Jumat, 21 Mei 2010

Tugas Bapa -sebuah kompilasi tembang Sunda-

Putaran sepeda Daffa melambat. Kontras dengan gelap yang menyambangi, dalam pandangnya adalah pendar remang-remang dari kubik pos kamling, dalam pendengarannya adalah alunan lirih nada-nada pentatonis, dan dalam penciumannya adalah samar-samar aroma kretek. Beberapa meter lagi ditempuhnya hingga tidak sekedar itu saja yang ditangkap indranya, tapi juga si Bapa dalam sarungnya. Bersandar pada dinding anyaman bambu. Kepala Bapa bergeleng pelan, wajahnya berkerut-kerut, seiring bergantinya nada yang dibunyikan radio soak di hadapannya.

“Bapa…?” tegur Daffa. Lebam yang tercetak di sebelah wajah Bapa saat menoleh membuatnya terperangah.

Kembalilah Bapa ke alam nyata. “Eh, Jang…” Kerutan-kerutan bertambah kala sepasang mata itu menyipit menyambutnya. “Baru selesai latihan yah?”

Tangan Bapa tebal dan kasar benar terasa dalam genggamannya. Dikecupnya punggung tangan itu. Lukisan abstrak warna-warni menjalar dari pergelangan hingga bagian yang tertutup lengan kaos.

“Sendirian aja atuh, Pa,” basa-basi Daffa yang dijawab mulut Bapa dengan kepulan asap. Dan lirih yang serupa bisikan, “Nanti Bapa ke rumah, pas si Mamah udah bobo yah.”

Sembari mengayuh sadel lagi, mata Daffa bertemu tulisan pada selembar kertas yang tertempel di papan pengumuman samping pos kamling. Diterangi pancaran lampu penerang jalan ia membaca,

KEPADA YANG NGERONDA

WASPADALAH!!!

BANYAK TERJADI KEHILANGAN KHUSUSNYA:

MALAM JUM’AT & MINGGU

(MONTONG GAPLEH WAE GOBLOG)[1]

Entah siapa yang telah membuatnya, mungkin pengurus RT setempat. Tersenyumlah Daffa sambil geleng-geleng kepala karena peringatan yang menyinggung Bapa dan kawanannya itu. Sudahkah mereka membacanya?

***

Dingin angin Bandung kala malam tak kuasa menyirnakan lengket dari tubuhnya. Kembali ia menapak sebidang jalan yang lebarnya tak cukup memuat mobil, yang sudah dikerasi semen dan kadang dilapisi air sebetis saat hujan sedang deras-derasnya. Sesekali roda sepedanya menggilas satu dua sampah plastik yang terkapar. Bayang jangkungnya melebur dengan bayang satu demi satu rumah yang dilewatinya. Hingga bayang rumah mungilnya kini yang menaungi.

“Assalamualaikum…” sapanya sembari menginjak ubin gelap yang tidak dikunjung diganti keramik. Ikut dimasukkannya sepeda yang tadi ditungganginya ke dalam rumah. Disandingkannya benda itu—yang sudah dibalur banyak baret dan catnya sudah terkelupas di sana-sini—dengan dinding ruang depan.

“Waalaikum salam wa rahmatullah wa barakatuh…” Mamah melongok dari balik kusen dapur. Sosoknya yang tegap kendati kerap digurat pedihnya hidup menghilang lagi, diganti oleh teguran nyaringnya, “Udah makan belum?”

Parantos… Tapi da laper deui[2]…”

Ieu keneh aya lauk, sok[3]…”

Disibaknya selembar tirai lusuh bermotif kembang-kembang cokelat yang mengisi rongga kusen kamar depan. Sebidang kayu yang sebelumnya menempati kusen tersebut sudah bertranformasi menjadi kandang ayam di halaman belakang rumah.

Dalam kamar yang agak pengap itu ia dapati Nana bersandar di dinding seberang. Adik perempuan semata wayangnya itu duduk di atas spring bed, yang kalau spreinya diangkat akan tampak lingkaran-lingkaran bekas ompol mereka saat masih kecil. Dan kalau tidak hati-hati, akan keluar ucapan mengaduh kesakitan dari mulut karena tertusuk tonjolan per yang tersembunyi bagai ranjau di beberapa titik di kasur tersebut. Tubuh anak itu terlihat gembung dibungkus baju hangat. Tangannya menggenggam secarik gombel. Sesekali terdengar suara ingus disedot. Dan batuk-batuk. Di pangkuannya terbentang sepasang halaman buku yang sepertinya buku pelajaran. Daffa berdecak-decak.

 “Tadi Dede udah jadi ke Puskesmas belum?” tegur Daffa lembut. Nana membalik tubuhnya kala Daffa mengganti seragam sekolahnya yang bau keringat dengan sarung.

Pakaian-pakaian mereka berdua bercampur dalam satu lemari di kamar itu. Lemari yang sekujur permukaannya hampir penuh ditempeli stiker dan salah satu engsel pintunya sudah rusak. Begitupun dengan buku-buku pelajaran dan barang-barang pribadi mereka lainnya, sebagian besar disimpan di kamar itu juga. Biarpun begitu Daffa jarang tidur di situ, apalagi di kamar sebelah—yang ditempati Mamah. Hanya ada dua kamar tidur di rumah itu, sama sempitnya. Daffa biasa tidur di hammock atau sofa ruang depan. Sofa yang sudah pada robek kulitnya hingga memamerkan busa kuning di mana-mana, dan bolong di beberapa bagian.

“Flu biasa aja, A. Paling juga lusa udah sembuh.” Parau suara Nana yang disertai batuk-batuk.

“De, tadi Aa ketemu si Bapa di pos kamling. Kunaon nya si Bapa? Beungeutna meni lebam kitu[4],” ucap Daffa setelah mendengarkan cerita Nana mengenai kunjungannya ke Puskesmas pagi tadi. Kakak beradik itu kini duduk berhadapan.

“Abis berantem lagi sama si Mamah.” Suara pelan Nana berubah bisikan, “..biasa… Si Bapa bau ciu. Eleh deui[5].”

Iraha[6]?”

Beurang[7]

“Terus?”

Nya kitu wehKu si Mamah ditabokan make wajan.[8]

Mereka ulang kejadian tersebut dalam kepala membuat Daffa ingin tertawa, tapi kok rasanya miris. Nana melanjutkan kisahnya. Disertai dengan ingatan akan percakapan di antara kedua orangtua mereka, yang tak perlu lagi ia kuping diam-diam, pasti terdengar juga sampai ke rumah tetangga. Sambil memukuli Bapa, Mamah menjerit-jerit.

Mana nyeri, nyeri nyeri teuing. Ceurik ati di tambelakan, henteu benang ku disabaran. Aduh alah ieu, tega teh teuing!

Indit sore tulunyungna subuh. Abdi tunduh mukakeun tulak. Batin nyeuri ceurik sorangan. Aduh alah ieu, tega teh teuing!

Nyeri-nyeri-nyeri, moal benang di ubaran! Kajen tutumpuran paeh ge teu panasaran. Mempeng ngora keneh, mempeng urang can batian, pek geura serahkeun, talak tilu sakalian!

Henteu butuh lalaki curaling! Boga rasa asa ieu aing, henteu robah teu eling-eling. Aduh alah ieu, tega teh teuing![9]

Daffa mengusap dahi dan pipi adiknya yang berkeringat. Ia optimis adiknya lekas sehat.

***

Pintu kamar mandi berderit keras. Daffa menapakkan sebelah kakinya ke atas permukaan kasar karpet, disusul kakinya yang sebelah lagi. Ia merasa sudah lebih segar, meski letih akibat latihan beban sesorean tadi masih merangkul tubuhnya. Dan kini ia siap mengisi perutnya lagi, meski selepas magrib tadi ia sudah ditraktir pelatihnya makan di kantin gelanggang. Selagi mandi tadi sudah dinikmatinya pula harum bumbu yang menelusup masuk lewat ventilasi. Dapur berada tepat di muka pintu kamar mandi.

Mamah sudah hampir selesai membumbui sebaskom daging yang akan diolahnya lagi besok pagi. Mamah memang tidak resmi membuka katering, namun kepandaiannya memasak dikenal sampai kompleks perumahan sebelah, yang dimukimi kalangan menengah ke atas—kontras dengan perkampungan kumuh nan padat yang mereka huni. Oleh para ibu (bersuami mapan namun tak lihai berumah tangga) yang tinggal di kompleks tersebut, Mamah sering diminta membuatkan macam-macam makanan. Dari jajanan pasar, kue kering, goreng-gorengan, hingga kuah daging, Mamah sanggup. Bayaran atas itu lumayan untuk memenuhi kebutuhan makan dirinya dan anak-anak, tapi belum dapat mencukupi untuk dijadikan modal membuka usaha katering betulan. Selalu ada saja keperluan mendadak yang dapat menguras isi tabungan yang tak seberapa.

“Heh! Ulah nu eta![10]” Tangan Daffa yang tengah mencolek adonan kue di salah satu baskom mendadak ditampik Mamah. Mamah lekas mengamankan baskom itu ke sisi lain meja. “Isuk wae mun aya sisa[11].”

Daffa mengelus-elus tangannya yang perih bukan main. “Ceunah keneh aya lauk[12]….”

Kepala Mamah menengok ke arah meja kecil di belakang Daffa. Daffa mengangkat tudung saji dan mendapatkan beberapa piring kecil berisi benda-benda yang tidak diharapkannya. Mengeluhlah ia.

Wayahna, tempe deui tempe deui

Wayahna, tahu deui tahu deui

Wayahna, endog deui endog deui

Wayahna, deungeun sangu sapopoe

Isuk-isuk tempe, beurang tahu, ari peuting endog

Ah… alim ah,  iraha dagingna atuh, Mah?[13]

Jemari Mamah memuntir daun telinganya.

“Ah… Aah…! Peureus[14] atuh, Mah…!”

Kali ini Daffa ganti mengusap-usap daun telinganya. Ia meringis. Mamah menyemprotnya.

Barudak ulah ngarungsing… Sok darahar saayana…

Nagara meunang cocoba. Bencana di mana-mana.[15]

“…masih untung ada yang bisa dimakan!”

Daffa mencelos. Padahal Mamah juga yang mewariskannya sifat ceplas-ceplos.

Nasi di dandang juga tinggal sejumput, ternyata. Namun keadaan seperti itu tidak sungguh benar menyurutkan nafsu makannya yang besar. Diambilnya juga lauk yang disisakan Mamah untuknya. Kata Mamah juga, “Udah, abisin aja!”

Tapi Daffa ingat pada Bapa. Bapa akan datang tengah malam nanti, saat Mamah mestinya sudah lelap. Sejak makin parah saja konfliknya dengan Mamah, Bapa memang tidak pernah berani mampir ke rumah lama-lama. Bapa biasa mencuri-curi kesempatan mampir pada saat ia pikir Mamah sedang tidur atau tidak ada, meskipun hanya untuk minum kopi, makan sekadarnya, dan minta uang pada anak-anaknya. Kalau bukan untuk itu, buat apa Bapa memberanikan diri pulang ke rumah? Apa yang terjadi siang tadi kemungkinan juga sama sebabnya. Namun sayangnya, Mamah sedang di rumah karena sehabis mengantar Nana ke Puskesmas. Biasanya Mamah kalau siang keluyuran mencari tambahan penghasilan atau membagi derita di rumah siapapun kenalannya.

Segumpal nasi, dua potong tempe, dan sesendok sambal terasi dirasa cukup untuk menambah isi lambungnya. Tadi kan sudah makan… Daffa menekan keinginannya untuk meraup sisa lauk dengan mengingat-ingat hal tersebut.

Tudung saji ditutup. Kini yang terbuka adalah pintu menuju halaman belakang yang sempit dan dihiasi tumpukan barang rongsok. Bau solokan mencolok hidung.

Lewat celah-celah kawat yang menjadi dinding kandang, Daffa mengintip keadaan ayam-ayamnya yang sudah lama tak ia ajak main karena kesibukannya mempersiapkan kejuaraan. Yang salah satu dari mereka harus siap mati sewaktu-waktu untuk menyambung hidup Daffa sekeluarga—Daffa sendiri yang biasa jadi tukang jagal karena disuruh Mamah, kini ia sudah tahu bagaimana rasanya ‘teman makan teman’.

Mereka tampaknya sudah pada tidur. Saling berdempetan. Padahal Daffa sudah memasang lampu kecil berpenerangan rendah supaya kandang buatan Bapa tersebut bernuansa hangat dan nyaman.

Di bagian depan kandang tersebut tergantung sebilah potongan membujur bambu. Di tempat itulah Daffa menabur dedak dan beberapa cuil nasi-tempenya. Biarlah ayam-ayam itu sudah pada tidur juga. Kapan lagi ia sempat memberi mereka makan, coba?

“Udah dikasih makan tadi sore…” Suara Mamah bercampur dengan benturan perabot. Sepertinya Mamah sudah selesai mempersiapkan apa-apa yang akan diolahnya besok pagi-pagi sekali. Lalu sekarang waktunya beres-beres.

Daffa tak menggubris sahutan Mamah. Setelah memasukkan cuilan-cuilan secukupnya, duduklah ia di atas tumpukan genteng pecah yang mulai digerogoti lumut. Dingin merembes ke balik celananya. Ia memandangi sebaran kerlip kuning dan putih serta bundaran perak tahi kucing kering pada bentangan layar biru dongker.

Bulan bentang narembongan

Hawar-hawar aya tembang

Tembang asih tembang kadeudeuh duaan…[16]

Ah, itu mah di Curug Cinulang, bukan di halaman belakang rumah saya… batin Daffa sambil mulai menyantap makan malam ronde duanya. Si Ciput tahu-tahu muncul di atas pagar seng karatan, meloncat, lantas mendekat ke arahnya. Daffa melemparkan gumpalan kecil nasi dan potongan mungil tempe pada kucing belang tersebut. Ciput mengendus-endus pemberian Daffa itu sejenak. Sejurus kemudian kepalanya mendongak lagi. Dielus-elusnya betis Daffa dengan tubuhnya. Rambut di sekujur tubuh Ciput terasa lembut di betis Daffa biarpun betis itu cukup lebat ditumbuhi rambut kasar. Daffa serasa mendengar kucing itu menyambung kata-katanya tadi,

Wayahna, tempe deui tempe deui…

Jawab Daffa,

Nagara meunang cocoba…

, Cing…

***

Daffa sudah berada pada posisi yang enak sekali di sofa buluknya. Beberapa meter di hadapannya, terdengar celoteh pelan TV 14 inch yang kadang hanya menampilkan barisan semut dan dengungan lebah. Memang bukan pada layar perak itu matanya tertuju. Yang tengah ia lihat adalah sosok nona kompleks perumahan sebelah yang sudah berteman dengannya sejak mereka masih balita. Yang di kepalanya selalu tampak jelita. Memang sudah jadi rutinitasnya, sebelum menyusul Mamah dan Nana ke alam mimpi, untuk bertemu gadis itu—dalam ranah khayali.

Girimis nu jadi saksi lalakon urang duaan

Waktu urang babarengan ngalepas kasono ati,

ngaleupas katineung asih[17]

Namun tidak satu pun romansa ala tembang Sunda yang pernah ia alami, selain dalam impi. Daffa sadar ia orang tak berpunya sementara sang nona dari keluarga berada.

Derit pagar yang digeser hati-hati disusul ketokan pelan di pintu depan membuyarkan sosok sang nona sekaligus kantuk yang merambatinya. Daffa bangkit. Diputarnya kunci dan pelan-pelan pula dibukanya pintu depan. Wajah sumringah Bapa menyambutnya. Pria berkumis yang lebih pendek darinya itu melesat ke arah dapur. Sarungnya tersampir miring dari sebelah pundak hingga paha. Meninggalkan aroma tubuh yang belum diguyur air dan dijilat sabun, entah sudah berapa lama.

Disusulnya Bapa ke dapur dan didapatinya Bapa tengah menyeduh secangkir kopi. “Kopi, Jang?”

Tidak hanya kedua orangtuanya, para sanak saudara dan kerabat juga lebih suka memanggilnya “Aa” atau “Jang”[18]. Padahal mereka sendiri yang kompak memberinya nama itu, Daffa Aldifian. Kendati lidah mereka malah canggung saat hendak mengucapkannya, apalagi nama tersebut mengandung tiga huruf F.[19]

Daffa menggeleng. Kopi bisa membuatnya terjaga sepanjang malam, padahal ia harus sudah bangun pagi-pagi sekali. Jarak rumah dengan sekolah cukup jauh, apalagi kalau ditempuh hanya dengan bersepeda.

“Jang…”

“Naon, Pa?”

Punteun nya[20], Jang, Bapa butuh duit lagi…”

Daffa berusaha menyembunyikan perubahan ekspresi wajahnya. Kalau Mamah sampai terjaga dan tahu bahwa Bapa sedang ada di rumah saat ini, apalagi mengucapkan kalimat yang barusan itu pada Daffa, bukan wajan lagi yang akan menghantam wajah Bapa. Kulkas, mungkin.

Daffa memang selalu membawa pulang setumpuk rupiah, tiap kali habis mengikuti kejuaraan atau apapun yang ada kaitan dengan prestasinya sebagai atlet nasional, kendati statusnya masih pelajar. Namun bahkan Mamah tidak pernah merasa berhak meminta barang sepersekian dari uangnya itu, walaupun untuk menomboki uang belanja dan Daffa akan memberikannya dengan sukarela.

Tapi lain dengan Bapa. Daffa tahu pasti uang pemberiannya itu selalu Bapa gunakan untuk apa. Mulai dari lintingan tembakau, alkohol, bajigur, pisang rebus, dan comro, hingga pertaruhan atas tumpukan remi atau domino. Makanya sampai ada peringatan di papan pengumuman samping pos kamling itu. Mungkin Bapa memang belum membacanya. Atau merasa tidak perlu membacanya, boro-boro menggubrisnya.

Dan entah wibawa apa yang masih disimpan Bapa hingga Daffa masih bisa saja menuruti kata-kata ayah kandungnya itu. Kata-kata yang dikemas dalam permohonan memelas.

Saat Daffa sudah kembali lagi dari kamar—untuk mengambil beberapa helai uang simpanannya yang makin menipis saja—didapatinya Bapa duduk di salah satu anak tangga menuju tempat jemuran. Anak tangga yang tidak lebih lebar dari tempat duduk penumpang becak. Tangan kanan Bapa memegang cangkir kopi yang tengah diseruputnya dengan hikmat.

Nuhun[21], Jang,” ucap Bapa saat lipatan uang itu berpindah ke tangannya.

Daffa duduk di salah satu anak tangga di bawah Bapa. Bersandar punggungnya pada dinding yang keriput meresap kebocoran dari atasnya. Lengan kiri Bapa, yang bergambar naga di pangkalnya, terangkat untuk kemudian merengkuh kepala Daffa. Mengacak-acak rambut Daffa hingga kepala pemuda itu mau tak mau ikut bergoyang. Menyebabkan Daffa agak pusing memang, tapi ia kerap tak bisa mengelak dari kebiasaan Bapa yang satu ini. Salah satu tanda sayang Bapa padanya.

“Jang,” ucap Bapa lagi di sela-sela desah kenikmatan menyesap kopi.

“Ya, Pa?”

“Biar Bapa aja yang seperti ini, Jang. Kamu mah jangan.”

Yee, saha deui anu daek[22], Pa?

Bapa mengacak-acak rambut Daffa lagi. “Maneh mah geus kasep… bageur… soleh… luhur sakolana… jago gelut[23]” Bapa mengabsen satu per satu kelebihan Daffa dibanding dirinya, entah itu fakta atau fiktif. Tidak pernah peduli anak-anaknya punya kekurangan atau tidak, Bapa memang selalu merendah. “Tinggal entar yah, Jang, kalau punya istri anu geulis, beunghar, tur pinter[24], jangan sampailah kamu diusir istri kamu itu dari rumah…”

…seperti Bapa… Daffa membayangkan apakah nona kompleks perumahan sebelah rumah akan sampai hati melakukan hal itu padanya.  Ah, angan-angan…

Bapa lanjut menuturkan.

Jang, hirup teh teu gampang. Teu cukup ku dipikiran, bari kudu dilakonan.

Jang, jalan kahirupan heunteu sapanjang na datar. Aya mudun jeung tanjakan. Kudu sabar dina kurang, ulah neupak dada beunghar. Salawasna kudu syukur, eling ka nu Maha Agung, Kade hidep bisi kufur.

Jang, cing jadi jalma hade. Cing jadi jelema gede. Beunghar harta jeumar hate.

Jang, hidep cing ngajalma. Turut parentah agama, ulah jauh ti ulama. Nyobat sareng ahli tobat, dalit sareng para kiyai. Hirup keuna ku owah gingsir, ngarah aya anu ngageuing. Mangsa lengkah ninggang salah…

Cing pinter tur bener. Cing jujur tong bohong. Ulah nganyeurikeun batur ngarah hirup loba dulur. Raksa ucap langkah, tekad, jeung tabe'at, ngarah pinanggih bagja, salamet dunia akherat.

Jang… Jang… Cing jadi jalma sholeh…

Jang... Jang… Hidep cing sholeh...[25]

Bapa… Bapa… Sudah tahu sekujur dirinya berlumur salah dan payah, masih bisa-bisanya kasih serentetan petuah. Bagaimanapun nista dirinya, Bapa masih ingat akan tugasnya.

Entah mengapa, Daffa tetap mensyukuri kehadiran Bapa dalam hidupnya.

 

 20-21 Mei 2010,

untuk Daffa Aldifian,

“Maaf yah, baru sekarang-sekarang ajah…”

 

 



[1] Tulisan ini saya temui di Palasari (sentra penjualan buku dengan harga diskon di Bandung, kalau di Jogja namanya Shopping, di Jakarta Kwitang, dan lain-lainnya) dan saya catut tanpa perubahan sedikitpun. Kalimat terakhir dalam bahasa Sunda bisa diartikan: Jangan main gapleh aja.

[2] Sunda: Sudah, tapi lapar lagi

[3] Sunda: Ini masih ada lauk

[4] Sunda: Kenapa ya Bapa? Wajahnya lebam begitu.

[5] Sunda: Kalah lagi

[6] Sunda: Kapan?

[7] Sunda: Siang

[8] Sunda: Ya begitu saja. Sama Mamah dipukuli pakai wajan.

[9] Dari lagu Sunda populer, “Talak Tilu” (Bungsu Bandung)

[10]  Sunda: Heh! Jangan yang itu!

[11]  Sunda: Besok saja kalau ada sisa

[12]  Sunda: Katanya masih ada lauk

[13] Dari lagu Sunda populer, “Wayahna” (Ikko)

[14] Sunda: Perih

[15] Lanjutan dari lagu “Wayahna”

[16] Dari lagu Sunda populer, “Curug Cinulang” (Yayan Jatnika)

[17] Dari lagu Sunda populer, “Katineung” (Yayan Jatnika)

[18] Sunda: kependekan dari “Ujang”, sebutan bagi anak laki-laki. “Le” atau “Tole”, kalau dalam Bahasa Jawa.

[19] Kata siapa orang Sunda tidak bisa mengucap “F”? Itu pitnah!

[20] Sunda (bisa diartikan menjadi): Maaf ya

[21] Sunda: Makasih

[22] Sunda: Siapa juga yang mau?

[23] Sunda: Kamu tuh sudah tampan… baik… soleh… tinggi sekolahnya… jago berkelahi…

[24] Sunda: Yang cantik, kaya, pintar pula

[25] Dari lagu Sunda populer, “Jang” (Oon)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain