnya.
Bahkan untuk menjemput anak mereka yang sudah menyentuh tanah pun mereka tak
sudi! Semakin bertambah rasa ibanya pada makhluk di hadapannya itu.
Begitulah awal mulanya makhluk itu
menjadi bagian dari keluarga kecilnya. Diperlakukannya makhluk itu hampir sama
seperti anak-anaknya, apalagi setelah ia sadari bahwa makhluk itu juga tumbuh
berkembang. Tentu makhluk itu membutuhkan asupan nutrisi juga, dengan porsi
lebih, sebagaimana ukuran tubuhnya yang jauh lebih besar dari yang lainnya. Ia perhatikan
juga, manusia yang biasa memberi ia dan anak-anaknya makan, memberikan jenis
makanan yang berbeda pula pada makhluk itu. Sesuatu yang tak pernah ia lihat
diberikan sebagai pakan khusus bagi bangsanya: ikan. Dalam jumlah yang cukup
besar pula. Namun Mama Ayam tak komplain. Cukuplah semua dedak dan pakan buatan
pabrik lainnya itu. Ditambah hasil mencari-cari sendiri di hutan seberang
kandang.
Makhluk itu juga sungguh menarik
perhatian. Tidak hanya manusia-manusia dengan rupa itu-itu saja yang biasa memberi
makan yang kini suka mendekatinya—mendekati makhluk itu. Ada lebih banyak rupa
manusia, memandang, mendekati, mencoba meraih makhluk itu. Kadang mereka
berhasil dan kadang tidak. Makhluk itu mereka pangku, belai, dan sentuh dengan
macam-macam benda. Sementara itu Mama Ayam dan anak-anaknya lebih suka
menghindar tidak dekat-dekat dengan manusia. Jika Mama Ayam dan anak-anaknya
sudah begitu jauh menghindar, makhluk itu akan melompat dari pangkuan manusia
yang sedang menjamahinya dan bergegas menyusul.
Hari demi hari terus berganti.
Anak-anaknya sudah lebih besar, termasuk makhluk itu. Dengan ukurannya yang
sekarang, ia sudah hampir tidak muat lagi masuk kandang. Kalaupun berhasil
masuk, maka ia akan membuat ayam-ayam yang di dalamnya kesempitan. Maka oleh
para manusia itu, dibuatkanlah ia sebuah kandang sendiri di samping kandang
Mama Ayam dan anak-anaknya. Meski demikian, seringkali makhluk itu memaksa
masuk ke kandangnya yang sebelumnya, bersama para ayam.
Kebutuhan makan makhluk itu pun jauh
lebih besar lagi. Sering Mama Ayam menangkap percakapan samar-samar para
manusia,
“Dibuang aja ya cangaknya. Makannya
banyak banget e... Ikan pula!” kata sebuah suara berat yang segera ditanggapi
oleh sebuah suara nyaring dan cempreng, “jangaaaan! Tunggu sampai dia besar dan
bisa makan sendiri, Pak e.”
“Lah, mau sampai kapan?” suara berat
itu menanggapi. “Mau nggak para mahasiswa itu beli makan buat dia?” Lalu
suara-suara manusia itu semakin menjauh hingga tak terdengar lagi.
Sehingga Mama Ayam dan anak-anaknya
pun makin hari jadi makin lama menghabiskan waktu di hutan. Bukan karena belum
kenyang mencari cemilan, wah tak terkira betapa melimpahnya apa yang mereka
cari itu di hutan, melainkan karena menunggui makhluk itu puas mencari bangkai
ikan yang berceceran di lantai hutan agar mereka semua bisa pulang
bersama-sama. Ya, sementara Mama Ayam dan anak-anaknya memagut cacing,
serangga, rayap, bekicot, dan hewan-hewan kecil lainnya, makhluk itu menyusuri
lantai hutan hanya untuk mendapatkan bangkai ikan. Kadang ada pula yang jatuh
menggelepar dari langit, menghantam tanah, lalu menggelepar lagi sebentar
hingga tak bergerak sama sekali. Sering pula jumlah bangkai ikan yang ditemukan
tidak memuaskan nafsu makan makhluk itu. Kalau sudah begitu, mau tak mau ia
coba juga melahap yang induk dan para saudara angkatnya pagut. Maka para
saudara angkatnya itu akan makin gencar saja memancarkan hawa permusuhan.
Jika makhluk itu sedang berada cukup
jauh dari mereka, anak-anak ayam akan mencurahkan segala protes, keluh kesah,
dan uneg-uneg pada induk mereka, atau lebih seringnya pada sesama mereka
sendiri.
“Ma, kenapa sih makhluk jelek itu
harus selalu bersama-sama kita?”
“Iya, udah jelek, gede, badannya nggak
proporsional lagi. Liat aja, paruhnya panjang banget!”
“Makanannya juga beda sendiri. Ikan!
Ikan gitu loh! Kita aja nggak dapet yang seperti itu!”
“Mama selalu menegur kita kalau kita ikut mencicipi ikan. Kata Mama, sisihkan itu buat dia, kita sudah cukup dapat makan yang lain. Padahal kan kita penasaran ingin tahu seperti apa rasanya yang dia makan!”
“Makannya banyak banget lagi.
Perhatiin nggak sih, dia udah segede apa sekarang? Lama-lama, mama kita juga
yang dia lahap!”
“Dia juga suka bikin manusia datang
mendekat, kan kita jadi takut!”
“Aku benci dia!”
“Aku juga!”
“Kita semua benci dia!”
Mendengar semua cercaan anak-anaknya,
Mama Ayam mencoba menjelaskan, “jangan begitu, Anak-anak.... Meskipun kita dan
dia berbeda rupa, tapi sesungguhnya kita semua satu, sama-sama unggas!”
Anak-anak ayam tak mau mengerti.
Mereka tetap gencar melontarkan caci-maki. Dan menularkan tabiat itu dari
generasi ke generasi.
.
Makhluk itu hanya bisa tabah menerima
segala bentuk diskriminasi. Luka hatinya sudah sedemikian koyak hingga kebal
dibubuhi ucapan-ucapan menyakitkan.
Kini ia sendiri. Induk yang dulu
begitu memerhatikan dan menyayanginya sudah jadi pupuk di septic tank. Ya, sekian tahun telah berjalan. Para saudara
angkatnya sudah tumbuh besar juga, tapi tak sebesar dirinya tentu. Sebagian
entah sudah bertelur untuk yang ke berapa kali sedangkan sebagian yang lain
entah bagaimana nasibnya sekarang— dibawa oleh para manusia itu entah ke mana.
Kandang yang dulu sudah tidak ada melainkan diganti oleh kandang yang lebih
besar. Jumlah anak ayam bertambah cukup banyak. Semakin banyak pula perkataan
tak menyenangkan itu. Padahal ia merasa tak pernah mengganggu mereka. Malah
sering ketika ada kucing yang coba-coba mendekati mereka, ia akan segera lari
menghalau predator tersebut hingga terbirit-birit pergi. Namun apa yang ia
dapat? Tak sejumput pun apresiasi melainkan gempuran caci maki. Siapa yang
tidak sedih?
Manusia pun sudah tak hirau lagi akan
dirinya. Semakin lama ia jadi lebih banyak di hutan, berusaha memenuhi sendiri
kebutuhan makannya. Celah-celah banir Dipterocarpaceae menjadi tempat
berlindungnya. Berharap setiap saat agar ada semakin banyak bangkai ikan yang
jatuh dari langit. Tak jarang harapannya itu dijawab dengan sebercak kotoran
yang mendarat di paruhnya. Sebercak kotoran yang kemudian disadarinya mirip dengan
punyanya. Bukan sesuatu yang asing sebetulnya. Bercak kotoran ini ada di
mana-mana, menimpa setiap jenis tumbuhan di hutan ini. Bahkan ada suatu tempat
di mana hampir seluruh permukaan tumbuhan di sana berwarna putih karena
kejatuhan kotoran macam ini.
Maka ia jadi suka memandangi langit.
Menghapal sosok yang menelurkan kotoran sebagai yang punyanya itu. Ada banyak
sosok serupa beterbangan di atas sana. Dengan kaki jenjang yang terkatup,
membumbunglah para makhluk bersayap hitam lebar membentang itu. Saat mendarat
di pucuk kanopi, terlihatlah jelas bagaimana sosok mereka. Paruh mereka amat
panjang, sebagaimana paruhnya. Sebagian tubuh mereka, dari puncak kepala hingga
leher, berwarna putih, sedangkan sebagian sisanya berwarna hitam, sebagaimana
miliknya. Ia mematut bayangannya di genangan air bekas hujan semalam. Tidakkah
ia dan mereka serupa? Namun kenapa aku tidak berada di atas sana? tanyanya.
Ayam macam apa mereka? Ia coba mengepak-ngepakkan sayapnya dan meloncat-loncat.
Tidak bisa. Tubuhnya terasa berat. Sayapnya, yang padahal lebar, terasa begitu
ringkih. Mungkin memang sudah nasibku untuk tinggal di bawah sini, pikirnya,
mungkin aku mengidap kelainan. Ia kembali celingukan, mengacaukan tumpukan
sersah, demi mencari bangkai ikan yang siapa tahu terselip di sela-sela.
.
Keempat orang mahasiswa itu kompak menghalau
serangan nyamuk yang segera menyambut begitu mereka memasuki kawasan arboretum.
Para nyamuk berukuran relatif besar dengan loreng-loreng putih itu begitu
bandel mengitari apapun yang berwarna hitam dan melekat di tubuh. Lama-lama
capek juga mereka meladeni para nyamuk itu. Masak calon rimbawan takut nyamuk,
begitu pikir mereka. Meski tak ayal rencana untuk membawa lotion anti nyamuk pada kunjungan berikutnya muncul dalam kepala.
Melengganglah terus mereka ke semakin ke dalam hutan.
“Jadi kita ngapain sih?” tanya Ucok,
salah satu dari mereka, tiba-tiba. “Kok kalian dari pintu masuk nunduk-nunduk
terus.”
“Piye tho, Ndul? Wah... ra beres
ki...” timpal seorang yang lain, yang berkacamata dan berkulit agak terang.
“Nyari bangke ikanlah! Penciuman lo
kan tajam tuh... kayak anjing polisi...” seorang yang lain ikut nyablak
“Ah, males ah!” seru Ucok. “Biar Teh
Iis aja deh yang nyari.”
Ucok tersenyum pada gadis di sebelahnya,
yang hanya pasang tampang merengut. “Ayo, Cok, nyari juga...” katanya serius,
punggungnya membungkuk terus sambil sesekali memasukkan sesuatu ke dalam
plastik bening yang dibawanya.
“Aduh... Nggak ada cara yang lain ya
buat ngidentifikasi pakan burung cangak?” Ucok mengusap-usap perutnya. Iis
memalingkan muka, mencari ke arah lain.
“Yo kata Pak Wawan kan kita harus
ngumpulin bangkai ikannya, bar iku diidentifikasi apa aja jenisnya.”
“Iya, Cok, ngerti gak lu, Cok? Kasian
tuh anak-anak Perikanan kolam mereka ikannya abis, gak ada objek penelitian
lagi tuh mereka.”
“Ha ha, beli aja ikan yang baru...”
“Ya, lu mau beliin?! Cangak di kampus
kita tuh overpopulated tau!”
“Ah, udah ah, jangan pada berantem
atuh! Yang penting ayo kita sama-sama tuntaskan PKM ini!” sergah Iis yang malah
ditanggapi nyanyian Ucok.
“Ooo.. seperti ular! Seperti ular!
Suka memangsa... Eh, di arboretum kita nih ada ularnya nggak sih—“
“Sst—sst—diem!” mendadak Bagus, yang
sedari tadi bicara dengan logat Jawa kental itu, menepuk-nepuk Ucok agar bocah
itu bungkam.
“Ada apa sih?” Benny—si logat Betawi,
setengah berbisik. Ketiga orang lainnya segera mencari-cari arah pandang Bagus
dan mendapati sesosok cangak dewasa dengan kaki menapak lantai sersah. Burung
tersebut tampak tenang mengais-ngais tanpa sedikit pun menyadari kehadiran
mereka. Benny mendesis, “belum pernah gua liat cangak sedekat ini...”
“Ssstt...” kali ini Iis yang
menyemburkan desis. Tanpa mengalihkan pandangan dari si cangak, ia mengeluarkan
kamera dari sakunya dan mulai mencari-cari angle
yang pas. “Jarang-jarang nemu cangak dewasa lagi jalan-jalan gini...”
“Aneh yo...” gumam Bagus.
“Mungkin dia lagi capek terbang kali.
Atau lagi pingin cari pengalaman baru ajaa...”
“Ssst!” Bagus, Iis, dan Benny kompak
berbalik untuk membungkam Ucok. Dibegitukan, malah memunculkan suatu ide dalam
benak anak Batak itu. “Eh, napa nggak kita tangkap aja si cangak itu? Terus
kita observasi? Kita bedah perutnya trus liat apa aja yang dia makan?”
Teman-temannya tidak mau susah-susah
memikirkan kemungkinan tersebut. Mereka kembali mengamati si cangak.
“Eh, gua jadi keinget sesuatu deh.”
“Apa Ben?”
“Inget gak, dulu Pak Sapto, penjaga
kampus kita itu, kan pernah melihara burung cangak gitu. Tapi cangaknya masih
kecil.”
“Oh iya, iya. Dulu sempet jadi bahan
penelitiannya anak kelompok pengamat burung juga kan? Tapi gara-gara makannya
banyak banget akhirnya dilepas ke sini kan?” Iis menambahi.
“Jadi maksud kalian, ini tuh cangaknya
Pak Sapto yang dilepas itu?” ujar Bagus.
“Ya, secara tu cangak kan dipelihara
ampe rada gede. Kapan dia belajar terbangnya coba? Jadi wajar aja kali dia ampe
segede gini nggak bisa terbang...” Benny berkacak pinggang. Sikutnya menyenggol
keras eboni di sampingnya. Sekonyong-konyong jeritan Benny menggoyangkan helai-helai
tajuk. Si cangak pejalan kaki tersentak. Lekaslah ia berlari dari apapun itu
yang sepertinya akan mengancamnya.
“Ih, Benny, lebay amat sih! Tuh kan,
cangaknya jadi lari!” omel Iis.
“Ayo, serbu!” Ucok tancap gas. Ia
mengayuh kakinya mengikuti arah si cangak berlari. Refleks teman-temannya
mengikuti. Bagus segera menyusul di samping Ucok. Iis sedikit di belakang
mereka. Benny paling belakang, masih mengaduh-aduh karena efek ‘kesetrum’ belum
hilang dari sikutnya.
“Ayo kita bawa cangak ini saja ke Pak
Wawan. Unik kan? Cangak yang nggak bisa terbang!”
“Terserah lu deh, Cok!” seru Benny
dari kejauhan. Bagus menoleh lalu tak habis pikir mengapa dia tahu-tahu sudah
ikut berlari bersama Ucok. Tapi nanggung kalau berhenti!
“Eh, eh, ayo kita jebak dia sampai ke
pagar pembatas yang di depan sana itu! Bagus, kau ke kiri! Iis, kananku, yak!
Benny, kau yang jadi pemandu soraknya, okay?!”
“Ah, apaan sih lu, Cok?!”
.
Tak terkira betapa takutnya makhluk
itu. Sayapnya terus dikepak-kepakkan, berharap sepasang benda itu bisa berguna.
Padahal ia sudah mengerahkan semua kemampuannya untuk berlari dan melewati
celah-celah yang sepertinya tidak akan mampu dilewati manusia. Tapi para
manusia yang ini gesit sekali! Mereka tinggal beberapa meter lagi di belakangnya,
sementara beberapa meter lagi di depannya adalah pagar kawat.. Ya ampun, ia
telah melampaui batas rawan! Dalam pengalaman kelananya mencari makan bersama
Mama Ayam dan anak-anaknya, tak pernah mereka sampai sedekat ini dengan pagar
kawat. Pagar kawat yang membatasi kehidupan syahdu hutan dengan hiruk pikuk
dunia manusia beserta segala urusannya. Terang benderang di sana dengan sedikit
permukaan yang tertutup hehijauan. Hanya ada kumpulan gedung yang teramat besar
dengan banyak manusia berseliweran. Ah, manusia, sudah lama ia tidak pernah
dijamah mereka dan ia pun tak suka mereka jamah. Kini makhluk itu terasa
demikian menakutkan baginya.
Kepanikan terus memburunya, menyentak
kalbu. Sebentar lagi ia akan menabrak pagar kawat itu—dan terkepung! Oh, entah
apa yang akan terjadi selanjutnya. Entah apa yang akan para manusia itu lakukan
terhadapnya nanti. Ketakutan Mama Ayam dan anak-anaknya saat bertemu manusia
merasuki dirinya. Apa yang akan Mama Ayam lakukan jika berada dalam keadaan
genting seperti ini?!
Mama Ayam akan mengepak-ngepakkan
sayapnya dan meloncat. Terus mengepak hingga cakarnya menggapai tanah. “Ini
bisa sedikit meringankan bebanmu saat terjun ke bawah,” terngiang nasihat Mama
Ayam suatu kali saat mengajar anak-anaknya teknik meloncat yang baik dan benar.
Lalu ia akan mendarat di seberang pagar dan kembali ke kandangnya, pasti ada
jalan memutar untuk ke sana, meski harus menghadapi rintangan manusia demi
manusia.
Kali ini kepakan sayap makhluk itu
berhasil melontarkan tubuhnya ke atas tanah, lebih tinggi dari yang ia kira,
hingga sepasang kakinya lurus menjejak melewati pagar kawat. Aku tak mau jatuh,
aku tak mau jatuh... ucapnya
berkali-kali dalam hati. Terus ia kepakkan sayap hitam lebarnya. Terus...
terus... berharap agar tidak terlalu sakit nanti saat mendarat... Hei, kenapa
aku tidak mendarat?
Suara keributan para manusia itu
terdengar makin sayup-sayup, makin jauh, makin jauh...
“Eh, cangaknya ternyata bisa terbang!”
“Buset! Sialan tu cangak pake
kecepirit segala! Mana kena pipi gua! Mana bau lagi!”
“Makanya kau jangan terlalu
bersemangat, Ben...”
“Sialan lu, Cok! Sialan!”
“Kayaknya ini gara-gara kita
kebanyakan ngerjain tugas, laporan praktikum, makanya kita jadi
berhalusinasi...”
“Macam mana itu, bah!?”
Makhluk itu terus mengepakkan
sayapnya, membumbung ke angkasa, meninggalkan wajah para manusia yang terpana,
hingga cukup tinggi untuk melihat ke bawah...
Terperangah ia akan kemampuannya
sendiri.
Kembali ia merosot ditarik bumi.
Rupanya ia belum bisa terbang terlalu jauh dan tinggi! Dikepakkan lagi
sayapnya. Merosot. Naik. Coba lagi dan coba lagi. Jika aspal yang ditapaki, ia
kencang berlari, seraya menghimpun tenaga untuk mencoba terbang lagi.
Sekali-kali harus dihindarinya macam-macam benda saat sedang berlari. Namun
pada akhirnya ia bisa terbang lagi. Dan jatuh lagi. Terbang lagi. Semoga kali
ini cukup tinggi. Yeah! Ia mencoba berputar menukik ke arah hutan, masuk ke
dalam rerimbunan kehijauan, tersangkut-sangkut pada ranting demi ranting
sebelum akhirnya kembali menghunjam tanah. Tidak apa-apa. Ia jatuh di kawasan
yang tidak ada manusianya. Ia berlari dan mencari tempat persembunyian yang
takkan terlihat oleh siapapun.
Dan ia sadari hidupnya akan segera
berubah setelah ini.
Makhluk itu terus berlatih terbang.
Sekali waktu ia berhasil menyembul dari balik tajuk, menyapa sesosok yang mirip
dirinya. Sosok itu menoleh namun ia keburu terperosok. Tekadnya untuk mengasah
terus kemampuan terbangnya semakin kuat. Ia ingin segera bisa bergabung dengan
makhluk-makhluk serupa dirinya di atas sana. Ikut mencari makan di kolam-kolam
yang jauh. Mendaftar dalam Komunitas Cangak Arboretum (KOMCATAR). Sekali-kali
meluncurkan tai kepada para saudara angkat kejam beserta anak-anaknya. Kadang
pula ia menjatuhkan sisa ikan yang dimakannya ke arah mereka. Mereka akan
langsung berpencaran, kaget akan bom ikan yang datang tiba-tiba, sebelum
kemudian mengerumuni potongan ikan itu dan mencacahnya dengan rakus, sampai
seekor kucing datang mengacaukan. Mereka segera lari lintang pukang tak tentu
arah. Akhirnya kucing itulah yang menghabiskan sisa santapan mereka.
Dan jauh di hamparan kanopi di atas
sana, seekor cangak telah menemukan jati dirinya. Kini ia menjadi bagian dari
titik-titik putih di tengah gumpalan-gumpalan hijau tanpa banyak celah. Berbahagialah
hidupnya selama-lamanya bersama ratusan sosok yang serupanya.
8 maret 2009
17 desember 2009: 12.31 AM
teruntuk para anak cangak arboretum yang terjatuh dari
sarangnya.
Senin, 30 November 2009
Tusitala, Selesaikan Ceritamu!
Bel sekolah berbunyi. Aku tahu apa yang bakal segera
kuhadapi.
Anak-anak berebutan ke luar kelas. Aku cepat bangkit dari
bangkuku dan berusaha menyelinap di antara mereka. Tapi sesuatu menarik
ranselku begitu kuatnya hingga aku terangkat dari keramaian. Aku diam saja
dalam cengkeramannya sampai kelas menjadi agak sepi.
Bomantara menggiringku balik ke sudut kelas. Saking besarnya
dia, aku sampai merasa ada gunung yang bakal runtuh ke badanku. Dia
menyorongkan tangannya. Tidak usah banyak kata, aku tahu apa maksudnya. Semua
anak dengan badan seukuranku tahu apa yang dia mau kalau dia sudah begitu. Dua
orang temannya dengan badan yang tidak kalah besar muncul di kanan dan kirinya.
Mereka ikut-ikutan memelototiku. Aku menggeleng. Mereka menggeram. Aku tetap
menggeleng, balas memelototi mereka.
Dengan kasar, mereka menyentakkanku dari dinding tempat aku
bersandar sedari tadi. Mereka merampas ranselku lalu menumpahkan semua isinya
ke lantai. Mereka terus goyang-goyangkan ransel itu sampai tidak ada barang
lagi yang terjatuh. Mereka teliti setiap kantong kecil yang tersembunyi di
dalamnya. Tidak menemukan apa yang mereka cari, mereka merogoh-rogoh kantong
baju dan celanaku sampai aku kegelian. Lagi-lagi mereka tidak mendapatkan
apapun.
“Huh, dia bahkan nggak bawa cerita-ceritanya lagi!”
“Mungkin takut kita robek lagi kali.”
“Hahahaha, dasar pengecut!”
Mereka memandang satu sama lain lalu mencampakkan ranselku
dan pergi.
Setelah mereka hilang dari pandangan, aku memasukkan lagi
barang-barang yang berserakkan di lantai ke dalam ransel. Kurapikan sedikit
seragamku sebelum kembali menggendong ransel. Aku menghembuskan nafas lega.
Kini aku bisa pulang dengan tenang.
*
Halaman sekolah yang berpasir begitu gersangnya. Niat untuk
membeli es krim langgananku semakin kuat. Tak kupedulikan orang-orang di
sekitarku. Juga orang mencurigakan bertopi hijau yang barusan melewatiku dengan
tergesa-gesa sambil menjinjing laptop yang kukenali sebagai laptop Nindya—anak
cewek paling sombong di kelas. Juga Bomantara cs yang sedang menghempaskan
korban baru mereka ke kolam pasir. Juga anak-anak yang dipukuli dengan ikat
pinggang oleh guru piket karena tadi pagi adalah untuk ke sekian kalinya mereka
terlambat.
Aku biasa membeli es krim langgananku di taman kota yang
letaknya tidak jauh di seberang sekolah. Terik matahari dan keringat yang deras
terasa di leher semakin mempercepat langkahku.
Hah, akhirnya sampai juga aku di bawah payung besar itu, yang
menaungi mas-mas penjual es krim dengan gerobak es krimnya.
“Kayak biasa ya, Mas,” ujarku. Saat mas-mas tersebut sibuk
menyekop es krim rasa coklat, stroberi, dan ketan hitam sesuai pesananku,
kurogoh bagian dalam celana dalamku dan mendapatkan lipatan uang di sana.
Kutukar es krim pesananku dengan benda tersebut dan kudapatkan segera
kembaliannya.
Tekstur es krim tersebut begitu menggodaku hingga membuatku
lebih memilih untuk memejamkan mata, meresapi rasa saat menjilatnya, daripada
menghiraukan kericuhan yang tahu-tahu terjadi di belakangku. Dari kejauhan
sempat kudengar jeritan seorang ibu-ibu, “Copet! Copet!”
Pahitnya coklat dan manisnya stroberi melumer dalam mulutku.
Lalu suara-suara kepanikan dari orang-orang di sekitar.
Asamnya ketan hitam menggelitik lidahku.
Dan suara-suara seperti benturan keras antara badan dengan
badan. Mungkin si copet itu sedang dikeroyok.
Kepalaku terasa adem. Pahit, manis, dan asam bersatu
membawaku terbang ke negeri es.
Riuh terdengar decak kagum dan tepuk tangan.
“Terima kasih, Nak, aduh, apa yang bisa ibu berikan buat
balas budi sama kamu, ya?” Sepertinya suara ibu-ibu yang sama dengan yang
berteriak “copet! copet!” tadi.
Aduh... Aduh... Enaknya es krim ini... Andai kembalianku
masih cukup untuk membeli satu cone
lagi... Saking enaknya sepertinya aku tak sanggup membuka mataku lagi. Tak
kuindahkan lagi keadaan di sekelilingku karena kini aku serasa sudah di
surga...
Hingga terasa angin membelai sisiku. Sepertinya ada seseorang
kini yang sedang berdiri di sana.
“Aku mau yang sama kayak anak itu.”
Refleks aku membuka mata, berhenti dari mimpi indahku, dan
menoleh padanya. Sambil masih menjilati es krimku, kuperhatikan anak itu.
Wah, anak yang aneh. Dia lebih tinggi sedikit dariku. Dia
memakai topeng yang menutupi setengah kepalanya. Dari pundaknya, seperti gorden
kamarku, menjuntai jubah lebar sampai hampir menyentuh tanah. Bagian bawah
jubahnya pasti sering kotor, aku melirik untuk membuktikannya. Apa ibunya tidak
marah ya dia memakai pakaian yang seperti itu? Kalau ibuku pasti marah kalau
aku main hingga pakaianku kotor dengan tanah. Ibu bilang aku tidak tahu betapa
susahnya menghilangkan noda kena tanah di pakaian. Lebih saksama
kumemerhatikannya, ternyata di balik jubahnya dia memakai pakaian ketat yang
kelihatannya seperti pakaian dari beratus-ratus abad kemudian. Tahu kan,
seperti pakaian yang digambarkan dalam cerita-cerita yang berlatar di masa
depan? Kalau kamu tidak tahu, coba deh baca Doraemon atau 21 Emon. Aku iri
dengan sepatunya yang sepertinya bisa berfungsi macam-macam itu. Imajinasiku
bekerja. Kubayangkan sepatu itu bisa mengeluarkan api dari bagian bawahnya dan
membumbungkan pemakainya ke angkasa.
Dan memang itulah yang terjadi.
Sebelum hal itu terjadi, dia menoleh padaku sambil menjilati
es krim yang baru saja diterimanya. Dia tersenyum lalu terbang. Cone es krim terlepas dari pegangan
tanganku sementara aku mendongak mengikuti geraknya dengan mulut terbuka. Hingga
dia melesat pergi menembus matahari.
Belum habis rasa takjubku, namun aku yang tersadar pertama
sementara orang-orang masih menatap langit dengan mulut ternganga. Kulihat es
krimku yang sudah meluber ke tanah. Herannya, tak ada rasa marah. Yang ada hanya
hasrat super kuat yang mendorongku untuk mengejar titik cerah itu ke manapun
perginya. Kelezatan es krim tadi seolah telah menjadi charge bagiku hingga aku mampu berlari terus menyusuri lorong demi
lorong kota. Tak kupedulikan buntut kucing yang terinjak, jemuran entah siapa
yang nyangkut di kepala, hingga caci maki kakek tua yang entah apa yang telah
aku lakukan padanya. Aku hanya sempat menoleh sebentar karena ada hal yang
lebih penting yang harus kukejar!
Titik cerah itu kadang terlihat turun menghunjam ke balik
bangunan-bangunan yang entah di mana. Maka aku akan lari ke arah sana. Belum
sampai di tempat tersebut, tahu-tahu dia sudah melesat lagi ke angkasa. Kukejar
lagi dengan kepala mendongak terus. Eh, tiba-tiba dia turun lagi. Tambah
kencang lariku ke sana hingga kusadari dia sudah berenang lagi jauh di atas
kepala. Jubahnya melambai-lambai ditiup angin seakan-akan mengucapkan selamat
tinggal kepadaku. Tapi aku bertekad tak akan menyerah. Mungkin sampai ke ujung
dunia pun dia akan tetap kukejar!
*
Hingga petang aku berlari dan kurasakan tenagaku sudah minim.
Rasanya aku tak sanggup berlari lagi. Seragamku sudah basah oleh keringat dan
dekil terkena macam-macam noda yang merupakan hasil tabrakanku dengan
macam-macam benda di jalan. Dadaku sakit karena dipaksa memompa udara untuk
menyambung nafasku. Aku sudah tak sanggup melihat lagi. Aku terduduk di undakan
semen di halaman depan sebuah toko dalam suatu gang. Kutopang badanku dengan
menjejakkan kedua tanganku di belakang. Aku coba mengatur nafasku yang
ngos-ngosan hebat. Kakiku kuselonjorkan. Aku mendongak dan menghirup udara
sebanyak-banyaknya masuk ke dalam paru-paru.
Detak jantungku belum benar-benar teratur ketika terdengar
samar-samar keramaian mendekat dari kejauhan.
“....ling... Ma... ling...”
Aku tidak sempat waspada ketika seseorang menyepak kakiku
dengan kerasnya hingga aku mengaduh dengan tak kalah kerasnya juga. Entah apa
yang menggerakkanku waktu itu. Kuraih tungkai kaki orang yang menyepakku. Dia
sudah bersiap untuk lari lagi namun malah terjatuh karena aku menahannya. Benda
elektronik dalam pelukannya jatuh terpelanting beberapa meter di depannya
hingga ada beberapa bagiannya yang copot. Orang itu menjejak-jejakkan kakinya
agar aku mau melepaskan peganganku.
“Biar kubantu!” terdengar suara yang sama dengan suara yang
tadi siang ada di sebelahku saat aku masih asyik menjilati es krim. Kulihat
anak bertopeng itu, dengan sepatu canggihnya yang mengeluarkan api sehingga
dapat membuatnya melayang di udara dan bajunya yang ditempeli beberapa tombol
yang fungsinya macam-macam. Aku benar-benar ingat sekarang.
Sebuah adegan laga terjadi di depanku. Kulepaskan peganganku
dari tungkai kaki si orang itu, yang kini sedang berjuang melawan berbagai
deraan tinju dan tendangan dari si anak bertopeng. Namun badan orang itu jauh
lebih besar. Setelah menyadari bahwa yang menjadi lawannya hanyalah seorang
anak yang ukuran badannya lebih kecil darinya, kekuatannya bangkit. Dalam
gerakan cepat, si anak bertopeng sudah berada dalam pitingannya. Anak itu mengaduh-aduh.
Orang-orang yang mengejar maling berdatangan dan membuat suasana makin gaduh
malah menambah kepanikkanku. Rasanya aku tak mampu bergerak. Mereka sudah
hendak melakukan pengeroyokkan massal terhadap si maling ketika tahu-tahu malah
terdengar teriakan kesakitan dari si maling tersebut. Aku melotot. Kami semua
melotot (aku sempat menoleh ke sekitar sebentar). Sekujur badan anak bertopeng
itu kini penuh dengan duri besar super tajam!
Tarikan nafas tertahan menggema ke udara. Si maling
cepat-cepat melepaskan dirinya dari si anak bertopeng. Dia mengaduh kesakitan
dengan tubuh berdarah-darah. Orang-orang cepat meringkusnya.
Duri-duri di sekujur badan si anak bertopeng lenyap seketika.
Dia mengambil ancang-ancang untuk kembali terbang sementara tak seorang pun
memerhatikannya karena terlalu sibuk dengan si maling. Kecuali aku.
Kukumpulkan sisa-sisa tenagaku untuk bangkit dan mengejarnya.
Sebelum dia terbang terlalu jauh, aku meneriakinya. Suaraku terdengar serak.
“Refuga!”
Sekali lagi, “Refuga!”
“REFUGAAAAA!”
Sepertinya setelah teriakan yang terakhir tadi, aku takkan
mampu lagi mengeluarkan suara dari pita suaraku untuk sementara waktu.
Dia menoleh kaget lantas terbang menukik menuju kembali ke
bawah “Kamu mengenaliku?”
Gantian aku yang tercengang. “Kamu nggak kenal aku?”
“Naiklah ke punggungku!”
Aku tak mengerti akan perintahnya. Aku menggeleng.
“Ayo!” Dengan tak sabaran dia mengangkatku dan tahu-tahu aku
sudah duduk di atas punggungnya sementara dia melaju ke angkasa. Aku berteriak
kencang. Kupegang pundaknya erat-erat.
*
“Di mana rumahmu?” tanyanya di tengah suara angin yang
menderu-deru. Aku tak dapat membuka mataku saking kencangnya angin yang kami
terobos. Baru setelah dia agak memelankan lajunya, aku bisa melihat ke
sekeliling.
Langit di sekitarku. Ketika melihat ke bawah, aku tak kuasa
untuk tidak terperanjat. Aku benar-benar terbang! Aku merasa sedang menatap
layar komputer yang menampilkan hasil pencarian suatu lokasi dengan GoogleMap.
Di bawah sana terlihat daratan berwarna-warni. Ada cokelat, abu-abu, hijau,
putih, oranye genteng...
“Itu rumahku!” refleks aku berteriak ketika melihat warna
kuning cerah sepreiku yang dijemur di atas genteng. Sial, sepertinya ibuku
sudah tahu apa yang terjadi padaku semalam. Dia mendarat di atas semen tempat
jemuran rumahku namun sepertinya dia lupa kalau aku ada di punggungnya. Dia
berdiri begitu saja sementara aku terpelanting keras menabrak lantai semen. Tak
terkira peningnya kepalaku.
“Wuua, jadi ini rumahmu?” Dia berkacak pinggang sambil
melihat ke sekeliling. Tidak ada pemandangan yang benar-benar bagus sebetulnya.
Hanya genteng, jemuran-jemuran yang menggantung, antena TV, barang-barang
elektronik tak terpakai di bawah genteng, dan benda-benda tak berguna lainnya
semacam itu.
“Jangan langsung pergi. Main dulu dong ke rumahku,” kataku
sambil mengusap kepala yang ampun-ampunan sakitnya...
“Hm... Banyak kebatilan memanggilku sejak aku sampai di bumi
siang tadi. Baiklah, aku istirahat sebentar di rumahmu.” Dia mengangguk lalu
duduk di atas lantai semen. Katanya lagi, “Sederhana sekali ya rumahmu.”
“Ini cuma bagian atapnya. Ayo ikuti aku.” Aku memberi isyarat
padanya agar mengikutiku menuju tangga ke lantai di bawah tempat jemuran ini
yaitu lantai 2 di mana di sana terdapat juga kamarku.
Sepanjang perjalanan menuju kamarku, kuperhatikan dia
celingak celinguk tiada menentu seakan-akan semua yang dilihatnya adalah hal
yang baru. Begitu sampai di kamarku, kusuruh dia duduk di karpet dan diam di
sana sampai aku kembali lagi. Aku hendak ke lantai bawah sebentar, mengambilkan
apapun yang nanti bakal kutemukan di kulkas dapur yang dapat dia makan.
Begini-begini aku cukup tahu cara menjamu tamu juga loh.
Saat aku kembali dia sedang mengamati mainan-mainanku yang
tertata rapi di balik rak kaca. Bagus sekali dia tidak coba-coba menyentuhnya.
“Es krim datang...” ujarku ceria. Dia buru-buru duduk manis
di atas karpet sementara aku menurunkan baki berisi dua mangkuk besar es krim.
“Es krim! Wah, kamu juga tahu apa kesukaanku!” Dia menjilat
bibirnya, tampak tak sabar menyerbu semangkuk besar es krim yang kubawakan.
Dengan hati-hati kusodorkan sendok kecil yang segera disambarnya.
“Aduh, aku lapar sekali. Seharian ini aku baru makan es krim
sekali! Wah, es krim rasa apa ini? Hm...”
“Itu rasa durian. Di tempatmu nggak ada yang kayak gitu kan?
Hahaha, ku selalu tahu apa yang kau mau...”
Dia berhenti menyekop es krim. Kepalanya mengarah tegak
padaku. Kalau topengnya dibuka, aku pasti dapat melihat sorotan tajam terpancar
dari matanya.
“Siapa sebenarnya kamu? Kenapa kamu tahu namaku? Bahkan
sampai tahu apa kesukaanku?”
Dan waspada.
Aku menelan ludah. Suasana mendadak jadi tegang dan tidak
mengenakkan. Sama tidak enaknya jika ibu pulang nanti, menemuiku, dan memarahiku
atas apa yang kulakukan pada seprei kuning cerahku semalam.
“Sebenernya aku nggak cuma tahu kalau nama kamu Refuga dan
kamu suka makan es krim. Aku juga tahu kalau kamu datang dari Planet Pahlawan
untuk mengejar seorang penjahat luar angkasa yang amat jahat...!” aku mendesis,
“Karena jika kamu berhasil menangkapnya, kamu akan lulus ujian dengan nilai
A+++ tapi kalau tidak, nyawamulah yang mungkin melayang.”
Dia menjatuhkan sendoknya.
“Aku juga tahu kalau kamu murid terpintar di kelas Pahlawan
Terbang, juga di kelas Pahlawan Canggih, jadi kamu bisa ikut kelas akselerasi.
Karena kamu sangat pintar, maka kamu dipercaya untuk menangkap penjahat yang
satu ini,” kulanjutkan pengetahuanku tentang dirinya sambil menjilati sendok es
krimku dengan santai. Kusembunyikan rasa banggaku karena melihat keterpukauan
yang menghiasi wajahnya. Dia bahkan tak sanggup menyendokkan es krim lagi kini.
“Dan kamu lupa pamit sama ibu kamu kan pas kamu mau ke sini?
“Nah, namamu itu sebenernya berasal dari kata ‘Refugia’ yang artinya
‘tempat menyelamatkan diri’. Tapi aku lupa dari bahasa mana itu...” lanjutku
lagi.
“...S... Siapa kamu sebenarnya?” desisnya.
Aku diam sejenak sebelum melanjutkan, “Aku pengarang.”
“Apa itu?”
“Aku mengarang. Membuat cerita.”
“C—cerita?” Sepertinya dia sulit memahami kata-kataku tadi.
Dia menunduk sebentar, menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan sulit menerima
semua kenyataan ini. Di balik pembawaanku yang sok santai ini pun sebenarnya
diam-diam aku mengawasi gelagatnya juga.
“Ya, dengan cerita aku bisa nyampein pikiran-pikiranku
tentang orang-orang, apa yang harusnya mereka lakuin...”
“Baiklah Pengarang, jadi...”
“Pengarang itu bukan nama, Refi...” iseng aku memanggilnya
dengan panggilan kesayangan ibunya yang membuatnya jadi cemberut. “Jadi kalau
kamu mau memanggilku, panggil saja aku Tusitala. Teman-temanku biasa manggil
aku Uta sih, lebih singkat soalnya. Tapi aku sendiri sebetulnya lebih suka
dipanggil Tusitala.”
“Lalu apa arti namamu—sebagaimana kamu tahu arti namaku—?”
“Dalam Bahasa Samoa, namaku itu berarti ‘pengarang’.” Aku
selalu suka saat mengucapkan kalimat ini pada orang-orang. Kurasakan mataku
berbinar saat mengucapkannya.
“Apa itu Samoa?”
“Samoa itu nama pulau di dekat Selandia Baru.”
“Apa itu Selandia Baru?”
“Ah, udahlah, lupain aja.” Dia melongo. Melihat itu aku jadi
tidak tega, jadi aku melanjutkan, ”Lagipula kedua orangtuaku sendiri, yang
ngasih nama itu, malah nggak tahu kalau namaku punya arti kayak gitu. Mereka
kasih aku nama itu karena itu akronim dari nama mereka: esTU suSIlo dan rosiTA
kumaLA. Dan kalau dibuat jadi akronim yang seperti itu, kedengarannya unik aja.
Jarang-jarang kan ada orang yang namanya kayak aku? Jadi, arti nama kita
sama-sama bagus kan?”
“Kamu tahu semua tentangku.”
“Ya.” Kukulum sesendok es krim.
“Apa kamu mengetahui segalanya?”
“Nggak semuanya banget sih.” Aku menggaruk leherku. Kalau aku
bisa mengetahui segalanya pasti aku bisa dapat 10 untuk semua ulanganku dan
tidak usah kena marah ayah setiap pembagian rapot tiba.
“Apa kamu tahu di mana ‘dia’ bersembunyi?”
“’Dia’?” Aku terperangah.
“Ya! ‘Dia’!” Tubuhnya bergetar.
“Siapa?”
“Kamu tahu siapa?”
Seingatku aku tak pernah menciptakan seorang tokoh penjahat
dengan julukan yang sama dengan tokoh penjahat yang ada di Harry Potter.
“Shakuntala maksudmu?”
“Ya! Ya!” Bisa kurasakan antusiasme tingkat tinggi menjalar
dari dirinya.
Aku termenung. Setelah kurasakan dia sudah tak sabaran
menunggu jawaban tak kunjung juga terlontar dari mulutku, dengan berat hati
kukatakan, “Belum kupikirkan.”
“Apa?! Apa yang belum kamu pikirkan?”
Aku tersentak dengan pertanyaannya lantas menggeleng.
“Ng—nggak, aku nggak tahu, Refuga. Aku nggak tahu di mana dia berada.”
“Tapi bukannya kamu tahu segalanya?”
Aku menggeleng cepat-cepat. “Ng—gak! Aku cuma tahu hal-hal
yang ingin aku tahu aja. Udahlah, nikmatin aja es krimnya! Entar keburu meleleh
loh!”
“Jadi benar kamu tidak tahu?”
“Suer... Bener...”
“Berjanjilah padaku, kamu akan segera memberitahuku begitu
kamu tahu di mana dia bersembunyi! Dia sangat berbahaya!”
“Te—tentu...” Aku mengangguk-angguk. Hah, aku juga ingin tahu
dari dulu... Kalau saja aku tahu... “Ayo, dimakan lagi es krimnya!”
Dia mengangguk lalu kembali melahap sendok demi sendok es
krimnya dengan rakus. Mungkin seharusnya kuberi dia sendok dengan ukuran yang
lebih besar. Atau mungkin dengan ukuran yang jauh lebih kecil...? Dalam
beberapa detik saja bagian dalam mangkok itu sudah licin. Ganti sekitar
bibirnya kini yang dia jilat. “Terima kasih ya.”
“Mau tambah?” Aku masih terpaku kaget karena kecepatan
makannya itu. Belum ada yang menyaingiku di rumah ini dalam rekor makan es krim
tercepat.
“Sebetulnya aku ingin. Tapi kebatilan memanggilku untuk
segera kubereskan.” Dia sudah berdiri lagi di atas kusen jendela, siap untuk
meloncat terbang. Jubah berwarna cerahnya berkibar-kibar tertiup angin,
memberikan kesan artistik. Gerakannya kini benar-benar secepat angin. Mungkin
karena energinya sudah penuh di-charge
semangkok besar es krim. “Banyak sekali kebatilan terjadi di tempatmu ya.”
“Yah begitulah negriku...” Aku tertawa getir.
“Saking banyaknya aku sampai harus mengabaikan
kebatilan-kebatilan yang terjadi di dalam ruangan.”
“Ya, di mana-mana itu bisa kejadian kan...”
“Contohnya, saat sedang ada kesempatan mencari-cari tempat
persembunyian musuhku itu, secara tak sengaja aku mengamati sebuah ruangan
kelas di suatu bangunan sekolah. Sepertinya suasana di kelas itu sedang ujian.
Aku cukup menyesal tadi saat mengabaikan anak-anak yang mencoba menipu gurunya.
Diam-diam mereka saling melihat jawaban satu sama lainnya.”
Aku mengernyitkan dahi.
“Ah, masih banyak lagi kebatilan-kebatilan lainnya yang aku
abaikan...” Dia menggeleng-gelengkan kepala, mengesankan betapa kuat
penyesalannya. Dia memamerkan deretan rapi giginya yang putih sebelum terjun ke
langit yang menjingga.
“Main lagi ke sini ya!” pekikku. Dia melambaikan tangannya
tanpa menoleh lagi. Kukejar kepergiannya sampai badanku tertahan oleh kusen
jendela. Sejenak tak kupedulikan mangkok es krimku yang tumpah tertendang.
Tercetus suatu ilham di kepalaku yang menggerakkan badanku saat itu juga. Aku
membuka lemari bajuku dan mengeluarkan sebuah kotak sepatu. Dari dalamnya
kuambil sebuah buku tulis. Di bagian sampulnya tertulis: “Refuga, Pahlawan
Pembasmi Kebatilan dan Pembela Kebetulan.”
Hawa dingin menjerat tengkukku. Aku merinding. Inilah karya
terlaris yang pernah kubuat...
*
Aku ingat saat-saat di mana aku masih begitu semangat
menuliskannya. Setiap satu bab selesai, segera kugandakan menjadi beberapa kopi
dan kubagi-bagikan pada teman-teman sekelasku. Bahkan ada yang sampai menyebar
ke kelas lain juga. Tak terkira betapa cerahnya hatiku mendengar
komentar-komentar mereka, baik yang hangat, panas, maupun dingin. Aku menerima
semuanya dengan penuh suka cita. Bahkan bu guru pun bilang dia menyukai
ceritaku yang ini di antara cerita-cerita lainnya. Dia selalu menantikan kopian
bab-bab selanjutnya tergeletak di atas mejanya. Dia tak pernah henti
memotivasiku agar melanjutkan cerita ini. Tak lupa dia juga memberikan
masukan-masukan untuk perbaikan. Semua kuterima dengan lapang dada. Bu guru
selalu berpesan, suatu cerita akan hidup ketika dibaca oleh banyak orang dan
mereka semua dapat menarik manfaat darinya. Betapa aku mencintai ibu guruku itu
daripada kedua orangtuaku yang lebih senang menyalah-nyalahkan diriku.
Lalu semuanya terhenti begitu saja.
Mungkin dikuranginya uang jajanku adalah akar penyebabnya.
Jadi begini ceritanya, karena terlalu asik mengarang, aku jadi melupakan
pelajaranku. Nilai-nilaiku pun turun. Ayahku marah besar dan uang jajanku
dikurangi deh. Sejak saat itu uang jajanku hanya cukup untuk membeli tiga
tangkup es krim kesukaanku. Biasanya kan bisa dapat lima tangkup. Belum lagi
anak yang biasa dikerjai Bomantara cs mendadak pindah sekolah (aku bisa
memperkirakan apa penyebabnya) sehingga sasaran utama kejahilan mereka
berpindah padaku. Aku harus menjaga sebaik mungkin uang jajanku yang hanya
sedikit itu dari tangan-tangan kotor mereka. Aku tidak bisa menemukan tempat
persembunyian terbaik selain di dalam celana dalamku. Mereka bisa
mengobrak-abrik ranselku, membuka-buka setiap kantongnya, bahkan hingga ke
kantong bajuku, tapi mereka pasti takkan pernah kepikiran untuk sampai
merogoh-rogoh celana dalamku juga. Maka kiatku itu berhasil dengan gemilang.
Aku bisa tetap membeli es krim sepulang sekolah dengan uang yang tersimpan aman
dalam celana dalamku selama seharian. Lama-lama mereka gemas juga karena tak
pernah bisa berhasil merampas uang dariku. Pada puncak kemarahan mereka, di
mana lagi-lagi mereka tak bisa menemukan uang padaku, mereka mencoba
mencari-cari barang berharga lainnya dalam ranselku. Mereka pun menemukannya.
Satu kopi bab terbaru dari serial “Refuga: Pahlawan Pembasmi Kebatilan dan
Pembela Kebetulan” yang sebetulnya mau kuberikan pada ibu guru langsung di
ruangannya. Tanpa membacanya, mereka mengejek habis-habisan ceritaku itu lalu
merobeknya hingga menjadi serpihan-serpihan kecil.
Entah kenapa peristiwa itu menjadi besar dampaknya bagiku.
Aliran ide dalam kepalaku berhenti seketika. Hasrat untuk melanjutkan cerita
menguap sudah. Aku jadi tidak tahu apalagi yang harus kutulis dan aku juga
melupakan apa-apa yang pernah kutulis. Permintaan untuk melanjutkan cerita tak
pernah lagi kugubris. Termasuk pertanyaan-pertanyaan dari bu guru. Aku jadi
selalu menghindarinya setiap kali kami ada kesempatan bertemu. Dia mungkin
kecewa padaku tapi aku lebih-lebih tak mengerti akan apa yang terjadi pada
diriku sendiri. Selanjutnya kuturuti saja perintah kedua orangtuaku agar fokus
pada pelajaran.
Belum sempat aku membaca-baca bagian dalam buku tulis
tersebut, terdengar suara dari lantai bawah memanggilku untuk turun. Saatnya
nonton berita bersama. Ayahku memang mendidik anak-anaknya agar selalu up-to-date akan informasi-informasi
terbaru. Maka itu, setiap sore kami harus duduk berkumpul di ruang keluarga,
makan malam sambil menatap layar kaca yang menayangkan berita.
*
Petang itu, mataku tak bisa lepas dari setiap siaran berita
yang ditayangkan di TV. Tumben-tumbenan aku marah kalau ada yang coba-coba
mengusikku saat sedang nonton berita—biasanya aku malah senang kalau diusik.
Aku menanti-nanti segala berita tentangnya. Kehadiran Refuga telah menjadi
sebuah fenomena.
“Kita kembali dengan berita tentang bocah bertopeng.” Wanita
penyiar di hadapanku memperbaiki posisi duduknya. Di sudut kanan atasnya muncul
kotak gambar yang kemudian membesar dan menutupinya. Tanpa mengangkat pantat,
aku memajukan kursiku hingga mataku hanya tinggal beberapa puluh sentimeter
saja dari layar TV. Bisa kurasakan para anggota keluargaku membayangi di
belakangku.
TV menampilkan gambar atap gedung-gedung di kawasan alun-alun
kota. Aku mengenali salah satu gedung sebagai gedung bioskop tempat ayah biasa
mengajakku nonton. Kuperhatikan saksama gambar tersebut dan mendapati sekelebat
sosok seorang anak berkostum cerah. Ujung jubahnya melesat dramatis sebelum dia
benar-benar menghilang di balik atap salah satu gedung. Selanjutnya adalah
beberapa lagi hasil rekaman video amatir yang menunjukkan kehadirannya. Namun
tak ada satupun yang dapat menangkap sosoknya secara utuh melainkan hanya
bayangan-bayangan sekelebat saja. Rangkaian video amatir kiriman pemirsa
tersebut disambung dengan rangkaian kesaksian beberapa warga yang mengaku
pernah melihatnya. Mereka hanya bisa bilang bahwa dia adalah seorang anak
dengan topeng menutupi sebagian muka dan memakai baju berjubah berwarna cerah
tapi modelnya sangat tidak umum. Selanjutnya adalah kesaksian para penjahat
yang telah berhasil dibekukan olehnya. Mereka bersaksi dari dalam markas polisi
akan apa yang telah dia lakukan terhadap mereka. Betapa dia selalu berhasil
membuat mereka jadi tak berdaya karena tenaganya yang amat kuat. Seorang
penjahat mengaku, “Ia tak akan kalah meski diserang oleh senjata apapun. Ia
memiliki segala macam senjata dari pakaiannya!”
“Kehadirannya merupakan jawaban atas tindak kebatilan yang
akhir-akhir ini semakin marak terjadi di kota kita. Masyarakat menobatkannya
sebagai pahlawan yang menjaga ketenteraman kota. Namun, siapakah dia
sebenarnya?”
Itulah kalimat yang kudengar terakhir kalinya dari si wanita
penyiar pada malam itu karena ayah menyuruhku naik kembali ke kamar untuk
belajar.
*
Kehadiran Refuga di kota ini langsung menjadi topik
pembicaraan yang hangat di kelas keesokan harinya. Teman-teman sekelasku
membentuk beberapa kumpulan tapi yang mereka semua bicarakan hanya tentang
Refuga! Macam-macam yang mereka bicarakan. Dari mulai kehadirannya yang
tiba-tiba, pakaiannya yang keren, aksinya dalam memberangus setiap penjahat,
sampai mereka-reka darimanakah asalnya.
Namun anehnya, sepertinya tak ada seorang pun yang ingat
bahwa siapa yang mereka bicarakan adalah siapa yang pernah mereka baca
kisah-kisahnya dari fotokopian yang dulu sering kubagikan. Tak ada yang sadar
bahwa Refuga adalah tokoh ciptaanku yang tiba-tiba hidup menjadi nyata.
Sebegitu dangkalkah arti ceritaku buat mereka sehingga dengan mudah mereka
melupakannya? Memang sih sudah lama sekali aku tidak lagi melanjutkan cerita
tentang Refuga... Haah, semangatku untuk jadi pengarang kian padam. Mungkin aku
memang tidak berbakat dan pupuslah sudah harapanku menjadi seorang pengarang
besar.
Sekilas dalam pandanganku terlihat teman-teman sedang mencoba
memperagakan aksi Refuga yang sempat terekam oleh seorang amatir dan
ditampilkan di TV. Mereka meloncat-loncat dari atas bangku dan jatuh berdebum
di ubin. Suasana kelas makin gaduh saja jadinya.
“Hei, Uta, memangnya kamu nggak tertarik dengan Refuga?”
Seorang teman menepuk bahuku hingga aku tersadar dari
lamunanku yang sudah mengawang-awang.
Huh, aku pun malas mengingatkan mereka. Buat apa? Aku sudah
tidak punya harapan lagi akan ceritaku itu. Kembali aku dalam lamunanku sambil
pura-pura menyimak obrolan mereka. Semua yang mereka bicarakan tentu saja aku
sudah mengetahuinya.
“Uta, kamu kenapa sih?” Temanku yang tadi menepuk bahuku
kembali mengganggu. “Jangan-jangan kamu belum tahu Refuga? Dia keren sekali
loh!”
Dia menandak-nandak, memperagakan aksi Refuga saat baru
mendarat untuk menghadang musuh. Aku menggeleng malas. “Masak kalian nggak tahu
sih, cerita tentang Refuga itu yang bikin kan aku. Kalian udah pernah baca.
Tapi sekarang sikap kalian kok kayak yang Refuga itu sesuatu yang baru aja.
Masak kalian nggak ingat sih?”
Tidak hanya temanku itu yang menatapku, melainkan teman-teman
yang lain juga.
“Memangnya kamu bisa bikin cerita?” tanya salah satu dari
mereka.
Aku terhenyak. Mereka kembali asyik memperbincangkan Refuga.
Hari itu berlangsung seperti biasa. Dan aku sampai pada
keputusan bahwa aku akan benar-benar melepaskan cita-citaku menjadi seorang
pengarang. Aku mau jadi dokter saja, seperti impian kedua orangtuaku.
Saking tidak semangatnya diriku, aku sampai lupa untuk mampir
dulu di taman kota dan membeli es krim. Satu-satunya keinginanku hanyalah cepat
sampai di rumah dan ambruk di karpet kamar. Aku bahkan tidak menghiraukan ibu
yang berteriak dari dapur menyuruhku makan siang. Begitu ambruk di karpet
kamar, kusadari suatu bayangan menimpaku. Aku mendongak ke arah jendela dan
mendapati Refuga berdiri di sana.
“Hai, Tusitala. Aku kebetulan lagi terbang di atas sana.
Terus aku lihat kamu di kamarmu. Jadi aku mampir deh,” ujarnya ceria. “Ada es
krim?”
Aku mengangguk dengan sumringah. Segera ku berlari ke bawah,
ke dapur. Ibu mencegatku agar aku makan siang. Kubilang ada temanku di lantai
atas dan aku buru-buru hendak menjamunya. Jadi ibu menyiapkan dua piring makan
siang dan dua mangkok besar es krim untukku. Dengan semangat aku berlari
menaiki tangga dengan membawa baki berisi sepasang piring dan mangkok tersebut.
“Bagaimana harimu, Refuga?” tanyaku begitu dia menyendokkan
es krim ke dalam mulutnya. Tampaknya dia sama sekali tidak tertarik dengan
piring makan siangnya. Ketika dia membuka mulut lagi mengalirlah cerita-cerita
petualangannya menjelajah kota seharian itu, menindaki para penjahat sambil
mencari-cari di mana Shakuntala bersembunyi.
*
Begitulah sejak itu siang-siangku diisi. Begitu bel pulang
sekolah berdering, aku cepat-cepat bangkit dari bangkuku. Dengan lincah
kuterobos kerumunan anak-anak di depan pintu hingga Bomantara cs bahkan hanya
bisa menangkap kelebat sosokku. Kadang kala aku mampir dulu ke taman kota untuk
membeli dua cone es krim dengan
pilihan rasa yang sama. Begitu sampai di kamarku, kadang sudah kudapatkan
Refuga duduk di kusen jendela. Kadang juga aku harus menunggunya selama
beberapa lama hingga es krim yang kubawa harus kumasukkan dalam kulkas dulu.
Begitu dia datang, langsung kusambut dia dengan sumringah, “Apa yang terjadi di
kota hari ini, Refuga?”
Maka Refuga akan melesat masuk dalam kamarku. Sambil mengaso,
dia menungguku mengambil makanan yang bisa kami icip bersama. Apalagi kalau
bukan es krim?
“Kalau kamu tahu tanda-tanda di mana Shakuntala mungkin
bersembunyi, jangan lupa kasih tahu aku, ya,” begitu pesannya dalam setiap kali
kedatangannya.
Kedatangan Refuga selalu kunantikan. Dia menjadi sahabat
baruku. Sahabat terbaik. Redupnya semangat karena putusnya asaku menjadi
seorang pengarang, kini jadi ternyalakan kembali olehnya. Apalagi saat
mendengar cerita-ceritanya.
“...dan akhirnya si preman itu aku serang dengan gas bau.”
Dia menunjuk salah satu tombol di pakaiannya. Saat ini dia sedang menjelaskan
satu per satu fungsi tombol-tombol yang melekat di pakaiannya tersebut.
Meskipun sebenarnya aku sudah mengetahuinya.
“Wah, kamu seharusnya ke sekolahku dan menyerang Bomantara cs
dengan gas bau. Kalau perlu, bau yang bau banget sekalian!”
“Siapa Bomantara cs?”
“Mereka itu anak-anak jahat berbadan gede yang dipimpin oleh
anak yang badannya paling gede di sekolah. Namanya Bomantara. Mereka itu suka
menyiksa anak-anak yang badannya lebih kecil dari mereka. Mereka juga suka
merampas uang jajan.”
“Wah, kalau sudah besar nanti mereka pasti juga suka merampas
uang rakyat.”
“Tidak diragukan lagi...” Aku mengangguk-angguk dengan mulut
penuh nasi. Aku sedang makan siang dengan nasi kuning sisa sarapan tadi
sementara Refuga sih cukup makan siang dengan es krim saja. Dia tidak suka
makanan bumi selain es krim rupanya.
“Oh ya, Tusitala...”
“Panggil aku Uta aja.”
“Kenapa, bukannya nama kamu Tusitala?”
“Uta aja. Soalnya aku bukan lagi ‘tusitala’. Aku sudah
berhenti jadi pengarang.”
“Kenapa, bukannya kamu seorang ‘tusitala’? Pengarang? Justru
itu aku mau menanyakan tentang itu.”
“Kamu mau tanya apa?”
“Pengarang itu ngapain sih?”
“Ya ngarang cerita. Nulis-nulis gitu.”
“Apakah pengarang itu sama dengan pahlawan?”
“Ya, pengarang itu pahlawan masyarakat.”
“Kenapa begitu?”
“Karena...” Aku berpikir sejenak. Ingat kata-kata bu guru
yang selalu dia lantunkan padaku. “Dengan menjadi pengarang, kita bisa memberi
manfaat sama orang-orang. Misalnya orang-orang baca karangan kita, terus mereka
jadi terhibur atau kepikiran untuk melakukan sesuatu yang baik, begitu....”
“Terus kenapa kamu berhenti jadi pengarang?”
“Aku nggak tahu. Sejak Bomantara merobek-robek salah satu
ceritaku, ide-ide cerita di kepalaku tiba-tiba macet dan aku ngerasa nggak bisa
menulis apapun lagi. Lalu ya sudah aku berhenti begitu aja.” Tak kubillang
bahwa cerita yang dirobek-robek Bomantara itu adalah cerita tentangnya.
“Ah, itu kan cuman perasaanmu saja.”
“Udahlah, Refuga...”
“Seorang pahlawan tidak boleh berpikiran seperti itu.” Dia
menggeleng-gelengkan kepala. “Meskipun dia pernah dikalahkan, tapi bukan
berarti dia bisa begitu saja memutuskan untuk berhenti jadi pahlawan. Selama
dia masih punya kekuatan, dia punya tanggung jawab untuk melindungi yang
lainnya.”
“Aduh Refuga, kamu nggak tahu sih. Jadi pengarang itu susah
tahu. Nggak segampang memencet tombol-tombol di baju. Kamu harus ngarang cerita
dan itu bisa rumit banget! Udah susah-susah meres otak, belum tentu ceritamu
bagus. Terus meskipun kamu udah ngerasa bagus pun, orang-orang belum tentu
bilang kayak gitu juga. Makanya udah ah aku mau berenti jadi pengarang aja.”
Dia tampaknya tidak paham dengan omonganku meski terlihat
serius menyimak.
“Ngomong-ngomong, apa kamu sudah menemukan petunjuk
keberadaan Shakuntala?”
“Yah, itu dia! Belum...” Lagi, dia menggeleng kecewa. “Tidak
enak juga nih aku kalau kelamaan di bumi. Apalagi kemarin aku tidak pamit sama
ibuku.”
“Kalau gitu kamu balik aja dulu ke rumahmu, pamit, terus
balik lagi deh ke sini.”
“Malas ah. Nanti aja kalau Shakuntala sudah kutangkap. Kalau
ibuku tahu aku pulang dengan berita kelulusanku karena telah berhasil menangkap
seorang penjahat kawakan, pasti ibuku tidak bakal jadi marah sama aku.”
“Oh, begitu.” Aku manggut-manggut. “Semoga cepat ketemu, ya.”
“Iya! Maukah kamu membantuku?”
“Bantu apa?”
“Tidak tahu. Tapi ya mungkin saja tiba-tiba kamu jadi tahu
sebagaimana kamu tahu segalanya tentang aku. Makanya kupikir menjadi pengarang
itu hebat sekali sampai bisa tahu segalanya akan sesuatu. Kalau aku bisa tahu
segalanya tentang sesuatu, apalagi tentang Shakuntala, wah, itu bakal jadi
kekuatanku yang tidak bakal kusia-siakan.”
“Kamu pikir mengetahui sesuatu itu termasuk kekuatan juga?”
“Ya, kenapa nggak? Aku pikir semua yang kita punya itu bisa
kita manfaatkan sebagai kekuatan kita. Contohnya, guling di kamarku bisa aku
manfaatkan untuk mengelabui ibuku kalau aku pergi diam-diam. Memang sih nanti
pasti akan ketahuan juga...”
Termenung aku mendengarkan kata-katanya. Terbersit keinginan
yang menguat dalam diriku untuk membantu Refuga menemukan musuhnya. Tentu saja
aku bisa membantunya. Aku kan pengarangnya! Seharusnya aku juga bisa tahu
segalanya tentang Shakuntala.
Ah, tapi bukankah aku sudah tidak mau jadi pengarang lagi?
Lagipula aku sama sekali sudah tidak punya pikiran apa-apa untuk mengembangkan
cerita tentang Refuga. Mau kuteruskan bagaimana?
“Ya sudah, semoga cepat ketemu deh. Oh ya, Refuga, kalau kamu
nanti berhasil menangkap Shakuntala dan lulus ujian, kamu bakal kembali lagi
mengunjungiku nggak? Kapan-kapan gitu?”
“Tentu, Tusitala. Kamu kan sahabatku.” Bibirnya membentuk
senyuman. Tuh kan, Refuga memang sahabat terbaikku! Aku jadi tidak rela
kehilangan dia. Mau tidak ya dia kalau sudah lulus sekolah nanti memilih untuk
bekerja di bumi saja? “Ngomong-ngomong sepertinya aku harus pergi sekarang.
Energiku sudah terisi kembali untuk bekerja. Terima kasih lagi ya, Tusitala!”
Kulepas kepergian Refuga dari jendela kamarku, seperti biasa.
Tak kusangka momen ini akan menjadi yang terakhir kalinya bagiku untuk
melihatnya terbang dari jendela kamarku itu.
*
Keesokan harinya, tak pernah lagi kulihat Refuga berdiri di
sana. Aku menantinya sepanjang hari, dengan dua mangkok es krim yang perlahan
meluber, hingga gelap menjelang dan aku tahu hari itu dia tak akan datang.
Kunanti lagi keesokan harinya dan esok harinya lagi dan begitu teruslah yang
terjadi.
Apa dia sudah berhasil menemukan di mana Shakuntala
bersembunyi, menangkapnya, kembali ke planetnya dan lulus ujian? Apakah dia
telah melupakanku? Sebagaimana aku melupakannya sewaktu kukira dia hanya hidup
dalam kepala orang-orang yang membacanya saja? Dalam kepalaku?
“Tidak ada lagi warga yang pernah melihat kehadirannya.
Tingkat kebatilan di kota ini kembali meningkat. Hingga kepergiannya yang
tiba-tiba pun, dia masih meninggalkan tanda tanya pada kita semua: siapakah dia
sebenarnya? Bocah misterius bertopeng?” Begitu wanita penyiar bersuara di layar
kaca. Pria penyiar di channel yang
lain pun mengungkapkan hal yang sama. Juga para penyiar di channel-channel lainnya.
Aku sungguh merindukannya. Hingga berita di TV tidak pernah
lagi menyinggung tentangnya karena dia memang tidak pernah muncul lagi... Kalau
suatu saat dia kembali lagi betapa inginnya aku memeluknya dan mengucapkan maaf
karena pernah melupakannya. Bukan maksudku begitu. Aku hanya tidak tahu saja
bagaimana mengakhiri ceritanya. Mungkin nanti dia takkan mengerti untuk apa aku
minta maaf. Tapi sudahlah, pokoknya aku kangen sekali sama dia!
Pembacaan berita olahraga tiba-tiba berhenti dengan masuknya
suatu berita baru ke meja penyiar. Tampaknya suatu berita yang penting sekali
sampai-sampai harus menyela berita lainnya seperti itu.
“Pemirsa,” ujar pria penyiar dengan ekspresi yang tidak dapat
kujelaskan. Campuran antara kaget, cemas, dan semacam itu. “Reporter kami telah
menemukan keberadaan bocah bertopeng. Dia ditemukan dalam keadaan terikat di
atap menara alun-alun kota. Namun helikopter kami tidak bisa mendekatinya. Ada
semacam makhluk tak dikenal yang mencoba merintangi helikopter kami mendekat.”
Dari video rekaman si reporter yang ditayangkan di TV dapat
kurasakan bahwa si reporter mencoba merekam kejadian itu dengan susah payah.
Gambarnya naik turun membuat pusing kami yang melihatnya. Seperti ada sebuah
cakar besar dengan kuku-kuku yang tajam menyambar dengan cepat dan sepertinya
kamera yang dipakai untuk merekam video jatuh dan mendarat di atap menara.
Memperlihatnya sosok samar-samar bocah bertopeng yang terikat di tiang penangkal
petir. Warna talinya terlihat hijau bergerindil menjijikkan. Pakaian bocah
bertopeng tercabik-cabik di sana sini. Aku serasa membatu di depan TV.
Gambar di TV beralih lagi memperlihatkan wajah si pria
penyiar. “Kami akan memantau keadaan pahlawan kita, bocah bertopeng, melalui
kamera video kami yang terjatuh. Kami akan melaporkan setiap perkembangan yang
terjadi selama dia menjadi sandra makhluk tak dikenal.”
Pria penyiar itu tiba-tiba diam sejenak sambil menekan earphone yang menempel di telinganya.
“Berita terbaru, atap menara kini diselubungi kabut hitam tebal sehingga kamera
kami tidak bisa menampilkan apa-apa...”
Kini di layar kaca ditampilkan gambar yang terekam oleh
kamera video yang terjatuh. Warna kelabu mendominasi. Tidak ada seorang pun
kini yang dapat melihat apa yang terjadi pada Refuga. Hanya rintihannya yang
samar-samar terdengar. “...dari hasil rekaman satelit, diperkirakan bocah
bertopeng sudah berada di sana selama tiga hari terakhir...”
Hingga siaran berita malam hari, di mana anggota keluargaku
sudah pada masuk kamar, aku masih memelototi TV. Sesekali mereka keluar
menyuruhku cepat tidur namun aku tidak mengindahkannya. Suara debar jantungku
lebih keras terdengar dibandingkan suara mereka.
Jam 21.00, wajah pria penyiar itu muncul lagi. Ucapnya,
“Seiring dengan menghilang dan kemudian tertangkapnya bocah bertopeng, tingkat
kebatilan di kota kita meningkat secara drastis. Berikut adalah laporan dari
para warga mengenai kebatilan-kebatilan yang terjadi di sekitar mereka...”
“Kemarin hape saya kena copet lagi. Ini sudah yang kelima!
Wah, coba ada bocah bertopeng.”
“Mangga saya kemarin dicuri anak-anak kampung. Coba ada bocah
bertopeng, dia bisa kasih tahu anak-anak itu supaya tidak mencuri.”
“Kemarin... mmm, saya habis beli alat-alat fitnes buat
kantor... Tapi barbelnya saya bawa pulang... Kemarin itu habis sekitar 20
juta... Tapi di kuitansinya saya suruh mbaknya lebihin dikit, hehe... Kalau
ketahuan bocah bertopeng saya mungkin sudah diringkus kali ya.”
“Kehadiran bocah bertopeng sangat membantu kami. Salah
satunya adalah kontribusinya dalam perlalulintasan. Dia seakan-akan punya mata
gaib karena bisa tahu mana orang yang SIM-nya nembak dan mana yang nggak. Mari,
Nak, bersama kami kita layani masyarakat!”
“...wah... Kalau bukan bocah bertopeng siapa lagi yang mau
urus?”
“Tadi telah anda simak penuturan warga tentang bocah
bertopeng. Berikut ini akan kami bacakan sebagian berita kriminal yang baru
masuk ke meja kami, yang jumlahnya bisa dua kali lebih sedikit kalau saja bocah
bertopeng tidak...”
Jam 22.00, wajah wanita penyiar yang muncul dan mengatakan,
“Walikota sudah mengadakan rapat dengan dewan terkait upaya penyelamatan bocah
bertopeng. Berikut hasil wawancaranya.”
Terlihat wajah seorang pria gemuk tua, dengan kepala yang
tinggal ditumbuhi sedikit uban, diserbu oleh banyak kepala mic. “Tidak ada yang bisa kita lakukan. Ada makhluk tidak dikenal
di atas sana, sekarang ada kabut tebal juga. Kami sudah coba mengusir kabur
tersebut dengan menyiramkan air ke sana dengan helikopter kami, tapi kabut itu
malah semakin tebal. Kami tidak berani mengambil risiko sampai kami bisa
memastikan tindakan paling tepat apa yang dapat kami lakukan. Belum pernah
terjadi yang seperti ini sebelumnya. Yang bisa kita lakukan sampai saat ini ya
coba tunggu dulu saja, kalau-kalau keadaan membaik. PBB? Ya sudah kami hubungi
Dewan Keamanan tapi mereka juga tidak tahu harus berbuat apa. Sudah ya!”
Kabut tebal itu tidak pernah sirna.
Aku terhempas ke atas sofa dengan badan lemas lima menit
setelah jam yang sama, pada hari berikutnya.
*
Dua hari ini aku tidak dapat menjalani hidupku dengan baik.
Lebih tidak baik dari biasanya—tepatnya. Aku tidak bisa melakukan apapun selain
melamun. Sekolah terasa memuakkan karena semua orang di kelas membicarakan
Refuga, membuat kecemasanku bertambah-tambah.
“Refuga kan sakti, seharusnya dia bisa menyelamatkan diri!”
“Apakah dia akan mati?”
Begitu suara-suara yang terlontar dari mulut mereka. Namun
tetap saja tak ada yang dapat lebih mencemaskan Refuga selain diriku.
Sesampainya di rumah pun aku tak bisa berbuat apa-apa.
Kerjaku seharian hanya di depan TV, mencari-cari berita tentang Refuga. Aku tak
ingin melewatkan satupun. Kubawa buku-buku pelajaranku lengkap dengan buku
tulisnya agar orangtuaku mengira aku tidak sekadar menonton TV tapi juga sambil
belajar.
Aku sungguh mencemaskan sahabatku...
Aku mendesah panjang dan mengatupkan mata. Ingin menangis
saja rasanya.
...setelah ini apa...?
Kenapa hal ini harus terjadi? Kenapa Refuga harus mendapat
perlakuan yang begitu mengenaskan? Kenapa Shakuntala harus membawa hewan
peliharaannya yang mengerikan itu juga? Kenapa? Kenapa? Kenapa ini yang harus
terjadi? Ya Tuhan....
Tunggu, bukannya aku yang mengarang semua ini? Refuga,
Shakuntala, Muzilla—peliharaan Shakuntala... Apakah kejadian ini aku yang
mengarangnya juga? Memang kemarin ceritaku sudah sampai mana sih? Apa benar aku
sudah mengarang yang seperti ini?
Aku membuka mata. Cepat-cepat aku menaiki tangga menuju
kamarku. Aku mencari-cari buku tulisku itu lagi, yang kemarin dulu sudah kukeluarkan
dari kotak sepatu dalam lemariku, namun belum sempat kubaca-baca karena ayah
sudah keburu memanggilku turun. Sekembalinya dari menonton berita malam itu aku
tak ingat sama sekali untuk membaca buku itu, yang akhirnya tergeletak entah di
mana.
Aku membuka buku tulis
yang sudah agak keriting karena penuh tulisan itu. Tak ada hasrat sama sekali
untuk terkekeh melihat usahaku memvisualisasikan para tokoh di dalamnya di
beberapa halaman depan. Setelah melihat-lihat halaman demi halaman sebentar, mulai
kubaca ulang cerita tentang Refuga, seorang bocah pahlawan dari Planet
Pahlawan. Jadi dari planet inilah semua pahlawan berasal. Tugas mereka adalah
membasmi segala macam kebatilan di segala macam dunia. Untuk menciptakan kader
pahlawan yang handal, setiap anak yang lahir di Planet Pahlawan disekolahkan di
Sekolah Pahlawan. Sekolah Pahlawan ini sudah terbukti meluluskan para pahlawan
yang hebat dan selalu dikenang sepanjang masa. Akreditasinya A+++++!
Tersebutlah Refuga, seorang anak yang lahir di Planet
Pahlawan dan disekolahkan di Sekolah Pahlawan. Meskipun dia anak bandel yang
suka tidak menurut pada orangtua, dia sebetulnya pintar. Buktinya dia bisa
masuk kelas akselerasi. Di usianya yang masih muda, dia sudah bisa ikut
pelajaran kelas akhir di mana syarat kelulusannya adalah menangkap penjahat
berbahaya! Nah, kalau sudah begini pilihannya hanya ada tiga: menangkap
penjahat dan lulus, tidak berhasil menangkap penjahat dan tidak lulus atau
harus mengulang, atau tertangkap penjahat dan tewas!
Karena Refuga adalah murid yang pintar, maka ia ditugaskan
untuk menangkap penjahat yang cukup tinggi kelasnya, yaitu Shakuntala.
Shakuntala ini senangnya berpindah-pindah dari dunia satu ke dunia lainnya dan
menyebarkan bibit kebatilan di sana sini. Kalau masyarakat dunia tersebut sudah
punya buku manual pembasmi bibit kebatilan, maka mereka tak akan terpengaruh
oleh bibit yang disebarkan Shakuntala. Sebaliknya, kalau mereka tidak punya,
atau punya tapi tidak menggunakannya, Shakuntala akan dengan mudah melaksanakan
kejahatannya. Jadilah tugas Refuga menjadi berlipat-lipat. Selain menangkap
Shakuntala, dia juga jadi harus menumpas kebatilan-kebatilan yang telah dituai
penjahat kawakan tersebut. Sampai akhirnya, Shakuntala sampai ke dunia bumi
untuk bersembunyi. Masyarakat bumi sebetulnya sudah punya buku manual
pembasmian bibit kebatilan tapi tidak menggunakannya dengan baik.
Oh ya, Refuga ini suka sekali es krim. Ketika mampir ke bumi,
dia mencoba macam-macam es krim yang lebih lezat dari yang ada di planetnya. Tapi
pada suatu hari, Refuga tidak hati-hati saat membeli. Saking capeknya membasmi
kebatilan-kebatilan yang tidak pernah henti, dia membeli es krim di sembarang
tempat. Dia tidak memperhatikan betapa tidak higienisnya lokasi dia membeli es
krim. Dan ternyata, penjualnya adalah Shakuntala yang sedang menyamar! Rupanya
Shakuntala telah membubuhkan racun pada es krim tersebut. Refuga jadi sakit
perut dan tidak berdaya. Dengan mudahnya Shakuntala menangkap Refuga,
menyandranya di atap menara alun-alun kota dan menyiksanya hingga mati
perlahan.
Cerita selesai sampai di situ. Bagian itulah yang
dirobek-robek sampai jadi serpihan oleh Bomantara.
Ya ampun, cerita macam apa yang kubuat...
Aku jatuh terlentang di atas karpet. Makin lemas saja
badanku.
Refuga... Refuga, maafkan aku. Sungguh maafkan aku. Jika aku
mengetahuinya sejak awal, jika aku tidak menunda-nunda untuk membaca buku ini,
jika aku sungguh-sungguh berniat membantumu menemukan Shakuntala, kamu pasti
bisa menghindar dari segala jerat dan tipu daya musuhmu itu.
Tapi apa boleh buat... memang aku yang sudah menggariskan
seperti itu...
Refuga... Kamu akan mati... Selamat tinggal... Maafkan aku
tidak bisa membantumu...
Tahu-tahu aku sudah terisak saja, membayangkan akhir yang
menyedihkan dari ceritaku ini. Akhir yang menyedihkan dari sejarah
kepengaranganku. Jiwa pengarang dalam diriku juga akan mengakhiri masa-masa
sekaratnya malam ini. Sebagaimana bayangan-bayangan masa lalu kerap menghantui
orang yang akan dihampiri ajal, begitulah juga yang terjadi padaku. Muncul
kelebat bayangan demi bayangan...
“Uta, mana lanjutan ceritamu yang baru? Aku belum baca
loh...”
“Nanti kalau sudah ada karya baru lagi jangan lupa kasih ibu
juga ya...”
“Ceritamu aneh sih, Uta, tapi kok aku suka ya?”
“Uta, aku mau ada tokoh cewek cakep di ceritamu. Masukin
dong.”
“Uta, kenapa kamu nggak nulis lagi?”
“Aku nggak suka ceritamu ini! Kok jadi kayak gini sih? Aku
mau jagoannya yang menang!” Bomantara merobek lembaran-lembaran kertas itu
dengan beringas.
Aku tersentak. Memang itulah yang dikatakan Bomantara saat
peristiwa itu terjadi!
Namun aku tidak mungkin mengubah apa yang sudah kutulis.
Sudah banyak orang yang membacanya dan mereka pasti bakal menganggapku tidak
konsisten kalau tiba-tiba jalan ceritanya kuubah. Lagipula ceritanya kan memang
mestinya belum selesai tapi pikiranku sudah keburu mandeg.
Jadi lanjutkan ceritanya, bodoh! Aku seperti mendengar
bentakan Bomantara mengiang-ngiang dalam rongga telingaku.
Tapi bagaimana aku melanjutkannya? Aku tidak ada ide...
Tapi nyawa Refuga harus lekas diselamatkan...
Tapi bagaimana, ide kan tidak bisa keluar kalau dipaksa?
Lalu mau sampai kapan kamu kehabisan ide?
Kugaruk-garuk kepalaku sampai rasanya kulit kepalaku mau
rontok semua. Sebelumnya apa yang kulakukan ya kalau aku butuh ide? Rasanya
sebelumnya aku tak pernah mengalami derita karena kehabisan ide seakut ini!
*
Suara halus bu guru mengembalikan kesadaranku.
“Uta, kamu sakit?”
Aku menggeleng meski kepalaku masih terasa melayang-layang.
Kuangkat kepalaku dari atas meja.
“Uta habis berantem, Bu! Liat aja, matanya hitam begitu!”
celetuk seorang anak yang disambut derai tawa anak lainnya.
Bu guru tidak mengindahkan mereka. Dia terlihat cemas. “Kamu
mau istirahat di UKS saja?”
Begitu mungkin lebih baik. Tak kutolak kesempatan itu.
Pergilah aku ke UKS. Aaah, begitu leganya badan ini begitu direbahkan di atas
salah satu kasur putih yang berderet di sepanjang ruang UKS yang bersih.
“Kamu sakit apa, Nak?” tanya guru yang berjaga di sana.
“Aku nggak tidur semalam, Bu,” jawabku seadanya sambil
menguap.
“Kenapa? Pasti main game
terus ya?”
Ku-ho-oh-kan saja dia. Berharap dia cepat pergi dan
membiarkan aku istirahat sendiri. Setelah beberapa pertanyaannya kujawab dengan
jawaban yang menyebalkan, dia akhirnya pergi juga. Huh, makanya jangan
coba-coba mengusikku, Tusitala, si pengarang super jenius yang berkedok anak
sekolahan!
Tapi anehnya, mata nanarku tak dapat kupejamkan.
Padahal sebenarnya aku capek sekali loh. Sepanjang malam tadi
aku mencoba segala cara agar ilham mau bertandang ke otakku. Aku melahap segala
macam bacaan, mulai dari koran, novel, komik, hingga buku-buku berat milik
ayahku. Aku dengarkan CD-CD musik milik kakakku dan menonton film-film di
laptopnya yang seharusnya tidak boleh diintip anak seusiaku. Aku menyelinap ke
luar rumah dan berjalan-jalan dengan penuh ketakutan karena menghindari tatapan
liar para gelandangan. Aku mampir ke toko 24 jam dan membeli cemilan. Alhasil,
cerita tentang Refuga berhasil kutamatkan tepat ketika ibu masuk ke dalam kamar
dengan maksud membangunkanku, seperti biasa kalau pagi-pagi. Dia kaget aku
sudah terjaga. Aku lebih kaget lagi karena ternyata aku bisa juga menamatkan
ceritaku itu! Ide memang tidak bisa datang kalau dipaksa? Ah, itu sih kata
orang-orang yang tidak tahu cara tepat dalam memaksa ide untuk keluar!
Ringan sekali perasaanku saat itu. Seringan kepalaku. Karena
yang mengisinya kini hanya satu pikiran saja...
“Bu, ada berita tentang bocah bertopeng nggak?” tanyaku
ketika mendengar guru penjaga sepertinya sedang menyibakkan koran di balik
tirai. Terdengar lagi beberapa kali suara kertas koran disibakkan.
Dengan nada muram dia berkata, “Belum ada perubahan, Nak.”
Aku bisa membayangkan dia mengucapkan itu sambil menggeleng-gelengkan kepala
dengan kedua pangkal alis berkerut sementara ujungnya menurun ke bawah.
Aku termenung. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu.
Tidurku di UKS tidak cukup nyenyak. Aku pulang ke rumah saat
jam sekolah berakhir dengan terhuyung-huyung karena kepalaku masih pusing.
Kubanting diriku ke atas sofa, langsung kunyalakan TV.
Berita tentang Refuga: masih terjebak dalam kabut yang
semakin menyebar ke penjuru langit kota. Oh, pantas akhir-akhir ini kok rasanya
jadi agak mendung? Orang-orang yang bekerja di menara alun-alun kota
diliburkan. Tingkat kebatilan semakin meningkat saja.
Setiap jam berikutnya, headline
news hanya membuatku makin terpekur.
Tidak ada perubahan berarti.
Ah, mungkin efeknya baru terasa nanti, setelah jangka waktu
yang lama... Cerita yang sebelumnya pun kan sudah kubuat dulu sekali, tapi
bentuk hidupnya baru muncul sekitar sebulanan ini.
*
Ya, ya, ya, akhirnya kutunggu dan kutunggu. Hari demi hari
berlalu. Sudah kucukupkan kembali tidurku hingga aku bisa kuat melek memantau
perkembangan berita tentang Refuga, yang kalau dibuat grafik, kamu bisa tidur
terlentang di atasnya. Kian hari makin tak keruan saja hatiku, beradu dengan
persepsi bahwa munculnya efek dari ceritaku itu butuh waktu, aku hanya harus
sabar menunggu, sampai muncul sesuatu dalam pikiranku.
Tapi kan Refuga tak mungkin menunggu selama itu!?!
Mendadak aku merasa putus asa. Lalu apa artinya segala
perjuangan dan pengorbanan yang semalam? Jadi untuk apa cepat-cepat kutamatkan
cerita itu?
Ini bukan takdir pengarang yang bekerja. Tapi mungkin sudah
takdir Tuhan... Mungkin memang sudah takdirnya Refuga malang itu mati. Air
mataku mulai berlinangan di pipi. Aku meringkuk di sofa supaya tak seorang pun
anggota keluargaku dapat mengetahui kalau aku menangis, kalau-kalau mereka
lewat sekitar TV.
“Eh, pulang sekolah bukannya langsung ganti baju, malah tidur
di sofa. Entar ibu marah tuh...” Itu kakakku duduk di sofa sebelah. Mungkin dia
juga baru pulang kuliah. Terdengar derit sofa lagi disusul suara berdebum.
Mungkin kakakku mau berdiri lagi tapi malah menjatuhkan ranselku. Dan sekarang
mungkin dia sedang membereskan isi ranselku yang berhamburan. “Eh, Uta, kamu
udah nerusin ‘Refuga’ lagi? Wah, tamat?”
Aku cepat bangun, tak ingat mukaku masih sembap. “Kakak baca
ceritaku?”
“Loh, Uta, kamu nangis?”
Aku langsung telungkup di sofa, menyembunyikan sisa-sisa
tangisku. Aduh, aku malu sekali...
Kakakku malah mendekat, sial! Dia menepuk punggungku. “Iya,
hehe. Waktu itu kakak kan ke kamar Uta, udah lama banget, eh, ada buku ini di
kasur Uta. Karena kebuka ya udah kakak baca aja. Ceritanya lucu banget deh. Ya
udah kakak baca aja terus. Temen-temen kakak juga pada suka baca loh. Lucu
banget katanya. Mereka terhibur banget loh!”
“Kok bisa temen-temen kakak juga baca?!” Tak bisa kusembunyikan
kegeramanku atas kekurangajaran kakakku meski dengan suara teredam. Seingatku
buku itu tak pernah jauh-jauh dariku. Kapan ada kesempatan buat kakak untuk
mengambil dan membawakannya ke teman-temannya?
“Kalau ada kesempatan kakak ambil terus dikopi di fotokopian
sebelah deh... Hahaha, maaf ya, Ta. Eh ngomong-ngomong ini ceritanya udah
tamat, kakak boleh pinjem dulu ya. Bentar doang kok, cuman mau dikopi di
sebelah, haha....” tanpa sempat kucegah kakak sudah berlari ke luar rumah. Bisa
kubayangkan kakak dan teman-temannya membaca ceritaku sambil tertawa
terbahak-bahak hingga ngakak. Bukan karena cerita itu lucu—karena cerita
tentang Refuga memang tak pernah kumaksudkan untuk menjadi cerita yang seperti
itu—melainkan karena yang membuatnya hanya seorang anak kecil yang di mata
mereka begitu patut untuk dilecehkan dan diremehkan.
Begitu kakak kembali, langsung kurampas buku itu. Aku segera
lari ke atas lalu mengunci diri di kamar. Tak bisa kukendalikan amarahku yang
sedang di puncak-puncaknya. Aku melemparkan benda itu ke sembarang arah. Tak
kusangka dia malah terbang tinggi melalui jendela. Kukejar buku itu hingga
badanku tertahan kusen. Buku itu mendarat di atap mobil yang sedang lewat dan
entah akan terbawa sampai ke mana. Habislah sudah. Setelah kuselesaikan
tugasku—menamatkan cerita Refuga—barulah boleh tamat riwayatku sebagai
pengarang.
*
Kedatanganku pagi itu disambut bak seorang artis saja.
Beberapa teman sekelasku mengerubungiku dan menanyakan hal yang tak
terduga-duga...
“Uta, kamu udah nerusin cerita Refuga ya?”
“Hah, darimana kalian tahu?”
“Tadi malem kan kakak kamu ketemuan sama kakakku. Trus kakak
kamu bilang kalau kamu udah nerusin lagi cerita Refuga sampai tamat. Kebetulan
kakak aku juga suka loh sama cerita kamu. Dari dulu kita suka baca bareng-bareng.
Terus kakakku dikasih kopiannya deh sama kakak kamu...”
“Ih, kok kamu nggak bilang-bilang sih, Uta? Kan biasanya kamu
kasih aku kopiannya!”
“Iya, ke aku juga...”
“Aku juga! Aku juga!”
Walah, aku benar-benar tidak tahu bagaimana harus menghadapi
mereka!
“Ya udah kopi aja dari punyanya si Tania. Aku sekarang udah
nggak ngarang lagi kok!” Aku membanting ransel di bangkuku.
“Kok kamu nggak kasih tahu sih kalau kamu udah nerusin cerita
Refuga lagi?!” Bomantara menyeruak dari belakang kerumunan teman-teman. Gempa
susulan dari dua orang komplotannya. Dia menarik kerah bajuku. “Akhirannya
bagus nggak?”
“Baca aja sendiri!” Belum ada yang berani berkata-kata dengan
nada seperti itu sebelumnya pada Bomantara hingga membuat yang lainnya
tercengang. Sebetulnya nadanya tidak terlalu keras juga sih. Bomantara
menyentakkanku, membuat punggungku terasa sakit seketika. “Mana ceritanya si
Uta? Sini aku kopiin!”
“Tapi jam segini kan fotokopiannya belum buka?” celetuk
seseorang.
“Ya pas entar istirahatlah!” setelah Bomantara berkata begitu
tidak ada lagi yang berani berkata-kata. Tania menyerahkan kertas kopian
ceritaku—versi lengkap!—dengan tangan gemetar.
“Duitnya mana?!” bentaknya lagi. Tania kaget mendengarnya.
“Loh, kupikir mau pake duitmu sendiri?”
“Enak aja! Ini kan demi buat bersama, jadi harus pake duit
bersama juga!”
Maka anak-anak pun merogoh-rogoh saku baju atau celana
mereka, atau menghampiri tas masing-masing untuk mengambil dompet. Dan tentu
saja, Bomantara tidak menerima uang pas.
Andai aku bisa, tak akan kubiarkan kelak dia jadi pejabat.
Pasti kerjaannya hanya makan uang rakyat.
Sepanjang hari itu, aku tak menggubris siapapun yang hendak
berbicara tentang Refuga, kepengaranganku, atau apapun yang berkaitan dengan
itu. Bahkan bu guru pun sudah diperingati anak-anak sebelum hendak mendekati
bangkuku. “AWAS MENGAUM”, begitu bunyi peringatan yang mereka bawa.
*
Waktu wajib menonton berita. Aku duduk di kursi meja makan
dengan perasaan yang sudah mulai agak biasa-biasa saja. Otakku sudah tidak
kosong-kosong amat, setidaknya ada sepenggal chapter dari komik Naruto dan beberapa onggokkan rumus matematika
di dalamnya. Dengan malas aku menyendokkan piring dari magic jar ke dalam piringku. Suara TV menggema ke seantero ruangan.
Memangnya lagi ada berita apa sih, kok kayaknya keluargaku antusias amat
menyimaknya?
“...atas permintaan pemirsa, kami putar ulang video detik
terakhir...”
O-ou...
“...penyelamatan bocah bertopeng...”
Aku terlonjak hingga meja makan hampir terguling karenanya.
Langkahku berderap menuju layar TV. Aku langsung berada di deretan paling
depan.
Rupanya sebuah video amatir. Gambarnya jelek sih. Buram. Tapi
masih dapat memperlihatkan drama yang hendak terjadi.
Sebuah titik muncul di angkasa. Kian lama kian dekat. Mewujudlah
titik itu menjadi sosok seorang wanita bertopeng! Jubah panjangnya berkibar
dengan indahnya. Masih di langit, dia berdiri dan berkacak pinggang beberapa
meter di luar jangkauan kabut gelap. Sebelah tangannya terjulur dan dari
telapak tangannya keluar suatu sinar terang dan sirnalah kabut tersebut. Tanpa
melibatkan adegan laga penuh aksi heroisme, begitu kabut tersebut hilang benar,
tampaklah sesosok monster jelek dengan seonggok pria kurus kering terkapar
bagai nyamuk mabuk. Sebuah titik lagi melesat mendekat dari ujung langit dan
mewujud menjadi sesosok pria bertopeng. Dengan sebelah tangan dia mengangkat si
monster dan pria kurus kering itu lalu terbang melesat kembali ke asal
datangnya. Sementara itu terjadi, si wanita bertopeng melakukan upaya penyelamatan
pertama pada Refuga yang—aku tak tega mendeskripsikan kondisinya. Wanita
bertopeng itu cepat sekali kerjanya. Tahu-tahu Refuga sudah berada dalam
bopongannya dan ia menghilang dari pandangan.
Gambar di TV beralih ke wajah bahagia milik pria dan wanita
penyiar.
Ohh...
Semuanya persis seperti apa yang aku tulis di malam nahas
itu, saat aku begadang semalam suntuk.
Lebih tepatnya ceritanya begini...
Ibu dan ayah Refuga panik mencari anaknya yang hilang entah
ke mana. Saat dikonfirmasi ke pihak sekolah, mereka mengatakan, mungkin Refuga
sedang mengerjakan tugas akhirnya—yang merupakan syarat kelulusannya—yaitu
menangkap Shakuntala yang entah bersembunyi di mana. Ibu Refuga segera
menghantam pihak sekolah dengan meja. Tugas itu terlalu berat untuk anaknya,
pikirnya. Dia tahu bagaimana kapasitas Shakuntala sebagai penjahat dan dia juga
tahu bagaimana kapasitas anaknya yang pendidikannya dipercepat. Ibu dan ayah
Refuga pun mencari anak mereka ke sana ke mari, ke planet manapun yang mungkin
Shakuntala—disusul anak mereka—sambangi. Hingga akhirnya sampailah mereka di
bumi dan menemukan anak mereka sedang dalam siksaan Shakuntala dan monster
peliharaannya. Karena mereka adalah sama-sama mantan Raja dan Ratu Pahlawan di
Planet Pahlawan—yaitu suatu kontes mencari pahlawan muda terkuat dan
tercerdik—maka memberangus Shakuntala bukanlah hal yang cukup sulit. Apalagi
mereka memang telah mengincar penjahat tersebut sejak lama hingga tahu di mana
titik kelemahannya, yaitu dengan pancaran sinar merkuri! Ayah Refuga pun
mengurus para makhluk jahat itu agar mereka mendapat siksaan yang setimpal dari
Mahkamah Pahlawan sementara istrinya segera membawa Refuga ke Rumah Sakit
Pahlawan. Refuga akhirnya berhasil pulih. Dia memang tidak lulus ujian tapi ada
pelajaran lebih berharga yang dia dapatkan. Salah satunya adalah dia menjadi
lebih sayang pada orangtuanya. Refuga pun harus mengulang lagi pelajarannya
tapi tidak mengapa karena dia akhirnya bisa kembali bermain bersama teman-teman
lamanya.
Seperti itulah garis besarnya.
Aku sampai bersimpuh di lantai saking leganya. Sampai kakak
menegurku, “Kamu kenapa sih, Uta? Kok kayaknya lega banget denger Bibit-Chandra
akhirnya bisa lepas?”
Masih dalam keterpanaanku karena begitu menakjubkannya
tayangan tadi, aku berkata, “Hah, aku lega karena akhirnya Refuga berhasil
selamat kok.”
“Ya ampun, ceritanya sampai kebawa-bawa...”
“Siapa sih, Fuga-fuga?” tanya ibu.
“Refuga!” koreksiku. “Refuga berhasil diselamatkan sama
orangtuanya!”
Kontan semua yang ada di ruangan itu terdiam.
“Bu, kayaknya Uta masih demam deh!”
“Wah iya, panas lagi...” Dahiku terasa dingin karena
bersentuhan dengan punggung tangan ibu.
“Ya sudah ayo cepat kita ke dokter lagi?” Ayah sudah
siap-siap mengambil jaket.
Aku sungguh tak mengerti.
*
Kakak bilang tanggung jawab untuk menyelesaikan cerita Refuga
begitu membebaniku. Mungkin tidak secara langsung. Aku merasa biasa saja
padahal alam bawah sadarku meronta-ronta minta cerita itu ditamatkan.
Karena sering begadang untuk bikin cerita, daya tahan tubuhku
jadi menurun. Aku jadi gampang sakit hingga demam tinggi berkali-kali.
Saat itulah alam bawah sadarku mewujud dalam bentuk
halusinasi. Dalam igauanku kakak mendengar nama-nama tokoh dalam cerita Refuga.
Belum pulih benar dari sakitku, aku sudah begadang lagi.
Mengingat bahwa aku pernah berlari-lari seharian untuk
mengejar Refuga, dan kiranya semua itu hanya halusinasi, aku merasa sakit itu
ternyata bisa melelahkan sekali.
Lagipula Refuga memang tak pernah kembali. Dia tidak pernah
meninggalkan bekas apapun yang bisa meyakinkanku bahwa kehadirannya di bumi
bukan sekedar halusinasi.
Tentang buku tulis berisi cerita Refuga yang sudah lengkap
ditamatkan itu, dia ternyata jatuh di atas mobil seorang editor perusahaan
penerbitan besar. Neneknya editor tersebut adalah tetanggaku dulu. Sekarang sih
nenek tersebut sudah pindah ke alam baka. Editor tersebut menemukan buku
tulisku tersangkut di atap mobilnya. Pada mulanya dia mengira bukuku itu hanya
berisi coretan anak kecil biasa. Iseng-iseng dia membacanya untuk melepas jenuh.
Tak disangka, cerita itu menarik hatinya. Dan kebetulan sekali, aku
mencantumkan biodataku juga di sana.
Dia menghubungiku dan mengajukan penawaran yang menarik.
Waktu itu kakakku sih yang bicara. Dalam pembicaraannya
dengan editor tersebut di telepon, aku dikagetkan dengan suaranya yang
terdengar amat mantap, “DEAL!”
Setelah itu aku disuruhnya merombak sedikit ceritaku itu.
Sedikiiit... saja, katanya waktu itu. Tapi kurasakan banyak sekali. Aku sudah
bersikeras padanya bahwa aku sudah berhenti jadi pengarang. Aku sudah
berkali-kali menyatakannya. Tapi dasar kakakku pintar bersilat lidah sementara
aku hanyalah seorang anak kecil bodoh, dia mengatakan bahwa dalam halusinasiku
memang aku sudah bukan pengarang tapi di dunia nyata tidak begitu. Dan karena
aku sudah tidak sakit lagi, maka aku ada di dunia nyata dan aku tetap
pengarang.
Aku berharap aku kembali sakit saja waktu itu.
Kuturuti apa maunya karena dia membelikanku banyak es krim.
Semakin banyak es krim, semakin banyak ide mengalir di kepalaku.
Dalam beberapa bulan, cerita Refuga bukan lagi berwujud
kertas fotokopian melainkan sebuah novelet dengan cetakan yang rapi dan desain
sampul yang artistik—sampai sekarang aku masih menganggapnya begitu.
Aku diminta untuk membuat sekuelnya. Lalu prekuelnya. Entah
sudah berapa jilid yang kuhasilkan. Karena kakakku tak pernah absen
membelikanku es krim, jadinya ya kukerjakan. Sambil lambat laun aku menyadari,
halusinasiku telah memberikanku suatu makna.
Tidak harus menunggu sampai tokoh-tokoh dalam ceritamu menjadi
nyata dulu untuk dapat memahami bahwa sebuah cerita dapat menyelamatkan dunia.
Sampai sekarang keyakinan itu masih terpatri dalam benakku. Semakin kuat
melekat saat aku dikerubungi anak-anak yang memegang buku-bukuku. Memintaku
membacakannya untuk mereka. Kadang ada pula yang ingin berfoto bersamaku. Minta
tanda tanganku. Dan buku-bukuku yang mereka koleksi bukan hanya serial Refuga.
Banyak yang lainnya. Aku tak bisa berhenti mengarang sejak periode limpahan es
krim. Jadi untuk menghasilkan sesuatu secara produktif, sebenarnya yang kamu
butuhkan hanya membiasakannya secara kontinyu dan intensif. Dengan sedikit
sogokan mungkin.
Suatu hari seseorang datang padaku. Dia bilang, dia bisa
menghidupkan Refuga. Menghidupkan kembali Refuga. Kurangkul teman masa kecilku
yang sudah jadi kurus itu, yang sudah tidak diragukan lagi reputasinya dalam
dunia perfilman. Kukatakan padanya, “Tapi harus benar-benar hidup ya, Bom.”
Benar-benar hidup seperti halusinasi masa kecilku dulu. “Biar aku sendiri yang
milih aktornya.”
28-30 Nop 9
12.32 AM
terima kasih untuk para
calon anggota FLP Yogyakarta angkatan XI atas suntikan semangatnya
Banyak Dibuka
-
“ Du ” (“ You ” dalam bahasa Inggris) adalah lagu yang dibawakan oleh Peter Maffay, seorang musisi Jerman. Lagu ini menjadi hit terbesar d...
-
Gambar dari situs web Pustaka Yayasan Obor Indonesia . Penulis : Bahagia, SP., MSc. Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta ISBN ...
-
Perkenalan dimulai waktu SMA, lewat novel 1984 yang dipinjam dari perpustakaan sekolah. Kondisi buku tersebut sudah tidak begitu bagus. Di ...
-
Penulis : Fachruddin M. Mangunjaya Penerbit : Yayasan Obor Indonesia atas bantuan Bank Dunia ( The World Bank ) dan Conservation Internat...
-
Tersebutlah kisah sepasang suami istri. Sang suami dikenal sebagai seorang suami yang berperasaan. Dia mau membantu istrinya mengerjakan ...
-
Di rumah ada seekor kucing betina. Dia lahir dari seekor kucing betina liar yang kawin dengan salah seekor kucing jantan yang dipelihara d...
-
...sebelumnya ada Makam Kristen, Makam Batak, dan Makam China... Makam Freemason Kami menemukan dua makam dengan simbol Freemason yai...
-
Buku Sejarah dan Sejarawan yang ditulis oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan diterbitkan oleh PN Balai Pustaka ini tebalnya hanya 24 h...
-
Malam pergantian tahun, sudah kutetapkan resolusi. Salah satunya adalah membantu orang lain. Mulai tahun depan tidak akan ada lagi yang bila...
-
Pada 13 – 16 Oktober 2010, saya berkesempatan untuk pulang ke Bandung. Tak sedikit sesuatu menarik yang saya temu dan alami selama di sana....
Pembaruan Blog Lain
-
Tempo Nomor 24/XXXI/12 – 18 Agustus 2002 (Edisi Khusus 100 Tahun Hatta) - ISSN : 0126-4273 Rp 17.500 Mohammad Hatta adalah pahlawan nasional favorit saya karena selain sama-sama kutu buku, ada banyak anekdot… Read more Tempo Nomo...6 hari yang lalu
-
Batasan - Hari ini akan kuterima batas-batasku. Hari ini akan kutetapkan batas-batas dalam kehidupanku. Hanya karena keluargaku hidup dalam kekacauan, bukan berarti ...2 tahun yang lalu
-
Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu - *Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penan...6 tahun yang lalu