Selasa, 26 November 2013

Cerita 06 - Dua Depresi

KUTELEPON dr. Anton Iskandardinata, Sp. KJ., yang semasa SD kukenal sebagai Otto. Kukatakan padanya, sepertinya aku butuh bantuan. Dengan suaranya yang berat lagi lambat-lambat namun lembut, ia tanya keperluanku, yang membuatku terdiam. Ia membantuku dengan menyebut beberapa nama asing yang sepertinya obat-obatan, lengkap dengan khasiat masing-masing. Kukatakan bahwa yang kubutuhkan pertama-tama adalah telinga seorang psikiater, yang barangkali setelahnya bisa menentukan apakah aku butuh obat atau tidak. Pelik juga. Soalnya profesi sambilan Otto adalah makelar obat-obatan—obat penenang. Bagaimanapun ia satu-satunya psikiater yang kukenal, yang kuharap dapat memanfaatkan jasanya secara cuma-cuma.

            “Biar saya perjelas,” katanya. “Saya psikiater, bukan psikolog. Beda, Desi. Dan walaupun saya psikiater, saya enggak praktik di luar. Kalau kamu ingin jadi pasien saya, kamu sebaiknya terdaftar di instansi saya. Kecuali kalau kamu ada uang lebih. Ada barang, ada uang, Desi.”

            “Tapi, kamu bilang, kapanpun saya butuh bantuan…” kuungkit momen ketika ia menyerahkan kartu namanya padaku, ketika kami tidak sengaja bertemu di restoran, ketika aku menemani tetanggaku yang ternyata pelanggannya. “Ah. Ya sudahlah.” Aku memang hanya butuh tidur berhari-hari sampai galauku reda sendiri—seperti biasanya.

            “Gini deh. Kamu ke rumah saya aja. Entar malam. Jam delapan.”

            “Duh. Enggak bisa lebih malam lagi, Dok? Perempuan macam apa saya malam-malam ke rumah lelaki,” yang baru pertama kali jumpa setelah belasan tahun, dulunya pun tidak akrab.

            “Baiklah, kalau gitu mau kamu. Minggu siang. Di rumah orangtua saya.”           

            Beberapa hari kemudian kubonceng ojek melewati rumah-rumah yang akan meletupkan anganmu untuk tinggal di dalamnya, dengan ruangan-ruangan lega dan mewah, taman-taman surgawi nan asri, anjing pirang berlarian mengitari kolam air mancur di halaman, dan satpam mengadang di gerbang. Kuajukan kata sandi: Saya temannya Anton.

Satpam itu mengantarku sampai muka pintu, membukakan pintu. Lalu aku keluyuran sendiri. Tidak seorangpun menyambutku. Bahkan setelah kumasuki ruangan tengah yang mahalapang dengan interior menakjubkan yang bikin mata sulit terpejam, orang yang kutemui hanya sosok-sosok dalam parade potret di satu sisi ruangan, tampak begitu terhormat dan berwibawa dalam pakaian formal. Kubayangkan saja seorang perempuan berdandanan menor menuruni tangga lebar yang melingkar di pojok ruangan, dengan paras sinis bak tokoh antagonis dalam sinetron menghardikku untuk menggosok bersih-bersih permukaan marmer di seantero rumah, sampai aku bisa menyaksikan pantulan wajahku sendiri, aku tidak pernah tahu bahwa sesungguhnya aku putri kandung pemilik rumah megah ini, tapi si jahanam itu mengasingkanku ke rumah keluarga dengan ekonomi pas-pasan duapuluhan tahun lalu.

“Desi!” Sang hero pun menyelamatkan protagonis wanita dari kebengongan. Ia duduk di pinggir kolam renang dengan pancingan di satu tangan, mengenakan kaus polo, celana bermuda, dan sandal buaya. Aku duduk di bangku satunya, mengerjap demi mendapati lele-lele berkeliaran di dasar air yang saking bening hingga memantulkan lingkaran-lingkaran bertepi keemasan, yang jadi tidak indah jika terpahat di paha perempuan—stretchmark, kalau kamu tidak paham maksudku. “Naik apa ke sini?” Angkot tiga kali, sambung ojek. “Mau mancing juga?” Enggak. “Pancingnya satu lagi, Lim!” Teriaknya entah ke mana, pada siapa, tapi sejurus kemudian seorang lelaki muncul untuk mempersembahkan sebatang pancingan. Otto menunjukkan padaku cara memasang umpan berupa daging… sirloin!?... di mata kail, lalu melemparkannya hingga tali senar melambung jauh ke tengah kolam. “Mancing bagus buat pikiran…” Kukira ia telah melatih senyumnya sejak yang senantiasa ia tunjukkan padaku semasa SD, dan hasilnya mengesankan.

Kami memancing dalam sepi, sampai ia berkata lagi, “Katanya lele suka makan tahi ya.”

“Katanya sih.”

Di meja di antara kami, seorang perempuan meletakkan piring berisi penganan, yang di toko mesti berharga Rp 5000++/potong, dan seteko teh hangat dengan aroma tidak biasa, lalu sepasang cangkir dan tatakan masing-masing.

“Kalau bikin bilik enaknya di mana ya? Di situ, di situ, apa di situ?” Ia menunjuk sisi kolam satu per satu.

“Emangnya siapa yang mau buang muatan di situ?”

Ia mengedikkan bahu, tersenyum.

“Kok lele sih?” Ganti aku yang memecah hening.

“Dulu pernah, mujair, mas, gurami… Tapi, masak lagi enak-enak mancing, masih ada juga yang nyebur. Lele ini hebat, Desi, herdernya air tawar.”

“Oh…” Ternyata di dunia ini ada juga ya, orang yang tidak melihat bedanya empang dengan kolam renang, maksudku, walau keduanya sama-sama bisa digunakan untuk berenang, tapi masing-masing memiliki peruntukan bagi spesies yang berbeda. Dan menurutku, dengan permukaan keramik sebersih dan air sejernih itu, balok luas yang menjorok ke bawah ini lebih tepat digunakan sebagai tempat berenang bagi manusia. Mungkin mereka memang bukan lele biasa. “Bagus ya lelenya.”

Tawanya pecah sedikit, seakan tidak ada gunanya menyatakan hal yang sudah pasti. “Lele itu… lucu.” Hm… Aku mengangguk-angguk. Walau tidak mengubah pendapatku kalau anak kucing dan penguin dan panda tetaplah yang terlucu. “Bisa enggak kamu bayangin, hewan kok,” ia tersengal geli, “berkumis…” Kucing juga berkumis, ingin kubilang begitu… “…kayak engkoh-engkoh.” …kayak Naruto.

Pancingku sontak terasa berat. Dengan antusias, Otto menyemangatiku untuk terus mengail. Lele itu terangkat, lalu, karena tidak tahu apa yang mesti kulakukan, kulempar begitu saja ke tepian. Kamipun membungkuk, mengamatinya menggelepar.

“Ternyata bukan cuman tahi, lele juga suka sama kamu, Desi,” senyumnya.

Karena tidak pasti itu pujian atau hinaan, aku diam saja.

Ia mencabut kail dari mulut lele itu, lalu melontarkannya lagi ke kolam. Perjuanganku terasa sia-sia, walau sedari tadi aku pegang pancing tanpa mengharap apa-apa, dan lagi, sebetulnya aku ke sini buat apa sih?

“Anu… Itu… Yang di telepon…”

“Ah… Iya, iya. Udah mau gelap, Desi, tanggung, kita makan dulu ya.”

“Ini aja cukup…” kutunjuk kudapan yang belum tandas. Teh ini juga sayang kalau tidak dihabiskan.

“Makan berat dong.”

Demikianlah aku menuruti keinginan tuan rumah yang ingin beramah-tamah.

Meja di ruang makan begitu besar, membuatku menerka-nerka seberapa banyak makanan dan minuman yang bisa muat. Begitu jarangnya percakapan di antara kami, aku perlu membuat diriku merasa nyaman, aku cari-cari apa yang bisa dikatakan, “Menunya lele ya?”

Reaksinya sama sekali tidak kuduga, dengan muka merengut begitu, “Tega-teganya kamu makan hewan selucu itu, Desi,” seolah lele sama haramnya dengan sirip hiu.

“Tapi waktu di Rempah Kampung itu kamu mesenin saya lele…” kusinggung pertemuan kami sebelumnya.

“Tidak di rumah ini.”

Putus lagi pertukaran kata di antara kami. Aku menunduk selama makanan dan perabot disuguhkan, menimbulkan denting pelan saat diletakkan di meja marmer ini, ragam aroma berpadu dan meraba-raba rongga hidungku.

“Sepi ya,” kucoba lagi mengail pembicaraan.

“Ya. Cuman saya sendiri.”

“Katanya rumah orangtua kamu.”

“Pada pergi.”

Setelah kami selesai dengan santapan masing-masing, aku bilang padanya kalau aku mau salat. Ia mengarahkanku ke musala, yang membuatku heran. Musala dan anjing dalam satu rumah merupakan perpaduan janggal bagiku. Hah. Sudahlah. Aku butuh air bukan sekadar untuk wudu, jadi ia menunjukkan letak kamar mandi terdekat. Kamar mandi yang begitu lega dan bersih dan wangi hingga aku ingin merebahkan diri di bak mandinya yang seukuran kasur di kamarku itu, dan menaruh meja di depan kloset duduknya untuk menulis, dan memindahkan seluruh isi kamarku ke sana sekalian.

Selesai menunaikan keperluanku, kulihat Otto menanti di ruangan temaram dekat kolam, dengan sofa-sofa dan meja panjang, guci-guci dan beragam barang antik lain menemani dalam bisu di pojok-pojok. Aku duduk di sofa dekat Otto.

Dengan anggun, ia mengangkat cangklong yang semula menggantung di sudut mulutnya. Asap mengepul gemulai, menebar harum lembut… “Jadi, apa yang mau kamu ceritakan, Desi?”

 

KUBUKA sesi itu dengan, “Saya enggak tahu kenapa saya selalu sedih, seolah udah bawaan saya untuk selalu sedih.”

            “Sejak kapan kamu merasa seperti itu?” Si psikiater menautkan jemari di atas perutnya yang rata, meletakkan punggungnya pada sandaran sofa yang nyaman. Sepasang kakinya yang jenjang dengan rambut-rambut panjang berselonjor, yang satu bertumpu pada yang lain.

            “Mungkin… SMA…” Tapi aku ingat saat SMP pun aku tidak memiliki banyak teman, sepertinya pada masa itupun aku bersedih. Bahkan ketika masih SD… Kekeluarkan saja segala kesuraman hidupku yang terlintas dalam benak, tanpa mengacuhkan susunannya. “Kadang saya enggak sadar kalau saya bersedih. Orang bilang saya kelihatan murung. Muka saya masam. Padahal saya merasa biasa-biasa saja. Lalu saat kuliah… saya mulai merasa gampang lelah. Waktu itu saya pikir saya darah rendah. Saya mulai minum obat penambah darah, tapi enggak lama. Bahkan ketika saya bisa makan tiga kali sehari dengan sayuran hijau pun...” Pernah ada yang mengatakan cara jalanku seperti menyeret langkah, cara tertawaku seperti memendam beban. Orang melihatku tidak bersemangat, dan kusadari mereka memang benar. “Hidup jarang menguntungkan. Memang kadang saya merasa baikan dan enggak mempermasalahkan apa-apa. Tapi seringnya saya merasa ada enggaknya saya di dunia ini sama saja. Saya enggak akan bisa jadi apa-apa. Saya enggak bakal bisa berbuat lebih…” bicaraku mulai tersendat. “…sampai saya merasa kehadiran saya malah mengganggu buat orang lain. Orang-orang mulai bersikap seolah-olah saya ini menjengkelkan. Saya selalu merasa bersalah. Dan makin hari saya makin sensitif saja, terus-terusan mengasihani diri, dan enggak berani berbuat apapun lagi karena takut membuat kesalahan, dan orang-orang makin enggak menyukai saya. Saya enggak bisa nyeritain masalah saya sama orang lain, karena saya pasti sudah menangis duluan, dan saya jadi susah ngomong…“ dan aku merasa sekarang hal itu akan segera terulang, “…saya enggak tahu kenapa. Saya enggak ingin menangis. Tapi sepertinya emosi dengan pikiran saya enggak sejalan. Pikiran saya ingin saya terus menjalankan apa yang seharusnya. Tapi emosi saya…” dan terjadilah, tangisku membungkam mulut, aku benamkan kepala dalam pangkuan. Setelah menyedot ingus berkali-kali, dan mengusap wajah ke rok, barulah aku menatapnya kembali, “Ma—maaf Otto. Punya… tisu?” Oh… cairan kental mengalir lagi dalam lubang hidungku, ia menarik sapu tangan dari celananya, walau aku lihat kotak tisu di pojok ruangan, begitu jauhnya… kulepas ingus ke secarik kain yang begitu wangi… wangi lelaki… Buat kamu aja, terdengar suaranya.

            “Kamu tahu, Desi,” ucapnya, setelah lama aku tidak sanggup melanjutkan, “dari SD kamu memang begitu. Selalu murung, kelihatan sedih. Dan kamu memperburuknya dengan menyendiri…”

            Kujawab dengan sedu.

            “Kamu pernah coba bunuh diri, Desi?”

            Memikirkannya saja membuatku menangis.

            “Kamu memang menyedihkan, Desi.”

            Seduku menjadi-jadi.

            “Tiap kali melihat kamu, saya jadi enggak senang.”

            Kuangkat kepala. Berusaha bicara walau disedak tangis, “Gara-gara itu, dulu kamu suka ngejek saya?”

            “Apa cara lain supaya kamu bereaksi?”

            “Kamu kan bisa agak… simpati,” dan bukannya memecah-belah perasaanku… oh… tahukah Otto, selalu kuharapkan senyummu padaku yang tidak dinuansai cemooh. “Kamu selalu ngejek saya… yang lainnya ikutan ngejek saya…” dan meruntuhkan kepercayaan diriku untuk seterusnya!

            Ia mendesah, tanpa melepaskan tatapannya padaku yang sarat prihatin. “Teruskan, Desi. Teruskan…” Baru aku membuka mulutku lagi, “Tunggu…” Mendadak ia bangkit. Kupakai kesempatan itu untuk mengambil kotak tisu, meraup isinya banyak-banyak lalu menjejalkannya ke mukaku. Ia kembali dengan botol hitam besar, yang kalau tidak melihat sumbat dan pelapisnya yang tampak artistik, aku bakal menyangka isinya kecap. “Mau, Desi?” Tidak perlu kujawab pertanyaan retoris itu. Ia hanya bawa satu gelas piala kecil. Satu tegukan. “Teruskan.”

            Mulai kualami periode-periode di mana aku terlalu lembam untuk bangkit dari kasur. Orangtuaku menyuruh adikku mengantar makanan dan minuman ke kamarku. Tidak ada siang di kamarku, gorden selalu menutup jendela. Yang bisa kupikirkan hanya hal-hal yang tidak aku miliki. Segala yang tampak padaku, maupun dalam diriku, hanya membuatku nelangsa. Bahkan kukira penjaja sapu keliling lebih beruntung dariku. Aku hanya perempuan dari kalangan menengah yang terhimpit. Orang selalu mengejar yang di atas kalau bukan melongok yang di bawah. Orang mengira hidupku mapan, tapi sesungguhnya tidak ada yang sungguh-sungguh hirau akan kebutuhanku. Kupikir sebaiknya memang aku tidak bertemu orang-orang lagi, kehadiranku hanya membuat mereka sebal. Aku takut melamar pekerjaan, aku takut tidak bisa mengerjakan tugas-tugas dengan benar. Tiap pagi akupun takut kalau orangtuaku tidak bangun lagi, dan ketakutanku menjadi-jadi ketika bapakku betulan tidak bangun lagi dan yang tersisa tinggal ibuku, bagaimana aku bisa mengurus adik-adikku sendirian… Memang ada adikku yang sudah bisa mengurus dirinya sendiri, dan sepertinya ia yang bakal mengurus kakaknya yang disfungsi dan adiknya yang lebih kecil kalau orangtua kami sudah tidak bersisa sama sekali. Dan kalau satu kejadian membuat keluargaku sama sekali tidak bersisa, aku akan membuat orang lain membunuhku: berlari ke tengah jalan tol, mondar-mandir di lapangan tentara berlatih menembak, mengganggu mahasiswa semester tiga belas—apapun, supaya bukan aku sendiri yang bersalah…

Baru-baru ini kuusir sahabatku. Yang muda saja tidak respek padaku. Lelaki yang kuharapkan untuk menikahiku malah menghilang, tabunganku ikut melayang. Seekor kucing jantan masuk ke kamarku melalui celah pintu beranda yang sedikit terbuka, dan meninggalkan tandanya yang menyengat di balik lemari. Bahkan wilayahku, satu-satunya tempat di mana aku bisa berkubang dengan aman dan nyaman, dirampas kucing! Aku mulai menyetel lagu berjudul “Suicide is Painless”[1] berulang-ulang, barangkali lama-lama akan kudapatkan keberanian… aku tidak bisa bayangkan hidup sampai usia lanjut dalam kehinaan diri dan keibaan orang-orang. Kalau aku berulang tahun, kuharap orang mendoakanku untuk pendek umurnya serta mulia karena bait “panjang umurnya, panjang umurnya,” jadi begitu mengerikan untuk didengar. Aku menangis saat mendengar lagu “Animal Instinct”[2], karena menyadari tidak ada lelaki yang mau menikahiku, sehingga aku tidak akan pernah punya anak, dan kalaupun punya, bagaimana kalau aku tidak bisa menjaganya dan ia akan merutukku karena menyeretnya ke dunia yang pahit ini…  

            Seteguk lagi cairan gelap yang Otto gelontorkan ke mulut. Tonjolan di lehernya bergerak-gerak seraya ia letakkan cangkir di meja, dan menuang lagi isi botol. “Enggak heran kamu punya konsep diri yang buruk, Desi. Saya enggak pakai kacamata aja wajah kamu masih kelihatan jelek. Ditambah segala ketakutan kamu itu, pantas hidup kamu enggak maju-maju. Kamu memang menyedihkan…” Ia memandangku entah miris entah jijik, lalu menyesap cairan di gelas. “Dan orang-orang seperti kamu terus berdatangan, enggak ada habis-habisnya…” Perkataannya membuatku tertegun. Jelas bukan begini respons yang kuharapkan. Kalau konsep diriku demikian buruk, bukankah seharusnya ia membantuku memperbaikinya? Alih-alih memegang notes dan pulpen dan mendiagnosis masalahku—seperti di film-film, ia malah menggenggam botol minuman keras. Kuusap titik-titik yang mungkin masih menggenang di wajahku. “Selalu ada orang menyedihkan baru, menggantikan orang menyedihkan lama. Gelandangan tua di jalan, enggak ada yang kenal, akhirnya jadi kadaver di lab. Potongan tangannya, Desi, diperjualbelikan buat belajar mahasiswa di rumah…” terdiam, matanya merunduk, lalu padaku lagi, “Mau lihat, Desi? Kayaknya saya masih nyimpen…” Aku menggeleng. Ia mengocok-ngocok cairan yang tersisa di dasar gelas, lalu menelannya. “Gelandangan mati, terus lahir bayi, invalid. Seumur hidup dia tumbuh, berjuang supaya enggak malu, nunjukkin kalau mereka juga bisa melakukan sesuatu. Orang yang enggak cacat badan, cacat otaknya, Desi. Tapi mereka orang-orang yang bahagia. Mereka beruntung udah bisa meninggalkan dunia, tinggal badannya aja yang belum. Tapi saya, Desi,” jempolnya menunjuk dada, “saya yang tugasnya narikin lagi mereka ke dunia yang kata kamu pahit ini. Penjahat saya ini, Desi.” Mulutku tidak jadi menyangkal, mengingat profesi sambilan Otto sebagai makelar obat penenang… yang sebetulnya kan… ilegal…?

            Ia menawarkan minumannya sekali lagi. Aku menggeleng.

            “Emangnya minuman keras… bisa membantu?”

            Tawanya meledak, “Kalau enggak keras, mana bisa tahan, Desi?” namun terdengar getir di telingaku. Entahlah apa maksudnya. Memang aku kenal tunangannya, dan ingat apa yang terakhir kali perempuan itu curahkan padaku mengenai kisah-sedih-di-atas-ranjang... Aku tidak ingin menghubung-hubungkannya sama sekali…

            “Kamu sembahyang kan, Desi?”

            “Ya,” kataku pelan.

            “Dan kamu masih merasa sedih?”

            “…ya,” semakin pelan.

            “Kok bisa, Desi, bukankah Tuhan harusnya bikin kamu tenang?”

            “Mungkin cara sembahyang saya yang salah.”

            “Betul itu. Tuhan enggak mungkin salah. Kamu yang diciptakan untuk salah, kamu memang harusnya salah, dan depresi.”

            Aku benar-benar tidak nyaman membicarakan ketuhanan, aku bisu saja.

            “Kenapa, Desi? Bukannya kamu ingin ngomongin yang sedih-sedih? Belum ngomongin pasien saya. Ada, Desi, puluhan tahun dipasung. Yang ngurus cuman emaknya. Emaknya meninggal enggak ada yang tahu. Berminggu-minggu dudukin tahinya sendiri, makan tahinya sendiri…” Aku menunduk. “Ada lagi, Desi, orang-orang kampungnya bilang dia enggak waras karena kecilnya diculik wewe. Ini yang bikin sedih orang yang enggak waras itu apa orang-orang kampungnya, zaman sekarang kok percaya takhayul. Bisa aja kan, ternyata cuman dipinjam bentar sama pedofil.” Aku makin menunduk. Kalau metode penanganannya adalah menceritakan yang sedih-sedih hingga aku merasa kesedihanku tidak lagi berarti, ia mulai berhasil. Ataukah ini servis yang layak kudapatkan karena ia tahu aku enggan membayar? Seolah membenarkan pikiranku, yang pertama, ia berkata lagi, “Di rumah sakit banyak cerita sedih,” dan ia terus menceritakannya, dan tidak lagi menuang cairan ke gelas, melainkan langsung reguk dari botol. Ceritanya tidak kunjung berakhir. Sepertinya ia sama sekali tidak memerhatikanku melirik-lirik jam sedari tadi. Ia mengambil botol baru, dan lanjut bercerita. Tentang mereka yang makan roti berjamur dan capcai berbelatung dari bak sampah. Tentang mereka yang tidak pernah ditengok lagi keluarganya. Tentang mereka yang ditaruh di jalan karena kapasitas yang terbatas di rumah sakit. “Jumlah mereka makin banyak, Desi.” Tentang mereka yang menolak untuk sembuh, untuk merasakan lagi kejamnya dunia. Dan cairan gahar itu terus ditenggaknya seperti anak sekolahan minum air mineral sehabis lari dua puluh putaran. Wajahnya sudah lama merah. Aku tidak yakin matanya yang setengah melek setengah merem itu benar-benar melihat, maksudku, mungkin saja yang dilihatnya sudah lain dari yang senyatanya ada.

            Bukannya menyampaikan kalau aku harus pulang atau terancam tidak mendapat angkot, yang meluncur dari mulutku malah, “Kamu enggak apa-apa minum terus kayak gitu?”

            “Kesedihan itu enggak masuk akal, Desi. Makanya, pakai akal kamu…” akan kuturuti sekiranya tidak keluar dari mulut orang yang mabuk.

            Posisiku siaga kalau-kalau tubuhnya mendadak oleng dan terempas ke lantai. Tapi ia malah merayap dengan kecepatan zombi yang masih berusaha menggapai mangsa walau kepalanya sudah dipentung berkali-kali, sampai di tepi kolam mulutnya menyemburkan cairan keruh. Suara dari lehernya begitu mengkhawatirkan seolah ada pompa tidak kasatmata dengan kekuatan tinggi menyedot isi perutnya agar habis tanpa sisa, membanjiri lele-lele… Tergopoh-gopoh kudekati. Dengan canggung ujung-ujung jariku mengurut tengkuknya yang dingin dan lembap. Kalau saja ia suamiku, akan kulakukan lebih dari ini!

            “Tadi kamu ingin kasih mereka tahi, sekarang yang kamu kasih cuman produk setengah jadi.”

            Kekehnya keselak muntah.

 

KUHAMPIRI para pembantu agar keluar dari persembunyian mereka. Sejurus kemudian, satu telah memijat kaki kiri sang majikan, satu di kaki kanan, satu di pundak dan lengan, dan satu lagi berjaga dengan segelas air putih hangat. Aroma minyak (dari botol dengan entah akar apa di dalamnya itu) meruap. Mata Otto terkancing. Mulutnya terbuka. Tubuhnya tenggelam di sofa dengan sandaran rebah. Sebelum ia tertidur…

            “Otto, saya harus pulang.”

            Matanya rekah perlahan.

            “Pakai apa?” Angkot. “Masih ada angkot gitu… Ke jalannya naik apa?” Ojek. “Jam segini ojek. Entar diculik.” Kamu ada sopir kan. “Sopir lagi enggak kerja.” Pinjam telepon deh, panggil taksi. “Nginep ajalah.”

            Demikian sang pangeran memutuskan. Ia menyuruh seseorang bernama Inah menyiapkan kamar. Para abdi dalem pun bubar. Otto bangkit walau agak sempoyongan.

            “Boleh yang ada kuncinya enggak?”

            Muka kusut itu tidak menjawab.

Inah mengantarku ke lantai atas, memasuki lorong yang di kedua sisinya terdapat pintu-pintu. Di sisi pintu, aku menungguinya membenahi kamar, sampai ia keluar dengan setumpuk lipatan kain. “Udah, Mbak…” Ia pun lalu. Aku mengecek gagang pintu, di sebelah luar dan di sebelah dalam. Tidak ada kunci.

Kurasakan bayangan menimpaku dari belakang, disusul napas yang berat, dan beban mendarat di pundak… Kutendang orang itu tanpa peduli bagian apa yang kena. “Kalau kamu pingin ini, kamu mesti izin bapakku dulu, brengsek!”

Terkapar di lantai, kepalanya merosot di dinding, ia terlalu payah untuk menatapku dengan sengit. “Kamu jatuhin saya… Kamu jatuhin saya, Perempuan…”

“Maaf, Otto, maaf…!” Demi apapun yang kupikirkan! Barangkali tadi ia hanya bermaksud cari pegangan karena langkahnya goyah. Dengan panik aku tarik lengan Otto, tapi ia hela lagi. Ia berusaha bangun sendiri, tapi tergeletak lagi. “Saya bantuin ya,” aku coba tarik lengannya lagi, tapi sisa tenaga malah ia kerahkan untuk menyentak pertolonganku. “Mau saya panggilin yang lain aja?”

“Enggak usah. Saya tidur di sini aja.” Ia membuka genggamannya. “Nih...” Tanpa daya, kunci itu bergulir ke lantai.

“Jangan gitu…” Kuperhatikan napasnya makin payah, dan tubuhnya gemetar. Sesekali wajahnya mengernyit seperti nyeri. Napasnya mulai tersengal, lalu terisak. Oh… Perempuan memang mudah menangis. Tapi kalau lelaki yang menangis tentu karena pedihnya sudah tidak tertahankan! “Otto… Kenapa, Otto? Ada apa? Cerita aja. Jangan malu-malu. Enggak bakal saya omongin ke siapa-siapa. Kalau habis ini kamu enggak pingin ketemu saya lagi juga enggak apa-apa...” Tapi ia menggeleng-geleng saja. Sepertinya yang ia inginkan hanya pergi dari sini, tapi pijakan tangannya saja tidak kuasa menopang sisa tubuhnya untuk bangkit, atau aku yang pergi, tapi mana enak aku meninggalkannya dalam keadaan kalut begitu. “Otto… Kamu kaya dan pintar dan ganteng dan tunangan kamu cantik dan perhatian dan…” tidak ada di sini… “…orang-orang memuja kamu. Apa lagi yang kamu sedihkan, Otto? Kamu cemas kenapa?”

“…enggak pantas, Desi, enggak pantas…” tanpa aku dengar jelas apa yang menurutnya tidak pantas itu… ia tersedusedan. “…gimana kamu bisa tenang dengan begitu banyak derita di sekeliling kamu… dengan orang-orang seperti kamu di dunia ini…”

“Tapi Otto, kamu bukannya enggak berbuat apa-apa. Kamu kerja di RSJ. Kamu ngobatin orang-orang gila. Kamu bantu orang-orang supaya gampang ngedapetin obat penenang … Kamu sudah mengurangi sedikit beban dunia, Otto…”

“Lihat rumah ini, Desi…” Ia mulai bisa menyandarkan punggungnya di dinding, sementara sebelah tangannya melayap ke mana-mana. “Orang macam apa, Desi, orang-orang macam apa yang tinggal di sini, melindungi diri sendiri dari pahitnya hidup di jalan…?” suaranya tercekat. “Orang-orang pengecut, Desi… Mereka hanya ingin kenikmatan untuk mereka sendiri…”

“Otto…” ganti aku yang merengek. “Kita ngomongin Arifin aja deh,” atau apapunlah! Sudah cukup berpedih-pedih malam ini! Arifin? “Itu. Pasien yang kapan itu mau kamu jodohin sama saya.” Dia udah mati. “Loh?” Dia suka gitu. Bosan di rumah sakit, terus tahu-tahu manjat tiang listrik… Bagaimana orang bisa segampang itu menghilangkan nyawanya sendiri, Desiii…? Tangannya merenggut bagian bawah bajuku. Aku mengerang. “Kamu harus kuat, Otto. Kamu psikiaternya! Kamu yang ngerti!”

Ia berhenti tersengguk, seolah baru menyadari kata-kataku. “Ya. Saya emang tahu. Tolong, Desi… Di kamar…”

“Jangan obat penenang!” kataku, dan kujawab tatapannya, “Kamu tahu kan saya sama tunangan kamu…” …kukira mantan model itu sudah menceritakan kedekatan kami semasa SMP, dan bagaimana upayanya membenahiku sebagaimana ia mengurusi Otto, “dia cerita…” …riwayat kejiwaan kamu, kenapa mesti kambuh di saat aku perlu bantuan kamu sih!

Dipotongnya ucapanku. “Gimana kamu bisa tidur, Desi?”

“Tiduran di kasur. Terus merem.”

Kali ini ia membiarkanku membantunya berdiri, kendati tubuhnya jauh lebih besar dariku. Belum selangkah, kakinya selip. Aku memekik sementara tubuhnya terbanting. Sesaat aku terdiam karena kagetku. Ia tidak bergerak lagi. Hanya dengkur. Kuambil selimut dari kamar yang akan kutempati, lalu kututupi tubuhnya. Setelah itu aku masuk kamar tanpa lupa mengunci pintu. Ia pasti punya kunci serep, tapi keadaannya yang seperti itu melunturkan kecurigaanku. Aku benamkan tubuh ke balik bedcover. Beberapa lama telingaku awas, tapi tampaknya ia tidak membuat suara apa-apa. Posisiku berganti-ganti dengan gelisah. Kurenungkan rumah yang sunyi di hari Minggu, penyebab orang menggantungkan diri pada obat penenang dan alkohol, dan tunangan yang tidak bisa memuaskan kekasih yang tidak bisa memuaskan lagi di tempat tidur dan akibatnya minggat ke tempat yang hanya ia dan Tuhan yang tahu… lalu akupun tertidur.

Tiba-tiba ia merangkak di atasku. “Biar jelek, kamu perempuan, Desi…” Senyumnya tidak bisa kuartikan dengan pasti—antara menawan sampai mengerikan…

Aku tersentak, dan susah lelap lagi. Aku tidak bisa mengatupkan mata tanpa terbayang Otto mengelus-elus lelenya tersayang… yang ikan apa yang lain…?

Sayup-sayup azan subuh. Aku tidak bisa tunggu lebih lama. Aku putuskan untuk joging dari rumah ini sampai jalan raya. Angkot pasti sudah beroperasi.

Tidak kutemukan Otto di lorong, melainkan di sofa lantai bawah, bergelung dalam selimut yang kusampirkan semalam. Aku mendekatinya dalam jarak tertentu. Ingin aku meletakkan tangan di bawah hidungnya untuk memastikan ia masih bernapas, tapi kuurungkan karena takut tergoda merayapkan jari ke bagian tubuh lain.

Akhirnya kulewati lagi gerbang itu, meninggalkan satpam yang mungkin terheran-heran… Sepagi ini pulang setelah semalaman di rumah lelaki yang tidak menikah denganku… aku merasa seperti perempuan nakal.

Tidak ada yang lebih kuinginkan saat ini selain tidur.[]



[1] Soundtrack film MASH, dikatakan sutradaranya sebagai lagu terbodoh di dunia namun ternyata popularitasnya malah melampaui film itu sendiri. Lirik lagu ini dikarang putranya yang berumur 14 tahun.

[2] Lagunya The Cranberries

Sabtu, 23 November 2013

Cerita 05 - Pebisnis Militan

WANITA seumurku seharusnya menulis romance.

            Wanita seumurku seharusnya punya karier dan bergelimang kemapanan dan satu-satunya yang ia khawatirkan hanyalah apakah pria di kubik sebelah—atau perusahaan sebelah—memiliki perasaan yang sama dengannya, tanpa ia sadari bahwa cinta sejatinya ternyata berada lebih dekat dari urat lehernya sendiri… Sepertinya itu cinta sejati yang “lain”—maaf aku baru mendengarkan pengajian. O tidak, tidak. Aku tidak pergi ke masjid. Daya speaker masjid cukup besar untuk menyiarkan seruan hingga kamarku.

            Jika ada satu cara cepat untuk menjual tulisan dan menambah tabungan, maka itu adalah menulis romance. Orang-orang menyukai romance. Mereka suka dibuai dalam perasaan yang mengharu-biru, mencairkan kebekuan hati mereka dengan mengintip percintaan orang lain.

            Tapi aku tidak suka membaca romance.

            Bukan aku tidak pernah membaca satupun. Aku hanya tidak pernah menemukan diriku dalam cerita semacam itu.

            Dan satu-satunya pria dalam kehidupanku sekarang, selain adikku yang tidak bisa diandalkan itu, hanyalah tetanggaku semasa kecil: seorang duda yang tiap beberapa minggu sekali datang untuk pinjam uang. Kadang ia datang hanya untuk mengobrol, tapi hubungan memang sepatutnya dijaga kan, supaya aku tidak merengut kali berikutnya ia datang untuk, pastinya, pinjam uang.

            Aku perlihatkan padanya isi dompetku yang hanya berupa lipatan beberapa ribuan, yang jumlahnya bahkan lebih sedikit ketimbang lipatan bon, dan receh. “Aku belum ke ATM lagi,” dan tidak ada yang bisa memaksaku melakukannya karena rekeningku di bank sudah kututup bersamaan dengan pengunduran diriku dari pekerjaan yang terakhir. Tinggal beberapa juta tersimpan dalam lipatan baju di lemari ibuku, tapi tentu saja aku tidak akan membiarkan Tian tahu.

            Ia mengangkat sebelah tangan lalu jemarinya itu melipat satu per satu, menyapu bantalan tangan dan melakukan gerakan seperti mengunyah, dan, aku yakin mataku sama sekali tidak berkedip, tapi, bagaimana lembaran biru itu tahu-tahu berada di sana? Dan ia serahkan ke tanganku.

            “Segitu dulu ya.”

            “Habis main sulap di mana, Mas?” Jangan-jangan ia yang pasang iklan BADUT SULAP di tiang listrik—di atas SEDOT WC.

            Ia tertawa. “Itu komisi. Ada teman perlu alprazolam. Aku bawa ke Anton.”

            Aku sodorkan lagi lembaran itu. “Balikinnya sekalian aja, Mas.” Atau kapan ketika perdagangan obat penenang tanpa resep dan di luar apotik tidak lagi ilegal.

            “Enggak apa-apa. Buat jajan.”

            “Ah, enggak. Makasih.” Aku belum mau menambah dosa, sudah cukup dengan yang diperbuat tanganku sendiri. “Buat Mas Tian aja, kalau-kalau nanti butuh lagi, gitu.” Jadi ia tidak perlu lebih sering kemari.

            “Enggak, Sinta. Aku udah enggak pakai yang gitu-gitu lagi. Udah jarang ketemu Anton juga.” Hidungnya berkerut. Bibirnya mengernyih. Dan baru aku sadari kalau memang sudah lama ini ia tidak pernah lagi membuat kegaduhan. Dulu dari rumahnya kerap terdengar serapah dan barang-barang dibanting. Para pembantu mengatakan kepada anak majikannya, “Itu ada beruk ngamuk hih, kalau enggak makan entar dikejar-kejar loh.” Anak-anak yang lebih besar menyangka Pak dan Bu Broto memelihara orang gila. Mereka kasak-kusuk ingin melihat. Tapi ketika Tian menampakkan sosok di jendela, mereka kocar-kacir. Ketika Tian keluar dan menyusuri jalanan menuju rumahku, mereka kian jauh menyingkir.

            Obat penenang memang menunjukkan khasiatnya, tapi terlebih dulu Tian berterima kasih padaku yang telah meminjamkan uang untuk membeli obat-obatan itu. Ya dulu mana aku tahu dia akan membelinya tanpa resep dari psikiater, toh psikiater itu sendiri yang jualan!

            “Gimana bisnis menulis kamu, Sinta, lancar?” tanyanya setelah duduk di kursi ruang tamu.

Aku menjawab dengan gumaman yang sama tidak jelasnya dengan nasib kepenulisanku. Inginku bisa menulis seperti A. S. Laksana dan James Thurber, tapi menghasilkan racauan sepanjang dua halaman kuarto/hari saja sudah prestasi bagi pemula sepertiku. Dan racauan itu hanya pantas dimuat dalam buku harian, alih-alih koran. “Mas mau nulis juga?”

Ia tersenyum sambil menggeleng. Sekilas aku merasa pesonanya tampak, atau mungkin karena efek lampu LED yang memancar dari langit-langit ruang tamu—cuaca lagi mendung. Bekas cukuran membayang di dagunya. Matanya yang kecil. Kulitnya yang putih. Jidatnya yang makin lebar saja ke atas, berbatasan dengan garis-garis rambutnya yang lurus pendek. Bahkan aku bisa mencium aroma sabun yang segar. Tubuhnya yang agak gemuk itu pasti empuk kalau dipeluk-peluk.

Ia datang untuk pinjam koran, juga kertas dan alat tulis. Ia ingin koran regional, alih-alih yang nasional. Ia membuka lembaran iklan. Kubiarkan ia corat-coret di ruang tamu, sementara aku lanjutkan pekerjaanku di ruangan lain. Corat-coret juga, tapi hanya cerpen yang tidak jadi-jadi, atau mukaku sendiri, yang lebih memuaskanku ketimbang yang sehari-hari kulihat di cermin. Sesekali aku tengok Tian. Ia pergi dengan meninggalkan koran dalam keadaan terlipat, alat tulis di atasnya, sedang kertas ia bawa.

Begitulah tiap beberapa hari sekali. Tidak sekalipun ia datang untuk pinjam uang lagi. Hanya mencatat entah apa dari lembaran iklan di koran, dengan kertas yang ia dapat secara cuma-cuma. 

 

TIAN mengajakku melihat tanah di Ranca-apa-namanya. Sebetulnya hanya di pinggiran kota, tapi bagiku seperti daerah antah berantah. Kami menunggangi motor rombeng yang Tian pinjam dari bapaknya, menerobos udara sehabis hujan sepagian. Lalu lintas makin sepi seiring jalan yang mendaki dan berkerikil. Rumah-rumah perlahan terkuak hingga yang tampak seringnya kebun, hutan… Tian memarkir motornya di kaki sebuah bukit kecil. Menunggu sejenak. Seorang lelaki paruh baya berkulit legam menyongsong. Aku ikuti mereka berjalan sembari menggosok-gosokkan tangan dengan lengan bagian atas, menanjaki jalan setapak yang membelah bukit itu, melewati pohon-pohon yang entah apa nama masing-masing—semua tampak sama. Sesekali pepohonan itu meneteskan sesuatu yang dingin ke rambutku, kulitku. Bukan permainan yang menyenangkan, Pohon. Menjelang puncak, aku berjongkok, masih mendekap tubuhku sendiri, sembari memandangi lanskap kota yang mengabu. Kuhirup udara dalam-dalam. Isi paru-paruku seakan termurnikan. Di belakangku perbincangan Tian dengan bapak itu. Bisnis kayu prospeknya lagi bagus, sempat Tian berkata di perjalanan tadi. Bapak itu memberinya saran jenis-jenis apa yang kiranya cocok dikembangkan di lahan itu.

            Entah kapan bapak itu pergi. Aku dapati Tian termenung sendiri. “Jadinya mau tanam apa, Mas?” tegurku. Belum tahu. Titik-titik air jatuh lagi, kali ini berbondong-bondong dari langit. Kami turuni bukit. Tian menujuk balai-balai di tepi jalan, tidak jauh dari tempatnya memarkir motor. Dari balai-balai itu, tatapanku menyapu kaki. Aku menjerit. Tian yang sudah beberapa langkah di depanku pun kembali. Aku nyaris terjungkal demi makhluk hitam panjang menggeliat yang menancap di kakiku dan bentuknya berubah-ubah itu. Iiih…! Tian berjongkok lalu meraih kakiku. Ia mengambil sebatang rokok dari balik jaket, meruyak silindernya. Remah-remah di dalamnya ia gunakan untuk menaklukkan hewan itu hingga terguling ke tanah. Baru kali ini aku mensyukuri seseorang sebagai perokok.

            “Dah,” katanya. Aku embuskan napas sebesar-besarnya.

            Begitu sampai di balai-balai, aku cek lagi kakiku, bagian dalam pipa celana jeans yang kukenakan, hingga kuraba-raba sekalian sekujur tungkai kakiku, barangkali ada yang tersangkut lagi. Itu kali terakhir kuingat jantungku masih berdebar kencang. Selanjutnya Tian menawariku kacang rebus. Pedagangnya juga sedang berteduh. Lalu bertambah pisang rebus, jagungnya kutolak, Tian mengupas kedelai, kami menyeruput bajigur.

            Aku ingat, bagaimana dulu, ketika umurku belum genap enam tahun dan seorang anak bilang ada ulat bulu di rokku saat kami sedang di taman perumahan, aku mengharapkan Tian sekonyong-konyong datang untuk menenangkanku, menyingkirkan ulat itu atau malah membuktikan anak itu hanya bercanda, lalu supaya rajukanku makin reda, ia akan membawaku ke warung dan membelikanku jajanan yang kusuka. Tidak kusangka, baru setelah dua puluh tahun lebih angan itu menjadi nyata.

 

TIAN mengajakku lagi, kali ini melihat rumah. Aku tidak sempat melihat nama jalannya. Yang jelas lokasinya dekat pusat kota. Memang bukan di sisi jalan raya, tapi jalanan di depan rumah itu sering dilintasi pengendara mobil dan motor, apalagi pejalan kaki, sebagai jalan pintas.

            Sudah ada yang menunggu di teras ketika kami sampai. Rumah itu tidak besar, juga tidak kecil. Halamannya sepertinya cukup untuk menampung belasan pot, sedang carport­­­-nya dua mobil. Entahlah… Aku merasa déjà vu. Tidak. Ini memang momen yang kutunggu-tunggu. Bersama suami mencari rumah baru. Suami…

            Tian sudah masuk ke dalam rumah bersama orang itu. Akupun menyusul. Dan menemukan ruangan yang melompong. Ada satu kamar di sisi kiri. Aku bayangkan tempat tidur, lemari, dan meja rias mengisinya. Ruangan sebelahnya terbuka, di sini bisa diletakkan karpet untuk anak-anak bermain (anak-anak siapa?!). Lalu rak-rak berisi buku dan mainan dan perabotan. Kaca membatasi ruangan itu dengan halaman berlumut di belakang rumah. Di sini bisa dibangun kolam, dengan kura-kura dan ikan-ikan sehingga anak-anak bisa belajar mencintai lingkungan sejak dini. Di sisi lain ruangan adalah dapur. Oh. Di sini kita meletakkan meja makan, dengan kursi-kursi mengitarinya. Di sini kita menaruh sofa dan TV. Di sini kita mencocol rujak bersama-sama sebagai keluarga yang bahagia. Oh… Tian! Tian…! Aku menyusulnya ke lantai atas. Oh… Di sini kamar anak kita yang pertama. Di sini kamar anak kita yang kedua. Di sini aku menjemur pakaian kita, dan di sini aku menyeterika. Di sini kita memandang bintang-bintang, dan melupakan masa lalu kita…

            “Mas, menurut Mas rumah ini gimana?”

            Tian mengusap-usap janggut. “Entah ya. Usaha apa yang kira-kira bagus di sini?”

            Setelah tiga rumah dan 88 peluang bisnis rumahan, Tian bertanya padaku, “Kamu sukanya bisnis apa, Sinta?”

            “Bisnis rumahan…?” Aku tertegun. Aku mengingat-ingat apa saja yang disebutkan tiap-tiap penunggu rumah. Warnet. Fotokopi. Laundry. Garage sale. Biro jasa. Depot es batu. “Menulis.”

            Toh menulis sama saja dengan bisnis rumahan lainnya kan, aku tetap bisa bekerja sambil mengawasi anak-anak…

            “Gimana prospeknya menulis?” Tian memandangku serius.

            “Menulis itu kayak main piano,” kataku, walau aku tidak pernah belajar piano sama sekali. “Orang harus latihan dulu bertahun-tahun baru bisa mainin musik yang layak didengerin. Nulis juga gitu,” menurut panduan menulis yang pernah aku baca entah kapan di mana.

            “Jadi kamu inginnya menulis.”

            “Ya.” Kalau aku pandai berhubungan dengan orang lain, tentu aku tidak akan gonta-ganti pekerjaan dan berakhir sebagai penulis kapiran.

            “Enggak apa-apa,” katanya, yang entah kenapa membuatku tenang. Seolah restu darinya agar aku bisa terus menulis penting sekali.

            “Jadinya Mas mau usaha apa?” tanyaku ketika kami sudah kembali duduk di ruang tamu rumahku.

            “Entah ya.” Ia menggaruk-garuk alis. “Aku mau bikin analisis usaha dulu.”

Katanya lagi setelah terdiam sebentar, “Sinta adanya berapa?”

Aku termenung, tapi sebentar kemudian insaf kalau tiap usaha tentulah membutuhkan modal, tapi tetap saja berat untukku mengungkapkannya.

“Kalau udah balik modal segera aku balikan, Sinta. Aku janji.”

Katanya mata tidak berdusta, tapi ketika melihat mata Tian kusadari bahasa mata tidak kalah sulit dari bahasa Jerman. Bisnis memerlukan keputusan yang cepat dan tepat. Kukira orang yang pernah ditipu temannya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, maksudnya, mengulangi kesalahan temannya itu. Tian sedang mencoba bangkit setelah usahanya dijatuhkan temannya sendiri, seharusnya aku mendukung upayanya yang terpuji itu.

“Tabunganku cuman.. empat juta.”

Seingatku lima juta, tapi aku mesti sisihkan untuk kebutuhanku sendiri, kan?

“Enggak apa-apa…” Ia tersenyum tipis. Lalu, “Sinta percaya sama Mas, kan?”

Bisnis adalah soal kepercayaan.

“Ya,” kataku.

Kubuka lipatan baju yang menyelubungi simpananku. Setelah dikurangi empat juta, ternyata sisanya hanya empat puluh ribu.

Bisnis adalah pertaruhan. Uangku tidak bakal ke mana-mana, kalau… aku dan Tian… selalu bersama.

 

TIAN mengajakku keluar beberapa kali lagi. Tapi lama-lama aku enggan. Bisnis begituan merepotkan sekali. Mesti survei ke sana kemari. Lagipula aku kan punya “bisnis” lain di rumah, yang akibatnya terbengkalai. Aku perlu mengumpulkan konsentrasi lagi untuk menghasilkan tulisan. Tapi sudah duduk di kamar tanpa gangguan pun aku terpikir Tian. Mengenang perlakuannya padaku di Ranca-apa-namanya itu, aku termesem-mesem. Dalam umur menjelang paruh baya begitu, fisiknya memang tidak lagi menawan. Tapi dalam kenanganku akan masa kecil bersamanya yang begitu indah, ia masihlah tetangga yang diam-diam kudambakan, kujadikan pahlawan, cinta pertama… dan terakhir?

            Ketika melihatnya mengeluarkan motor, mungkin hendak melakukan “perjalanan bisnis” lagi hari itu, aku pikir, ia memang tidak sempurna. Tapi ia menunjukkan bahwa kebangkrutan bukanlah akhir. Dengan berbagai cara ia berusaha untuk bangkit. Rela berjerih payah. Bukankah kualitas itu yang patut dimiliki seorang suami?

            “Mas,” kataku, ketika ia mampir lagi untuk memindai iklan di koran hari itu. Ia menatapku. Tapi aku malah garuk-garuk leher yang tidak gatal, menggemeretakkan jemari di lutut, menggoyang-goyangkan kaki seolah menginjak mesin jahit. Uh! Emansisapi sialan! Kenapa aku tidak tunggu saja sampai Tian sendiri yang tertarik padaku—entah kapan! Matanya kembali ke koran. “Mas,” tegurku. Matanya kembali… “Kepikiran untuk berumah tangga lagi?” Aku mulai terdengar seperti perempuan genit di sinetron, dan tidak mengerti kenapa jemariku mendadak haus sentuhan begini.

            Tian memancangkan mata padaku, menanti.

            “Aku…” Aku menunduk-nunduk. Melihatnya lagi. Menunduk lagi. Aku tidak akan seperti mantan istrimu. Apapun yang terjadi padamu nanti, aku tidak akan mengusirmu dari rumah, menuntut gana-gini sepenuhnya. Aku akan membiarkan anak-anak dekat denganmu, dan tidak akan pernah menyirammu dengan air panas hingga meninggalkan luka bakar di separuh wajah dan tanganmu. Aku akan berusaha menjadi istri idaman, mengabdi pada keluarga. Aku akan membiarkanmu merokok, asal tidak di rumah. “Aku…” Kedua tanganku bergerak-gerak tidak menentu. Napasku tidak keruan. “Mungkin kita…” Kepalaku sekarang yang bergerak-gerak tidak menentu. Bibit kugigit-gigit. “Lalu semua berhenti. Aku tidak bisa mengatakannya. Oh, andai kami punya bluetooth di kepala kami masing-masing!

            “Sinta.” Ia letakkan koran di meja. “Kalau maksud Sinta… itu…”

            “Ya… Itu…!” seruku canggung, lalu kembali menunduk malu.

            “Belum. Aku belum siap.” Ia terkekeh pelan. Mungkin untuk mencairkan suasana yang mendadak serius. Aku tersenyum-senyum juga tapi sungkan menatap wajahnya. Ia berdeham, lalu berkata dengan parau, “Yah… Banyak yang harus ditata ulang… Satu per satu… Sinta.”

            Dan menikah ada di urutan entah keberapa.

            Lagipula bisnisnya masih belum pasti.

            Kutelan rambutan yang mendadak bercokol di pangkal kerongkongan. “Enggak apa-apa.” Aku mengangguk-angguk.

            “Ah…” Ia menyandarkan punggung sejenak, lalu condong lagi, “Kemarin akhirnya nemu yang strategis di Jalan Tamblong. Sinta, mau bikin butik?”

            Aku menggeleng.

            Aku harus menulis.

 

JATUH cinta dan patah hati dalam waktu berdekatan membuatku paham mengenai apa yang bisa ditulis dalam sebuah romance. Aku pun mencipta karakter, mengarang konflik… Hari-hariku menjadi rutin tanpa kusadari. Berjam-jam aku mencorat-coret kertas, lalu mengetikkan hasilnya di komputer. Sesekali aku menyelinginya dengan pekerjaan rumah atau membaca. Lewat dari dua belas jam, aku pun lelah dan dan tidur. Ketika bangun, kuulangi aktivitas serupa. Dua minggu tidak terasa. Aku sudah mengetik sekitar 50.000 kata, ketika aliran ideku macet. Heroine-ku tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk mengatasi patah hatinya. Tokoh pria yang jadi incarannya pun tidak pernah mendatanginya lagi. Beberapa hari aku gelisah, mengais-ngais inspirasi dari dalam rumah.

            Apa yang dilakukan seorang penulis untuk memecahkan blokade mentalnya?

            Sepertinya aku perlu keluar dari sarangku.

            Tian.

            Barangkali pertemuan dengannya bisa memberi inspirasi.

            Entah kapan terakhir kali aku melihatnya, dari beranda, saat ia mengeluarkan motor dari rumahnya—mungkin hendak melakukan “perjalanan bisnis” hari itu, masih menganggapnya sebagai calon suami ideal… Matang. Berpengalaman. Gigih.

            Memang aku mesti sabar.

            Sore aku ke rumahnya. Ibunya yang membukakan pintu. Aku tanyakan Tian. Rautnya yang semula memprihatinkan berangsur-angsur mengkhawatirkan.

            “Aduh, Sinta, Ibu enggak tahu lagi anak itu…”

            Pak Broto yang kebetulan lewat mendadak nimbrung, “Apa cari-cari bajingan itu!? Enggak usah balik sekalian!” lalu masuk kamar dengan gerundelan masih terdengar.

            Orangtua macam apa yang menyebut anaknya sendiri bajingan? Eh. Anak macam apa sampai-sampai disebut orangtuanya sendiri bajingan? Memang saat Tian baru kembali tinggal di rumah ini, dan masih dalam periode “kacau” akibat kepailitan dan perceraian, caci-makinya pada orangtua acap terdengar sampai jauh. Tapi itu kan sudah lama lalu. Kukira Tian sudah membaik…

            Bu Broto tampak tidak enak karena polah suaminya. Begitupun aku. Ia menyentuh bahuku. “Nanti kalau Tian udah pulang, Ibu kasih tahu biar ke rumah Sinta.”

            “Mas Tian emang ke mana?”

            “Nah… itu dia… Ibu enggak tahu… Udah berapa minggu ini enggak di rumah. Perginya enggak bilang-bilang… Motor dibawa juga… Duh, aduh…”

            “Mungkin lagi sibuk sama bisnisnya, Bu…”

            “Yah… Mudah-mudahan… Dihubungin HP-nya juga enggak nyambung…”

            Tidak tahu apa lagi yang bisa kukatakan, akupun pamit. Begitu sampai di rumah, kubuka koran. Barangkali ada berita tentang mayat tidak dikenal, atau berinisial PTB—Putra Titian Baskoro, nama panjang Tian… atau, dia hanya pergi begitu saja? Mencari peruntungan di kota lain? Tapi aku kan sudah mempercayainya…

            Duh. Masak romance yang kutulis mesti berujung misteri?![]

Rabu, 20 November 2013

Cerita 04 - Pacar Adikku

NAMAKU Deshinta Belia.

Aku lahir pada bulan ketika orang dalam lagu “I Am a Rock” menatap keluar jendela, ke jalan di bawah. Sendirian. Membatu bak patung. Tidak seorangpun menemani. Kadang kehadiran orang lain malah menyakitkan. Cinta? Jangan bicarakan itu. Kalau aku matipun, hanya keluargaku yang tahu. Aku tidak suka menyentuh orang. Tidak seorangpun menyentuhku.

Tapi keadaan berubah, benakku berhenti menerjemahkan lirik lagu Simon & Garfunkel itu, ketika seseorang mengetuk pintu kamarku.

Wajahnya baru sekali ini kulihat. Dengan keceriaan yang sanggup menyegarkan bunga sedap malam hingga siang.

“Kak Sinta?”

Tapi suaranya seperti pernah kudengar.

Aku menyambut uluran tangannya.

“Zeya. Pacarnya Mareno.”

Dari celah pintu yang terkuak makin lebar, aku lihat adikku menyeringai padaku, sementara tangannya tetap aktif mengutak-atik joystick di ruang tengah lantai atas ini.

“Sinta,” balasku, berupaya agar bibirku menampilkan senyum alih-alih menjiplak roman adikku. Bersamaan dengan itu kulihat tangan anak itu memegang buku—bukuku—maksudnya, buku karangan Richard Lloyd Parry. Zaman Edan: Indonesia di Ambang Kekacauan.

“Kak, aku boleh pinjam buku ini enggak?” Ia mengangkat buku itu. Mungkin sadar perhatianku sudah terpancing ke sana. “Katanya Reno ini punya Kakak.”

“Boleh sih.”

“Asyik… Eh, makasih ya, Kak.”

Aku yakin yang di wajahku ini senyum, demi melihat anak itu berseri-seri. Aku mengangguk-angguk.

“Kamu enggak pinjam teenlit aja?”

Teenlit?” Wajahnya mengerut. “Males. Ceritanya gitu-gitu aja.”

Begitu pula hidupmu kan, Nak? Bocah-bocah pecicilan macam kamu itu yang diceritakan dalam teenlit-teenlit.

“Sukanya jurnalistik ya?”

“Iya! Soalnya…”

Dan pertemuan itu mengawali kembalinya masa remajaku.

 

NAMA sebenarnya Azizah Soraya. Tapi ia menyebut Zeya pada siapa-siapa, menulis Zeya, atau Zeia, di mana-mana. Tidak apa-apa. Aku juga punya nama beken saat SMA: Debel. Singkatan dari nama lengkapku. Terdengar seperti “Rebel”—keren saja. Padahal aku bukan pembangkang, pemberontak, apalagi perusuh sama sekali. Atasanku selalu masuk ke dalam rok—kecuali kalau keluar sendiri. Aku rajin mengumpulkan PR. Aku berusaha mengerjakan ulanganku sendiri. Aku tidak pernah mengomando kelas untuk bolos berjamaah.

            Zeya sebetulnya cukup sering ke rumahku, sejak sebelum jadi pacar adikku. Mulanya mereka sering mengerjakan tugas kelompok bareng. Memang sesekali adikku membawa teman-temannya ke rumah, ke ruang tengah di lantai atas. Tapi aku tidak pernah melihat muka mereka walau pintu kamarku berbatasan dengan ruang tengah. Pintu kamar selalu kututup saat mereka datang, jadi aku hanya dengar suara mereka.

            Zeya bercita-cita jadi jurnalis. Ia memiliki blog, juga akun di suatu situs di mana orang saling berbagi dan mengomentari cerita. Aku pun tertarik. Aku kan berniat mencoba profesi penulis juga. Aku pun mendaftar jadi anggota di situs itu. Kupakai nama Jo Rock, alter egoku yang berdomisili di negara Dunia Pertama, seorang kaukasoid. Nama aslinya Joanna. Suaminya bernama Robert, panggil saja Bob Rock. Avatarku gambar batu. Memang aku belum tahu mau memajang apa. Menulis saja belum. Setidaknya aku mulai dengan mengomentari cerita orang lain dulu untuk mengumpulkan poin. Memang situs itu mensyaratkan anggotanya untuk mengumpulkan poin dulu hingga jumlah tertentu sebelum dapat memajang ceritanya sendiri.

            Aku pikir lebih baik mulai dari menulis cerita yang mudah. Cerita remaja. Aku menulis novel tentang remaja cowok yang ganteng tapi bodoh dan ceroboh. Menurutku di dunia ini tidak ada cowok ganteng yang sempurna, yang baik hatinya. Sebab kalau ada cowok ganteng yang baik hatinya, cowok itu mesti sudah meminangku jadi istrinya sejak kapan.

            Atau mungkin aku harus mencari cowok ganteng yang rabun matanya sehingga ia melihat cewek murni dari hatinya saja.

            Ah. Itu bisa jadi karakter untuk novelku yang berikutnya.

            Novel itu kuketik dalam lima hari, lalu kutukar dengan cerpen Zeya. Kami saling mengomentari.

            “Aku suka banget novel Kakak! Aku sampai kebayang-bayang pingin punya temen kayak dia, sama saudara kembarnya itu loh, Kak. Bahasanya Kakak juga beda. Enggak kayak teenlit-teenlit biasanya yang gitu-gitu aja. Aku jadi nambah kosakata baru. Terus banyak referensi lagu-lagunya juga. Cuman konfliknya itu, Kak, kurang kerasa.”

            Aku mesem-mesem.

            Gilirannya. Aku memberitahu banyaknya pengulangan dalam cerpennya itu. Logikanya yang meragukan. Pembukaannya yang tidak berhubungan dengan konflik. Bahkan cerpen sepanjang lima halaman itu sebetulnya bisa diringkas jadi dua halaman saja.

            Ia menganga. “Kakak kok keren sih?”

            Aku tersipu-sipu. Belakangan aku aktif berburu esai dan jurnal yang membahas karya-karya fiksi. Kalau kamu sudah melalui masa menjadi mahasiswa dan mengerjakan skripsi, Nak, kamu akan terbiasa melakukannya. Dan andai dia tahu, teenlit garapanku itu kurancang agar unsur-unsurnya mengandung simbolisme dan alegori. Latarnya kukemas dengan budaya populer sekaligus lokal, sehingga pas benar dengan jargon think globally act locally. Untuk diksi, memang aku sengaja mengaduk-aduk KBBI. Tiap kalimat sebisa mungkin kubikin berima. Tidak lupa aku membaca Pengkajian Puisi dari Rachmat Djoko Pradopo untuk mengasah sensitivitasku dalam berbahasa. Konfliknya… Karakternya… Semua kubuat sedemikian rupa agar mewakili jiwa zamannya—zeitgeist!

            Dia melongo saja saat kuungkapkan pemikiranku itu.

Juga kukemukakan bagaimana sebuah teenlit seharusnya. Teenlit yang serius. “Aku bikin ini emang untuk anak-anak serius kayak kamu, Zeya. Bukan anak-anak yang melulu mikirin pacaran, fashion, nongkrong di mal, dan hal-hal ringan kayak gitu. Aku ingin bikin anak-anak seusia kamu memikirkan apa yang benar-benar mereka inginkan, yang terus menggali ke dalam dirinya sendiri, menemukan jiwanya yang sejati.”

“Wow. Kayaknya berat tuh, Kak.” Ia menahan napas. “Tapi keren.”

Selanjutnya kami mendengarkan lagu-lagu yang aku muatkan dalam novelku. Aku jelaskan padanya mengenai aliran psychedelic dalam musik, menganalisis perbedaan antara Tame Impala dengan Unknown Mortal Orchestra, membeberkan pengaruh jazz dalam musikalitas Chandra Darusman, sampai membandingkan mutu lirik lagu-lagu Indonesia dari dekade ke dekade yang mengalami penurunan.

Aku membiarkannya meminjam lebih banyak bukuku, terutama novel-novel para pemenang nobel sastra. Dia tidak tahu kalau tidak satupun dari novel itu yang sudah kubaca. Aku akan menelusuri ulasan tentang novel-novel itu di internet supaya tidak gagu amat kalau nanti dia ingin membicarakan. Aku membeli novel-novel itu dalam keadaan paketan, harga bantingan, dalam pameran yang aku sudah lupa tahun kapan. Mungkin saat aku masih SMA, saat aku masih menjadi gadis yang penuh mimpi sepertinya, yang memandang keren semua hal yang tidak ia mengerti, termasuk dirinya sendiri.

 

ZEYA aktif mengasah insting jurnalistiknya atau memang tabiatnya untuk selalu penasaran. Ketika Tian, akhirnya, pulang, Zeya menghampiriku dan bertanya, “Itu siapa, Kak? Cowoknya yaa?”

            “Bukan,” kernyitku, “cuman tetangga,” yang suka datang untuk pinjam uang atau sekadar membicarakan cuaca.

            Tapi topik yang paling membuatku jengah adalah mengenai adikku sendiri. Sebetulnya patut kusayangkan. Remaja seatraktif Zeya ternyata seleranya sangat tipikal macam adikku itu. Yang ganteng, kalem, dan pintar begitulah. Walau aku bisa mendaftar keburukan adikku sampai berlembar-lembar, tapi, mungkin tidak apa-apa kalau kubeberkan satu-dua.

 

NAMAKU Deshinta Belia.

            Sinta adalah istri Rama. Perempuan terhormat yang tidak bisa menangkap sendiri kijang yang diinginkannya, yang diculik raksasa lalu diselamatkan pasukan kera. (Yah. Tian memang kadang terlihat seperti kera raksasa sih.)

            Belia berarti harapan agar aku berjiwa muda-remaja selamanya, seperti anak SMA.

 

AKU sedang menulis novel baru. Aku ingin mengorek informasi dari Zeya mengenai tren di kalangan remaja sekarang. Ini novel yang kurencanakan untuk dikirim ke penerbit, jadi aku ingin membuatnya se-hip mungkin. Aku juga sudah menambah koleksi lagu. Karena Zeya sedang mendapatkan mata pelajaran Bahasa Jerman di sekolahnya, aku ikut mempelajari bahasa itu secara otodidak di rumah. Karena itu yang kuunduh adalah lagu-lagu berbahasa Jerman yang populer pada zamannya dari mulai “Mein kleiner grüner Kaktus” (Vienna Harmonists), “Sag Mir Wo Die Blumen Sind” (Marlene Dietrich), “Das Modell” (Kraftwerk), sampai “Be Cool Speak Deutsch” (Die Prinzen)… Banyak deh! 

            Siang menjelang sore, tiap adikku pulang dari sekolah, aku berharap ia membawa Zeya serta. Tapi sudah berminggu-minggu ini harapanku tidak terkabul.

            Aku pun menegur adikku.

            Ia membalas dengan merengut. Kurongrong ia terus.

            “Udah putus,” katanya ketus.

            “Kenapa?!” seruku ngeri. “Kenapa kamu sia-siain cewek kayak dia?!”

            Memang adikku itu lamban, kurang inisiatif, masih tidur sama mamanya, dan gemar menonton berulang-ulang pria-pria paruh baya main mobil-mobilan[1], tapi bukankah tanpa mengetahui sisi-sisi itu Zeya mengatakan kalau adikku sangat tipenya? Biarpun adikku mungkin mengecewakannya tapi bukankah sebagai gantinya ia mendapatkan kakak ipar yang asyik dan keren dan seru sepertiku?

            “Kamu sih,” serangnya. “Jangan di kamar aja makanya. Kawin… Kerja!”

            “Kamu kali, jadi cowok enggak becus!” balasku.

            Karena aku telah bertekad untuk menjadi seorang pekerja kreatif, maka aku mesti pandai memanfaatkan segala emosi menjadi bahan untuk berkarya. Maka, setengah jam bertukar bentakan dengan adikku cukup untuk memberiku bahan sekaligus informasi mengenai sebab yang membuatnya putus dengan ceweknya, yang kuakhiri dengan melemparinya pakai sepatu lantas ia kabur ke kamarnya, sedang aku sendiri duduk di kamar dan menulis cerita tentang Remaja Pemimpi yang berteman dengan Dewasa Sok Tahu. Pada mulanya, Remaja Pemimpi mengagumi teman barunya itu, walau tidak yakin harus memanggilnya “Kak” atau “Tante” mengingat jarak usia mereka yang, baru belakangan ia ketahui, memang sampai belasan tahun. Tapi kemudian Remaja Pemimpi merasa kalau Dewasa Sok Tahu terlalu asyik dengan dunianya hingga abai kalau rekening listrik dan air dan gas dan beras dan tempe dan tahu mesti dibayar, hingga khilaf kalau di dunia ini ada pekerjaan selain mencuci piring, menyapu, mengepel, menyetrika, menyiram tanaman, dan mengenang masa yang telah lama lalu lewat tulisan, hingga tidak sempat mencari pacar lain yang tidak mirip genderuwo. (Tian bukan pacarku!) Remaja Pemimpi pun khawatir hubungannya dengan Dewasa Sok Tahu akan memengaruhi nasibnya hingga berakhir seperti itu juga. Dewasa Sok Tahu ternyata hanya Dewasa Pemimpi! Remaja Pemimpi pun meninggalkannya dan berubah jadi Remaja Sok Tahu.

           

AKU juga tidak mau jadi diriku.[]



[1] Suka Top Gear juga?

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain