Sabtu, 28 Desember 2013

Besar

waktu aku ke sekolah, ada raksasa di gerbang . tingginya 30 meter.kakinya besar seangkot.“aku murid baru”, kata dia . “ini hari pertama aku” aku tidak per­caya!!! aku tanya pada dia ... “di mana kamu ketemu doraemon ?!!!” “hah ?” kata dia . “kamu gede karena senter pembesar do­ra­emon kan??!”telunjuknya garuk ke­pala besar seperti balon udara .ke­tom­be­nya jatuh.iiiek !!!! dia mau bantu aku bersiin ketombe, tapi aku jatuh . 

***

Lama pandanganku terpaku pada kertas. Karangan se­perti ini yang bakal Bibe serahkan besok pada gurunya ketika pelajaran Bahasa Indonesia. Di hadapanku pi­pi­nya gembung. Kudorong buku tulis ke dekatnya lagi. “Ayo diterusin.”

“Gimana?” tanyanya.

“Bagus,” kataku.

“Enggak tahu lagi mau nulis apa,” katanya.

Anak seumur dia sudah kenal writer’s block. Hebat.

Kupangku dagu dengan punggung tangan sembari menerawang langit-langit. Semoga aku juga ti­dak buntu.

Benakku kosong. Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga—kenapa arti peribahasa itu harus terjadi di momen seperti ini?

“Bibe pingin senter pem­besar?” kataku akhirnya.

Ia mengangguk.

“Pingin nge­besarin apa?”

Bibir bawahnya maju. “Uang jajan aku.”

Perlahan jemariku berhenti mengetuk-ngetuk per­mu­ka­an meja. Aku juga perlu senter pembesar itu untuk uang belanja.

Kutunjuk baris terakhir pada karangan Bibe. “Ya udah. Bilang aja gitu sama raksasanya.”

Keningnya berkerut.

Bilang juga sama raksasa itu, mamaku juga ingin senter pembesar!

Bibe pun menekuri pe­ker­ja­an­nya lagi, menambah beberapa baris, cukup panjang. An­dai aku pun dapat dihargai jika menulis karangan se­per­ti itu. Kuamati dia terus sampai kepalanya terangkat la­gi. “Gimana?” tanyaku.

Buku tulis disodorkan lagi. Ia meng­ajak raksasa itu ke rumah, raksasa itu mengajak Doraemon, bertemu Mama dan Papa. Mama repot ka­re­na harus memasak dalam porsi besar, juga belajar mem­buat dorayaki. Sebagai tanda terima kasih, Doraemon mengeluarkan senter ajaibnya. Gaji Papa pun men­jadi besar.

“Bagus. Entar PR-nya diliatin ke Papa juga ya.”

Ia mengangguk.[]


(revisi dari "A BIG Day at School" untuk penayangan di Kemudian.com 27 Desember 2013)

Jumat, 27 Desember 2013

"Pesta yang Dicuri" - Liliana Heker [1982]

Begitu sampai, ia langsung ke dapur untuk melihat adakah monyet di sana. Ada: betapa leganya! Ia tidak akan senang kalau ibunya yang benar. Monyet di pesta ulang tahun! Ibunya menyeringai. Yang benar saja, percaya yang aneh-aneh saja macam begitu! Ibunya marah, tapi bukan karena monyet, pikir gadis itu; melainkan karena pestanya.

“Ibu tidak suka kamu pergi,” kata ibunya. “Itu pestanya orang kaya.”

“Orang kaya juga masuk Surga,” imbuh si gadis, yang belajar agama di sekolahnya.

“Surga apaan,” sahut si ibu. “Masalahnya itu kamu, nona muda, kamu itu kalau kentut lebih tinggi dari pantatmu.”

Gadis itu tidak senang dengan cara ibunya bicara. Usianya hampir sembilan tahun, dan ia salah satu anak terbaik di kelasnya.

“Aku kan pergi karena aku diundang,” ujarnya. “Dan aku diundang karena Luciana itu temanku. Begitu.”

“Oh iya, temanmu,” gerutu ibunya. Diam sejenak. “Dengar, Rosaura,” akhirnya ia berkata. “Dia itu bukan temanmu. Kamu sadar kamu ini siapanya mereka? Anak pembantu, itulah kamu.”

Rosaura mengejapkan mata berkali-kali:  ia ingin menangis. Lantas ia memekik: “Ibu diam saja deh! Ibu sendiri tidak punya teman!”

Tiap sore ia ke rumah Luciana. Mereka berdua akan mengerjakan PR mereka sementara ibu Rosaura membersihkan rumah. Sambil mengudap teh di dapur, mereka bertukar rahasia. Rosaura menyukai apapun yang ada di rumah besar itu. Ia juga menyukai orang-orang yang tinggal di sana.

“Pokoknya aku mau pergi, soalnya itu bakal jadi pesta paling menyenangkan di seluruh dunia, Luciana bilang begitu. Bakal ada pesulap, monyet, macam-macam deh.”

Si ibu berpaling supaya bisa menatap anaknya dengan saksama. Dengan angkuh ia tempelkan tangannya ke bibir.

“Monyet di pesta ulang tahun?” ujarnya. “Yang benar saja, percaya yang aneh-aneh saja macam begitu.”

Rosaura amat tersinggung. Ia pikir betapa tidak adil ibunya menuduh orang lain pembohong hanya karena mereka kaya. Rosaura juga ingin kaya, tentu. Kalau suatu hari ia bisa tinggal di istana yang indah, apakah ibunya akan berhenti menyayanginya? Ia merasa amat sedih. Ia menginginkan pesta itu lebih dari apapun di dunia ini.

“Aku bisa mati kalau aku tidak pergi,” lirihnya, bibirnya hampir tidak bergerak.

Ia tidak yakin ibunya dengar. Namun pagi-pagi di hari pesta tersebut, ia lihat ibunya menganji gaun Natalnya. Sorenya, setelah mengeramasi rambutnya, ibunya membilas baju itu dengan cuka apel supaya halus dan berkilauan. Sebelum pergi, Rosaura mengagumi dirinya di cermin dengan gaun putih dan rambut mengilap. Menurutnya ia terlihat amat cantik.

Bahkan Señora Ines pun memerhatikannya. Begitu wanita itu melihatnya, ia berkata:

“Cantik sekali kamu hari ini, Rosaura.”

Rosaura melambaikan sedikit roknya yang berkanji dengan tangan, dan berjalan menuju pesta dengan langkah mantap. Ia ucapkan halo pada Luciana dan menanyakan soal monyet. Dengan tatapan penuh rahasia, Luciana berbisik ke telinga Rosaura: “Dia di dapur. Tapi jangan kasih tahu siapa-siapa, soalnya itu kejutan.”

Rosaura ingin memastikan. Dengan hati-hati, ia masuki dapur. Di sana ia melihatnya: khusyuk termenung dalam kandangnya. Hewan itu tampak begitu lucu sehingga si gadis terpaku di sana beberapa lama, mengamatinya, dan kemudian, sering sekali, ia menyelinap keluar dari pesta diam-diam untuk mengagumi si hewan. Rosaura adalah satu-satunya anak yang diperbolehkan memasuki dapur. Señora Ines yang bilang: “Kamu sih boleh, yang lainnya jangan, mereka terlalu ramai, bisa-bisa ada yang pecah.” Rosaura tidak pernah memecahkan apapun. Bahkan ia yang memegang wadah berisi jus jeruk, membawanya dari dapur ke ruang makan. Ia memegangnya hati-hati dan tidak menumpahkan setetespun. Kata Señora Ines: “Kamu yakin bisa membawa wadah sebesar itu?” Tentu saja bisa. Ia bukan orang yang sering menjatuhkan barang dari pegangannya, seperti anak-anak lainnya. Seperti gadis pirang dengan pita di rambutnya itu. Begitu melihat Rosaura, gadis berpita itu berkata:

“Kalau kamu, kamu siapa?”

“Aku temannya Luciana,” kata Rosaura.

“Bukan,” kata si gadis berpita, “kamu bukan temannya Luciana. Aku sepupunya. Aku kenal semua temannya. Tapi aku tidak kenal kamu.”

“Terus kenapa,” sahut Rosaura. “Aku ke sini tiap sore dengan ibuku. Kami mengerjakan PR sama-sama.”

“Kamu dan ibumu mengerjakan PR sama-sama?” gadis berpita itu tertawa.

“Aku dan Luciana yang mengerjakan PR sama-sama,” tegas Rosaura dengan amat serius.

Si gadis berpita angkat bahu.

“Itu bukan teman namanya,” ujarnya. “Kalian ke sekolah bareng?”

“Tidak.”

“Jadi kamu kenal dia dari mana?” gadis itu mulai tidak sabar.

Rosaura ingat kata-kata ibunya sepenuhnya. Ia menghela napas dalam-dalam.

“Aku anaknya karyawan sini,” ucapnya.

Ibunya telah menyatakannya dengan amat jelas: “Kalau ada yang tanya, bilang saja kamu anaknya karyawan sini, itu saja.’ Ia juga berpesan untuk menambahkan: “Dan aku bangga.” Tapi Rosaura pikir sampai kapanpun dalam hidupnya tidak akan pernah berani ia melontarkan hal semacam itu.

“Karyawan apa?” tanya gadis berpita itu. “Karyawan toko?”

“Bukan,” tukas Rosaura dengan marah. “Ibuku tidak jualan di toko manapun, begitu.”

“Jadi kok bisa ibumu itu karyawan?”cecar si gadis berpita.

Seketika itu Señora Ines muncul sembari mendesis shh shh, dan meminta Rosaura kalau tidak keberatan untuk membantu menyiapkan roti sosis, lagipula ia hapal isi rumah itu ketimbang yang lainnya.

“Lihat kan?” ucap Rosaura pada si gadis berpita. Ketika tidak ada yang melihat, ia tendang tulang kering gadis itu.

Selain daripada si gadis berpita, yang lainnya sangat menyenangkan. Yang paling ia senangi adalah Luciana, dengan mahkota emasnya; lalu para anak lelaki. Rosaura memenangkan balap karung. Tidak seorangpun berhasil menangkapnya ketika mereka bermain kejar-kejaran. Ketika mereka dibagi menjadi dua tim untuk permainan tebak kata, semua anak lelaki menginginkannya berada di tim mereka. Rosaura merasa tidak pernah sebahagia itu dalam hidupnya.

Namun yang paling menyenangkan yaitu setelah Luciana meniup lilinnya. Mula-mula pembagian kue. Señora Ines memintanya untuk membantu mengedarkan kue. Rosaura amat menikmati tugasnya. Semua orang memanggil-manggilnya, menyerukan “Aku, aku!” Rosaura ingat cerita tentang seorang ratu yang memiliki kuasa untuk menentukan hidup dan mati rakyatnya. Ia selalu senang akan hal itu, memiliki kekuasaan atas hidup dan mati. Untuk Luciana dan para anak lelaki, ia berikan potongan yang besar, dan pada si gadis berpita ia berikan seiris tipis sampai-sampai nyaris tembus pandang.

Setelah pembagian kue, muncullah si pesulap, tinggi dan kurus, mengenakan topi merah runcing. Pesulap sungguhan: ia bisa mengurai banyak sapu tangan dengan meniupnya, dan menyambung mata rantai yang tidak ada lubangnya. Ia bisa menebak kartu apa saja yang diambil dari tumpukan, dan si monyet adalah asistennya. Ia menyebut monyetnya “partner”. “Lihat ke sini, partner,” begitulah katanya, “balikkan kartunya.” Dan, “Jangan kabur, partner, sekarang waktunya kerja.”

Permainan yang terakhir amatlah menakjubkan. Salah seorang anak harus menggendong monyet dan si pesulap bilang ia akan membuatnya menghilang.

“Siapa yang hilang, anaknya?” semua berseru.

“Bukan, monyetnya!” si pesulap balik berseru.

Pikir Rosaura ini benar-benar pesta paling lucu sejagat raya.

Si pesulap meminta seorang bocah gemuk untuk membantu, tapi bocah itu ketakutan dan menjatuhkan monyetnya ke lantai. Si tukang sulap mengangkat monyet itu hati-hati, membisikkan sesuatu ke telinganya, dan hewan itu mengangguk-angguk seakan mengerti.

“Kamu kok sangat pengecut sih, teman,” kata si pesulap pada si bocah gemuk.

“Apa itu pengecut?” tanya bocah itu.

Si pesulap berlagak seolah ada mata-mata.

“Banci,” kata si pesulap. “Duduklah.”

Lalu ia menatap satu per satu wajah di depannya. Rosaura merasakan jantungnya berdebar kencang.

“Kamu, yang bermata Spanyol,” kata si pesulap. Semua orang menyaksikannya menunjuk gadis itu.

Ia tidak takut. Sewaktu menggendong si monyet, maupun ketika si pesulap melenyapkannya; bahkan tidak ketika, akhirnya, si tukang sulap menjebloskan topi merahnya ke kepala Rosaura dan mengucapkan kata-kata ajaib… dan si monyet muncul lagi, mengoceh dengan gembira, dalam gendongannya. Anak-anak bertepuk tangan dengan heboh. Sebelum Rosaura kembali ke tempat duduknya, si pesulap berkata:

“Terima kasih banyak, tuan putri.”

Ia begitu senang dengan pujian itu. Ketika ibunya datang menjemputnya, itulah yang pertama-tama ia sampaikan.

“Aku membantu pesulap itu dan dia bilang padaku, ‘Terima kasih banyak, tuan putri.’”

Rasanya aneh karena berikutnya Rosaura sadar kalau ia tadinya marah pada ibunya. Dari awal Rosaura sudah membayangkan berkata pada ibunya: “Monyetnya bukan bohongan kan?” Tapi ia malah terlalu senang sehingga yang ia sampaikan pada ibunya adalah pesulap yang menakjubkan itu.

Ibunya menepuk kepalanya dan berkata: “Jadi sekarang kita ini tuan putri!”

Ia tampak berseri-seri.

Mereka berdua pun berdiri di pintu masuk karena beberapa saat lalu sembari tersenyum Señora Ines berkata: “Tolong tunggu sebentar ya.”

Ibunya mendadak tampak cemas.

“Ada apa ya?” tanyanya pada Rosaura.

“Ada apa kenapa?” ujar Rosaura. “Tidak ada apa-apa kok; beliau cuma ingin kasih hadiah buat yang mau pulang, lihat kan.”

Ia menunjuk si bocah gemuk dan seorang gadis berkucir yang juga menunggu di sana, di samping ibu mereka. Ia jelaskan soal hadiah itu. Ia tahu, karena ia telah mengamati siapa-siapa yang sudah pulang lebih dulu. Ketika salah seorang anak perempuan hendak pulang, Señora Ines akan memberinya sebuah gelang. Kalau anak lelaki, Señora Ines memberinya yoyo. Rosaura lebih memilih yoyo karena benda itu tampak berkilauan, tapi ia tidak memberitahu ibunya. Ibunya mungkin berkata: “Jadi kenapa kamu tidak minta saja, tolol?” Seperti itulah ibunya. Rosaura akan merasa amat malu. Yang ia katakan malah:

“Aku yang sikapnya paling sopan di pesta.”

Ia tidak berkata apa-apa lagi karena Señora Ines muncul di ruangan dengan dua tas, yang satu jambon dan lainnya biru.

Mula-mula ia menghampiri si bocah gemuk, memberinya sebuah yoyo dari tas yang biru, dan bocah itu berlalu bersama ibunya. Lalu ia mendekati si anak perempuan dan memberinya gelang dari tas yang jambon, dan gadis berkucir itupun pergi.

Akhirnya ia menuju Rosaura dan ibunya. Wajahnya tersenyum lebar, Rosaura menyukainya. Señora Ines menunduk ke arahnya, lalu memandang ibunya, dan kata-katanya membuat Rosaura bangga:

“Putrimu mengagumkan, Herminia.”

Sesaat, Rosaura kira ia akan diberi dua hadiah sekaligus: gelang dan yoyo. Señora Ines membungkuk seakan hendak mencari-cari sesuatu. Rosaura pun condong ke depan, merentangkan lengannya. Namun gerakannya terhenti.

Mata Señora Ines tidak terarah pada tas jambon, tidak juga tas biru. Ia malah mengaduk-aduk dompetnya. Di tangannya ada dua lembar cek.

“Kalian  benar-benar layak menerima ini,” ucapnya seraya menyodorkan cek tersebut. “Terima kasih atas semua bantuanmu, sayangku.”

Rosaura merasakan lengannya menegang, menempel erat ke tubuhnya, lalu ia sadar tangan ibunya melekat di bahunya. Naluriah, ia benamkan dirinya pada tubuh ibunya. Seluruhnya. Kecuali matanya. Tatapannya yang dingin dan tajam terpancang di wajah Señora Ines.

Señora Ines bergeming, bertahan dengan tangan terulur. Seolah tak berani menariknya lagi. Seolah gerak sedikit saja akan mengusik keanggunannya yang tak terperikan.[]


Liliana Heker penulis kelahiran Argentina, 1943. Cerpen ini aslinya berbahasa Spanyol, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari versi bahasa Inggris Alberto Manguel.


Teks dalam bahasa Inggris bisa ditengok di sini


Jumat, 20 Desember 2013

Cerita 10 - Janji Monyet

DULU, dulu sekali rasanya, aku pernah meminta seorang lelaki untuk menikahiku. Aku tidak benar-benar sadar apa yang kukatakan. Aku jelang masuk SD, sedang tetanggaku itu hampir lulus SMA. Mungkin yang kuinginkan waktu itu hanya bersamanya selalu. Hasrat seorang bocah untuk diperhatikan dan diperlakukan lembut oleh seorang dewasa yang dianggapnya menawan. Lama setelah itu—ia sudah memasuki paruh baya, aku ajukan lagi hal yang sama padanya. Kali ini dengan kesadaran tinggi. Lagi-lagi tidak berbalas. Ia terus pergi, dengan membawa tabunganku yang dibilangnya untuk modal bisnis. Berapa kali aku sambangi rumahnya atau tanya ibunya di mana saja kami bersua, dia tidak pernah ada, sampai aku jemu.

            Entah sedihku karena kehilangan calon suami potensial atau hasil jerih payahku semasa jadi kutu loncat di perusahan-perusahaan. Dua-duanya terasa sangat berarti pada masa paceklik berkepanjangan seperti ini. Paceklik asmara dan paceklik karier. Paceklik asmara melandaku sudah sejak lama, bahkan sudah jadi iklim di jiwaku, bukan lagi musim.

            Kalau kamu pernah mendengarkan Billie Holiday atau perempuan lainnya melantunkan “Lover Man”, kamu mungkin bisa sedikit bersimpati padaku. Bukannya aku berlagak snob dengan memilih lagu bernuansa jaz itu alih-alih “Kegagalan Cinta” dari Rhoma Irama sebagai pengiring suasana hatiku. Tidak juga ada hubungannya dengan pandangan politikku untuk pilpres mendatang. Bagaimanapun aku wanita heteroseksual yang mendamba “Lover Man”, bukannya orang yang baru sekali merasa kegagalan cinta—aku sudah mengalaminya berkali-kali. Aku ini magnet bagi lelaki, tapi dari kutub yang sama, sehingga mereka malah mental kalau coba dekat denganku.

            Apa salahku. Bulanpun pemalu dan tidak rupawan. Hanya muncul pada waktu malam, itupun pinjam sinar matahari. Mukanya bopeng, harusnya membuatmu gemas ingin melumurinya dengan krim antiflek. Tapi orang-orang malah memujanya, sampai-sampai ingin menyimpannya dalam puisi. Seorang anak bahkan merengek pada ibunya, “Ambilkan bulan, Bu,” sambil bernyanyi. Toh bagaimanapun upaya mereka melalui lagu dan puisi, tidak ada yang benar-benar dapat mengambilnya maupun menyimpannya. Ia tetap sendiri jauh di sana, memandang riuhnya hidup manusia dalam gelap.

            Menimbang jumlah perempuan yang konon empat kali lebih banyak dari lelaki, dan iklan sabun yang sempat bikin skeptis para pasangan yang hendak menjejalkan lebih banyak anak ke dunia, kupikir sebagian perempuan memang sepatutnya mengambil sikap. Berbagi lelaki atau selibat sekalian, dan tidak memiliki anak.

(Tapi aku masih terbuka untuk mengubah pikiran—kalau-kalau kapan datang lelaki mapan juga rupawan melamarku.)

 

ADA yang lebih membebaskan dari tidak memiliki suami dan anak, yaitu tidak lagi mengalami kehidupan.

            Merenungkan bagaimana kakekku menjalani masa senjanya dalam vertigo, demensia, dan ciri-ciri degeneratif lain, aku harap hidupku tidak sepanjang hidupnya. Aku tidak mau menjadi sepertinya. Tapi sekarang aku malah iri padanya. Berangan menggantikan posisinya, di dasar lahad. Setelah hampir seabad menghirup udara, akhirnya beliau dijemput ke lain alam.

Sebagai tribute, aku sudah menulis satu cerpen dengan beliau sebagai salah satu tokoh di dalamnya. Aku jadikan beliau ilmuwan yang berhasil menciptakan mesin waktu—bukannya penulis buku-buku manajemen sebagaimana kenyataan—sehingga beliau bisa mangkir sebentar dari masa kini yang telah menyia-nyiakannya. Tapi alih-alih mengirimnya ke masa lalu, mesin itu malah mendatangkan pria trendi dari masa itu kemari. Lantas pria trendi itu jadi temanku sedang Kakek mesti memperbaiki mesinnya.

            Tidak serius, Kek. Lain kali aku akan menulis tentangmu dengan sungguh-sungguh, sekalian merenungkan rentang kehidupan yang berujung lubang neraka ini.

            Kematian anggota keluarga sama mengerikan dengan Lebaran. Rasa tidak nyaman karena mesti melihat muka dan mendengar gunjing para kerabat menggeletarkanmu sampai ke sukma. Situasinya mungkin berbeda jika kamu punya karier mapan dan atau suami menawan yang bisa dibanggakan. Sedang yang bisa kutunjukkan hanya sikap defensif, dan sebagai gantinya yang kudapatkan hanya sorot prihatin sanak saudara. Mengalahkan keprihatinan atas kepergian tetua dalam keluarga, malahan. Kalau mereka cukup cerdas, dengan melihat tampangku sekilas saja harusnya mereka sudah bisa mengarang sendiri sekosong apa hidup yang kujalani. Tidak usah tanya lagi. Dengan segala pengalaman yang diperoleh setelah menjalani hidup selama, katakanlah, duapuluhan tahun, orang harusnya paham kalau memperoleh karier dan pasangan tidaklah semudah merogoh upil dari lubang hidung—setidaknya bagi mereka yang tidak beruntung. Bahkan tidak semua orang juga peduli kalaupun tidak memiliki keduanya. Jadi, ketika mereka bercakap-cakap dalam rumah duka seusai pemakaman, aku mencangkung di teras. Tatapanku pada mobil-mobil yang berseliweran di jalanan, sedang pikiranku berencana untuk berjalan pulang ke rumah.

Sayangnya, masih saja ada kerabat yang mengintiliku.

“Jadi bukan karena Gadang ya?” tanyanya.

“Kenapa harus karena Gadang?”

Jelatang kecil itu cengar-cengir.

“Mbak enggak ingat?”

Memoriku dikuaknya.

Aku pernah memiliki cukup banyak momen dengan Gadang. Aku SMA, ia TK. Waktu liburan, aku menginap di rumahnya. Bersama-sama kami menonton film tentang hewan di TV hingga menggambar rupa-rupa kendaraan di kertas buram. Pernah aku membacakan majalah untuknya walau yang ia perhatikan hanya gambar-gambar, juga menyuapinya makanan. Lalu keluarganya pindah ke lain kota. Kami jarang berjumpa lagi. Namun sebelum hubungan kami merenggang, ia pernah mengatakan sesuatu pada orangtuanya, sementara aku berada tidak jauh dari mereka, dengan malu-malu, sembari melirikku.

Mama, aku mau kawinnya sama Mbak Sinta ya.”

Yang kontan disambut mamanya dengan seruan, “He… udah ngerti kawin tho kamu?”

Tentu saja belum.

Bagaimanapun aku tertegun.

Kuberitahu ia, dari sejak ia melontarkan kalimat itu, aku tidak pernah menganggapnya serius. Maksudku, aku selalu membayangkan pernikahan dengan lelaki yang sebaya, atau tidak jauh selisih umurnya. Kecuali dalam kasus dengan tetangga semasa kecilku itu. Dulupun aku malu kalau mengingat celotehku yang spontan itu, hingga kupikir mestinya ia tidak menganggapku serius, sebagaimana aku pada Gadang. Lagipula kami masih ada hubungan saudara.

Ia tampak lega.

Tapi aku sembunyikan saja kalau ia satu-satunya lelaki yang pernah ingin menikah denganku.

“Aku kira Mbak Sinta nunggu aku.” Ia cengengesan.

“Ya enggak.”

“Tapi makasih udah mau nikah sama aku,” kataku lagi.

“Yah…”

“Jadi, kayak gimana cewek kamu?”

Ia menggeleng-geleng dengan gugup. “Enggak…”

Aku geli melihatnya. Tentunya ia pantas mendapatkan perempuan yang lebih baik dariku, yang sebaya, atau sedikit lebih muda…

Mungkin begitu juga yang dipikirkan lelaki itu saat menolak keinginanku untuk menjadi pengganti istrinya. Aku pantas mendapatkan lelaki yang lebih baik… Begitulah ia memandangku, sebagaimana aku pada Gadang.

Ya. Mungkin begitu.

“Kok senyum-senyum sendiri, Mbak?”

Kujawab saja dengan gumaman. Entahlah. Kurasa hatiku sedang terbuka dengan harapan.[]

Kamis, 19 Desember 2013

Cerita 08 - Figuran Drama

SURAT 1

 

MANOLA yang baik.

            Terima kasih sudah mengirimkanku surat-surat yang mengabarkan baktimu di Marewerewe. (Aku masih belum tahu di mana itu. Google saja enggak tahu.) Tadinya mau aku kumpulkan dan jual ke media yang belum puas memberitakan kehilanganmu. (Bukannya aku baca atau menonton infotainment ya, cuma tahu saja.) Karena itu dalam suratmu berikutnya, (kalau kamu berkenan membalas suratku ini), kamu patut berterima kasih padaku karena tidak melakukannya.

            Sebetulnya aku malas balas suratmu. Tapi kali ini aku kasihan. Kamu mungkin kesepian. Walau anak-anak selalu meriungimu, dan pemuda-pemuda setempat curi-curi kesempatan untuk menjadikanmu istri, kamu mungkin tetap butuh berbincang dengan sesama warga kota. Aku paham kamu bukannya senang-senang saja di sana, tapi juga berpayah-payah. Pastinya menyenangkan ya, karena dengan berpayah-payah itu jadinya kita merasa telah berbuat mulia.

Tiap hari kamu bangun pagi sekali. Membantu ibu-ibu menumbuk padi. Mengumpulkan anak-anak yang lebih suka melaut itu untuk duduk sebentar saja, menontonmu mengajari mereka membaca. Mempresentasikan program-program wisata pada warga yang sudah merasa cukup dengan hidup mereka. Membantu penelitian si Greg-siapa-itu yang ingin merancang pembangkit listrik tenaga ubur-ubur merah. Aku sudah melihat fotomu dengannya, dengan anak-anak kalian, maksudku, anak-anak setempat yang mengelilingi kalian. Jelas dia lebih ganteng dan mandiri dari Otto. Tapi bisa-bisanya kamu masih menanyakan Otto?

            Kamu memang munafik, Manola, maksudku, enggak konsisten, plinplan, blahbloh, labil. Kamu bilang kamu enggak mau memikirkan dia lagi. Tapi di tiap suratmu, ada saja namanya. Minimal satu. Hatimu ke mana, Manola?

            Baiklah kalau itu maumu. Memang itu tujuanku menulis surat ini, mengabarkan tentang dirinya.

            Kamu mungkin enggak duga kalau belakangan ini aku ketemu dia sampai beberapa kali. Jangan salah paham dulu. Berada dekat laki-laki ganteng yang enggak tertarik menjalani hubungan romantis denganmu itu rasanya menyiksa, tahu. Mulanya aku cuma ingin konsultasi. Tapi. Enggak tahu ya. Sepertinya aku malah bikin depresinya kambuh. Sedikitnya aku jadi paham kenapa akhirnya kamu enggak tahan sama dia, merasa enggak dipedulikan, terus minggat sampai jauh. (Aku enggak tahu kalau pelarianmu karena faktor-faktor lain juga. Yang aku tahu cuma yang kamu ceritakan sama aku, yang seringnya soal tunanganmu itu.) Terlepas dari masalah kalian di ranjang, depresinya itu sendiri mengkhawatirkan. Kerja di RSJ bikin dia punya stok cerita sedih. Cerita-cerita yang bahkan lebih menyedihkan dari lagu-lagunya Rhoma Irama. Baru-baru ini dia cerita soal pasien yang enggak mau berhenti salat—mantan narapidana yang konon ditolak waktu mau tobat. Tiap diajak berhenti, dia melaknat seluruh petugas jadi kafir. Rumah sakit itu suatu saat bakal dihujani batu yang dibawa burung-burung ababil. Ada juga perempuan yang tidak waras sejak bayinya meninggal dalam kandungan. Tiap malam dia panjat pohon, duduk di dahan sambil cekikikan. Bagaimana kamu bisa tahan dengar cerita-cerita macam itu tiap hari dengan hati yang sensitif?

            Otto kasih puisi-puisinya ke aku, tapi, benar kata kamu, tulisannya persis garis-garis di alat ukur detak jantung. Aku minta dia untuk belajar menulis dari awal, di buku tulis garis tiga. Percaya enggak percaya, dia ikuti saranku. Dia bilang sekarang ini dia pusing kalau memikirkan ungkapan-ungkapan padat, jadinya dia menulis yang cair saja. Cerpen. Ternyata lebih menggugah, Manola. Lakimu itu, Anton Iskandardinata atau Anton Chekhov?

            Begitulah, Manola. Setelah konsultasi yang pertama dan (kuharap) terakhir itu, dia hubungi aku lagi, tanya soal kamu. Dia pikir aku dekat sama kamu, tahu di mana kamu. (Memang seperti itu sih.) Dia curiga kamu bawa bolpoinnya yang mahal itu. Monblang atau apa mereknya, aku lupa. Dia bilang kamu suka pakai barang-barangnya tapi enggak izin. Kalaupun izin, menurut dia kamu pastinya sudah punya barang-barang kamu sendiri, jadi harusnya enggak ambil punya orang lain.

            Aku berusaha membela kamu, Manola. Waktu dia bilang kalau kamu doyan bawang (apalagi yang merah yang digoreng renyah) dan dia kelihatan enggak senang, aku bilang kalau bawang itu enak dan sehat—antioksidan. Waktu dia bilang kalau dia enggak suka kaus Green Day favorit kamu, aku bilang kaus yang nyaman untuk tidur itu ya yang sudah belel. Waktu dia bilang kalau dia risi kamu tetap tidur di kasurnya walau kamu lagi halangan untuk begituan sama dia, aku bilang kamu cuma butuh kehangatan. Waktu dia bilang kalau dia sampai kucek mata berkali-kali begitu bangun karena lihat rambut kamu sudah kembali ke bentuk asli, aku bilang rambut ala Medusa itu seksi. Waktu dia bilang kalau dia jijik tiap kamu bawa camilan ke kasur, makan sambil bicara, terus langsung tidur enggak sikat gigi, aku enggak tahu harus bilang apa lagi.

            Tapi, Manola, bagaimanapun komentar Otto tentang kamu, aku rasa dia begitu karena ingat kamu, rindu kamu. Aku sempat dengar dia bilang kalau sebetulnya kamu indah dilihat dari berbagai sisi, kalau sudah dandan. (Walau aku kira perempuan seperti itu yang Otto kenal bukan cuma kamu.)

            Manola, mungkin selama ini kamu menulis surat pakai bolpoin Otto yang kamu pinjam tapi enggak bilang itu. Dia ingin kamu mengembalikan bolpoin itu, sama kamunya sekalian. Dia titip pesan juga buat kamu di kertas kecil, aku kirim sekalian surat ini. Maaf aku intip. (Tulisannya sekarang betulan bisa dibaca lho, jadi cantik.) Jadi kamu enggak perlu repot lagi buka surat dari dia yang isinya cuma dua baris itu, biar sekalian aku kasih tahu kamu di sini:

            Adiknya sudah bisa nyelam lagi.

 

 

SURAT 2

 

MANOLA yang jual mahal.

            Setelah aku terima surat kamu yang terakhir, aku mimpi Otto mengajakku, atau lebih tepatnya, memaksaku untuk jemput kamu di Marewerewe. Aku enggak mau walaupun dia tawari aku duit berjuta-juta. Tapi kamu tahu kan, Otto itu laki-laki manja yang bisa mendapatkan apa saja. Dia beli rumahku. Keluargaku pindah. Cuma aku yang tetap di kamarku. Dia bangun roket di bawah kamarku. Dengan roket itu dia membawaku sekalian kamarku sampai Marewerewe. Aku enggak ingat apa kami benar-benar sampai sana. Yang jelas untung banget enggak ketemu kamu.

            Terserah kamu mau balik sama Otto apa enggak. Aku cuma menyampaikan pesan. Selebihnya urusan kalian. Mungkin kamu bisa kirim surat langsung ke Otto. Pasti ingat alamatnya kan? Jangan jadikan aku perantara.

            Sebetulnya aku malas balas suratmu lagi. Tapi kamu mungkin ingin tahu kabar ini. Pagi tadi kebetulan aku buka koran. Di halaman depan ada berita tentang jaringan pengedar ilegal obat penenang. Yang ditangkap polisi salah satunya berinisial AI. Aku enggak bisa pastikan itu Anton Iskandardinata tunangan kamu. Mungkin saja Arifin Ilham, Asep Irawan, atau nama-nama lain kan? Tapi mengingat sambilan Otto yang makelar obat penenang, aku jadi kepikiran.

 

 

SURAT 3 (Tidak dikirim)

 

MANOLA yang, euh, entahlah.

            Kamu datang tiba-tiba. Padahal aku tidak yakin suratku yang terakhir sudah sampai. Kamu baca sendiri berita itu di koran di kantor pos—waktu kamu ikut ke kota untuk mengirimkanku surat seperti biasa. Kamu ingin kembali saat itu juga. Tapi kenapa harus ke rumahku?

            Kulitmu cokelat berkilauan. Rambutmu cokelat kekuningan. Bajumu kumal diwarnai tanah. Penampilanmu yang megah tinggal kenangan. Kamu menerjangku dengan isakan. “Tony… Tony… Tony…” hanya itu yang sanggup kamu katakan. Panggilanmu untuk tunangan tersayang.

            Mau tidak mau aku luluh. Aku carikan pakaian terbaik sementara kamu membersihkan diri, lalu menubrukku sambil tersedu lagi. Di perjalanan tadi kamu tidak sabar untuk memastikan keadaan kekasihmu. Kamu cari telepon untuk hubungi calon mertua, yang kontan mencecarmu dengan panik. Otto tidak lagi dalam tahanan. Dia dipindahkan ke rumah sakit, ruang VVIP, karena upayanya menggorok leher sendiri. Dalam kekalutan, yang terpikir olehmu pertama-tama adalah berlabuh dulu ke kamarku yang setahumu biasa dibalut kesunyian. Barangkali sejenak kamu bisa dapatkan ketenangan, sebelum menghadapi lagi kehidupan lama yang sempat kamu tinggalkan.

            Tidak lama kamu berpedih-pedih. Kamu panggil taksi dan menyeretku serta. Di rumah sakit, kita wara-wiri mencari ruangannya. Dia sudah dipindahkan lagi sejak kapan, sudah berhasil diselamatkan. Menuju ruangannya, air matamu makin terburai. Kamu tidak pedulikan orang-orang yang menatapmu sambil termangu, merasa mengenalimu (itu kan Maladewi Kiamanola, mantan finalis ratu sejagat, duta lingkungan, model papan atas, yang diberitakan hilang itu!, dan dengan tubuh menjulang serta kulit eksotis karya mentari Marewerewe, dia tetap memukau walau tidak dandan!) atau memang mengenalimu (Manola… ke mana saja kamu, Nak…).

            Aku kira kamu tidak dengarkan benar keterangan keluarga Otto mengenai perkembangan kondisi tunanganmu itu. Kamu hanya ingin segera bertemu dengannya, dan ketika pintu terbuka untukmu, serta-merta kamu menghambur ke arahnya, memeluk-kecupnya. Hati-hati, Manola, sebaiknya kamu tidak menyenggol selang-selang yang berseliweran, apalagi alat yang membebat lehernya itu. Wajah kalian saling menempel. Kamu basahi wajahnya dengan wajahmu, mengadu hidung. Kamu berjanji tidak akan meninggalkannya lagi. Wajahnya berkerut-kerut entah menahankan gejolak apa. Aku rasa pupus sudah segala sikapnya yang biasa jemawa itu di mukamu.

            Perlahan aku mundur dari pertemuan yang mengharukan itu. Selain karena ditarik orang di belakangku—tidak boleh banyak orang di ruangan—juga karena aku sadar aku hanyalah figuran dalam adegan dramatis yang tengah berlangsung, kalau bukan pemeran pembantu. Percintaan dua sejoli yang bukan kalanganku.

            Maka aku meninggalkanmu begitu saja.

            Di jalan aku tergeli-geli. Laki-laki kaya nan sinting itu ternyata masih lebih berarti buatmu ketimbang puluhan anak Marewerewe, yang kapan katamu butuh bimbingan untuk mengenal peradaban. Dengan kepuasan seorang perompak setelah berhasil membaca titik lemah musuhnya, aku tidak tahan untuk tidak terbahak-bahak. Maafkan aku, Manola. Cita-citamu untuk meningkatkan harkat kampung terpencil ternyata hanya sebatas itu. Masih kalah oleh kelemahan lelaki yang tidak bisa mengobati jiwanya sendiri, biarpun profesinya psikiater.

Berhari-hari setelah Otto kembali ke rumahnya, dengan kamu sebagai perawatnya yang setia, kamu mengajakku mampir. Merayakan secara kecil-kecilan kondisinya yang membaik. Di depanku kalian pasangan yang lembut pada satu sama lain. Aku juga tidak berharap mendengar lagi masalahmu dengan Otto. Kalaupun ada, jangan cerita padaku. Di taman rumahnya yang asri, aku mengamatimu menyuapinya dengan bubur oat. Sampai aku tahu kalau serpihan putih itu dicampur teh, bukannya susu. Malah biasanya kamu campur dengan sambal, karena Otto suka pedas. Tapi kondisi batang tenggorok Otto sedang tidak memungkinkan. Otto tidak suka susu.

Aku pulang dengan menyayangkan anak-anak Marewerewe yang kamu tinggalkan, demi orang aneh itu. Entah kenapa. Aku bimbang harus tetap senang atau sedih dengan sikapmu itu.[]

Rabu, 18 Desember 2013

Kawan dari Masa Lalu

TETANGGA depan rumah menawariku upah lima ratus ribu sebulan untuk menjaga orangtuanya yang renta. Ia sendiri harus bekerja di kantor dari pagi sampai petang, tidak bisa selalu mengawasi sang ayah. Kemarin ia temukan ayahnya pingsan di kamar mandi, tidak seorangpun tahu. Mereka hidup hanya berdua. Lelaki itu tidak menikah. Karena itu ia ingin seseorang menjaga ayahnya selagi ia tidak ada.

Orangtua menyuruhku untuk menyanggupi tawaran itu. Hitung-hitung memulai pengalaman kerja, daripada di rumah saja, menanti panggilan yang tidak kunjung datang karena memang aku malas kirim lamaran. Tidak pernah kuduga enam tahun berjuang demi sarjana, ujung-ujungnya jaga jompo juga!

Enggannya diriku. Jangan-jangan aku bakal disuruh menceboki, ganti popok. Kalau bayi ya mending. Orangtuaku pun memperingatkan. Bagaimana kalau orangtuaku sendiri yang harus kuurusi. Bahkan kelak aku sendiri mungkin mengalami. Usiaku baru kepala dua, tapi problematika usia kepala tujuh sudah mencemaskanku begini! Akhirnya kuiiyakan.

Seolah bisa membaca keberatanku (yang padahal sudah kutekan dalam-dalam), lelaki itu bilang tugasku pada utamanya hanya mengawasi. (Plus menghangatkan makanan saat siang, mengangkat-jemur-tepuk-tepuk kasurnya yang kapuk, menemaninya kalau ingin jalan-jalan, dan mendengarkannya kalau ingin cuap-cuap). Kalau ada apa-apa, telepon saja.

Kakek, begitu saja aku menyebutnya. Saat aku tanya adakah yang bisa kubantu, ia menyanggah-nyanggah seakan ia cukup mandiri untuk melakukan segalanya. Tapi baru saja aku bertopang kaki, menyamankan diri selagi membaca majalah lama, ia minta diambilkan ini-itu. Lama-lama aku bisa bedakan mana obeng mana tang, mana kunci Inggris mana kunci nomor berapa. Barangkali istilah “asisten” lebih tepat untukku, alih-alih “pramurukti”. Sekarang aku tahu Kakek dulunya pengajar di jurusan Teknik Mesin. Ia masih menyibukkan diri dengan membongkar mesin ini, lalu menggarap mesin itu. Garasi dirombaknya jadi bengkel. Pantas saja kadang aku dengar bunyi las dan macam-macam. Ternyata dari rumahnya.

“Bikin apa sih, Kek?” akhirnya tanyaku.

“Mesin waktu.”

Kukira itu hanya ada dalam lacinya Nobita.

Ternyata, kakek-kakek pun masih ada yang doyan becanda. Kuladeni saja selagi ia memencet-mencet tombol, menggerak-gerakkan tuas. “Emangnya mau ke mana sih, Kek?” ujarku di sela-sela bunyi mesin yang keras… gretek gretek gretek… buss…

“Tahun… delapan…” suaranya yang rapuh tertelan dengungan… zuuummm…

“Eh, eh, kenapa ini, Kek?” Pekatnya asap memenuhi ruangan! Mataku menyipit mencari Kakek. Telingaku mengikuti ia yang terbatuk-batuk, aku pun terbatuk-batuk. Terlihat punggungnya yang tengah membungkuk. Bagian mesin yang berongga ia tepuk-tepuk. “Ayo, Kek, keluar aja!” Aku menggaet lengannya. Tapi malah ia sentak. Dasar tua-tua perkedel: makin tua makin bandel! Dalam kepanikan itu kudengar ada yang teriak “Adaw!” (atau semacam itu) dan benda pecah, entah dari mana. Mesin kembali bergretek-gretek-gretek, disertai ngik-ngik-ngik… Tidak lagi berguncang-guncang. Lamat-lamat asap mereda. Samar-samar terlihat sepatu kets menyembul dari bagian mesin yang menyerupai kerangkeng. Perlahan kami bergeser ke depannya.

Orang itu masih dalam posisi terjengkang di sudut kerangkeng. Di dekatnya butiran nasi cokelat, irisan tomat, sawi, kerupuk, dan entah apa lagi!—berhamburan, bersama pecahan piring. Mulutnya sama bulat dengan matanya. Kepalanya bergerak-gerak tidak teratur. “Sa—saya di mana?”

“Aduh!” Kakek malah tepuk jidat. Bukannya ia yang pergi ke “sana”, malah jadinya mendatangkan orang ke “sini”! “Kok bisa sih, Kek?!” seruku. “Mana tahu!?” Dan itu menjadi alasan baginya untuk utak-utik mesin lagi. Sementara aku harus bersihkan isi kerangkeng itu, dan meredakan shock orang yang kutaksir berusia tidak jauh dariku.

“Dua… ribu… tiga belas?”

“Udah. Minum aja dulu.” Semoga dapat menghilangkan kerut-kerut di dahimu.

Tangannya masih agak bergetar ketika memegang cangkir, sementara mulutnya menyeruput. “Luar biasa!” Ah. Aku tidak tahu aku sepandai itu dalam membuat teh. Tinggal kasih gula, celup, aduk… “…tahu-tahu… syuuut… dua ribu tiga belas!” Ia mengangkat tangan, lalu terkekeh-kekeh sendiri. Bukan teh ya, baiklah. Ia menjabat tanganku. “Roy… Delia? Hm… Namamu bagus juga.” Lalu ia bangkit. Melihat-lihat kerja Kakek. Perhatianku sendiri terarah pada celananya. Tepat sepinggang. Oh. Ya. Zaman dulu kan belum mode hipster. Rambutnya juga. Jambul banget. Sudah begitu, kumisnya itu loh. Seksi. Ah. Sebaiknya aku lanjutkan saja tepuk-tepuk kasur di luar.

Tidak kusangka ia bakal menyusulku. Kedua tangannya masuk ke saku. Walau lagi terik, tetap ia tantang langit. Seakan ada perbedaan antara matahari masa kini dengan matahari pada zamannya.

“Kamu masih kuliah?” tegurku.

Ia menoleh. “Aku sudah bekerja.”

“Bagus. Kerja apa?” Tapi tolong jangan tanya balik. Sebab ya ini saja kerjaku: meladeni pak tua dan tepuk-tepuk kasur. 

“Pekerjaanku… Mencari kawan baru.”

“Humas ya.” Tapi ia tidak menanggapi. Matanya memicing lagi ke langit. Mungkin lihat pesawat yang lewat. “Di jaman kamu belum ada Lion Air ya? Eh kamu dari tahun berapa sih?” ’88, jawabnya. “Berarti tahu Chaseiro dong?”

“Yang dari UI itu ya…”

“Emang situ dari mana?”

“Tadi aku di warung tenda pinggir jalan. Mau bawa nasi goreng ke tempat dudukku, lalu tahu-tahu syuuut….”

“Ya ya ya, sudah tahu.”

“Eh. Tadi aku lihat ada kotak layarnya datar begitu. Itu TV ya?”

“Mungkin…?” Oven juga bisa. Kalau TV gambarnya Syahrini. Kalau oven gambarnya bolu. Tapi memang, “TV sekarang udah layar datar.” Salurannya bukan cuman TVRI loh. “Eh, kamu mau lihat tablet enggak?” Untuk orang gaptek sepertiku, tablet adalah teknologi tercanggih yang kumiliki.

Ia meringis. “Sejujurnya aku lebih suka sirup. Ah… Tapi aku tidak kenapa-kenapa. Sungguh…”

“Bukaan…” Sebetulnya ini melanggar SOP tugasku. Tapi aku tidak sabar untuk membawa orang ini ke rumahku, dan memperlihatkan hal-hal menakjubkan lainnya dari abad ini. 

.

AKU ajarkan ia main Angry Birds. Aku ajak ia main Guess That Song—dengan kategori lagu-lagu ’80-an ke bawah tentu. Aku tunjukkan padanya bahwa pada masa kini kita tidak perlu putar kaset untuk mendengarkan lagu, tinggal pasang mp3 di playlist Winamp. (“Terus bagaimana kalau aku ingin bikin mixtape untuk pacarku?” ia tanya.) Aku setelkan untuknya lagu-lagu dari zamannya macam Chaseiro, SAS, sampai Pancaran Sinar Petromaks.

Tapi rupanya ia ingin dengar juga lagu-lagu dari masa kini. “Tapi lagu-lagu dari jaman kamu lebih bermutu daripada lagu-lagu dari jamanku. Yah. Terutama lagu-lagu dari Indonesia sih.” Maka aku putarkan “Kucing Garong”, “Keong Racun”, sampai “Buaya Buntung”.

Ia terbahak-bahak. “Orang semakin peduli sama binatang rupanya!”

“Enggak juga. Justru itu menunjukkan kalau orang-orang jaman sekarang makin enggak puitis. Bandingin aja lirik lagu-lagu jaman dulu sama jaman sekarang.”

Ketika kusodorkan koleksi bacaan lawas milik pakdeku, ia berkata, “Cukup, cukup. Kok sepertinya kamu yang antusias dengan jamanku?”

“Mungkin karena banyak barang lama di rumahku, jadinya aku suka juga.” Lalu aku menghitung berapa temanku yang mengatakan kalau seleraku serupa selera bapak mereka.

“Kenapa kamu begitu tertarik dengan masa lalu, padahal jamanmu begini menakjubkan!” Sesaat ia menoleh padaku. Sejak aku mengenalkan internet padanya, jemarinya nyaris tidak henti menggerak-gerakkan kursor di layar.

“Aku suka masa lalu dengan kesederhanaan dan kedalamannya. Sekarang ini apa-apa jadi begitu rumit, tapi sepintas lalu saja orang mengindahkannya.”

“Kalau bicara perubahan memang tak akan ada habisnya. Ada hal-hal yang jadi lebih baik, tapi sebaliknya, ada juga hal-hal yang jadi lebih buruk. Tapi ingatlah bahwa matamu letaknya di depan. Jangan terlalu sering berpaling ke belakang.”

“Kenapa?”

“Nanti lehermu sakit. Hihihi…”

“Ah. Bisa saja kamu.”

Aku tidak mengerti kenapa dialog kami berasa seperti dialog dalam film-film tahun ’80-an. Setelah berjam-jam di rumahku, kamu kembali pada Kakek. Ia mengomeliku karena tidak ada pada saat ia butuh tang, kawat, sekrup, sampai lap untuk mengusap peluhnya. Mesinnya belum baik. Aku yang menjelaskan pada anak kakek itu ihwal kehadiran Roy. Roypun bermalam di sana.

.

KEESOKAN hari, aku datang lebih pagi. Roy memberiku surat. Tapi ia minta agar aku membacanya nanti saja. Hari ini mari kita bantu Kakek supaya mesinnya beres, ajaknya. Sampai sore mesin itu masih belum berbunyi. Bagaimanapun jam kerjaku sudah usai. Kakek sudah capek.

Roy ingin melihat lebih banyak tahun 2013. Terutama tempat di mana seperempat abad lalu ia membeli nasi goreng lalu syuuut… Akupun menemaninya berkeliling dengan angkot. Malam itu kami menyaksikan bagaimana suatu kota dimakan waktu.

Roy mengaso sebentar di rumahku sebelum balik ke rumah Kakek. Sebetulnya ia masih belum puas berselancar di dunia maya. Kubiarkan ia mengutak-atik laptopku, sampai kulihat ia termenung. Layar menampilkan halaman Google. “Delia, kalau aku masukkan nama orang ke sini, aku bisa tahu informasi tentang orang itu di masa kini kan?”

“Mungkin. Tergantung orang itu pakai nama asli atau nama alay di Facebook. Tapi mestinya di jaman kamu nama alay belum ada.” Sepertinya ia tidak mengerti. Aku jelaskan lagi padanya soal media sosial dan, “kalaupun orang itu enggak pakai media sosial, kalau dia sangat-sangat-sangat terkenal, mungkin aja ada berita tentang dia di Google.” Masih berkerut keningnya. Ia menoleh lagi pada layar dengan ragu. “Emang mau cari siapa?”

“Anita,” pacarnya yang suka menulis cerpen. Roy sangat terpikat dengan mata gadis itu yang menurutnya amat cemerlang. “Sekembalinya dari jaman ini, aku ingin segera melamarnya.”

“Kamu ingin tahu gimana masa depan kamu sama dia,” tebakku.

Ia mendesah. “Sebetulnya waktu jalan-jalan tadi, ingin sekali aku mampir ke rumahnya, di Jalan Cikaso.”

“Hei, tadi kan kita emang lewat sana,” dan memang sempat kutangkap raut gelisah itu, tapi tadi kukira ia hanya kebanyakan makan angin.

“Ya… Tapi…” Ia biarkan derik jangkring saja yang mengisi keheningan beberapa lama, sebelum menutup jendela laman dan mematikan laptopku sebagaimana yang sudah kuajarkan. “Kamu tahu, kadang kita cemas dengan masa depan yang tidak pasti. Tapi kupikir, sebaiknya kita memang tidak perlu tahu pasti apa yang akan terjadi.”

Iapun pamit.

Di kamar, kubuka suratnya. Ia mulai dengan sapaan. Ia tidak bisa tidur kemarin malam sehingga ia isi waktu dengan menulis saja. Ia ungkapkan kecemasannya terlempar ke masa yang asing ini. “Tapi aku senang bertemu orang yang mengerti jamanku seperti kamu. Aku jadi merasa tidak begitu sendirian. Maukah kamu jadi kawanku, Delia?”

Tentu saja! Akupun terdorong untuk menulis balasan surat itu. “Roy, kalaupun kamu terjebak di sini selamanya, aku mau menemanimu seterusnya.” Sesaat aku termenung, meresapi kesedihan Roy yang mendadak terpisah dari kehidupannya semula. Keluarganya, teman-temannya, pacarnya… Kuharap mesin itu dapat diperbaiki dan mengembalikan Roy secepatnya. “Aku juga senang, Roy, akhirnya bertemu teman yang satu selera. Orisinil pula. Langsung dari jamannya,” lanjut kutulis.

.

DIPERLUKAN bantuan beberapa teknisi yang notabene bekas mahasiswa Kakek. Mereka akhirnya berhasil menemukan suku cadang yang serupa dengan suku cadang yang hancur saat Roy tersedot ke masa kini. Tiba juga hari kepulangan Roy.

“Aku ingin bisa bertemu kamu lagi, Delia, di masa sekarang,” kata Roy.

Aku tidak mau. Aku takut kalau bertemu lagi dengan pribadinya yang memesona itu di masa sekarang, aku bakal minta dijadikan istri muda. Tentunya ia sudah berwujud bapak-bapak.

Ia memintaku menuliskan alamatku.

“Tapi sekarang udah bukan jamannya sahabat pena.” Kenapa ia bukannya minta akunku di Line, KakaoTalk, atau Skype, yang bukannya aku punya juga sih. “Bener, mau ketemu aku lagi?”

“Tentu, Delia. Aku janji. Kita akan terus berkawan.”

Semoga ia memang seperti merpati. Tak pernah ingkar janji.[1]

“Eh iya. Sebelum aku pergi, boleh minta piring? Buat ganti punyanya abang nasi goreng yang pecah kemarin… Nanti waktu kita jumpa lagi, aku ganti.”

Aku berikan ia dua. Satu untuk abang nasi goreng. Satu untuk kenang-kenangan. Tidak perlu diganti.

Gretek-gretek-gretek… wusss…

Begitu Roy lenyap, mesin itu terus bergetar seperti mau meledak. Kontan kami kocar-kocir keluar. Untung tidak ada yang terluka parah. Hanya garasi hancur. Berliter-liter air dari keran di halaman rumahku mengocor untuk memadamkan api yang tidak begitu buas. Mesin itu sendiri tinggal rangka. Para teknisi itu menyayangkan Kakek yang lupa di mana menyimpan cetak-birunya.

.

KAKEK tidak kapok mengutak-atik mesin padahal garasi alias bengkel-kerjanya itu saja belum dibangun lagi. Dengan kehadiranku di rumahnya, ia mungkin tidak merasa sendirian lagi tiap pagi sampai petang. Tapi tanpa kehadiran Roy, aku merasa begitu kesepian. Kubaca suratnya berkali-kali. Sampai-sampai tiap habis membaca satu kata, aku bisa menduga kata apa yang tertera selanjutnya.

Aku pikir gagasan untuk bertemu lagi itu mustahil. Roy perlu seperempat abad hingga sampai ke hari di mana ia berjanji untuk mengunjungiku lagi, dalam usianya pada masa kini. Ia mungkin saja sudah melupakanku. Atau mungkin saja ia mengalami gangguan dalam perjalanannya melintasi waktu… mengingat mesin yang mendadak rusak tempo hari… dan terombang-ambing dalam dimensi antar-waktu sampai kebetulan Doraemon lewat dalam perjalanannya menuju laci Nobita lalu menyelamatkannya, dan iapun melanjutkan kehidupannya di Jepang sampai sekarang, terlalu jauh untuk sekadar menjengukku…

Hari itu Minggu petang—selisih tiga hari saja dari hari kepergian Roy, sebetulnya—hari liburku dari menjaga Kakek. Lamunanku raib begitu orangtuaku bilang ada tamu untukku. Semula aku tidak menduga kalau orang itu mungkin Roy. Mungkin temanku yang lain. Tapi begitu bertemu wajahnya, langsung aku terpikir: Roy? Ia tampak begitu muda. Bahkan lebih muda dari terakhir aku melihatnya. Kenapa bukan bapak-bapak? Jangan-jangan Kakek merakit-ulang mesin itu dan mendatangkan Roy lagi? Tapi potongan rambutnya beda. Kali ini cepak. Tanpa kumis. Memang setelah kuperhatikan lagi wajah itu, sepertinya tidak persis Roy. Apalagi ia menyebutku dengan embel-embel “Ibu”. Nadanya tidak yakin.

Dalam kebingungan kupersilakan ia duduk. “Jangan panggil ‘Ibu’, Delia aja,” kataku.

“Saya kira Delia sepantaran sama papa saya.”

“Oh, enggak, saya baru lulus kuliah kok. Kalau… Masnya?”

Namanya juga Roy. Mahasiswa tingkat akhir. Papanya meninggal bulan lalu. Janjinya untuk bertemu denganku pada tanggal dan alamat yang telah ditentukan itu diwasiatkan pada anaknya. Anak itu menunjukkan secarik kertas di mana aku menuliskan alamatku. Padahal baru tiga hari lalu, tapi tampak lecek dan menguning seolah memang sudah berusia seperempat abad. Lalu dari tasnya, Roy junior mengeluarkan sebuah bungkusan yang dilapisi kardus. Isinya piring.[]

 

selesai ditulis tangan 30-9-13, selesai diketik 17-12-13



[1] Judul novel karangan Mira W., FYI

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain