Deraz terus memikirkan Bruno sejak di
pesawat yang membawanya ke Jerman. Begitu menjejakkan kaki di Jerman, Deraz
sudah tidak sabar untuk menghubungi nomor rumah Günther yang diperolehnya dari
Oma Anna. Günther satu-satunya kerabat Opa Buyut yang Deraz kenal betul, yang
mudah-mudahan masih tinggal di desanya dulu. Namun tentu saja prioritas yang
pertama-tama adalah membangun hubungan baik dengan keluarga asuh.
Deraz mendapatkan penempatan di Bonn,
salah satu kota tertua di Jerman yang dibelah Sungai Rhein. Keluarga asuhnya
terdiri dari suami-istri paruh baya beserta kedua putra mereka yang berusia
beberapa tahun di atas Deraz.
Keluarga itu sering sekali berlibur
di Indonesia. Pembicaraan Deraz dengan mereka kerap kali diisi oleh berbagai
hal tentang Indonesia. Sembari memperlihatkan album berisi foto-foto mereka
sewaktu berada di Indonesia, keluarga itu menceritakan pengalaman saat
mengunjungi Tesso Nilo, Wakatobi, Raja Ampat, dan sebagainya, juga pertemuan
dengan Suku Baduy, Suku Toraja, Suku Asmat, dan seterusnya.
Ketika Deraz berkeliling kota bersama
saudara-saudara asuhnya, mereka menceritakan tentang serunya bersepeda di
Baluran yang suasananya seperti Afrika padahal Jawa. Ketika Deraz menyampaikan
cita-citanya untuk kuliah kedokteran di Jerman, orang tua asuhnya malah
menanggapi, “Memangnya di Indonesia tidak ada sekolah kedokteran yang bagus?
Kamu tahu, di Indonesia banyak daerah terpencil yang penduduknya belum mendapat
akses kesehatan memadai. Kalau kamu sekolah kedokteran di negerimu sendiri, tentu
kamu akan sedikit lebih mudah untuk berhubungan dengan mereka.”
Onkel Berthold mendeklamasikan
puisi-puisi Chairil Anwar seluwes Ayah mendendangkan tembang-tembang Bungsu
Bandung. Tante Toni punya lebih banyak koleksi batik daripada Bunda. Jacob dan
Wilhelm sudah berkali-kali bertualang sendiri ke taman-taman nasional di
Indonesia tanpa ditemani orang tua mereka. Sementara Deraz hendak mempraktikkan
bahasa Jerman, mereka justru ingin mempraktikkan bahasa Indonesia. Mereka tahu
lebih banyak tentang Indonesia daripada Deraz. Deraz sampai mual terus-menerus
dicekoki cerita tentang Indonesia yang belum pernah disaksikannya sendiri.
Di samping itu, Deraz ditaksir oleh
anak tetangga yang sekaligus teman sekelas di sekolah. Cewek berambut pendek
pirang itu dipanggil Momo oleh anak-anak. Momo suka mengajak Deraz
berjalan-jalan berdua atau sekadar duduk-duduk di teras belakang rumah dengan
alasan ingin belajar bahasa Indonesia. Pada awalnya Deraz menanggapi setiap
ajakan Momo sekadar untuk bersopan santun. Tetapi ketika Momo tahu-tahu
mengecup bibirnya lalu mengajak ke kamar, Deraz mundur teratur. Momo menyadari
bahwa Deraz mulai menghindari dirinya. Lalu tiba-tiba saja Deraz menjadi bahan
gunjingan cewek-cewek di kelas. Cowok-cowok ikut meledeknya karena menampik cewek
semenarik Momo. Ditambah lagi, Deraz menolak menenggak bir di pesta-pesta
mereka. Padahal awalnya Deraz diterima dengan baik oleh anak-anak karena sudah
pandai berbahasa Jerman dan sama jangkung dengan mereka, biarpun kulitnya agak
cokelat dan wajahnya tidak kaukasoid amat.
Ketika mulai merasakan stres akibat
polah tingkah orang-orang Jerman itu, Deraz mampir ke kafe internet. Adakalanya
Deraz login bertepatan dengan Bunda
atau Ipong online.
Bunda mengabarkan bahwa sepertinya
Dean mantap hendak menembus Berklee College of Music. Sejak sebelum pergi ke
Jerman, Deraz tahu bahwa Dean melanjutkan kursus piano serta mengambil kursus
bahasa Inggris. Malah pada liburan pergantian tahun ajaran kemarin Bunda
mengambil cuti untuk menemani Dean melihat-lihat kampus yang bertempat di
Boston, Amerika Serikat, tersebut. Ayah terlihat keberatan walaupun membiarkan.
Deraz sendiri tidak mengira bahwa Dean juga berminat sekolah di luar negeri.
Bunda bilang, “Syukur sejak ada Rika, Dean jadi punya tujuan, mulai mikir masa
depan. Cuma Bunda khawatir Dean enggak bisa jaga diri. Dean kan begitu anaknya.
Ayah juga belum dikasih tahu lagi. Siapa tahu aja Dean nanti berubah pikiran.”
Sementara itu, Ipong menceritakan
tentang band mereka yang sama sekali
bubar tanpa sempat diberi nama, anak-anak OSIS yang pada mulai rajin belajar
karena rata-rata mengincar ITB, UGM, dan UNPAD, serta kenorakan Alf saat
menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepengurusan OSIS yang padahal dihadiri
guru-guru beserta perwakilan ekskul termasuk DKM.
“Masak di akhir dia bilang gini,
coba, ‘Ria-chan, daisuki! Tapi
dijawabnya nanti aja, ya, kalau aku udah jadi ilmuwan!’”
Deraz terkekeh sendiri di depan layar
komputer membaca pesan Ipong. “Reaksi yang lain gimana?” ketiknya.
“Si Ria cemberut lah, sok enggak mau
ngelihat ke si Alf. Anak-anak mah pada ngeaminin aja.”
Tanpa diminta, Ipong juga
mengabarkan, “Si Zahra mulai kelihatan sama anak-anak DKM lagi, Raz.
Kerudungnya asa tambah panjang.”
Zahra.
Kalau tidak diingatkan Ipong, Deraz
sudah hampir melupakan nama itu. Tebersit lagi dalam bayangannya untuk
menyamperi rumah gadis itu setelah pulang dari Jerman nanti. Jadikah? Ah,
urusan nanti!
Setelah berbulan-bulan berusaha
mengakrabi lingkungannya yang baru, Deraz menghubungi nomor rumah Günther.
Betapa harunya Deraz ketika panggilannya berujung suara yang ia kenal. Sudah
tentu Günther pangling karena suara Deraz yang bukan lagi bocah. Deraz
menceritakan bahwa ia dapat kembali ke Jerman dan tinggal selama setahun berkat
program AFS. Ketika ia menanyakan kabar Günther dan keadaan desa tempat
tinggalnya dulu, lelaki itu mengatakan, “Du
musst selbst hierher kommen.” Tentu saja Deraz mau datang ke sana, tetapi
ia harus minta izin pada orang tua asuhnya dulu.
“Wie
geht es Bruno?” tanya Deraz akhirnya, sembari berdebar-debar. “Er lebt noch, richtig?”
“Ach
…” suara Günther. “Er ist sehr alt.
Du musst wirklich hierher kommen, so
bald wie möglich.”
So bald wie möglich. Deraz berdesah. Ia tahu. “Ich werde es versuchen.”
Deraz menyampaikan keinginannya untuk
mengunjungi desa tempat tinggalnya semasa kecil kepada orang tua asuhnya.
Mereka sudah tahu bahwa Deraz pernah tinggal beberapa tahun di Jerman dan
karena itu kemampuannya berbahasa Jerman cukup mengesankan. Tetapi kali ini
Deraz melengkapinya dengan cerita tentang Bruno yang mestilah sudah sangat tua.
Ia juga sudah tahu kendaraan apa saja yang mesti dinaikinya. Günther memberinya
petunjuk dan ia sendiri sudah melakukan survei dengan menghubungi perusahaan
transportasi terkait. Ia sudah menyiapkan ongkos. Ia sudah menyediakan waktu
kosong. Ia sudah menyiapkan segala-galanya. Ia ingin segera pergi ke sana,
namun orang tua asuhnya menganjurkan untuk menunggu sampai musim dingin
berlalu.
Waktu yang dinanti-nanti tiba. Orang
tua asuh Deraz mengantarnya sampai ke stasiun. “Janji, ya, kamu harus
sering-sering mengabari kami,” kata Tante Toni ketika melepas Deraz. Deraz
mengiyakan. Dengan menggendong ransel besar, ia berangkat dengan kereta paling
pagi kemudian melanjutkan dengan bis. Di pemberhentian bis pada tengah hari
Günther telah menunggu dengan mobil bak yang sama dengan yang terakhir kali
dilihat Deraz hampir sepuluh tahun lalu.
Sekali lagi, Günther pangling. Kali
ini karena ia mendapati tinggi Deraz yang hampir menyamai dirinya. Deraz
sendiri mengamati Günther mulai menua, dengan kerut-kerut pada wajah dan pirang
rambut yang memudar. Namun badannya masih amat tegap. Deraz baru menyadari
bahwa kemungkinan Günther seusia dengan orang tuanya.
Sepanjang jalan, Deraz memerhatikan
pemandangan yang sebagiannya masih tertutup oleh lumpur salju, sembari
menggali-gali ingatan hendak membandingkan. Di Bonn yang letaknya lebih selatan
cuaca sudah mulai agak hangat, sementara di sini musim dingin seperti hendak
tinggal lebih lama. Tengah hari saja langit masih agak redup. Begitu memasuki
jalan menuju desa—yang diingatnya betul—Deraz serta-merta berkata, “Ich möchte Opas Haus sehen.”
“OK,”
Günther menuruti. Ia menjalankan mobilnya menuju bukit. Sementara jalan mulai
menanjak landai, Deraz menyadari betapa kuatnya Opa-Oma Buyut dulu pada usia
lanjut. Sebentar kemudian, mobil memasuki pelataran rumah yang sungguh akrab di
benak Deraz. Deraz merasa sesak mendapati kondisinya yang bobrok. Malah pintu
depannya tidak dikunci. “Kalaupun ada yang mau mencuri, mereka sudah pada
pindah ke kota,” gurau Günther.
Rumah itu kini dihuni keluarga
laba-laba. Perabot seperti bufet, kursi, lemari, dan meja masih ada, sementara
barang-barang berharga telah berganti pemilik. Kenangan Deraz berkeliaran.
Ketika membuka pintu kamar Opa Buyut dan mendapati ranjang besi itu masih ada
di sana, ia melihat dirinya pada malam-malam ketika baru tinggal di rumah itu
tengah dikeloni Oma Buyut sementara di sisinya yang lain Opa Buyut membacakan
buku cerita. Ketika memasuki ruang perpustakaan, ia melihat dirinya duduk
belajar membaca bersama Opa Buyut. Ketika melewati ruang keluarga, ia melihat
dirinya berlatih piano—yang tinggal bekasnya tercetak pada dinding—sementara
Oma Buyut menemaninya sembari merajut. Ketika berakhir di dapur, ia melihat
dirinya mengganggu Olga—yang kata Günther sudah pulang ke kampungnya di Rumania
tidak lama sepeninggal Opa Buyut—yang sedang menyiapkan makanan. Ketika melalui
pintu dapur yang menuju ke halaman samping-belakang, ia melihat dirinya melempar
ranting yang telah dibersihkan dan dipotong pendek pada Bruno, yang sontak
meloncat dan menangkapnya dengan mulut. Kandang besar itu kini
kosong-melompong, hanya menyisakan wadah makanan yang berkerak.
“Willst
du Bruno sehen?”
Deraz mengikuti Günther kembali ke
mobil. Ketika melihat kotak pos di halaman depan, ia menyimpang. Ia membuka
kotak pos dan mendapati surat-suratnya telah menguning. Bodohnya ia waktu itu.
Ia hanya hafal alamat Opa Buyut dan berpikiran bahwa Olga terus tinggal di
sana. Sama sekali tidak terpikir olehnya untuk mengirim ke alamat Günther,
padahal ia bisa saja menanyakannya pada Bunda yang akan menanyakannya pada Oma
Anna.
Dari rumah Opa Buyut ke rumah Günther
yang terletak lebih rendah, Deraz tidak melewatkan pemandangan di sekitarnya.
Jumlah orang yang dilihatnya sepanjang jalan sedari pemberhentian bis tadi bisa
dihitung dengan jari. Menurut Günther, selain bukit, gereja kayu, hutan,
ladang, padang penggembalaan, peternakan, serta rumah-rumah tua berbata merah,
orang-orang tidak melihat daya tarik pada desa itu. Desa yang di mata Deraz
dulu begitu indah—malah ia ingat Oma-Opa Buyut mengatakannya sebagai “tempat
terbaik untuk membesarkan anak” pada Bunda dan Ayah—kini menyerupai desa hantu.
Mobil melewati gerbang peternakan.
Begitu Deraz turun dari mobil, Günther berkata, “Geh einfach züruck. Er wartet auf dich.” Deraz menurut. Ia masih
ingat tempat Günther mengandangkan anjing-anjingnya, yang berada di depan
bangunan untuk sapi. Günther menghalau dengan suara keras beberapa anjing herder
yang menggonggongi Deraz, seiring dengan langkahnya yang mendekat dengan
gamang. Ada satu anjing terpisah dari kumpulan itu berbaring dengan perut
naik-turun yang kentara.
Padahal Deraz masih agak jauh di
depan anjing itu. Tetapi Bruno seperti mengenali aroma dan langkah Deraz.
Anjing itu serta-merta berdiri dan terengah-engah menjulurkan lidah. Kakinya
gemetar menahan beban tubuhnya yang padahal tinggal tulang.
Lalu Bruno goyah dan terjatuh. Deraz
tersengat. “Sieh mal, er ist krank,”
terdengar Günther sementara Deraz berlari menghampiri anjing itu sembari
mengusap kedua matanya bergantian. Ia tahu benar Günther menyaksikannya tetapi
ia seperti bocah usia delapan tahun saja. Ia tidak dapat menahannya. “Bruno, ich bin’s ….” Ia terduduk di
samping Bruno.
Mata kebiruan anjing itu bergerak
menatapnya diiringi suara memilukan. Untuk bernapas saja tampaknya ia sulit.
Mulutnya yang membuka memperlihatkan gigi yang sudah tidak utuh. Rambutnya
tidak selebat dulu dan begitu kusam.
Sembari menarik ingusnya yang mulai
turun, Deraz membelai kepala anjing itu. “Es
tut mir leid … es tut mir so leid.” Baunya sungguh menusuk. Bruno bahkan
sudah tidak bisa buang air dengan benar. Deraz tidak berani berpaling ke arah
Günther, yang padahal sudah beranjak dari situ membiarkan dirinya.
Sore itu, Deraz membantu Günther
membersihkan pembaringan Bruno yang berlumuran kotoran dan rontokan rambut. Ia
ingin sekali membersihkan Bruno juga: mengelapnya dengan air hangat,
mengeringkannya, dan menyelimutinya dengan handuk tebal. Namun hari mulai gelap
dan udara semakin dingin. Menurut Günther, walaupun ditaruh di depan perapian,
Bruno tidak akan segera kering dan bisa-bisa bertambah menderita. Lebih baik menunggu
cuaca cerah dan matahari hangat sehingga Bruno bisa sekalian berjemur.
Namun Günther mengizinkan Deraz
menyikat gigi Bruno. “Sei vorsichtig.
Manchmal hat er gebissen,” Günther memperingati. Dengan hati-hati, Deraz
membersihkan gigi Bruno yang tinggal beberapa dan malah sebagian sudah busuk.
Sesekali Bruno mendengking ketika gusinya kena dan Deraz segera berdesis
menenangkan. Terlepas dari itu, Bruno lemah tidak berdaya.
Setelah membersihkan gigi Bruno,
Deraz menyuapi anjing itu dengan bubur sayur-telur yang telah dibuatkan
Günther. Tetapi makanan tersebut tidak masuk ke mulutnya. Malah Bruno tahu-tahu
bangkit dan memuntahkan busa kekuningan, sebelum terkulai lagi. Deraz tidak
putus asa. Namun setelah beberapa lama, Günther menyuruh Deraz untuk menyudahi.
“Taruh saja makanannya di situ!”
Ketika hendak membersihkan diri,
Deraz bingung mengatasi najis berat di pakaian dan tubuhnya tanpa menghabiskan
air serta mengotori kamar mandi Günther dengan tanah yang dikeruknya diam-diam
dari halaman. Memang, begitu keluar dari kamar mandi, Günther menanyakan
sebabnya Deraz begitu lama, yang cuma dijawab dengan cengar-cengir. Deraz
mengatakan hendak menumpang menjemur pakaian.
Günther telah menghangatkan segelas
besar susu segar untuk Deraz. “Aku paling ingat kamu suka sekali susu. Kamu
minum terus sampai omamu melarang karena takut kamu mencret.” Deraz tersenyum
mendengarnya. Ia ingat benar ketika Oma Buyut melarangnya demikian.
Günther menuang segelas bir buatannya
sendiri. Ia menawari Deraz sebelum meneguknya. Deraz menggeleng sopan seraya
menyadari bahwa setiap perabot makan di rumah ini bisa jadi telah bercampur
dengan alkohol, lemak babi, dan liur anjing. Keluarga asuhnya sendiri cukup
peka dengan keadaan Deraz sebagai muslim, dan menyiapkan perabot khusus untuknya.
Mereka juga tidak memelihara hewan apa pun. Namun Günther tampak cuek. Ketika
melihat Deraz menggelar sajadah di samping tempat tidur saja, Günther
menanyakan yang hendak dilakukannya, yang dijawab dengan “berdoa”, lalu tidak
berkata apa-apa lagi. Deraz memenungkan betapa sederhana masa keclnya dulu,
tidak pernah memikirkan perkara begini. Sekarang setelah ia besar, mengenal
Islam, hendak merengkuh masa lalunya sekalian memperluas dunia, baru terasa
olehnya. Deraz meneguk lagi susu sajian Günther sembari berucap bismillah dalam
hati. Bisakah ini dikatakan sebagai darurat?
Sembari minum, mulailah Günther
menceritakan desa yang semakin sepi. Sebenarnya sebelum Deraz tinggal di situ
belasan tahun lalu, desa itu sudah mulai ditinggalkan penghuninya. Kebanyakan
yang pergi anak-anak muda yang hendak mencari penghidupan lebih baik, terpikat
oleh daya tarik barat. Kebanyakan yang tinggal warga senior. Sampai-sampai pada
waktu itu Deraz tidak punya teman sebaya. “Omamu saja tidak kerasan,” ujar
Günther, yang dibantah oleh Deraz. Menurut kenangan Deraz, Oma Buyut penuh
senyum dan memiliki banyak kegemaran sehingga mestilah ia menikmati hidupnya di
sini. Günther menatap Deraz geli. “Itu karena ada kamu.”
Günther melanjutkan bahwa Oma Buyut
sering meminta Opa Buyut membawanya berjalan-jalan ke luar desa. Günther
mendengar bahwa di negara asalnya Oma Buyut tinggal di kota besar bersama anak,
menantu, dan cucu, serta memiliki usaha dengan banyak karyawan. Günther maklum
bahwa Oma Buyut yang biasa mengurus banyak hal sendirian dalam kehidupan di
Indonesia—yang dibayangkannya jauh lebih padat daripada kota-kota besar di
Jerman—lantas merasa kesepian begitu diajak tinggal di desa yang terlalu tenang
ini.
Günther sendiri dibesarkan di kota.
Setelah lulus sekolah dan bekerja beberapa lama sekadar untuk mengumpulkan
modal, ia memutuskan untuk pindah ke desa ini dan menjalankan kehidupan
swadaya: berkebun, beternak, dan belajar aneka keterampilan dasar lainnya untuk
mengatasi kerasnya alam. Sejak kecil memang ia memiliki minat yang besar
terhadap alam dan hewan-hewan. Ia mendambakan kehidupan sunyi yang jauh dari
hiruk-pikuk perkotaan. Opa Buyut memiliki kecintaan yang sama. Malah Günther
mendapatkan inspirasinya dari Opa Buyut yang dokter hewan. Sejak kecil, ia
dekat dengan Opa Buyut yang merupakan adik opanya. Bahkan ia lebih akrab dengan
Opa Buyut daripada dengan opanya sendiri. Setelah pensiun, Opa Buyut menyusul
Günther tinggal di desa itu dan membantunya mengurus ternak.
Di desa itu pula Günther bertemu
dengan Ute, yang kemudian menjadi istrinya. Padahal tadinya Ute hendak mencari
pekerjaan di kota juga, namun Günther mengajaknya menikah dan dengan begitu
menahannya untuk tetap tinggal. Namun Ute meninggal beberapa tahun lalu. Mereka
tidak punya anak. Ketika Günther menyebut nama mendiang istrinya, barulah Deraz
teringat pada wanita itu. Ute selalu sedang sibuk bekerja ketika dulu Deraz
mengunjungi tempat Günther. Mereka tidak begitu dekat. Sebenarnya, yang paling
Deraz ingat dari tempat Günther hanya susunya yang super segar. Deraz segan
menanggapi kematian Ute. Günther juga tidak melanjutkan.
Günther mengungkapkan angan-angannya
untuk menghidupkan desa dengan menarik anak-anak muda dari berbagai tempat
untuk mempelajari keterampilan-keterampilan tradisional. Ia mendengar ada
komunitas semacam itu di luar negeri. “Lagi pula tanah di desa ini sebenarnya
subur, murah pula. Sebenarnya pekerjaan ada saja kalau mereka mau mengolah
tanah.”
Deraz mengusulkan supaya Günther
memasang iklan di internet.
Günther tercenung. “Bagaimana kalau
kamu mengajari aku internet, dan sebagai gantinya aku mengajarimu menguliti
babi?” guraunya.
“Nein,”
tolak Deraz. “Aku bisa mengajarimu gratis. Hast
du einen Computer?”
Günther tergelak. “Na ja, komputer saja aku tidak punya!
Akan kukabari kalau sudah beli. Nanti kamu yang ajari, ya.”
Deraz menyanggupi untuk kembali lagi
ke desa itu sebelum pulang ke Indonesia. Ia ingin mengajak keluarga
Indonesianisnya serta. Mungkin Jacob dan Wilhelm akan tertarik belajar
menguliti babi.
Seketika Deraz merasa lucu memahami
betapa rumput tetangga selalu lebih hijau daripada rumput sendiri, dan betapa
dunia terus menyibakkan sisi-sisi yang berlainan seiring ia bertambah usia.
Jerman yang dalam benak Deraz selama ini desanya begitu indah dan kotanya
demikian canggih ternyata dapat terlihat berbeda.
Obrolan mereka ditingkahi gonggongan
dari samping rumah. “Itu Bruno.” Günther terdiam. Deraz terkejut ketika Günther
mengungkapkan bahwa tadinya ia hendak mengakhiri sendiri nyawa anjing itu. “Aku
mau menguburnya di kaki bukit. Aku sudah menaruh sekop, senapan, dan kantong di
bak, tinggal mengangkat Bruno. Lalu tiba-tiba telepon berdering. Ternyata itu
dari kamu.”
“Kenapa Bruno tidak dibiarkan mati
alami saja?"
“Sebenarnya aku sendiri merasa
dilema. Aku kasihan melihat dia kesakitan. Ia sering tiba-tiba meraung sendiri.
Apalagi ia sulit makan. Aku jadi frustrasi. Aku sendiri tidak punya banyak
waktu untuk merawat dia. Biasanya Ute yang mengurus anjing-anjing tua.”
Beberapa lama keduanya sama hening,
hingga Günther mengatakan, “Na ja,
aku sampai lupa menawarimu makan. Kemarin aku baru potong babi dan membuat bratwurst. Kamu mau, kan?”
Deraz memikirkan penolakan yang
sopan.
Keesokan subuh, ketika Deraz bangun
hendak salat, ternyata Günther sudah terjaga. Günther hendak memerah sapi untuk
para pelanggannya. Setelah salat, Deraz menawarkan diri untuk membantu Günther.
Namun Günther malah menyuruh Deraz mendaki bukit, mengejar matahari terbit.
Deraz menurut.
Deraz tiba di puncak bukit ketika
setitik cahaya lembut tampak di ufuk memudarkan kegelapan di seluruh langit. Di
bawah pohon ia duduk memandangi lingkaran itu naik perlahan hingga benderang.
Sebelum udara hangat benar, Deraz turun dengan kegirangan bahwa ini akan jadi
hari yang bagus untuk membersihkan dan menjemur Bruno. Ia tidak lupa memetiki
bunga-bunga liar yang ditemuinya di jalan. Bruno suka mengendusi bunga.
Begitu Günther melihat Deraz kembali,
ia langsung menugaskannya untuk memberi makan anjing-anjing. “Setelah itu baru
kita sarapan.” Deraz menyanggupi. Günther telah menyiapkan mangkuk khusus untuk
Bruno.
Anjing-anjing menyalak begitu Deraz
menghampiri mereka. Namun kali ini mereka tidak hendak menakut-nakutinya.
Dengan lahap mereka menyambut potongan daging babi rebus yang dibawakan Deraz.
Setelah semua anjing yang lain itu kebagian makanan, barulah Deraz menyamperi
Bruno dengan membawa mangkuk khusus untuknya. Anjing itu berbaring diam dengan
mata terpejam. Deraz berjongkok seraya meletakkan piring di lantai dan membelai
Bruno.
Günther lewat sembari kedua tangannya
menjinjing ember berisi pakan sapi. Melihat Deraz yang mematung, Günther
bertanya, “Was ist passiert?”
Deraz menoleh pada Günther.
“Er
ist tot.”[]