Putaran sepeda Daffa melambat. Kontras dengan gelap yang menyambangi, dalam pandangnya adalah pendar remang-remang dari kubik pos kamling, dalam pendengarannya adalah alunan lirih nada-nada pentatonis, dan dalam penciumannya adalah samar-samar aroma kretek. Beberapa meter lagi ditempuhnya hingga tidak sekedar itu saja yang ditangkap indranya, tapi juga si Bapa dalam sarungnya. Bersandar pada dinding anyaman bambu. Kepala Bapa bergeleng pelan, wajahnya berkerut-kerut, seiring bergantinya nada yang dibunyikan radio soak di hadapannya.
“Bapa…?”
tegur Daffa. Lebam yang tercetak di sebelah wajah Bapa saat menoleh membuatnya
terperangah.
Kembalilah
Bapa ke alam nyata. “Eh, Jang…” Kerutan-kerutan bertambah kala sepasang mata
itu menyipit menyambutnya. “Baru selesai latihan yah?”
Tangan
Bapa tebal dan kasar benar terasa dalam genggamannya. Dikecupnya punggung
tangan itu. Lukisan abstrak warna-warni menjalar dari pergelangan hingga bagian
yang tertutup lengan kaos.
“Sendirian
aja atuh, Pa,” basa-basi Daffa yang
dijawab mulut Bapa dengan kepulan asap. Dan lirih yang serupa bisikan, “Nanti
Bapa ke rumah, pas si Mamah udah bobo yah.”
Sembari
mengayuh sadel lagi, mata Daffa bertemu tulisan pada selembar kertas yang
tertempel di papan pengumuman samping pos kamling. Diterangi pancaran lampu
penerang jalan ia membaca,
KEPADA
YANG NGERONDA
WASPADALAH!!!
BANYAK
TERJADI KEHILANGAN KHUSUSNYA:
MALAM
JUM’AT & MINGGU
(MONTONG
GAPLEH WAE GOBLOG)[1]
Entah
siapa yang telah membuatnya, mungkin pengurus RT setempat. Tersenyumlah Daffa
sambil geleng-geleng kepala karena peringatan yang menyinggung Bapa dan
kawanannya itu. Sudahkah mereka membacanya?
***
Dingin angin Bandung kala malam tak kuasa menyirnakan lengket dari tubuhnya. Kembali ia menapak sebidang jalan yang lebarnya tak cukup memuat mobil, yang sudah dikerasi semen dan kadang dilapisi air sebetis saat hujan sedang deras-derasnya. Sesekali roda sepedanya menggilas satu dua sampah plastik yang terkapar. Bayang jangkungnya melebur dengan bayang satu demi satu rumah yang dilewatinya. Hingga bayang rumah mungilnya kini yang menaungi.
“Assalamualaikum…”
sapanya sembari menginjak ubin gelap yang tidak dikunjung diganti keramik. Ikut
dimasukkannya sepeda yang tadi ditungganginya ke dalam rumah. Disandingkannya
benda itu—yang sudah dibalur banyak baret dan catnya sudah terkelupas di
sana-sini—dengan dinding ruang depan.
“Waalaikum
salam wa rahmatullah wa barakatuh…” Mamah melongok dari balik kusen dapur.
Sosoknya yang tegap kendati kerap digurat pedihnya hidup menghilang lagi,
diganti oleh teguran nyaringnya, “Udah makan belum?”
“Parantos… Tapi da laper deui[2]…”
“Ieu keneh aya lauk, sok[3]…”
Disibaknya
selembar tirai lusuh bermotif kembang-kembang cokelat yang mengisi rongga kusen
kamar depan. Sebidang kayu yang sebelumnya menempati kusen tersebut sudah
bertranformasi menjadi kandang ayam di halaman belakang rumah.
Dalam
kamar yang agak pengap itu ia dapati Nana bersandar di dinding seberang. Adik
perempuan semata wayangnya itu duduk di atas spring bed, yang kalau spreinya diangkat akan tampak
lingkaran-lingkaran bekas ompol mereka saat masih kecil. Dan kalau tidak
hati-hati, akan keluar ucapan mengaduh kesakitan dari mulut karena tertusuk
tonjolan per yang tersembunyi bagai ranjau di beberapa titik di kasur tersebut.
Tubuh anak itu terlihat gembung dibungkus baju hangat. Tangannya menggenggam
secarik gombel. Sesekali terdengar suara ingus disedot. Dan batuk-batuk. Di
pangkuannya terbentang sepasang halaman buku yang sepertinya buku pelajaran.
Daffa berdecak-decak.
“Tadi Dede udah jadi ke Puskesmas belum?”
tegur Daffa lembut. Nana membalik tubuhnya kala Daffa mengganti seragam
sekolahnya yang bau keringat dengan sarung.
Pakaian-pakaian
mereka berdua bercampur dalam satu lemari di kamar itu. Lemari yang sekujur
permukaannya hampir penuh ditempeli stiker dan salah satu engsel pintunya sudah
rusak. Begitupun dengan buku-buku pelajaran dan barang-barang pribadi mereka
lainnya, sebagian besar disimpan di kamar itu juga. Biarpun begitu Daffa jarang
tidur di situ, apalagi di kamar sebelah—yang ditempati Mamah. Hanya ada dua
kamar tidur di rumah itu, sama sempitnya. Daffa biasa tidur di hammock atau sofa ruang depan. Sofa yang
sudah pada robek kulitnya hingga memamerkan busa kuning di mana-mana, dan
bolong di beberapa bagian.
“Flu
biasa aja, A. Paling juga lusa udah sembuh.” Parau suara Nana yang disertai
batuk-batuk.
“De,
tadi Aa ketemu si Bapa di pos kamling. Kunaon
nya si Bapa? Beungeutna meni lebam kitu[4],”
ucap Daffa setelah mendengarkan cerita Nana mengenai kunjungannya ke Puskesmas
pagi tadi. Kakak beradik itu kini duduk berhadapan.
“Abis
berantem lagi sama si Mamah.” Suara pelan Nana berubah bisikan, “..biasa… Si
Bapa bau ciu. Eleh deui[5].”
“Iraha[6]?”
“Beurang…[7]”
“Terus?”
“Nya kitu weh… Ku si Mamah ditabokan
make wajan.[8]”
Mereka
ulang kejadian tersebut dalam kepala membuat Daffa ingin tertawa, tapi kok
rasanya miris. Nana melanjutkan kisahnya. Disertai dengan ingatan akan
percakapan di antara kedua orangtua mereka, yang tak perlu lagi ia kuping
diam-diam, pasti terdengar juga sampai ke rumah tetangga. Sambil memukuli Bapa,
Mamah menjerit-jerit.
Mana nyeri, nyeri nyeri teuing. Ceurik ati di tambelakan, henteu benang
ku disabaran. Aduh alah ieu, tega teh teuing!
Indit sore tulunyungna subuh. Abdi tunduh mukakeun
tulak. Batin nyeuri ceurik sorangan. Aduh alah ieu, tega teh teuing!
Nyeri-nyeri-nyeri, moal benang di ubaran! Kajen tutumpuran paeh ge teu
panasaran. Mempeng ngora keneh, mempeng urang can batian, pek geura serahkeun,
talak tilu sakalian!
Henteu butuh lalaki curaling! Boga rasa asa ieu aing, henteu robah teu
eling-eling. Aduh alah ieu, tega teh teuing![9]
Daffa
mengusap dahi dan pipi adiknya yang berkeringat. Ia optimis adiknya lekas
sehat.
***
Pintu
kamar mandi berderit keras. Daffa menapakkan sebelah kakinya ke atas permukaan
kasar karpet, disusul kakinya yang sebelah lagi. Ia merasa sudah lebih segar,
meski letih akibat latihan beban sesorean tadi masih merangkul tubuhnya. Dan
kini ia siap mengisi perutnya lagi, meski selepas magrib tadi ia sudah
ditraktir pelatihnya makan di kantin gelanggang. Selagi mandi tadi sudah
dinikmatinya pula harum bumbu yang menelusup masuk lewat ventilasi. Dapur
berada tepat di muka pintu kamar mandi.
Mamah
sudah hampir selesai membumbui sebaskom daging yang akan diolahnya lagi besok
pagi. Mamah memang tidak resmi membuka katering, namun kepandaiannya memasak
dikenal sampai kompleks perumahan sebelah, yang dimukimi kalangan menengah ke
atas—kontras dengan perkampungan kumuh nan padat yang mereka huni. Oleh para
ibu (bersuami mapan namun tak lihai berumah tangga) yang tinggal di kompleks
tersebut, Mamah sering diminta membuatkan macam-macam makanan. Dari jajanan
pasar, kue kering, goreng-gorengan, hingga kuah daging, Mamah sanggup. Bayaran
atas itu lumayan untuk memenuhi kebutuhan makan dirinya dan anak-anak, tapi
belum dapat mencukupi untuk dijadikan modal membuka usaha katering betulan.
Selalu ada saja keperluan mendadak yang dapat menguras isi tabungan yang tak
seberapa.
“Heh!
Ulah nu eta![10]”
Tangan Daffa yang tengah mencolek adonan kue di salah satu baskom mendadak
ditampik Mamah. Mamah lekas mengamankan baskom itu ke sisi lain meja. “Isuk wae mun aya sisa[11].”
Daffa mengelus-elus tangannya yang perih bukan main. “Ceunah keneh aya lauk[12]….”
Kepala
Mamah menengok ke arah meja kecil di belakang Daffa. Daffa mengangkat tudung
saji dan mendapatkan beberapa piring kecil berisi benda-benda yang tidak
diharapkannya. Mengeluhlah ia.
Wayahna,
tempe deui tempe deui
Wayahna,
tahu deui tahu deui
Wayahna,
endog deui endog deui
Wayahna,
deungeun sangu sapopoe
Isuk-isuk
tempe, beurang tahu, ari peuting endog
Ah…
alim ah, iraha dagingna atuh, Mah?[13]
Jemari Mamah memuntir daun telinganya.
“Ah… Aah…! Peureus[14]
atuh, Mah…!”
Kali ini Daffa ganti mengusap-usap daun telinganya. Ia meringis. Mamah
menyemprotnya.
Barudak
ulah ngarungsing… Sok darahar saayana…
Nagara
meunang cocoba. Bencana di mana-mana.[15]
“…masih
untung ada yang bisa dimakan!”
Daffa
mencelos. Padahal Mamah juga yang mewariskannya sifat ceplas-ceplos.
Nasi
di dandang juga tinggal sejumput, ternyata. Namun keadaan seperti itu tidak
sungguh benar menyurutkan nafsu makannya yang besar. Diambilnya juga lauk yang
disisakan Mamah untuknya. Kata Mamah juga, “Udah, abisin aja!”
Tapi
Daffa ingat pada Bapa. Bapa akan datang tengah malam nanti, saat Mamah mestinya
sudah lelap. Sejak makin parah saja konfliknya dengan Mamah, Bapa memang tidak
pernah berani mampir ke rumah lama-lama. Bapa biasa mencuri-curi kesempatan
mampir pada saat ia pikir Mamah sedang tidur atau tidak ada, meskipun hanya untuk
minum kopi, makan sekadarnya, dan minta uang pada anak-anaknya. Kalau bukan
untuk itu, buat apa Bapa memberanikan diri pulang ke rumah? Apa yang terjadi
siang tadi kemungkinan juga sama sebabnya. Namun sayangnya, Mamah sedang di
rumah karena sehabis mengantar Nana ke Puskesmas. Biasanya Mamah kalau siang
keluyuran mencari tambahan penghasilan atau membagi derita di rumah siapapun
kenalannya.
Segumpal
nasi, dua potong tempe, dan sesendok sambal terasi dirasa cukup untuk menambah
isi lambungnya. Tadi kan sudah makan…
Daffa menekan keinginannya untuk meraup sisa lauk dengan mengingat-ingat hal
tersebut.
Tudung
saji ditutup. Kini yang terbuka adalah pintu menuju halaman belakang yang
sempit dan dihiasi tumpukan barang rongsok. Bau solokan mencolok hidung.
Lewat
celah-celah kawat yang menjadi dinding kandang, Daffa mengintip keadaan
ayam-ayamnya yang sudah lama tak ia ajak main karena kesibukannya mempersiapkan
kejuaraan. Yang salah satu dari mereka harus siap mati sewaktu-waktu untuk
menyambung hidup Daffa sekeluarga—Daffa sendiri yang biasa jadi tukang jagal
karena disuruh Mamah, kini ia sudah tahu bagaimana rasanya ‘teman makan teman’.
Mereka
tampaknya sudah pada tidur. Saling berdempetan. Padahal Daffa sudah memasang
lampu kecil berpenerangan rendah supaya kandang buatan Bapa tersebut bernuansa
hangat dan nyaman.
Di
bagian depan kandang tersebut tergantung sebilah potongan membujur bambu. Di
tempat itulah Daffa menabur dedak dan beberapa cuil nasi-tempenya. Biarlah
ayam-ayam itu sudah pada tidur juga. Kapan lagi ia sempat memberi mereka makan,
coba?
“Udah
dikasih makan tadi sore…” Suara Mamah bercampur dengan benturan perabot.
Sepertinya Mamah sudah selesai mempersiapkan apa-apa yang akan diolahnya besok
pagi-pagi sekali. Lalu sekarang waktunya beres-beres.
Daffa
tak menggubris sahutan Mamah. Setelah memasukkan cuilan-cuilan secukupnya,
duduklah ia di atas tumpukan genteng pecah yang mulai digerogoti lumut. Dingin
merembes ke balik celananya. Ia memandangi sebaran kerlip kuning dan putih
serta bundaran perak tahi kucing kering pada bentangan layar biru dongker.
Bulan
bentang narembongan
Hawar-hawar
aya tembang
Tembang
asih tembang kadeudeuh duaan…[16]
Ah, itu mah di Curug Cinulang, bukan di
halaman belakang rumah saya… batin Daffa sambil mulai menyantap makan malam
ronde duanya. Si Ciput tahu-tahu muncul di atas pagar seng karatan, meloncat,
lantas mendekat ke arahnya. Daffa melemparkan gumpalan kecil nasi dan potongan
mungil tempe pada kucing belang tersebut. Ciput mengendus-endus pemberian Daffa
itu sejenak. Sejurus kemudian kepalanya mendongak lagi. Dielus-elusnya betis
Daffa dengan tubuhnya. Rambut di sekujur tubuh Ciput terasa lembut di betis
Daffa biarpun betis itu cukup lebat ditumbuhi rambut kasar. Daffa serasa
mendengar kucing itu menyambung kata-katanya tadi,
Wayahna,
tempe deui tempe deui…
Jawab
Daffa,
Nagara
meunang cocoba…
, Cing…
***
Daffa
sudah berada pada posisi yang enak sekali di sofa buluknya. Beberapa meter di
hadapannya, terdengar celoteh pelan TV 14 inch yang kadang hanya menampilkan
barisan semut dan dengungan lebah. Memang bukan pada layar perak itu matanya
tertuju. Yang tengah ia lihat adalah sosok nona kompleks perumahan sebelah yang
sudah berteman dengannya sejak mereka masih balita. Yang di kepalanya selalu
tampak jelita. Memang sudah jadi rutinitasnya, sebelum menyusul Mamah dan Nana
ke alam mimpi, untuk bertemu gadis itu—dalam ranah khayali.
Girimis
nu jadi saksi lalakon urang duaan
Waktu
urang babarengan ngalepas kasono ati,
ngaleupas
katineung asih[17]
Namun
tidak satu pun romansa ala tembang Sunda yang pernah ia alami, selain dalam
impi. Daffa sadar ia orang tak berpunya sementara sang nona dari keluarga
berada.
Derit
pagar yang digeser hati-hati disusul ketokan pelan di pintu depan membuyarkan
sosok sang nona sekaligus kantuk yang merambatinya. Daffa bangkit. Diputarnya
kunci dan pelan-pelan pula dibukanya pintu depan. Wajah sumringah Bapa
menyambutnya. Pria berkumis yang lebih pendek darinya itu melesat ke arah
dapur. Sarungnya tersampir miring dari sebelah pundak hingga paha. Meninggalkan
aroma tubuh yang belum diguyur air dan dijilat sabun, entah sudah berapa lama.
Disusulnya
Bapa ke dapur dan didapatinya Bapa tengah menyeduh secangkir kopi. “Kopi,
Jang?”
Tidak
hanya kedua orangtuanya, para sanak saudara dan kerabat juga lebih suka memanggilnya
“Aa” atau “Jang”[18]. Padahal
mereka sendiri yang kompak memberinya nama itu, Daffa Aldifian. Kendati lidah
mereka malah canggung saat hendak mengucapkannya, apalagi nama tersebut
mengandung tiga huruf F.[19]
Daffa
menggeleng. Kopi bisa membuatnya terjaga sepanjang malam, padahal ia harus
sudah bangun pagi-pagi sekali. Jarak rumah dengan sekolah cukup jauh, apalagi
kalau ditempuh hanya dengan bersepeda.
“Jang…”
“Naon,
Pa?”
“Punteun nya[20],
Jang, Bapa butuh duit lagi…”
Daffa
berusaha menyembunyikan perubahan ekspresi wajahnya. Kalau Mamah sampai terjaga
dan tahu bahwa Bapa sedang ada di rumah saat ini, apalagi mengucapkan kalimat
yang barusan itu pada Daffa, bukan wajan lagi yang akan menghantam wajah Bapa.
Kulkas, mungkin.
Daffa
memang selalu membawa pulang setumpuk rupiah, tiap kali habis mengikuti
kejuaraan atau apapun yang ada kaitan dengan prestasinya sebagai atlet
nasional, kendati statusnya masih pelajar. Namun bahkan Mamah tidak pernah
merasa berhak meminta barang sepersekian dari uangnya itu, walaupun untuk
menomboki uang belanja dan Daffa akan memberikannya dengan sukarela.
Tapi
lain dengan Bapa. Daffa tahu pasti uang pemberiannya itu selalu Bapa gunakan
untuk apa. Mulai dari lintingan tembakau, alkohol, bajigur, pisang rebus, dan
comro, hingga pertaruhan atas tumpukan remi atau domino. Makanya sampai ada
peringatan di papan pengumuman samping pos kamling itu. Mungkin Bapa memang
belum membacanya. Atau merasa tidak perlu membacanya, boro-boro menggubrisnya.
Dan
entah wibawa apa yang masih disimpan Bapa hingga Daffa masih bisa saja menuruti
kata-kata ayah kandungnya itu. Kata-kata yang dikemas dalam permohonan memelas.
Saat
Daffa sudah kembali lagi dari kamar—untuk mengambil beberapa helai uang
simpanannya yang makin menipis saja—didapatinya Bapa duduk di salah satu anak
tangga menuju tempat jemuran. Anak tangga yang tidak lebih lebar dari tempat
duduk penumpang becak. Tangan kanan Bapa memegang cangkir kopi yang tengah
diseruputnya dengan hikmat.
“Nuhun[21],
Jang,” ucap Bapa saat lipatan uang itu berpindah ke tangannya.
Daffa
duduk di salah satu anak tangga di bawah Bapa. Bersandar punggungnya pada
dinding yang keriput meresap kebocoran dari atasnya. Lengan kiri Bapa, yang
bergambar naga di pangkalnya, terangkat untuk kemudian merengkuh kepala Daffa. Mengacak-acak
rambut Daffa hingga kepala pemuda itu mau tak mau ikut bergoyang. Menyebabkan
Daffa agak pusing memang, tapi ia kerap tak bisa mengelak dari kebiasaan Bapa
yang satu ini. Salah satu tanda sayang Bapa padanya.
“Jang,”
ucap Bapa lagi di sela-sela desah kenikmatan menyesap kopi.
“Ya,
Pa?”
“Biar
Bapa aja yang seperti ini, Jang. Kamu mah
jangan.”
Yee,
saha deui anu daek[22], Pa?
Bapa
mengacak-acak rambut Daffa lagi. “Maneh
mah geus kasep… bageur… soleh… luhur
sakolana… jago gelut[23]…” Bapa mengabsen satu per satu
kelebihan Daffa dibanding dirinya, entah itu fakta atau fiktif. Tidak pernah
peduli anak-anaknya punya kekurangan atau tidak, Bapa memang selalu merendah.
“Tinggal entar yah, Jang, kalau punya istri anu
geulis, beunghar, tur pinter[24],
jangan sampailah kamu diusir istri kamu itu dari rumah…”
…seperti Bapa… Daffa membayangkan apakah nona kompleks
perumahan sebelah rumah akan sampai hati melakukan hal itu padanya. Ah, angan-angan…
Bapa
lanjut menuturkan.
Jang, hirup teh teu gampang. Teu cukup ku dipikiran, bari kudu
dilakonan.
Jang, jalan kahirupan heunteu sapanjang na datar. Aya mudun jeung
tanjakan. Kudu sabar dina kurang, ulah neupak dada beunghar. Salawasna kudu
syukur, eling ka nu Maha Agung, Kade hidep bisi kufur.
Jang, cing jadi jalma hade. Cing jadi jelema gede. Beunghar harta jeumar
hate.
Jang, hidep cing ngajalma. Turut parentah agama, ulah jauh ti ulama.
Nyobat sareng ahli tobat, dalit sareng para kiyai. Hirup keuna ku owah gingsir,
ngarah aya anu ngageuing. Mangsa lengkah ninggang salah…
Cing pinter tur bener. Cing jujur tong bohong. Ulah nganyeurikeun batur
ngarah hirup loba dulur. Raksa ucap langkah, tekad, jeung tabe'at, ngarah
pinanggih bagja, salamet dunia akherat.
Jang… Jang… Cing jadi jalma sholeh…
Jang... Jang… Hidep cing sholeh...[25]
Bapa… Bapa… Sudah tahu sekujur dirinya berlumur salah dan payah, masih
bisa-bisanya kasih serentetan petuah. Bagaimanapun nista dirinya, Bapa masih
ingat akan tugasnya.
Entah mengapa, Daffa tetap mensyukuri kehadiran Bapa dalam hidupnya.
20-21 Mei 2010,
untuk Daffa Aldifian,
“Maaf yah, baru
sekarang-sekarang ajah…”
[1] Tulisan ini saya temui di Palasari (sentra penjualan buku dengan harga diskon di Bandung, kalau di Jogja namanya Shopping, di Jakarta Kwitang, dan lain-lainnya) dan saya catut tanpa perubahan sedikitpun. Kalimat terakhir dalam bahasa Sunda bisa diartikan: Jangan main gapleh aja.
[2] Sunda: Sudah, tapi lapar
lagi
[3] Sunda: Ini masih ada lauk
[4] Sunda: Kenapa ya Bapa?
Wajahnya lebam begitu.
[5] Sunda: Kalah lagi
[6] Sunda: Kapan?
[7] Sunda: Siang
[8] Sunda: Ya begitu saja.
Sama Mamah dipukuli pakai wajan.
[9] Dari lagu Sunda populer,
“Talak Tilu” (Bungsu Bandung)
[10] Sunda: Heh! Jangan yang itu!
[11] Sunda: Besok saja kalau ada sisa
[12] Sunda: Katanya masih ada lauk
[13] Dari lagu Sunda populer,
“Wayahna” (Ikko)
[14] Sunda: Perih
[15] Lanjutan dari lagu
“Wayahna”
[16] Dari lagu Sunda populer,
“Curug Cinulang” (Yayan Jatnika)
[17] Dari lagu Sunda populer,
“Katineung” (Yayan Jatnika)
[18] Sunda: kependekan dari “Ujang”, sebutan bagi
anak laki-laki. “Le” atau “Tole”, kalau dalam Bahasa Jawa.
[19] Kata siapa orang Sunda
tidak bisa mengucap “F”? Itu pitnah!
[20] Sunda (bisa diartikan
menjadi): Maaf ya
[21] Sunda: Makasih
[22] Sunda: Siapa juga yang
mau?
[23] Sunda: Kamu tuh sudah
tampan… baik… soleh… tinggi sekolahnya… jago berkelahi…
[24] Sunda: Yang cantik, kaya,
pintar pula
[25] Dari lagu Sunda populer,
“Jang” (Oon)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar