Ruang
Kamis, 31 Desember 2009
Minggu, 20 Desember 2009
Minta Ditelepon
Petugas akademik
menyerahkan secarik Kartu Hasil Studi (KHS) kepadaya. Ia menahan nafas. IP-nya
semester ini turun 0,01. Tapi masih di atas 3,7. Membosankan. Dilipatkan kertas
tersebut dan dimasukkan ke dalam saku hemnya.
"Dapet IP
berapa lu?" sodok seorang teman yang juga baru mengambil KHS. Dibalasnya dengan cengiran. "Ada
deh."
"Alah, paling
cum laude lagi."
"Turun
kok." Mengembangkan senyum dapat meraibkan sejumput ketidakbahagiaannya.
"Alah, paling
cuma turun 0,01."
Ia tertawa. Kok
tepat benar sangka temannya ini.
"Punya lu
sendiri gimana?" balasnya berbasa-basi. Ia heran apa pentingnya saling
mengetahui siapa dapat IP berapa seperti yang biasa teman-temannya korek antar
satu sama lain. Bersainglah dengan diri sendiri. Berusahalah agar bisa
mendapatkan IP yang lebih tinggi dari sebelumnya, bukannya berusaha agar selalu
lebih tinggi dari IP teman. Bisa-bisa yang tersisa hanya perasaan dengki dan
makan hati. Begitu pikirnya. Cukup membantunya meningkatkan prestasi tanpa
harus berambisi mengalahkan orang lain.
"Ah, biasa.
Dapat kemelut dong. Tinggal nunggu diamuk ortu aja..."
Ia tercenung.
Beberapa hari
kemudian, amplop berisikan KHS yang akademik kirimkan pada orangtuanya mesti
sudah sampai. Ia berkali-kali mengecek layar hapenya. Melihat daftar panggilan
dan kotak masuk. Hanya ada ucapan selamat atas perolehan IP-nya. Hah... Tetap
tidak ada kabar sama sekali dari orang-orang yang diharapkannya. Kalaupun ada,
betapa jarang frekuensinya. Padahal sekian semester telah berlalu sejak ia
hijrah untuk berkuliah. Padahal ia ingin mendengar suara mereka, bukan sekedar
kata-kata yang tertangkap mata. Seperti ada yang hilang dari hidupnya. Masakkan
mereka baru bertukar suara saat bertemu langsung saja--saat ia menyempatkan
diri untuk pulang walau hanya untuk beberapa hari?
Apa ia saja yang
berinisiatif menghubungi mereka duluan ya? Tapi ia bosan mengatakan semuanya
baik-baik saja. IP-nya stabil. Makan teratur 3 kali sehari. Tidak pernah sakit.
Organisasi lancar. Pergaulan bukanlah persoalan. Mungkin mereka juga bosan
dengan segala jawabannya. Dan sibuk dengan urusan mereka masing-masing,
sebagaimana ia. Ia tak bisa berbohong. Kehidupan memang sehampa itu. Sama
sekali tak ada hasrat bicara.
Kalau begitu ia
akan membuat sebuah realita baru.
Satu semester
berselang, kembali ia berhadapan dengan petugas akademik yang sama untuk
mengambil KHS. Dibacanya huruf-huruf dan angka-angka yang tertera. Ia tak sabar
menunggu hari-hari berikutnya menjelang. Mendatangkan sebuah panggilan di
pembuka malam.
"IP-mu kok
turun drastis?!"
Senyum terulas di
wajahnya. Akhirnya orangtuanya meneleponnya lagi.
27
Agustus 2009 * 20 Desember 2009, 9.09 PM
Sabtu, 19 Desember 2009
Balada Monyet
Senja bertandang. Kaki Dani menjuntai
ke bawah. Dani duduk di tepi lantai semen tingkat tiga sebuah bangunan rumah
yang belum jadi—rumahnya. Sepasang tangannya menggenggam harmonika perak kunci
D. Kedamaian menyelubungi jiwanya. Sesekali Dani melambai sambil tertawa pada
anak-anak berbaju muslim yang melintas di bawah dan berteriak-teriak
memanggilnya. “Dani... Ayo ke TPA...!”
Berkali-kali sudah mereka
melakukannya. Dani tetap malas beranjak. Ketenteraman jiwanya sedang tak ingin
dirusak. Ah, untung anak-anak itu tidak cukup punya kesabaran menunggu. Mereka
berlalu. Digantikan sayup-sayup suara motor yang digas kencang mendekat lantas
decit tiba-tiba rem. Dani hanya sempat melihat sekelebat sosok memasuki lantai
bawah rumahnya. Sebuah motor bebek merah ditinggalkan begitu saja.
Semakin jelas terdengar suara langkah
kaki menaiki tangga dengan terburu-buru diiringi desah nafas yang
tersengal-sengal. Dani menoleh. Perasaan tak nyaman mulai menyambangi kalbunya.
Tak lama muncullah orang itu, menyorongkan buntalan plastik, lalu, “Dani, cepet
ganti baju lo sama ini!”
“Heeh? Apaa?”
“Cepetan!” Cowok itu menarik lengannya.
Dani bangkit terjatuh-jatuh. Hingga cowok itu melepaskannya, Dani malah terdiam
sambil mengamat-amati buntalan yang diberikan kepadanya. Sepertinya berisi
pakaian.
“Tunggu apa lagi sih? Buruan dong!”
Cowok itu seperti sedang kebelet pipis. Dani menatap bingung. “Harus di sini?”
Cowok itu terpana. Ia memandang
sekelilingnya dan menyadari lantai tempat mereka berpijak tidak penuh
diselubungi dinding. Dani melewatinya, mencari-cari ruang tertutup, lalu
berbalik bingung. “Kita mau ngapain sih?”
Cowok itu mengacak-acak rambut sambil
berujar dengan wajah memelas. “Udah ganti aja baju lo, cepetaan...”
“Buat apaa?” Dani tak kalah pasang
wajah memelas juga
“Sore ini kita pacaran!”
“Apa?!”
Cowok itu lekas mendorongnya ke balik
sebuah kubikel triplek. “Gua nggak akan liat. Sana cepet ganti!”
.
Dani terperangah dengan baju terusan
putih berenda-renda yang kini menutupi tubuhnya. Dani menutup mulutnya.
Terakhir kali Dani memakai baju terusan berenda-renda adalah saat berumur 5
tahun. Sekarang baju tersebut sudah hilang entah ke mana setelah sebelumnya
dijadikan lap dapur. Dan baju terusan ini menyerapkan kekaguman bagi pemakainya
kini. Wangi pula. Sepasang kaki telanjangnya sedikit meloncat-loncat di atas
lantai semen, membawanya keluar dari kubikel.
“Pantas nggak?”
Cowok itu bahkan tidak menyempatkan
untuk berkata “...kamu cantik banget...” seperti yang biasa Dani saksikan di
film-film. Sepasang tangan cowok itu dengan cepat mencoba merapikan rambut
lurus pendek Dani namun tampak tidak puas dengan hasilnya. “Ah, udahlah entar
kena angin juga kacau lagi!”
Dani cemberut. Cowok itu tak
melihatnya karena sudah berbalik sambil menariknya menuruni tangga.
“Mana bokap lo?” tanya cowok itu masih
sambil menggiringnya cepat-cepat ke halaman tempat motornya tadi diparkir.
“Mmm... mancing...?”
Cowok itu tak menggubrisnya. Ia sudah
di atas motornya, memakai helmnya sendiri dan melemparkan satu helm lagi pada
Dani. Dani membiarkan helm itu jatuh begitu saja.
“Heh! Dipake!”
Dani berjingkat mundur dengan tampang
ngeri. “Aku nggak mau dibonceng kamu...!” Dani ingat suatu ketika dibonceng
cowok itu, ia jatuh terjengkang ke atas aspal. Ranselnya yang terisi penuh
menyelamatkannya dari gegar otak, untungnya. Supir angkot paling serampangan
saja masih bisa disebut budiman jika dibandingkan dengan cowok itu.
Bertambah lipatan di wajah cowok itu.
Seperti teringat sesuatu, mimiknya mendadak serius. “Gua akan tertib, Bu
Polwan.”
Beberapa menit kemudian motor bebek
merah itu sudah melaju kencang di jalan raya. Pengemudinya berusaha tetap penuh
kendali meski di belakangnya penumpangnya memukulinya tiada henti. “Boong! Kamu
boong! Turunin akuuu!”
.
Muka Dani masih pucat. Dani pusing,
ingin muntah. Sepasang bola matanya menyusuri sepasang tangan yang berusaha
merapikan lagi rambutnya. Terdengar gerutuan kesal, “ah, udahlah gini aja!” dan
lagi-lagi wajah kecewa. Lantas Dani ditarik naik undakan ke teras rumah itu.
Terus sampai ke pojok. Tempat yang mereka tuju tidak akan terlihat dari jalan
karena tertutup oleh tanaman-tanaman besar. Di sana ada sebuah meja persegi
panjang yang beralaskan kaca. Koran-koran menumpuk acak-acakan di bawahnya.
Beberapa kursi panjang yang terbuat dari besi ukir mengelilingi meja tersebut.
Cowok itu mendudukkannya di kursi yang menghadap ke jalan, disusul oleh dirinya
sendiri yang segera atur nafas untuk menenangkan diri. Dani menarik-narik ujung
baju terusannya agar menutupi kedua lututnya yang menempel rapat. Sedikit saja
terbuka, ketidaknyamanannya akan makin menjadi-jadi. Apalagi kalau ada orang
yang duduk di depannya. Setelah cukup tenang, cowok itu menarik sebuah tas
selempang ke pangkuan. Dani baru sadar cowok itu sedari tadi memakai tas, yang
dari dalamnya dikeluarkan beberapa buku pelajaran, buku tulis, lengkap dengan
alat tulisnya.
Cowok itu meliriknya. “Tadi kita ada
PR Bahasa kan?”
Dani balas melirik. Aneh. Apakah cowok
itu sengaja menculiknya dari rumah hanya untuk mengerjakan PR bersama? Tidak
seperti biasanya. Biasanya kalau cowok itu mau mengerjakan PR bersama ya
langsung datang saja ke rumah, tidak pakai acara culik-culikan ke rumahnya
sendiri segala. Tapi tadi temannya itu bilang mereka mau apa?
Dani beringsut menjauhi cowok itu,
yang tertegun. Yang malah mendekatinya terus. Keganjilan yang bertubi-tubi ini
membangkitkan Dani untuk bergerak menyelamatkan diri ke kursi seberang. Cowok
itu menariknya hingga ia jatuh terduduk dengan kaki terangkat. Ia merasa ngeri.
Ada apa dengan teman laki-lakinya ini? Jantungnya mulai berpacu. Dani menarik
tangannya dari genggaman cowok itu dan mengusap-usapnya. “Kamu kenapa sih?”
Didapatinya wajah cowok itu juga tak kalah pucatnya.
“Udah nurut aja ama gua, Dani.
Plis...”
Getaran lain merambati rongga dadanya.
Dani ingin berkata-kata lagi tapi dibungkamnya. Cowok itu menggeser posisinya
sedikit menjauh sambil mulai membuka-buka bukunya. “Ayo kita kerjain PR-nya,
Dan. Halaman berapa?”
Dani mendengus, tapi terlalu takut
untuk tersenyum. “Nggak tau. Buku catatanku kan ada di rumah.”
“Ya udahlah. Kerjain apa kek...”
Dan belum pernah sebelumnya Dani bisa
mengamati dengan jelas wajah cowok itu hingga sedekat ini...
...bibirnya yang pink... sepasang mata
tanpa kelopak yang bundar dan mungil bagai kancing,... rambut lurus hitam lebat
yang begitu kontras dengan pipinya yang mulus...
...ternyata teman sepermainannya itu
begini indah.
Debaran itu sebelumnya tak pernah ada.
Kini demikian kerasnya.
Dani tak lama-lama terhanyut dalam
pemandangan memesonakan itu. Pandangnya menangkap sesosok pria bertubuh tinggi
besar tengah celingukan di ujung teras satunya. Tampaknya pria itu baru ke luar
dari dalam rumah. Rambut lurus kecoklatannya panjang sebahu, kulitnya putih
agak kemerahan, dan sepertinya bukan saudara dekat temannya ini. Jika temannya
berwajah oriental, maka pria itu tampak kebule-bulean. Usianya mungkin sekitar
30-an?
Temannya itu menoleh, mengikuti arah
pandangnya. Detik berikutnya Dani kaget cowok itu sudah sedemikian ketat
menempelnya. Semakin ia bergeser menjauh, semakin cowok itu mendekatinya.
Pegangan kursi sudah terasa menekan pinggangnya. Dani tak bisa ke mana-mana
lagi. Kulit mereka lekat bersentuhan.
Pria itu menyadari keberadaan mereka
di sana. Ia melangkah mendekat. Lututnya sejengkal sudah dari pegangan kursi
dan didapatinya sepasang anak SMA yang berangkulan. Dengan nyamannya dagu yang
cowok bertumpu pada pundak yang cewek. Keduanya tampak asik memelototi halaman
terbuka sebuah buku yang terhampar di meja.
Namun Dani sungguh melotot. Tak keruan
lagi debar jantungnya yang sudah ingin mencelat copot. Cowok itu merangkulnya
sangat kuat. Dani tak bisa bergerak. Rongga hidungnya penuh menghirup harum
rambut dan aroma tubuh yang bukan miliknya. Tubuhnya menegang dijalari perasaan
panas dingin. Ujung-ujung rambutnya menyentuh bibir cowok itu. Terdengar
gelitik bisikan, “Rileks aja...”
Bukan hal mudah bagi Dani untuk dapat
melemaskan diri. Dani mencoba mengendalikan gejolak perasaannya. Tidak bisa.
Terlalu ganas. Hingga Dani merasa beban di pundaknya terangkat. Dani dan cowok
itu sama-sama mendongak ke arah si pria besar. Dani berusaha memasang tampang
sedatar mungkin saat menghadapi manusia yang tampak terpekur dan kesulitan
mengeluarkan suatu kata itu.
“Kalian ngapain?” ujar pria besar itu
akhirnya.
“Emang keliatannya gi ngapain?”
temannya itu menjawab dengan nada acuh tak acuh. Dani tak kuasa tak menggeliat
saat tangan cowok itu menyosor kikuk ke pinggangnya yang kurang berlekuk.
Sebelumnya adalah pipi cowok itu, lalu bibirnya, yang menempel di pipi Dani.
Dani benar-benar lemas sekarang, hanya bisa menunduk saja. Jiwanya terbang
entah ke mana.
Keheningan yang mengambang sejenak
terpecah oleh kedatangan seorang perempuan. Sepertinya ia juga baru dari dalam
rumah. Hitam rambutnya yang lurus panjang dikuncir ekor kuda itu begitu kontras
dengan warna kulitnya. Memang tidak begitu mirip (mata perempuan itu begitu
besar) namun Dani merasa perempuan itu adalah kakak temannya. Dengar saja
kalimat yang dilontarkan dari wajahnya yang terkejut, “Anjir lo, Dek, nggak
mungkin lo punya pacar!”
Cowok itu diam saja. Dagunya kembali
bertumpu manja pada pundak Dani lalu berkata lembut, “maaf ya, Yang, banyak
pengganggu...” Ia mengangkat dagunya lagi dan dengan lembut mengarahkan dagu
Dani agar menghadap ke arahnya. Kepala Dani berputar kaku. “Apa kita mau pindah tempat aja?”
Demi melihat isyarat yang dilancarkan
cowok itu sedemikian rupa padanya, yang mana pria besar dan perempuan itu
takkan dapat menyaksikannya, Dani mengangguk lemah dengan senyum yang
dipaksakan. Dilipatnya buku-buku jarinya yang bergetar.
Yang... Yang... Yang... Panggilan itu
mengiang-ngiang di kepalanya...
YANG?!
Cowok itu menggamit erat tangannya,
menariknya agar bangkit dan berlalu dari situ. Mereka melewati pria besar dan
perempuan itu menuju pagar di mana di baliknya si motor bebek merah masih aman
terparkir.
“Kita cari makan aja dulu yuk...”
Cowok itu berkata-kata lagi sesudahnya namun Dani terlalu bingung untuk
mendengarkan dengan jelas. Sampai di sebelah motor, cowok itu memakaikan helm
untuk kepala Dani sebelum memakai helm untuk kepalanya sendiri. Cowok itu tak
pernah bersikap sebaik ini kepadanya. Dani tercekat melihat kelembutan yang
tatap cowok itu pancarkan kepadanya. Tangannya masih digamit. Mereka terpaku di
balik pagar, saling berhadapan dan menatap. Satu, dua, tiga. Tatapan lembut itu
berganti isyarat agar Dani segera naik ke motor. Sebelumnya cowok itu berbisik
dekat wajahnya. Begitu dekat. “Taruh tangan lu di pinggang gua.”
Mata Dani menyorotkan kengerian. Dani
menggeleng-geleng cepat sambil balas berbisik keras, “Nggak mau! Nggak mau!”
Namun cowok itu ternyata punya kiat
lain agar Dani mengikuti kemauannya. Begitu motor sudah mereka tunggangi, ia segera tancap gas sehingga mau tak mau
Dani memeluk pinggangnya agar tak terjungkal. Dani masih bisa melihat sekilas
pria besar dan perempuan itu mendekati pagar untuk melepas kepergian mereka.
Ditangkapnya perasaan kecewa dan kehilangan dari sorot mata pria besar itu.
Nyatakah itu?
Sesampainya di jalan raya Dani ingat
untuk mencopot lengannya. Hati-hati Dani menggeser jarak duduknya sambil
berpegangan pada bagian belakang motor. Dalam deru angin senja yang menggelap,
ia mendengar sayup-sayup cowok itu berteriak, “Cowok yang tadi itu ngedeketin
gua trus gatau napa. Najis gua. Trus pas dia dateng untuk yang ke sekian
kalinya tadi, sebelum ketemu ama gua, langsung aja gua kepikiran buat nyulik
lu, pura-pura jadi cewek gua. Barangkali aja dia entar mundur pas tau kalo gua
ternyata normal. Untung aja gua pernah ngamatin kakak gua pacaran! Eh, tapi
yang tadi itu pura-pura aja ya...”
Dani tak mendengar rentetan kalimat
terakhir dengan jelas. Dani hanya menangkap kalau temannya itu sedang
dikejar-kejar pria besar tadi. Tapi gara-gara apa? “Hah? Nggak kedengeran!
Emang kamu ada utang berapa sama dia, sampai dia ngejar-ngejar kamu?”
Cowok itu tak menjawabnya. Mungkin
karena tak bisa mendengar suaranya dengan jelas atau mungkin karena sedang
konsentrasi mengemudi. Dani agak lega cowok itu kini tidak sengebut dan
seserampangan sebelumnya. Lebih-lebih lagi Dani bersyukur saat ia sampai di
halaman rumahnya dengan selamat. Dani meloncat turun dari dudukan motor sambil
mencopot helm. Cowok itu mengambil kembali helmnya namun tidak segera pergi. Ia
malah mematikan mesin motornya.
“Duh, langsung pulang nggak ya, gua?”
Dani memiringkan kepalanya, menangkap
pancaran kebingungan dari temannya itu. “Emang kenapa?”
“Takut masih ada di rumah.”
“Main aja dulu, ke mana... gitu?”
Cowok itu memutar kunci motornya lagi.
Gas menyala. “Iya ah. Gua main ke Genesis dulu aja deh.” Genesis adalah tempat
rental RPG di dekat sekolah mereka.
Tanpa mengucapkan “makasih”, cowok itu
minggat meninggalkan asap.
.
Menjelang larut malam. Kaki Dani
menjuntai ke bawah. Dani duduk di tepi lantai semen tingkat tiga bangunan rumah
yang belum jadi—rumahnya. Sepasang tangannya menggenggam harmonika perak kunci
C. Keresahan menyelubungi jiwanya.
“Dan... Ayo tidur...!”
Berkali-kali sudah bapaknya itu
berteriak. Dani tetap malas beranjak. Lantunan melodi La Vie en Rose yang
mengalir mesra dari harmonikanya tak ingin ia rusak. Ah, bapaknya itu tak
bosan-bosannya begitu. Tidak tahu bahwa
Dani sedang ingin bercerita pada bulan dan bintang-bintang yang bertaburan di
cerahnya angkasa, “Hai, bulan, bintang, malam ini hatiku berbunga-bunga dan aku
tak bisa meredamnya...”
.
Di kelas, cowok itu adalah tipe orang
yang bakal berjalan cepat ke bangkunya dengan cuek. Tanpa senyum, tanpa
merengut, tanpa menoleh kanan kiri. Kehadirannya jarang terasa oleh siapapun.
Teman perempuannya mungkin hanya Dani.
Dan mungkin hanya Dani pula yang
merasakan fenomena aneh ini. Jantungnya jadi berdebar tak keruan. Semakin Dani
mengingat cowok itu beserta segala pesona fisiknya yang baru disadarinya
kemarin, semakin kencang pula gemuruh di dadanya. Bertalu-talu dengan kekuatan
tinggi. Besar suaranya terdengar. Dug. Dug. Dug. Aih, Dani jadi makin resah.
Dani jadi ingin terus memainkan harmonikanya. Biarlah dentuman-dentuman di
hatinya ini menjadi pengatur ritme dari melodi-melodi romantis yang mendadak
jadi senang dilantunkannya.
Ketika bayang cowok itu menjauh,
debaran itu perlahan menghilang. Dani bisa menghembuskan nafas lega dan
menjauhkan lubang-lubang harmonika dari katup bibirnya. Tapi ketika ingatan
akan cowok itu kembali, aih, aih, debarannya jadi terasa kencang lagi!
Semalaman tadi hingga pagi ini batin
Dani hanya berisi kegundahan belaka. Padahal pagi ini adalah pagi yang
biasanya. Bangun subuh, pergi ke sekolah, bertemu teman-teman... Perasaannyalah
yang jadi luar biasa. Hingga tidak dapat ditahankannya lagi. Kegundahan ini
harus ada jawabnya. Setidaknya Dani harus tahu apa yang seharusnya ia lakukan
dalam keadaan yang tidak menentu seperti ini. Sesuatu yang indah telah mengoyak
ketenteraman hidupnya.
Maka, ketika cowok itu akhirnya
memasuki kelas pada beberapa saat setelah bel masuk berbunyi—seperti biasa—dan
hendak melewati bangkunya, dan debaran itu terasa kian kencang kian kencang...
oh, apakah cowok itu akan menoleh sejenak dan tersenyum hangat?—satu, dua,
tiga...
Cowok itu tidak tersenyum. Menoleh pun
tidak. Tetap cuek seperti biasanya.
“Raka!” Perut cowok itu tertahan di
lengannya.
Cowok itu memandangnya risih seraya
mundur sedikit. “Kenapa lo?”
Dani meneguk ludah. “Kenapa sih kita
harus pacaran?”
Cowok itu mengerjap-ngerjapkan mata
sipitnya.
(ah, desember yang resah...)
25
april 2009 * 19 desember 2009: 12.41 AM
Kamis, 17 Desember 2009
Anak Ayam Buruk Rupa
Permadani sersah berhiaskan
bercak-bercak nyala yang jatuh dari sela-sela tajuk di atasnya. Jika terlalu
lama di sekitarnya, akan terasa panas menyengat. Namun justru itulah yang
menguarkan hangat dalam keteduhan di bawah naungan kanopi hutan.
Garukan kaki Mama Ayam pada sersah
menambah riuh nyanyi para serangga yang melekat di batang pepohonan. Di
sekitarnya, para juniornya meniru-niru apa yang dilakukannya. Penuh rasa ingin
tahu mereka mengikuti ke mana induk mereka pergi. Ciapan mereka ikut
menyemarakkan orkestra hutan. Mereka semakin ribut ketika Mama Ayam mencabut
seutas cacing dari lubang yang baru digalinya.
“Mama! Mama! Aku dulu! Aku dulu!”
begitu mereka terpekik-pekik girang. Tembolok mereka sudah minta diisi lagi.
Belum cukup segala yang sudah tersimpan di dalamnya.
“Ayo, siapa tadi yang belum dapat?”
tanya Mama Ayam masih dengan menjepit cacing di paruhnya.
“Aku! Aku!” semua berteriak.
Sebetulnya ia tahu giliran siapa
sekarang. Ia hanya ingin menggoda anak-anaknya. Ia tak perlu menyuruh anak yang
akan mendapatkan gilirannya untuk membuka mulutnya. Paruh semua anak sudah
terkuak menganga. Cacing malang itu pun jatuh ke dalam lubang mulut Elena,
salah satu anaknya. Ditelannya benda kenyal panjang itu bulat-bulat.
“Mama! Mama! Kapan giliranku lagi?”
tanya Alicia, anak sulungnya, tak sabaran.
“Sabar, Nak...” Mama Ayam tersenyum
akan polah anaknya itu sambil meneruskan kembali langkahnya.
Barbara, Colin, dan Delilah juga
tampaknya sudah tak sabar pula ingin mendapatkan giliran mereka lagi. Loh,
tunggu... tunggu... sepertinya masih ada yang kurang... batin Mama Ayam. Hm,
mungkin ia masih di belakang, sibuk mencari makanan sendiri seperti biasa...
Cakar Mama Ayam kembali menyeruak
tumpukan sersah di hadapannya. Anak-anaknya segera mengejar. Berkeliaran di
sekitar induknya. Tak mau ketinggalan mendapati apapun yang tengah dilakukan
induknya.
Cakar Mama Ayam berhenti tepat di atas
seonggok bangkai ikan. Bagian perutnya sedikit terkoyak. Wah, kebetulan sekali
kali ini giliran si bungsu yang dapat makan... batinnya. Lantas kepalanya
celingak celinguk mencari sesuatu meski pandangnya hanya menangkap hamparan
tegakan pohon dan lenggokan kebingungan kepala anak-anaknya yang ikut-ikutan
berhenti.
“Ada apa, Mama?”
“Iya, ada apa? Ada apa?”
Ciapan yang saling menimpali itu
dijawab Mama Ayam, “di mana ya Fiona?”
Raut wajah anak-anak ayam itu berubah
jadi tidak senang. Pandangan mereka alihkan ke satu sama lain. Terdengar
gumam-gumam pelan yang menyiratkan kedengkian.
Kepala Mama Ayam masih
melenggok-lenggok. “Fiona, di mana kamu? Ada i—“
“NGAAAKKK!”
Ketentraman hamparan tumbuhan bawah Piper sp. terusik ketika sepasang cakar
besar itu menginjak-injak mereka tanpa ultimatum sama sekali. Sesosok unggas
berparuh amat panjang dengan sejumput acak rambut kepala melesat dengan
kecepatan tinggi seraya memekik-mekik. Gerombolan anak ayam terlonjak lalu lari
kacau balau menyelamatkan diri. Mama Ayam hanya mampu terpaku ketika paruh
kuning kemerahan nan panjang itu nyaris terantuk dengan paruhnya yang kuning
mungil namun tajam terpercaya. Tubuh makhluk yang sudah sedikit lebih besar
dari dirinya itu menimpa bayang-bayang tajuk pepohonan.
“Mana ikannya, Mama?” anak itu berkoak
lagi. Suara serak dan nyaringnya membuat anak-anak ayam yang sudah pada
menyingkir itu bergidik. Masih pandangnya terpaku pada makhluk tersebut, Mama
Ayam bergeser sejengkal dan memperlihatkan penemuannya. Kedengkian para anak
ayam menjadi-jadi demi melihat rakusnya makhluk jelek itu saat melahap si
bangkai ikan. Seonggok bangkai ikan yang mungkin akan mengenyangkan mereka
semua tapi tidak akan pernah cukup bagi si bocah nista itu. Mama Ayam hanya
bisa memandangi dengan hampa.
“Terima kasih, Mama!” koak anak itu
kali ini tidak membuat para anak ayam gentar. Tatapan keji mereka layangkan.
Mama Ayam mengangguk-angguk. Katanya, “apakah banyak ikan yang sudah kamu
temukan tadi, Nak?”, yang dibalas dengan anggukan semangat, “ya, Mama, tapi
rasanya aku belum cukup kenyang.”
“Oh, begitu, kalau begitu mari kita
cari makan lagi. Saudara-saudaramu juga sepertinya belum cukup kenyang.” Mama
Ayam berbalik hendak terus masuk ke tengah hutan. Tidak mendapati anak-anaknya
bergegas mengikuti seperti biasa, Mama Ayam mencari-cari. “Ayo, Anak-anak!
Masih ada banyak makanan di sana...”
Dengan enggan, para anak ayam beranjak
dan menjaga jarak sejauh mungkin dari saudara mereka yang lain rupa lain bentuk
itu. Kalau tak sengaja beradu pandang, mereka akan segera melayangkan sorot
mata penuh kebencian.
Mama Ayam yang menyadari itu hanya
bisa menegur, “yang rukun ya, Anak-anak... Fiona, kalau cari makan jangan
jauh-jauh ya. Nanti kamu tersesat.”
“Huh, biar saja dia tersesat. Jadi
kita tidak usah sama-sama dia lagi...” desis Delilah pada Colin.
“Kenapa sih, namanya harus mirip
dengan namaku? Sama-sama ada ‘na’ di belakangnya!” keluh Elena untuk ke sekian
kalinya selama beberapa minggu kehidupannya.
Alicia, si sulung, hanya bisa mengusap
punggung adiknya. “Sabar... Sabar...”
Barbara tak kalah sebalnya. Tapi ia
tidak menemukan kata-kata yang cukup kejam untuk dilontarkan. Jadi ia diam saja
dengan muka merengut.
Mama Ayam sudah tidak tahu lagi apa
yang bisa dilakukannya agar mereka berhenti berbisik-bisik seperti itu. Ditegur
berkali-kali sudah tidak mempan. Bukan hari ini saja mereka mendiskriminasi
sesama saudara mereka itu, melainkan setiap kali mereka bersamanya. Dan itu
hampir sepanjang hari. Ia hanya bisa berharap agar perasaan Fiona, anak
angkatnya itu, tidak terluka demi mendengar semua perkataan yang menolak
kehadirannya. Suatu kehadiran yang tiba-tiba. Ingatan Mama Ayam melayang...
Malam itu, dari balik kandangnya yang
luas dan berpenerangan cukup, dengan anak-anaknya—yang belum berapa lama
berhasil melepaskan diri dari belenggu cangkang—mencuri kehangatan dari balik
kedua sayapnya, Mama Ayam dicemaskan oleh pemandangan yang terlihat dari balik
jendela kawat. Tumpukan tebal jerami yang ditungganginya tidak cukup melarutkan
kesadarannya ke alam mimpi. Terlihat olehnya garis zig zag keperakan melecut
langit ungu. Butir-butir air meluncur dari sana, mulanya perlahan. Setetes demi
setetes, hingga makin lama makin lesat menjadi peluru. Udara menggeliat pesat
menjelma badai yang menghantam-hantam. Harmoni kanopi hutan di kejauhan goyah.
Himpunan tajuk digoyang-goyangkan dalam irama yang tak beraturan. Kacaulah
apa-apa yang berdiam di atas maupun di dalamnya. Peluru air kian bertubi
ditembakkan langit, menambah porak poranda komposisi suara yang terdengar dari
luar sana...
Keesokan paginya, sepasang tangan
mungil menghantarkan makhluk itu ke dalam kandangnya. Dalam balutan kain handuk
kumal, makhluk itu terlihat sama ringkihnya dengan anak-anaknya yang belum lama
melihat dunia tersebut. O lihat ukuran badannya yang jauh lebih besar dari
mereka, bulu-bulu cokelat-putih-hitamnya yang bercampur aduk dan nampak masih
sedikit basah, sepasang mata yang menatap waspada serta curiga, dan paruh amat
panjang yang begitu mengancam...
Mama Ayam sedikit gentar. Ia tekan
kepanikannya meski anak-anaknya gelagapan berebut tempat persembunyian yang
aman di balik tubuh induknya. Setelah lama mengamati makhluk asing tersebut,
Mama Ayam mendapat keyakinan bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan darinya.
Makhluk itu sama membutuhkan perlindungan sebagaimana anak-anaknya sendiri.
Maka makhluk itu direngkuhnya, membikin anak-anaknya tambah gelagapan karena
tempat persembunyian mereka mendadak bergerak menjauh. Makhluk itu sempat
menghindar hingga tersudut. Namun tak memberinya perlawanan apa-apa. Makhluk
itu tidak berbahaya.
“NGAAAKKK!”
Ya, mungkin koakannya agak sedikit mengagetkan.
Koakan yang mengingatkannya akan para
makhluk yang bersinggasana di atas hutan. Jumlah mereka amat banyak,
mendominasi langit. Tidak pernah mereka sudi menjejakkan kaki di atas tanah,
kecuali anak mereka, yang sebesar tubuhnya, yang terjatuh dari sarangnya.
Bahkan untuk menjemput anak mereka yang sudah menyentuh tanah pun mereka tak
sudi! Semakin bertambah rasa ibanya pada makhluk di hadapannya itu.
Begitulah awal mulanya makhluk itu
menjadi bagian dari keluarga kecilnya. Diperlakukannya makhluk itu hampir sama
seperti anak-anaknya, apalagi setelah ia sadari bahwa makhluk itu juga tumbuh
berkembang. Tentu makhluk itu membutuhkan asupan nutrisi juga, dengan porsi
lebih, sebagaimana ukuran tubuhnya yang jauh lebih besar dari yang lainnya. Ia perhatikan
juga, manusia yang biasa memberi ia dan anak-anaknya makan, memberikan jenis
makanan yang berbeda pula pada makhluk itu. Sesuatu yang tak pernah ia lihat
diberikan sebagai pakan khusus bagi bangsanya: ikan. Dalam jumlah yang cukup
besar pula. Namun Mama Ayam tak komplain. Cukuplah semua dedak dan pakan buatan
pabrik lainnya itu. Ditambah hasil mencari-cari sendiri di hutan seberang
kandang.
Makhluk itu juga sungguh menarik
perhatian. Tidak hanya manusia-manusia dengan rupa itu-itu saja yang biasa memberi
makan yang kini suka mendekatinya—mendekati makhluk itu. Ada lebih banyak rupa
manusia, memandang, mendekati, mencoba meraih makhluk itu. Kadang mereka
berhasil dan kadang tidak. Makhluk itu mereka pangku, belai, dan sentuh dengan
macam-macam benda. Sementara itu Mama Ayam dan anak-anaknya lebih suka
menghindar tidak dekat-dekat dengan manusia. Jika Mama Ayam dan anak-anaknya
sudah begitu jauh menghindar, makhluk itu akan melompat dari pangkuan manusia
yang sedang menjamahinya dan bergegas menyusul.
Hari demi hari terus berganti.
Anak-anaknya sudah lebih besar, termasuk makhluk itu. Dengan ukurannya yang
sekarang, ia sudah hampir tidak muat lagi masuk kandang. Kalaupun berhasil
masuk, maka ia akan membuat ayam-ayam yang di dalamnya kesempitan. Maka oleh
para manusia itu, dibuatkanlah ia sebuah kandang sendiri di samping kandang
Mama Ayam dan anak-anaknya. Meski demikian, seringkali makhluk itu memaksa
masuk ke kandangnya yang sebelumnya, bersama para ayam.
Kebutuhan makan makhluk itu pun jauh
lebih besar lagi. Sering Mama Ayam menangkap percakapan samar-samar para
manusia,
“Dibuang aja ya cangaknya. Makannya
banyak banget e... Ikan pula!” kata sebuah suara berat yang segera ditanggapi
oleh sebuah suara nyaring dan cempreng, “jangaaaan! Tunggu sampai dia besar dan
bisa makan sendiri, Pak e.”
“Lah, mau sampai kapan?” suara berat
itu menanggapi. “Mau nggak para mahasiswa itu beli makan buat dia?” Lalu
suara-suara manusia itu semakin menjauh hingga tak terdengar lagi.
Sehingga Mama Ayam dan anak-anaknya
pun makin hari jadi makin lama menghabiskan waktu di hutan. Bukan karena belum
kenyang mencari cemilan, wah tak terkira betapa melimpahnya apa yang mereka
cari itu di hutan, melainkan karena menunggui makhluk itu puas mencari bangkai
ikan yang berceceran di lantai hutan agar mereka semua bisa pulang
bersama-sama. Ya, sementara Mama Ayam dan anak-anaknya memagut cacing,
serangga, rayap, bekicot, dan hewan-hewan kecil lainnya, makhluk itu menyusuri
lantai hutan hanya untuk mendapatkan bangkai ikan. Kadang ada pula yang jatuh
menggelepar dari langit, menghantam tanah, lalu menggelepar lagi sebentar
hingga tak bergerak sama sekali. Sering pula jumlah bangkai ikan yang ditemukan
tidak memuaskan nafsu makan makhluk itu. Kalau sudah begitu, mau tak mau ia
coba juga melahap yang induk dan para saudara angkatnya pagut. Maka para
saudara angkatnya itu akan makin gencar saja memancarkan hawa permusuhan.
Jika makhluk itu sedang berada cukup
jauh dari mereka, anak-anak ayam akan mencurahkan segala protes, keluh kesah,
dan uneg-uneg pada induk mereka, atau lebih seringnya pada sesama mereka
sendiri.
“Ma, kenapa sih makhluk jelek itu
harus selalu bersama-sama kita?”
“Iya, udah jelek, gede, badannya nggak
proporsional lagi. Liat aja, paruhnya panjang banget!”
“Makanannya juga beda sendiri. Ikan!
Ikan gitu loh! Kita aja nggak dapet yang seperti itu!”
“Mama selalu menegur kita kalau kita ikut mencicipi ikan. Kata Mama, sisihkan itu buat dia, kita sudah cukup dapat makan yang lain. Padahal kan kita penasaran ingin tahu seperti apa rasanya yang dia makan!”
“Makannya banyak banget lagi.
Perhatiin nggak sih, dia udah segede apa sekarang? Lama-lama, mama kita juga
yang dia lahap!”
“Dia juga suka bikin manusia datang
mendekat, kan kita jadi takut!”
“Aku benci dia!”
“Aku juga!”
“Kita semua benci dia!”
Mendengar semua cercaan anak-anaknya,
Mama Ayam mencoba menjelaskan, “jangan begitu, Anak-anak.... Meskipun kita dan
dia berbeda rupa, tapi sesungguhnya kita semua satu, sama-sama unggas!”
Anak-anak ayam tak mau mengerti.
Mereka tetap gencar melontarkan caci-maki. Dan menularkan tabiat itu dari
generasi ke generasi.
.
Makhluk itu hanya bisa tabah menerima
segala bentuk diskriminasi. Luka hatinya sudah sedemikian koyak hingga kebal
dibubuhi ucapan-ucapan menyakitkan.
Kini ia sendiri. Induk yang dulu
begitu memerhatikan dan menyayanginya sudah jadi pupuk di septic tank. Ya, sekian tahun telah berjalan. Para saudara
angkatnya sudah tumbuh besar juga, tapi tak sebesar dirinya tentu. Sebagian
entah sudah bertelur untuk yang ke berapa kali sedangkan sebagian yang lain
entah bagaimana nasibnya sekarang— dibawa oleh para manusia itu entah ke mana.
Kandang yang dulu sudah tidak ada melainkan diganti oleh kandang yang lebih
besar. Jumlah anak ayam bertambah cukup banyak. Semakin banyak pula perkataan
tak menyenangkan itu. Padahal ia merasa tak pernah mengganggu mereka. Malah
sering ketika ada kucing yang coba-coba mendekati mereka, ia akan segera lari
menghalau predator tersebut hingga terbirit-birit pergi. Namun apa yang ia
dapat? Tak sejumput pun apresiasi melainkan gempuran caci maki. Siapa yang
tidak sedih?
Manusia pun sudah tak hirau lagi akan
dirinya. Semakin lama ia jadi lebih banyak di hutan, berusaha memenuhi sendiri
kebutuhan makannya. Celah-celah banir Dipterocarpaceae menjadi tempat
berlindungnya. Berharap setiap saat agar ada semakin banyak bangkai ikan yang
jatuh dari langit. Tak jarang harapannya itu dijawab dengan sebercak kotoran
yang mendarat di paruhnya. Sebercak kotoran yang kemudian disadarinya mirip dengan
punyanya. Bukan sesuatu yang asing sebetulnya. Bercak kotoran ini ada di
mana-mana, menimpa setiap jenis tumbuhan di hutan ini. Bahkan ada suatu tempat
di mana hampir seluruh permukaan tumbuhan di sana berwarna putih karena
kejatuhan kotoran macam ini.
Maka ia jadi suka memandangi langit.
Menghapal sosok yang menelurkan kotoran sebagai yang punyanya itu. Ada banyak
sosok serupa beterbangan di atas sana. Dengan kaki jenjang yang terkatup,
membumbunglah para makhluk bersayap hitam lebar membentang itu. Saat mendarat
di pucuk kanopi, terlihatlah jelas bagaimana sosok mereka. Paruh mereka amat
panjang, sebagaimana paruhnya. Sebagian tubuh mereka, dari puncak kepala hingga
leher, berwarna putih, sedangkan sebagian sisanya berwarna hitam, sebagaimana
miliknya. Ia mematut bayangannya di genangan air bekas hujan semalam. Tidakkah
ia dan mereka serupa? Namun kenapa aku tidak berada di atas sana? tanyanya.
Ayam macam apa mereka? Ia coba mengepak-ngepakkan sayapnya dan meloncat-loncat.
Tidak bisa. Tubuhnya terasa berat. Sayapnya, yang padahal lebar, terasa begitu
ringkih. Mungkin memang sudah nasibku untuk tinggal di bawah sini, pikirnya,
mungkin aku mengidap kelainan. Ia kembali celingukan, mengacaukan tumpukan
sersah, demi mencari bangkai ikan yang siapa tahu terselip di sela-sela.
.
Keempat orang mahasiswa itu kompak menghalau
serangan nyamuk yang segera menyambut begitu mereka memasuki kawasan arboretum.
Para nyamuk berukuran relatif besar dengan loreng-loreng putih itu begitu
bandel mengitari apapun yang berwarna hitam dan melekat di tubuh. Lama-lama
capek juga mereka meladeni para nyamuk itu. Masak calon rimbawan takut nyamuk,
begitu pikir mereka. Meski tak ayal rencana untuk membawa lotion anti nyamuk pada kunjungan berikutnya muncul dalam kepala.
Melengganglah terus mereka ke semakin ke dalam hutan.
“Jadi kita ngapain sih?” tanya Ucok,
salah satu dari mereka, tiba-tiba. “Kok kalian dari pintu masuk nunduk-nunduk
terus.”
“Piye tho, Ndul? Wah... ra beres
ki...” timpal seorang yang lain, yang berkacamata dan berkulit agak terang.
“Nyari bangke ikanlah! Penciuman lo
kan tajam tuh... kayak anjing polisi...” seorang yang lain ikut nyablak
“Ah, males ah!” seru Ucok. “Biar Teh
Iis aja deh yang nyari.”
Ucok tersenyum pada gadis di sebelahnya,
yang hanya pasang tampang merengut. “Ayo, Cok, nyari juga...” katanya serius,
punggungnya membungkuk terus sambil sesekali memasukkan sesuatu ke dalam
plastik bening yang dibawanya.
“Aduh... Nggak ada cara yang lain ya
buat ngidentifikasi pakan burung cangak?” Ucok mengusap-usap perutnya. Iis
memalingkan muka, mencari ke arah lain.
“Yo kata Pak Wawan kan kita harus
ngumpulin bangkai ikannya, bar iku diidentifikasi apa aja jenisnya.”
“Iya, Cok, ngerti gak lu, Cok? Kasian
tuh anak-anak Perikanan kolam mereka ikannya abis, gak ada objek penelitian
lagi tuh mereka.”
“Ha ha, beli aja ikan yang baru...”
“Ya, lu mau beliin?! Cangak di kampus
kita tuh overpopulated tau!”
“Ah, udah ah, jangan pada berantem
atuh! Yang penting ayo kita sama-sama tuntaskan PKM ini!” sergah Iis yang malah
ditanggapi nyanyian Ucok.
“Ooo.. seperti ular! Seperti ular!
Suka memangsa... Eh, di arboretum kita nih ada ularnya nggak sih—“
“Sst—sst—diem!” mendadak Bagus, yang
sedari tadi bicara dengan logat Jawa kental itu, menepuk-nepuk Ucok agar bocah
itu bungkam.
“Ada apa sih?” Benny—si logat Betawi,
setengah berbisik. Ketiga orang lainnya segera mencari-cari arah pandang Bagus
dan mendapati sesosok cangak dewasa dengan kaki menapak lantai sersah. Burung
tersebut tampak tenang mengais-ngais tanpa sedikit pun menyadari kehadiran
mereka. Benny mendesis, “belum pernah gua liat cangak sedekat ini...”
“Ssstt...” kali ini Iis yang
menyemburkan desis. Tanpa mengalihkan pandangan dari si cangak, ia mengeluarkan
kamera dari sakunya dan mulai mencari-cari angle
yang pas. “Jarang-jarang nemu cangak dewasa lagi jalan-jalan gini...”
“Aneh yo...” gumam Bagus.
“Mungkin dia lagi capek terbang kali.
Atau lagi pingin cari pengalaman baru ajaa...”
“Ssst!” Bagus, Iis, dan Benny kompak
berbalik untuk membungkam Ucok. Dibegitukan, malah memunculkan suatu ide dalam
benak anak Batak itu. “Eh, napa nggak kita tangkap aja si cangak itu? Terus
kita observasi? Kita bedah perutnya trus liat apa aja yang dia makan?”
Teman-temannya tidak mau susah-susah
memikirkan kemungkinan tersebut. Mereka kembali mengamati si cangak.
“Eh, gua jadi keinget sesuatu deh.”
“Apa Ben?”
“Inget gak, dulu Pak Sapto, penjaga
kampus kita itu, kan pernah melihara burung cangak gitu. Tapi cangaknya masih
kecil.”
“Oh iya, iya. Dulu sempet jadi bahan
penelitiannya anak kelompok pengamat burung juga kan? Tapi gara-gara makannya
banyak banget akhirnya dilepas ke sini kan?” Iis menambahi.
“Jadi maksud kalian, ini tuh cangaknya
Pak Sapto yang dilepas itu?” ujar Bagus.
“Ya, secara tu cangak kan dipelihara
ampe rada gede. Kapan dia belajar terbangnya coba? Jadi wajar aja kali dia ampe
segede gini nggak bisa terbang...” Benny berkacak pinggang. Sikutnya menyenggol
keras eboni di sampingnya. Sekonyong-konyong jeritan Benny menggoyangkan helai-helai
tajuk. Si cangak pejalan kaki tersentak. Lekaslah ia berlari dari apapun itu
yang sepertinya akan mengancamnya.
“Ih, Benny, lebay amat sih! Tuh kan,
cangaknya jadi lari!” omel Iis.
“Ayo, serbu!” Ucok tancap gas. Ia
mengayuh kakinya mengikuti arah si cangak berlari. Refleks teman-temannya
mengikuti. Bagus segera menyusul di samping Ucok. Iis sedikit di belakang
mereka. Benny paling belakang, masih mengaduh-aduh karena efek ‘kesetrum’ belum
hilang dari sikutnya.
“Ayo kita bawa cangak ini saja ke Pak
Wawan. Unik kan? Cangak yang nggak bisa terbang!”
“Terserah lu deh, Cok!” seru Benny
dari kejauhan. Bagus menoleh lalu tak habis pikir mengapa dia tahu-tahu sudah
ikut berlari bersama Ucok. Tapi nanggung kalau berhenti!
“Eh, eh, ayo kita jebak dia sampai ke
pagar pembatas yang di depan sana itu! Bagus, kau ke kiri! Iis, kananku, yak!
Benny, kau yang jadi pemandu soraknya, okay?!”
“Ah, apaan sih lu, Cok?!”
.
Tak terkira betapa takutnya makhluk
itu. Sayapnya terus dikepak-kepakkan, berharap sepasang benda itu bisa berguna.
Padahal ia sudah mengerahkan semua kemampuannya untuk berlari dan melewati
celah-celah yang sepertinya tidak akan mampu dilewati manusia. Tapi para
manusia yang ini gesit sekali! Mereka tinggal beberapa meter lagi di belakangnya,
sementara beberapa meter lagi di depannya adalah pagar kawat.. Ya ampun, ia
telah melampaui batas rawan! Dalam pengalaman kelananya mencari makan bersama
Mama Ayam dan anak-anaknya, tak pernah mereka sampai sedekat ini dengan pagar
kawat. Pagar kawat yang membatasi kehidupan syahdu hutan dengan hiruk pikuk
dunia manusia beserta segala urusannya. Terang benderang di sana dengan sedikit
permukaan yang tertutup hehijauan. Hanya ada kumpulan gedung yang teramat besar
dengan banyak manusia berseliweran. Ah, manusia, sudah lama ia tidak pernah
dijamah mereka dan ia pun tak suka mereka jamah. Kini makhluk itu terasa
demikian menakutkan baginya.
Kepanikan terus memburunya, menyentak
kalbu. Sebentar lagi ia akan menabrak pagar kawat itu—dan terkepung! Oh, entah
apa yang akan terjadi selanjutnya. Entah apa yang akan para manusia itu lakukan
terhadapnya nanti. Ketakutan Mama Ayam dan anak-anaknya saat bertemu manusia
merasuki dirinya. Apa yang akan Mama Ayam lakukan jika berada dalam keadaan
genting seperti ini?!
Mama Ayam akan mengepak-ngepakkan
sayapnya dan meloncat. Terus mengepak hingga cakarnya menggapai tanah. “Ini
bisa sedikit meringankan bebanmu saat terjun ke bawah,” terngiang nasihat Mama
Ayam suatu kali saat mengajar anak-anaknya teknik meloncat yang baik dan benar.
Lalu ia akan mendarat di seberang pagar dan kembali ke kandangnya, pasti ada
jalan memutar untuk ke sana, meski harus menghadapi rintangan manusia demi
manusia.
Kali ini kepakan sayap makhluk itu
berhasil melontarkan tubuhnya ke atas tanah, lebih tinggi dari yang ia kira,
hingga sepasang kakinya lurus menjejak melewati pagar kawat. Aku tak mau jatuh,
aku tak mau jatuh... ucapnya
berkali-kali dalam hati. Terus ia kepakkan sayap hitam lebarnya. Terus...
terus... berharap agar tidak terlalu sakit nanti saat mendarat... Hei, kenapa
aku tidak mendarat?
Suara keributan para manusia itu
terdengar makin sayup-sayup, makin jauh, makin jauh...
“Eh, cangaknya ternyata bisa terbang!”
“Buset! Sialan tu cangak pake
kecepirit segala! Mana kena pipi gua! Mana bau lagi!”
“Makanya kau jangan terlalu
bersemangat, Ben...”
“Sialan lu, Cok! Sialan!”
“Kayaknya ini gara-gara kita
kebanyakan ngerjain tugas, laporan praktikum, makanya kita jadi
berhalusinasi...”
“Macam mana itu, bah!?”
Makhluk itu terus mengepakkan
sayapnya, membumbung ke angkasa, meninggalkan wajah para manusia yang terpana,
hingga cukup tinggi untuk melihat ke bawah...
Terperangah ia akan kemampuannya
sendiri.
Kembali ia merosot ditarik bumi.
Rupanya ia belum bisa terbang terlalu jauh dan tinggi! Dikepakkan lagi
sayapnya. Merosot. Naik. Coba lagi dan coba lagi. Jika aspal yang ditapaki, ia
kencang berlari, seraya menghimpun tenaga untuk mencoba terbang lagi.
Sekali-kali harus dihindarinya macam-macam benda saat sedang berlari. Namun
pada akhirnya ia bisa terbang lagi. Dan jatuh lagi. Terbang lagi. Semoga kali
ini cukup tinggi. Yeah! Ia mencoba berputar menukik ke arah hutan, masuk ke
dalam rerimbunan kehijauan, tersangkut-sangkut pada ranting demi ranting
sebelum akhirnya kembali menghunjam tanah. Tidak apa-apa. Ia jatuh di kawasan
yang tidak ada manusianya. Ia berlari dan mencari tempat persembunyian yang
takkan terlihat oleh siapapun.
Dan ia sadari hidupnya akan segera
berubah setelah ini.
Makhluk itu terus berlatih terbang.
Sekali waktu ia berhasil menyembul dari balik tajuk, menyapa sesosok yang mirip
dirinya. Sosok itu menoleh namun ia keburu terperosok. Tekadnya untuk mengasah
terus kemampuan terbangnya semakin kuat. Ia ingin segera bisa bergabung dengan
makhluk-makhluk serupa dirinya di atas sana. Ikut mencari makan di kolam-kolam
yang jauh. Mendaftar dalam Komunitas Cangak Arboretum (KOMCATAR). Sekali-kali
meluncurkan tai kepada para saudara angkat kejam beserta anak-anaknya. Kadang
pula ia menjatuhkan sisa ikan yang dimakannya ke arah mereka. Mereka akan
langsung berpencaran, kaget akan bom ikan yang datang tiba-tiba, sebelum
kemudian mengerumuni potongan ikan itu dan mencacahnya dengan rakus, sampai
seekor kucing datang mengacaukan. Mereka segera lari lintang pukang tak tentu
arah. Akhirnya kucing itulah yang menghabiskan sisa santapan mereka.
Dan jauh di hamparan kanopi di atas
sana, seekor cangak telah menemukan jati dirinya. Kini ia menjadi bagian dari
titik-titik putih di tengah gumpalan-gumpalan hijau tanpa banyak celah. Berbahagialah
hidupnya selama-lamanya bersama ratusan sosok yang serupanya.
8 maret 2009
17 desember 2009: 12.31 AM
teruntuk para anak cangak arboretum yang terjatuh dari
sarangnya.
Banyak Dibuka
-
“ Du ” (“ You ” dalam bahasa Inggris) adalah lagu yang dibawakan oleh Peter Maffay, seorang musisi Jerman. Lagu ini menjadi hit terbesar d...
-
Gambar dari situs web Pustaka Yayasan Obor Indonesia . Penulis : Bahagia, SP., MSc. Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta ISBN ...
-
Perkenalan dimulai waktu SMA, lewat novel 1984 yang dipinjam dari perpustakaan sekolah. Kondisi buku tersebut sudah tidak begitu bagus. Di ...
-
Penulis : Fachruddin M. Mangunjaya Penerbit : Yayasan Obor Indonesia atas bantuan Bank Dunia ( The World Bank ) dan Conservation Internat...
-
Tersebutlah kisah sepasang suami istri. Sang suami dikenal sebagai seorang suami yang berperasaan. Dia mau membantu istrinya mengerjakan ...
-
Di rumah ada seekor kucing betina. Dia lahir dari seekor kucing betina liar yang kawin dengan salah seekor kucing jantan yang dipelihara d...
-
...sebelumnya ada Makam Kristen, Makam Batak, dan Makam China... Makam Freemason Kami menemukan dua makam dengan simbol Freemason yai...
-
Buku Sejarah dan Sejarawan yang ditulis oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan diterbitkan oleh PN Balai Pustaka ini tebalnya hanya 24 h...
-
Malam pergantian tahun, sudah kutetapkan resolusi. Salah satunya adalah membantu orang lain. Mulai tahun depan tidak akan ada lagi yang bila...
-
Pada 13 – 16 Oktober 2010, saya berkesempatan untuk pulang ke Bandung. Tak sedikit sesuatu menarik yang saya temu dan alami selama di sana....
Pembaruan Blog Lain
-
Tempo Nomor 24/XXXI/12 – 18 Agustus 2002 (Edisi Khusus 100 Tahun Hatta) - ISSN : 0126-4273 Rp 17.500 Mohammad Hatta adalah pahlawan nasional favorit saya karena selain sama-sama kutu buku, ada banyak anekdot… Read more Tempo Nomo...6 hari yang lalu
-
Batasan - Hari ini akan kuterima batas-batasku. Hari ini akan kutetapkan batas-batas dalam kehidupanku. Hanya karena keluargaku hidup dalam kekacauan, bukan berarti ...2 tahun yang lalu
-
Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu - *Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penan...6 tahun yang lalu