Minggu, 20 Desember 2009

Minta Ditelepon

Petugas akademik menyerahkan secarik Kartu Hasil Studi (KHS) kepadaya. Ia menahan nafas. IP-nya semester ini turun 0,01. Tapi masih di atas 3,7. Membosankan. Dilipatkan kertas tersebut dan dimasukkan ke dalam saku hemnya.

"Dapet IP berapa lu?" sodok seorang teman yang juga baru mengambil KHS.  Dibalasnya dengan cengiran. "Ada deh."

"Alah, paling cum laude lagi."

"Turun kok." Mengembangkan senyum dapat meraibkan sejumput ketidakbahagiaannya.

"Alah, paling cuma turun 0,01."

Ia tertawa. Kok tepat benar sangka temannya ini.

"Punya lu sendiri gimana?" balasnya berbasa-basi. Ia heran apa pentingnya saling mengetahui siapa dapat IP berapa seperti yang biasa teman-temannya korek antar satu sama lain. Bersainglah dengan diri sendiri. Berusahalah agar bisa mendapatkan IP yang lebih tinggi dari sebelumnya, bukannya berusaha agar selalu lebih tinggi dari IP teman. Bisa-bisa yang tersisa hanya perasaan dengki dan makan hati. Begitu pikirnya. Cukup membantunya meningkatkan prestasi tanpa harus berambisi mengalahkan orang lain.

"Ah, biasa. Dapat kemelut dong. Tinggal nunggu diamuk ortu aja..."

Ia tercenung.

Beberapa hari kemudian, amplop berisikan KHS yang akademik kirimkan pada orangtuanya mesti sudah sampai. Ia berkali-kali mengecek layar hapenya. Melihat daftar panggilan dan kotak masuk. Hanya ada ucapan selamat atas perolehan IP-nya. Hah... Tetap tidak ada kabar sama sekali dari orang-orang yang diharapkannya. Kalaupun ada, betapa jarang frekuensinya. Padahal sekian semester telah berlalu sejak ia hijrah untuk berkuliah. Padahal ia ingin mendengar suara mereka, bukan sekedar kata-kata yang tertangkap mata. Seperti ada yang hilang dari hidupnya. Masakkan mereka baru bertukar suara saat bertemu langsung saja--saat ia menyempatkan diri untuk pulang walau hanya untuk beberapa hari?

Apa ia saja yang berinisiatif menghubungi mereka duluan ya? Tapi ia bosan mengatakan semuanya baik-baik saja. IP-nya stabil. Makan teratur 3 kali sehari. Tidak pernah sakit. Organisasi lancar. Pergaulan bukanlah persoalan. Mungkin mereka juga bosan dengan segala jawabannya. Dan sibuk dengan urusan mereka masing-masing, sebagaimana ia. Ia tak bisa berbohong. Kehidupan memang sehampa itu. Sama sekali tak ada hasrat bicara.

Kalau begitu ia akan membuat sebuah realita baru.

Satu semester berselang, kembali ia berhadapan dengan petugas akademik yang sama untuk mengambil KHS. Dibacanya huruf-huruf dan angka-angka yang tertera. Ia tak sabar menunggu hari-hari berikutnya menjelang. Mendatangkan sebuah panggilan di pembuka malam.

"IP-mu kok turun drastis?!"

Senyum terulas di wajahnya. Akhirnya orangtuanya meneleponnya lagi.

 

27 Agustus 2009 * 20 Desember 2009, 9.09 PM

Sabtu, 19 Desember 2009

Balada Monyet

Senja bertandang. Kaki Dani menjuntai ke bawah. Dani duduk di tepi lantai semen tingkat tiga sebuah bangunan rumah yang belum jadi—rumahnya. Sepasang tangannya menggenggam harmonika perak kunci D. Kedamaian menyelubungi jiwanya. Sesekali Dani melambai sambil tertawa pada anak-anak berbaju muslim yang melintas di bawah dan berteriak-teriak memanggilnya. “Dani... Ayo ke TPA...!”

Berkali-kali sudah mereka melakukannya. Dani tetap malas beranjak. Ketenteraman jiwanya sedang tak ingin dirusak. Ah, untung anak-anak itu tidak cukup punya kesabaran menunggu. Mereka berlalu. Digantikan sayup-sayup suara motor yang digas kencang mendekat lantas decit tiba-tiba rem. Dani hanya sempat melihat sekelebat sosok memasuki lantai bawah rumahnya. Sebuah motor bebek merah ditinggalkan begitu saja.

Semakin jelas terdengar suara langkah kaki menaiki tangga dengan terburu-buru diiringi desah nafas yang tersengal-sengal. Dani menoleh. Perasaan tak nyaman mulai menyambangi kalbunya. Tak lama muncullah orang itu, menyorongkan buntalan plastik, lalu, “Dani, cepet ganti baju lo sama ini!”

“Heeh? Apaa?”

“Cepetan!” Cowok itu menarik lengannya. Dani bangkit terjatuh-jatuh. Hingga cowok itu melepaskannya, Dani malah terdiam sambil mengamat-amati buntalan yang diberikan kepadanya. Sepertinya berisi pakaian.

“Tunggu apa lagi sih? Buruan dong!” Cowok itu seperti sedang kebelet pipis. Dani menatap bingung. “Harus di sini?”

Cowok itu terpana. Ia memandang sekelilingnya dan menyadari lantai tempat mereka berpijak tidak penuh diselubungi dinding. Dani melewatinya, mencari-cari ruang tertutup, lalu berbalik bingung. “Kita mau ngapain sih?”

Cowok itu mengacak-acak rambut sambil berujar dengan wajah memelas. “Udah ganti aja baju lo, cepetaan...”

“Buat apaa?” Dani tak kalah pasang wajah memelas juga   

“Sore ini kita pacaran!”

“Apa?!”

Cowok itu lekas mendorongnya ke balik sebuah kubikel triplek. “Gua nggak akan liat. Sana cepet ganti!”

.

Dani terperangah dengan baju terusan putih berenda-renda yang kini menutupi tubuhnya. Dani menutup mulutnya. Terakhir kali Dani memakai baju terusan berenda-renda adalah saat berumur 5 tahun. Sekarang baju tersebut sudah hilang entah ke mana setelah sebelumnya dijadikan lap dapur. Dan baju terusan ini menyerapkan kekaguman bagi pemakainya kini. Wangi pula. Sepasang kaki telanjangnya sedikit meloncat-loncat di atas lantai semen, membawanya keluar dari kubikel.

“Pantas nggak?”

Cowok itu bahkan tidak menyempatkan untuk berkata “...kamu cantik banget...” seperti yang biasa Dani saksikan di film-film. Sepasang tangan cowok itu dengan cepat mencoba merapikan rambut lurus pendek Dani namun tampak tidak puas dengan hasilnya. “Ah, udahlah entar kena angin juga kacau lagi!”

Dani cemberut. Cowok itu tak melihatnya karena sudah berbalik sambil menariknya menuruni tangga.

“Mana bokap lo?” tanya cowok itu masih sambil menggiringnya cepat-cepat ke halaman tempat motornya tadi diparkir.

“Mmm... mancing...?”

Cowok itu tak menggubrisnya. Ia sudah di atas motornya, memakai helmnya sendiri dan melemparkan satu helm lagi pada Dani. Dani membiarkan helm itu jatuh begitu saja.

“Heh! Dipake!”

Dani berjingkat mundur dengan tampang ngeri. “Aku nggak mau dibonceng kamu...!” Dani ingat suatu ketika dibonceng cowok itu, ia jatuh terjengkang ke atas aspal. Ranselnya yang terisi penuh menyelamatkannya dari gegar otak, untungnya. Supir angkot paling serampangan saja masih bisa disebut budiman jika dibandingkan dengan cowok itu.

Bertambah lipatan di wajah cowok itu. Seperti teringat sesuatu, mimiknya mendadak serius. “Gua akan tertib, Bu Polwan.”

Beberapa menit kemudian motor bebek merah itu sudah melaju kencang di jalan raya. Pengemudinya berusaha tetap penuh kendali meski di belakangnya penumpangnya memukulinya tiada henti. “Boong! Kamu boong! Turunin akuuu!”

.

Muka Dani masih pucat. Dani pusing, ingin muntah. Sepasang bola matanya menyusuri sepasang tangan yang berusaha merapikan lagi rambutnya. Terdengar gerutuan kesal, “ah, udahlah gini aja!” dan lagi-lagi wajah kecewa. Lantas Dani ditarik naik undakan ke teras rumah itu. Terus sampai ke pojok. Tempat yang mereka tuju tidak akan terlihat dari jalan karena tertutup oleh tanaman-tanaman besar. Di sana ada sebuah meja persegi panjang yang beralaskan kaca. Koran-koran menumpuk acak-acakan di bawahnya. Beberapa kursi panjang yang terbuat dari besi ukir mengelilingi meja tersebut. Cowok itu mendudukkannya di kursi yang menghadap ke jalan, disusul oleh dirinya sendiri yang segera atur nafas untuk menenangkan diri. Dani menarik-narik ujung baju terusannya agar menutupi kedua lututnya yang menempel rapat. Sedikit saja terbuka, ketidaknyamanannya akan makin menjadi-jadi. Apalagi kalau ada orang yang duduk di depannya. Setelah cukup tenang, cowok itu menarik sebuah tas selempang ke pangkuan. Dani baru sadar cowok itu sedari tadi memakai tas, yang dari dalamnya dikeluarkan beberapa buku pelajaran, buku tulis, lengkap dengan alat tulisnya.

Cowok itu meliriknya. “Tadi kita ada PR Bahasa kan?”

Dani balas melirik. Aneh. Apakah cowok itu sengaja menculiknya dari rumah hanya untuk mengerjakan PR bersama? Tidak seperti biasanya. Biasanya kalau cowok itu mau mengerjakan PR bersama ya langsung datang saja ke rumah, tidak pakai acara culik-culikan ke rumahnya sendiri segala. Tapi tadi temannya itu bilang mereka mau apa?

Dani beringsut menjauhi cowok itu, yang tertegun. Yang malah mendekatinya terus. Keganjilan yang bertubi-tubi ini membangkitkan Dani untuk bergerak menyelamatkan diri ke kursi seberang. Cowok itu menariknya hingga ia jatuh terduduk dengan kaki terangkat. Ia merasa ngeri. Ada apa dengan teman laki-lakinya ini? Jantungnya mulai berpacu. Dani menarik tangannya dari genggaman cowok itu dan mengusap-usapnya. “Kamu kenapa sih?” Didapatinya wajah cowok itu juga tak kalah pucatnya.

“Udah nurut aja ama gua, Dani. Plis...”

Getaran lain merambati rongga dadanya. Dani ingin berkata-kata lagi tapi dibungkamnya. Cowok itu menggeser posisinya sedikit menjauh sambil mulai membuka-buka bukunya. “Ayo kita kerjain PR-nya, Dan. Halaman berapa?”

Dani mendengus, tapi terlalu takut untuk tersenyum. “Nggak tau. Buku catatanku kan ada di rumah.”

“Ya udahlah. Kerjain apa kek...”

Dan belum pernah sebelumnya Dani bisa mengamati dengan jelas wajah cowok itu hingga sedekat ini...

...bibirnya yang pink... sepasang mata tanpa kelopak yang bundar dan mungil bagai kancing,... rambut lurus hitam lebat yang begitu kontras dengan pipinya yang mulus...

...ternyata teman sepermainannya itu begini indah.

Debaran itu sebelumnya tak pernah ada. Kini demikian kerasnya.

Dani tak lama-lama terhanyut dalam pemandangan memesonakan itu. Pandangnya menangkap sesosok pria bertubuh tinggi besar tengah celingukan di ujung teras satunya. Tampaknya pria itu baru ke luar dari dalam rumah. Rambut lurus kecoklatannya panjang sebahu, kulitnya putih agak kemerahan, dan sepertinya bukan saudara dekat temannya ini. Jika temannya berwajah oriental, maka pria itu tampak kebule-bulean. Usianya mungkin sekitar 30-an?

Temannya itu menoleh, mengikuti arah pandangnya. Detik berikutnya Dani kaget cowok itu sudah sedemikian ketat menempelnya. Semakin ia bergeser menjauh, semakin cowok itu mendekatinya. Pegangan kursi sudah terasa menekan pinggangnya. Dani tak bisa ke mana-mana lagi. Kulit mereka lekat bersentuhan.

Pria itu menyadari keberadaan mereka di sana. Ia melangkah mendekat. Lututnya sejengkal sudah dari pegangan kursi dan didapatinya sepasang anak SMA yang berangkulan. Dengan nyamannya dagu yang cowok bertumpu pada pundak yang cewek. Keduanya tampak asik memelototi halaman terbuka sebuah buku yang terhampar di meja.

Namun Dani sungguh melotot. Tak keruan lagi debar jantungnya yang sudah ingin mencelat copot. Cowok itu merangkulnya sangat kuat. Dani tak bisa bergerak. Rongga hidungnya penuh menghirup harum rambut dan aroma tubuh yang bukan miliknya. Tubuhnya menegang dijalari perasaan panas dingin. Ujung-ujung rambutnya menyentuh bibir cowok itu. Terdengar gelitik bisikan, “Rileks aja...”

Bukan hal mudah bagi Dani untuk dapat melemaskan diri. Dani mencoba mengendalikan gejolak perasaannya. Tidak bisa. Terlalu ganas. Hingga Dani merasa beban di pundaknya terangkat. Dani dan cowok itu sama-sama mendongak ke arah si pria besar. Dani berusaha memasang tampang sedatar mungkin saat menghadapi manusia yang tampak terpekur dan kesulitan mengeluarkan suatu kata itu.

“Kalian ngapain?” ujar pria besar itu akhirnya.

“Emang keliatannya gi ngapain?” temannya itu menjawab dengan nada acuh tak acuh. Dani tak kuasa tak menggeliat saat tangan cowok itu menyosor kikuk ke pinggangnya yang kurang berlekuk. Sebelumnya adalah pipi cowok itu, lalu bibirnya, yang menempel di pipi Dani. Dani benar-benar lemas sekarang, hanya bisa menunduk saja. Jiwanya terbang entah ke mana.

Keheningan yang mengambang sejenak terpecah oleh kedatangan seorang perempuan. Sepertinya ia juga baru dari dalam rumah. Hitam rambutnya yang lurus panjang dikuncir ekor kuda itu begitu kontras dengan warna kulitnya. Memang tidak begitu mirip (mata perempuan itu begitu besar) namun Dani merasa perempuan itu adalah kakak temannya. Dengar saja kalimat yang dilontarkan dari wajahnya yang terkejut, “Anjir lo, Dek, nggak mungkin lo punya pacar!”

Cowok itu diam saja. Dagunya kembali bertumpu manja pada pundak Dani lalu berkata lembut, “maaf ya, Yang, banyak pengganggu...” Ia mengangkat dagunya lagi dan dengan lembut mengarahkan dagu Dani agar menghadap ke arahnya. Kepala Dani berputar kaku.  “Apa kita mau pindah tempat aja?”

Demi melihat isyarat yang dilancarkan cowok itu sedemikian rupa padanya, yang mana pria besar dan perempuan itu takkan dapat menyaksikannya, Dani mengangguk lemah dengan senyum yang dipaksakan. Dilipatnya buku-buku jarinya yang bergetar.

Yang... Yang... Yang... Panggilan itu mengiang-ngiang di kepalanya...

YANG?!

Cowok itu menggamit erat tangannya, menariknya agar bangkit dan berlalu dari situ. Mereka melewati pria besar dan perempuan itu menuju pagar di mana di baliknya si motor bebek merah masih aman terparkir.

“Kita cari makan aja dulu yuk...” Cowok itu berkata-kata lagi sesudahnya namun Dani terlalu bingung untuk mendengarkan dengan jelas. Sampai di sebelah motor, cowok itu memakaikan helm untuk kepala Dani sebelum memakai helm untuk kepalanya sendiri. Cowok itu tak pernah bersikap sebaik ini kepadanya. Dani tercekat melihat kelembutan yang tatap cowok itu pancarkan kepadanya. Tangannya masih digamit. Mereka terpaku di balik pagar, saling berhadapan dan menatap. Satu, dua, tiga. Tatapan lembut itu berganti isyarat agar Dani segera naik ke motor. Sebelumnya cowok itu berbisik dekat wajahnya. Begitu dekat. “Taruh tangan lu di pinggang gua.”

Mata Dani menyorotkan kengerian. Dani menggeleng-geleng cepat sambil balas berbisik keras, “Nggak mau! Nggak mau!”

Namun cowok itu ternyata punya kiat lain agar Dani mengikuti kemauannya. Begitu motor sudah mereka tunggangi,  ia segera tancap gas sehingga mau tak mau Dani memeluk pinggangnya agar tak terjungkal. Dani masih bisa melihat sekilas pria besar dan perempuan itu mendekati pagar untuk melepas kepergian mereka. Ditangkapnya perasaan kecewa dan kehilangan dari sorot mata pria besar itu. Nyatakah itu?

Sesampainya di jalan raya Dani ingat untuk mencopot lengannya. Hati-hati Dani menggeser jarak duduknya sambil berpegangan pada bagian belakang motor. Dalam deru angin senja yang menggelap, ia mendengar sayup-sayup cowok itu berteriak, “Cowok yang tadi itu ngedeketin gua trus gatau napa. Najis gua. Trus pas dia dateng untuk yang ke sekian kalinya tadi, sebelum ketemu ama gua, langsung aja gua kepikiran buat nyulik lu, pura-pura jadi cewek gua. Barangkali aja dia entar mundur pas tau kalo gua ternyata normal. Untung aja gua pernah ngamatin kakak gua pacaran! Eh, tapi yang tadi itu pura-pura aja ya...”

Dani tak mendengar rentetan kalimat terakhir dengan jelas. Dani hanya menangkap kalau temannya itu sedang dikejar-kejar pria besar tadi. Tapi gara-gara apa? “Hah? Nggak kedengeran! Emang kamu ada utang berapa sama dia, sampai dia ngejar-ngejar kamu?”

Cowok itu tak menjawabnya. Mungkin karena tak bisa mendengar suaranya dengan jelas atau mungkin karena sedang konsentrasi mengemudi. Dani agak lega cowok itu kini tidak sengebut dan seserampangan sebelumnya. Lebih-lebih lagi Dani bersyukur saat ia sampai di halaman rumahnya dengan selamat. Dani meloncat turun dari dudukan motor sambil mencopot helm. Cowok itu mengambil kembali helmnya namun tidak segera pergi. Ia malah mematikan mesin motornya.

“Duh, langsung pulang nggak ya, gua?”

Dani memiringkan kepalanya, menangkap pancaran kebingungan dari temannya itu. “Emang kenapa?”

“Takut masih ada di rumah.”

“Main aja dulu, ke mana... gitu?”

Cowok itu memutar kunci motornya lagi. Gas menyala. “Iya ah. Gua main ke Genesis dulu aja deh.” Genesis adalah tempat rental RPG di dekat sekolah mereka.

Tanpa mengucapkan “makasih”, cowok itu minggat meninggalkan asap.

.

Menjelang larut malam. Kaki Dani menjuntai ke bawah. Dani duduk di tepi lantai semen tingkat tiga bangunan rumah yang belum jadi—rumahnya. Sepasang tangannya menggenggam harmonika perak kunci C. Keresahan menyelubungi jiwanya.

“Dan... Ayo tidur...!”

Berkali-kali sudah bapaknya itu berteriak. Dani tetap malas beranjak. Lantunan melodi La Vie en Rose yang mengalir mesra dari harmonikanya tak ingin ia rusak. Ah, bapaknya itu tak bosan-bosannya begitu.         Tidak tahu bah­wa Dani sedang ingin bercerita pada bulan dan bintang-bintang yang bertaburan di cerahnya angkasa, “Hai, bulan, bintang, malam ini hatiku berbunga-bunga dan aku tak bisa meredamnya...”

.

Di kelas, cowok itu adalah tipe orang yang bakal berjalan cepat ke bangkunya dengan cuek. Tanpa senyum, tanpa merengut, tanpa menoleh kanan kiri. Kehadirannya jarang terasa oleh siapapun. Teman perempuannya mungkin hanya Dani.

Dan mungkin hanya Dani pula yang merasakan fenomena aneh ini. Jantungnya jadi berdebar tak keruan. Semakin Dani mengingat cowok itu beserta segala pesona fisiknya yang baru disadarinya kemarin, semakin kencang pula gemuruh di dadanya. Bertalu-talu dengan kekuatan tinggi. Besar suaranya terdengar. Dug. Dug. Dug. Aih, Dani jadi makin resah. Dani jadi ingin terus memainkan harmonikanya. Biarlah dentuman-dentuman di hatinya ini menjadi pengatur ritme dari melodi-melodi romantis yang mendadak jadi senang dilantunkannya.

Ketika bayang cowok itu menjauh, debaran itu perlahan menghilang. Dani bisa menghembuskan nafas lega dan menjauhkan lubang-lubang harmonika dari katup bibirnya. Tapi ketika ingatan akan cowok itu kembali, aih, aih, debarannya jadi terasa kencang lagi!

Semalaman tadi hingga pagi ini batin Dani hanya berisi kegundahan belaka. Padahal pagi ini adalah pagi yang biasanya. Bangun subuh, pergi ke sekolah, bertemu teman-teman... Perasaannyalah yang jadi luar biasa. Hingga tidak dapat ditahankannya lagi. Kegundahan ini harus ada jawabnya. Setidaknya Dani harus tahu apa yang seharusnya ia lakukan dalam keadaan yang tidak menentu seperti ini. Sesuatu yang indah telah mengoyak ketenteraman hidupnya.

Maka, ketika cowok itu akhirnya memasuki kelas pada beberapa saat setelah bel masuk berbunyi—seperti biasa—dan hendak melewati bangkunya, dan debaran itu terasa kian kencang kian kencang... oh, apakah cowok itu akan menoleh sejenak dan tersenyum hangat?—satu, dua, tiga...

Cowok itu tidak tersenyum. Menoleh pun tidak. Tetap cuek seperti biasanya.

“Raka!” Perut cowok itu tertahan di lengannya.

Cowok itu memandangnya risih seraya mundur sedikit. “Kenapa lo?”

Dani meneguk ludah. “Kenapa sih kita harus pacaran?”

Cowok itu mengerjap-ngerjapkan mata sipitnya.

 

 (ah, desember yang resah...)

25 april 2009 * 19 desember 2009: 12.41 AM

Kamis, 17 Desember 2009

Anak Ayam Buruk Rupa

Permadani sersah berhiaskan bercak-bercak nyala yang jatuh dari sela-sela tajuk di atasnya. Jika terlalu lama di sekitarnya, akan terasa panas menyengat. Namun justru itulah yang menguarkan hangat dalam keteduhan di bawah naungan kanopi hutan.

Garukan kaki Mama Ayam pada sersah menambah riuh nyanyi para serangga yang melekat di batang pepohonan. Di sekitarnya, para juniornya meniru-niru apa yang dilakukannya. Penuh rasa ingin tahu mereka mengikuti ke mana induk mereka pergi. Ciapan mereka ikut menyemarakkan orkestra hutan. Mereka semakin ribut ketika Mama Ayam mencabut seutas cacing dari lubang yang baru digalinya.

“Mama! Mama! Aku dulu! Aku dulu!” begitu mereka terpekik-pekik girang. Tembolok mereka sudah minta diisi lagi. Belum cukup segala yang sudah tersimpan di dalamnya.

“Ayo, siapa tadi yang belum dapat?” tanya Mama Ayam masih dengan menjepit cacing di paruhnya.

“Aku! Aku!” semua berteriak.

Sebetulnya ia tahu giliran siapa sekarang. Ia hanya ingin menggoda anak-anaknya. Ia tak perlu menyuruh anak yang akan mendapatkan gilirannya untuk membuka mulutnya. Paruh semua anak sudah terkuak menganga. Cacing malang itu pun jatuh ke dalam lubang mulut Elena, salah satu anaknya. Ditelannya benda kenyal panjang itu bulat-bulat.

“Mama! Mama! Kapan giliranku lagi?” tanya Alicia, anak sulungnya, tak sabaran.

“Sabar, Nak...” Mama Ayam tersenyum akan polah anaknya itu sambil meneruskan kembali langkahnya.

Barbara, Colin, dan Delilah juga tampaknya sudah tak sabar pula ingin mendapatkan giliran mereka lagi. Loh, tunggu... tunggu... sepertinya masih ada yang kurang... batin Mama Ayam. Hm, mungkin ia masih di belakang, sibuk mencari makanan sendiri seperti biasa...

Cakar Mama Ayam kembali menyeruak tumpukan sersah di hadapannya. Anak-anaknya segera mengejar. Berkeliaran di sekitar induknya. Tak mau ketinggalan mendapati apapun yang tengah dilakukan induknya.

Cakar Mama Ayam berhenti tepat di atas seonggok bangkai ikan. Bagian perutnya sedikit terkoyak. Wah, kebetulan sekali kali ini giliran si bungsu yang dapat makan... batinnya. Lantas kepalanya celingak celinguk mencari sesuatu meski pandangnya hanya menangkap hamparan tegakan pohon dan lenggokan kebingungan kepala anak-anaknya yang ikut-ikutan berhenti.

“Ada apa, Mama?”

“Iya, ada apa? Ada apa?”

Ciapan yang saling menimpali itu dijawab Mama Ayam, “di mana ya Fiona?”

Raut wajah anak-anak ayam itu berubah jadi tidak senang. Pandangan mereka alihkan ke satu sama lain. Terdengar gumam-gumam pelan yang menyiratkan kedengkian.

Kepala Mama Ayam masih melenggok-lenggok. “Fiona, di mana kamu? Ada i—“

“NGAAAKKK!”

Ketentraman hamparan tumbuhan bawah Piper sp. terusik ketika sepasang cakar besar itu menginjak-injak mereka tanpa ultimatum sama sekali. Sesosok unggas berparuh amat panjang dengan sejumput acak rambut kepala melesat dengan kecepatan tinggi seraya memekik-mekik. Gerombolan anak ayam terlonjak lalu lari kacau balau menyelamatkan diri. Mama Ayam hanya mampu terpaku ketika paruh kuning kemerahan nan panjang itu nyaris terantuk dengan paruhnya yang kuning mungil namun tajam terpercaya. Tubuh makhluk yang sudah sedikit lebih besar dari dirinya itu menimpa bayang-bayang tajuk pepohonan.

“Mana ikannya, Mama?” anak itu berkoak lagi. Suara serak dan nyaringnya membuat anak-anak ayam yang sudah pada menyingkir itu bergidik. Masih pandangnya terpaku pada makhluk tersebut, Mama Ayam bergeser sejengkal dan memperlihatkan penemuannya. Kedengkian para anak ayam menjadi-jadi demi melihat rakusnya makhluk jelek itu saat melahap si bangkai ikan. Seonggok bangkai ikan yang mungkin akan mengenyangkan mereka semua tapi tidak akan pernah cukup bagi si bocah nista itu. Mama Ayam hanya bisa memandangi dengan hampa.

“Terima kasih, Mama!” koak anak itu kali ini tidak membuat para anak ayam gentar. Tatapan keji mereka layangkan. Mama Ayam mengangguk-angguk. Katanya, “apakah banyak ikan yang sudah kamu temukan tadi, Nak?”, yang dibalas dengan anggukan semangat, “ya, Mama, tapi rasanya aku belum cukup kenyang.”            

“Oh, begitu, kalau begitu mari kita cari makan lagi. Saudara-saudaramu juga sepertinya belum cukup kenyang.” Mama Ayam berbalik hendak terus masuk ke tengah hutan. Tidak mendapati anak-anaknya bergegas mengikuti seperti biasa, Mama Ayam mencari-cari. “Ayo, Anak-anak! Masih ada banyak makanan di sana...”

Dengan enggan, para anak ayam beranjak dan menjaga jarak sejauh mungkin dari saudara mereka yang lain rupa lain bentuk itu. Kalau tak sengaja beradu pandang, mereka akan segera melayangkan sorot mata penuh kebencian.

Mama Ayam yang menyadari itu hanya bisa menegur, “yang rukun ya, Anak-anak... Fiona, kalau cari makan jangan jauh-jauh ya. Nanti kamu tersesat.”

“Huh, biar saja dia tersesat. Jadi kita tidak usah sama-sama dia lagi...” desis Delilah pada Colin.

“Kenapa sih, namanya harus mirip dengan namaku? Sama-sama ada ‘na’ di belakangnya!” keluh Elena untuk ke sekian kalinya selama beberapa minggu kehidupannya.

Alicia, si sulung, hanya bisa mengusap punggung adiknya. “Sabar... Sabar...”

Barbara tak kalah sebalnya. Tapi ia tidak menemukan kata-kata yang cukup kejam untuk dilontarkan. Jadi ia diam saja dengan muka merengut.

Mama Ayam sudah tidak tahu lagi apa yang bisa dilakukannya agar mereka berhenti berbisik-bisik seperti itu. Ditegur berkali-kali sudah tidak mempan. Bukan hari ini saja mereka mendiskriminasi sesama saudara mereka itu, melainkan setiap kali mereka bersamanya. Dan itu hampir sepanjang hari. Ia hanya bisa berharap agar perasaan Fiona, anak angkatnya itu, tidak terluka demi mendengar semua perkataan yang menolak kehadirannya. Suatu kehadiran yang tiba-tiba. Ingatan Mama Ayam melayang...

Malam itu, dari balik kandangnya yang luas dan berpenerangan cukup, dengan anak-anaknya—yang belum berapa lama berhasil melepaskan diri dari belenggu cangkang—mencuri kehangatan dari balik kedua sayapnya, Mama Ayam dicemaskan oleh pemandangan yang terlihat dari balik jendela kawat. Tumpukan tebal jerami yang ditungganginya tidak cukup melarutkan kesadarannya ke alam mimpi. Terlihat olehnya garis zig zag keperakan melecut langit ungu. Butir-butir air meluncur dari sana, mulanya perlahan. Setetes demi setetes, hingga makin lama makin lesat menjadi peluru. Udara menggeliat pesat menjelma badai yang menghantam-hantam. Harmoni kanopi hutan di kejauhan goyah. Himpunan tajuk digoyang-goyangkan dalam irama yang tak beraturan. Kacaulah apa-apa yang berdiam di atas maupun di dalamnya. Peluru air kian bertubi ditembakkan langit, menambah porak poranda komposisi suara yang terdengar dari luar sana...

Keesokan paginya, sepasang tangan mungil menghantarkan makhluk itu ke dalam kandangnya. Dalam balutan kain handuk kumal, makhluk itu terlihat sama ringkihnya dengan anak-anaknya yang belum lama melihat dunia tersebut. O lihat ukuran badannya yang jauh lebih besar dari mereka, bulu-bulu cokelat-putih-hitamnya yang bercampur aduk dan nampak masih sedikit basah, sepasang mata yang menatap waspada serta curiga, dan paruh amat panjang yang begitu mengancam...     

Mama Ayam sedikit gentar. Ia tekan kepanikannya meski anak-anaknya gelagapan berebut tempat persembunyian yang aman di balik tubuh induknya. Setelah lama mengamati makhluk asing tersebut, Mama Ayam mendapat keyakinan bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan darinya. Makhluk itu sama membutuhkan perlindungan sebagaimana anak-anaknya sendiri. Maka makhluk itu direngkuhnya, membikin anak-anaknya tambah gelagapan karena tempat persembunyian mereka mendadak bergerak menjauh. Makhluk itu sempat menghindar hingga tersudut. Namun tak memberinya perlawanan apa-apa. Makhluk itu tidak berbahaya.

“NGAAAKKK!”

Ya, mungkin koakannya agak sedikit mengagetkan.

Koakan yang mengingatkannya akan para makhluk yang bersinggasana di atas hutan. Jumlah mereka amat banyak, mendominasi langit. Tidak pernah mereka sudi menjejakkan kaki di atas tanah, kecuali anak mereka, yang sebesar tubuhnya, yang terjatuh dari sarangnya. Bahkan untuk menjemput anak mereka yang sudah menyentuh tanah pun mereka tak sudi! Semakin bertambah rasa ibanya pada makhluk di hadapannya itu. 

Begitulah awal mulanya makhluk itu menjadi bagian dari keluarga kecilnya. Diperlakukannya makhluk itu hampir sama seperti anak-anaknya, apalagi setelah ia sadari bahwa makhluk itu juga tumbuh berkembang. Tentu makhluk itu membutuhkan asupan nutrisi juga, dengan porsi lebih, sebagaimana ukuran tubuhnya yang jauh lebih besar dari yang lainnya. Ia perhatikan juga, manusia yang biasa memberi ia dan anak-anaknya makan, memberikan jenis makanan yang berbeda pula pada makhluk itu. Sesuatu yang tak pernah ia lihat diberikan sebagai pakan khusus bagi bangsanya: ikan. Dalam jumlah yang cukup besar pula. Namun Mama Ayam tak komplain. Cukuplah semua dedak dan pakan buatan pabrik lainnya itu. Ditambah hasil mencari-cari sendiri di hutan seberang kandang.

Makhluk itu juga sungguh menarik perhatian. Tidak hanya manusia-manusia dengan rupa itu-itu saja yang biasa memberi makan yang kini suka mendekatinya—mendekati makhluk itu. Ada lebih banyak rupa manusia, memandang, mendekati, mencoba meraih makhluk itu. Kadang mereka berhasil dan kadang tidak. Makhluk itu mereka pangku, belai, dan sentuh dengan macam-macam benda. Sementara itu Mama Ayam dan anak-anaknya lebih suka menghindar tidak dekat-dekat dengan manusia. Jika Mama Ayam dan anak-anaknya sudah begitu jauh menghindar, makhluk itu akan melompat dari pangkuan manusia yang sedang menjamahinya dan bergegas menyusul.

Hari demi hari terus berganti. Anak-anaknya sudah lebih besar, termasuk makhluk itu. Dengan ukurannya yang sekarang, ia sudah hampir tidak muat lagi masuk kandang. Kalaupun berhasil masuk, maka ia akan membuat ayam-ayam yang di dalamnya kesempitan. Maka oleh para manusia itu, dibuatkanlah ia sebuah kandang sendiri di samping kandang Mama Ayam dan anak-anaknya. Meski demikian, seringkali makhluk itu memaksa masuk ke kandangnya yang sebelumnya, bersama para ayam.

Kebutuhan makan makhluk itu pun jauh lebih besar lagi. Sering Mama Ayam menangkap percakapan samar-samar para manusia,

“Dibuang aja ya cangaknya. Makannya banyak banget e... Ikan pula!” kata sebuah suara berat yang segera ditanggapi oleh sebuah suara nyaring dan cempreng, “jangaaaan! Tunggu sampai dia besar dan bisa makan sendiri, Pak e.”

“Lah, mau sampai kapan?” suara berat itu menanggapi. “Mau nggak para mahasiswa itu beli makan buat dia?” Lalu suara-suara manusia itu semakin menjauh hingga tak terdengar lagi.

Sehingga Mama Ayam dan anak-anaknya pun makin hari jadi makin lama menghabiskan waktu di hutan. Bukan karena belum kenyang mencari cemilan, wah tak terkira betapa melimpahnya apa yang mereka cari itu di hutan, melainkan karena menunggui makhluk itu puas mencari bangkai ikan yang berceceran di lantai hutan agar mereka semua bisa pulang bersama-sama. Ya, sementara Mama Ayam dan anak-anaknya memagut cacing, serangga, rayap, bekicot, dan hewan-hewan kecil lainnya, makhluk itu menyusuri lantai hutan hanya untuk mendapatkan bangkai ikan. Kadang ada pula yang jatuh menggelepar dari langit, menghantam tanah, lalu menggelepar lagi sebentar hingga tak bergerak sama sekali. Sering pula jumlah bangkai ikan yang ditemukan tidak memuaskan nafsu makan makhluk itu. Kalau sudah begitu, mau tak mau ia coba juga melahap yang induk dan para saudara angkatnya pagut. Maka para saudara angkatnya itu akan makin gencar saja memancarkan hawa permusuhan.

Jika makhluk itu sedang berada cukup jauh dari mereka, anak-anak ayam akan mencurahkan segala protes, keluh kesah, dan uneg-uneg pada induk mereka, atau lebih seringnya pada sesama mereka sendiri.

“Ma, kenapa sih makhluk jelek itu harus selalu bersama-sama kita?”

“Iya, udah jelek, gede, badannya nggak proporsional lagi. Liat aja, paruhnya panjang banget!”

“Makanannya juga beda sendiri. Ikan! Ikan gitu loh! Kita aja nggak dapet yang seperti itu!”

“Mama selalu menegur kita kalau kita ikut mencicipi ikan. Kata Mama, sisihkan itu buat dia, kita sudah cukup dapat makan yang lain. Padahal kan kita penasaran ingin tahu seperti apa rasanya yang dia makan!”

“Makannya banyak banget lagi. Perhatiin nggak sih, dia udah segede apa sekarang? Lama-lama, mama kita juga yang dia lahap!”

“Dia juga suka bikin manusia datang mendekat, kan kita jadi takut!”

“Aku benci dia!”

“Aku juga!”

“Kita semua benci dia!”

Mendengar semua cercaan anak-anaknya, Mama Ayam mencoba menjelaskan, “jangan begitu, Anak-anak.... Meskipun kita dan dia berbeda rupa, tapi sesungguhnya kita semua satu, sama-sama unggas!”  

Anak-anak ayam tak mau mengerti. Mereka tetap gencar melontarkan caci-maki. Dan menularkan tabiat itu dari generasi ke generasi.

.

Makhluk itu hanya bisa tabah menerima segala bentuk diskriminasi. Luka hatinya sudah sedemikian koyak hingga kebal dibubuhi ucapan-ucapan menyakitkan.

Kini ia sendiri. Induk yang dulu begitu memerhatikan dan menyayanginya sudah jadi pupuk di septic tank. Ya, sekian tahun telah berjalan. Para saudara angkatnya sudah tumbuh besar juga, tapi tak sebesar dirinya tentu. Sebagian entah sudah bertelur untuk yang ke berapa kali sedangkan sebagian yang lain entah bagaimana nasibnya sekarang— dibawa oleh para manusia itu entah ke mana. Kandang yang dulu sudah tidak ada melainkan diganti oleh kandang yang lebih besar. Jumlah anak ayam bertambah cukup banyak. Semakin banyak pula perkataan tak menyenangkan itu. Padahal ia merasa tak pernah mengganggu mereka. Malah sering ketika ada kucing yang coba-coba mendekati mereka, ia akan segera lari menghalau predator tersebut hingga terbirit-birit pergi. Namun apa yang ia dapat? Tak sejumput pun apresiasi melainkan gempuran caci maki. Siapa yang tidak sedih?

Manusia pun sudah tak hirau lagi akan dirinya. Semakin lama ia jadi lebih banyak di hutan, berusaha memenuhi sendiri kebutuhan makannya. Celah-celah banir Dipterocarpaceae menjadi tempat berlindungnya. Berharap setiap saat agar ada semakin banyak bangkai ikan yang jatuh dari langit. Tak jarang harapannya itu dijawab dengan sebercak kotoran yang mendarat di paruhnya. Sebercak kotoran yang kemudian disadarinya mirip dengan punyanya. Bukan sesuatu yang asing sebetulnya. Bercak kotoran ini ada di mana-mana, menimpa setiap jenis tumbuhan di hutan ini. Bahkan ada suatu tempat di mana hampir seluruh permukaan tumbuhan di sana berwarna putih karena kejatuhan kotoran macam ini.

Maka ia jadi suka memandangi langit. Menghapal sosok yang menelurkan kotoran sebagai yang punyanya itu. Ada banyak sosok serupa beterbangan di atas sana. Dengan kaki jenjang yang terkatup, membumbunglah para makhluk bersayap hitam lebar membentang itu. Saat mendarat di pucuk kanopi, terlihatlah jelas bagaimana sosok mereka. Paruh mereka amat panjang, sebagaimana paruhnya. Sebagian tubuh mereka, dari puncak kepala hingga leher, berwarna putih, sedangkan sebagian sisanya berwarna hitam, sebagaimana miliknya. Ia mematut bayangannya di genangan air bekas hujan semalam. Tidakkah ia dan mereka serupa? Namun kenapa aku tidak berada di atas sana? tanyanya. Ayam macam apa mereka? Ia coba mengepak-ngepakkan sayapnya dan meloncat-loncat. Tidak bisa. Tubuhnya terasa berat. Sayapnya, yang padahal lebar, terasa begitu ringkih. Mungkin memang sudah nasibku untuk tinggal di bawah sini, pikirnya, mungkin aku mengidap kelainan. Ia kembali celingukan, mengacaukan tumpukan sersah, demi mencari bangkai ikan yang siapa tahu terselip di sela-sela.

.

Keempat orang mahasiswa itu kompak menghalau serangan nyamuk yang segera menyambut begitu mereka memasuki kawasan arboretum. Para nyamuk berukuran relatif besar dengan loreng-loreng putih itu begitu bandel mengitari apapun yang berwarna hitam dan melekat di tubuh. Lama-lama capek juga mereka meladeni para nyamuk itu. Masak calon rimbawan takut nyamuk, begitu pikir mereka. Meski tak ayal rencana untuk membawa lotion anti nyamuk pada kunjungan berikutnya muncul dalam kepala. Melengganglah terus mereka ke semakin ke dalam hutan.

“Jadi kita ngapain sih?” tanya Ucok, salah satu dari mereka, tiba-tiba. “Kok kalian dari pintu masuk nunduk-nunduk terus.”

“Piye tho, Ndul? Wah... ra beres ki...” timpal seorang yang lain, yang berkacamata dan berkulit agak terang.

“Nyari bangke ikanlah! Penciuman lo kan tajam tuh... kayak anjing polisi...” seorang yang lain ikut nyablak

“Ah, males ah!” seru Ucok. “Biar Teh Iis aja deh yang nyari.”

Ucok tersenyum pada gadis di sebelahnya, yang hanya pasang tampang merengut. “Ayo, Cok, nyari juga...” katanya serius, punggungnya membungkuk terus sambil sesekali memasukkan sesuatu ke dalam plastik bening yang dibawanya.

“Aduh... Nggak ada cara yang lain ya buat ngidentifikasi pakan burung cangak?” Ucok mengusap-usap perutnya. Iis memalingkan muka, mencari ke arah lain.

“Yo kata Pak Wawan kan kita harus ngumpulin bangkai ikannya, bar iku diidentifikasi apa aja jenisnya.”

“Iya, Cok, ngerti gak lu, Cok? Kasian tuh anak-anak Perikanan kolam mereka ikannya abis, gak ada objek penelitian lagi tuh mereka.”

“Ha ha, beli aja ikan yang baru...”

“Ya, lu mau beliin?! Cangak di kampus kita tuh overpopulated tau!”

“Ah, udah ah, jangan pada berantem atuh! Yang penting ayo kita sama-sama tuntaskan PKM ini!” sergah Iis yang malah ditanggapi nyanyian Ucok.

“Ooo.. seperti ular! Seperti ular! Suka memangsa... Eh, di arboretum kita nih ada ularnya nggak sih—“

“Sst—sst—diem!” mendadak Bagus, yang sedari tadi bicara dengan logat Jawa kental itu, menepuk-nepuk Ucok agar bocah itu bungkam.

“Ada apa sih?” Benny—si logat Betawi, setengah berbisik. Ketiga orang lainnya segera mencari-cari arah pandang Bagus dan mendapati sesosok cangak dewasa dengan kaki menapak lantai sersah. Burung tersebut tampak tenang mengais-ngais tanpa sedikit pun menyadari kehadiran mereka. Benny mendesis, “belum pernah gua liat cangak sedekat ini...”

“Ssstt...” kali ini Iis yang menyemburkan desis. Tanpa mengalihkan pandangan dari si cangak, ia mengeluarkan kamera dari sakunya dan mulai mencari-cari angle yang pas. “Jarang-jarang nemu cangak dewasa lagi jalan-jalan gini...”

“Aneh yo...” gumam Bagus.

“Mungkin dia lagi capek terbang kali. Atau lagi pingin cari pengalaman baru ajaa...”

“Ssst!” Bagus, Iis, dan Benny kompak berbalik untuk membungkam Ucok. Dibegitukan, malah memunculkan suatu ide dalam benak anak Batak itu. “Eh, napa nggak kita tangkap aja si cangak itu? Terus kita observasi? Kita bedah perutnya trus liat apa aja yang dia makan?”

Teman-temannya tidak mau susah-susah memikirkan kemungkinan tersebut. Mereka kembali mengamati si cangak.

“Eh, gua jadi keinget sesuatu deh.”

“Apa Ben?”

“Inget gak, dulu Pak Sapto, penjaga kampus kita itu, kan pernah melihara burung cangak gitu. Tapi cangaknya masih kecil.”

“Oh iya, iya. Dulu sempet jadi bahan penelitiannya anak kelompok pengamat burung juga kan? Tapi gara-gara makannya banyak banget akhirnya dilepas ke sini kan?” Iis menambahi.

“Jadi maksud kalian, ini tuh cangaknya Pak Sapto yang dilepas itu?” ujar Bagus.

“Ya, secara tu cangak kan dipelihara ampe rada gede. Kapan dia belajar terbangnya coba? Jadi wajar aja kali dia ampe segede gini nggak bisa terbang...” Benny berkacak pinggang. Sikutnya menyenggol keras eboni di sampingnya. Sekonyong-konyong jeritan Benny menggoyangkan helai-helai tajuk. Si cangak pejalan kaki tersentak. Lekaslah ia berlari dari apapun itu yang sepertinya akan mengancamnya.

“Ih, Benny, lebay amat sih! Tuh kan, cangaknya jadi lari!” omel Iis.

“Ayo, serbu!” Ucok tancap gas. Ia mengayuh kakinya mengikuti arah si cangak berlari. Refleks teman-temannya mengikuti. Bagus segera menyusul di samping Ucok. Iis sedikit di belakang mereka. Benny paling belakang, masih mengaduh-aduh karena efek ‘kesetrum’ belum hilang dari sikutnya.

“Ayo kita bawa cangak ini saja ke Pak Wawan. Unik kan? Cangak yang nggak bisa terbang!”

“Terserah lu deh, Cok!” seru Benny dari kejauhan. Bagus menoleh lalu tak habis pikir mengapa dia tahu-tahu sudah ikut berlari bersama Ucok. Tapi nanggung kalau berhenti!

“Eh, eh, ayo kita jebak dia sampai ke pagar pembatas yang di depan sana itu! Bagus, kau ke kiri! Iis, kananku, yak! Benny, kau yang jadi pemandu soraknya, okay?!”

“Ah, apaan sih lu, Cok?!”

.

Tak terkira betapa takutnya makhluk itu. Sayapnya terus dikepak-kepakkan, berharap sepasang benda itu bisa berguna. Padahal ia sudah mengerahkan semua kemampuannya untuk berlari dan melewati celah-celah yang sepertinya tidak akan mampu dilewati manusia. Tapi para manusia yang ini gesit sekali! Mereka tinggal beberapa meter lagi di belakangnya, sementara beberapa meter lagi di depannya adalah pagar kawat.. Ya ampun, ia telah melampaui batas rawan! Dalam pengalaman kelananya mencari makan bersama Mama Ayam dan anak-anaknya, tak pernah mereka sampai sedekat ini dengan pagar kawat. Pagar kawat yang membatasi kehidupan syahdu hutan dengan hiruk pikuk dunia manusia beserta segala urusannya. Terang benderang di sana dengan sedikit permukaan yang tertutup hehijauan. Hanya ada kumpulan gedung yang teramat besar dengan banyak manusia berseliweran. Ah, manusia, sudah lama ia tidak pernah dijamah mereka dan ia pun tak suka mereka jamah. Kini makhluk itu terasa demikian menakutkan baginya.

Kepanikan terus memburunya, menyentak kalbu. Sebentar lagi ia akan menabrak pagar kawat itu—dan terkepung! Oh, entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Entah apa yang akan para manusia itu lakukan terhadapnya nanti. Ketakutan Mama Ayam dan anak-anaknya saat bertemu manusia merasuki dirinya. Apa yang akan Mama Ayam lakukan jika berada dalam keadaan genting seperti ini?!

Mama Ayam akan mengepak-ngepakkan sayapnya dan meloncat. Terus mengepak hingga cakarnya menggapai tanah. “Ini bisa sedikit meringankan bebanmu saat terjun ke bawah,” terngiang nasihat Mama Ayam suatu kali saat mengajar anak-anaknya teknik meloncat yang baik dan benar. Lalu ia akan mendarat di seberang pagar dan kembali ke kandangnya, pasti ada jalan memutar untuk ke sana, meski harus menghadapi rintangan manusia demi manusia.

Kali ini kepakan sayap makhluk itu berhasil melontarkan tubuhnya ke atas tanah, lebih tinggi dari yang ia kira, hingga sepasang kakinya lurus menjejak melewati pagar kawat. Aku tak mau jatuh, aku tak mau jatuh...  ucapnya berkali-kali dalam hati. Terus ia kepakkan sayap hitam lebarnya. Terus... terus... berharap agar tidak terlalu sakit nanti saat mendarat... Hei, kenapa aku tidak mendarat?

Suara keributan para manusia itu terdengar makin sayup-sayup, makin jauh, makin jauh...

“Eh, cangaknya ternyata bisa terbang!”

“Buset! Sialan tu cangak pake kecepirit segala! Mana kena pipi gua! Mana bau lagi!”

“Makanya kau jangan terlalu bersemangat, Ben...”

“Sialan lu, Cok! Sialan!”

“Kayaknya ini gara-gara kita kebanyakan ngerjain tugas, laporan praktikum, makanya kita jadi berhalusinasi...”

“Macam mana itu, bah!?”

Makhluk itu terus mengepakkan sayapnya, membumbung ke angkasa, meninggalkan wajah para manusia yang terpana, hingga cukup tinggi untuk melihat ke bawah...

Terperangah ia akan kemampuannya sendiri.

Kembali ia merosot ditarik bumi. Rupanya ia belum bisa terbang terlalu jauh dan tinggi! Dikepakkan lagi sayapnya. Merosot. Naik. Coba lagi dan coba lagi. Jika aspal yang ditapaki, ia kencang berlari, seraya menghimpun tenaga untuk mencoba terbang lagi. Sekali-kali harus dihindarinya macam-macam benda saat sedang berlari. Namun pada akhirnya ia bisa terbang lagi. Dan jatuh lagi. Terbang lagi. Semoga kali ini cukup tinggi. Yeah! Ia mencoba berputar menukik ke arah hutan, masuk ke dalam rerimbunan kehijauan, tersangkut-sangkut pada ranting demi ranting sebelum akhirnya kembali menghunjam tanah. Tidak apa-apa. Ia jatuh di kawasan yang tidak ada manusianya. Ia berlari dan mencari tempat persembunyian yang takkan terlihat oleh siapapun.

Dan ia sadari hidupnya akan segera berubah setelah ini.

Makhluk itu terus berlatih terbang. Sekali waktu ia berhasil menyembul dari balik tajuk, menyapa sesosok yang mirip dirinya. Sosok itu menoleh namun ia keburu terperosok. Tekadnya untuk mengasah terus kemampuan terbangnya semakin kuat. Ia ingin segera bisa bergabung dengan makhluk-makhluk serupa dirinya di atas sana. Ikut mencari makan di kolam-kolam yang jauh. Mendaftar dalam Komunitas Cangak Arboretum (KOMCATAR). Sekali-kali meluncurkan tai kepada para saudara angkat kejam beserta anak-anaknya. Kadang pula ia menjatuhkan sisa ikan yang dimakannya ke arah mereka. Mereka akan langsung berpencaran, kaget akan bom ikan yang datang tiba-tiba, sebelum kemudian mengerumuni potongan ikan itu dan mencacahnya dengan rakus, sampai seekor kucing datang mengacaukan. Mereka segera lari lintang pukang tak tentu arah. Akhirnya kucing itulah yang menghabiskan sisa santapan mereka.

Dan jauh di hamparan kanopi di atas sana, seekor cangak telah menemukan jati dirinya. Kini ia menjadi bagian dari titik-titik putih di tengah gumpalan-gumpalan hijau tanpa banyak celah. Berbahagialah hidupnya selama-lamanya bersama ratusan sosok yang serupanya.

 

 

8 maret 2009

17 desember 2009: 12.31 AM

teruntuk para anak cangak arboretum yang terjatuh dari sarangnya.

   semoga kalian dapat bertahan hidup.

Senin, 30 November 2009

Tusitala, Selesaikan Ceritamu!

Bel sekolah berbunyi. Aku tahu apa yang bakal segera kuhadapi.

Anak-anak berebutan ke luar kelas. Aku cepat bangkit dari bangkuku dan berusaha menyelinap di antara mereka. Tapi sesuatu menarik ranselku begitu kuatnya hingga aku terangkat dari keramaian. Aku diam saja dalam cengkeramannya sampai kelas menjadi agak sepi.

Bomantara menggiringku balik ke sudut kelas. Saking besarnya dia, aku sampai merasa ada gunung yang bakal runtuh ke badanku. Dia menyorongkan tangannya. Tidak usah banyak kata, aku tahu apa maksudnya. Semua anak dengan badan seukuranku tahu apa yang dia mau kalau dia sudah begitu. Dua orang temannya dengan badan yang tidak kalah besar muncul di kanan dan kirinya. Mereka ikut-ikutan memelototiku. Aku menggeleng. Mereka menggeram. Aku tetap menggeleng, balas memelototi mereka.

Dengan kasar, mereka menyentakkanku dari dinding tempat aku bersandar sedari tadi. Mereka merampas ranselku lalu menumpahkan semua isinya ke lantai. Mereka terus goyang-goyangkan ransel itu sampai tidak ada barang lagi yang terjatuh. Mereka teliti setiap kantong kecil yang tersembunyi di dalamnya. Tidak menemukan apa yang mereka cari, mereka merogoh-rogoh kantong baju dan celanaku sampai aku kegelian. Lagi-lagi mereka tidak mendapatkan apapun.

“Huh, dia bahkan nggak bawa cerita-ceritanya lagi!”

“Mungkin takut kita robek lagi kali.”

“Hahahaha, dasar pengecut!”

Mereka memandang satu sama lain lalu mencampakkan ranselku dan pergi.

Setelah mereka hilang dari pandangan, aku memasukkan lagi barang-barang yang berserakkan di lantai ke dalam ransel. Kurapikan sedikit seragamku sebelum kembali menggendong ransel. Aku menghembuskan nafas lega. Kini aku bisa pulang dengan tenang.

*

Halaman sekolah yang berpasir begitu gersangnya. Niat untuk membeli es krim langgananku semakin kuat. Tak kupedulikan orang-orang di sekitarku. Juga orang mencurigakan bertopi hijau yang barusan melewatiku dengan tergesa-gesa sambil menjinjing laptop yang kukenali sebagai laptop Nindya—anak cewek paling sombong di kelas. Juga Bomantara cs yang sedang menghempaskan korban baru mereka ke kolam pasir. Juga anak-anak yang dipukuli dengan ikat pinggang oleh guru piket karena tadi pagi adalah untuk ke sekian kalinya mereka terlambat.

Aku biasa membeli es krim langgananku di taman kota yang letaknya tidak jauh di seberang sekolah. Terik matahari dan keringat yang deras terasa di leher semakin mempercepat langkahku.

Hah, akhirnya sampai juga aku di bawah payung besar itu, yang menaungi mas-mas penjual es krim dengan gerobak es krimnya.

“Kayak biasa ya, Mas,” ujarku. Saat mas-mas tersebut sibuk menyekop es krim rasa coklat, stroberi, dan ketan hitam sesuai pesananku, kurogoh bagian dalam celana dalamku dan mendapatkan lipatan uang di sana. Kutukar es krim pesananku dengan benda tersebut dan kudapatkan segera kembaliannya.

Tekstur es krim tersebut begitu menggodaku hingga membuatku lebih memilih untuk memejamkan mata, meresapi rasa saat menjilatnya, daripada menghiraukan kericuhan yang tahu-tahu terjadi di belakangku. Dari kejauhan sempat kudengar jeritan seorang ibu-ibu, “Copet! Copet!”

Pahitnya coklat dan manisnya stroberi melumer dalam mulutku.

Lalu suara-suara kepanikan dari orang-orang di sekitar.

Asamnya ketan hitam menggelitik lidahku.

Dan suara-suara seperti benturan keras antara badan dengan badan. Mungkin si copet itu sedang dikeroyok.

Kepalaku terasa adem. Pahit, manis, dan asam bersatu membawaku terbang ke negeri es.

Riuh terdengar decak kagum dan tepuk tangan.

“Terima kasih, Nak, aduh, apa yang bisa ibu berikan buat balas budi sama kamu, ya?” Sepertinya suara ibu-ibu yang sama dengan yang berteriak “copet! copet!” tadi.

Aduh... Aduh... Enaknya es krim ini... Andai kembalianku masih cukup untuk membeli satu cone lagi... Saking enaknya sepertinya aku tak sanggup membuka mataku lagi. Tak kuindahkan lagi keadaan di sekelilingku karena kini aku serasa sudah di surga... 

Hingga terasa angin membelai sisiku. Sepertinya ada seseorang kini yang sedang berdiri di sana.

“Aku mau yang sama kayak anak itu.”

Refleks aku membuka mata, berhenti dari mimpi indahku, dan menoleh padanya. Sambil masih menjilati es krimku, kuperhatikan anak itu.

Wah, anak yang aneh. Dia lebih tinggi sedikit dariku. Dia memakai topeng yang menutupi setengah kepalanya. Dari pundaknya, seperti gorden kamarku, menjuntai jubah lebar sampai hampir menyentuh tanah. Bagian bawah jubahnya pasti sering kotor, aku melirik untuk membuktikannya. Apa ibunya tidak marah ya dia memakai pakaian yang seperti itu? Kalau ibuku pasti marah kalau aku main hingga pakaianku kotor dengan tanah. Ibu bilang aku tidak tahu betapa susahnya menghilangkan noda kena tanah di pakaian. Lebih saksama kumemerhatikannya, ternyata di balik jubahnya dia memakai pakaian ketat yang kelihatannya seperti pakaian dari beratus-ratus abad kemudian. Tahu kan, seperti pakaian yang digambarkan dalam cerita-cerita yang berlatar di masa depan? Kalau kamu tidak tahu, coba deh baca Doraemon atau 21 Emon. Aku iri dengan sepatunya yang sepertinya bisa berfungsi macam-macam itu. Imajinasiku bekerja. Kubayangkan sepatu itu bisa mengeluarkan api dari bagian bawahnya dan membumbungkan pemakainya ke angkasa.

Dan memang itulah yang terjadi.

Sebelum hal itu terjadi, dia menoleh padaku sambil menjilati es krim yang baru saja diterimanya. Dia tersenyum lalu terbang. Cone es krim terlepas dari pegangan tanganku sementara aku mendongak mengikuti geraknya dengan mulut terbuka. Hingga dia melesat pergi menembus matahari.

Belum habis rasa takjubku, namun aku yang tersadar pertama sementara orang-orang masih menatap langit dengan mulut ternganga. Kulihat es krimku yang sudah meluber ke tanah. Herannya, tak ada rasa marah. Yang ada hanya hasrat super kuat yang mendorongku untuk mengejar titik cerah itu ke manapun perginya. Kelezatan es krim tadi seolah telah menjadi charge bagiku hingga aku mampu berlari terus menyusuri lorong demi lorong kota. Tak kupedulikan buntut kucing yang terinjak, jemuran entah siapa yang nyangkut di kepala, hingga caci maki kakek tua yang entah apa yang telah aku lakukan padanya. Aku hanya sempat menoleh sebentar karena ada hal yang lebih penting yang harus kukejar!

Titik cerah itu kadang terlihat turun menghunjam ke balik bangunan-bangunan yang entah di mana. Maka aku akan lari ke arah sana. Belum sampai di tempat tersebut, tahu-tahu dia sudah melesat lagi ke angkasa. Kukejar lagi dengan kepala mendongak terus. Eh, tiba-tiba dia turun lagi. Tambah kencang lariku ke sana hingga kusadari dia sudah berenang lagi jauh di atas kepala. Jubahnya melambai-lambai ditiup angin seakan-akan mengucapkan selamat tinggal kepadaku. Tapi aku bertekad tak akan menyerah. Mungkin sampai ke ujung dunia pun dia akan tetap kukejar!

*

Hingga petang aku berlari dan kurasakan tenagaku sudah minim. Rasanya aku tak sanggup berlari lagi. Seragamku sudah basah oleh keringat dan dekil terkena macam-macam noda yang merupakan hasil tabrakanku dengan macam-macam benda di jalan. Dadaku sakit karena dipaksa memompa udara untuk menyambung nafasku. Aku sudah tak sanggup melihat lagi. Aku terduduk di undakan semen di halaman depan sebuah toko dalam suatu gang. Kutopang badanku dengan menjejakkan kedua tanganku di belakang. Aku coba mengatur nafasku yang ngos-ngosan hebat. Kakiku kuselonjorkan. Aku mendongak dan menghirup udara sebanyak-banyaknya masuk ke dalam paru-paru.

Detak jantungku belum benar-benar teratur ketika terdengar samar-samar keramaian mendekat dari kejauhan.

“....ling... Ma... ling...”

Aku tidak sempat waspada ketika seseorang menyepak kakiku dengan kerasnya hingga aku mengaduh dengan tak kalah kerasnya juga. Entah apa yang menggerakkanku waktu itu. Kuraih tungkai kaki orang yang menyepakku. Dia sudah bersiap untuk lari lagi namun malah terjatuh karena aku menahannya. Benda elektronik dalam pelukannya jatuh terpelanting beberapa meter di depannya hingga ada beberapa bagiannya yang copot. Orang itu menjejak-jejakkan kakinya agar aku mau melepaskan peganganku.

“Biar kubantu!” terdengar suara yang sama dengan suara yang tadi siang ada di sebelahku saat aku masih asyik menjilati es krim. Kulihat anak bertopeng itu, dengan sepatu canggihnya yang mengeluarkan api sehingga dapat membuatnya melayang di udara dan bajunya yang ditempeli beberapa tombol yang fungsinya macam-macam. Aku benar-benar ingat sekarang.

Sebuah adegan laga terjadi di depanku. Kulepaskan peganganku dari tungkai kaki si orang itu, yang kini sedang berjuang melawan berbagai deraan tinju dan tendangan dari si anak bertopeng. Namun badan orang itu jauh lebih besar. Setelah menyadari bahwa yang menjadi lawannya hanyalah seorang anak yang ukuran badannya lebih kecil darinya, kekuatannya bangkit. Dalam gerakan cepat, si anak bertopeng sudah berada dalam pitingannya. Anak itu mengaduh-aduh. Orang-orang yang mengejar maling berdatangan dan membuat suasana makin gaduh malah menambah kepanikkanku. Rasanya aku tak mampu bergerak. Mereka sudah hendak melakukan pengeroyokkan massal terhadap si maling ketika tahu-tahu malah terdengar teriakan kesakitan dari si maling tersebut. Aku melotot. Kami semua melotot (aku sempat menoleh ke sekitar sebentar). Sekujur badan anak bertopeng itu kini penuh dengan duri besar super tajam!

Tarikan nafas tertahan menggema ke udara. Si maling cepat-cepat melepaskan dirinya dari si anak bertopeng. Dia mengaduh kesakitan dengan tubuh berdarah-darah. Orang-orang cepat meringkusnya.

Duri-duri di sekujur badan si anak bertopeng lenyap seketika. Dia mengambil ancang-ancang untuk kembali terbang sementara tak seorang pun memerhatikannya karena terlalu sibuk dengan si maling. Kecuali aku.

Kukumpulkan sisa-sisa tenagaku untuk bangkit dan mengejarnya. Sebelum dia terbang terlalu jauh, aku meneriakinya. Suaraku terdengar serak. “Refuga!”

Sekali lagi, “Refuga!”

“REFUGAAAAA!”

Sepertinya setelah teriakan yang terakhir tadi, aku takkan mampu lagi mengeluarkan suara dari pita suaraku untuk sementara waktu.

Dia menoleh kaget lantas terbang menukik menuju kembali ke bawah “Kamu mengenaliku?”

Gantian aku yang tercengang. “Kamu nggak kenal aku?”

“Naiklah ke punggungku!”

Aku tak mengerti akan perintahnya. Aku menggeleng.

“Ayo!” Dengan tak sabaran dia mengangkatku dan tahu-tahu aku sudah duduk di atas punggungnya sementara dia melaju ke angkasa. Aku berteriak kencang. Kupegang pundaknya erat-erat.

*

“Di mana rumahmu?” tanyanya di tengah suara angin yang menderu-deru. Aku tak dapat membuka mataku saking kencangnya angin yang kami terobos. Baru setelah dia agak memelankan lajunya, aku bisa melihat ke sekeliling.

Langit di sekitarku. Ketika melihat ke bawah, aku tak kuasa untuk tidak terperanjat. Aku benar-benar terbang! Aku merasa sedang menatap layar komputer yang menampilkan hasil pencarian suatu lokasi dengan GoogleMap. Di bawah sana terlihat daratan berwarna-warni. Ada cokelat, abu-abu, hijau, putih, oranye genteng...

“Itu rumahku!” refleks aku berteriak ketika melihat warna kuning cerah sepreiku yang dijemur di atas genteng. Sial, sepertinya ibuku sudah tahu apa yang terjadi padaku semalam. Dia mendarat di atas semen tempat jemuran rumahku namun sepertinya dia lupa kalau aku ada di punggungnya. Dia berdiri begitu saja sementara aku terpelanting keras menabrak lantai semen. Tak terkira peningnya kepalaku.

“Wuua, jadi ini rumahmu?” Dia berkacak pinggang sambil melihat ke sekeliling. Tidak ada pemandangan yang benar-benar bagus sebetulnya. Hanya genteng, jemuran-jemuran yang menggantung, antena TV, barang-barang elektronik tak terpakai di bawah genteng, dan benda-benda tak berguna lainnya semacam itu.

“Jangan langsung pergi. Main dulu dong ke rumahku,” kataku sambil mengusap kepala yang ampun-ampunan sakitnya...

“Hm... Banyak kebatilan memanggilku sejak aku sampai di bumi siang tadi. Baiklah, aku istirahat sebentar di rumahmu.” Dia mengangguk lalu duduk di atas lantai semen. Katanya lagi, “Sederhana sekali ya rumahmu.”

“Ini cuma bagian atapnya. Ayo ikuti aku.” Aku memberi isyarat padanya agar mengikutiku menuju tangga ke lantai di bawah tempat jemuran ini yaitu lantai 2 di mana di sana terdapat juga kamarku.

Sepanjang perjalanan menuju kamarku, kuperhatikan dia celingak celinguk tiada menentu seakan-akan semua yang dilihatnya adalah hal yang baru. Begitu sampai di kamarku, kusuruh dia duduk di karpet dan diam di sana sampai aku kembali lagi. Aku hendak ke lantai bawah sebentar, mengambilkan apapun yang nanti bakal kutemukan di kulkas dapur yang dapat dia makan. Begini-begini aku cukup tahu cara menjamu tamu juga loh.

Saat aku kembali dia sedang mengamati mainan-mainanku yang tertata rapi di balik rak kaca. Bagus sekali dia tidak coba-coba menyentuhnya.

“Es krim datang...” ujarku ceria. Dia buru-buru duduk manis di atas karpet sementara aku menurunkan baki berisi dua mangkuk besar es krim.

“Es krim! Wah, kamu juga tahu apa kesukaanku!” Dia menjilat bibirnya, tampak tak sabar menyerbu semangkuk besar es krim yang kubawakan. Dengan hati-hati kusodorkan sendok kecil yang segera disambarnya.

“Aduh, aku lapar sekali. Seharian ini aku baru makan es krim sekali! Wah, es krim rasa apa ini? Hm...”

“Itu rasa durian. Di tempatmu nggak ada yang kayak gitu kan? Hahaha, ku selalu tahu apa yang kau mau...”

Dia berhenti menyekop es krim. Kepalanya mengarah tegak padaku. Kalau topengnya dibuka, aku pasti dapat melihat sorotan tajam terpancar dari matanya.

“Siapa sebenarnya kamu? Kenapa kamu tahu namaku? Bahkan sampai tahu apa kesukaanku?”

Dan waspada.

Aku menelan ludah. Suasana mendadak jadi tegang dan tidak mengenakkan. Sama tidak enaknya jika ibu pulang nanti, menemuiku, dan memarahiku atas apa yang kulakukan pada seprei kuning cerahku semalam.

“Sebenernya aku nggak cuma tahu kalau nama kamu Refuga dan kamu suka makan es krim. Aku juga tahu kalau kamu datang dari Planet Pahlawan untuk mengejar seorang penjahat luar angkasa yang amat jahat...!” aku mendesis, “Karena jika kamu berhasil menangkapnya, kamu akan lulus ujian dengan nilai A+++ tapi kalau tidak, nyawamulah yang mungkin melayang.”

Dia menjatuhkan sendoknya.

“Aku juga tahu kalau kamu murid terpintar di kelas Pahlawan Terbang, juga di kelas Pahlawan Canggih, jadi kamu bisa ikut kelas akselerasi. Karena kamu sangat pintar, maka kamu dipercaya untuk menangkap penjahat yang satu ini,” kulanjutkan pengetahuanku tentang dirinya sambil menjilati sendok es krimku dengan santai. Kusembunyikan rasa banggaku karena melihat keterpukauan yang menghiasi wajahnya. Dia bahkan tak sanggup menyendokkan es krim lagi kini. “Dan kamu lupa pamit sama ibu kamu kan pas kamu mau ke sini?

“Nah, namamu itu sebenernya berasal dari kata ‘Refugia’ yang artinya ‘tempat menyelamatkan diri’. Tapi aku lupa dari bahasa mana itu...” lanjutku lagi.

“...S... Siapa kamu sebenarnya?” desisnya.

Aku diam sejenak sebelum melanjutkan, “Aku pengarang.”

“Apa itu?”

“Aku mengarang. Membuat cerita.”

“C—cerita?” Sepertinya dia sulit memahami kata-kataku tadi. Dia menunduk sebentar, menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan sulit menerima semua kenyataan ini. Di balik pembawaanku yang sok santai ini pun sebenarnya diam-diam aku mengawasi gelagatnya juga.

“Ya, dengan cerita aku bisa nyampein pikiran-pikiranku tentang orang-orang, apa yang harusnya mereka lakuin...”

“Baiklah Pengarang, jadi...”

“Pengarang itu bukan nama, Refi...” iseng aku memanggilnya dengan panggilan kesayangan ibunya yang membuatnya jadi cemberut. “Jadi kalau kamu mau memanggilku, panggil saja aku Tusitala. Teman-temanku biasa manggil aku Uta sih, lebih singkat soalnya. Tapi aku sendiri sebetulnya lebih suka dipanggil Tusitala.”

“Lalu apa arti namamu—sebagaimana kamu tahu arti namaku—?”

“Dalam Bahasa Samoa, namaku itu berarti ‘pengarang’.” Aku selalu suka saat mengucapkan kalimat ini pada orang-orang. Kurasakan mataku berbinar saat mengucapkannya.

“Apa itu Samoa?”

“Samoa itu nama pulau di dekat Selandia Baru.”

“Apa itu Selandia Baru?”

“Ah, udahlah, lupain aja.” Dia melongo. Melihat itu aku jadi tidak tega, jadi aku melanjutkan, ”Lagipula kedua orangtuaku sendiri, yang ngasih nama itu, malah nggak tahu kalau namaku punya arti kayak gitu. Mereka kasih aku nama itu karena itu akronim dari nama mereka: esTU suSIlo dan rosiTA kumaLA. Dan kalau dibuat jadi akronim yang seperti itu, kedengarannya unik aja. Jarang-jarang kan ada orang yang namanya kayak aku? Jadi, arti nama kita sama-sama bagus kan?”

“Kamu tahu semua tentangku.”         

“Ya.” Kukulum sesendok es krim.

“Apa kamu mengetahui segalanya?”

“Nggak semuanya banget sih.” Aku menggaruk leherku. Kalau aku bisa mengetahui segalanya pasti aku bisa dapat 10 untuk semua ulanganku dan tidak usah kena marah ayah setiap pembagian rapot tiba.

“Apa kamu tahu di mana ‘dia’ bersembunyi?”

“’Dia’?” Aku terperangah.

“Ya! ‘Dia’!” Tubuhnya bergetar.

“Siapa?”

“Kamu tahu siapa?”

Seingatku aku tak pernah menciptakan seorang tokoh penjahat dengan julukan yang sama dengan tokoh penjahat yang ada di Harry Potter.

“Shakuntala maksudmu?”

“Ya! Ya!” Bisa kurasakan antusiasme tingkat tinggi menjalar dari dirinya.

Aku termenung. Setelah kurasakan dia sudah tak sabaran menunggu jawaban tak kunjung juga terlontar dari mulutku, dengan berat hati kukatakan, “Belum kupikirkan.”

“Apa?! Apa yang belum kamu pikirkan?”

Aku tersentak dengan pertanyaannya lantas menggeleng. “Ng—nggak, aku nggak tahu, Refuga. Aku nggak tahu di mana dia berada.”

“Tapi bukannya kamu tahu segalanya?”

Aku menggeleng cepat-cepat. “Ng—gak! Aku cuma tahu hal-hal yang ingin aku tahu aja. Udahlah, nikmatin aja es krimnya! Entar keburu meleleh loh!”

“Jadi benar kamu tidak tahu?”

“Suer... Bener...”

“Berjanjilah padaku, kamu akan segera memberitahuku begitu kamu tahu di mana dia bersembunyi! Dia sangat berbahaya!”

“Te—tentu...” Aku mengangguk-angguk. Hah, aku juga ingin tahu dari dulu... Kalau saja aku tahu... “Ayo, dimakan lagi es krimnya!”

Dia mengangguk lalu kembali melahap sendok demi sendok es krimnya dengan rakus. Mungkin seharusnya kuberi dia sendok dengan ukuran yang lebih besar. Atau mungkin dengan ukuran yang jauh lebih kecil...? Dalam beberapa detik saja bagian dalam mangkok itu sudah licin. Ganti sekitar bibirnya kini yang dia jilat. “Terima kasih ya.”

“Mau tambah?” Aku masih terpaku kaget karena kecepatan makannya itu. Belum ada yang menyaingiku di rumah ini dalam rekor makan es krim tercepat.

“Sebetulnya aku ingin. Tapi kebatilan memanggilku untuk segera kubereskan.” Dia sudah berdiri lagi di atas kusen jendela, siap untuk meloncat terbang. Jubah berwarna cerahnya berkibar-kibar tertiup angin, memberikan kesan artistik. Gerakannya kini benar-benar secepat angin. Mungkin karena energinya sudah penuh di-charge semangkok besar es krim. “Banyak sekali kebatilan terjadi di tempatmu ya.”

“Yah begitulah negriku...” Aku tertawa getir.

“Saking banyaknya aku sampai harus mengabaikan kebatilan-kebatilan yang terjadi di dalam ruangan.”

“Ya, di mana-mana itu bisa kejadian kan...”

“Contohnya, saat sedang ada kesempatan mencari-cari tempat persembunyian musuhku itu, secara tak sengaja aku mengamati sebuah ruangan kelas di suatu bangunan sekolah. Sepertinya suasana di kelas itu sedang ujian. Aku cukup menyesal tadi saat mengabaikan anak-anak yang mencoba menipu gurunya. Diam-diam mereka saling melihat jawaban satu sama lainnya.”

Aku mengernyitkan dahi.

“Ah, masih banyak lagi kebatilan-kebatilan lainnya yang aku abaikan...” Dia menggeleng-gelengkan kepala, mengesankan betapa kuat penyesalannya. Dia memamerkan deretan rapi giginya yang putih sebelum terjun ke langit yang menjingga.

“Main lagi ke sini ya!” pekikku. Dia melambaikan tangannya tanpa menoleh lagi. Kukejar kepergiannya sampai badanku tertahan oleh kusen jendela. Sejenak tak kupedulikan mangkok es krimku yang tumpah tertendang. Tercetus suatu ilham di kepalaku yang menggerakkan badanku saat itu juga. Aku membuka lemari bajuku dan mengeluarkan sebuah kotak sepatu. Dari dalamnya kuambil sebuah buku tulis. Di bagian sampulnya tertulis: “Refuga, Pahlawan Pembasmi Kebatilan dan Pembela Kebetulan.”

Hawa dingin menjerat tengkukku. Aku merinding. Inilah karya terlaris yang pernah kubuat...

*

Aku ingat saat-saat di mana aku masih begitu semangat menuliskannya. Setiap satu bab selesai, segera kugandakan menjadi beberapa kopi dan kubagi-bagikan pada teman-teman sekelasku. Bahkan ada yang sampai menyebar ke kelas lain juga. Tak terkira betapa cerahnya hatiku mendengar komentar-komentar mereka, baik yang hangat, panas, maupun dingin. Aku menerima semuanya dengan penuh suka cita. Bahkan bu guru pun bilang dia menyukai ceritaku yang ini di antara cerita-cerita lainnya. Dia selalu menantikan kopian bab-bab selanjutnya tergeletak di atas mejanya. Dia tak pernah henti memotivasiku agar melanjutkan cerita ini. Tak lupa dia juga memberikan masukan-masukan untuk perbaikan. Semua kuterima dengan lapang dada. Bu guru selalu berpesan, suatu cerita akan hidup ketika dibaca oleh banyak orang dan mereka semua dapat menarik manfaat darinya. Betapa aku mencintai ibu guruku itu daripada kedua orangtuaku yang lebih senang menyalah-nyalahkan diriku.

Lalu semuanya terhenti begitu saja.

Mungkin dikuranginya uang jajanku adalah akar penyebabnya. Jadi begini ceritanya, karena terlalu asik mengarang, aku jadi melupakan pelajaranku. Nilai-nilaiku pun turun. Ayahku marah besar dan uang jajanku dikurangi deh. Sejak saat itu uang jajanku hanya cukup untuk membeli tiga tangkup es krim kesukaanku. Biasanya kan bisa dapat lima tangkup. Belum lagi anak yang biasa dikerjai Bomantara cs mendadak pindah sekolah (aku bisa memperkirakan apa penyebabnya) sehingga sasaran utama kejahilan mereka berpindah padaku. Aku harus menjaga sebaik mungkin uang jajanku yang hanya sedikit itu dari tangan-tangan kotor mereka. Aku tidak bisa menemukan tempat persembunyian terbaik selain di dalam celana dalamku. Mereka bisa mengobrak-abrik ranselku, membuka-buka setiap kantongnya, bahkan hingga ke kantong bajuku, tapi mereka pasti takkan pernah kepikiran untuk sampai merogoh-rogoh celana dalamku juga. Maka kiatku itu berhasil dengan gemilang. Aku bisa tetap membeli es krim sepulang sekolah dengan uang yang tersimpan aman dalam celana dalamku selama seharian. Lama-lama mereka gemas juga karena tak pernah bisa berhasil merampas uang dariku. Pada puncak kemarahan mereka, di mana lagi-lagi mereka tak bisa menemukan uang padaku, mereka mencoba mencari-cari barang berharga lainnya dalam ranselku. Mereka pun menemukannya. Satu kopi bab terbaru dari serial “Refuga: Pahlawan Pembasmi Kebatilan dan Pembela Kebetulan” yang sebetulnya mau kuberikan pada ibu guru langsung di ruangannya. Tanpa membacanya, mereka mengejek habis-habisan ceritaku itu lalu merobeknya hingga menjadi serpihan-serpihan kecil.

Entah kenapa peristiwa itu menjadi besar dampaknya bagiku. Aliran ide dalam kepalaku berhenti seketika. Hasrat untuk melanjutkan cerita menguap sudah. Aku jadi tidak tahu apalagi yang harus kutulis dan aku juga melupakan apa-apa yang pernah kutulis. Permintaan untuk melanjutkan cerita tak pernah lagi kugubris. Termasuk pertanyaan-pertanyaan dari bu guru. Aku jadi selalu menghindarinya setiap kali kami ada kesempatan bertemu. Dia mungkin kecewa padaku tapi aku lebih-lebih tak mengerti akan apa yang terjadi pada diriku sendiri. Selanjutnya kuturuti saja perintah kedua orangtuaku agar fokus pada pelajaran.

Belum sempat aku membaca-baca bagian dalam buku tulis tersebut, terdengar suara dari lantai bawah memanggilku untuk turun. Saatnya nonton berita bersama. Ayahku memang mendidik anak-anaknya agar selalu up-to-date akan informasi-informasi terbaru. Maka itu, setiap sore kami harus duduk berkumpul di ruang keluarga, makan malam sambil menatap layar kaca yang menayangkan berita.

*

Petang itu, mataku tak bisa lepas dari setiap siaran berita yang ditayangkan di TV. Tumben-tumbenan aku marah kalau ada yang coba-coba mengusikku saat sedang nonton berita—biasanya aku malah senang kalau diusik. Aku menanti-nanti segala berita tentangnya. Kehadiran Refuga telah menjadi sebuah fenomena.

“Kita kembali dengan berita tentang bocah bertopeng.” Wanita penyiar di hadapanku memperbaiki posisi duduknya. Di sudut kanan atasnya muncul kotak gambar yang kemudian membesar dan menutupinya. Tanpa mengangkat pantat, aku memajukan kursiku hingga mataku hanya tinggal beberapa puluh sentimeter saja dari layar TV. Bisa kurasakan para anggota keluargaku membayangi di belakangku.

TV menampilkan gambar atap gedung-gedung di kawasan alun-alun kota. Aku mengenali salah satu gedung sebagai gedung bioskop tempat ayah biasa mengajakku nonton. Kuperhatikan saksama gambar tersebut dan mendapati sekelebat sosok seorang anak berkostum cerah. Ujung jubahnya melesat dramatis sebelum dia benar-benar menghilang di balik atap salah satu gedung. Selanjutnya adalah beberapa lagi hasil rekaman video amatir yang menunjukkan kehadirannya. Namun tak ada satupun yang dapat menangkap sosoknya secara utuh melainkan hanya bayangan-bayangan sekelebat saja. Rangkaian video amatir kiriman pemirsa tersebut disambung dengan rangkaian kesaksian beberapa warga yang mengaku pernah melihatnya. Mereka hanya bisa bilang bahwa dia adalah seorang anak dengan topeng menutupi sebagian muka dan memakai baju berjubah berwarna cerah tapi modelnya sangat tidak umum. Selanjutnya adalah kesaksian para penjahat yang telah berhasil dibekukan olehnya. Mereka bersaksi dari dalam markas polisi akan apa yang telah dia lakukan terhadap mereka. Betapa dia selalu berhasil membuat mereka jadi tak berdaya karena tenaganya yang amat kuat. Seorang penjahat mengaku, “Ia tak akan kalah meski diserang oleh senjata apapun. Ia memiliki segala macam senjata dari pakaiannya!”

“Kehadirannya merupakan jawaban atas tindak kebatilan yang akhir-akhir ini semakin marak terjadi di kota kita. Masyarakat menobatkannya sebagai pahlawan yang menjaga ketenteraman kota. Namun, siapakah dia sebenarnya?”

Itulah kalimat yang kudengar terakhir kalinya dari si wanita penyiar pada malam itu karena ayah menyuruhku naik kembali ke kamar untuk belajar.

*

Kehadiran Refuga di kota ini langsung menjadi topik pembicaraan yang hangat di kelas keesokan harinya. Teman-teman sekelasku membentuk beberapa kumpulan tapi yang mereka semua bicarakan hanya tentang Refuga! Macam-macam yang mereka bicarakan. Dari mulai kehadirannya yang tiba-tiba, pakaiannya yang keren, aksinya dalam memberangus setiap penjahat, sampai mereka-reka darimanakah asalnya.           

Namun anehnya, sepertinya tak ada seorang pun yang ingat bahwa siapa yang mereka bicarakan adalah siapa yang pernah mereka baca kisah-kisahnya dari fotokopian yang dulu sering kubagikan. Tak ada yang sadar bahwa Refuga adalah tokoh ciptaanku yang tiba-tiba hidup menjadi nyata. Sebegitu dangkalkah arti ceritaku buat mereka sehingga dengan mudah mereka melupakannya? Memang sih sudah lama sekali aku tidak lagi melanjutkan cerita tentang Refuga... Haah, semangatku untuk jadi pengarang kian padam. Mungkin aku memang tidak berbakat dan pupuslah sudah harapanku menjadi seorang pengarang besar.

Sekilas dalam pandanganku terlihat teman-teman sedang mencoba memperagakan aksi Refuga yang sempat terekam oleh seorang amatir dan ditampilkan di TV. Mereka meloncat-loncat dari atas bangku dan jatuh berdebum di ubin. Suasana kelas makin gaduh saja jadinya.

“Hei, Uta, memangnya kamu nggak tertarik dengan Refuga?”

Seorang teman menepuk bahuku hingga aku tersadar dari lamunanku yang sudah mengawang-awang.

Huh, aku pun malas mengingatkan mereka. Buat apa? Aku sudah tidak punya harapan lagi akan ceritaku itu. Kembali aku dalam lamunanku sambil pura-pura menyimak obrolan mereka. Semua yang mereka bicarakan tentu saja aku sudah mengetahuinya.

“Uta, kamu kenapa sih?” Temanku yang tadi menepuk bahuku kembali mengganggu. “Jangan-jangan kamu belum tahu Refuga? Dia keren sekali loh!”

Dia menandak-nandak, memperagakan aksi Refuga saat baru mendarat untuk menghadang musuh. Aku menggeleng malas. “Masak kalian nggak tahu sih, cerita tentang Refuga itu yang bikin kan aku. Kalian udah pernah baca. Tapi sekarang sikap kalian kok kayak yang Refuga itu sesuatu yang baru aja. Masak kalian nggak ingat sih?”

Tidak hanya temanku itu yang menatapku, melainkan teman-teman yang lain juga.

“Memangnya kamu bisa bikin cerita?” tanya salah satu dari mereka.

Aku terhenyak. Mereka kembali asyik memperbincangkan Refuga.

Hari itu berlangsung seperti biasa. Dan aku sampai pada keputusan bahwa aku akan benar-benar melepaskan cita-citaku menjadi seorang pengarang. Aku mau jadi dokter saja, seperti impian kedua orangtuaku.

Saking tidak semangatnya diriku, aku sampai lupa untuk mampir dulu di taman kota dan membeli es krim. Satu-satunya keinginanku hanyalah cepat sampai di rumah dan ambruk di karpet kamar. Aku bahkan tidak menghiraukan ibu yang berteriak dari dapur menyuruhku makan siang. Begitu ambruk di karpet kamar, kusadari suatu bayangan menimpaku. Aku mendongak ke arah jendela dan mendapati Refuga berdiri di sana.

“Hai, Tusitala. Aku kebetulan lagi terbang di atas sana. Terus aku lihat kamu di kamarmu. Jadi aku mampir deh,” ujarnya ceria. “Ada es krim?”

Aku mengangguk dengan sumringah. Segera ku berlari ke bawah, ke dapur. Ibu mencegatku agar aku makan siang. Kubilang ada temanku di lantai atas dan aku buru-buru hendak menjamunya. Jadi ibu menyiapkan dua piring makan siang dan dua mangkok besar es krim untukku. Dengan semangat aku berlari menaiki tangga dengan membawa baki berisi sepasang piring dan mangkok tersebut.

“Bagaimana harimu, Refuga?” tanyaku begitu dia menyendokkan es krim ke dalam mulutnya. Tampaknya dia sama sekali tidak tertarik dengan piring makan siangnya. Ketika dia membuka mulut lagi mengalirlah cerita-cerita petualangannya menjelajah kota seharian itu, menindaki para penjahat sambil mencari-cari di mana Shakuntala bersembunyi.

*

Begitulah sejak itu siang-siangku diisi. Begitu bel pulang sekolah berdering, aku cepat-cepat bangkit dari bangkuku. Dengan lincah kuterobos kerumunan anak-anak di depan pintu hingga Bomantara cs bahkan hanya bisa menangkap kelebat sosokku. Kadang kala aku mampir dulu ke taman kota untuk membeli dua cone es krim dengan pilihan rasa yang sama. Begitu sampai di kamarku, kadang sudah kudapatkan Refuga duduk di kusen jendela. Kadang juga aku harus menunggunya selama beberapa lama hingga es krim yang kubawa harus kumasukkan dalam kulkas dulu. Begitu dia datang, langsung kusambut dia dengan sumringah, “Apa yang terjadi di kota hari ini, Refuga?”

Maka Refuga akan melesat masuk dalam kamarku. Sambil mengaso, dia menungguku mengambil makanan yang bisa kami icip bersama. Apalagi kalau bukan es krim?

“Kalau kamu tahu tanda-tanda di mana Shakuntala mungkin bersembunyi, jangan lupa kasih tahu aku, ya,” begitu pesannya dalam setiap kali kedatangannya.

Kedatangan Refuga selalu kunantikan. Dia menjadi sahabat baruku. Sahabat terbaik. Redupnya semangat karena putusnya asaku menjadi seorang pengarang, kini jadi ternyalakan kembali olehnya. Apalagi saat mendengar cerita-ceritanya.

“...dan akhirnya si preman itu aku serang dengan gas bau.” Dia menunjuk salah satu tombol di pakaiannya. Saat ini dia sedang menjelaskan satu per satu fungsi tombol-tombol yang melekat di pakaiannya tersebut. Meskipun sebenarnya aku sudah mengetahuinya.

“Wah, kamu seharusnya ke sekolahku dan menyerang Bomantara cs dengan gas bau. Kalau perlu, bau yang bau banget sekalian!”

“Siapa Bomantara cs?”

“Mereka itu anak-anak jahat berbadan gede yang dipimpin oleh anak yang badannya paling gede di sekolah. Namanya Bomantara. Mereka itu suka menyiksa anak-anak yang badannya lebih kecil dari mereka. Mereka juga suka merampas uang jajan.”

“Wah, kalau sudah besar nanti mereka pasti juga suka merampas uang rakyat.”

“Tidak diragukan lagi...” Aku mengangguk-angguk dengan mulut penuh nasi. Aku sedang makan siang dengan nasi kuning sisa sarapan tadi sementara Refuga sih cukup makan siang dengan es krim saja. Dia tidak suka makanan bumi selain es krim rupanya.

“Oh ya, Tusitala...”

“Panggil aku Uta aja.”

“Kenapa, bukannya nama kamu Tusitala?”

“Uta aja. Soalnya aku bukan lagi ‘tusitala’. Aku sudah berhenti jadi pengarang.”

“Kenapa, bukannya kamu seorang ‘tusitala’? Pengarang? Justru itu aku mau menanyakan tentang itu.”

“Kamu mau tanya apa?”

“Pengarang itu ngapain sih?”

“Ya ngarang cerita. Nulis-nulis gitu.”

“Apakah pengarang itu sama dengan pahlawan?”

“Ya, pengarang itu pahlawan masyarakat.”

“Kenapa begitu?”

“Karena...” Aku berpikir sejenak. Ingat kata-kata bu guru yang selalu dia lantunkan padaku. “Dengan menjadi pengarang, kita bisa memberi manfaat sama orang-orang. Misalnya orang-orang baca karangan kita, terus mereka jadi terhibur atau kepikiran untuk melakukan sesuatu yang baik, begitu....”

“Terus kenapa kamu berhenti jadi pengarang?”

“Aku nggak tahu. Sejak Bomantara merobek-robek salah satu ceritaku, ide-ide cerita di kepalaku tiba-tiba macet dan aku ngerasa nggak bisa menulis apapun lagi. Lalu ya sudah aku berhenti begitu aja.” Tak kubillang bahwa cerita yang dirobek-robek Bomantara itu adalah cerita tentangnya.

“Ah, itu kan cuman perasaanmu saja.”

“Udahlah, Refuga...”

“Seorang pahlawan tidak boleh berpikiran seperti itu.” Dia menggeleng-gelengkan kepala. “Meskipun dia pernah dikalahkan, tapi bukan berarti dia bisa begitu saja memutuskan untuk berhenti jadi pahlawan. Selama dia masih punya kekuatan, dia punya tanggung jawab untuk melindungi yang lainnya.”

“Aduh Refuga, kamu nggak tahu sih. Jadi pengarang itu susah tahu. Nggak segampang memencet tombol-tombol di baju. Kamu harus ngarang cerita dan itu bisa rumit banget! Udah susah-susah meres otak, belum tentu ceritamu bagus. Terus meskipun kamu udah ngerasa bagus pun, orang-orang belum tentu bilang kayak gitu juga. Makanya udah ah aku mau berenti jadi pengarang aja.”

Dia tampaknya tidak paham dengan omonganku meski terlihat serius menyimak.

“Ngomong-ngomong, apa kamu sudah menemukan petunjuk keberadaan Shakuntala?”

“Yah, itu dia! Belum...” Lagi, dia menggeleng kecewa. “Tidak enak juga nih aku kalau kelamaan di bumi. Apalagi kemarin aku tidak pamit sama ibuku.”

“Kalau gitu kamu balik aja dulu ke rumahmu, pamit, terus balik lagi deh ke sini.”

“Malas ah. Nanti aja kalau Shakuntala sudah kutangkap. Kalau ibuku tahu aku pulang dengan berita kelulusanku karena telah berhasil menangkap seorang penjahat kawakan, pasti ibuku tidak bakal jadi marah sama aku.”

“Oh, begitu.” Aku manggut-manggut. “Semoga cepat ketemu, ya.”

“Iya! Maukah kamu membantuku?”

“Bantu apa?”

“Tidak tahu. Tapi ya mungkin saja tiba-tiba kamu jadi tahu sebagaimana kamu tahu segalanya tentang aku. Makanya kupikir menjadi pengarang itu hebat sekali sampai bisa tahu segalanya akan sesuatu. Kalau aku bisa tahu segalanya tentang sesuatu, apalagi tentang Shakuntala, wah, itu bakal jadi kekuatanku yang tidak bakal kusia-siakan.”

“Kamu pikir mengetahui sesuatu itu termasuk kekuatan juga?”

“Ya, kenapa nggak? Aku pikir semua yang kita punya itu bisa kita manfaatkan sebagai kekuatan kita. Contohnya, guling di kamarku bisa aku manfaatkan untuk mengelabui ibuku kalau aku pergi diam-diam. Memang sih nanti pasti akan ketahuan juga...”

Termenung aku mendengarkan kata-katanya. Terbersit keinginan yang menguat dalam diriku untuk membantu Refuga menemukan musuhnya. Tentu saja aku bisa membantunya. Aku kan pengarangnya! Seharusnya aku juga bisa tahu segalanya tentang Shakuntala.

Ah, tapi bukankah aku sudah tidak mau jadi pengarang lagi? Lagipula aku sama sekali sudah tidak punya pikiran apa-apa untuk mengembangkan cerita tentang Refuga. Mau kuteruskan bagaimana?

“Ya sudah, semoga cepat ketemu deh. Oh ya, Refuga, kalau kamu nanti berhasil menangkap Shakuntala dan lulus ujian, kamu bakal kembali lagi mengunjungiku nggak? Kapan-kapan gitu?”

“Tentu, Tusitala. Kamu kan sahabatku.” Bibirnya membentuk senyuman. Tuh kan, Refuga memang sahabat terbaikku! Aku jadi tidak rela kehilangan dia. Mau tidak ya dia kalau sudah lulus sekolah nanti memilih untuk bekerja di bumi saja? “Ngomong-ngomong sepertinya aku harus pergi sekarang. Energiku sudah terisi kembali untuk bekerja. Terima kasih lagi ya, Tusitala!”

Kulepas kepergian Refuga dari jendela kamarku, seperti biasa. Tak kusangka momen ini akan menjadi yang terakhir kalinya bagiku untuk melihatnya terbang dari jendela kamarku itu.

*

Keesokan harinya, tak pernah lagi kulihat Refuga berdiri di sana. Aku menantinya sepanjang hari, dengan dua mangkok es krim yang perlahan meluber, hingga gelap menjelang dan aku tahu hari itu dia tak akan datang. Kunanti lagi keesokan harinya dan esok harinya lagi dan begitu teruslah yang terjadi.

Apa dia sudah berhasil menemukan di mana Shakuntala bersembunyi, menangkapnya, kembali ke planetnya dan lulus ujian? Apakah dia telah melupakanku? Sebagaimana aku melupakannya sewaktu kukira dia hanya hidup dalam kepala orang-orang yang membacanya saja? Dalam kepalaku?

“Tidak ada lagi warga yang pernah melihat kehadirannya. Tingkat kebatilan di kota ini kembali meningkat. Hingga kepergiannya yang tiba-tiba pun, dia masih meninggalkan tanda tanya pada kita semua: siapakah dia sebenarnya? Bocah misterius bertopeng?” Begitu wanita penyiar bersuara di layar kaca. Pria penyiar di channel yang lain pun mengungkapkan hal yang sama. Juga para penyiar di channel-channel lainnya.

Aku sungguh merindukannya. Hingga berita di TV tidak pernah lagi menyinggung tentangnya karena dia memang tidak pernah muncul lagi... Kalau suatu saat dia kembali lagi betapa inginnya aku memeluknya dan mengucapkan maaf karena pernah melupakannya. Bukan maksudku begitu. Aku hanya tidak tahu saja bagaimana mengakhiri ceritanya. Mungkin nanti dia takkan mengerti untuk apa aku minta maaf. Tapi sudahlah, pokoknya aku kangen sekali sama dia!

Pembacaan berita olahraga tiba-tiba berhenti dengan masuknya suatu berita baru ke meja penyiar. Tampaknya suatu berita yang penting sekali sampai-sampai harus menyela berita lainnya seperti itu.

“Pemirsa,” ujar pria penyiar dengan ekspresi yang tidak dapat kujelaskan. Campuran antara kaget, cemas, dan semacam itu. “Reporter kami telah menemukan keberadaan bocah bertopeng. Dia ditemukan dalam keadaan terikat di atap menara alun-alun kota. Namun helikopter kami tidak bisa mendekatinya. Ada semacam makhluk tak dikenal yang mencoba merintangi helikopter kami mendekat.”

Dari video rekaman si reporter yang ditayangkan di TV dapat kurasakan bahwa si reporter mencoba merekam kejadian itu dengan susah payah. Gambarnya naik turun membuat pusing kami yang melihatnya. Seperti ada sebuah cakar besar dengan kuku-kuku yang tajam menyambar dengan cepat dan sepertinya kamera yang dipakai untuk merekam video jatuh dan mendarat di atap menara. Memperlihatnya sosok samar-samar bocah bertopeng yang terikat di tiang penangkal petir. Warna talinya terlihat hijau bergerindil menjijikkan. Pakaian bocah bertopeng tercabik-cabik di sana sini. Aku serasa membatu di depan TV.

Gambar di TV beralih lagi memperlihatkan wajah si pria penyiar. “Kami akan memantau keadaan pahlawan kita, bocah bertopeng, melalui kamera video kami yang terjatuh. Kami akan melaporkan setiap perkembangan yang terjadi selama dia menjadi sandra makhluk tak dikenal.”

Pria penyiar itu tiba-tiba diam sejenak sambil menekan earphone yang menempel di telinganya. “Berita terbaru, atap menara kini diselubungi kabut hitam tebal sehingga kamera kami tidak bisa menampilkan apa-apa...”

Kini di layar kaca ditampilkan gambar yang terekam oleh kamera video yang terjatuh. Warna kelabu mendominasi. Tidak ada seorang pun kini yang dapat melihat apa yang terjadi pada Refuga. Hanya rintihannya yang samar-samar terdengar. “...dari hasil rekaman satelit, diperkirakan bocah bertopeng sudah berada di sana selama tiga hari terakhir...”

Hingga siaran berita malam hari, di mana anggota keluargaku sudah pada masuk kamar, aku masih memelototi TV. Sesekali mereka keluar menyuruhku cepat tidur namun aku tidak mengindahkannya. Suara debar jantungku lebih keras terdengar dibandingkan suara mereka.

Jam 21.00, wajah pria penyiar itu muncul lagi. Ucapnya, “Seiring dengan menghilang dan kemudian tertangkapnya bocah bertopeng, tingkat kebatilan di kota kita meningkat secara drastis. Berikut adalah laporan dari para warga mengenai kebatilan-kebatilan yang terjadi di sekitar mereka...”

“Kemarin hape saya kena copet lagi. Ini sudah yang kelima! Wah, coba ada bocah bertopeng.”

“Mangga saya kemarin dicuri anak-anak kampung. Coba ada bocah bertopeng, dia bisa kasih tahu anak-anak itu supaya tidak mencuri.”

“Kemarin... mmm, saya habis beli alat-alat fitnes buat kantor... Tapi barbelnya saya bawa pulang... Kemarin itu habis sekitar 20 juta... Tapi di kuitansinya saya suruh mbaknya lebihin dikit, hehe... Kalau ketahuan bocah bertopeng saya mungkin sudah diringkus kali ya.”

“Kehadiran bocah bertopeng sangat membantu kami. Salah satunya adalah kontribusinya dalam perlalulintasan. Dia seakan-akan punya mata gaib karena bisa tahu mana orang yang SIM-nya nembak dan mana yang nggak. Mari, Nak, bersama kami kita layani masyarakat!”

“...wah... Kalau bukan bocah bertopeng siapa lagi yang mau urus?”

“Tadi telah anda simak penuturan warga tentang bocah bertopeng. Berikut ini akan kami bacakan sebagian berita kriminal yang baru masuk ke meja kami, yang jumlahnya bisa dua kali lebih sedikit kalau saja bocah bertopeng tidak...”

Jam 22.00, wajah wanita penyiar yang muncul dan mengatakan, “Walikota sudah mengadakan rapat dengan dewan terkait upaya penyelamatan bocah bertopeng. Berikut hasil wawancaranya.”

Terlihat wajah seorang pria gemuk tua, dengan kepala yang tinggal ditumbuhi sedikit uban, diserbu oleh banyak kepala mic. “Tidak ada yang bisa kita lakukan. Ada makhluk tidak dikenal di atas sana, sekarang ada kabut tebal juga. Kami sudah coba mengusir kabur tersebut dengan menyiramkan air ke sana dengan helikopter kami, tapi kabut itu malah semakin tebal. Kami tidak berani mengambil risiko sampai kami bisa memastikan tindakan paling tepat apa yang dapat kami lakukan. Belum pernah terjadi yang seperti ini sebelumnya. Yang bisa kita lakukan sampai saat ini ya coba tunggu dulu saja, kalau-kalau keadaan membaik. PBB? Ya sudah kami hubungi Dewan Keamanan tapi mereka juga tidak tahu harus berbuat apa. Sudah ya!”

Kabut tebal itu tidak pernah sirna.

Aku terhempas ke atas sofa dengan badan lemas lima menit setelah jam yang sama, pada hari berikutnya.

*

Dua hari ini aku tidak dapat menjalani hidupku dengan baik. Lebih tidak baik dari biasanya—tepatnya. Aku tidak bisa melakukan apapun selain melamun. Sekolah terasa memuakkan karena semua orang di kelas membicarakan Refuga, membuat kecemasanku bertambah-tambah.

“Refuga kan sakti, seharusnya dia bisa menyelamatkan diri!”

“Apakah dia akan mati?”

Begitu suara-suara yang terlontar dari mulut mereka. Namun tetap saja tak ada yang dapat lebih mencemaskan Refuga selain diriku.

Sesampainya di rumah pun aku tak bisa berbuat apa-apa. Kerjaku seharian hanya di depan TV, mencari-cari berita tentang Refuga. Aku tak ingin melewatkan satupun. Kubawa buku-buku pelajaranku lengkap dengan buku tulisnya agar orangtuaku mengira aku tidak sekadar menonton TV tapi juga sambil belajar.

Aku sungguh mencemaskan sahabatku...

Aku mendesah panjang dan mengatupkan mata. Ingin menangis saja rasanya.

...setelah ini apa...?

Kenapa hal ini harus terjadi? Kenapa Refuga harus mendapat perlakuan yang begitu mengenaskan? Kenapa Shakuntala harus membawa hewan peliharaannya yang mengerikan itu juga? Kenapa? Kenapa? Kenapa ini yang harus terjadi? Ya Tuhan....

Tunggu, bukannya aku yang mengarang semua ini? Refuga, Shakuntala, Muzilla—peliharaan Shakuntala... Apakah kejadian ini aku yang mengarangnya juga? Memang kemarin ceritaku sudah sampai mana sih? Apa benar aku sudah mengarang yang seperti ini?

Aku membuka mata. Cepat-cepat aku menaiki tangga menuju kamarku. Aku mencari-cari buku tulisku itu lagi, yang kemarin dulu sudah kukeluarkan dari kotak sepatu dalam lemariku, namun belum sempat kubaca-baca karena ayah sudah keburu memanggilku turun. Sekembalinya dari menonton berita malam itu aku tak ingat sama sekali untuk membaca buku itu, yang akhirnya tergeletak entah di mana.

 Aku membuka buku tulis yang sudah agak keriting karena penuh tulisan itu. Tak ada hasrat sama sekali untuk terkekeh melihat usahaku memvisualisasikan para tokoh di dalamnya di beberapa halaman depan. Setelah melihat-lihat halaman demi halaman sebentar, mulai kubaca ulang cerita tentang Refuga, seorang bocah pahlawan dari Planet Pahlawan. Jadi dari planet inilah semua pahlawan berasal. Tugas mereka adalah membasmi segala macam kebatilan di segala macam dunia. Untuk menciptakan kader pahlawan yang handal, setiap anak yang lahir di Planet Pahlawan disekolahkan di Sekolah Pahlawan. Sekolah Pahlawan ini sudah terbukti meluluskan para pahlawan yang hebat dan selalu dikenang sepanjang masa. Akreditasinya A+++++!

Tersebutlah Refuga, seorang anak yang lahir di Planet Pahlawan dan disekolahkan di Sekolah Pahlawan. Meskipun dia anak bandel yang suka tidak menurut pada orangtua, dia sebetulnya pintar. Buktinya dia bisa masuk kelas akselerasi. Di usianya yang masih muda, dia sudah bisa ikut pelajaran kelas akhir di mana syarat kelulusannya adalah menangkap penjahat berbahaya! Nah, kalau sudah begini pilihannya hanya ada tiga: menangkap penjahat dan lulus, tidak berhasil menangkap penjahat dan tidak lulus atau harus mengulang, atau tertangkap penjahat dan tewas!

Karena Refuga adalah murid yang pintar, maka ia ditugaskan untuk menangkap penjahat yang cukup tinggi kelasnya, yaitu Shakuntala. Shakuntala ini senangnya berpindah-pindah dari dunia satu ke dunia lainnya dan menyebarkan bibit kebatilan di sana sini. Kalau masyarakat dunia tersebut sudah punya buku manual pembasmi bibit kebatilan, maka mereka tak akan terpengaruh oleh bibit yang disebarkan Shakuntala. Sebaliknya, kalau mereka tidak punya, atau punya tapi tidak menggunakannya, Shakuntala akan dengan mudah melaksanakan kejahatannya. Jadilah tugas Refuga menjadi berlipat-lipat. Selain menangkap Shakuntala, dia juga jadi harus menumpas kebatilan-kebatilan yang telah dituai penjahat kawakan tersebut. Sampai akhirnya, Shakuntala sampai ke dunia bumi untuk bersembunyi. Masyarakat bumi sebetulnya sudah punya buku manual pembasmian bibit kebatilan tapi tidak menggunakannya dengan baik.

Oh ya, Refuga ini suka sekali es krim. Ketika mampir ke bumi, dia mencoba macam-macam es krim yang lebih lezat dari yang ada di planetnya. Tapi pada suatu hari, Refuga tidak hati-hati saat membeli. Saking capeknya membasmi kebatilan-kebatilan yang tidak pernah henti, dia membeli es krim di sembarang tempat. Dia tidak memperhatikan betapa tidak higienisnya lokasi dia membeli es krim. Dan ternyata, penjualnya adalah Shakuntala yang sedang menyamar! Rupanya Shakuntala telah membubuhkan racun pada es krim tersebut. Refuga jadi sakit perut dan tidak berdaya. Dengan mudahnya Shakuntala menangkap Refuga, menyandranya di atap menara alun-alun kota dan menyiksanya hingga mati perlahan.

Cerita selesai sampai di situ. Bagian itulah yang dirobek-robek sampai jadi serpihan oleh Bomantara.

Ya ampun, cerita macam apa yang kubuat...

Aku jatuh terlentang di atas karpet. Makin lemas saja badanku.

Refuga... Refuga, maafkan aku. Sungguh maafkan aku. Jika aku mengetahuinya sejak awal, jika aku tidak menunda-nunda untuk membaca buku ini, jika aku sungguh-sungguh berniat membantumu menemukan Shakuntala, kamu pasti bisa menghindar dari segala jerat dan tipu daya musuhmu itu.

Tapi apa boleh buat... memang aku yang sudah menggariskan seperti itu...

Refuga... Kamu akan mati... Selamat tinggal... Maafkan aku tidak bisa membantumu...

Tahu-tahu aku sudah terisak saja, membayangkan akhir yang menyedihkan dari ceritaku ini. Akhir yang menyedihkan dari sejarah kepengaranganku. Jiwa pengarang dalam diriku juga akan mengakhiri masa-masa sekaratnya malam ini. Sebagaimana bayangan-bayangan masa lalu kerap menghantui orang yang akan dihampiri ajal, begitulah juga yang terjadi padaku. Muncul kelebat bayangan demi bayangan...

“Uta, mana lanjutan ceritamu yang baru? Aku belum baca loh...”

“Nanti kalau sudah ada karya baru lagi jangan lupa kasih ibu juga ya...”

“Ceritamu aneh sih, Uta, tapi kok aku suka ya?”

“Uta, aku mau ada tokoh cewek cakep di ceritamu. Masukin dong.”

“Uta, kenapa kamu nggak nulis lagi?”

“Aku nggak suka ceritamu ini! Kok jadi kayak gini sih? Aku mau jagoannya yang menang!” Bomantara merobek lembaran-lembaran kertas itu dengan beringas.

Aku tersentak. Memang itulah yang dikatakan Bomantara saat peristiwa itu terjadi!

Namun aku tidak mungkin mengubah apa yang sudah kutulis. Sudah banyak orang yang membacanya dan mereka pasti bakal menganggapku tidak konsisten kalau tiba-tiba jalan ceritanya kuubah. Lagipula ceritanya kan memang mestinya belum selesai tapi pikiranku sudah keburu mandeg.

Jadi lanjutkan ceritanya, bodoh! Aku seperti mendengar bentakan Bomantara mengiang-ngiang dalam rongga telingaku.

Tapi bagaimana aku melanjutkannya? Aku tidak ada ide...

Tapi nyawa Refuga harus lekas diselamatkan...

Tapi bagaimana, ide kan tidak bisa keluar kalau dipaksa?

Lalu mau sampai kapan kamu kehabisan ide?

Kugaruk-garuk kepalaku sampai rasanya kulit kepalaku mau rontok semua. Sebelumnya apa yang kulakukan ya kalau aku butuh ide? Rasanya sebelumnya aku tak pernah mengalami derita karena kehabisan ide seakut ini!

*

Suara halus bu guru mengembalikan kesadaranku.

“Uta, kamu sakit?”

Aku menggeleng meski kepalaku masih terasa melayang-layang. Kuangkat kepalaku dari atas meja.

“Uta habis berantem, Bu! Liat aja, matanya hitam begitu!” celetuk seorang anak yang disambut derai tawa anak lainnya.

Bu guru tidak mengindahkan mereka. Dia terlihat cemas. “Kamu mau istirahat di UKS saja?”

Begitu mungkin lebih baik. Tak kutolak kesempatan itu. Pergilah aku ke UKS. Aaah, begitu leganya badan ini begitu direbahkan di atas salah satu kasur putih yang berderet di sepanjang ruang UKS yang bersih.

“Kamu sakit apa, Nak?” tanya guru yang berjaga di sana.

“Aku nggak tidur semalam, Bu,” jawabku seadanya sambil menguap.

“Kenapa? Pasti main game terus ya?”

Ku-ho-oh-kan saja dia. Berharap dia cepat pergi dan membiarkan aku istirahat sendiri. Setelah beberapa pertanyaannya kujawab dengan jawaban yang menyebalkan, dia akhirnya pergi juga. Huh, makanya jangan coba-coba mengusikku, Tusitala, si pengarang super jenius yang berkedok anak sekolahan!

Tapi anehnya, mata nanarku tak dapat kupejamkan.

Padahal sebenarnya aku capek sekali loh. Sepanjang malam tadi aku mencoba segala cara agar ilham mau bertandang ke otakku. Aku melahap segala macam bacaan, mulai dari koran, novel, komik, hingga buku-buku berat milik ayahku. Aku dengarkan CD-CD musik milik kakakku dan menonton film-film di laptopnya yang seharusnya tidak boleh diintip anak seusiaku. Aku menyelinap ke luar rumah dan berjalan-jalan dengan penuh ketakutan karena menghindari tatapan liar para gelandangan. Aku mampir ke toko 24 jam dan membeli cemilan. Alhasil, cerita tentang Refuga berhasil kutamatkan tepat ketika ibu masuk ke dalam kamar dengan maksud membangunkanku, seperti biasa kalau pagi-pagi. Dia kaget aku sudah terjaga. Aku lebih kaget lagi karena ternyata aku bisa juga menamatkan ceritaku itu! Ide memang tidak bisa datang kalau dipaksa? Ah, itu sih kata orang-orang yang tidak tahu cara tepat dalam memaksa ide untuk keluar!

Ringan sekali perasaanku saat itu. Seringan kepalaku. Karena yang mengisinya kini hanya satu pikiran saja...

“Bu, ada berita tentang bocah bertopeng nggak?” tanyaku ketika mendengar guru penjaga sepertinya sedang menyibakkan koran di balik tirai. Terdengar lagi beberapa kali suara kertas koran disibakkan.

Dengan nada muram dia berkata, “Belum ada perubahan, Nak.” Aku bisa membayangkan dia mengucapkan itu sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan kedua pangkal alis berkerut sementara ujungnya menurun ke bawah.

Aku termenung. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu.

Tidurku di UKS tidak cukup nyenyak. Aku pulang ke rumah saat jam sekolah berakhir dengan terhuyung-huyung karena kepalaku masih pusing. Kubanting diriku ke atas sofa, langsung kunyalakan TV.

Berita tentang Refuga: masih terjebak dalam kabut yang semakin menyebar ke penjuru langit kota. Oh, pantas akhir-akhir ini kok rasanya jadi agak mendung? Orang-orang yang bekerja di menara alun-alun kota diliburkan. Tingkat kebatilan semakin meningkat saja.

Setiap jam berikutnya, headline news hanya membuatku makin terpekur.

Tidak ada perubahan berarti.

Ah, mungkin efeknya baru terasa nanti, setelah jangka waktu yang lama... Cerita yang sebelumnya pun kan sudah kubuat dulu sekali, tapi bentuk hidupnya baru muncul sekitar sebulanan ini.

*

Ya, ya, ya, akhirnya kutunggu dan kutunggu. Hari demi hari berlalu. Sudah kucukupkan kembali tidurku hingga aku bisa kuat melek memantau perkembangan berita tentang Refuga, yang kalau dibuat grafik, kamu bisa tidur terlentang di atasnya. Kian hari makin tak keruan saja hatiku, beradu dengan persepsi bahwa munculnya efek dari ceritaku itu butuh waktu, aku hanya harus sabar menunggu, sampai muncul sesuatu dalam pikiranku.

Tapi kan Refuga tak mungkin menunggu selama itu!?!

Mendadak aku merasa putus asa. Lalu apa artinya segala perjuangan dan pengorbanan yang semalam? Jadi untuk apa cepat-cepat kutamatkan cerita itu?

Ini bukan takdir pengarang yang bekerja. Tapi mungkin sudah takdir Tuhan... Mungkin memang sudah takdirnya Refuga malang itu mati. Air mataku mulai berlinangan di pipi. Aku meringkuk di sofa supaya tak seorang pun anggota keluargaku dapat mengetahui kalau aku menangis, kalau-kalau mereka lewat sekitar TV.

“Eh, pulang sekolah bukannya langsung ganti baju, malah tidur di sofa. Entar ibu marah tuh...” Itu kakakku duduk di sofa sebelah. Mungkin dia juga baru pulang kuliah. Terdengar derit sofa lagi disusul suara berdebum. Mungkin kakakku mau berdiri lagi tapi malah menjatuhkan ranselku. Dan sekarang mungkin dia sedang membereskan isi ranselku yang berhamburan. “Eh, Uta, kamu udah nerusin ‘Refuga’ lagi? Wah, tamat?”

Aku cepat bangun, tak ingat mukaku masih sembap. “Kakak baca ceritaku?”

“Loh, Uta, kamu nangis?”

Aku langsung telungkup di sofa, menyembunyikan sisa-sisa tangisku. Aduh, aku malu sekali...

Kakakku malah mendekat, sial! Dia menepuk punggungku. “Iya, hehe. Waktu itu kakak kan ke kamar Uta, udah lama banget, eh, ada buku ini di kasur Uta. Karena kebuka ya udah kakak baca aja. Ceritanya lucu banget deh. Ya udah kakak baca aja terus. Temen-temen kakak juga pada suka baca loh. Lucu banget katanya. Mereka terhibur banget loh!”

“Kok bisa temen-temen kakak juga baca?!” Tak bisa kusembunyikan kegeramanku atas kekurangajaran kakakku meski dengan suara teredam. Seingatku buku itu tak pernah jauh-jauh dariku. Kapan ada kesempatan buat kakak untuk mengambil dan membawakannya ke teman-temannya?

“Kalau ada kesempatan kakak ambil terus dikopi di fotokopian sebelah deh... Hahaha, maaf ya, Ta. Eh ngomong-ngomong ini ceritanya udah tamat, kakak boleh pinjem dulu ya. Bentar doang kok, cuman mau dikopi di sebelah, haha....” tanpa sempat kucegah kakak sudah berlari ke luar rumah. Bisa kubayangkan kakak dan teman-temannya membaca ceritaku sambil tertawa terbahak-bahak hingga ngakak. Bukan karena cerita itu lucu—karena cerita tentang Refuga memang tak pernah kumaksudkan untuk menjadi cerita yang seperti itu—melainkan karena yang membuatnya hanya seorang anak kecil yang di mata mereka begitu patut untuk dilecehkan dan diremehkan.

Begitu kakak kembali, langsung kurampas buku itu. Aku segera lari ke atas lalu mengunci diri di kamar. Tak bisa kukendalikan amarahku yang sedang di puncak-puncaknya. Aku melemparkan benda itu ke sembarang arah. Tak kusangka dia malah terbang tinggi melalui jendela. Kukejar buku itu hingga badanku tertahan kusen. Buku itu mendarat di atap mobil yang sedang lewat dan entah akan terbawa sampai ke mana. Habislah sudah. Setelah kuselesaikan tugasku—menamatkan cerita Refuga—barulah boleh tamat riwayatku sebagai pengarang.

*

Kedatanganku pagi itu disambut bak seorang artis saja. Beberapa teman sekelasku mengerubungiku dan menanyakan hal yang tak terduga-duga...

“Uta, kamu udah nerusin cerita Refuga ya?”

“Hah, darimana kalian tahu?”

“Tadi malem kan kakak kamu ketemuan sama kakakku. Trus kakak kamu bilang kalau kamu udah nerusin lagi cerita Refuga sampai tamat. Kebetulan kakak aku juga suka loh sama cerita kamu. Dari dulu kita suka baca bareng-bareng. Terus kakakku dikasih kopiannya deh sama kakak kamu...”

“Ih, kok kamu nggak bilang-bilang sih, Uta? Kan biasanya kamu kasih aku kopiannya!”

“Iya, ke aku juga...”

“Aku juga! Aku juga!”

Walah, aku benar-benar tidak tahu bagaimana harus menghadapi mereka!

“Ya udah kopi aja dari punyanya si Tania. Aku sekarang udah nggak ngarang lagi kok!” Aku membanting ransel di bangkuku.

“Kok kamu nggak kasih tahu sih kalau kamu udah nerusin cerita Refuga lagi?!” Bomantara menyeruak dari belakang kerumunan teman-teman. Gempa susulan dari dua orang komplotannya. Dia menarik kerah bajuku. “Akhirannya bagus nggak?”

“Baca aja sendiri!” Belum ada yang berani berkata-kata dengan nada seperti itu sebelumnya pada Bomantara hingga membuat yang lainnya tercengang. Sebetulnya nadanya tidak terlalu keras juga sih. Bomantara menyentakkanku, membuat punggungku terasa sakit seketika. “Mana ceritanya si Uta? Sini aku kopiin!”

“Tapi jam segini kan fotokopiannya belum buka?” celetuk seseorang.

“Ya pas entar istirahatlah!” setelah Bomantara berkata begitu tidak ada lagi yang berani berkata-kata. Tania menyerahkan kertas kopian ceritaku—versi lengkap!—dengan tangan gemetar.

“Duitnya mana?!” bentaknya lagi. Tania kaget mendengarnya.

“Loh, kupikir mau pake duitmu sendiri?”

“Enak aja! Ini kan demi buat bersama, jadi harus pake duit bersama juga!”

Maka anak-anak pun merogoh-rogoh saku baju atau celana mereka, atau menghampiri tas masing-masing untuk mengambil dompet. Dan tentu saja, Bomantara tidak menerima uang pas.

Andai aku bisa, tak akan kubiarkan kelak dia jadi pejabat. Pasti kerjaannya hanya makan uang rakyat.

Sepanjang hari itu, aku tak menggubris siapapun yang hendak berbicara tentang Refuga, kepengaranganku, atau apapun yang berkaitan dengan itu. Bahkan bu guru pun sudah diperingati anak-anak sebelum hendak mendekati bangkuku. “AWAS MENGAUM”, begitu bunyi peringatan yang mereka bawa.

*

Waktu wajib menonton berita. Aku duduk di kursi meja makan dengan perasaan yang sudah mulai agak biasa-biasa saja. Otakku sudah tidak kosong-kosong amat, setidaknya ada sepenggal chapter dari komik Naruto dan beberapa onggokkan rumus matematika di dalamnya. Dengan malas aku menyendokkan piring dari magic jar ke dalam piringku. Suara TV menggema ke seantero ruangan. Memangnya lagi ada berita apa sih, kok kayaknya keluargaku antusias amat menyimaknya?

“...atas permintaan pemirsa, kami putar ulang video detik terakhir...”

O-ou...

“...penyelamatan bocah bertopeng...”

Aku terlonjak hingga meja makan hampir terguling karenanya. Langkahku berderap menuju layar TV. Aku langsung berada di deretan paling depan.

Rupanya sebuah video amatir. Gambarnya jelek sih. Buram. Tapi masih dapat memperlihatkan drama yang hendak terjadi.

Sebuah titik muncul di angkasa. Kian lama kian dekat. Mewujudlah titik itu menjadi sosok seorang wanita bertopeng! Jubah panjangnya berkibar dengan indahnya. Masih di langit, dia berdiri dan berkacak pinggang beberapa meter di luar jangkauan kabut gelap. Sebelah tangannya terjulur dan dari telapak tangannya keluar suatu sinar terang dan sirnalah kabut tersebut. Tanpa melibatkan adegan laga penuh aksi heroisme, begitu kabut tersebut hilang benar, tampaklah sesosok monster jelek dengan seonggok pria kurus kering terkapar bagai nyamuk mabuk. Sebuah titik lagi melesat mendekat dari ujung langit dan mewujud menjadi sesosok pria bertopeng. Dengan sebelah tangan dia mengangkat si monster dan pria kurus kering itu lalu terbang melesat kembali ke asal datangnya. Sementara itu terjadi, si wanita bertopeng melakukan upaya penyelamatan pertama pada Refuga yang—aku tak tega mendeskripsikan kondisinya. Wanita bertopeng itu cepat sekali kerjanya. Tahu-tahu Refuga sudah berada dalam bopongannya dan ia menghilang dari pandangan.

Gambar di TV beralih ke wajah bahagia milik pria dan wanita penyiar.

Ohh...

Semuanya persis seperti apa yang aku tulis di malam nahas itu, saat aku begadang semalam suntuk.

Lebih tepatnya ceritanya begini...

Ibu dan ayah Refuga panik mencari anaknya yang hilang entah ke mana. Saat dikonfirmasi ke pihak sekolah, mereka mengatakan, mungkin Refuga sedang mengerjakan tugas akhirnya—yang merupakan syarat kelulusannya—yaitu menangkap Shakuntala yang entah bersembunyi di mana. Ibu Refuga segera menghantam pihak sekolah dengan meja. Tugas itu terlalu berat untuk anaknya, pikirnya. Dia tahu bagaimana kapasitas Shakuntala sebagai penjahat dan dia juga tahu bagaimana kapasitas anaknya yang pendidikannya dipercepat. Ibu dan ayah Refuga pun mencari anak mereka ke sana ke mari, ke planet manapun yang mungkin Shakuntala—disusul anak mereka—sambangi. Hingga akhirnya sampailah mereka di bumi dan menemukan anak mereka sedang dalam siksaan Shakuntala dan monster peliharaannya. Karena mereka adalah sama-sama mantan Raja dan Ratu Pahlawan di Planet Pahlawan—yaitu suatu kontes mencari pahlawan muda terkuat dan tercerdik—maka memberangus Shakuntala bukanlah hal yang cukup sulit. Apalagi mereka memang telah mengincar penjahat tersebut sejak lama hingga tahu di mana titik kelemahannya, yaitu dengan pancaran sinar merkuri! Ayah Refuga pun mengurus para makhluk jahat itu agar mereka mendapat siksaan yang setimpal dari Mahkamah Pahlawan sementara istrinya segera membawa Refuga ke Rumah Sakit Pahlawan. Refuga akhirnya berhasil pulih. Dia memang tidak lulus ujian tapi ada pelajaran lebih berharga yang dia dapatkan. Salah satunya adalah dia menjadi lebih sayang pada orangtuanya. Refuga pun harus mengulang lagi pelajarannya tapi tidak mengapa karena dia akhirnya bisa kembali bermain bersama teman-teman lamanya.

Seperti itulah garis besarnya.

Aku sampai bersimpuh di lantai saking leganya. Sampai kakak menegurku, “Kamu kenapa sih, Uta? Kok kayaknya lega banget denger Bibit-Chandra akhirnya bisa lepas?”

Masih dalam keterpanaanku karena begitu menakjubkannya tayangan tadi, aku berkata, “Hah, aku lega karena akhirnya Refuga berhasil selamat kok.”

“Ya ampun, ceritanya sampai kebawa-bawa...”

“Siapa sih, Fuga-fuga?” tanya ibu.

“Refuga!” koreksiku. “Refuga berhasil diselamatkan sama orangtuanya!”

Kontan semua yang ada di ruangan itu terdiam.

“Bu, kayaknya Uta masih demam deh!”

“Wah iya, panas lagi...” Dahiku terasa dingin karena bersentuhan dengan punggung tangan ibu.

“Ya sudah ayo cepat kita ke dokter lagi?” Ayah sudah siap-siap mengambil jaket.

Aku sungguh tak mengerti.

*

Kakak bilang tanggung jawab untuk menyelesaikan cerita Refuga begitu membebaniku. Mungkin tidak secara langsung. Aku merasa biasa saja padahal alam bawah sadarku meronta-ronta minta cerita itu ditamatkan.

Karena sering begadang untuk bikin cerita, daya tahan tubuhku jadi menurun. Aku jadi gampang sakit hingga demam tinggi berkali-kali.

Saat itulah alam bawah sadarku mewujud dalam bentuk halusinasi. Dalam igauanku kakak mendengar nama-nama tokoh dalam cerita Refuga.

Belum pulih benar dari sakitku, aku sudah begadang lagi.

Mengingat bahwa aku pernah berlari-lari seharian untuk mengejar Refuga, dan kiranya semua itu hanya halusinasi, aku merasa sakit itu ternyata bisa melelahkan sekali.

Lagipula Refuga memang tak pernah kembali. Dia tidak pernah meninggalkan bekas apapun yang bisa meyakinkanku bahwa kehadirannya di bumi bukan sekedar halusinasi.

Tentang buku tulis berisi cerita Refuga yang sudah lengkap ditamatkan itu, dia ternyata jatuh di atas mobil seorang editor perusahaan penerbitan besar. Neneknya editor tersebut adalah tetanggaku dulu. Sekarang sih nenek tersebut sudah pindah ke alam baka. Editor tersebut menemukan buku tulisku tersangkut di atap mobilnya. Pada mulanya dia mengira bukuku itu hanya berisi coretan anak kecil biasa. Iseng-iseng dia membacanya untuk melepas jenuh. Tak disangka, cerita itu menarik hatinya. Dan kebetulan sekali, aku mencantumkan biodataku juga di sana.

Dia menghubungiku dan mengajukan penawaran yang menarik.

Waktu itu kakakku sih yang bicara. Dalam pembicaraannya dengan editor tersebut di telepon, aku dikagetkan dengan suaranya yang terdengar amat mantap, “DEAL!”

Setelah itu aku disuruhnya merombak sedikit ceritaku itu. Sedikiiit... saja, katanya waktu itu. Tapi kurasakan banyak sekali. Aku sudah bersikeras padanya bahwa aku sudah berhenti jadi pengarang. Aku sudah berkali-kali menyatakannya. Tapi dasar kakakku pintar bersilat lidah sementara aku hanyalah seorang anak kecil bodoh, dia mengatakan bahwa dalam halusinasiku memang aku sudah bukan pengarang tapi di dunia nyata tidak begitu. Dan karena aku sudah tidak sakit lagi, maka aku ada di dunia nyata dan aku tetap pengarang.

Aku berharap aku kembali sakit saja waktu itu.

Kuturuti apa maunya karena dia membelikanku banyak es krim. Semakin banyak es krim, semakin banyak ide mengalir di kepalaku.

Dalam beberapa bulan, cerita Refuga bukan lagi berwujud kertas fotokopian melainkan sebuah novelet dengan cetakan yang rapi dan desain sampul yang artistik—sampai sekarang aku masih menganggapnya begitu.

Aku diminta untuk membuat sekuelnya. Lalu prekuelnya. Entah sudah berapa jilid yang kuhasilkan. Karena kakakku tak pernah absen membelikanku es krim, jadinya ya kukerjakan. Sambil lambat laun aku menyadari, halusinasiku telah memberikanku suatu makna.

Tidak harus menunggu sampai tokoh-tokoh dalam ceritamu menjadi nyata dulu untuk dapat memahami bahwa sebuah cerita dapat menyelamatkan dunia. Sampai sekarang keyakinan itu masih terpatri dalam benakku. Semakin kuat melekat saat aku dikerubungi anak-anak yang memegang buku-bukuku. Memintaku membacakannya untuk mereka. Kadang ada pula yang ingin berfoto bersamaku. Minta tanda tanganku. Dan buku-bukuku yang mereka koleksi bukan hanya serial Refuga. Banyak yang lainnya. Aku tak bisa berhenti mengarang sejak periode limpahan es krim. Jadi untuk menghasilkan sesuatu secara produktif, sebenarnya yang kamu butuhkan hanya membiasakannya secara kontinyu dan intensif. Dengan sedikit sogokan mungkin.

Suatu hari seseorang datang padaku. Dia bilang, dia bisa menghidupkan Refuga. Menghidupkan kembali Refuga. Kurangkul teman masa kecilku yang sudah jadi kurus itu, yang sudah tidak diragukan lagi reputasinya dalam dunia perfilman. Kukatakan padanya, “Tapi harus benar-benar hidup ya, Bom.” Benar-benar hidup seperti halusinasi masa kecilku dulu. “Biar aku sendiri yang milih aktornya.”

 

 

28-30 Nop 9

12.32 AM

terima kasih untuk para calon anggota FLP Yogyakarta angkatan XI atas suntikan semangatnya

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain