Judul : Dari Kasanah Sastra Dunia
Penulis : Drs. Jakob Sumardjo
Penerbit : Penerbit Alumni, 1985, Bandung
Karya sastra yang baik tak kan lekang oleh waktu. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bersifat universal. Kapanpun di manapun kita membacanya, kita masih bisa merasakan relevansinya di masa kita hidup.
Ada sekian karya sastra dunia macam demikian, namun belum semuaditerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dan ada sekian (calon) pengarang Indonesia yang tak paham berbahasa asing. Oleh karena itu penerjemahan karya sastra asing menjadi penting. Dari situlah para sastrawan kita belajar, sebut saja Pramoedya Ananta Toer, Sapardi Joko Damono, Achdiat Kartamihardja, dan masih banyak lagi. Bahkan A. A. Navis pun mengatakan, “Sastra Indonesia saya baca untuk mempelajari kelemahannya. Tapi sastra asing saya baca untuk mempelajari kekuatannya.”
Bagaimanapun pada saat buku ini ditulis, entah juga kalau sekarang masih demikian, sastra Indonesia sedang dalam proses perkembangan. Sastrawan Indonesia harus banyak membaca karya-karya sastra yang besar untuk dipelajari demi kemajuan sastradi negaranya (hal. 4).
Salah satu masalah penerjemahan yang disoroti pada lima belas tahun silam adalah kurangnya penerjemahan karya-karya sastra yang penting. Kebanyakan karya terjemahan yang sudah diterjemahkan pada waktu itu adalah bukan karya sastra penting melainkan sekadar bacaan anak sekolah (ringan, hiburan) yang mementingkan keramaian cerita, aksi, petualangan, sensasi, sentimentalitas dan semacamnya. Penulis menganggapnya sebagai bukan karya penting meskipun yang menggemari banyak, sebut saja karya-karya Arthur Conan Doyle, Agatha Christie, bahkan Karl May.
Dikatakannya, “Bacaan-bacaan tentang petualangan, pengembaraan, kegagahan dan keberanian, cerita-cerita lucu dan detektif hanyalah menarik bagi pembaca awam umumnya dan kurang berarti bagi pengembangan kesustraan kita.” (hal 9-10)
Bahkan penulis pun tak memungkiri kalau, “sebagai publik saja kita masih menggemari buku-buku hiburan ringan yang sama sekali tidak berbicara tentang kemanusiaan secara serius.” (hal. 46)
Jadi, bagaimanakah karya yang dianggap penting itu? Sebagian isi buku ini berupa ulasan kritis terhadap beberapa karya sastra dunia yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada waktu itu. Negara yang mendapat perhatian khusus ialah Jepang, Prancis, dan Amerika. Sisanya adalah Belanda, Rusia, Inggris, dan Mesir. Dari ulasan-ulasan tersebut, saya menyarikan beberapa hal yang kiranya mencirikan karya sastra bermutu (versi penulis). Ini merupakan contoh pelajaran-pelajaran yang bisa kita ambil dari karya sastra dunia:
1. Subtil
Menurut KBBI elektronik saya, subtil itu halus, lembut, perbedaan yang tidak kentara, cerdik, dan bijaksana. Begitu pulalah saya memahami suatu karya yang subtil. Keindahan suatu karya mungkin dinilai dari kesubtilannya. Dan kita bisa menemukan yang seperti itu dari khazanah sastra Jepang, sebut saja “Jembatan Impian” dan “Wajah Shunkin” dari Junichiro Tanizaki atau “Keindahan dan Kepiluan” dari Yasunari Kawabata.
Menurut penulis, karya-karya sastra Jepang tidak menonjolkan kehidupan lahiriah atau aksi manusia melainkan pergolakan dalam batin tokoh-tokohnya. Gaya bercerita mereka naratif dan bukannya dramatik seperti umumnya novel Barat. Yang dimaksud dengan naratif ialah teknik bercerita yang cenderung untuk banyak menerangkan dan memberi argumentasi ketimbang pemaparan kejadian sebab. Yang penting bukanlah ikatan tempat dan waktu melainkan penjelasan suatu sikap. Ini menyebabkan ada suasana yang hilang yaitu kurangnya ketegangan (hal. 51-52).
Meski demikian, dari karya para novelis Jepang tersebut kita bisa belajar bagaimana melukiskan perasaan-perasaan rumit manusia yang khas Jepang (bisa kita sesuaikan dengan konteks lokal khas kita sendiri) namun dapat menyentuh kenyataan-kenyataan universiil (hal. 55). Kekuatan rata-rata mereka adalah kegemaran mereka mengangkat nuansa-nuansa perasaan luar biasa yang sulit dirumuskan tetapi orang bisa merabanya lewat sini, dalam hal ini novel. Campuran berbagai perasaan (cinta, kenangan, penderitaan, kesepian, dan lain-lain) hanya terasa lewat adegan-adegan yang dibangun.
2. Efektivitas kalimat
Kalimat-kalimat sederhana namun padat dan indah merupakan salah satu kekuatan kepengarangan. Tidak ada adegan yang tidak penting—bahkan perbuatan kecil saat melakukan sesuatu kegiatan pun memiliki arti kejiwaan sendiri. Setiap kalimat harus ada di sana karena berfungsi, karena mendukung arti keseluruhan. Dan pengarang tahu benar apa yang melatari kehidupan tokohnya. Dalam hal ini, karya Yasunari Kawabata dan John Steinbeck bisa dijadikan bahan belajar.
3. Unsur intrinsik
Berbeda dengan novel populer yang hanya mementingkan menarik apa tidaknya jalan cerita, karya sastra penting memedulikan pelukisan watak, tema, keindahan bahasa baku (hal. 39), serta lebih menekankan pada problematika kehidupan secara serius (hal. 9).
Dalam ulasannya tentang “Daisy Manis” oleh Henry James, penulis menyinggung tentang perwatakan yang menjadi kekuatan karya. “Perwatakan bisa membangun sebuah cerita. Perwatakan yang jelas didukung oleh tindakan-tindakan si tokoh, didukung oleh omongan tokoh-tokoh lain yang pro ataupun anti padanya, didukung oleh kecermatan pengarang dalam melukiskannya sehingga tercipta suasana batin dalam novel, dan cermat pula melukiskan motivasi-motivasi psikologis tokohnya.” (hal. 98)
Dan tentu saja karya sastra yang baik adalah yang memberikan pencerahan bagi pembacanya. Pada “Dataran Tortila” oleh John Steinbeck, penulis mendapatkan kesimpulan bahwa, “Orang bisa membebaskan diri dari ikatan apa pun tetapi kebahagiaan menikmati kebebasan tanpa batas itu pun akan membosankan. Kebahagiaan akhirnya terletak pada mematuhi tanggung jawabnya. …. Penuhilah tanggung jawabmu dan kau akan merasa bebas.” (hal. 102)
4. Teknik
“Watak-watak manusia tertentu dia tempatkan dalam kondisi tertentu, maka akan mengakibatkan kejadian-kejadian atau cerita yang cukup interesan. Temukanlah karakter spesifik, maka akan lahirlah sebuah novel, sebuah cerita.” (hal. 97).
“Ajaran, pandangan hidup dan filsafat tidak usah menyolok mata disodorkan pengarang pada kita. Filsafat adalah cerita itu sendiri. Kehidupan itu sendiri. Pengalaman itu sendiri. Soalnya hanyalah bagaimana pengalaman itu disajikan pada kita secara menarik.” (hal. 93)
“Sifat multi interpretable karya sastra adalah pada letak kekonkritannya.” (hal. 106)
5. Pengarang
Ini termasuk hal yang paling kerap penulis ungkit.
Pada ulasan tentang Junichiro Tanizaki: “Tidak ada pesan apa-apa yang berat. Yang ada hanyalah sikap pengarang yang dewasa dan banyak mengetahui kehidupan ini. Memang ide itu benih bagi pengarang, sedang tanahnya adalah pribadi pengarang itu sendiri: kepercayaannya, inteligensinya, pengetahuannya dan pengalamannya. Benih yang baik, ide yang baik, bisa tumbuh subur dan berbuah di tangan pengarang yang bertanah subur dan penuh gizi itu.” (hal. 54)
Menurut pengetahuan yang saya dapat dari kuliah sih, suatu benih itu bisa tumbuh baik tidak hanya karena tanahnya tapi juga oleh berbagai faktor lain seperti lingkungan (abiotik dan biotik), intervensi manusia, dan lain-lain. Silahkan direnungkan lagi…
Pada ulasan tentang Yukio Mishima: “Dan yang terpenting dengan sendirinya adalah pribadi pengarangnya yang matang dan sederhana tanpa pretensi yang berlebihan.” (hal. 57)
Pada ulasan tentang Andre Gide: “Jelas sekali bahwa buat seorang pengarang kepribadian dan kematangan sebagai manusia adalah syarat utama buat mencapai hasil yang cukup bermutu. Menulis bukan hanya soal teknik belaka. Diperlukan sesuatu yang lain yakni kematangan pengalaman.” (hal. 73)
Pada ulasan tentang Pearl S. Buck: “Kekayaan pengalaman ternyata merupakan syarat utama kreativitas. Namun bahan yang bertumpuk saja tidak akan melahirkan karya besar kalau tidak diikuti perenungan dan ketajaman penilikan ditambah kekuatan imajinasi.” (hal. 91)
Pada ulasan tentang Ernest Hemingway: “Inilah unsur utama adalah cerita, pesona, sastra. Yang lain-lain itu akan muncul sendiri kalau memang yang bercerita itu seseorang yang cukup matang dalam masalah yang diceritakannya.” (hal. 94)
Pada ulasan tentang Alexander Solzhenitsin: “Dan kematangan pribadi merupakan bekal utama seorang penulis. Hasil seni adalah potret pribadi pengarangnya sendiri. Pribadi yang besar akan melahirkan tulisan-tulisan besar. Sebaliknya jiwa yang kerdil dan entah akan melahirkan pula tulisan-tulisan yang setara dengan pribadinya. Menulis bukanhanya sekedar kepandaian teknik, ia juga ekspresi pribadi pengarangnya.” (hal. 121)
6. Dan bagaimana pandangan kita akan karya sastra itu sendiri…
“Lagak terlalu berpose dengan keanehan pengalaman, kelainan pandangan, kelainan pengungkapan hanya akan menghasilkan karya-karya yang membosankan. …. Kejujuran, kesederhanaan, kesungguhan, dan kewajaran dalam menyuguhkan cerita, adalah kaidah yang selalu dapat kita jumpai pada setiap karya sastra dunia yang besar dan dihormati. Orang hendaknya membuang pretensi bahwa karya yang sedang ditulisnya adalah karya penting, “baru”, monumental, hebat, “akan mengejutkan”, dan sebagainya yang hanya layak menghinggapi karya-karya seorang remaja pubertas.” (hal. 95)
“Sebuah karya menjadi besar karena artinya dan bukan karena kepeloporannya dalam pembaharuan. …. Kita masih memerlukan karya-karya konvensional yang besar, yang bermakna, yang kaya, dari pada karya-karya pembaharuan yang eksperimental yang belum tentu berhasil.” (hal. 104)
“Karya sastra hanyalah mengundang orang, merangsang orang buat mengeluarkan sendiri, menggali sendiri kekayaan batinnya. Karya sastra yang berhasil tidak memberikan ajaran secara langsung, tetapi mengandung ajaran secara terselubung. Karya sastra yang berhasil tidak memberi petunjuk, tetapi menggambarkan. Bukan mengajar tetapi merangsang buat berpikir. Karya sastra yang besar selalu bersifat demokrat. Ia tidak membatasi. Ia memberikan dan pembaca memperoleh kekayaan dari dirinya sendiri. Kebebasan dan hak individual pembaca tetap dijaga dan dihormati oleh pengarang.” (hal. 107)
Jadi, kembalikanlah tujuan penciptaan karya pada apa yang mencetuskan proses kreatifnya, pada apa yang mematangkan kepribadian pengarangnya: masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar