KUTELEPON dr. Anton Iskandardinata, Sp. KJ., yang semasa SD kukenal
sebagai Otto. Kukatakan padanya, sepertinya aku butuh bantuan. Dengan suaranya
yang berat lagi lambat-lambat namun lembut, ia tanya keperluanku, yang
membuatku terdiam. Ia membantuku dengan menyebut beberapa nama asing yang
sepertinya obat-obatan, lengkap dengan khasiat masing-masing. Kukatakan bahwa
yang kubutuhkan pertama-tama adalah telinga seorang psikiater, yang barangkali
setelahnya bisa menentukan apakah aku butuh obat atau tidak. Pelik juga.
Soalnya profesi sambilan Otto adalah makelar obat-obatan—obat penenang.
Bagaimanapun ia satu-satunya psikiater yang kukenal, yang kuharap dapat
memanfaatkan jasanya secara cuma-cuma.
“Biar saya perjelas,”
katanya. “Saya psikiater, bukan psikolog. Beda, Desi. Dan walaupun saya
psikiater, saya enggak praktik di luar. Kalau kamu ingin jadi pasien saya, kamu
sebaiknya terdaftar di instansi saya. Kecuali kalau kamu ada uang lebih. Ada
barang, ada uang, Desi.”
“Tapi, kamu bilang,
kapanpun saya butuh bantuan…” kuungkit momen ketika ia menyerahkan kartu
namanya padaku, ketika kami tidak sengaja bertemu di restoran, ketika aku
menemani tetanggaku yang ternyata pelanggannya. “Ah. Ya sudahlah.” Aku memang
hanya butuh tidur berhari-hari sampai galauku reda sendiri—seperti biasanya.
“Gini deh. Kamu ke rumah
saya aja. Entar malam. Jam delapan.”
“Duh. Enggak bisa lebih
malam lagi, Dok? Perempuan macam apa saya malam-malam ke rumah lelaki,” yang
baru pertama kali jumpa setelah belasan tahun, dulunya pun tidak akrab.
“Baiklah, kalau gitu mau
kamu. Minggu siang. Di rumah orangtua saya.”
Beberapa hari kemudian
kubonceng ojek melewati rumah-rumah yang akan meletupkan anganmu untuk tinggal
di dalamnya, dengan ruangan-ruangan lega dan mewah, taman-taman surgawi nan
asri, anjing pirang berlarian mengitari kolam air mancur di halaman, dan satpam
mengadang di gerbang. Kuajukan kata sandi: Saya
temannya Anton.
Satpam itu mengantarku sampai muka pintu, membukakan pintu.
Lalu aku keluyuran sendiri. Tidak seorangpun menyambutku. Bahkan setelah
kumasuki ruangan tengah yang mahalapang dengan interior menakjubkan yang bikin
mata sulit terpejam, orang yang kutemui hanya sosok-sosok dalam parade potret
di satu sisi ruangan, tampak begitu terhormat dan berwibawa dalam pakaian
formal. Kubayangkan saja seorang perempuan berdandanan menor menuruni tangga
lebar yang melingkar di pojok ruangan, dengan paras sinis bak tokoh antagonis
dalam sinetron menghardikku untuk menggosok bersih-bersih permukaan marmer di
seantero rumah, sampai aku bisa menyaksikan pantulan wajahku sendiri, aku tidak
pernah tahu bahwa sesungguhnya aku putri kandung pemilik rumah megah ini, tapi
si jahanam itu mengasingkanku ke rumah keluarga dengan ekonomi pas-pasan
duapuluhan tahun lalu.
“Desi!” Sang hero pun menyelamatkan protagonis wanita dari
kebengongan. Ia duduk di pinggir kolam renang dengan pancingan di satu tangan,
mengenakan kaus polo, celana bermuda, dan sandal buaya. Aku duduk di bangku
satunya, mengerjap demi mendapati lele-lele berkeliaran di dasar air yang saking
bening hingga memantulkan lingkaran-lingkaran bertepi keemasan, yang jadi tidak
indah jika terpahat di paha perempuan—stretchmark,
kalau kamu tidak paham maksudku. “Naik apa ke sini?” Angkot tiga kali, sambung ojek. “Mau mancing juga?” Enggak. “Pancingnya satu lagi, Lim!”
Teriaknya entah ke mana, pada siapa, tapi sejurus kemudian seorang lelaki
muncul untuk mempersembahkan sebatang pancingan. Otto menunjukkan padaku cara memasang
umpan berupa daging… sirloin!?... di mata kail, lalu melemparkannya hingga tali
senar melambung jauh ke tengah kolam. “Mancing bagus buat pikiran…” Kukira ia
telah melatih senyumnya sejak yang senantiasa ia tunjukkan padaku semasa SD,
dan hasilnya mengesankan.
Kami memancing dalam sepi, sampai ia berkata lagi, “Katanya
lele suka makan tahi ya.”
“Katanya sih.”
Di meja di antara kami, seorang perempuan meletakkan piring
berisi penganan, yang di toko mesti berharga Rp 5000++/potong, dan seteko teh hangat
dengan aroma tidak biasa, lalu sepasang cangkir dan tatakan masing-masing.
“Kalau bikin bilik enaknya di mana ya? Di situ, di situ, apa
di situ?” Ia menunjuk sisi kolam satu per satu.
“Emangnya siapa yang mau buang muatan di situ?”
Ia mengedikkan bahu, tersenyum.
“Kok lele sih?” Ganti aku yang memecah hening.
“Dulu pernah, mujair, mas, gurami… Tapi, masak lagi enak-enak
mancing, masih ada juga yang nyebur. Lele ini hebat, Desi, herdernya air tawar.”
“Oh…” Ternyata di dunia ini ada juga ya, orang yang tidak
melihat bedanya empang dengan kolam renang, maksudku, walau keduanya sama-sama
bisa digunakan untuk berenang, tapi masing-masing memiliki peruntukan bagi
spesies yang berbeda. Dan menurutku, dengan permukaan keramik sebersih dan air
sejernih itu, balok luas yang menjorok ke bawah ini lebih tepat digunakan
sebagai tempat berenang bagi manusia. Mungkin mereka memang bukan lele biasa.
“Bagus ya lelenya.”
Tawanya pecah sedikit, seakan tidak ada gunanya menyatakan
hal yang sudah pasti. “Lele itu… lucu.” Hm… Aku mengangguk-angguk. Walau tidak
mengubah pendapatku kalau anak kucing dan penguin dan panda tetaplah yang
terlucu. “Bisa enggak kamu bayangin, hewan kok,” ia tersengal geli, “berkumis…”
Kucing juga berkumis, ingin kubilang begitu… “…kayak engkoh-engkoh.” …kayak
Naruto.
Pancingku sontak terasa berat. Dengan antusias, Otto
menyemangatiku untuk terus mengail. Lele itu terangkat, lalu, karena tidak tahu
apa yang mesti kulakukan, kulempar begitu saja ke tepian. Kamipun membungkuk, mengamatinya
menggelepar.
“Ternyata bukan cuman tahi, lele juga suka sama kamu, Desi,”
senyumnya.
Karena tidak pasti itu pujian atau hinaan, aku diam saja.
Ia mencabut kail dari mulut lele itu, lalu melontarkannya
lagi ke kolam. Perjuanganku terasa sia-sia, walau sedari tadi aku pegang
pancing tanpa mengharap apa-apa, dan lagi, sebetulnya aku ke sini buat apa sih?
“Anu… Itu… Yang di telepon…”
“Ah… Iya, iya. Udah mau gelap, Desi, tanggung, kita makan
dulu ya.”
“Ini aja cukup…” kutunjuk kudapan yang belum tandas. Teh ini
juga sayang kalau tidak dihabiskan.
“Makan berat dong.”
Demikianlah aku menuruti keinginan tuan rumah yang ingin
beramah-tamah.
Meja di ruang makan begitu besar, membuatku menerka-nerka
seberapa banyak makanan dan minuman yang bisa muat. Begitu jarangnya percakapan
di antara kami, aku perlu membuat diriku merasa nyaman, aku cari-cari apa yang
bisa dikatakan, “Menunya lele ya?”
Reaksinya sama sekali tidak kuduga, dengan muka merengut
begitu, “Tega-teganya kamu makan hewan selucu itu, Desi,” seolah lele sama haramnya
dengan sirip hiu.
“Tapi waktu di Rempah Kampung itu kamu mesenin saya lele…” kusinggung
pertemuan kami sebelumnya.
“Tidak di rumah ini.”
Putus lagi pertukaran kata di antara kami. Aku menunduk
selama makanan dan perabot disuguhkan, menimbulkan denting pelan saat
diletakkan di meja marmer ini, ragam aroma berpadu dan meraba-raba rongga
hidungku.
“Sepi ya,” kucoba lagi mengail pembicaraan.
“Ya. Cuman saya sendiri.”
“Katanya rumah orangtua kamu.”
“Pada pergi.”
Setelah kami selesai dengan santapan masing-masing, aku
bilang padanya kalau aku mau salat. Ia mengarahkanku ke musala, yang membuatku
heran. Musala dan anjing dalam satu rumah merupakan perpaduan janggal bagiku.
Hah. Sudahlah. Aku butuh air bukan sekadar untuk wudu, jadi ia menunjukkan
letak kamar mandi terdekat. Kamar mandi yang begitu lega dan bersih dan wangi
hingga aku ingin merebahkan diri di bak mandinya yang seukuran kasur di kamarku
itu, dan menaruh meja di depan kloset duduknya untuk menulis, dan memindahkan
seluruh isi kamarku ke sana sekalian.
Selesai menunaikan keperluanku, kulihat Otto menanti di
ruangan temaram dekat kolam, dengan sofa-sofa dan meja panjang, guci-guci dan
beragam barang antik lain menemani dalam bisu di pojok-pojok. Aku duduk di sofa
dekat Otto.
Dengan anggun, ia mengangkat cangklong yang semula
menggantung di sudut mulutnya. Asap mengepul gemulai, menebar harum lembut… “Jadi,
apa yang mau kamu ceritakan, Desi?”
KUBUKA sesi itu dengan, “Saya enggak tahu kenapa saya selalu sedih, seolah
udah bawaan saya untuk selalu sedih.”
“Sejak kapan kamu merasa
seperti itu?” Si psikiater menautkan jemari di atas perutnya yang rata, meletakkan
punggungnya pada sandaran sofa yang nyaman. Sepasang kakinya yang jenjang
dengan rambut-rambut panjang berselonjor, yang satu bertumpu pada yang lain.
“Mungkin… SMA…” Tapi aku
ingat saat SMP pun aku tidak memiliki banyak teman, sepertinya pada masa itupun
aku bersedih. Bahkan ketika masih SD… Kekeluarkan saja segala kesuraman hidupku
yang terlintas dalam benak, tanpa mengacuhkan susunannya. “Kadang saya enggak
sadar kalau saya bersedih. Orang bilang saya kelihatan murung. Muka saya masam.
Padahal saya merasa biasa-biasa saja. Lalu saat kuliah… saya mulai merasa
gampang lelah. Waktu itu saya pikir saya darah rendah. Saya mulai minum obat
penambah darah, tapi enggak lama. Bahkan ketika saya bisa makan tiga kali
sehari dengan sayuran hijau pun...” Pernah ada yang mengatakan cara jalanku
seperti menyeret langkah, cara tertawaku seperti memendam beban. Orang
melihatku tidak bersemangat, dan kusadari mereka memang benar. “Hidup jarang
menguntungkan. Memang kadang saya merasa baikan dan enggak mempermasalahkan
apa-apa. Tapi seringnya saya merasa ada enggaknya saya di dunia ini sama saja.
Saya enggak akan bisa jadi apa-apa. Saya enggak bakal bisa berbuat lebih…”
bicaraku mulai tersendat. “…sampai saya merasa kehadiran saya malah mengganggu
buat orang lain. Orang-orang mulai bersikap seolah-olah saya ini menjengkelkan.
Saya selalu merasa bersalah. Dan makin hari saya makin sensitif saja,
terus-terusan mengasihani diri, dan enggak berani berbuat apapun lagi karena
takut membuat kesalahan, dan orang-orang makin enggak menyukai saya. Saya
enggak bisa nyeritain masalah saya sama orang lain, karena saya pasti sudah menangis
duluan, dan saya jadi susah ngomong…“ dan aku merasa sekarang hal itu akan
segera terulang, “…saya enggak tahu kenapa. Saya enggak ingin menangis. Tapi
sepertinya emosi dengan pikiran saya enggak sejalan. Pikiran saya ingin saya
terus menjalankan apa yang seharusnya. Tapi emosi saya…” dan terjadilah,
tangisku membungkam mulut, aku benamkan kepala dalam pangkuan. Setelah menyedot
ingus berkali-kali, dan mengusap wajah ke rok, barulah aku menatapnya kembali,
“Ma—maaf Otto. Punya… tisu?” Oh… cairan kental mengalir lagi dalam lubang
hidungku, ia menarik sapu tangan dari celananya, walau aku lihat kotak tisu di
pojok ruangan, begitu jauhnya… kulepas ingus ke secarik kain yang begitu wangi…
wangi lelaki… Buat kamu aja,
terdengar suaranya.
“Kamu tahu, Desi,”
ucapnya, setelah lama aku tidak sanggup melanjutkan, “dari SD kamu memang
begitu. Selalu murung, kelihatan sedih. Dan kamu memperburuknya dengan
menyendiri…”
Kujawab dengan sedu.
“Kamu pernah coba bunuh
diri, Desi?”
Memikirkannya saja
membuatku menangis.
“Kamu memang menyedihkan,
Desi.”
Seduku menjadi-jadi.
“Tiap kali melihat kamu,
saya jadi enggak senang.”
Kuangkat kepala. Berusaha
bicara walau disedak tangis, “Gara-gara itu, dulu kamu suka ngejek saya?”
“Apa cara lain supaya
kamu bereaksi?”
“Kamu kan bisa agak…
simpati,” dan bukannya memecah-belah perasaanku… oh… tahukah Otto, selalu
kuharapkan senyummu padaku yang tidak dinuansai cemooh. “Kamu selalu ngejek
saya… yang lainnya ikutan ngejek saya…” dan meruntuhkan kepercayaan diriku
untuk seterusnya!
Ia mendesah, tanpa
melepaskan tatapannya padaku yang sarat prihatin. “Teruskan, Desi. Teruskan…”
Baru aku membuka mulutku lagi, “Tunggu…” Mendadak ia bangkit. Kupakai
kesempatan itu untuk mengambil kotak tisu, meraup isinya banyak-banyak lalu
menjejalkannya ke mukaku. Ia kembali dengan botol hitam besar, yang kalau tidak
melihat sumbat dan pelapisnya yang tampak artistik, aku bakal menyangka isinya
kecap. “Mau, Desi?” Tidak perlu kujawab pertanyaan retoris itu. Ia hanya bawa
satu gelas piala kecil. Satu tegukan. “Teruskan.”
Mulai kualami
periode-periode di mana aku terlalu lembam untuk bangkit dari kasur. Orangtuaku
menyuruh adikku mengantar makanan dan minuman ke kamarku. Tidak ada siang di
kamarku, gorden selalu menutup jendela. Yang bisa kupikirkan hanya hal-hal yang
tidak aku miliki. Segala yang tampak padaku, maupun dalam diriku, hanya
membuatku nelangsa. Bahkan kukira penjaja sapu keliling lebih beruntung dariku.
Aku hanya perempuan dari kalangan menengah yang terhimpit. Orang selalu
mengejar yang di atas kalau bukan melongok yang di bawah. Orang mengira hidupku
mapan, tapi sesungguhnya tidak ada yang sungguh-sungguh hirau akan kebutuhanku.
Kupikir sebaiknya memang aku tidak bertemu orang-orang lagi, kehadiranku hanya
membuat mereka sebal. Aku takut melamar pekerjaan, aku takut tidak bisa
mengerjakan tugas-tugas dengan benar. Tiap pagi akupun takut kalau orangtuaku
tidak bangun lagi, dan ketakutanku menjadi-jadi ketika bapakku betulan tidak
bangun lagi dan yang tersisa tinggal ibuku, bagaimana aku bisa mengurus
adik-adikku sendirian… Memang ada adikku yang sudah bisa mengurus dirinya
sendiri, dan sepertinya ia yang bakal mengurus kakaknya yang disfungsi dan
adiknya yang lebih kecil kalau orangtua kami sudah tidak bersisa sama sekali. Dan
kalau satu kejadian membuat keluargaku sama sekali tidak bersisa, aku akan
membuat orang lain membunuhku: berlari ke tengah jalan tol, mondar-mandir di
lapangan tentara berlatih menembak, mengganggu mahasiswa semester tiga belas—apapun,
supaya bukan aku sendiri yang bersalah…
Baru-baru ini kuusir sahabatku. Yang muda saja tidak respek
padaku. Lelaki yang kuharapkan untuk menikahiku malah menghilang, tabunganku
ikut melayang. Seekor kucing jantan masuk ke kamarku melalui celah pintu
beranda yang sedikit terbuka, dan meninggalkan tandanya yang menyengat di balik
lemari. Bahkan wilayahku, satu-satunya tempat di mana aku bisa berkubang dengan
aman dan nyaman, dirampas kucing! Aku mulai menyetel lagu berjudul “Suicide is
Painless”[1] berulang-ulang,
barangkali lama-lama akan kudapatkan keberanian… aku tidak bisa bayangkan hidup
sampai usia lanjut dalam kehinaan diri dan keibaan orang-orang. Kalau aku
berulang tahun, kuharap orang mendoakanku untuk pendek umurnya serta mulia
karena bait “panjang umurnya, panjang umurnya,” jadi begitu mengerikan untuk
didengar. Aku menangis saat mendengar lagu “Animal Instinct”[2], karena
menyadari tidak ada lelaki yang mau menikahiku, sehingga aku tidak akan pernah
punya anak, dan kalaupun punya, bagaimana kalau aku tidak bisa menjaganya dan
ia akan merutukku karena menyeretnya ke dunia yang pahit ini…
Seteguk lagi cairan gelap
yang Otto gelontorkan ke mulut. Tonjolan di lehernya bergerak-gerak seraya ia
letakkan cangkir di meja, dan menuang lagi isi botol. “Enggak heran kamu punya
konsep diri yang buruk, Desi. Saya enggak pakai kacamata aja wajah kamu masih
kelihatan jelek. Ditambah segala ketakutan kamu itu, pantas hidup kamu enggak
maju-maju. Kamu memang menyedihkan…” Ia memandangku entah miris entah jijik,
lalu menyesap cairan di gelas. “Dan orang-orang seperti kamu terus berdatangan,
enggak ada habis-habisnya…” Perkataannya membuatku tertegun. Jelas bukan begini
respons yang kuharapkan. Kalau konsep diriku demikian buruk, bukankah
seharusnya ia membantuku memperbaikinya? Alih-alih memegang notes dan pulpen
dan mendiagnosis masalahku—seperti di film-film, ia malah menggenggam botol
minuman keras. Kuusap titik-titik yang mungkin masih menggenang di wajahku.
“Selalu ada orang menyedihkan baru, menggantikan orang menyedihkan lama.
Gelandangan tua di jalan, enggak ada yang kenal, akhirnya jadi kadaver di lab.
Potongan tangannya, Desi, diperjualbelikan buat belajar mahasiswa di rumah…”
terdiam, matanya merunduk, lalu padaku lagi, “Mau lihat, Desi? Kayaknya saya
masih nyimpen…” Aku menggeleng. Ia mengocok-ngocok cairan yang tersisa di dasar
gelas, lalu menelannya. “Gelandangan mati, terus lahir bayi, invalid. Seumur
hidup dia tumbuh, berjuang supaya enggak malu, nunjukkin kalau mereka juga bisa
melakukan sesuatu. Orang yang enggak cacat badan, cacat otaknya, Desi. Tapi
mereka orang-orang yang bahagia. Mereka beruntung udah bisa meninggalkan dunia,
tinggal badannya aja yang belum. Tapi saya, Desi,” jempolnya menunjuk dada,
“saya yang tugasnya narikin lagi mereka ke dunia yang kata kamu pahit ini.
Penjahat saya ini, Desi.” Mulutku tidak jadi menyangkal, mengingat profesi
sambilan Otto sebagai makelar obat penenang… yang sebetulnya kan… ilegal…?
Ia menawarkan minumannya
sekali lagi. Aku menggeleng.
“Emangnya minuman keras…
bisa membantu?”
Tawanya meledak, “Kalau
enggak keras, mana bisa tahan, Desi?” namun terdengar getir di telingaku.
Entahlah apa maksudnya. Memang aku kenal tunangannya, dan ingat apa yang
terakhir kali perempuan itu curahkan padaku mengenai kisah-sedih-di-atas-ranjang...
Aku tidak ingin menghubung-hubungkannya sama sekali…
“Kamu sembahyang kan,
Desi?”
“Ya,” kataku pelan.
“Dan kamu masih merasa
sedih?”
“…ya,” semakin pelan.
“Kok bisa, Desi, bukankah
Tuhan harusnya bikin kamu tenang?”
“Mungkin cara sembahyang
saya yang salah.”
“Betul itu. Tuhan enggak
mungkin salah. Kamu yang diciptakan untuk salah, kamu memang harusnya salah,
dan depresi.”
Aku benar-benar tidak
nyaman membicarakan ketuhanan, aku bisu saja.
“Kenapa, Desi? Bukannya
kamu ingin ngomongin yang sedih-sedih? Belum ngomongin pasien saya. Ada, Desi,
puluhan tahun dipasung. Yang ngurus cuman emaknya. Emaknya meninggal enggak ada
yang tahu. Berminggu-minggu dudukin tahinya sendiri, makan tahinya sendiri…”
Aku menunduk. “Ada lagi, Desi, orang-orang kampungnya bilang dia enggak waras
karena kecilnya diculik wewe. Ini yang bikin sedih orang yang enggak waras itu
apa orang-orang kampungnya, zaman sekarang kok percaya takhayul. Bisa aja kan,
ternyata cuman dipinjam bentar sama pedofil.” Aku makin menunduk. Kalau metode
penanganannya adalah menceritakan yang sedih-sedih hingga aku merasa
kesedihanku tidak lagi berarti, ia mulai berhasil. Ataukah ini servis yang
layak kudapatkan karena ia tahu aku enggan membayar? Seolah membenarkan
pikiranku, yang pertama, ia berkata lagi, “Di rumah sakit banyak cerita sedih,”
dan ia terus menceritakannya, dan tidak lagi menuang cairan ke gelas, melainkan
langsung reguk dari botol. Ceritanya tidak kunjung berakhir. Sepertinya ia sama
sekali tidak memerhatikanku melirik-lirik jam sedari tadi. Ia mengambil botol
baru, dan lanjut bercerita. Tentang mereka yang makan roti berjamur dan capcai
berbelatung dari bak sampah. Tentang mereka yang tidak pernah ditengok lagi
keluarganya. Tentang mereka yang ditaruh di jalan karena kapasitas yang
terbatas di rumah sakit. “Jumlah mereka makin banyak, Desi.” Tentang mereka
yang menolak untuk sembuh, untuk merasakan lagi kejamnya dunia. Dan cairan
gahar itu terus ditenggaknya seperti anak sekolahan minum air mineral sehabis
lari dua puluh putaran. Wajahnya sudah lama merah. Aku tidak yakin matanya yang
setengah melek setengah merem itu benar-benar melihat, maksudku, mungkin saja
yang dilihatnya sudah lain dari yang senyatanya ada.
Bukannya menyampaikan
kalau aku harus pulang atau terancam tidak mendapat angkot, yang meluncur dari
mulutku malah, “Kamu enggak apa-apa minum terus kayak gitu?”
“Kesedihan itu enggak
masuk akal, Desi. Makanya, pakai akal kamu…” akan kuturuti sekiranya tidak
keluar dari mulut orang yang mabuk.
Posisiku siaga
kalau-kalau tubuhnya mendadak oleng dan terempas ke lantai. Tapi ia malah
merayap dengan kecepatan zombi yang masih berusaha menggapai mangsa walau
kepalanya sudah dipentung berkali-kali, sampai di tepi kolam mulutnya
menyemburkan cairan keruh. Suara dari lehernya begitu mengkhawatirkan seolah
ada pompa tidak kasatmata dengan kekuatan tinggi menyedot isi perutnya agar
habis tanpa sisa, membanjiri lele-lele… Tergopoh-gopoh kudekati. Dengan
canggung ujung-ujung jariku mengurut tengkuknya yang dingin dan lembap. Kalau
saja ia suamiku, akan kulakukan lebih dari ini!
“Tadi kamu ingin kasih
mereka tahi, sekarang yang kamu kasih cuman produk setengah jadi.”
Kekehnya keselak muntah.
KUHAMPIRI para pembantu agar keluar dari persembunyian mereka. Sejurus
kemudian, satu telah memijat kaki kiri sang majikan, satu di kaki kanan, satu
di pundak dan lengan, dan satu lagi berjaga dengan segelas air putih hangat.
Aroma minyak (dari botol dengan entah akar apa di dalamnya itu) meruap. Mata
Otto terkancing. Mulutnya terbuka. Tubuhnya tenggelam di sofa dengan sandaran
rebah. Sebelum ia tertidur…
“Otto, saya harus pulang.”
Matanya rekah perlahan.
“Pakai apa?” Angkot. “Masih ada angkot gitu… Ke
jalannya naik apa?” Ojek. “Jam segini
ojek. Entar diculik.” Kamu ada sopir kan.
“Sopir lagi enggak kerja.” Pinjam telepon
deh, panggil taksi. “Nginep ajalah.”
Demikian sang pangeran
memutuskan. Ia menyuruh seseorang bernama Inah menyiapkan kamar. Para abdi
dalem pun bubar. Otto bangkit walau agak sempoyongan.
“Boleh yang ada kuncinya
enggak?”
Muka kusut itu tidak
menjawab.
Inah mengantarku ke lantai atas, memasuki lorong yang di
kedua sisinya terdapat pintu-pintu. Di sisi pintu, aku menungguinya membenahi
kamar, sampai ia keluar dengan setumpuk lipatan kain. “Udah, Mbak…” Ia pun
lalu. Aku mengecek gagang pintu, di sebelah luar dan di sebelah dalam. Tidak
ada kunci.
Kurasakan bayangan menimpaku dari belakang, disusul napas
yang berat, dan beban mendarat di pundak… Kutendang orang itu tanpa peduli bagian
apa yang kena. “Kalau kamu pingin ini, kamu mesti izin bapakku dulu, brengsek!”
Terkapar di lantai, kepalanya merosot di dinding, ia terlalu
payah untuk menatapku dengan sengit. “Kamu jatuhin saya… Kamu jatuhin saya,
Perempuan…”
“Maaf, Otto, maaf…!” Demi apapun yang kupikirkan! Barangkali
tadi ia hanya bermaksud cari pegangan karena langkahnya goyah. Dengan panik aku
tarik lengan Otto, tapi ia hela lagi. Ia berusaha bangun sendiri, tapi
tergeletak lagi. “Saya bantuin ya,” aku coba tarik lengannya lagi, tapi sisa
tenaga malah ia kerahkan untuk menyentak pertolonganku. “Mau saya panggilin
yang lain aja?”
“Enggak usah. Saya tidur di sini aja.” Ia membuka
genggamannya. “Nih...” Tanpa daya, kunci itu bergulir ke lantai.
“Jangan gitu…” Kuperhatikan napasnya makin payah, dan
tubuhnya gemetar. Sesekali wajahnya mengernyit seperti nyeri. Napasnya mulai
tersengal, lalu terisak. Oh… Perempuan memang mudah menangis. Tapi kalau lelaki
yang menangis tentu karena pedihnya sudah tidak tertahankan! “Otto… Kenapa,
Otto? Ada apa? Cerita aja. Jangan malu-malu. Enggak bakal saya omongin ke
siapa-siapa. Kalau habis ini kamu enggak pingin ketemu saya lagi juga enggak
apa-apa...” Tapi ia menggeleng-geleng saja. Sepertinya yang ia inginkan hanya
pergi dari sini, tapi pijakan tangannya saja tidak kuasa menopang sisa tubuhnya
untuk bangkit, atau aku yang pergi, tapi mana enak aku meninggalkannya dalam
keadaan kalut begitu. “Otto… Kamu kaya dan pintar dan ganteng dan tunangan kamu
cantik dan perhatian dan…” tidak ada di sini… “…orang-orang memuja kamu. Apa
lagi yang kamu sedihkan, Otto? Kamu cemas kenapa?”
“…enggak pantas, Desi, enggak pantas…” tanpa aku dengar jelas
apa yang menurutnya tidak pantas itu… ia tersedusedan. “…gimana kamu bisa
tenang dengan begitu banyak derita di sekeliling kamu… dengan orang-orang
seperti kamu di dunia ini…”
“Tapi Otto, kamu bukannya enggak berbuat apa-apa. Kamu kerja
di RSJ. Kamu ngobatin orang-orang gila. Kamu bantu orang-orang supaya gampang
ngedapetin obat penenang … Kamu sudah mengurangi sedikit beban dunia, Otto…”
“Lihat rumah ini, Desi…” Ia mulai bisa menyandarkan
punggungnya di dinding, sementara sebelah tangannya melayap ke mana-mana.
“Orang macam apa, Desi, orang-orang macam apa yang tinggal di sini, melindungi
diri sendiri dari pahitnya hidup di jalan…?” suaranya tercekat. “Orang-orang
pengecut, Desi… Mereka hanya ingin kenikmatan untuk mereka sendiri…”
“Otto…” ganti aku yang merengek. “Kita ngomongin Arifin aja
deh,” atau apapunlah! Sudah cukup berpedih-pedih malam ini! Arifin? “Itu. Pasien yang kapan itu mau
kamu jodohin sama saya.” Dia udah mati. “Loh?”
Dia suka gitu. Bosan di rumah sakit,
terus tahu-tahu manjat tiang listrik… Bagaimana orang bisa segampang itu
menghilangkan nyawanya sendiri, Desiii…? Tangannya merenggut bagian bawah
bajuku. Aku mengerang. “Kamu harus kuat, Otto. Kamu psikiaternya! Kamu yang
ngerti!”
Ia berhenti tersengguk, seolah baru menyadari kata-kataku.
“Ya. Saya emang tahu. Tolong, Desi… Di kamar…”
“Jangan obat penenang!” kataku, dan kujawab tatapannya, “Kamu
tahu kan saya sama tunangan kamu…” …kukira mantan model itu sudah menceritakan
kedekatan kami semasa SMP, dan bagaimana upayanya membenahiku sebagaimana ia
mengurusi Otto, “dia cerita…” …riwayat kejiwaan kamu, kenapa mesti kambuh di
saat aku perlu bantuan kamu sih!
Dipotongnya ucapanku. “Gimana kamu bisa tidur, Desi?”
“Tiduran di kasur. Terus merem.”
Kali ini ia membiarkanku membantunya berdiri, kendati
tubuhnya jauh lebih besar dariku. Belum selangkah, kakinya selip. Aku memekik
sementara tubuhnya terbanting. Sesaat aku terdiam karena kagetku. Ia tidak
bergerak lagi. Hanya dengkur. Kuambil selimut dari kamar yang akan kutempati,
lalu kututupi tubuhnya. Setelah itu aku masuk kamar tanpa lupa mengunci pintu.
Ia pasti punya kunci serep, tapi keadaannya yang seperti itu melunturkan
kecurigaanku. Aku benamkan tubuh ke balik bedcover.
Beberapa lama telingaku awas, tapi tampaknya ia tidak membuat suara apa-apa.
Posisiku berganti-ganti dengan gelisah. Kurenungkan rumah yang sunyi di hari
Minggu, penyebab orang menggantungkan diri pada obat penenang dan alkohol, dan tunangan
yang tidak bisa memuaskan kekasih yang tidak bisa memuaskan lagi di tempat
tidur dan akibatnya minggat ke tempat yang hanya ia dan Tuhan yang tahu… lalu
akupun tertidur.
Tiba-tiba ia merangkak di atasku. “Biar jelek, kamu
perempuan, Desi…” Senyumnya tidak bisa kuartikan dengan pasti—antara menawan
sampai mengerikan…
Aku tersentak, dan susah lelap lagi. Aku tidak bisa mengatupkan
mata tanpa terbayang Otto mengelus-elus lelenya tersayang… yang ikan apa yang lain…?
Sayup-sayup azan subuh. Aku tidak bisa tunggu lebih lama. Aku
putuskan untuk joging dari rumah ini sampai jalan raya. Angkot pasti sudah
beroperasi.
Tidak kutemukan Otto di lorong, melainkan di sofa lantai
bawah, bergelung dalam selimut yang kusampirkan semalam. Aku mendekatinya dalam
jarak tertentu. Ingin aku meletakkan tangan di bawah hidungnya untuk memastikan
ia masih bernapas, tapi kuurungkan karena takut tergoda merayapkan jari ke
bagian tubuh lain.
Akhirnya kulewati lagi gerbang itu, meninggalkan satpam yang
mungkin terheran-heran… Sepagi ini pulang setelah semalaman di rumah lelaki yang
tidak menikah denganku… aku merasa seperti perempuan nakal.
Tidak ada yang lebih kuinginkan saat ini selain tidur.[]