Ada masa ketika Dean
bisa memainkan Baby sebebas-bebasnya, sepuas-puasnya, tanpa harus memandang partitur,
tanpa takut akan dimarahi guru karena lagi-lagi jarinya salah pencet.
Tidak ada siapa pun
yang akan melihat kesalahan dalam permainannya. Toh dia sendiri tidak
memedulikannya. Ketika mendengar ada nada yang tidak pas, dia akan
melewatkannya begitu saja dan terus mengejar nada-nada baru yang berlarian di
dalam kepalanya.
Dia bisa seperti itu
sampai berjam-jam lamanya, mengabaikan apa pun yang terjadi di belakangnya.
Entahkah itu suara TV atau adiknya yang berteriak-teriak karena permainannya
terlalu berisik atau apalah.
Dia begitu terserap dan
hanyut dalam melodi yang mengalir deras seakan tidak mau berhenti. Tapi tentu
saja aliran itu sewaktu-waktu akan putus, berangsur-angsur atau mendadak.
Ketika itu terjadi,
barulah Dean meninggalkan Baby dan merasakan nyeri akibat tegang di pundak,
pergelangan tangan, dan jari-jarinya. Tapi itu nyeri yang selalu bisa
ditanggungnya, sebab dia akan mengulanginya lagi, lagi, dan lagi. Apalagi
ketika dia sedang bosan. Atau ketika dia pulang ke rumah dan tidak mendapati
siapa pun atau semua orang sedang sibuk sendiri-sendiri, sehingga tidak ada
yang bisa dia ajak main atau mengobrol.
Kadang piano itu yang
menarik keluarganya berkumpul.
Zara juga belajar
musik. Instrumennya biola. Ayah akan menyuruh mereka main sama-sama, atau Dean
mengiringi adiknya berlatih biola dengan piano. Kadang Ayah hanya akan meminta
Dean untuk mencoba memainkan lagu-lagu Sunda kesukaannya, dan merasa geli tiap
kali nada yang diketuk tidak pas. Lama-kelamaan Dean bisa menghasilkan serentet
nada yang enak didengar, entahkah persis dengan lagu aslinya atau tidak. Ayah
akan mendengarkannya sambil duduk anteng di sampingnya dan menikmati.
Bunda juga belajar
piano sewaktu seumuran Dean, tapi tidak meneruskan. Dean suka mengetes ingatan
Bunda akan lagu-lagu yang dulu pernah ia pelajari. Bunda akan memainkannya
dengan tertatih-tatih, sementara di sampingnya Dean merasa yakin bahwa dia
mampu memainkannya dengan lebih baik.
Deraz juga belajar
piano sewaktu kecil, tapi kemudian ia lebih tertarik pada gitar. Kadang ia dan
Dean memainkan bersama-sama lagu apa saja yang mereka berdua tahu. Sering kali
itu lagu yang sedang diulik Deraz dengan gitar, sementara Dean menyesuaikan
saja. Mereka menyebutnya nge-jam.
Tapi sering juga
terjadi ketika Dean sedang asyik-asyiknya bermain bersama Baby, Bunda
mendekatinya, mengingatkannya untuk mengerjakan PR atau menyiapkan ulangan.
Kalau Dean tidak segera menurut, Bunda mengancamnya dengan, “Entar pianonya
dijual lo. Mau?”
.
Hari itu, ketika Acil
memberi tahu bahwa mereka akan mengerjakan tugas kelompok di rumah Zahra, Dean
langsung menanggapi, “Mau, mau!”
“Emang enggak ada
acara, kamu, Yan? Biasanya ada melulu kamu tuh,” kata Salman.
“Yah, sekali-kalilah,
hehehe.”
Ngebenerin nilai dimulai dari enggak mangkir tugas kelompok, tambah Dean dalam hati.
“Alhamdulillah. Dia
insaf.” Acil berbisik pada Salman yang lantas mengangguk-angguk.
Selama ini apabila
kelompok mereka mendapat giliran presentasi, Dean yang jarang ikut mengerjakan
tugas hampir selalu mendapat peran sebagai operator atau moderator. Sebisa
mungkin dia tidak dijadikan presentator karena sudah pasti tidak menguasai
materi presentasi, begitu pun pencatat notula karena tulisan tangannya yang
menyerupai cacing jingkrak. Tapi kadang guru menunjuk Dean untuk mempresentasikan.
Teman-teman sekelompoknya pun hanya bisa pasrah menyaksikan presentasi tugas
mereka malah menjadi acara lawak.
Rumah Zahra berjarak
kurang lebih sepuluh menit jalan kaki dari Smanson, sehingga sering dijadikan
tempat mengerjakan tugas oleh kelompok tersebut. Dibandingkan dengan kosan
Salman yang sebetulnya berjarak lebih dekat dari sekolah, ruangan di rumah
Zahra lebih luas. Mereka juga merasa lebih leluasa.
Di garasi mereka
bertemu Kang Lutung yang sedang mengutak-atik mesin di bawah kap mobil.
“Udah pulang, Kang?”
tegur Acil sebelum memasuki bagian dalam rumah Zahra.
“Iya, tadi pelajaran
terakhir enggak ada,” ujar kakaknya Zahra itu. “Eh, kok ada si Dean sih?
Tumben!”
“Hehehe….”
Barangkali pertama dan
terakhir kalinya Dean mengunjungi rumah itu adalah ketika mereka bersepakat
untuk menonton film dulu di DVD baru mengerjakan tugas. Film berjudul Taegukgi yang berlatar perang saudara
antara Korea Selatan dan Korea Utara itu mengingatkan Dean akan dirinya dan
Deraz. Begitu film itu selesai, mendadak timbul keinginannya memainkan Baby.
Dean pun pamit pulang, meninggalkan teman-temannya yang baru mulai membicarakan
tugas.
Dean lupa kapan itu
terjadi.
Mereka menaiki tangga
menuju lantai dua. Di situ terdapat sebuah ruangan yang cukup lega. Di satu
sisi tampak TV dan sofa—tempat mereka menonton Taegukgi kapan itu. Di sisi lain terhampar karpet dengan meja
rendah di atasnya—tempat mereka menaruh tas dan berselonjor. Ada pula lemari
berisi buku dan majalah, komputer, serta—Dean terbelalak—kibor? Meski tertutup
oleh plastik tebal dan buram, pada benda itu tampak bayangan baris-baris
hitam-putih yang menyerupai tuts. Kaki-kakinya yang ramping bersilangan pun
tidak lepas dari pengamatan Dean. Mengapa dia tidak memerhatikan ada benda itu
sewaktu pertama dan terakhir kali ke rumah Zahra? Waktu itu dia tidak menyangka
bakal kehilangan Baby!
Sini… sama Aa… batinnya mulai berisik.
Ketika teman-temannya
mengajaknya untuk salat zuhur berjamaah, ketika Zahra membawakan cemilan dan
minuman untuk mereka, ketika diskusi sudah dimulai, perhatian Dean
sedikit-sedikit teralihkan pada kibor.
Dean baru bisa
melupakan benda itu setelah teman-temannya berbagi tugas dan dia membantu
mereka mengerjakannya.
Sepulang dari rumah
Zahra, Dean berjalan bersama Acil, Rani, dan Salman menuju tempat menyetop
angkot sambil mengobrol-obrol.
Dean baru tahu bahwa,
teman-temannya itu rajin berkumpul bukan cuma untuk mengerjakan tugas kelompok.
Sesekali mereka juga mengerjakan PR dan mempersiapkan ulangan bersama-sama.
Yang bersemangat mengadakan kelompok belajar itu mula-mula adalah Salman.
“Aku kan pingin masuk
ITB, Yan. Makanya dari SMA aja aku sekalian di Bandung, biar dapet
‘suasana’-nya, gitu,” Salman menjelaskan. “Apalagi kalau ada kakaknya Zahra,
kan bisa sambil tanya-tanya tuh. Kang Luthfi juga katanya mau masuk ITB.
Jadinya kan bisa belajar bareng.”
ITB, lagi, pikir Dean, ingat pada Rio, yang orang tuanya ingin supaya
anak mereka itu kuliah di kampus tersebut. Ada
apa sih dengan ITB?
Acil menyambung, “Enak,
Yan, belajar bareng mah. Kalau mau ulangan, bisa sharing mana aja yang kira-kira bakal keluar. Ada yang ngingetin
juga kalau ada materi yang kelewat. Terus, kalau PR, pulang-pulang udah kelar
atau tinggal ngerjain sisanya aja, yang gampang-gampang. Nyampe rumah tinggal
main deh, kalau enggak tidur. Apalagi di kelompok kita ada Zahra. Rajin dia
mah. Apa aja dicatat.”
.
Maka itulah jawaban
yang Dean berikan ketika Bunda, untuk kesekian kalinya, menawarinya ikut les
tambahan pelajaran. Malam itu Dean menceritakan pada Bunda tentang teman-teman
sekelasnya yang membentuk kelompok belajar. Di antara teman-temannya itu yang
paling rajin dan pintar adalah Zahra. Dean tidak lupa menyebut hasil berbagai
ulangan Zahra yang dia ingat, yang rata-rata tujuh ke atas. Selain itu, sewaktu
MOS Zahra termasuk Gugus 1, yang merupakan kelompok dengan nilai UN tertinggi.
Bunda mendengarkan
cerita Dean tentang teman-temannya dengan khawatir. Bunda tahu bahwa sejak
kecil Dean suka memanfaatkan orang lain demi kepentingannya sendiri, khususnya
dalam mengerjakan PR. Pernah suatu kali ia mendapati Zara menahan tangis
sewaktu sedang mengerjakan PR. Ketika ditanya sebabnya, Zara menjawab, “Enggak
bisa ngerjain…. Enggak jadi pinter….”
“Coba Bunda lihat.”
Bunda mau membantu. Ketika melihat tulisan tangan yang khas di buku tulis yang
dihadapi Zara, lalu membolak-balik sampulnya, tahulah ia bahwa bungsunya itu
tidak sedang mengerjakan PR-nya sendiri, tapi PR Dean.
“Kata Dean, kalau bisa
kerjain soal ini, entar tambah pinter,” ujar Zara.
“Enggak apa-apa, Sayang.
Ini soal memang bukan buat Zara. Nanti kalau Zara udah kelas empat, Zara pasti
bisa ngerjainnya. Kalau sekarang belum bisa, enggak apa-apa, Zara tetep anak
pinter. Kerjain aja PR Zara sendiri. Ini PR Dean, biar Dean kerjain sendiri,”
begitu Bunda menenangkan Zara.
Ketika bertemu Dean
yang ternyata habis main, langsung saja Bunda mengomelinya.
Meski begitu, Dean
tidak kapok. Sesekali dia masih menawarkan PR-nya pada Zara, sambil memotivasi
adiknya itu supaya tambah pintar. Karena dasarnya memang suka belajar, Zara
menganggap PR Dean sebagai tantangan. Ketika berhasil mengerjakannya, ia merasa
bangga. Ketika tidak berhasil, ia sudah tahu mesti apa. Ia tidak menangis lagi,
tapi mencak-mencak pada Dean. “Enggak tahu malu! Kerjain sendiri dong PR-nya!”
Tidak heran kalau Zara
selalu menjadi juara kelas, sementara Dean sering terancam tidak naik kelas.
Dean juga sering
berbuat sama pada Deraz. Sikap Deraz sama saja dengan Zara, malah tidak pernah
pakai protes.
Maka kata Bunda,
“Zahranya mau enggak sama kamu?”
“Anak Bunda ganteng
gini, ada yang enggak mau?”
Bunda tidak tersenyum.
Malah ia terpikir dugaan lain. “Atau jangan-jangan, Zahra itu teman spesialnya
Dean?”
“Iya, atuh, Bun, anak rajin gitu mah spesial.”
“Lo, nanti malah banyak
pacarannya daripada belajarnya.”
“Enggak pacaran,
Bunda,” Dean menyanggah. Belum ada yang dapat menggantikan posisi Rieka di
hatinya! Lagi pula, “Zahra mah alim, Bun, pendiam orangnya. Jilbaban juga.
Jarang deket-deket sama cowok. Enggak akan pacaran orang kayak dia mah. Terlalu
serius belajarnya.”
“Nah, apalagi kalau
kayak gitu. Entar Dean jadinya malah ganggu.”
“Enggak atuh, Bun. Kan ada temen-temen lainnya
juga.”
“Gini aja. Sama temen
iya. Sama guru juga iya. Guru Dean ada kan yang ngadain tambahan?” Bunda sudah
mencatat nama dan kontak guru-guru tersebut. Ia memperolehnya setelah
berkonsultasi dengan wali kelas Dean saat pembagian rapor semester ganjil
kemarin. “Atau kalau mau manggil yang privat ke rumah juga boleh. Siapa tahu
setelah les sama guru malah Dean yang bisa bantu temen-temennya.”
“Kalau sama temen mah
lebih semangat, Bun. Pokoknya entar Bunda lihat aja deh.”
Bunda tentu saja tidak
puas, tapi saat itu ia pikir daripada memaksakan lebih baik mendukung. Toh
setidaknya Dean sudah ada kemauan untuk belajar di luar sekolah.
“Tapi yang bener, ya,
belajarnya. Temen-temennya jangan malah ditinggal main. Kalau nilai-nilai Dean
masih belum ada peningkatan juga, Dean ikut les, ya?”
“Iya…. Gimana entar aja
deh, Bun….”
“Bukan gimana entar,
tapi entar gimana!”
“Iya….”
“Ya udah. Sekarang
belajarnya sama Bunda dulu. Mana PR-nya? Ada ulangan enggak?”
“Besok aja deh, Bun,
sama temen-temen.”
“Dean…!”
.
Hari demi hari Dean
mengidamkan kibor di rumah Zahra. Kibor itu melayang-layang di dalam kepalanya,
terus-menerus berkata, “Dean…. Main, yuk…” dan mendemonstrasikan sendiri
kemampuannya. Ia mampu menghasilkan lebih banyak suara daripada Baby yang cuma
piano, meskipun jumlah tutsnya lebih sedikit. Ia tidak hanya bisa menjadi
piano, tapi juga biola, gitar, suling, perkusi, simbal, drum, harpa, harmonika,
dan berbagai alat musik lainnya, dan semua itu bisa terjadi hanya dengan
memencet-mencet tutsnya! Ia lebih canggih!
Ketika hari berganti
menjadi minggu, Dean pun menegur Acil yang ketua kelompok. “Mana belajar bareng
teh?”
Sesaat Acil merasa
heran karena Dean bertanya soal “belajar”. Kalau urusan itu, anak itu kan
biasanya suka menghindar!
“Lagi pada sibuk,” kata
Acil. Salman sedang menyiapkan diri untuk menghadapi olimpiade Fisika, dan
kadang ia berlatih bersama anak-anak VG untuk mengikuti perlombaan. Rani sedang
menjalani pendidikan latihan bersama anak-anak Pamanson. Acil sendiri sedang
menggiatkan gerakan hijau di sekolah bersama ekskulnya, dan di luar sekolah ia
anggota aktif komunitas pengamat burung.
Dean juga biasanya
kalau tidak sedang aktif nongkrong di
sekitar Tenis Net, ya sibuk main ke
tempat-tempat gaul di Kota Bandung. Tapi ketika dia sadar untuk memilih belajar, teman-temannya malah lebih
mementingkan dunia masing-masing. Dean merasa sedikit kecewa.
“Kamu sendirian aja ke
Zahra,” usul Acil. “Dia mah kayaknya enggak ikutan apa-apa, sibuk di rumah
aja.”
Dean pun menuruti saran
Acil. Siang itu seusai jam sekolah, dia mencari-cari Zahra. Kalau tidak ada
piket atau tugas kelompok, biasanya Zahra langsung pulang, begitu kata Acil.
Dean pun menyusul cewek itu yang sedang berjalan sendirian menjauhi sekolah.
Zahra tampak kaget
ketika Dean tahu-tahu menegur dari belakang. Sepertinya dari tadi Dean
mengikutinya. Zahra merasa agak ngeri.
“Ikut dong ke rumah
kamu,” kata Dean.
Seperti biasanya, Dean
sangat ramah. Tapi kali ini pun entah kenapa Zahra merasa perlu curiga dan
waspada pada anak yang sering ada maunya ini! “Kenapa?” tanya Zahra.
“Kamu mau kan bantuin
aku belajar?”
Zahra mengernyit.
Dean segera
melanjutkan, “Daripada aku ngelihat PR kamu terus, kamunya jadi sebel
lama-lama, mending kita ngerjainnya sama-sama. Kamu ajarin aku cara
ngerjainnya. Akunya jadi ngerti. Kamunya tambah pinter.”
Zahra sama herannya
dengan Acil ketika Dean menyebut-nyebut soal “belajar”. Tapi gagasan itu
kedengarannya baik. Boleh dicoba.
“Ya udah,” kata Zahra.
“Sekarang?”
“Hayuk!” Dean
semringah. Dia pun menjejeri langkah Zahra dengan ringan.
.
Begitu sampai di rumah,
Zahra ingin mengganti seragamnya dulu. Kamarnya di lantai bawah. Dean pun naik
sendiri ke ruang tengah di lantai dua. Sama seperti ketika di lantai bawah,
suasana di situ pun sepi saja. Dean menaruh ranselnya di karpet, dan berpaling
pada kibor di sisi lain ruangan. Seperti ada kekuatan besar yang menariknya
untuk mendekat. Dean pun terseret. Dia hampir membuka plastik penutup kibor itu
ketika Zahra datang. Dean segera mendekati Zahra.
“Mau kerjain PR yang
mana dulu?”
“Ada PR apa aja gitu?”
“Kamu nyatet?” Melihat
tampang Dean, Zahra sadar bahwa itu pertanyaan yang tidak perlu. “Besok ada
Matematika,” ucap Zahra lagi.
Hari itu tidak ada
pelajaran Matematika, sehingga Dean tidak membawa buku teksnya. Zahra
meminjamkan miliknya untuk dipakai bersama. Dean pun menggunakan bagian
belakang buku tulis Basa Sunda untuk mengerjakan PR itu.
“Coba kerjain sendiri
dulu. Entar kalau ada yang enggak ngerti baru tanya aku,” kata Zahra.
“Oke,” sahut Dean.
Mereka mengerjakannya
sambil lesehan di karpet, beralaskan sebuah meja bundar pendek yang cukup
besar.
Setelahnya berlangsung
dengan lancar. Sedikit-sedikit Dean bertanya dan Zahra menjelaskan. Dean lalu
mengulang penjelasan itu sambil meneruskan pekerjaannya, dan sedikit-sedikit
Zahra membetulkannya. Untung PR-nya tidak banyak.
“Buat besok PR-nya itu
aja. Kalau yang buat besok-besoknya lagi sih ada banyak,” kata Zahra.
“Entar dulu aja deh,”
Dean mengerang.
Zahra membuka notesnya
yang penuh berisi catatan PR, ulangan, dan sebagainya, cuma untuk memastikan
bahwa betul, “Besok ada ulangan Fisika. Kalor.”
“Fisika udah ulangan
lagi?” Dean merasa semester ini baru beberapa minggu saja berlalu. “Apa tadi teh? Kalorwewe?”
“Kalor aja.” Zahra
merengut.
“Yang keluar apa aja?”
“Kamu nyatet enggak?”
Melihat tampang Dean… lagi-lagi pertanyaan yang tidak perlu, Zahra! Zahra
mengeluarkan buku tulis Fisika miliknya. “Kita hafalin aja konsep-konsepnya,
belajar dari PR yang kemarin, sama kerjain soal-soal di buku pelajaran.”
Dean bengong sesaat,
lalu, “Ikut aja deh.”
Zahra membacakan
rangkumannya poin per poin, lalu Dean mengulanginya atau mengangguk-angguk saja
dan bertanya ketika ada yang kurang dimengerti. Zahra mulai berpikir, Sebenernya Dean enggak bodo-bodo amat.
Sementara itu Dean berpikir, Moga-moga
masih inget sampai besok, jadi di rumah enggak usah belajar lagi, Ya Allah…
aamin…!
Ketika sedang khusyuk-khusyuknya
itulah tahu-tahu “Karedok Leunca” Dean berbunyi.
“Permisi sebentar, ya,”
kata Dean. Dia mengangkat teleponnya sambil menjauh ke pintu di pojok ruangan
yang mengarah ke tempat jemuran. Telepon itu dari Bunda. Bunda bertanya Dean
sedang ada di mana. “Lagi di rumah Zahra. Belajar buat ulangan besok, Fisika,”
jawab Dean dengan bangga.
“Oh, belajar sama
Zahranya jadi?” sahut Bunda.
“Jadi dong.”
Tahu-tahu Bunda ingin
mengobrol dengan Zahra. Dean pun menyerahkan ponselnya pada Zahra. Cewek itu
tampak kaget dan ingin menolak, tapi Dean menyodorkannya terus.
“Tenang aja, Zahra,
sama kamu mah Bunda enggak bakalan marah-marah.”
Zahra menerima ponsel
Dean dengan ragu-ragu. Lalu ia ikut-ikutan menjauh ke dekat tempat jemuran
seperti Dean tadi.
Sementara itu Dean
kembali mengendap-endap ke kibor. Dia mengamati kibor itu agak lama, lalu
menyelipkan jari-jarinya di bawah plastik penutup. Dengan menekankan
jari-jarinya pada setiap tuts, dia menghitung jumlah tuts putih dan tuts hitam
yang masing-masing totalnya 36 dan 25. Tuts-tuts itu terasa lebih ringan di
jarinya ketimbang tuts-tuts pada Baby. Jumlahnya juga lebih sedikit, tapi tentu
saja lebih banyak daripada yang ada pada pianika.
Dean menoleh ke
belakang. Zahra masih mengobrol dengan Bunda sambil memunggunginya. Entah apa
saja yang mereka bicarakan sampai rasanya begitu lama.
Pelan-pelan Dean
mengangkat plastik penutup kibor ke sandaran partitur. Sepintas-sepintas, dia
membaca tulisan yang menyertai tombol-tombol pada kibor itu, baik yang berbentuk
bulat maupun yang persegi panjang, berukuran besar maupun kecil, serta berwarna
hitam maupun putih. Setelahnya dia memandangi tombol-tombol kotak dan persegi
panjang di sekitar layar di sebelah atas yang entah apa gunanya. VOICE CONTROL?
ONE TOUCH SETTING? MULTI PAD CONTROL? REGISTRATION MEMORY? STYLE CONTROL?
(Keterangan-keterangan tersebut memang tercetak di badan kibor dalam huruf
besar!) Tapi kemudian imajinasinya mulai mengetuk-ngetuk, membayangkan apa saja
kira-kira yang bisa diperbuat oleh tombol-tombol itu. Jangan-jangan tombol yang
ini bisa mengendalikan robot dari jarak jauh. Jangan-jangan tombol yang itu
kalau dipencet bisa meledakkan bumi.
Tentu bukan sekali ini
Dean melihat kibor. Tapi rasanya sudah berabad-abad lalu sejak terakhir kali
dia memerhatikan alat musik semacam itu. Waktu itu dia masih SMP dan akan
melaksanakan ujian praktik pelajaran Seni Musik. Tiap anak boleh membawa alat
musik sendiri-sendiri atau menggunakan yang disediakan sekolah. Karena Baby
terlalu berat untuk digotong ke sekolah, Dean pun memilih alat musik yang
tersedia, yaitu kibor yang penampakannya mirip. Tombol-tombol pada kibor yang
waktu itu dengan kibor yang kali ini tampak berbeda, baik bentuk, ukuran,
maupun warnanya.
Ketika mendengar Zahra
berkata, “Iya, Tante. Sama-sama,” Dean buru-buru menurunkan plastik penutup
kibor itu dan kembali ke tempatnya semula. Dia mengambil catatan Fisika Zahra
dan membaca buku tulis itu di pangkuannya, tanpa memahami isinya sedikit
pun—padahal sedari tadi itulah yang Zahra terangkan padanya!
.
Ketika Zahra
mengembalikan ponselnya, Dean bertanya, “Ngomongin apa aja tadi sama si Bunda?”
Jawab Zahra sambil
memandang Dean dengan muram. “Kasihan ibu kamu.”
Tadi lewat telepon
Bunda minta tolong pada Zahra untuk membantu Dean sebisa mungkin. Kalau nilai-nilainya semester ini enggak
berubah, atau malah turun dari semester kemarin, bisa-bisa dia enggak naik
kelas, begitu kata Bunda pada Zahra. Kalau
belajar sama Tante susahnya minta ampun. Deannya enggak bisa fokus. Mesti
diingetin berkali-kali buat kerjain PR atau nyiapin ulangan. Makanya Tante
bersyukur banget Dean akhirnya mau belajar sama temennya. Syukur lagi kalau
Zahra mau bantu.
Zahra diam saja ketika
Dean terus bertanya-tanya. Ia malah mengajak Dean untuk langsung saja
mempelajari soal-soal di PR kemarin. “Kamu masih inget cara ngerjainnya?” tanya
Zahra. Melihat tampang Dean, malah Zahra yang ingat bahwa anak itu cuma
menyalin PR-nya kemarin—seperti biasanya.
Zahra menguatkan diri
dengan berpikir bahwa membantu teman belajar akan berguna juga bagi dirinya.
Pemahamannya terhadap materi yang dibahas akan semakin bertambah. Toh tadi ia
sendiri yang bilang begitu pada ibunya Dean. Bunda setuju dan bilang, “Iya,
Zahra, yang mengajar dan yang diajar itu kan sebetulnya sama-sama belajar.” Bunda
lalu menceritakan pengalamannya dalam mengajar mahasiswa. Zahra jadi tahu bahwa
ibunya Dean ternyata dosen di Fakultas Kedokteran, di kampus negeri favorit
pula!
“Minimal kamu dapat
tujuh pas ulangan besok biar enggak usah remedial,” kata Zahra.
“Tujuh?” Dean
terperangah. Jaraknya seperti ke angkasa!
Sampai sore mereka
mengerjakan ulang soal-soal PR kemarin, atau, lebih tepatnya, Zahra menuntun
Dean agar mengerjakannya sendiri untuk pertama kalinya, sedikit demi sedikit,
sambil memahami konsepnya. Tiap setengah jam, rata-rata dua soal saja yang
berhasil mereka selesaikan. Itu juga karena Zahra sadar waktu.
Benar yang dikatakan
ibunya Dean. Anak itu susah fokus. Kadang dia seperti yang larut dalam
pikirannya sendiri. Kadang dia pintar sekali mengalihkan pembicaraan. Misalnya,
sewaktu Zahra membahas perbedaan antara Celcius, Fahrenheit, dan Kelvin, Dean
menyambungkannya dengan perbedaan cuaca antara Bandung dan Boston—tempat dia
pernah tinggal sewaktu kecil. Ibunya Dean pernah tinggal cukup lama di Boston
untuk melanjutkan kuliah dan melakukan penelitian. Lalu tahu-tahu mereka
membicarakan tentang cara mencegah jerawat. Ternyata, selain dosen, ibunya Dean
juga dermatolog. Dean tahu sedikit-sedikit tentang ilmu ibunya itu. “Buat
cowok, menjaga kesehatan kulit itu juga penting, biar tetep ganteng,” saat Dean
berkata begitulah Zahra ingat untuk mengembalikan topik ke jalurnya semula.
Akhirnya, setelah
mengamati gelagat Dean dan mengingat titah mamanya, Zahra berkata, “Aku mau
nyapu dulu deh.”
Dean menyahut sambil
berusaha menahan kelegaan yang luar biasa, “Oke.”
“Terus kamunya gimana?”
“Gimana apanya?”
“Mau lanjutin sendiri
di rumah atau nerusin di sini, tapi nanti, habis magrib palingan?”
Untuk pilihan yang
pertama, kemungkinannya 0%. Sejak tadi saja Dean sudah menahan kuap
berkali-kali, juga rindu pada bantal dan selimutnya di rumah. Dia pasti akan
langsung terjun ke kasur sesampainya nanti. Maka Dean menggeleng. Lagi pula…
bukannya dia ada maksud lain?
“Enggak apa-apa
emangnya kalau sampai malam?”
“Asal enggak sampai
malam banget aja.”
“Oke.” Dean terdiam
sebentar, lalu, “Sambil nunggu kamu, boleh enggak,” Dean menuding ke belakang,
“mainin kibor kamu? Kayaknya dia butuh kehangatan.”
Zahra mengernyit dan
berujar, “Terserah.”
“Makasih, Zahra!” Dean
tersenyum selebar mungkin.
.
Ruangan yang lega itu
kini benar-benar sepi. Sepertinya untuk beberapa waktu Dean akan bisa bermain
tanpa sungkan-sungkan. Dean sudah tidak sabar lagi!
Serpihan debu melapisi
plastik penutup kibor itu. Dean mengangkat plastik itu dari tepiannya dengan
hati-hati. Hei, kenalan yuk, sama Aa….
Dia menyampirkan plastik itu pada pundak sofa. Lalu dia mengambil kursi lipat
yang semula bersandar pada dinding di samping meja komputer. Setelah duduk di
kursi itu, dia mencari-cari steker kibor dan menancapkannya pada lubang aliran
listrik. Lalu dia mencari-cari kata ON dan menekan tombol bulat yang disertai
keterangan tersebut. Tatapannya pindah ke sekumpulan tombol persegi panjang di
sebelah kanan badan kibor. Dia menekan salah satu tombol yang di sisinya
tertera kata PIANO. Udah? Belum? Jarinya
memencet salah satu tuts.
“TEEE…NG.”
Bunyinya tidak semerdu
Baby, tapi tidak apalah. Dean meneruskan percobaannya. Dia menjatuhkan
kelingkingnya di atas tuts putih yang terletak di ujung kiri, lalu jari manisnya
pada tuts putih di sebelahnya, lalu jari tengahnya pada tuts putih di
sebelahnya lagi, dan seterusnya hingga kelima jarinya telah menyentuh kelima
tuts paling kiri. Lalu dia memulai lagi dengan kelingking di atas tuts yang
keenam, lalu jari manisnya pada tuts yang ketujuh, dan seterusnya, dan
seterusnya. Tiap-tiap nada yang meloncat dari pijakan jarinya menyusup ke
lorong telinganya dengan lembut sampai terasa menggetarkan tengkuk. Setelah
semua tuts putih telah diuji, dia melanjutkan pemeriksaannya pada barisan tuts
hitam. Lagi, dia mencobakan satu per satu jarinya pada satu per satu tuts yang
menanti. Dean mengangguk-angguk tapi belum puas. Lalu dia mencoba dengan
beberapa jari pada kedua tangannya sekaligus. Dua jari. Tiga jari. Empat. Lima…
Sepuluh. Dean tersenyum sambil mengangguk-angguk lagi.
Lalu Dean mengetukkan
keenam jarinya. Masing-masing jari pada satu tuts. Tiga jari tangan kiri dan
tiga jari tangan kanan. Ibu jari, jari tengah, dan kelingking. Ibu montok, ayah
jangkung, dan anak mereka yang masih kecil. Dean sering membayangkan mereka
sebagai dua keluarga yang riuh. Kadang mereka tampak kompak. Kadang tidak akur.
Kadang mereka anteng di kediaman masing-masing yaitu di sisi kanan dan sisi
kiri papan tuts. Kadang berantem hingga terjadi kejar-kejaran, bahkan
jumpalitan. Sesekali si sulung atau si tengah—jari manis atau telunjuk—pulang
kampung dan meramaikan kehebohan antar dua keluarga. Dean pun menjadi kerepotan
mengendalikan mereka. Tapi ini kerepotan yang menyenangkan—menggairahkan! Dalam
kepalanya, langkah-langkah yang dihasilkan oleh jari-jemari itu—baik lambat
atau cepat maupun lembut atau menghentak—menjadi percakapan, perdebatan,
pertengkaran, perdamaian….
Kadang jari-jari bandel
itu menurut saja pada kehendaknya, berganti menyimak isi hatinya. Bahu-membahu
mereka membantu Dean mengeluarkan musik yang entah dari kapan
mendenging-denging di dalam benaknya. Melodi-melodi baru bermunculan.
Melodi-melodi lama, yang telah dikeluarkan pada kesempatan bermain sebelumnya,
datang kembali seakan tidak ingin dilupakan. Menyusul kemudian melodi-melodi
yang semalam diulik Deraz dengan gitar sementara memori Dean menyerapnya dengan
nikmat. Dean tidak tahu lagu siapa itu dan tidak peduli tapi dia tetap
memainkannya. Ketika ingatannya akan melodi itu terputus, dia menyambungnya
dengan improvisasi seenak hati. Lalu dia mendengar lagi dentang-denting yang
timbul ketika bersama Rieka di angkot. Aliran nada itu memijat-mijat otaknya
dengan kelembutan yang melenakan. Tarian jemarinya makin tidak keruan.
Dean tidak menyadari
bahwa selama itu ada yang mondar-mandir di belakangnya. Ada saudara-saudara
Zahra yang baru pulang, masuk ke kamar mereka masing-masing, lalu keluar lagi
sambil melihat Dean yang sedang asyik sendiri. Dean sempat terhenti sebentar
dari permainannya ketika ruangan mendadak terang-benderang. Dia mengangguk pada
Kang Lutung yang barusan menyalakan lampu, dan dibalas dengan anggukan juga. “Mangga, diterusin,” kata Kang Lutung.
“Iya, Kang,” dan Dean pun menurut dengan amat patuh.
.
Dean baru benar-benar
menghentikan permainannya ketika terdengar azan magrib. Dia melihat Kang Lutung
berdiri di belakangnya sambil memasang sarung.
“Kamu bisaan, ih,
mainnya.”
“Hehehe….”
“Eh, sebetulnya…” kata
Kang Lutung tiba-tiba, tapi lalu terdiam.
Karena Kang Lutung
terdiam sampai lama, Dean bertanya, “Apa, Kang?”
“Enggak jadi ketang.” Kang Lutung seakan mau melengos
tapi tidak jadi.
Ucapan Dean menahannya.
“Ih, apa atuh, Kang?”
“Gimana, ya….” Kang
Lutung tampak ragu.
“Bilang aja atuh, Kang.”
“Bilang, ya?”
“Iya atuh!” Dean telanjur penasaran!
“Tapi saya salat dulu,
ya, biar tenang ngomongnya. Kamu ikut salat enggak?”
“Iya, iya, Kang!” Dean
menyahut.
Dean pun ikut salat di
musala keluarga itu bersama-sama Zahra, mamanya Zahra, adiknya Zahra yang masih
SMP, kakaknya Zahra yang kelas XI di Smanson, dan Kang Lutung sebagai imam.
Sehabis makan malam bersama sambil beramah-tamah dengan keluarga Zahra yang
rata-rata pendiam, barulah Dean dan Kang Lutung menyepi lagi.
“Ini, ada yang butuh
bantuan,” kata Kang Lutung.
“Bantuan apa gitu,
Kang?”
“Aduh, tapi takut
kamunya jadi repot euy. Nanti enggak
enak.”
“Yee, apa dulu atuh, Kang, apa yang mau dibantuin?
Kalau saya emang bisa bantu mah, enggak apa-apa.”
“Bener, enggak
apa-apa?”
“Bener…!”
“Tapi bukan sama saya.”
“Siapa atuh?”
“Itu, ada kakek-kakek,
nyariin pemain kibor. Dianya mah main gitar. Masih belajar. Dia pingin ada yang
nemenin dia belajar musik. Dianya ngegitar, yang nemeninnya pakai kibor. Biar
rame, katanya. Daripada main sendirian terus, kurang semangat. Cuma belum nemu
orangnya teh. Kalau manggil guru lagi
kan harus bayar. Sayang kalau maksudnya cuma buat ngelancarin mah. Yah, udah
mah tua, pelit lagi. Jadi gitu, Dean, enggak dibayar.”
“Oh….”
“Kamu mau enggak,
kira-kira?”
“Kalau main kibor mah,
hayuk we, atuh, Kang, kenapa pakai harus dibayar segala?”
“Siapa tahu aja kamu
lagi butuh.”
Dean menyengir, merasa
mulai melihat titik cerah. “Oh, soal itu mah…” memang iya, tapi bukan soal
duit!
“Habis ini kita ketemu
sama orangnya.” Kang Lutung memandang Dean dengan saksama seakan mau memastikan
sesuatu. “Kamu yakin?”
“Kenapa gitu?”
“Kalau misalnya cocok,
kamu mau ke sini lagi cuma buat main kibor?”
Dean ingin tertawa. Dia
sudah tidak sabar. “Hayuk, Kang, hayuk.” Dia masih ingat satu lagi peribahasa
yang muncul pada UN Bahasa Indonesia sewaktu SMP: Pucuk dicinta, ulam pun tiba!
.
Kang Lutung mengajak
Dean ke paviliun di samping rumah. Ketika pintunya terbuka, tampaklah seorang
kakek-kakek berkepala nyaris botak sedang menonton sinetron.
“Katanya mau ngegitar?”
tegur Kang Lutung.
Kakek itu menoleh pada
mereka dengan tampang masih serius, sambil menegakkan tubuhnya. “Iya, ini juga
lagi istirahat sebentar,” katanya, lalu kembali memandang TV.
“Kek, ini kenalin,”
Kang Lutung menggiring Dean semakin dekat pada kakek itu. “Namanya Dean, temennya
Zahra.”
Dean mengulurkan tangan
kanannya dan tersenyum. “Dean, Kek.”
“Kakek,” sambut kakek itu
sementara Dean menyalaminya.
“Dean ini pinter, Kek,
main kibornya.”
“Hm.” Kakek itu tampak
mulai tertarik dan menatap Dean, tapi sesekali pandangannya masih teralih pada
TV.
“Kakek sama dia aja,”
sambung Kang Lutung.
“Kenapa?”
“Coba deh dengerin dia
main.”
“Ya udah,” kata Kakek.
“Bawa atuh kibornya ke sini.”
Kang Lutung pun pergi.
Kakek mengecilkan volume TV dan mengajak Dean duduk di sofa di sampingnya.
“Kamu dari kapan
belajar kibor?” tegur Kakek.
“Dari tadi,” jawab Dean
dengan jujur.
“Heh? Hehehe.” Kakek
terkekeh.
“Kalau belajar piano
udah dari umur lima-enam tahun, pas masuk SD,” sambung Dean.
“Oh, jadi biasanya main
piano. Jago atuh. Sering ikut
lomba-lomba gitu enggak?”
“Enggak pernah.”
Kakek terkekeh lagi.
“Les pianonya cuma
beberapa tahun, terus keluar. Udahnya palingan main sendiri aja,” kata Dean.
“Bagus, bagus….” Kakek
manggut-manggut, lalu bertanya lagi, “Kalau main rame-rame suka juga enggak?”
“Sesekali,” kata Dean,
mengingat pengalamannya bermain bersama keluarganya.
“Punya band, gitu?”
Dean menggeleng. Dia
tidak pernah punya band. Tidak pernah
tertarik. Entah mengapa. Dia juga baru menyadarinya. Deraz saja yang sudah
membentuk band sejak SMP pernah mengajaknya
ikut, tapi dia menolak.
“Kakek juga sempet
manggil guru mah, tapi sebentar aja. Pas udah tahu dasar-dasarnya, kunci A,
kunci G, kunci D, dan seterusnyalah, ya udah, nyoba sendiri aja, selebihnya kan
improvisasi.”
“Betul, Kek.” Dean
manggut-manggut.
Kang Lutung kembali
dengan memanggul kibor dan membawa penyangganya sekalian. Ia lalu
memasangkannya di dekat mereka. Dean mengambil bangku terdekat dan duduk di
depan kibor itu. Kang Lutung ganti duduk di sebelah Kakek.
“Main lagu apa?” tanya
Dean.
Kakek ingin mengajukan
lagu, tapi Kang Lutung keburu menjawab. “Yang tadi kamu mainin aja.”
Dean memikirkannya
sebentar. Tadi dia sebetulnya bermain asal saja, sekadar menuruti suara-suara
di dalam kepalanya. Bagaimana menyebut itu semua sebagai sebuah lagu—atau
lagu-lagu? Dean sangat menikmati permainannya, tapi orang lain belum tentu.
Mungkin itu sebabnya dia keluar dari les. Mungkin itu juga sebabnya Bunda dan
Zara sering menyuruhnya berhenti ketika bermain, sedangkan Ayah memintanya
memainkan lagu lain saja—lagu-lagu Sunda yang ia suka.
Dean sadar Kakek dan Kang
Lutung terus memandanginya.
Dean mengucap basmalah
dalam hati, dan mulai mengentakkan jemarinya. Tidak keluar suara. “Maaf,
pemirsa, saya lupa tekan tombol ‘ON’-nya,” kata Dean sambil malu.
“Mangga, mangga,” kata Kakek sementara Kang Lutung menceletuk, “Ah,
kamu mah!”
Awal yang buruk. Dean
merasa grogi!
Dean mengetes tuts-tuts
itu, menyetel suara yang dia inginkan—PIANO, tentu saja—dan mengucap basmalah
dalam hati sekali lagi. Mari kita mulai…!
Dean menekankan jemari
kedua belah tangannya pada papan tuts. Tangan yang satu memainkan irama lalu
tangan yang lain menyusul melantunkan melodi. Awalnya terdengar tidak
beraturan. Kepala Kang Lutung mengangguk-angguk mencoba mengikuti nada yang
Dean mainkan. Kakek bersandar pada sofa. Lututnya yang satu naik ke atas lutut
yang lain, lalu ia tahan dengan kedua belah tangannya. Ia memandang Dean dengan
raut yang sama serius seperti ketika menonton sinetron tadi.
Dean mulai bisa
menikmati permainannya. Dia membayangkan malam ketika dia mau menonton balapan
liar itu. Dia berjalan pada tengah malam menuju pangkalan ojek, sementara
bintang bertaburan di atas kepalanya. Lalu ketika dia dijamu minuman “hangat”
oleh para kakak kelasnya, akibatnya membikin puyeng sampai bergoyang-goyang.
Goyangannya itu meruntuhkan bintang-bintang dari peraduan mereka sampai mereka
bertebaran di tanah. Sependek itu, semua nada yang dia dentingkan terdengar pas
di telinganya. Dia tidak tahu itu nyaman atau tidak di telinga orang lain, dan
berusaha untuk tidak memikirkannya. Sekarang yang terpenting adalah dia sendiri
bisa menikmatinya.
Nah, sekarang bagian
utamanya. Dean menjejakkan jemarinya mondar-mandir pada beberapa tuts hingga
menghasilkan nada yang meliuk-liuk. Lalu dia mengentakkan kaki, mengganti
irama, dan menggoyang-goyangkan kepala dan badannya menurut melodi. Dia merasa
lebih santai. Dia tidak melihat Kang Lutung yang tampaknya mulai bisa menikmati
permainannya juga. Kang Lutung mengangkat kedua belah tangannya dan
menepukkannya sesuai irama. Mendengar itu membuat Dean merasa semakin
bersemangat. Kang Lutung memandang Kakek yang sedang melirik padanya. Kang
Lutung mengernyit lalu kembali pada Dean.
Dean kembali pada nada
dan irama yang semula. Kang Lutung menurunkan kedua tangannya dan menikmati
irama yang mulai terasa akrab di telinganya. Ketika nada yang meliuk tanpa
irama itu muncul lagi, ia sudah bersiap mengangkat kedua tangannya, hendak
menepuk-nepukkannya lagi menurut irama yang berikutnya, tapi rupanya Dean belum
sampai pada bagian itu.
Beberapa saat kemudian
barulah terdengar lagi nada yang lebih meliuk-liuk dan lebih panjang, yang
menggerakkan Kang Lutung untuk menambahkan tepukan tangan yang teratur. “Kek,
kok diem aja?” tegur Kang Lutung sambil bertepuk tangan dan menggoyangkan
kepala. Bibir Kakek malah tambah melengkung ke bawah. Kedua lengannya bersilang
di depan dada. Dean mendengar perkataan Kang Lutung itu. Tapi dia berusaha
untuk tidak menoleh dan fokus saja pada permainannya yang sebentar lagi akan
dia akhiri.
Dean kembali mengubah
nada dan irama sehingga tidak pas lagi untuk diiringi tepukan tangan. Sebentar
kemudian lagu itu pun usai.
Dean mengembuskan napas
keras-keras dan menurunkan kedua belah pundaknya, seakan-akan tadi dia habis
memanggul beban yang sangat berat. Tapi dia juga merasa lega. Berapa lama dia
bermain tadi? Tiga menit? Empat menit? Tadi dia berusaha supaya permainannya
singkat saja tapi padat seperti pada lagu-lagu umumnya. Dia menoleh dan mendapati
Kakek sedang mengusap mata. Kang Lutung juga tampak heran. Padahal yang Dean
mainkan tadi sama sekali bukan lagu sedih, malah sebaliknya!
“Kamu main lagu apa
tadi?” tanya Kakek. Mukanya segera menjadi biasa-biasa saja lagi.
“Lagu apa, ya? Lagu enggak
tahu, Kek. Cuma sering denger aja di kepala.”
“Lagu kamu ngingetin
Kakek sama lagu-lagu kesukaannya almarhum temen Kakek.”
Kakek bangkit lalu
mengajak mereka masuk ke ruangan yang lebih dalam. Ada lemari berisi deretan
album vinil. Pada meja di sampingnya terdapat gramofon yang bentuknya
menyerupai kompor.
“Dulu Kakek sukanya
musik rok. Kakek pinginnya jadi musisi rok. Tapi sejak temenan sama almarhum,
Kakek mulai kenal jaz, bossa nova, funk. Dari Brazilia sampai Italiano.
Sebagian koleksi albumnya dihibahkan ke Kakek sewaktu dia meninggal. Nah, musik
kamu Dean, rada-rada mirip begitu. Kamu sukanya dengerin musik apa aja?”
Dean mengingat-ingat
lalu menyebut beberapa penyanyi yang kasetnya sering diputar Ayah. “Darso.
Nining Meida. Bungsu Bandung….”
“Ah, masak?” sela
Kakek.
Kadang Deraz memutar CD
koleksinya di kamar sambil mengulik gitar, dan Dean ikut mendengarkannya.
Itukah yang dinamakan jaz? (Lalu apa lagi yang disebut Kakek tadi—selain jaz?
Dean tidak mengerti!) Tapi Dean tidak tertarik mengamati koleksi Deraz
benar-benar apalagi mengobrolkannya. Lain halnya ketika dengan Ayah. Selain
itu, menurutnya musiknya beda dengan musik kesukaan Deraz. Musik Deraz terkesan
kalem, serius, bahkan jelimet, sedangkan Dean menyukai musik yang pembawaannya
santai, serta membikin hati riang dan tenteram.
Dean sebetulnya suka
mendengarkan musik apa saja, mulai dari kaset Peterpan yang diputar sopir
angkot sampai lagu-lagu dangdut di radio kesukaan emang-emang ojek kenalannya.
Belum lagi lagu-lagu hit yang sedang digemari teman-teman mainnya. Potongan
berbagai lagu yang pernah dia dengar itu kadang bermunculan dan bercampur aduk
di dalam kepalanya ketika sedang bermain musik, seperti rujak, tapi isinya
terdiri dari nada dan irama. Supaya macam-macam nada dan irama itu enak
didengar, Dean pun meramunya di atas papan tuts.
“Saya mah dengerin lagu
apa aja, Kek,” kata Dean akhirnya.
“Gitu, ya.”
“Berarti kamu emang
jodoh sama Kakek,” Kang Lutung berbisik di telinga Dean. Yang dibisiki
mengerutkan dahi dan memandang Kang Lutung dengan bingung.
Kakek mengambil satu
per satu album dari lemari, dan memperlihatkannya pada Dean dan Kang Lutung.
“Temen Kakek itu
dulunya anak orang kaya, tapi enggak bakat main musik, dan ditentang juga sama
orang tuanya. Akhirnya dia masuk BUMN sama-sama Kakek. Kalau Kakek dulu mah,
udah enggak bakat, miskin pula. Gitar pertama dan satu-satunya Kakek jual buat
nombokin sewa tempat tinggal waktu itu. Akhirnya Kakek dapat pekerjaan, dan
ketemu teman Kakek itu. Sementara dia terus numpuk album vinil, tiap gajian,
Kakek mesti nimbang-nimbang, mending beli gitar atau beli susu buat papanya si
Imin, mending beli senar atau nabung buat nyicil mobil,” cerita Kakek sambil
memeluk album bergambar Astrud Gilberto, penyanyi bossa nova keturunan Jerman dari Brazil.
Sementara Kakek lanjut
menceritakan perjuangannya menikmati musik dalam kemiskinannya dulu, Dean
berbisik pada Kang Lutung. “Imin?”
“Luthfi Muhaimin,” Kang
Lutung menyebut nama lengkapnya.
“Oh.”
“Dan akhirnya, baru
setelah pensiun ini Kakek sempat belajar gitar lagi.” Kakek meletakkan album
yang tadi ia peluk, dan mengusap bodi gitarnya yang bersandar pada kursi. Lalu
katanya tiba-tiba, “Dean, kalau gitu kamu harus dengerin album-album ini juga.
Kamu sering-sering aja main ke sini.”
“Siap, Kek!” ujar Dean
dengan antusias sekaligus takjub.
“Terus kalau
sewaktu-waktu kamu diminta nemenin Kakek belajar gitar, kamu mau kan?” tanya
Kang Lutung.
“Mau atuh, Kang. Kadang saya juga nemenin
saudara-saudara saya main di rumah.”
“Nah… gitu kan enak,
sebetulnya,” Kakek segera menyahut. “Main sama-sama keluarga. Tapi si Imin ini,
ditawarin les kibor dibayarin kok enggak mau. Adik-adiknya sama aja. Udah beli
kibor mahal-mahal, akhirnya enggak ada yang pakai. Ada juga sepupunya si Imin
tuh, si Zia. Maunya belajar gitar, tapi enggak becus. Baru les sebentar, udah
minta keluar. Heran. Di keluarga ini kok enggak ada yang senang musik. Cuma
Kakek aja.”
“Kamu betah-betahin aja
deh entar kalau udah sama si Kakek,” kata Kang Lutung dengan cuek.
“Tapi adanya di sini
kibor. Dean kan biasa main piano. Enggak apa-apa?” ujar Kakek.
Dean pun cengar-cengir.
“Enggak apa-apa.” Lalu lanjutnya dengan agak muram, “Lagian di rumah juga udah
enggak bisa main piano.”
“Kenapa?” tanya Kakek
dan Kang Lutung berbarengan.
“Pianonya udah enggak
ada,” di ruang keluarga, lagi dikeram di
kamar Bunda….
“Duh, kasihan. Ya udah
ke sini aja kalau mau main mah, puas-puasin,” kata Kakek. Ia tampak benar-benar
prihatin.
“Iya, Dean. Entar kalau
kakeknya mulai enggak nguatin, kamu kabur aja bawa lagi kibornya ke ruang
tengah,” tambah Kang Lutung.
“Iya, iya,” Dean
mengangguk-angguk dengan penuh rasa syukur. “Makasih, Kek! Makasih, Kang!”
Tiba-tiba pintu
paviliun Kakek terbuka. Tampak Zahra menatap mereka dengan raut tidak suka.
Seketika itu juga Dean sadar bahwa Zahra telah menjelma Bunda!