Kewirausahaan adalah perkara pengembangan diri. Bagaimana jika diikuti embel-embel “hasil hutan”? O, itu pasti salah satu mata kuliah mahasiswa Kehutanan! Dan yang mereka pelajari dalam mata kuliah ini adalah bagaimana menemukan peluang (untuk mengembangkan diri) di bidang kehutanan. Jika hasil hutan dibagi menjadi kayu dan non kayu, maka pada Sabtu, 26 Maret 2011, mereka mendapat kesempatan untuk belajar dari praktisi di bidang pengusahaan kayu terlebih dulu.
Pertemuan dijadwalkan pukul 9 pagi. Namun pada pukul 9 lewat 10 menit, sang dosen melapor, “Pembicaranya baru berangkat dari Surabaya 10 menit lalu, jadi entar dateng lagi ke kelas jam 10 ya.” Oke, Pak. Sebagian besar mahasiswa ke luar kelas lagi. Saya menemani seorang teman curhat dengan dosen, disambi membaca beberapa lembar KOMPAS Jumat—entah punya siapa—yang tertinggal.
Pukul 10 tiba. Belum jua pembicara datang. Ditunda lagi sampai pukul 11. Karena ada kelas tambahan pula pada pukul 11 di ruangan yang ber-AC ini, maka kami berbondong-bondong ke ruang lainnya. Sementara itu, pak dosen menjemput para pembicara yang sedang bingung mencari pintu masuk UGM.
Mereka adalah Pak Setyo Budi dan Mr. Choi (Si Won?!). Pak Setyo Budi adalah alumni Fakultas Kehutanan UGM angkatan 1990 sedangkan Mr, Choi adalah temannya. Namun Mr. Choi yang asal Korea ini bukan teman biasa—ia sudah malang melintang di industri perkayuan. Mr. Choi tampak seperti pria paruh baya dengan bagian atas rambut sudah memutih. Ia memakai kemeja batik warna coklat. Pak Setyo Budi berkumis dan bertubuh relatif kecil serta berkemeja kuning gading.
Saya kira TOR yang dosen berikan pada mereka adalah untuk menceritakan pengalaman mereka selama menggeluti industri perkayuan. Yang harus kami cermati adalah semangat kewirausahaan di dalamnya. Seperti apakah itu? Silahkan simak catatan saya!
Pak Setyo Budi adalah seorang pemilik pabrik pengolahan kayu balsa dengan produksi 150 m3/minggu yang diusahakan meningkat jadi 10.000 m3/bulan. Karyawannya berjumlah 170 orang. Ekspornya sudah sampai China lo… Dan ia memulai usahanya ini dari nol tanpa sepeser pun modal dari orangtua.
Sebelum mendirikan pabriknya sendiri, Pak Setyo Budi bekerja untuk sebuah perusahaan swasta di Sidoarjo—masih industri perkayuan juga. Ia mulai bekerja sebagai staf di industri tersebut pada tahun 1995. Tugasnya adalah mengecek kualitas hasil produksi. Berkat pekerjaannya, ia sudah pernah mengunjungi industri kayu di berbagai penjuru Indonesia. Perusahaanya itu memang mengirim produk hingga ke luar Jawa. Berkat lawatannya itu pulalah, ia jadi punya banyak pengalaman akan perjalanan industri kayu. Inilah yang menjadi modal utamanya dalam menjalankan usaha sejenis. Memang penghasilannya selama ini sudah cukup untuk menghidupi keluarga, namun waktu kerjanya bisa dari pukul 6 pagi sampai 8 malam. Baru setelah ia menjabat sebagai manajer material, ia jadi punya banyak waktu luang dan jaringan yang semakin luas.
Setelah 15 tahun (tahun 2009), akhirnya ia ke luar dari pekerjaannya. Ia tidak mendapat pesangon apa-apa. Cinderamata yang diberikan hanya sebuah jam dinding. Penghasilan yang ia dapat dari perusahaan tersebut memang tak seberapa dibandingkan perolehan pengalaman yang luar biasa. Inilah yang jadi modal utamanya dalam mendirikan usaha sejenis.
Ia mengakui bahwa apa yang ia dapat di bangku kuliah amatlah sedikit. Ia baru tahu hal permesinan, buyer, supplier, sumber bahan baku, dan sebagainya setelah bekerja. Ia berharap sistem pendidikan jaman sekarang tidak seperti itu lagi (lebih banyak praktek). Sayang, Pak, harapanmu itu belum terwujud dengan memuaskan.
Menurutnya, menjadi pengusaha itu “enak nggak enak.” Pikiran harus jalan terus karena setiap hari ada masalah. Misalnya, bagaimana supaya produk yang dikerjakan bisa efisien? Yang dibutuhkan adalah efisiensi dalam kerja dan bahan baku. Kalau sudah dapat order, ya harus dipenuhi. Komitmen harus dijaga betul. Bahan baku harus dikelola agar ketersediaannya kontinyu.
Namun bisnis kayu tidak akan merugikan, malah menjanjikan sekali. Kena rugi paling kalau dibohongi orang. Dan ia sudah berkali-kali mengalami hal demikian. Namun terbukti bahwa itu tidak membuatnya mundur dalam menjalankan bisnisnya. “Hanya orang yang punya ilmu kehutanan yang bisa ngurus kayu,” ujarnya.
Omong-omong soal industri balsa, sepertinya baru satu ini yang ada di Indonesia. Balsa memiliki kestabilan dimensi yang bagus. “Jadi penyerap suara juga bagus,” imbuh Pak Setyo Budi. Perusahaannya juga menerima jasa olah kayu.
Pak dosen meminta sampel yang Pak Setyo Budi bawa untuk diperlihatkan pada para mahasiswa. Tidak hanya satu macam, tapi berbagai macam sampel kayu balsa (dalam berbagai ukuran) terpegang tangan kami. Kami takjub dengan kayu yang berwarna hampir putih ini. Begitu ringan seperti gabus! Ada satu sampel berbentuk persegi panjang tipis yang mengingatkan pada lapisan atas wafer. Begitu ditekan, empuk terasa. “Ini kayu apa bukan sih?” kami bertanya-tanya. Saking tipis dan empuknya kayu tersebut, teman saya jadi gemas ingin menguji kekuatannya. Ia menekuk-nekuk kayu tersebut (bisa!) dan patah deh. Suaranya keras sekali. Untung para bapak-bapak di depan tak memerhatikan. Untung juga Pak Setyo Budi ternyata mengikhlaskan sampel-sampel tersebut untuk para mahasiswa bawa pulang.
Selain merupakan teman lama, Mr. Choi sudah bekerja cukup lama pula untuk perusahaan Pak Setyo Budi. Sepertinya ia adalah seorang ahli produk kayu. Namun jurusannya saat kuliah adalah machine engineering. Setelah lulus sekolah tinggi dan seterusnya, ia bekerja di Indonesia. Ia pertama kali ke Indonesia tahun 1990. Selama itu hingga sekarang, ia sempat kembali juga ke Korea.
Di masa-masa awalnya di Indonesia, ia kerap emosi dengan keleletan orang Indonesia. Ketika waktu kerja harusnya dimulai dari jam 7, orang Indonesia malah baru pada datang. Mereka begitu suka buang-buang waktu. Tapi sekarang sudah biasa kan, Pak?
Dan semoga juga ia sudah biasa dengan para mahasiswa Indonesia yang terkantuk-kantuk atau meniru dengung lebah saat kuliah. Saya sendiri berusaha mengatasi dua godaan di atas dengan menggambar wajah-wajah. Dan saya puas dengan seraut wajah yang amat ganteng… aha…
Mr. Choi sudah fasih berbahasa Indonesia. Cara bicaranya semangat sekali bak motivator. Saking fasih dan semangatnya, kami sampai tak bisa menangkap dengan jelas apa yang ia sampaikan.
Bagaimanapun juga, dari sekian hal penting yang telah mereka berikan pada kami, yang tak boleh luput antara lain adalah kontrol kualitas dan bagaimana menghargai orang lain—yang terakhir ini adalah tantangan kunci jadi pengusaha, kembali ke hati!
Beberapa informasi lain:
- Pada tahun 2001, pemerintah melarang usaha kayu ramin. Banyak perusahaan tutup akhirnya atau harus mengganti subtitusi. Ya memang kayu ramin tak luput dari permasalahan juga, antara lain mudah pecah, kembang susut tinggi, dan proses (apanya?) lama…
- Jepang memiliki sistem pengolahan kayu yang bagus namun susah diterapkan di Indonesia. Jepang hanya mengolah kayu yang bagus. Jadi kesimpulannya?
- Pak Setyo Budi berasal dari 10 bersaudara dan ada sebuah kalimatnya yang bisa jadi kutipan: “Target tak akan habis, yang habis itu umur.”
Balsa mungkin tak sekuat jati, meranti, apalagi eboni. Namun ternyata ia memiliki kegunaannya sendiri sebagaimana yang Pak Setyo Budi tunjukkan dalam usahanya. Seperti apa yang ia ucapkan, saya ulangi, hanya orang kehutanan yang bisa mengurus kayu. Jelas saja, memangnya siapa yang mempelajari kayu sampai ke setiap lubang porinya? (Anak jurusan Teknologi Hasil Hutan…)
Dengan demikian saya kira sesungguhnya jenis kayu lain bisa dimanfaatkan untuk tidak menjadi sekedar kayu bakar apabila ia tak sekuat jati dan kawan-kawan. Jika konsumen dapat mengurangi permintaan akan kayu-kayu komersil yang mendominasi lahan selama ini, lahan bisa ditanami oleh jenis seperti balsa yang saya kira memiliki daur lebih pendek. Produksinya jadi lebih cepat dong, lebih cepat mendatangkan penghasilan.
Bagaimanapun perlahan kita bergeser ke paradigma baru. Hasil hutan yang dikembangkan bukan hanya kayu. Non kayu pun dapat memberikan penghasilan yang oke—bahkan mungkin bisa meningkatkan aspek ekologis serta kesejahteraan masyarakat sekitar. Dengan demikian kita harus terus mencari alternatif-alternatif yang dapat mengubah orientasi masyarakat pada produk yang manfaat keramah-lingkungannya lebih besar.