Minggu, 03 Oktober 2010

HARGOBINANGUN, Kami di Sekitar Sana pada Suatu Petang

Pengantar

Suatu hari yang baik. Puji syukur, berkat tidur lebih awal pada hari sebelumnya, saya dapat bangun lebih awal pula pada hari berikut. Akhirnya saya bisa sahur! Karena, beberapa hari ini entah mengapa saya malah bangun tepat setelah azan subuh padahal sudah pasang alarm jam 3 pagi. Dan saya tak mendengar bunyi alarm itu sama sekali! Singkat cerita, saya sahur dengan beberapa lembar roti tawar + satu sachet susu kental manis coklat + segelas kopi kapal api. Setelah itu saya piket kos dan mencuci pakaian. Setelah itu saya mengedit anak-anak pikiran saya, sebelum saya tinggal selama sekitar tiga minggu ke negeri UTS—ha. Setelah itu saya persiapan pergi ke kampus Kehutanan Universitas Gadjah Mada ceria.

Telah saya kembalikan Bait-bait Suci Gunung Rinjani pada Rosi (entar pinjem lagi ya, Ros! Hehe…). Telah saya ikuti briefing AAI—yang ternyata sudah usai dan diteruskan dengan Karimah (forum kemuslimahannya rohis Kehutanan). Telah saya tunggui Frita, sembari mengobrol dengan Andre dan Eka, lalu Jumatan berakhir, dan saya ditipu Cahyandra. Ada seorang cewek di seberangnya yang memang amat mirip dengan Frita, tapi bukan Frita. Saya hampir saja kelepasan menyapanya, untung tak jadi. Baik Frita maupun Putro kini sudah ada duplikatnya di kampus, saya ada nggak ya?

Lalu Nurdin datang. Mengajak survei ke Hargobinangun—yang konon binaannya Forestry Study Club alias FSC. Saya sudah lapor sama dia, semalam saya sudah hubungi Ardian, Wahyu, Mbak Rina, dan Mbak Shinta agar saya ada tebengan. Tiga yang pertama bilang tidak bisa. Yang terakhir tidak membalas. Nurdin mengusulkan Vina. Diketahui kemudian, bahwa Vina tak menyesal menerima ajakan ini.

Saya pun solat zuhur dulu sama Vina. Kelar solat, akhirnya bisa menelepon juga ke Frita. Eh, Fritanya sudah di bawah tangga ternyata—tempat kami janjian semula, di mana saya sudah menunggu sekitar sejam di sana dan dia tak kunjung ada. Bertemu Frita, yang membawakan pesanan saya, yaitu sebuah _______ external! Apa? Harddisk? Kebingungan menerpa. Logikanya… kalau Iqbal mau install ulang Asus saya… maka… dia pasti pakai CD-CD software.. lalu… apa gunanya harddisk external kalau begitu? Kata Iqbal kemarin, back up-nya ke disk D saja… dan ternyata Frita juga punya CD-room external—benda itulah yang saya bayangkan sejak sore. Lalu kenapa harddisk? Singkat cerita, kami berkesimpulan bahwa Frita telah membawa barang yang tidak tepat dan itu berkat kesalahan saya kala kemarin mengsmsnya, saya hanya bilang pinjam external. External apa? Meski harus balik lagi ke kontrakannya, seenggaknya saya telah membuat Frita ketawa. Hahahaha.

Jadi, rencananya begini. Yang akan berangkat adalah saya, Vina, Nur(din), dan Cah(yandra). Nur dan Cah pakai motor Nur. Saya dan Vina pakai motor Cah. Nur dan Cah mau makan dulu. Saya dan Vina mau ke kontrakan Frita dulu, lalu ambil helm dari kos masing-masing. Begitulah. Yang terjadi kemudian adalah sebuah perjalanan yang amat menegangkan dan menggusarkan, mulai dari kampus-kontrakan Frita-Mandiri Sekip-kos Vina. Motor Cah berkali-kali mati. Saya duduk miring dengan ransel berisi Asus—berat!—yang akhirnya tidak saya gunakan sama sekali, ditambah CD-room external pula. Ada pula itu tambahan barang berupa sleeping bag amat besar dan helm Cah. Udah berasa mudik saja saya. Mana sedikit-sedikit Vina hampir bikin saya keserempet pula… aduh, saya ngeri sekali dah duduk miring! Maka, setibanya di kosan saya sendiri, saya ganti bawaan saya dengan yang lebih ringan, juga rok dengan celana. Cah dan Nur sudah saya suruh tunggu di pom bensin Jakal aja. Kayaknya mereka sudah menunggu lama saat kita datang. Hahahahahhahahahaha… Dan Cah sudah pinjam helm lagi begitu, seakan kami bakal kurang helm, padahal tidak. Jadi perjalanan kami juga disertai sebuah helm yang akhirnya tak terpakai.




Just For You, FSC!

Berdasarkan keputusan Kongres FSC terakhir, Nur dan saya menjadi anggota Dewan Konsultatif alias DK. Anggota lain adalah Mas Bir(ama). Sebagai DK yang berkomitmen, hasil jumpa empat mata di antara Nur dan Mas Bir, DK hendak menghelat sebuah acara yang dikhususkan bagi para PH. Wow. Tak ada yang macam begitu pada jaman kami jadi PH. Setelah rapat buat mengonsep acara dan blablabla, diputuskan bahwa PH kepengurusan sekarang akan dipertemukan dengan eks PH kepengurusan sebelumnya dalam pertandingan bola voli.

Hehe.

Pokoknya, dalam sebuah acara yang dikemas dalam 2 malam 1 hari, kami akan bersilaturahmi pada warga Hargobinangun, ngomongin masalah internal FSC sampai berbusa, jalan-jalan di kawasan Hargobinangun buat merumuskan apa yang FSC bisa lakukan untuk kawasan ini, sampai masak-masak bersama. Kendati tanggal H-nya masih simpang siur, Nur memutuskan agar survei lekas dilakukan. Dan terjadilah sebuah acara jalan-jalan pada sebuah Hari Kesaktian Pancasila di tahun 2010. Selamat ganti umur untuk Hari Sakti Adhitya—masih menjabat sebagai ketua LEM Fakultas Kehutanan saat ini ditulis—dan… Rezki Lasekti (bener nggak nih nulisnya?), siapapun dia sekarang, hehe… Apa kabarmu Mas Sekti? Apa setiap orang yang lahir 1 Oktober pada namanya harus dimuatkan unsur yang menyatakan harapan akan kesaktian—seakan bukan hanya Pancasila yang sakti?




Beginilah yang kejadian…

Perjalanan menuju Kaliurang sudah berkali-kali saya lakukan. Pas hendak training rohis. Pas ngambil data buat tugas kuliah Pengelolaan Lanskap. Pas hendak upgrading FLP. Pas menyusup di acara pengamatan burungnya Vina cs. Pas menemani teman-teman sekelas saat SMA pelesir. Dan lain-lain.



Jadi hal paling mengesankan dalam perjalanan menuju bagian atas provinsi DIY ini adalah pemandangan di kejauhan yang tampak berkabut. Karena terpikirkan untuk merekam perjalanan ini dalam sebuah tulisan di blog, maka saya mulai ambil foto dengan kamera seadanya, yaitu dari ponsel saya, yang hasilnya ora cetho-cetho—bahasanya Cah sedari siang, padahal saya sudah menyarankannya untuk menggunakan istilah yang lebih gaul, yaitu “GJ”— amat. Yah, beginilah hidup manusia di ambang melarat.

Naik, naik, tapi tak sampai ke puncak gunung. Udara semakin mendingin. Tapi ngeunahlah, aing suka, mengingatkan pada kota halaman. Setelah melewati gerbang menuju kawasan wisata tanpa bayar, sempat salah jalan, akhirnya tibalah kami di rumah, yang menurut keterangan Nur, adalah rumah Pak RW.



Parkirlah kami. Pintu di hadapan dalam keadaan tertutup. Nur melangkah duluan sementara ketiga oknum lainnya celingak celinguk ra cetho. Beberapa kali kasih salam, tidak ada yang menanggapi, Nur menekan sebuah saklar di tiang, yang ia kira bel, dan lumrahlah jika kami semua—bahkan kamu yang membaca tulisan ini—berprasangka bahwa itu adalah bel… Jika ada saklar di dekat pintu depan sebuah rumah, mestinya itu adalah sebuah bel kan? Lalu tahu-tahu lampu di atas kepala Nur menyala. Kamuflase macam apa ini?! Itu bukanlah saklar untuk bel, melainkan lampu!





Kami terpana hingga seseorang ke luar dari semak-semak, diikuti kameramen dan beberapa kru TV lainnya. Seseorang itu memegang lengan Nur, mengarahkan pandangan Nur agar menuju pada apa-apa yang ia tunjuk, sembari berkata, “Nah, di situ ada kamera… Di situ juga… Selamat, Anda masuk dalam tayangan “JAHILIN”!”



Saya, Vina, dan Cah pun ikut menatap kamera, sembari mengacungkan dua jari, lantas nyengir.



Kembali hanya kami berempat di pelataran rumah, dua orang cewek bermotor menyambangi. Ditanyailah mereka, ke mana Pak RW. Lagi tidak ada. Mungkin pulangnya masih lama (eh, benar mereka ngomong begini?). Lalu mereka pergi lagi.



Jadinya kami ikut-ikutan deh. Setelah menemukan sebuah kolam ikan, seekor belalang sembah, dan sebidang rawa-rawa (kali ini bukan fiktif), kami melanjutkan perjalanan ke… sebuah penginapan dengan jalan menurun yang tak kira-kira. Ingat betapa vertikalnya jalan menuju Rockbottom dalam salah satu episode Sponge Bob Square Pants? Yah, kelandaian jalan tersebut mengingatkan saya pada itu. Sementara Nur dan Cah sudah disambut, saya dan Vina malah minggat lagi karena Vina ingin mengisi bensin motor Cah.



Setelah kelar urusan itu, kami menyusul Nur dan Cah yang sudah bercengkerama dengan penyambut mereka. Dalam ruangan depan sebuah rumah yang kiranya bakal kami isi entah kapan… Saya dan Vina disambut dengan bahasa Jawa halus oleh bapak penyambut. Hening sejenak, sebelum kami semua tertawa dan salah seorang menerangkan bahwa ada yang tidak mengerti bahasa Jawa di ruangan tersebut. Ya, dialah diriku. Tega nian Nur bilang bahwa saya berasal dari Bogor. Lalu apa arti hubungan di antara kita berdua selama lebih dari 3 tahun ini berkecimpung dalam jurusan, angkatan, kelompok tugas kuliah maupun praktikum, hingga organisasi yang sama? Tega kamu, tega… padahal saya orang Bandung!

Perbincangan di antara kami (sebetulnya di antara pak penyambut-Nur-Cah aja sih) Mulai dari kelinci, laundry, ettawa, kerukunan antar agama, perkumpulan lansia, KKN, hingga tawaran untuk mengudap suguhan. Cah bilang bahwa saya sedang berpuasa. Pas bapaknya pergi, Nur bilang kalau ada hadis, di mana Rasulullah membolehkan kita batal puasa kala sedang bertamu—untuk menghormati. Aduh, jadi mencelos. Terus, kalau bertamunya udah selesai, puasanya disambung lagi? tanya saya. Ya nggaklah, kata Nur. Bertamu aja terus kalau gitu, kata Cah. Sengaja membatalkan pun tanggung, waktu buka tinggal kurang lebih dua jam lagi. Dasar setan. Mereka semua—minus pak penyambut tentu saja—menggoda saya dengan para penganan itu. Yang tehnya nikmatlah. Yang keripik bayamnya tidak keraslah. Apalah. Si Nur pakai mengangkat sebelah alis segala. Wew! Teh saya pun akhirnya Cah habiskan.

Akhirnya berakhir juga basa-basi Nur, segera dia tanya-tanya soal harga dan sebagainya. La la la. Matanya lalu memberi isyarat pada kami untuk bersiap minggat. Dan kami minggat. Untuk solat ashar. Agak dekat, di atas sana, kami memasuki sebuah pelataran. Yang saya kira masjid ternyata bangunan TPA.



Musola ada di sebelah kanannya. Lalu kami berwudu. Sebelum solat, sempat-sempatnya Nur mengomentari ransel batik perca saya. Katanya, “Orang Jogja aja nggak beli yang gituan.” “Saya kan emang bukan orang Jogja,” tangkis saya. Lalu solat berjamaah. Nur menjebak Cah untuk mengimami. Setelah solat, Nur menemukan sebuah markisa. Dibelahnya jadi dua. Baunya harum sekali, mengingatkan pada si jambu mete. Warnanya pun berbeda, lebih cerah. Setelah hampir habis dimakan, barulah dia sadar, “Ini markisa punya siapa?”



Lepas dari area musola, kami tak langsung pulang dong. Secara saya sedang berpuasa, ngabuburit dulu dong! Ngabuburit di Kaliurang, wow. Dan sepi. Mengingatkan saya pada makrab IFSA yang pernah saya hadiri pada tahun 2008. Juga pada pelesir bareng teman-teman sekelas saat SMA, naik kereta-keretaan. Menyusuri jalan di tengah vila-vila berpenampilan ciamik. Motor yang saya dan Vina naiki membuntuti motor yang Nur dan Cah naiki.



Kami masuk ke pelataran tempat wisata Gua Jepang. Sepertinya ini beda dengan pelataran yang itu, pelataran menuju kawasan hutan wisata yang saya sambangi awal tahun 2010, di mana saya ketemu mas-mas ganteng yang menemani mbak difabel jualan.



Tidak ada orang lagi selain kami. Gerbang sudah dikunci.



Rumah makan tutup.



Hanya ada kabut yang memayungi rerimbunan vegetasi nan menjulang. Bahkan tak terlihat seekor kera pun. Dan Nur menemukan sebuah jalan masuk menuju dunia di balik gerbang, dengan menaiki sisa tonggak pohon, jalan setapak, dan ha ha, kami pun sudah berada di sana, tak pakai bayar!—kendati kalau bayar pun mungkin hanya 2000 rupiah.



Kawasan wisata yang dikepung hehijauan, mulai dari yang berkayu maupun tidak, ditancapi oleh beragam permainan anak-anak, dan Nur mengimajinasikan dirinya sebagai hamster dalam sebuah roda setan.





Cah mencari beburungan. Vina celingukan. Saya berburu imaji dalam ponsel.



Menginjak guguran sakura jawa (istilah Nur), diliputi kabut dan dingin, namun semenyegarkan air yang saya pakai berwudu untuk solat ashar. Kembali ingat pada kota halaman…



Berjalan-jalanlah kami, ke sana dan ke sini. Serasa ini sebidang lahan milik kami sendiri. Menuruti langkah teman atau ingin hati. Mengajak untuk jalan-jalan macam begini lain kali, tapi ke pantai, Cah malah mengklaim saya sebagai anak kesepian.



Nur menemukan sebuah bunker berpintu kuning.







Di dalamnya terdapat segulung tikar, tumpukan kayu, dan sampah katanya. Pergi dari situ, kami menyusuri pagar yang membatasi dengan jurang.



Memutar lewat jalan lain untuk mencapai titik masuk kami tadi. Cah ditelpon Soni karena Soni mau pulang dan dia butuh helmnya. Waha. Mau ambil gambar lagi, memori ponsel sudah penuh. Heu.



Sebuah oleh-oleh Cah berikan untuk saya, sebutir damar. Bening, lengket, dan berbau khas. Akhirnya jadi tidak sebegitunya lagi karena terus dipegang jari.



Perjalanan pulang sempat terhenti karena insting herpetolog Cah. Sembari menunggui sang mbah gondrong menelusup ke balik rerimbunan vegetasi, kami yang tersisa melempar pandang ke atas. Pada sengon yang terserang karat puru, pada bentet… apa tadi namanya lupa saya, Vin. Lalu ada burung apa lagi ya? Pokoknya beragam. Ada juga kutilang.



Lalu kami menembus kabut tipis, melepas dingin, menuju gumpalan panas emisi di kawasan kampus UGM. Tak tersiram hujan. Tiba tepat sekitar maghrib, saya sudah mengidam jus melon-pisangnya Pak Lebah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain